BAB I PENDAHULUAN Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Rabbmu lah yang Maha Mulia. Yang mengajar (Manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al Alaq: 1-5)
1.1 Latar Belakang Masalah Studi tentang Surabaya Kota Literasi (SKL) belum pernah dilakukan, meskipun program ini telah berjalan lebih dari satu tahun sejak dideklarasikan. Pemahaman masyarakat Surabaya, dalam hal ini sebagai obyek (sasaran) dari program kota literasi juga tidak begitu menggembirakan. Sejatinya, program ini termasuk program inovatif dari Pemerintah Kota
Surabaya dalam upaya
pengembangan sumber daya manusia warganya. Namun kekurangpahaman warga Surabaya tentang program tersebut perlu dikaji lebih mendalam, sebab sebagai sasaran program Surabaya Kota Literasi, masyarakat seharusnya turut berperan aktif dalam mendukung dan mensuksekan program tersebut. Hal ini yang mendorong peneliti untuk mengkaji tentang Surabaya Kota Literasi (SKL) dari berbagai sudut pandang. Dengan menggunakan analisa wacana sebagai pisau analisa, maka diharapkan akan tersaring data (informasi) yang obyektif tentang konsep dasar Surabaya Kota Literasi yang telah dicanangkan. Pemerintah Kota Surabaya mendeklarasikan diri sebagai Kota Literasi bersamaan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2014 di
1
halaman Taman Surya Balai Kota Surabaya. Acara tersebut dihadiri oleh perwakilan siswa-siswi sekolah, dari tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas/Kejuruan (SMA/K) serta Forum Pimpinan Daerah (Forpinda) Kota Surabaya. Menurut Walikota Surabaya Tri Rismaharini yang dikutip dari www.antaranews.com menyatakan bahwa tujuan dari deklarasi Surabaya Kota Literasi adalah sebagai upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia warga Surabaya, berikut kutipan pernyataan Walikota Surabaya: "Perwujudan kota literasi juga menjadi bagian dari komitmen saya untuk tidak hanya fokus dalam membangun infrastruktur, tetapi juga fokus pada indeks pembangunan manusia di Surabaya." Ada 3 (tiga) poin penting yang dibacakan para siswa dalam deklarasi tersebut, yaitu siap menyukseskan Surabaya sebagai kota literasi, siap melakukan kegiatan literasi dengan membaca dan menulis setiap hari di sekolah, serta siap belajar tekun dan sungguh-sungguh demi kemajuan bangsa. Setelah acara pembacaan poin deklarasi tersebut Walikota Tri Rismaharini didampingi Forpinda Kota Surabaya melakukan penandatanganan prasasti Surabaya Kota Literasi. Berikut adalah gambar prasasti Surabaya Kota Literasi :
Gambar 1.1 Prasasti Surabaya Kota Literasi Sumber: Foto Pribadi 2
Kesadaran akan pentingnya membaca bagi masyarakat khususnya anakanak menjadi ruh perjuangan dari gerakan Surabaya Kota Literasi yang telah dicanangkan oleh pemeintah kota Surabaya. Kesadaran ini berasal dari pengalaman pribadi walikota Surabaya yang gemar membaca dan disampaikan pada pidatonya saat membuka acara “Satu Tahun Surabaya Kota Literasi” di taman flora Surabaya, 12 juni 2015 berikut ini: “Bapak Ibu sekalian, membaca itu sangat penting dan bermanfaat. Kalau tidak percaya, saya contohkan diri saya saja. Saya ini produk dari sebuah buku, sejak kecil saya sangat senang membaca buku, buku apapun itu. Apa dampaknya bagi saya, selain saya ini bisa lebih konsentrasi, saya akan bisa mencari solusi apapun di setiap permasalahan, kalau tidak percaya silahkan di tes, saya bisa mencari jalan keluar jika satu jalan ini ditutup, dan seterusnya. Maka saya harapkan anak-anak kita juga bisa demikian, bisa lebih cerdas, kreatif, dan inovatif. Karena itu saya sarankan pada kepala Barpus untuk membuka perpustakaan-perpustakaan kecil di sekitar lingkungan warga, agar mereka lebih mudah memanfaatkannya.” Kesadaran walikota Surabaya tersebut yang mengawali pendirian TBM dan pendampingan perpustakaan sekolah di Surabaya. Sejalan dengan kesadaran tersebut kisah Tragedi Nol Buku yang disebut oleh Taufik Ismail sebagai tragedi pendidikan di Indonesia. Dalam penelitiannya tentang kewajiban membaca buku sastra di tingkat SMA di 13 Negara pada 1997. Berikut adalah tabel jumlah buku sastra yang wajib dibaca selama bersekolah di SMA yang bersangkutan (Dharma, 2015 hal. 37-38):
3
Tabel 1.1 Buku Sastra Wajib di SMA 13 Negara No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Negara
Buku
Nama SMA/Kota Thailand 5 Judul Narathiwat Malaysia 6 Judul Kuala Kangsat Singapura 6 Judul Stamford College Brunei Darussalam 7 Judul SM Melayu I Rusia Sovyet 12 Judul Uva Kanada 13 Judul Canterbury Jepang 15 Judul Urawa Swiss 15 Judul Jenewa Jerman Barat 22 Judul Wane-Eickel Perancis 30 Judul Pontoise Belanda 30 Judul Middleberg Amerika Serikat 32 Judul Forest Hills Hindia Belanda A 25 Judul Yogyakarta Hindia Belanda B 15 Judul Malang Indonesia 0 Judul Dimana saja Sumber: Dharma, Satria (2015:38)
Tahun Wjib 1986-1991 1976-1980 1982-1983 1966-1969 1980-an 1992-1994 1969-1972 1991-1994 1966-1975 1967-1970 1970-1973 1987-1989 1939-1942 1929-1932 1943-2005
