BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Apabila ditelusuri kembali mengenai sejarah kepailitan, diketahui bahwa hukum kepailitan itu sudah ada sejak zaman Romawi tepatnya pada abad ke-19. Kata bankrut, yang dalam bahasa Inggris disebut bankrupt berasal dari UndangUndang (yang selanjutnya disebut UU) di Itali disebut dengan banca rupta. Di Eropa, pada abad pertengahan terjadi praktek kebangkrutan, yang dalam hal ini dilakukan penghancuran bangku-bangku dari para bankir atau pedagang yang melarikan diri secara diam-diam dengan membawa harta para krediturnya. 1 Peraturan pada masa awal dikenalnya hukum pailit di Inggris, banyak peraturan yang mengatur mengenai larangan properti tidak dengan itikad baik (fraudulent conveyance statute) atau yang sedang populer sekarang disebut dengan actio pauliana. 2 Di samping itu, dalam UU lama di Inggris tersebut juga di atur antara lain tentang hal-hal sebagai berikut: 3 1. Usaha menjangkau bagian harta debitur yang tidak diketahui (to part unknown);
1
Sunarmi, “Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan Antara Indonesia (civil law system) dengan Amerika Serikat (common law system)” jurnal, Tahun 2004, hlm. 10. 2 Ibid. 3 Ibid.
2. Usaha menjangkau debitur nakal yang mengurung diri di rumah (keeping house) karena dalam hukum Inggris lama, seseorang sulit dijangkau oleh hukum jika dia berada dalam rumahnya berdasarkan asas man’s home is his castle; 3. Usaha untuk menjangkau debitur nakal yang berusaha untuk tinggal di tempat-tempat tertentu yang kebal hukum, tempat mana sering disebut 1
dengan istilah sanctuary. Mirip dengan kekebalan hukum bagi wilayah kedutaan asing dalam hukum modern; 4. Usaha untuk menjangkau debitur nakal yang berusaha untuk menjalankan sendiri secara sukarela terhadap putusan atau hukuman tertentu, yang diajukan oleh temannya sendiri. Biasa untuk maksud ini terlebih dahulu dilakukan rekayasa tagihan dari temannya untuk mencegah para krediturnya mengambil aset-aset tersebut. Di Indonesia sendiri, kepailitan sudah berkembang sejak jaman penjajahan kolonial Belanda, seperti Wet Book Van Koophandel (selanjutnya disebut WVK) buku ketiga yang berjudul Van de voorzieningen in geval van onvormogen van kooplieden atau peraturan tentang ketidakmampuan pedagang, yang mengatur tentang kepailitan untuk pedagang, juga Reglement op de Rechtvoordering (selanjutnya disebut RV) Stb 1847-52 jo 1849-63, buku ketiga bab ketujuh dengan judul Van de staat van kenneljk onvermogen atau tentang keadaan nyata-nyata tidak mampu. 4
4
Sunarmi, Hukum Kepailitan, edisikedua, (Medan: Softmedia, 2010), hlm. .
Dikarenakan kepailitan pada saat itu dipandang sangat sulit untuk dipelejari, rumit dan berbelit-belit maka bagi sarjana hukum Indonesia, kepailitan kurang dikenal bahkan tidak popular dan hampir diabaikan. Hal ini dipandang karena kepailitan pada saat itu tidak menguntungkan bagi perkembangan dunia ilmu hukum dan praktek hukum. 5 Dalam jangka waktu yang cukup panjang, pemerintah Indonesia memandang bahwa dalam dunia perekonomian, masalah utang piutang harus diatur penyelesaiannya melalui peraturan-peraturan tertentu sebagai bentuk jaminan kepastian hukum. Pada tanggal 22 April 1998, pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (selanjutnya disebut Perpu) yaitu Perpu Nomor 1 Tahun 1998 yang berlaku pada tanggal 20 Agustus 1998 dan selanjutnya dikuatkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 dan yang terakhir adalah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Membayar Utang yang hingga saat ini masih dipergunakan 6 Kepailitan menurut Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Membayar Utang (yang selanjutnya disebut UUK dan PKPU), adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Dalam hal ini kepailitan berfungsi sebagai emergency window, yaitu pintu keluar darurat, yang
5
Ibid. Ibid, hlm. 3.
6
berarti bahwa kepailitan tersebut sebisa mungkin diambil sebagai jalan terakhir ketika situasi lain sudah tidak memungkinkan. Menurut Penjelasan UUK dan PKPU, beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang adalah: 1. untuk menghindari perebutan harta Debitur apabila dalam waktu yang sama ada beberapa Kreditur yang menagih piutangnya dari Debitur; 2. untuk
menghindari
adanya
Kreditur pemegang
hak
jaminan
kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik Debitur tanpa memperhatikan kepentingan Debitur atau Kreditur lainnya; 3. untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan salah seorang Kreditur atau Debitur sendiri. Dengan adanya kepailitan, maka diharapkan penyelesaian utang-piutang dapat diselesaikan dengan secepat mungkin, sehingga akan mengembalikan hakhak dari kreditur. Utang yang timbul pada debitur pada dasarnya bukan hanya muncul dikarenakan adanya hubungan perjanjian, akan tetapi dapat timbul dari undang-undang dan contoh yang paling jelas dalam hal ini adalah utang pajak. Utang pajak yang telah tertunggak baik itu utang pajak penghasilan, merupakan kewajiban yang juga harus dibayarkan. Sebagaimana diketahui, Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik penanggung pajak. Hak mendahulu adalah hak khusus yang dimiliki negara terhadap hasil lelang barang-barang milik
penanggung pajak untuk pelunasan utang kepada kreditur. Jika penanggung pajak tersebut mempunyai tunggakan berupa utang pajak, maka dengan hak mendahului ini negara mempunyai hak atas barang-barang milik penanggung pajak yang akan dilelang di muka umum. Hak mendahulu tidak mensyaratkan bahwa barang milik penanggung pajak yang dilelang di muka umum tersebut telah dilakukan penyitaan dalam rangka penagihan pajak. 7 Jadi, dalam hal terjadi lelang barang milik penanggung pajak, maka pihak yang melakukan pelelangan wajib mendahulukan hasil lelang tersebut untuk pelunasan utang pajak dan biaya-biaya penagihan pajak terlebih dahulu. Pembayaran kepada kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan dan biayabiaya penagihan dilunasi. 8 Dasar hukum yang digunakan dalam hal ini sebagaimana telah dijelaskan di atas, diatur dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (yang selanjutnya disebut UU KUP), bahwa hak mendahului untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap: 1. Biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak; 2. Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau
