BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Reformasi yang dimulai sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru pada bulan Mei 1998, telah menghantarkan rakyat Indonesia kepada perubahan di segala bidang, terutama dalam bidang demokrasi politik.Amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 telah mengubah aturan-aturan dasar dalam sistem pemilihan umum di Indonesia, terutama dalam pengisian jabatan anggota legislatif, Presiden dan Wakil Presiden (Suryatna, 2007).Sistem pemilihan umum yang sebelumnya hanya melibatkan masyarakat sebagai pemilih partai, kini juga telah menjadikan mereka sebagai pemilih langsung (Ridwan, 2004). Pemilihan umum merupakan media dan mekanisme perlibatan rakyat dalam wilayah demokrasi untuk menentukan keputusan politik strategis, dimana suara setiap rakyat diwujudkan dalam bentuk hak pilih yang merupakan wujud kontrak sosial antara Negara dan rakyat sebagaimana Joanes Joko memberikan esensi penting pemilu yakni merupakan kontrak sosial antara mereka yang terpilih dengan rakyat banyak. Jangan sampai rakyat menjadi apatis terhadap pemilu dan menganggap pemilu hanya untuk sekedar memenuhi prosedur demokrasi.Apalagi jika pemilu sampai kehilangan eksistensi dimana pemilu diikuti bukan lagi atas dasar rasional, namun atas dorongan ideologis irasional. (Joko, 2004:6). Pemilu seperti itu tidak hanya terjadi di Indonesia. Sebagian mahasiswa universitas California pada tahun 1998 menyebutkan hanya 27 persen yang merasa penting untuk mengikuti masalah – masalah politik. Sementara mahasiswa di Inggris, menyebutkan hanya 60-75 persen ‘tidak tertarik’ atau ‘tidak terlalu tertarik’ dengan kegiatan politik.( Faulks, 2010:6). Berdasarkan data Pemilu 2004 dan 2009, tingkat partisipasi pemilih menunjukkan kecenderungan menurun. Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan pada Pemilu Legislatif 2004, dari sekitar 147 juta pemilih yang terdaftar, 23,37 persen tidak menggunakan hak pilih atau dikenal dengan istilah golongan putih (golput). Sedangkan pada Pemilu Legislatif 2009, dari sekitar 176
3
juta pemilih, 39,2 persen golput. Demikian juga saat Pilpres 2004, tercatat 23,34 persen golput dan meningkat menjadi 27,4 persen pada Pilpres 2009.(Berita Satu.com, Minggu 7 Juli 2013). Muncul kesan pada pemilihan umum (Pemilu) 2014, ketidakpercayaan publik terhadap moralitas elit politik justru meningkat.Hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap tingginya angka golput atau masyarakat yang tidak memilih. Berdasarkan survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada Juli 2013, terlihat bahwa 51,5 persen dari 1.200 responden tidak percaya dengan komitmen moral para elit politik. Hal ini, menunjukkan bahwa mayoritas publik di Indonesia tidak percaya dengan moral elit yang duduk di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.Jumlah tersebut, menurut Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Rully Akbar semakin meningkat setiap tahunnya. Terbukti, pada Tahun 2005, ketidakpercayaan publik terhadap moral elit tercatat 34,6 persen. Tahun 2009, ketidakpercayaan meningkat menjadi 39,6 persen. Kemudian, tahun 2013 ini menjadi 51,5 persen. Sehingga, bisa dilhat ketidakpercayaan publik terhadap komitmen moral para elit politik meningkat 17 persen. Dari data KPU diatas dapat dilihat peningkatan golput yang cukup besar. Pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya dalam pemilu meningkat dari tahun 2004 hanya 23,34 persen meningkat menjadi 27.4 persen dalam pemilu 2009. Publik atau rakyat sudah tidak percaya dengan moralitas elite politik yang ada di Negara ini. Hal ini membuat angka golput bertambah tinggi di setiap pemilu lima tahunan ini. Tingginya angka golput tidak hanya terjadi dalam pemilu legislatif dan presiden saja, tetapi dalam pemilu Kada di Indonesia angka Golput juga masih tinggi. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Tengah menyatakan sebanyak 12.165.373 pemilih yang masuk daftar pemilih tetap (DPT) tidak menggunakan hak suaranya pada Pemilihan Gubernur Jateng 2013. Jumlah tersebut jika diprosentasekan yakni sebanyak 44,27 persen. Sedangkan jumlah DPT pada pilgub 2013 mencapai 27.385.985. Jumlah pemilih yang sudah berpartisipasi
4
yakni 15.261.268 atau sebanyak 55,73 persen. Anggota Komisioner Divisi Sosialisasi KPU Jawa Tengah Andreas Pandiangan mengatakan, ketidakhadiran pemilih telah dibagi dalam tujuh kategori. Tertinggi yakni pada kategori lain-lain yang mencapai 48,46 persen. Berikutnya pada kategori merantau 32,64 persen, bekerja 15,81 persen dan kategori sekolah sebanyak 1,57 persen.