Sebagai catatan, angka tesebut berlaku untuk SMA Responden (bukan nasional) dan pada tahun-tahun mereka bersekolah di sana (bukan permanen). Tetapi sebagai pemotretan sesaat, angka perbandingan di atas cukup layak untuk direnungkan bersama. Apabila buku sastra (1) tak disebut di kurikulum (2) di baca Cuma ringkasannya (3) siswa tidak menulis mengenainya (4) tidak ada diperpustakaan sekolah (5) tidak diujikan, dianggap nol. Di sisi lainnya, kesadaran tersebut terpupuk dalam “perintah pertama” dari agama islam, karena mayoritas agama yang dipeluk warga Surabaya dan di Indonesia adalah islam. Perintah pertama tersebut dijelaskan dalam Al-Quran Surah Al-Alaq (ayat 1-5), sebagai berikut:
4
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Rabbmu lah yang Maha Mulia. Yang mengajar (Manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al Alaq: 1-5)
Perintah pertama yang dimaksud adalah membaca, maka membaca bukan sebuah sunah atau anjuran tetapi bersifat wajib seperti ibadah umat muslim lainnya (sholat, puasa, zakat, dan lainnya). Oleh sebab itu keinginan Pemerintah Kota Surabaya agar warganya gemar membaca semakin kuat dan didukung oleh alasanalasan logis di atas. Melalui pencanangan program Surabaya Kota Literasi dengan harapan meningkatkan kualitas pengetahuan dan bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari. Deklarasi Surabaya Kota Literasi didasari oleh keberhasilan Pemerintah Kota Surabaya melalui Barpus kota Surabaya dalam mendirikan TBM (Taman Bacaan Masyarakat) di seluruh pelosok kota, baik di ruang publik (taman kota, terminal, dan lainnya)
maupun di tingkat RT/RW dan kelurahan serta
pendampingan perpustakaan sekolah yang ada di Surabaya. Jumlah titik layanan yang
ada
saat
deklarasi
kota
literasi
(2014)
berjumlah
972
buah
(www.antaranews.com). Saat ini (2015) jumlahnya telah bertambah menjadi 1008 titik layanan yang menyebar di seluruh kawasan kota (Data Barpus Kota Surabaya). Keberadaan TBM di tengah-tengah warga Surabaya tidak sekedar fasilitas fisik yang Pemerintah Kota berikan untuk mengembangkan minat baca warganya, tetapi lebih dari itu terdapat berbagai program kerja yang dapat memberikan stimulus agar warga di sekitar TBM khususnya anak-anak datang
5
untuk berkunjung, misalnya kegiatan story telling, jam bimbingan belajar, club membaca, wisata buku, permainan tradisional, dan lainnya. Terlaksananya program-program tersebut menjadi tanggung jawab penuh petugas TBM. Barpus kota Surabaya juga memberikan evaluasi kinerja petugas TBM setiap bulan. Terdapat sanksi ketika petugas TBM tidak menjalankan tugasnya dengan baik di lapangan, sanksi yang dijatuhkan mulai dari surat peringatan hingga pemecatan. Berikut adalah foto dari beberapa kegiatan di TBM Surabaya:
Gambar 1.2 Siswa SD bermain dan belajar di TBM kelurahan Wonorejo Sumber: Foto Pribadi Program Surabaya Kota Literasi ini tidak hanya bertumpu pada Barpus kota Surabaya, tetapi telah menjadi tanggung jawab bersama seluruh jajaran Satuan Kerja Pemerintah Dinas (SKPD) di Surabaya. Karena program tersebut merupakan program bersama dengan instruksi khusus dari walikota Surabaya. Hal inilah yang menjadi salah satu unggulan dari program Surabaya Kota Literasi, bahwa gerakan program yang dicanangkan terstruktur, sistematis, dan massif. Selain Barpus kota Surabaya yang bertugas dalam menyediakan sarana baca dan program stimulus agar masyarakat gemar membaca, SKPD yang berperan aktif dalam program ini adalah Dinas Pendidikan kota Surabaya. Dalam program
6
Surabaya Kota Literasi, Dinas Pendidikan Kota Surabaya berperan aktif dalam instruksi ke sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta, mulai dari SD, SMP, SMA, dan SMK yang ada di Surabaya. Program kerja dinas pendidikan kota Surabaya antara lain, Kurikulum Wajib Baca (KWB), tantangan membaca, dan One Child One Book (OCOB). Kurikulum wajib baca adalah program dimana sekolah menerapkan wajib baca 15 menit di sekolah, baik sebelum jam pelajaran maupun sebelum istirahat pertama (pelaksanaan sesuai dengan kebijakan sekolah), genre buku yang dibaca bebas sesuai kehendak siswa dan harus diresensi setelah selesai membacanya. Program one child one book merupakan program dimana satu anak (siswa) memiliki satu buku di rumah dan di sekolah, Oleh karena itu perlu dukungan dari orang tua untuk membelikan buku pada anak. Buku yang telah dibaca bisa disumbangkan ke sudut baca di kelas atau ke perpustakaan sekolah. Sehingga koleksi perpustakaan sekolah dapat bertambah secara massif per tahun. Selanjutnya, program tantangan membaca 1 juta buku hingga akhir tahun (desember 2015), program ini mewajibkan 1 anak membaca dan meresensi buku selama liburan semester (junijuli 2015). Untuk siswa tingkat SD diwajibkan 20 – 30 buku, sedangkan siswa SMP 15 – 20 buku, dan siswa SMA/K membaca 10 – 15 buku. Siswa yang dapat memenuhi target tersebut akan mendapatkan reward berupa sertifikat yang ditandatangani oleh walikota Surabaya. Di akhir tahun sekolah juga ditantang untuk menerbitkan satu buku karya terbaik siswa maupun kumpulan tulisan terbaik dari para siswa dan guru. Ketiga program ini dimaksudkan untuk
7
membiasakan siswa membaca sehingga lambat laun akan menjadi habit (kebiasaan) dan membudaya.