7
Irwan Ariwibowo, “Kreditur Preferen Dalam Pajak, Apakah Sama Dalam Versi Kepailitan?”, dalam http://www.bppk.depkeu.go.id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/19557kreditur-preferen-dalam-pajak,-apakah-sama-dalam-versi-kepailitan. Diunduh pada tanggal 12 Desember 2014 8 Ibid
3. Biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan". Berdasarkan ketentuan di atas maka kedudukan utang pajak merupakan sesuatu yang istimewa, yang mana sesuatu tersebut merupakan hak yang hanya dimiliki oleh Negara. Dengan hak tersebut negara mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik wajib pajak/penanggung pajak. 9 Selanjutnya di dalam Pasal 21 Ayat (1) UU KUP disebutkan mengenai posisi negara terkait utang pajak, yaitu “Menetapkan kedudukan negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik penanggung pajak yang akan dilelang di muka umum. Pembayaran kepada kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi". 10 Posisi tersebut juga dipertegas didalam Pasal 21 Ayat (4) UU KUP, yakni: "Dalam hal wajib pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta wajib pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak wajib pajak tersebut." Termasuk dalam hal ini penjelasan yang ada di dalam Pasal 19 ayat (6) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (yang selanjutnya disebut UU PPSP) yang menyatakan sebagai berikut: "Menetapkan kedudukan Negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik penanggung pajak yang akan dijual kecuali terhadap biaya perkara yang semata-mata 9
Ibid. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. 10
disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak, biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud, atau biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan. Hasil penjualan barang-barang milik penanggung pajak terlebih dahulu untuk membayar biaya-biaya tersebut di atas dan sisanya dipergunakan untuk melunasi utang pajak". 11 Tindakan kurator yang tidak menempatkan dirjen pajak sebagai perwakilan Negara dalam hal ini dapat dilakukan pengajuan permohonan keberatan seperti halnya yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Bojonegara (yang selanjutnya disebut KPP Pratama Bandung Bojonegara) kepada Kurator PT. Metrocorp Indonusa, yaitu Saudara Drs. Bakhtiar, Msi, SPA. Lewat renvoi, KPP Pratama Bandung Bojonagara berharap mendapatkan Rp.5.686.507.726,00 (lima milyar enam ratus delapan puluh enam juta lima ratus tujuh ribu tujuh ratus dua puluh enam Rupiah) dari aset-aset PT. Metrocorp Indonusa yang pembayarannya harus didahulukan, namun dalam daftar pembagian harta pailit yang dibuat dan diumumkan oleh kurator hanya sebesar Rp. 27.092.286,- (dua puluh juta sembilan puluh dua ribu dua ratus delapan puluh enam Rupiah). Jumlah tersebut sangat jauh perbandingannya dilihat berdasarkan jumlah yang dikeluarkan oleh pihak KPP Pratama Bandung Bojonagara dengan hasil perhitungan dari kurator PT. Metrocorp Indonusa. 12 Tindakan yang dirasa tidak adil tersebut menjadi alasan dari KPP Pratama Bandung Bojonagara melakukan keberatan hingga pada tahap kasasi. 11
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Putusan Mahkamah Agung Nomor 963 K/Pdt.Sus/2010.
12
Akan tetapi hingga pada tahap kasasi pun, pihak KPP Pratama Bandung Bojonagara tetap tidak mendapatkan utang pajak dari PT. Metrocorp Indonusa sebesar Rp.5.686.507.726,00 (lima milyar enam ratus delapan puluh enam juta lima ratus tujuh ribu tujuh ratus dua puluh enam Rupiah). 13 Ditolaknya keberatan yang dilakukan oleh judex factie dan judex juris tentunya sangat beralasan, dan pastinya putusan yang dibuat memiliki legal reasoning untuk menolak keberatan KPP Pratama Bandung Bojonagara terkait jumlah pembagian harta pailit PT. Metrocorp Indonusa. 14 Berdasarkan latar belakang di atas, maka sangat menarik untuk membahas mengenai kedudukan kantor pelayanan pajak sebagai kreditur istimewa dalam mengajukan permohonan keberatan atas pembagian harta pailit yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak, dan juga akan ditelaah lebih lanjut mengenai aturan-aturan yang digunakan dalam prosedur keberatan tersebut.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pembagian harta pailit oleh kurator dalam kepailitan wajib pajak menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004? 2. Bagaimanakah pengajuan keberatan atas pembagian harta pailit oleh kurator? 3. Bagaimana kedudukan kantor pelayanan pajak sebagai kreditur istimewa dalam mengajukan keberatan atas pembagian harta pailit (Studi terhadap Putusan MA No. 963K/Pdt.Sus/2010) di Indonesia? 13
Putusan Mahkamah Agung Nomor 963 K/Pdt.Sus/2010. Putusan Mahkamah Agung Nomor 963 K/Pdt.Sus/2010.
14
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan pokok permasalahan diatas, ada beberapa tujuan yang melandasi penelitian ini, yaitu: a. Untuk mengetahui pengaturan kepailitan dalam UUK dan PKPU; b. Untuk mengetahui proses pengajuan permohonan keberatan atas pembagian harta pailit yang dilakukan kurator; c. Untuk mengetahui kedudukan kantor pelayanan pajak sebagai kreditur istimewa dalam mengajukan mengajukan permohonan keberatan atas pembagian harta pailit yang dilakukan oleh kurator. 2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini, yaitu sebagai berikut: a. Manfaat teoritis 1) Memberikan pengetahuan yang benar bagi penulis sendiri tentang kedudukan kantor pelayanan pajak dalam mengajukan permohonan pailit ditinjau dari undang-undang kepailitan. 2) Memberikan pembangunan ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu hukum
ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan kedudukan
kantor pelayanan pajak dalam mengajukan permohonan keberatan atas pembagian harta pailit ditinjau dari UUK. b. Manfaat praktis
1) Memberikan kontribusi terhadap masyarakat untuk dapat mengetahui kedudukan kantor pelayanan pajak sebagai kreditur istimewa
dalam
mengajukan
permohonan
keberatan
atas
pembagian boedel pailit ditinjau dari UUK; 2) Memberikan pemahaman pada pihak terkait seperti: praktisi hukum, praktisi legal corporate, dan juga mahasiswa khususnya dalam pengajuan keberatan atas pembagian boedel pailit yang dilakukan oleh kurator.