(Kompas. Selasa, 4 Juni 2013). Tidak hanya dalam pemilu presiden dan legislatif saja terdapat orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Dalam Pemilu Kada Jateng 2013 juga terdapat 44,27 persen orang yang tidak menggunakan hak pilihnya. Dari angka 44,27 persen ketidakhadiran pemilih tertinggi ada pada kategori lain – lain 48,46 persen. Dalam hal ini terlihat jelas bahwa sebagian besar warga Jateng tidak menggunakan hak pilihnya dengan benar. Menurunnya partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah dikhawatirkan akan terjadi pada pemilu legislatif dan pemilu presiden 2014, terutama pada kalangan pemilih pemula. Berdasarkan prosentase tersebut diatas, pemilih pemula mempunyai porsi yang signifikan. Data yang di peroleh dari Komisi Pemilihan Umum pada Pemilu 2004, jumlah pemilih pemula sekitar 27 juta dari 147 juta pemilih, sedangkan pada Pemilu 2009 ada sekitar 36 juta pemilih pemula dari 171 juta pemilih. Data Badan Pusat Statistik tahun 2010 penduduk Indonesia usia 15-19 tahun adalah 20.871.086 orang, dan usia 20-24 tahun sebanyak 19.878.417 orang, dengan demikian diperkirakan jumlah pemilih muda tahun 2014 sebanyak 40.749.503 orang.( Kompasiana, 16 Juli 2013) Pemilih pemula adalah golongan penduduk usia 17 tahun hingga 21 tahun namun ada definisi yang lain yaitu pemilih pemula adalah mereka yang berstatus pelajar, mahasiswa, serta pekerja muda. Atau pemilih pemula ini adalah mereka yang baru akan mempunyai pengalaman pertama kali di dalam mencoblos pada pemilu 2014. Hal penting dari definisi di atas adalah menempatkan pemilih pemula sebagai pelajar, mahasiswa, serta pekerja muda. Bila di ringkas akan berbunyi : pemilih pemula adalah mereka yang berstatus sebagai pelajar, mahasiswa atau 5
pekerja muda yang berumur 17 tahun hingga 21 tahundan belum pernah ikut mencoblos dalam pemilu.Pemahaman ini senada dengan UU NO.10 tahun 2008 tentang pemilu menyebutkan bahwa warga Negara yang sudah berumur 17 tahun atau sudah menikah berhak ikut memilih (pasal 19 ayat 1).Pemilih pemula dengan karakteristiknya terpelajar, kritis, mandiri, fashionable, adaptable, dan cenderung mau belajar hal-hal baru. Menjelang pemilu Presiden 2014 media massa mulai gencar memberitakan hal – hal yang berkaitan dengan calon presiden dan calon wakil presiden pada pemilu 2014 mendatang. Media massa mempunyai peranan penting dalam hal untuk memberikan informasi dan juga memberikan pendidikan kepada masyarakat mengenai pemilu. Media massa, terutama suratkabar, majalah, radio, dan televisi pada umumnya diyakini merupakan bagian yang vital dalam sistem politik demokrasi. Dimana dalam era keterbukaan ini, media massa memainkan peran – peran yang penting, seperti memberikan informasi kepada khalayak mengenai berbagai isu penting, menyediakan diri sebagai forum untuk terselenggaranya debat publik, dan bertindak sebagai saluran untuk mengartikulasikan aspirasi – aspirasi. Televisi sebagai salah satu bagian dari media massa merupakan salah satu media yang paling luas dikonsumsi oleh masyarakat. Menurut Wirodono (2006:vii), perkembangan keberadaan televisi melampaui media massa lain, seperti media cetak: koran, majalah dan buku. Dari segi harga, meski tidak selalu dikatakan murah untuk sebagian besar masyarakat Indonesia, keinginan untuk memiliki televisi jauh lebih tinggi daripada keinginan untuk membeli buku bacaan. Televisi merupakan media yang banyak digemari masyarakat karena menyajikan hiburan secara audio maupun visual.Dan juga yang menjadi daya tarik sebuah televisi adalah kata – kata, musik dan juga sound efek inilah yang membuat televisi lebih unggul dari radio.Televisi menyajikan visual berupa gambar berupa gambar gerak atau hidup yang memberikan kesan mendalam bagi pemirsanya. Effendy dan Uchjana (2003 :177). Televisi sebuah kotak ajaib yang ditempatkan secara kusus di salah satu sudut ruang rumah tangga kita, barang kali adalah produksi kemajuan teknologi yang paling banyak memperoleh gelar,
6
televisi adalah anak ajaib industrialisasi yang dikandung oleh ibu modernitas (Subandy, 2007:126) Media televisi dapat menyatukan perhatian dan emosi berjuta-juta khalayak luas terutama pada moment yang sama. Jika suatu program acara disiarkan langsung, pada saat yang sama perhatian dan emosi khalayak dunia juga dipusatkan pada program acara tersebut (Siregar, 1995:100). Seperti yang dituturkan Morissan (2004:1), bagi banyak orang televisi adalah teman bahkan televisi menjadi cermin perilaku masyarakat dan televisi dapat menjadi candu, serta tidak dapat dipungkiri bahwa televisi telah menjadi kebutuhan primer dalam kehidupan masyarakat Indonesia.Media televisi tidak terbatas hanya sebagai media hiburan, tetapi juga berfungsi sebagai media informasi sekaligus alat social control. Berdasarkan uraian berbagai fenomena mengenai pemilih pemula dan bagaimana pengaruh media televisi terhadap kehidupan khalayak diatas, penulis dalam
penelitian
ini
ingin
melihat
bagaimana
peran
media
dalam
mempengaruhi perspektif dan sikap memilih pemilih pemula dalam pemilu 2014? 1.2.Rumusan Masalah Bagaimana Peran Media Dalam Mempengaruhi Perspektif dan Sikap Memilih Pemilih Pemula Dalam Pemilu 2014 ? 1.3.Tujuan Penelitian Menggambarkan peran media massa terhadap perspektif dan sikap pemilih pemula 1.4.Manfaat penelitian 1.4.1. Manfaat secara teoritis a. Memperluas kajian ilmu komunikasi dalam masalah pemahaman politik pemilih pemula. b. Menjadi reverensi penelitian – penelitian berikutnya yang relevan
7
1.4.2. Manfaat secara praktis. a. Memberikan
reverensi
kepada
pemerintah
mengenai
perlunya
pemahaman politik pemilih pemula supaya tercipta pemilu yang LUBER dan JURDIL
8