Gambar 1.3. Hasil resensi siswa dalam tantangan membaca 2015 Sumber : Foto Pribadi Program Surabaya Kota Literasi ditujukan untuk peserta didik di Surabaya, dikarenakan program ini akan berjalan jika targetnya jalas. Tingkat sekolah yang menjadi prioritas saat ini adalah sekolah dasar (SD) karena di tingkat inilah anak dalam katagori golden age berada. Pada usia anak tersebut lebih mudah untuk menanamkan pendidikan dasar khususnya kegemaran membaca. Sehingga dapat menjadi investasi intelektual Surabaya di masa datang. Oleh sebab itu pendampingan pengelolaan perpustakaan sekolah dasar sudah hampir mencapai 100% dari jumlah sekolah yang ada. Saat ini Barpus kota Surabaya akan mengupayakan untuk masuk ke sekolah-sokalah islam (Madarasah Ibtidaiyah) dan Pondok pesantren yang ada di Surabaya. Program Surabaya Kota Literasi yang dicanangkan oleh Pemerintah Kota Surabaya merupakan suatu program inovatif dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia warga Surabaya. Sumber daya manusia berkualitas berbasis 8
pengetahuan akan diperoleh melalui minat baca yang tinggi, oleh sebab itu membaca menjadi langkah awal dalam mencapai tujuan mulia tersebut. Tentunya disertai dengan pemahaman akan manfaat membaca, pemilihan bahan bacaan yang sesuai dengan kesenangan anak. Meyakinkan kepada masyarakat bahwa membaca bukanlah kegiatan yang membebani, sebaliknya membaca adalah kegiatan yang menyenangkan karena ada sejumlah “nilai lebih” yang dapat dipetik dari kegiatan membaca itu. Dalam konteks ini, pemerintah perlu memahami apa yang disebut Adorno sebagai ersatz, yaitu “nilai pakai kedua” dari sebuah produk yang ditawarkan. Semua orang niscaya sudah seringkali mendengar bahwa dengan membaca wawasan mereka bakal bertambah. Tetapi barangkali tidak semua siswa paham bahwa dibalik aktivitas membaca yang kelihatannya melelahkan dan jauh tidak menarik itu ternyata memiliki nilai plus yang lain: menghibur, menaikan status sosial, bisa menjadi modal atau investasi seseorang memasuki dunia pergaulan yang lebih luas, bisa dijadikan sarana untuk mencuri perhatian guru dan orang tua, dan sebagainya. Pendek kata, kegiatan membaca seyogyanya tidak hanya dikaitkan dengan kegiatan akademik, tetapi membaca sesungguhnya adalah bagian dari life style (Sugihartati, 2010 hal. 229). Permasalahannya adalah adanya ketidakpahaman masyarakat sebagai obyek atau sasaran dari program Surabaya Kota Literasi khususnya mereka yang masih berstatus pelajar. Hal tersebut tampak pada mayoritas jawaban informan dari kelompok masyarakat, bahwa mereka tidak tahu program Surabaya Kota Literasi. Pun tahu tentang kota literasi atau setidaknya pernah mendengar, yang ditangkap adalah program wajib baca atau program tantangan membaca.
9
Sedangkan untuk pemanfaatan TBM yang ada disekitar tempat tinggal juga jarang dilakukan. Mereka lebih memilih perpustakaan umum atau perpustakaan sekolah dan toko buku untuk memperoleh bahan bacaan. Berikut adalah tabel informan tentang mengenai tanggapan terhadap program Surabaya Kota Literasi. Tabel 1.2 Tanggapan Masyarakat terhadap Surabaya Kota Literasi No.
Informan
Sekolah/ Pekerjaan
Jenis Kelamin
1.
B.1 1
Siswa Swata
SD
Lk
2.
B.1 2
Siswa Negeri
SD
Lk
3.
B.1 3
Siswa Negeri
SD
Pr
4.
B.2 1
Siswa SMP Swasta
Pr
5.
B.2 2
Siswa SMP Negeri
Pr
Tanggapan terhadap Kota Literasi Tidak tahu tentang Surabaya Kota Literasi. Di sekolah sudah ada wajib baca 3 tahun yang lalu. Tidak tahu tentang Surabaya Kota Literasi. tidak ada wajib baca, tidak ada tantangan membaca. Tidak tahu kota literasi, di suruh membaca tiap hari senin dan kamis, serta di sekolah ada sudut baca di kelas. Tidak tahu tentang Surabaya Kota Literasi.di sekolah tidak tahu tentang wajib baca dan tantangan membaca. Pernah dikasih tahu pustakawan sekolah Kota literasi itu yang disuruh baca-baca. Ada sudut baca di kelas. Ada wajib baca 15 menit sebelum jam pelajaran. Tantangan membaca disuruh baca dan resensi 15 novel.
Tanggapan terhadap TBM Ada TBM di sekitar rumah tetapi tidak pernah ke sana karena bukunya sedikit.
Ada TBM tetapi tidak pernah ke sana.
Ada TBM di balai RW, sering main ke sana bersama temanteman sekolah.
Ada TBM di sekitar rumah, belum pernah mencoba datang ke sana.
Tahu ada TBM di kelurahan, tapi tidak pernah ke sana.
10
6.
B.2.3
Siswa SMP Negeri
Lk
7.
B.3 1
Siswa SMA Negeri
Pr
8.
B.4 1
Siswa SMK Negeri
Lk
9.
B. 4 2
Siswa SMK Swasta
Lk
10.
B. 4 3
Siswa SMK Swasta
Lk
11.
B.5 1
Ibu RT
Pr
12.
B.5 2
Ibu RT
Pr
13.
B.5 3
Pedagang
Lk
14.
B.5 4
Ibu RT
Pr
15.
B.5 5
Ibu RT
Pr
16.
B.5 6
Pensiun PNS
Lk
Kota literasi ada tugas membaca dari guru, baca buku apapun 20 buku selama liburan Kota literasi itu ada tantangan membaca untuk liburan sekolah semester ini. Tahu kota literasi dari banner di sekolah, untuk mencerdaskan siswa sekolah dengan membaca Tidak tahu kota literasi, tidak ada wajib baca, tidak ada tantangan membaca Tidak tahu kota literasi, tidak ada wajib baca, tidak ada tantangan membaca Pernah dengar, tetapi tidak tahu itu apa. Kota literasi itu kota masyarakatnya suka membaca, karena pemerintah membuat banyak perpustakaan dan perpustakaan baru. Tidak tahu kota literasi Tahu dari koran, banyak TBM Tahu dari anak, kota literasi disuruh baca banyak buku di sekolah Tahu kota literasi untuk mencerdaskan anak di Surabaya dengan gemar membaca
Pernah ke TBM sekali kelurahna, tetapi koleksinya tidak banyak. Banyak anak SD. Tidak tahu ada TBM.