D. Keaslian Penulisan Berdasarkan pemeriksaan dan hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Kedudukan Kantor Pelayanan Pajak Dalam Mengajukan Permohonan Pailit Ditinjau dari Undang-Undang Kepailitan Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 963 K/Pdt.Sus/2010”, belum pernah di tulis oleh mahasiswa lain di lingkungan Universitas Sumatera Utara dan disusun oleh penulis sendiri, bukan plagiat atau diambil dari penelitian orang lain. Hal tersebut didasarkan pada pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas segala kritikan dan masukan yang sifatnya membangun guna penyempurnaan hasil penelitian.
Adapun beberapa judul yang memiliki kemiripan judul dalam hal kepailitan yang pernah ada di lingkungan Universitas Sumatera Utara adalah
1.
“Tinjauan Yuridis Akibat Hukum Kepailitan Suami/Istri Terhadap Perjanjian Kredit Bank” yang ditulis oleh Mellisa Yanwar pada Tahun 2011.
2.
“Akibat Hukum Kepailitan Terhadap Harta Warisan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang” yang ditulis oleh F. Lubis pada Tahun 2011.
3.
“Analisis Yuridis Putusan Pailit Terhadap PT. Telkomsel Tbk.” Yang ditulis oleh A. Samosir pada tahun 2013.
Beberapa judul skripsi yang telah disebutkan sebelumnya memiliki perbedaan dalam judul maupun permasalahan, dengan demikian penelitian ini dapat dilanjutkan sesuai dengan judul dan permasalahan yang ada.
E. Tinjauan Pustaka 1. Kepailitan Kepailitan berasal dari kata “pailit” yang dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Prancis, Latin dan Inggris. Dalam bahasa Prancis, “failite” berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran. Dalam bahasa Belanda, digunakan istilah “failliet” yang mempunyai arti ganda, yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Sedangkan, dalam bahasa Latin digunakan istilah failure dan dalam bahasa Inggris, digunakan istilah to fail. Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh Pengadilan dikarenakan Debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta
debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah. 15 Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari persoalan utang piutang yang rnenghimpit seorang debitur, di mana debitur tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utangutang tersebut kepada para krediturnya. Sehingga, bila keadaan ketidakmampuan untuk membayar kewajiban yang telah jatuh tempo tersebut disadari oleh debitur. Maka langkah untuk mengajukan permohonan penetapan status pailit terhadap dirinya (voluntary petition for self bankruptcy) menjadi suatu langkah yang memungkinkan, atau penetapan status pailit oleh pengadilan terhadap debitur tersebut bila kemudian ditemukan bukti bahwa debitur tersebut memang telah tidak mampu lagi membayar utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih (involuntary petition for bankcruptcy). 16 Menurut
Poerwadarminta 17 “pailit” artinya bankrupt, dan bangkrut
artinya menderita kerugian besar hingga jatuh (perusahaan, toko, dan sebagainya). Menurut Jhon M. Echlos dan Hasan Sadily, 18 bankrupt artinya bangkrut, pailit dan bangkrut, pailit dan bankruptcy artinya kebangkrutan, kepailitan. Menurut Imran Nating, 19 kepailitan diartikan sebagai suatu proses dimana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, yang dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur 15
J. Djohansah, Penyelesaian Utang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001), hlm. 23. 16 Ricardo Simanjuntak, Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, 2005), hlm. 55-56. 17 Jono, Perbandingan Hukum Kepailitan, (Jakarta, Sinar Grafika, 2008), hlm 21. 18 Ibid. 19 Ibid.
tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah. dalam ensiklopedia ekonomi keuangan perdagangan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pailit adalah seseorang yang oleh suatu pengadilan dinyatakan bankrupt, dan yang aktivitasnya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar utang-utangnya. Di dalam Black`s Law Dictionary, 20 pailit atau bankrupt adalah “The state or condition of a person (individual, pernersih, corporation, municipality) who is unable to pay is debt as they are, or become due”. the term includes a person againt whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt. Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 UUK dan PKPU, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam UU ini. Kepailitan pada prinsipnya merupakan suatu sita umum berdasarkan undang-undang atas harta kekayaan debitur. Adapun tujuan-tujuan yang ingin dicapai dari kepailitan adalah: 21 1. Melindungi para kreditur konkuren untuk memperoleh hak mereka sehubungan dengan berlakunya asas jaminan, bahwa “ Semua harta kekayaan debitur baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan bagi perikatan debitur”, yaitu dengan cara 20
Ibid Munir Fuady, Op.Cit, hlm. 38
21
memberikan fasilitas dan prosedur untuk mereka dapat memenuhi tagihan-tagihannya terhadap debitur, asas tersebut dijamin oleh Pasal 1131 KUH Perdata. 2. Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitur di antara para kreditur sesuai dengan asas pari passu (membagi secara proporsional harta kekayaan debitur kepada para kreditur konkuren atau unscured creditors berdasarkan perimbangan besarnya masing-masing kreditur tersebut.) Asas tersebut dijamin oleh Pasal 1132 KUH Perdata. 3. Mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditur. Dengan dinyatakan pailit maka debitur tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengurus dan memindahkan harta kekayaannya yang status hukumnya sudah berubah menjadi harta pailit. 4. Pada
hukum
kepailitan
Amerika
Serikat,
hukum
kepailitan
memberikan perlindungan kepada debitur yang beritikad baik dari para krediturnya dengan cara pembebasan utang. Sedangkan tujuan dari kepailitan lainnya adalah untuk melakukan pembagian antara para kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator. Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga
kekayaan debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak masing-masing. 22 Lembaga kepailitan pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar. Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai 2 (dua) fungsi sekaligus, yaitu: 23 1. Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditur bahwa debitur tidak akan berbuat curang dan tetap bertanggung jawab terhadap semua utang-utangnya kepada semua kreditur. 2. Kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi, misal oleh krediturkrediturnya.
Dengan
demikian
keberadaan
ketentuan
tentang
kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai suatu upaya hukum harus khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata Sementara itu, kepailitan juga didasarkan pada asas-asas, antara lain asas keseimbangan, asas kelangsungan usaha, asas keadilan dan asas integritas. Berikut akan dijelaskan mengenai asas-asas tersebut: 24
22
Elvira Dewi Ginting, Analisa Hukum Mengenai Pengaturan Reorganisasi Perusahaan dalam Kepailitan, (Medan: USU Press, 2010), hlm. 11. 23 Sri Redjeki Hartono, “Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepailitan Modern”, Majalah Huukum Nasional Nomor 2, hlm. 37. 24 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, Hukum dalam Ekonomi, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2007), hlm. 183-184.
1. Asas keseimbangan adalah di satu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitur yang tidak jujur, sedangkan pihak lain dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditur yang tidak beritikad baik. 2. Asas
kelangsungan
memungkinkan
usah
perusahaan
adalah debitur
terdapat
ketentuan
yang
yang
prospektif
tetap
dilangsungkan. 3. Asas keadilan adalah untuk mencegah terjadinya kesewenangwenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tiaptiap tagihan terhadap debitur dengan tidak memperdulikan kreditur lainnya. 4. Asas integritas adalah sistem hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sitem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional. Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitur dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU, yaitu: 25“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur yang tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.”
25
2015).
http://click-gtg.blogspot.com/2008_06_01_archive.html (diakses tanggal 31 Maret
Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit sebagaimana yang terdapat didalam Pasal 2 UUK dan PKPU adalah: a. Debitur sendiri Debitur dapat mengajukan permohonan pailit untuk dirinya sendiri (voluntary petition), yang biasanya dilakukan dengan alasan bahwa dirinya maupun kegiatan usaha yang dijalankannya tidak mampu lagi untuk melaksanakan
seluruh
kewajibannya,
terutama
dalam
melakukan
pembayaran utang-utangnya terhadap krediturnya. b. Seorang atau beberapa kreditur (Pasal 2 ayat (1)) Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UUK dan PKPU lama), permohonan pailit pada umumnya diajukan oleh kreditur, baik kreditur yang merupakan perusahaan maupun kreditur perorangan. c. Kejaksaan demi kepentingan umum (Pasal 2 ayat (2)) Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. d. Bank Indonesia dalam hal debitur merupakan bank (Pasal 2 ayat (3)) Pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap suatu bank sepenuhnya merupakan kewenangan Bank Indonesia yang merupakan bank sentral yang menentukan kebijakan perbankan di Indonesia.
e. Badan Pengawas Pasar Modal (Pasal 2 ayat (4)) (selanjutnya disebut BAPEPAM) Berdasarkan UUK dan PKPU pengajuan permohonan pailit terhadap perusahaan efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian hanya dapat dilakukan oleh badan pengawas pasar modal, namun setelah dibentuknya lembaga otoritas jasa keuangan melalui Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut UU OJK), kewenangan BAPEPAM untuk mengajukan permohonan pailit terhadap perusahaan efek, lembaga kliring dan penjaminan, serta lembaga penyimpanan dan penyelesaian digantikan oleh otoritas jasa keuangan. f. Menteri Keuangan dalam hal debitur adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau badan usaha milik negara yang bergerak di bidang kepentingan publik (Pasal 2 ayat (5)). 2. Kreditur 26 Pasal 1 angka 2 UUK dan PKPU menyebutkan bahwa, “Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau UU yang dapat ditagih di muka pengadilan. Pada penjelasan Pasal 2 ayat (1) dikenal 3 (tiga) jenis kreditur yaitu kreditur konkuren, kreditur separatis dan kreditur preferen. Khusus mengenai kreditur separatis dan kreditur preferen, dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta debitur dan haknya untuk didahulukan. 26
http://bisdan-sigalingging.blogspot.com/2014/10/jenis-jenis-kreditor-dalam hukum.html (diakses tanggal 31 Maret 2015).
Pembagian kreditur dalam kepailitan sesuai dengan prinsip structured creditors atau prinsip structured prorata yang diartikan sebagai prinsip yang mengklasifikasikan atau mengelompokkan berbagai macam kreditur sesuai dengan kelasnya masing-masing antara lain kreditur separatis, preferen, dan konkruen. Pembagian hasil penjualan harta pailit, dilakukan berdasarkan urutan prioritas di mana kreditur yang kedudukannnya lebih tinggi mendapatkan pembagian lebih dahulu dari kreditur lain yang kedudukannya lebih rendah, dan antara kreditur yang memiliki tingkatan yang sama memperoleh pembayaran dengan asas prorata (pari passu prorata parte). Kreditur separatis adalah kreditur pemegang hak jaminan terhadap hipotek, gadai, hak tanggungan, dan jaminan fidusia. Kreditur preferen adalah kreditur yang mempunyai hak mendahului karena sifat piutangnya oleh undang-undang diberi kedudukan istimewa. Kreditur preferen terdiri dari kreditur preferen khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 1139 KUHPerdata, dan kreditur preferen umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1149 KUHPerdata. Kreditur konkuren adalah kreditur yang mempunyai hak mendapatkan pelunasan secara bersama-sama tanpa hak yang didahulukan, dihitung besarnya piutang masing-masing terhadap piutang secara keseluruhan dari seluruh harta kekayaan debitur. Kreditur konkruen merupakan kreditur yang biasa yang tidak dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hipotik, dan hak tanggungan dan pembayarannya dilakukan secara berimbang. Kreditur inilah yang umum melaksanakan prinsip pari passu prorata parte, pelunasan secara bersama-sama
tanpa hak yang didahulukan, dihitung besarnya piutang masing-masing terhadap piutang secara keseluruhan dari seluruh kekayaan debitur. 3. Kurator Pasal 1 angka 5 UUK dan PKPU menyebutkan bahwa Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitur pailit di bawah pengawasan hakim pengawas sesuai dengan UU ini. Apabila debitur atau kreditur tidak mengajukan usul pengangkatan kurator, maka Balai Harta Peninggalan (yang selanjutnya disebut BHP) akan bertindak sebagai kurator. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 15 UUK dan PKPU, yang menyatakan bahwa : 27 1. Dalam putusan pernyataan pailit, harus diangkat kurator dan seorang hakim pengawas yang ditunjuk oleh hakim pengadilan; 2. Dalam hal debitur, kreditur, atau pihak yang berwenang mengajukan permohonan pernyataan pailit tidak mengajukan usul pengangkatan kurator kepada pengadilan, maka BHP diangkat selaku kurator; 3. Kurator yang diangkat harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan debitur atau kreditur, dan tidak sedang menangani perkara Kepailitan dan PKPU, lebih dari 3 (tiga) perkara; 4. Dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari setelah tanggal putusan pernyataan pailit diterima oleh kurator dan hakim pengawas, kurator mengumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian yang ditetapkan oleh hakim 27
Sunarmi, Op.Cit, hlm. 133.
pengawas, mengenai ikhtisar putusan pernyataan pailit yang memuat hal-hal sebagai berikut: a.