Pernah ke TBM di sekitar sekolah, dua kali. Biasa saja.
Tidak pernah ke TBM
Ada TBM di dekat rumah, belum pernah ke sana, karena banyak anak kecil. Ada TBM tetapi tidak pernah ke sana. Ada TBM di dekat rumah, sering berkunjung.
Ada TBM di tingkat RW Ada TBM, sering berkunjung, TBM bagus Ada TBM, berkunjung 1-2 kali seminggu. TBM nya bagus Ada banyak TBM di Surabaya, semua bagus. Jarang berkunjung.
11
Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa rerata masyarakat tidak mengetahui tentang apa yang dimaksud dengan program Surabaya Kota Literasi, apalagi tujuan yang hendak dicapai dari program ini. Masyarakat yang tahu atau lebih tepatnya pernah mendengan tentang Surabaya Kota Literasi ini menganggap bahwa Surabaya Kota Literasi adalah banyak TBM di Surabaya atau ada tantangan membaca dan program wajib baca 15 menit di sekolah. Sehingga dapat diketahui sementara bahwa masyarakat belum memahami tentang program Surabaya Kota Literasi yang telah dicanangkan Pemerintah Kota
Surabaya
selama satu tahun berjalan. Masyarakat yang menjadi informan peneliti dalam kapasitasnya sebagai obyek/sasaran dari program Surabaya Kota Literasi adalah mereka yang dipilih secara acak dengan ketentuan yang telah ditetapkan yaitu mereka yang berkunjung ke perpustakaan kota Surabaya baik yang terletak di gedung Balai Pemuda Surabaya maupun di kantor pusat Rungkut Asri Surabaya, serta para siswa yang sedang memanfaatkan layanan perpustakaan sekolah. Dengan mewawancarai masyarakat yang berkunjung ke perpustakaan, masyarakat tersebut dianggap lebih tahu dan paham karena mengenal dunia perpustakaan dan buku, dibanding masyarakat yang berada di luar perpustakaan. Pencarian data (wawancara) dihentikan pada jumlah 15 orang karena telah berada pada titik jenuh, yaitu jawaban yang sama dan berulang-ulang. Hal tersebut menggambarkan adanya problematika sosial, dimana obyek/sasaran tidak mengetahui program yang telah dicanangkan. Pun mengetahui, hanya sebatas bentuk kegiatannya. Oleh sebab itu perlu adanya 12
kajian mendalam tentang fenomena ini, bahwa seharusnya masyarakat mendapatkan informasi sejelas mungkin tentang program Surabaya Kota Literasi, yaitu tentang apa yang dimaksud dengan program Surabaya Kota Literasi, bagaimana langkah strategis untuk mewujudkannya, dan mengapa Surabaya Kota Literasi harus dicanangkan. Apabila masyarakat sebagai sasaran kota literasi ini paham tentang maksud dan tujuannya, kemudian mengetahui apa saja yang harus dilakukan untuk dapat mewujudkan Surabaya Kota Literasi, niscaya Pemerintah Kota Surabaya tidak memerlukan waktu yang lama untuk menjadikan kota Surabaya sebagai kota literasi di Indonesia. Sebaliknya, jika masyarakat hanya sekedar tahu tentang programnya (kulitnya), tanpa mengetahui lebih mendalam tentang maksud dan tujuan yang terkandung dalam Surabaya Kota Literasi, maka hari ini yang terlihat hanya sekedar antusiasme dari masyarakat untuk berkunjung ke perpustakaan dan memanfaatkan layananannya, namun tidak menumbuhkan kesadaran tentang berbudaya literasi. Terlebih program ini adalah inisiasi dari Pemerintah Kota
Surabaya dimana memungkinkan pergantian pemerintahan
(walikota) dan perubahan kebijakan, tidak menutup kemungkinan kebijakan tentang Surabaya Kota Literasi. Sedangkan prilaku gemar membaca tidak dapat dinilai dalam waktu yang singkat, bahkan perlu berabad-abad seperti Negara Jerman tepatnya di kota Leipzeiq yang dikenal dengan sebutan kotanya para pembaca. Sehingga untuk menjaga keberlangsungan program ini berjalan dari masa ke masa diperlukan dukungan dari tingkat grass root yaitu masyarakat itu sendiri.
13
Penyebab dari ketidakpahaman masyarakat akan program Surabaya Kota Literasi ini perlu digali dan dianalisa, agar memperoleh data komprehensif terkait solusi yang bisa direkomendasikan. Oleh sebab itu perlu adanya analisis data dari berbagai sudut pandang. Pertama, dari sisi Pemerintah Kota Surabaya sebagai inisiator dan pelaksana program Surabaya Kota Literasi. Kedua, dari sudut pandang masyarakat (sasaran program) baik siswa maupun masyarakat umum dengan kualifikasi yang sudah ditetapkan, serta masyarakat yang memiliki pengalaman dan pengetahuan mengenaik literasi. Ketiga pandangan tersebut dapat dianalisa dengan menggunakan metode analisis wacana kritis, yaitu wacana dalam konteks intertektualitas, kedua analisa tentang produksi dan konsumsi wacana, dan ketiga analisa relasi kuasa dalam wacana. Bertujuan untuk mempertajam analisa digunakan pendekatan teoritik dari konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara dan pembelajaran sosial Albert Bandura, karena program kerja dari Surabaya Kota Literasi berbasis pendidikan formal yaitu melalui dinas pendidikan dan peningkatan minat baca melalui perpustakaan. Selain itu juga bertujuan untuk memperkaya analisa data akan digunakan pendekatan relasi kuasa dalam program Surabaya Kota Literasi serta konsep kemajuan alternatif, yang dapat digunakan sebagai pijakan untuk mengetahui perubahan sosial budaya yang terjadi di masyarakat. Ketiga sudut pandang ini dapat dikaji agar diperoleh analisa kritis demi kesempurnaan program yang memiliki tujuan mulia yaitu pengembangan sumber daya manusia berbasis pengetahuan.