Nama, alamat, dan pekerjaan debitur;
b.
Nama hakim pengawas;
c.
Nama, alamat, dan pekerjaan kurator;
d.
Nama, alamat, dan pekerjaan anggota panitia kreditur sementara apabila telah ditunjuk;dan
e.
Tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama.
Kurator mulai bertugas sejak diangkat dalam putusan pernyataan pailit. Sejak mulai pengangkatannya, kurator harus melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit dan menyimpan semua surat, dokumen, uang perhiasan, efek dan surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima (Pasal 98 UUK dan PKPU). Yang dimaksud dengan “pemberesan” dalam ketentuan ini adalah pengurangan aktiva untuk membayar atau melunasi utang, sedangkan yang dimaksud dengan “segala perbuatan yang telah dilakukan oleh kurator” adalah meliputi semua perbuatan pengurusan dan pemberesan harta pailit. Pengertian “tetap sah dan mengikat debitur” adalah bahwa perbuatan kurator tidak dapat digugat di pengadilan manapun. 28 Dalam melaksanakan tugasnya, kurator : 29 a. Tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitur atau salah satu organ 28
Lihat penjelasan pasal 16 UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 29 Sunarmi, Op.Cit, hlm.134
debitur, meskipun dalam keadaan diluar kepailitan, persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan; b. Dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, hanya dalam rangka meningkatkan nilai harta pailit; c. Apabila dalam melakukan pinjaman dari pihak ketiga, kurator perlu membebani harta pailit dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, maka pinjaman tersebut harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan hakim pengawas. d. Pembebanan harta pailit dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya hanya dapat dilakukan terhadap bagian harta pailit yang belum dijadikan jaminan utang; e. Untuk menghadap di sidang pengadilan, kurator harus terlebih dahulu mendapat izin dari hakim pengawas, kecuali menyangkut sengketa pencocokan piutang. Tindakan pengurusan dan pemberesan yang dilakukan Kurator dalam suatu kepailitan dapat diperinci atas: 30 1. Tahap Pengurusan: a. Mengumumkan ikhwal kepailitan. Dalam jangka waktu paling lambat 5 ( lima) hari setelah tanggal putusan pernyataan pailit diterima oleh kurator dan hakim pengawas,
30
Ibid, hlm.135.
kurator mengumumkan dalam Berita Negara Repunlik Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas, megenai ikhtisar putusan pernyataan pailit yang memuat hal-hal sebagai berikut: 1)
Nama, alamat, dan pekerjaan debitur;
2)
Nama hakim pengawas;
3)
Nama, alamat, dan pekerjaan kurator;
4)
Nama, alamat, dan pekerjaan anggota panitia kreditur sementara apabila telah ditunjuk;dan
5) b.
Tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama kreditur. Melakukan penyegelan harta pailit. Kurator dapat meminta penyegelan harta pailit kepada
pengadilan, berdasarkan alasan untuk mengamankan harta pailit, melalui hakim pengawas. Penyegelan dilakukan oleh jurusitadi tempat harta tersebut berada dengan dihadiri oleh 2 (dua) saksi yang salah satu diantaranya adalah wakil dari pemerintah daerah setempat (Pasal 99 UUK dan PKPU). Yang dimaksud dengan “wakil dari pemerintah daerah setempat” adalah lurah atau kepala desa, atau yang disebut dengan nama lain (Penejelasan Pasal 99 ayat (2) UUK dan PKPU). c.
Pencatatan/pendaftaran harta pailit. Kurator harus mebuat pencatatan harta pailit paling lambat 2
(dua) hari setelah menerima surat putusan pengangkatannya sebagai kurator. Pencatatan dapat dilakukan di bawah tangan oleh kurator
dengan persetujuan hakim pengawas. Anggota panitia kreditur sementara berhak menghadiri pembuatan pencatatan tersebut (Pasal 100 UUK dan PKPU). Mengingat bahwa debitur lebih mengetahui tentang seluruh harta kekayaannya, maka dalam prakteknya kehadiran debitur akan sangat membantu pelaksanaan pendaftaran harta kekayan ini. Untuk itu kurator perlu memanggil debitur pailit untuk memberikan keterangan-keterangan dan melibatkannya memberikan petunjuk dalam pendaftaran harta tersebut. Bahwa informasi pertama yang akan diperoleh tentang harta kekayaan debitur adalah dari putusan/penetapan Pengadilan Niaga, karena dalam pertimbangan hukumnya Pengadilan Niaga akan menyebutkan, baik harta kekayaan maupun utang debitur dan siapa-siapa yang menjadi krediturnya. Selain itu, informasi tentang harta kekayaan debitur dapat juga diketahui dari kantor Badan Pertahanan Nasional, kantor-kantor bank, baik bank pemerintah maupun bank swasta untuk mengetahui adanya simpanan debitur. Setelah pencatatan harta pailit, kurator harus membuat daftar yang menyatakan sifat, jumlah piutang dan utang harta pailit, nama dan tempat tinggal kreditur beserta jumlah piutang masing-masing kreditur.
Pencatatan
dan
pendaftaran
tersebut
diletakkan
di
kepaniteraan pengadilan untuk dilihat oleh setiap orang dengan cumacuma (Pasal 102 dan Pasal 103 UUK dan PKPU).
d.
Melanjutkan usaha debitur. Melanjutkan usaha debitur pailit atas persetujuan panitia kreditur
sementara walaupun ada kasasi atau peninjauan kembali. Bila tidak ada panitia kreditur sementara maka diperlukan izin dari hakim pengawas (Pasal 104 UUK dan PKPU). e.