14
Studi dengan menggunakan metode analisis wacana kritis telah banyak dilakukan dan berkembang cukup pesat di Indonesia. Metode analisis wacana banyak digunakan dalam mengkaji teks (tulis maupun lisan) dengan kaidahkaidah bahasa (linguistic), sehingga tidak hanya bertumpu pada makna tetapi juga berdasarkan beberapa elemen seperti, tematik, skematik, semantik, sintaksis, stilistik, dan retoris (Teun A. Van Dijk, dalam Eriyanto 2001, hal.228-229). Dalam perkembangannya analisis wacana tidak sekedar mengkaji teks, menurut Michel Foucault, dalam Eriyanto (2001, hal. 65), wacana adalah sesuatu yang memproduksi yang lain (sebuah gagasan, konsep, atau efek). Wacana dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak. Terdapat tiga paradigma analisa wacana yang dikemukakan oleh A.S. Hikam dalam Yudi Latif dan Idy Subandi (1996, hal. 78-86) dalam Eriyanto (2001, hal. 4-6). Paradigma pertama adalah positivisme-empiris, yaitu aliran yang memandang bahasa sebagai jembatan antara manusia dan objek diluar dirinya. Kedua, paradigma konstruktivisme yang menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya, Hal ini bertolak belakang dengan aliran positivisme-empirisme yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Ketiga disebut paradigma kritis, dimana paradigma ini ingin mengkoreksi pandangan konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi maupun reproduksi makna yang terjadi secara historis atau institusional. Paradigma konstruktivisme dinilai belum mencakup analisa faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan
15
dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut perilakunya. Hal inilah yang melahirkan paradigma kritis (Critical Dicourse Analysis). Analisa wacana kritis tidak dipusatkan pada kebenaran atau ketidakbenaran struktur dan tata bahasa maupun proses penafsiran. Tetapi paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Adanya relasi kuasa dalam bahasa yang digunakan dalam membentuk sebuah wacana. Dalam studi ini peneliti akan menggunakan metode analisa wacana kritis (Critical Dicourse Analysis) menurut Norman Fairchlough dalam mengkaji “Surabaya Kota Literasi” yang telah dicanangkan Pemerintah Kota Surabaya. Studi ini tidak hanya didasarkan pada tekstual, tetapi lebih pada praktik kewacanaan, juga menekankan peran aktif wacana dalam mengkonstruk dunia sosial (praktik sosial). Bidang utama yang menarik dalam analisis wacana kritis adalah penyelidikan terhadap perubahan (Norman Fairclough, dalam Marianne W.J dan Louise J.P, 2010 hal. 13). Maka dengan menggunakan analisis wacana kritis Norman Fairclough diharapakan akan dapat mendeteksi perubahan yang ada di masyarakat Surabaya (dalam konteks literasi) yang disebabkan oleh praktik program Surabaya Kota Literasi. Di Indonesia belum pernah ada penelitian yang mengkaji tentang “Surabaya Kota Literasi” baik secara teks maupun konteks meskipun program ini telah berjalan lebih dari satu tahun. Selain merupakan hal baru dalam kacamata keilmuan informasi dan perpustakaan, “Surabaya Kota Literasi” layak untuk dikaji karena merupakan program inovatif yang dirancang untuk mengembangkan
16
potensi sumber daya manusia warga Surabaya. Sehingga studi ini tidak hanya syarat nilai teoritis namun juga berimplikasi praktis.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan tiga pertanyaan penelitian berdasarkan pendekatan Analisis Wacana Kritis (Analisis Intertekstualitas, Analisis Praktik Kewacanaan, dan Analisis Praktik Sosiokultural) Norman Fairclough, sebagai berikut: 1. Mengapa mayoritas masyarakat kota Surabaya tidak memahami apa yang dimaksud dengan progam Surabaya Kota Literasi? 2. Bagaimana program kerja dan antusias masyarakat kota Surabaya dalam program Surabaya Kota Literasi? 3.
Bagaimana perubahan sosial budaya yang terjadi di masyarakat kota Surabaya dari pencanangan program Surabaya Kota Literasi?
Dari pertanyaan penelitian tersebut akan dikaji lebih mendalam mengenai beberapa poin penting antara lain: a. Penyebab dari ketidak-pahaman masyarakat dapat diketahui dengan menggunakan analisa intertekstualitas yaitu “pertarungan” wacana antara pemerintah dan masyarakat. Wacana tentang “teks” Surabaya Kota Literasi yang digulirkan oleh Pemerintah Kota Surabaya dengan wacana dari masyarakat yang memiliki pemahaman secara teoritis dan pengalaman
17
langsung tentang literasi. Dalam analisa Intertektualitas ini akan ditengahi oleh konsep literasi Empowering Eight, sehingga akan menghasilkan kajian yang obyektif secara teoritis. b. Program kerja (terjemahan teknis) dari program Surabaya Kota Literasi merupakan “produksi teks” dimana kegiatan tersebut merupakan strategi dalam mewacanakan Surabaya Kota Literasi, sedangkan antusias masyarakat (sasaran) merupakan bentuk dari “konsumsi teks” dari program Surabaya Kota Literasi. Proses produksi teks dan konsumsi teks akan ditelaah dalam analisa praktik kewacanaan, yaitu praktik yang menyebabkan wacana itu berkembang dan direspon (diterima atau ditolak) oleh masyarakat dalam konteks kewacanaan. Dalam proses analisa praktik kewacanaan terdapat praktik kuasa yang menjadikan program Surabaya Kota Literasi dapat berjalan, oleh sebab itu dalam analisa akan dipertajam dengan teori relasi kuasa Michel Foucault. Selain itu karena dalam analisa ini membahas program kerja, dimana program tersebut bertumpu pada pendidikan dalam pengembangan minat baca, maka akan diperkaya dengan pembahasan konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan konsep social learning Albert Bandura. c.
Perubahan
sosial
budaya
dari
masyarakat
kota
Surabaya
atas
dicanangkannya program Surabaya Kota Literasi dapat dikaji melalui pendekatan
wacana
kritis
dimensi
ketiga
yaitu
analisa
praktik
sosiokultural, dimana dalam proses ini menghubungkan teks di luar konteks, yaitu sejauhmana dampak (perubahan) yang terjadi dalam
18
masyarakat atas dicanangkannya Surabaya Kota Literasi. Dalam analisa ini terdapat konteks kebermanfaatan program, sehingga untuk mempertajam analisa akan digunakan teori kemajuan alternatif, sebagai upaya pendorong proses sosial dalam perubahan (kemajuan).