Membuka surat-surat dan telegram debitur pailit. Kurator berwenang untuk membuka surat dan telegram yang
dialamatkan kepada debitur pailit. Surat dan telegram yang tidak berkaitan dengan harta pailit, harus segera diserahkan kepada debitur pailit. Perusahaan pengirim surat dan telegram memberikan kepada kurator, surat dan telegram yang dialamatkan kepada debitur pailit. Semua surat pengaduan dan keberatan yang berkaitan dengan harta pailit ditujukan kepada kurator (Pasal 105 UUK dan PKPU). Berdasarkan Pasal 24 dan Pasal 69 UUK dan PKPU, sejak putusan pailit diucapkan semua wewenang debitur untuk menguasai dan mengurus harta pailit termasuk memperoleh keterangan mengenai pembukuan, catatan, rekening bank, dan simpanan debitur dari bank yang bersangkutan beralih kepada kurator (Penjelasan Pasal 105 UUK dan PKPU). f.
Mengalihkan harta pailit. Pengalihan harta pailit dapat dilakukan sepanjang itu diperlukan
untuk menutup biaya kepailitan atau apabila penahanannya akan
mengakibatkan kerugian kepada harta pailit meskipun ada kasasi dan peninjauan kembali. g.
Melakukan penyimpanan. Uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya wajib
disimpan oleh kurator kecuali ditentukan lain oleh hakim pengawas. Uang tunai wajib disimpan di bank (Pasal 108 UUK dan PKPU). Yang dimaksud dengan “disimpan oleh kurator sendiri” adalah dalam pengertian tidak mengurangi kemungkinan efek atau surat berharga tersebut disimpan oleh kustodian, tetapi tanggung jawab tetap atas nama debitur pailit. isalnya, deposito atas nama kurator, qq debitur pailit (Penjelasan Pasal 108 UUK dan PKPU). h.
Mengadakan perdamaian guna mengakhiri suatu perkara yang sedang berjalan atau mencegah timbulnya suatu perkara (Pasal 109 UUK dan PKPU). Yang dimaksud dengan “perdamaian” dalam Pasal ini adalah perkara yang sedang berjalan di pengadilan.
i.
Melakukan pemanggilan kepada kreditur. Pemanggilan
terhadap
kreditur
ini
diperlukan
untuk
memasukkan bukti-bukti tagihan kepada kurator. Dalam hal ini hakim pengawas akan menentukan batas ajhir pengajuan tagihan, batas akhir verifikasi pajak, hari, tanggal, waktu, dan temapat rapat kreditur untuk mengadakan pencocokan piutang. Pemanggilan tersebut dapat dilakukan dengan surat kabar umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) UUK dan PKPU. Tenggang waktu batas akhir
pengajuan rapat pencocokan piutang harus ada selisihnya paling sedikit 14 (empat belas) hari (Pasal 113 dan Pasal 114 UUK dan PKPU). j.
Mendaftarkan tagihan para kreditur. Setelah para kreditur memasukkan tagihan-tagihannya, maka
kurator akan mencocokkan dengan catatan yang telah dibuat sebelumnya dan keterangan debitur pailit, dan kemudian berunding dengan kreditur jika terdapat keberatan terhadap penagihan yang diterima. Tagihan-tagihan yang disetujui dimasukkan dalam sebuah daftar yang disebut dengan “Daftar piutang yang sementara diakui”, sedangkan untuk tagihan yang dibantah oleh kurator akan dimasukkan kedalam daftr tersendiri disertai dengan alasan-alasannya. dalam daftar tagihan tersebut dibubuhkan pula catatan apakah termasuk piutang yang diistimewakan atau dijamin dengan gadai, fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya atau hak untuk emnahan benda bagi tagihan yang bersangkutan dapat dilaksanakan. Daftar tagihan oleh kurator diletakkan dipapan pengumuman selama 7 (tujuh) hari untuk dapat dilihat oleh yang berkepentingan atau siapapun yang menghendakinya, Peletakan daftar-daftar tagihan tersebut diberitahukan oleh kurator kepada semua kreditur yang dikenal dan juga untuk menghadiri rapat pencocokan piutang serta pemberitahuan jika debitu ada memasukkan rencana perdamaian
kepada kurator (Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, dan Pasal 119 UUK dan PKPU). k. Menghadiri rapat pencocokan piutang Tugas kurator selanjutnya adalah menghadiri rapat pencocokan piutang sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan oleh hakim pengawas. Hakim pengawas hadir dalam rapat tersebut dan bertindak selaku pemimpin rapat yang dihadiri oleh kurator, para kreditur, dan oleh debitur. Kehadiran debitur dalam rapat pencocokam piutang sangat penting, karena debitur dapat memberikan keterangan yang diminta oleh hakim pengawas mengenai sebab musabab kepailitan dan keadaaan
harta pailit.
Debitur lebih
mengetahui
dan
dapat
memberikan keterangan-keterangan tentang kebenaran dari piutangpiutang kreditur kepadanya, siap-siapa yang menjadi kreditur dalam kepilitan dan besarnya tagihan dari masing-masing kreditur. Hakim pengawas membacakan “daftar piutang yang diakui sementara”, dan “daftar tagihan yang dibantah”, sedangkan kurator akan memberikan keterangan-keterangan tentang status dari para kreditur, apakah sebagai kreditur separatis, kreditur preferens, ataupun kreditur konkuren. Daftar terakhir dari tagihan-tagihan ini selanjutnya harus disetujui dan disahkan oleh hakim pengawas yang dilakukan dalam rapat pencocokan tagihan tersebut diatas.
l. Memberitahukan hasil rapat pencocokan piutang kepada kreditur. Setelah
berakhirnya
pencocokan
piutang,
kurator
wajib
memberikan laporan mengenai keadaan harta pailit, dan selanjutnya kepada kreditur, wajib diberikan semua keterangan yang diminta oleh mereka. Laporan mengenai harta pailit beserta berita acara pencocokan piutang wajib disediakan di kepaniteraan dan kantor kurator agar dapat diketahui oleh pihak-pihak yang berkepentingan. 2. Tahap Pemberesan a. Mengusulkan dan melaksanakan penjualan harta pailit. Dengan tetap memperhatikan ketentuan pasal 15 ayat (1) UUK dan PKPU, kurator harus memulai pemberesan dan menjual semua harta pailit tanpa perlu memperoleh persetujuan atau bantuan debitur, apabila: 1) Usul untuk mengurus perusahaan debitur tidak diajukan dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau usul tersebut telah diajukan tetapi ditolak; atau 2) Pengurusan terhadap perusahaan debitur dihentikan (Pasal 184 UUK dan PKPU). Dalam rangka membiayai tindakan-tindakan pengurusan dan pemberesan termasuk jasa kurator diperlukan dana, dan dana tersebut diperoleh dari hasil penjualan harta kekayaan pailit, baik barang-barang bergerak maupun barang-barang tidak bergerak.