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi
permasalahan
yang
menyebabkan
ketidak-pahaman
masyarakat terhadap “teks” Surabaya Kota Literasi melalui analisa intertekstualitas 2. Memahami praktik kewacanaan dari program Surabaya Kota Literasi yaitu dalam proses produksi dan konsumsi, dalam proses ini dapat diketahui wacana yang bergulir melalui program yang dijalankan dan mengkaji program kerja (terjemahan teknis) dalam perspektif teoritis sehingga dapat diperoleh hasil yang komprehensif untuk rekomendasi teknis 3. Mengetahui perubahan sosial budaya yang terjadi dalam masyarakat melalui analisa praktik sosialkultural, sehingga dapat diketahui sejauhmana kebermanfaatan program Surabaya Kota Literasi, serta diharapkan dapat mempercepat tercapai tujuan dan menjaga keberlangsungan dari program Surabaya Kota Literasi.
19
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang ingin diperoleh dari kegiatan penelitian ini terdiri dari manfaat teoritis dan praktis, berikut pemaparannya: 1.4.1
Manfaat Teoritis Dengan penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan akademis untuk penambahan varian kajian dan terminologi baru tentang Surabaya Kota Literasi khususnya dalam perspektif analisis wacana kritis. Selama ini studi yang berkembang dalam perspektif analisis wacana kritis adalah pemaknaan teks-teks tertulis khususnya dalam media maupun buku. Namun belum pernah ada penelitian dengan menggunakan analisis wacana kritis melalui teks tuturan, dan mengkaji tentang Surabaya Kota Literasi di Indonesia.
1.4.2
Manfaat Praktis Dengan penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran menerapkan
dan
rekomendasi
program
kepada
Surabaya
Kota
pemangku
kebijakan
dalam
Literasi,
sehingga
tujuan
meningkatkan kualitas sumber daya manusia berbasis pengetahuan terwujud dalam masyarakat Surabaya. Selain itu juga dapat memberikan manfaat pada pihak yang berada di lingkungan pendidikan dalam mengembangkan budaya literasi khususnya anak di Surabaya, serta memberikan pemahaman kepada masyarakat luas akan pentingnya membaca melalui program Surabaya Kota Literasi.
20
1.5 Kajian Teoritik Penelitian Surabaya Kota Literasi dalam perspektif Analisis Wacana Kritis yang memposisikan teori sebagai pisau analisa dan mempertajam dalam proses analisis data. Berbeda dengan penelitian kuantitatif yang menjadikan teori sebagai dasar (tubuh penelitian) dan untuk diuji. Dalam penelitian ini terdapat beberapa kajian teoritik yang digunakan dalam mempertajam analisa di lapangan. Berikut adalah kajian teoritik yang digunakan dalam penelitia ini; Literasi Program Surabaya Kota Literasi telah dicanangkan dan berjalan lancar lebih dari satu tahun. Namun ada ketidak-pahaman masyarakat terhadap arti kata “literasi” di tengah masyarakat. Meskipun kata literasi telah ada bertahu-tahun yang lalu, namun kata tersebut masih belum familiar pada masyarakat awam. Banyak dari masyarakat mengasumsikan bahwa literasi adalah membaca, hal tersebut dikarenakan definisi literasi menurut kamus Oxford (2005) adalah kegiatan membaca, menulis, dan berhitung. Kata literasi juga tidak ada dalam kamus bahasa Indonesia sebagai turunan, yang ada adalah literatur. Ada pula pergeseran makna dalam mengartikan literasi sebagai “melek aksara”, oleh karena itu literasi dapat digabung dengan kata lainnya sehingga membentuk frase baru misalnya literasi iniformasi, literasi media, literasi teknologi, dan sebagainya. Mayoritas masyarakat memhami yang disebut sebagai melek aksara adalah mereka yang telah mengenal huruf dan identik dengan kemampuan membaca, namun definisi tidak terbatas dalam arti sempit demikian,
21
seperti yang disampaikan tentang melek aksara menurut Kalida dan Mursyid (2014, hal.103) berikut ini: “melek aksara bukan hanya sebatas mampu membaca, menulis, dan berhitung, tetapi juga mampu memanfaatkan sebagai alat komunikasi, menyampaikan ide dan gagasan kepada orang lain untuk meningkatkan kualitas hidup seseorang” Sejalan dengan definisi literasi menurut Unesco, yaitu: “Literacy as the ability to identify, understand, interpret, create, communicate and compute, using printed and written materials associated with variying contexts. Literasi involves a continuum of learning in enabling individuals to achieve their goals, to develop their knowledge and potential, and to participate fully in their community and wider society.” Keduanya memberikan definisi bahwa literasi memiliki makna yang luas sebuah kemampuan individu. Literasi dianggap penting oleh para ahli, karena dengan memiliki kemampuan memanfaatkan informasi (pengetahuan) dalam keseharian, kualitas hidup seseorang akan menjadi lebih baik. Dalam International Workshop on Information Skill for learning di Colombo, Srilangka tahun 2004 ini dihadiri oleh 10 negara, yaitu Bangladesh, India, Indonesia, Maldiva, Malaysia, Nepal, Pakistan, Singapore, Sri Lanka, Muangthai, dan Vietnam, sedangkan workshop kedua diselenggarakan di Patiala India november 2005. Tujuannya ialah mengembangkan model literasi informasi yang akan digunakan untuk negara-negara Asia Tenggara dan Selatan. Model yang dikembangkan disebut Empowering Eight atau E8 karena mencakup 8 komponen menemukan dan menggunakan informasi dalam memecahkan masalah di kehidupan sehari-hari..
22
Empowering 8 menggunakan pendekatan pemecahan masalah untuk resource-based learning. Menurut model ini, literasi informasi terdiri dari kemampuan untuk: 1. Identifikasi topik/subyek, sasaran audiens, format yang relevan, jenis-jenis sumber. 2. Eksplorasi sumber dan informasi yang sesuai dengan topik. 3. Seleksi dan merekam informasi yang relevan, dan mengumpulkan kutipankutipan yang sesuai. 4. Organisasi, evaluasi dan menyusun informasi menurut susunan yang logis, membedakan antara fakta dan pendapat, dan menggunakan alat bantu visual untuk membandingkan dan mengkontraskan informasi. 5. Penciptaan informasi dengan menggunakan kata-kata sendiri, edit, dan pembuatan daftar pustaka. 6. Presentasi, penyebaran atau display informasi yang dihasilkan. 7. Penilaian output, berdasarkan masukan dari orang lain. 8. Penerapan masukan, penilaian, pengalaman yang diperoleh untuk kegiatan yang akan datang; dan penggunaan pengetahuan baru yang diperoleh untuk pelbagai situasi.
23
Empowering Eight tersebut dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut:
Gambar 1.4 Empowering Eight Secara umum dapat disimpulkan bahwa literasi merupakan suatu kegiatan yang penting dalam mengembangkan diri menjadi lebih baik. Namun secara ilmiah dapat dikatagorikan hal yang rumit sehingga diperlukan studi khusus untuk mempelajari dan membahas literasi. Terbukti dengan banyaknya penelitian ilmiah dengan topik literasi. Sebagai dampaknya ketika kata literasi digunakan dalam konsep sebuah kota, maka tak pelak mengundang “perbincangan hangat” di masyarakat tentang konsep Surabaya Kota Literasi.
24
Relasi Kuasa Michel Foucaoult Penelitian ini menggunakan metode analisis wacana kritis yang pada proses
analisa
melibatkan
hubungan
kekuasaan
(relasi
kuasa)
dalam
mengkonstruksi wacana sosial. Oleh sebab itu teori relasi kuasa Michel Foucault digunakan dalam mempertajam analisa data yang telah diperoleh pada tahap ketiga. Menurut Foucault dalam Eriyanto (2012 hal.66-67) ; “Kuasa tidak bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama melalui normalisasi dan regulasi. Publik tidak dikontrol lewat kekuasaan yang sifatnya fisik, tetapi dikontrol, diatur, dan disiplinkan melalui wacana. Kekuasaan disalurkan melalui hubungan sosial, dimana memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi perilaku sebagai baik atau buruk, sebagai bentuk pengendalian perilaku” Dalam hal ini pemerintah mempunyai otoritas penuh sebagai penentu kebijakan berbentuk program Surabaya Kota Literasi. Hal tersebut terlihat dari kebersamaan SKPD di lingkungan Pemerintah Kota Surabaya yang mendukung penuh program ini dilaksanakan, sehingga gerakannya bersifat terstruktur, sistematis, dan massif. Dengan gerakan tersebut niscaya program Surabaya Kota Literasi berjalan dengan baik dan dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Program yang dicanangkan tersebut bertujuan untuk membentuk masyarakat yang unggul, berkualitas, sehingga setara dengan bangsa maju lainnya melalui budaya literasi (membaca dan menulis). Konsep Pendidikan Ki Hajar Dewantara Program kerja Pemerintah Kota
Surabaya dalam mensukseskan kota
literasi diketahui berfokus pada pengembangan minat anak khususnya di lingkungan pendidikan formal. Misalnya, kurikulum wajib baca 15 menit di 25
sekolah, tantangan membaca (selama liburan semester) 1 juta buku untuk seluruh siswa di Surabaya, dan One Child One Book (OCOB). Hal tersebut dikarenakan akses pemerintah bisa masuk melalui jalur formal yaitu pendidikan. di luar itu, diselenggarakannya layanan perpustakaan di sekitar masyarakat (TBM) untuk memenuhi kebutuhan koleksi di luar sekolah. Suatu terobosan yang inovatif dari Pemerintah Kota Surabaya dimana agenda tersebut belum pernah dijumpai di kota lainnya di Indonesia. Oleh karena program yang telah dicanangkan tersebut berkaitan langsung dengan pendidikan, maka seyogyanya Pemerintah Kota Surabaya memperhatikan konsep pendidikan yang dirumuskan Ki Hadjar Dewantara, guna mempercepat dan mempermudah jalannya renstra yang telah ditetapkan. Menurut Ki Hadjar Dewantara (1977) bahwa pendidikan tidak selalu bersifat formal, sehingga dapat terpusat di tiga tempat; yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sosial, dan lingkungan pendidikan formal (sekolah). Menilik dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara yaitu pusat pendidikan yang pertama dan utama adalah dalam keluarga, sebagai berikut: “Pengaruh hidup keluarga it uterus menerus dialami oleh anak-anak, lebih-lebih di dalam waktu “gevoelige periode” atau “masa peka” (lebih kita kena sebagai usia emas), yaitu antara umur 3,5 sampai 7 tahun; mudah kita dapat mengerti, bahwa budi pekerti tiap-tiap orang itu selain menunjukan pengaruh-pengaruh dari dasar pembawaannya, pun sebagian besar mengandung pula berbagai pengaruh dari segala pengalamannya pada waktu ia masih dalam “masa peka”, yakni pada waktu kecilnya diantara hidup keluarga masing-masing” Oleh sebab itu perlu adanya peran keluarga utamanya dan lingkungan sosial yang dapat membantu keberhasilan program Surabaya Kota Literasi lebih cepat
26