Semua benda harus dijual dimuka umum sesuai dengan tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Bila penjualan dimuka umum tidak tercapai, maka dapat dilakukan penjualan dibawah tangan dengan izin hakim pengawas (Pasal 185 UUK dan PKPU). Untuk semua benda yang tidak segera atau sama sekali tidak dapat dibereskan, maka kurator yang memutuskan tindakan yang harus dilakukan terhadap benda tersebut dengan izin pengawas. Dalam melaksanakan penjualan harta pailit ini, kurator harus terlebih dahulu meminta izin dari hakim pengawas. Izin dari hakim pengawas ini dituangkan dalam suatu penetapan. Izin penetapan ini diperoleh setelah kurator terlebih dahulu mengajukan permohonan untuk melakukan penjualan harta pailit dan dapat dilakukan secara lelang didepan umum maupun secara dibawah tangan. Sebelum berlakunya UUK dan PKPU dan UUK Lama, ketika BHP merupakan satu-satunya kurator dalam kepailitan, BHP akan melaksanakan penjualan harta pailit dengan cara dibawah tangan, alasannya
adalah
penjualan
secara
lelang
akan
menyita
banyakwaktu dan memerlukan dana yang akan dibebankan kepada harta pailit. Kurator berkewajiban membayar piutang kreditur yang mempunyai hak untuk menahan suatu benda, sehingga benda itu masuk kembali dan menguntungkan harta pailit.
b. Membuat daftar pembagian Kurator wajib menyusun suatu daftar pembagian untuk dimintakan persetujuan kepada hakim pengawas. Daftar pembagian memuat rincian penerimaan dan pengeluaran termasuk di dalamnya upah kurator, nama kreditur, jumlah yang dicocokkan dari tiap-tiap piutang dan bagian yang wajib diterima diberikan kepada kreditur. Daftar pembagian yang telah disetujui oleh hakim pengawas wajib disediakan di kepaniteraan pengadilan agar dapat dilihat oleh kreditur selama tenggang waktu yang ditetapkan oleh hakim pengawas pada waktu daftar tersebut disetujui dan diumumkan oleh kurator dalam surat kabar. Daftar pembagian ini dapat dilawan oleh kreditur dengan mengajukan
surat
keberatan
disertai
alasan
kepada
panitera
pengadilan dengan menerima tanda bukti penerimaan. Hakim pengawas akan menetapkan hari untuk memeriksa perlawanan di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum. Dalam sidang tersebut, hakim pengawas memberi laporan tertulis, sedang kurator dan setiap kreditur atau kuasanya dapat mendukung atau membantah daftar pembagian tersebut dengan mengemukakan alasannya dan pengadilan paling lambat dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari wajib memberikan putusan yang disertai dengan pertimbangan hukum yang cukup. Terhadap putusan pengadilan ini dapat diajukan permohonan kasasi. Setelah berakhirnya tenggang waktu untuk melihat daftar pembagian atau setelah putusan akibat diajukan perlawanan
diucapkan, kurator wajib segera membayar pembagian yang telah ditetapkan. Setelah kurator selesai melaksanakan pembayaran kepada masing- masing kreditur berdasarkan daftar pembagian, maka berakhirlah kepailitan. Kurator melakukan pengumuman mengenai berakhirnya kepailitan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan surat kabar (Pasal 201 dan Pasal 202 UUK dan PKPU). c. Membuat daftar perhitungan dan pertanggungjawaban pengurusan dan pemberesan kepailitan kepada hakim pengawas Kurator wajib memberikan pertanggungjawaban mengenai pengurusan dan pemberesan yang telah dilakukannya kepada hakim pengawas paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya kepailitan. Semua buku dan dokumen mengenai harta pailit wajib diserahkan kepada debitur dengan tanda bukti penerimaannya (Pasal 202 ayat (3) dan ayat (4) UUK dan PKPU). Bila sesudah diadakan pembagian penutup, ada pembagian yang tadinya dicadangkan jatuh kembali dalam harta pailit atau apabila ternyata masih terdapat bagian harta pailit yang sewaktu diadakan pemberesan tidak diketahui, maka atas peritah pengadilan, kurator membereskan dan membaginya berdasrkan pembagian yang dahulu (Pasal 203 UUK dan PKPU). Kurator
bertanggung
jawab
terhadap
kesalahan
atau
kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan atau
pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit (Pasal 72 UUK dan PKPU). 4. Pajak Pajak
didefinisikan
sebagai
iuran
tidak
mendapat
jasa timbal
(kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran-pengeluaran umum. Dari definisi tersebut, dapat diuraikan bebereapa unsur pajak, antara lain: 31 1. Pajak merupakan iuran dari rakyat kepada Negara. Yang berhak memungut pajak adalah ngara, baik melalui pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Iuran dibayarkan berupa uang, bukan barang. 2. Pajak dipungut berdasarkan UU. Sifat pemungutan pajak adalah dipaksakan berdasarkan kewenangan yang diatur oleh undang-undang berserta aturan pelaksanaannya. 3. Tidak ada kontraprestasi secara langsung oleh pemerintah dalam pembayaran pajak. 4. Digunakan untuk membiayai pengeluaran Negara. Pasal 23 huruf a Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mendefinisikan, “Pajak adalah pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang. Sedangkan dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (yang selanjutnya disebut UU KUP) menyebutkan bahwa pajak 31
Supramono dan Theresia Woro Damayanti, Perpajakan Indonesia: Mekanisme dan Perhitungan, (ANDI OFFSET: Yogyalarta, 2010), hlm. 2.
merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UU, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Di dalam Pasal 1 angka 2 UU KUP mendefinisikan, “Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak dan pemungutan pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pajak.” Dari penjelasan tersebut, tampak bahwa pajak memiliki peranan yang sangat penting dalam penerimaan Negara. Sesungguhnya fungsi pajak sebagai salah satu sumber penerimaan Negara bukan merupakan satu-satunya fungsi dari pajak. Masih ada satu lagi fungsi pajak yang tidak kalah pentingnya dari fungsi budgetair, yaitu fungsi mengatur. Dalam fungsi mengatur, pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan Negara di bidang sosial dan ekonomi. 32
F. Metode Penelitian 1. Jenis dan sifat penelitian Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian normatif dapat dikatakan juga dengan penelitian sistematik hukum sehingga bertujuan mengadakan identifikasi terhadap pengertian-pengertian pokok/dasar dalam hukum, yakni mengkaji kedudukan kantor pelayanan pajak dalam mengajukan permohonan pailit ditinjau dari UUK berdasarkan Undang-
32
Supramono dan Theresia Woro Damayanti, Loc.Cit, hlm. 2.
Undang Perbankan Indonesia. 33. Metode penelitian hukum normatif adalah untuk mengetahui atau mengenal apakah dan bagaimanakah hukum positifnya mengenai suatu masalah yang tertentu. Penelitian ini juga dapat menjelaskan dan menerangkan kepada orang lain dan bagaimana hukumnya mengenai peristiwa atau masalah tertentu 34 Penelitian skripsi ini bersifat deskriptif analitis yang merupakan suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganlisis suatu peraturan hukum. 35 Penelitian akan menguji, mengkaji ketentuan-ketentuan penerapan peraturan yang mengatur tentang kedudukan kantor pelayanan pajak dalam mengajukan permohonan pailit ditinjau dari UUK. Jenis penelitian ini mempergunakan metode yuridis normatif, dengan pendekatan kualitatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian dengan penelusuran dokumen atau lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. 2. Data Penelitian Sumber data adalah subjek dari mana data yang diperoleh. 36 Sumber data dapat berasal dari data primer dan data sekunder. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder, dimana data yang diperoleh penulis secara tidak langsung. Berikut data sekunder yang terdapat dalam penelitian ini, yaitu: 33
Soerjono Soekanto. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. cetakan ketigabela, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, . 2011), hlm.15. 34 C. F. G Sunaryati Hartono. Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir abad ke-20. (Bandung: Alumni, 1994), hlm. 140. 35 Soerjono Seokanto. Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI Press, 1986), hlm 63. 36 Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik,(Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm.172.
a. Bahan hukum Primer, diperoleh melalui Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Membayar Utang, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, Kitab UndangUndang Hukum Perdata. b. Bahan hukum sekunder, berupa karya-karya ilmiah, berita-berita serta tulisan dan buku yang ada hubungannya dengan permasalahan yang diajukan. c. Bahan hukum tertier, berupa bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti Kamus Hukum dan Kamus Bahasa Indonesia dan lain sebagainya.
3. Alat pengumpulan data Dalam penulisan skripsi ini metode pengumpulan data dengan studi dokumen dengan penulusuran pustaka (library research). Library research memiliki arti teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelahaan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan. 37
4. Analisis data Analisis data memiliki arti sebagai upaya mengolah data menjadi informasi, sehingga karakteristik atau sifat-sifat data tersebut dapat dengan mudah 37
M. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hlm. 1.
dipahami dan bermanfaat untuk menjawab masalah-masalah yang berkaitan dengan penelitian. 38 Dalam penulisan skripsi ini menggunakan analisis data kualitatif, yaitu suatu analisis data secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat sehingga diperoleh gambaran yang jelas yang berhubungan dengan skripsi ini. Dengan menghubungkan data primer, sekunder dan tertier maka akan disimpulkan suatu hasil penelitian untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan kedudukan bank BUMN dalam penyelesaian kredit macet berdasarkan Undang-Undang Perbankan Indonesia. G.Sistematika Penulisan BAB I
PENDAHULUAN Bab ini diawali dengan latar belakang penelitian, yang berisi alasanalasan penulis mengambil judul sebagaimana tercantum diatas. Uraianuraian dalam bab ini ditujukan sebagai penjelasan awal mengenai terminologi-terminologi permasalahan
dalam
yang
digunakan
mengidentifikasi
untuk
mengemukakan
masalah
sebagai
proses
signifikasi pembahasan. Disamping itu untuk mempertegas pembahasan dicantum pula maksud dan tujuan serta manfaat penelitian beserta metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini.
BAB II
PEMBAGIAN
HARTA
PAILIT
TERKAIT
PENGURUSAN
YANG DILAKUKAN OLEH KURATOR
38
Pengertian analisis data “fattkhy.blogspot.com/2011/01/pengertian-analisisdata.html?m=1” diakses pada tanggal 12 Desember 2013.
Bab ini menjelaskan mengenai pembagian harta pailit oleh kurator dalam kepailitan, syarat dan prosedur permohonan pailit, juga pengurusan dan pemberesan harta pailit oleh kurator, serta tanggung jawab kurator dalam melakukan pembagian harta pailit kepada para kreditur.
BAB III PENGAJUAN KEBERATAN ATAS PEMBAGIAN HARTA PAILIT Bab ini menjelaskan mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan keberatan atas pembagian harta pailit, termasuk prosedur pengajuan keberatan atas pembagian harta pailit, juga akibat hukumnya berdasarkan perundang-undangan di Indonesia.
BAB IV PEMBAGIAN YANG DILAKUKAN PENGADILAN DALAM PERMOHONAN KEBERATAN ATAS PEMBAGIAN BOEDEL PAILIT YANG DILAKUKAN KURATOR BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 963 K/PDT.SUS/2010 Menjelaskan mengenai kedudukan Kantor Pelayanan Pajak dalam mengajukan permohonan pailit ditinjau dari UUK berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 963 K/Pdt.Sus/2010.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Merupakan bab kesimpulan dan saran yang berisi kesimpulan yang dikemukakan berdasarkan permasalahan yang telah dibahas dan
dianalisis, dalam bab ini juga dikemukakan berbagai saran dari penulis yang dihasilkan penelitian yang dilakukan oleh penulis.