terwujud. Jalur keluarga dan peran masyarakat dapat diakses melalui pemahaman bersama mengenai kesadaran untuk meningkatkan kualitas generasi muda khususnya warga Surabaya, dan proses tersebut dalam melalui “tangan” pemerintah di sektor formal (pendidikan dan perpustakaan) maupun badan lain yang berwenang. Pembelajaran Sosial Albert Bandura Teori pembelajaran sosial Albert Bandura dapat digunakan dalam menganalisa program kerja pemerintah dalam mengembangkan minat baca pada anak. Dalam teori pembelajaran sosial Albert Bandura mengemukakan salah satu konsep behaviorisme yang menekankan pada komponen kognitif dari fikiran, pemahaman, dan evaluasi. “Bandura mengembangkan model deterministic resipkoral (saling ketergantungan) yang terdiri dari faktor utama yaitu perilaku, person/kognitif, dan lingkungan. Bahwa factor lingkungan mempengaruhi perilaku, perilaku mempengaruhi lingkungan, dan factor person/kognitif mempengaruhi perilaku” Dalam konteks pembelajaran Bandura menjelaskan bahwa proses mengamati dan meniru perilaku dan sikap orang lain sebagai model merupakan tindakan belajar. Selain itu konteks interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku, dan pengaruh lingkungan. Serta kondisi lingkungan sekitar individu sangat berpengaruh pada pola belajar sosial jenis ini. Pengembangan minat baca yang dilakukan Pemerintah Kota Surabaya melalui instruksi dinas pendidikan berfokus pada pembelajaran yang sarat dengan nuansa pendidikan formal. Pemerintah Kota Surabaya perlu memahami tentang
27
proses pembelajaran sosial berdasar teori Albert Bandura yaitu dengan menciptakan lingkungan yang selaras dengan maksud pemerintah, artinya ketika siswa diwajibkan dengan maksud pembiasaan diri di sekolah, namun tidak di dukung dengan lingkan sekolah yang kondusif untuk hal tersebut, misalnya guru yang tidak melakukan aktifitas membaca, dan diperparah dengan lingkungan keluarga yang tidak mendukung, misalnya orang tua juga tidak gemar membaca dan sebaliknya lebih asyik menonton TV, maka anak tidak ada proses mengamati dan meniru perilaku orang disekitarnya untuk membaca, sehingga yang terjadi adalah kegiatan baca anak di sekolah merupakan formalitas yang harus dilakukan untuk gugur kewajiban akan program kota literasi. oleh sebab itu perlu adanya analisa khusus dalam merumuskan rencana strategis pengembangan budaya literasi. Konsep Kemajuan Alternatif Mengingat asal konsep kemajuan berkaitan erat dengan proses dan citra, maka terdapat tiga fase yang disebut dengan kemajuan. Pertama, menurut teori sosiologi klasik, kemajuan mengacu pada hasil atau produk akhir proses, ditetapkan sebagai acuan menyeluruh, citra kompleks tentang masyarakat yang akan datang atau sebagai ciri khusus masyarakat dan unsur-unsurnya (misalnya; kekayaan, kesehatan, produktivitas, persamaan, kebahagiaan). Kedua, kemajuan disebut sebagai sebuah cita-cita. Hal ini menempatkan kemajuan dalam logika proses menyeluruh, dimana setiap tahap dipandang sebagai peningkatan dari tahap sebelumnya dan dengan sendirinya semakin sempurna, namun pada tujuan akhir (ini menandai konsep evolusi diferensiasi bertahap atau peningkatan penyesuaian 28
diri). Ketiga, “kemajuan sebagai kondisi semakin baik” dalam konteks ini dapat dipahami
bahwa
kemajuan berkaitan dengan mekanisme
proses awal,
menekankan potensi atau kapasitas kemajuan yang terkandung dalam agen kemajuan. Di sini yang menjadi makna pokok kemajuan bukanlah kuantitas dari apa yang sebenarnya terjadi, tetapi “potensi untuk menjadi”. Dalam fase ketiga yang disebut dalam konsep kemajuan yaitu berorientasi pada kualitas agen kemajuan (manusia) merupakan lahan yang tengah digarap oleh Pemerintah Kota Surabaya melalui program Surabaya Kota Literasi. dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sesuai dengan konsep kemajuan alternative dapat dipastikan akan mendorong perubahan (kemajuan). Prasyarat yang diajukan dalam mendorong perubahan adalah mau (motivasi) dan mampu (oportuni), masyarakat hanya mungkin berpikir progresif jika mereka memiliki dua syarat yaitu motivasi dan peluang. Masyarakat akan berfikir progresif jika mereka mau bertindak dan dapat bertindak.
1.6 Kerangka Berfikir Surabaya Kota Literasi merupakan program inovatif Pemerintah Kota Surabaya dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Pasca pencangan lebih dari satu tahun yang lalu, terdapat satu fenomena bahwa masyarakat Surabaya tidak paham betul mengenai program Surabaya Kota Literasi. ketidakpahaman ini disinyalir karena wacana tentang Surabaya Kota Literasi dikonstruk dalam berbagai agenda yang berfokus pada membaca. Dengan
29
membaca harapan pemerintah adalah mencerdaskan masyarakat Surabaya dan mampu bersaing dengan Negara maju lainnya. Oleh sebab itu masyarakat sekedar mengetahui program Surabaya Kota Literasi adalah membaca, terkait membaca apa, membaca bagaimana, dan mengapa harus membaca, tidak dipahami sesuai yang dimaksudkan Pemerintah Kota Surabaya. Konsep mengenai Surabaya Kota Literasi dalam penelitian ini akan dikupas dengan metode analisis wacana kritis Norman Fairclough yang terdapat tiga tahap analisa yaitu intertekstualitas (hubungan dari wacana-wacana yang berada dalam teks), analisa praktik kewacanaan (adanya produksi dan konsumsi wacana) dan analisa praktik sosial. Metode analisis wacana kritis Norman Fairclough akan menggali data-data (teks) dari sudut pandang Government sebagai aktor dari pembuat gagasan kota literasi sekaligus pelaksana teknisnya dan Non Government yaitu sebagai obyek atau sasaran dari program Surabaya Kota Literasi serta masyarakat yang tidak terlibat secara langsung dalam program Surabaya Kota Literasi, namun memiliki pengetahuan dan keberpengalaman tentang Surabaya Kota Literasi. Berdasarkan fakta-fakta lapangan yang diamati dan didalami secara terus menerus oleh peneliti serta menelaah data-data primer dari para informan, mempertajam dengan kajian teoritik yang sesuai fakta lapangan dan kewacanaan, dalam penelitian ini diharapak dapat memperoleh hasil analisa yang obyektif dan komprehensif dalam memberikan kontribusi baik secara teoritis maupun praktis terhadap pengembangan budaya literasi khususnya di Surabaya.
30
Berikut adalah gambar yang mendeskripsikan alur pemikiran dari penelitian ini:
Surabaya Kota Literasi
Analisis Wacana Kritis
Government Norman Fairclough
Non Government
Budaya Literasi
Gambar 1.5 Alur Pemikiran Penelitian
31