1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Letusan Gunung Merapi pada tanggal 26 Oktober sampai 5 Nopember
2010 tercatat sebagai bencana terbesar selama periode 100 tahun terakhir siklus gunung berapi teraktif di Pulau Jawa. Letusan Merapi tersebut meluluhlantakan kehidupan masyarakat terdampak meliputi sektor permukiman, infrastruktur, ekonomi, sosial dan budaya. Total kerugian keseluruhan kerugian tersebut menurut laporan BNPB tercatat hingga mencapai Rp. 3,6 Trilyun. Efek letusan Merapi periode tahun 2010 telah menyebabkan perubahanperubahan fisik alam. Perubahan yang terjadi antara lain adalah (1) perubahan kubah puncak Merapi yaitu terjadi pembukaan kawah melebar ke arah selatan sepanjang 400 meter dan mengarah ke Sungai Gendol dan (2) perubahan permukaan lahan dan kedalaman sungai akibat aliran lahar. Dengan adanya perubahan-perubahan fisik alam akibat letusan Merapi tahun 2010 maka dapat diprediksikan bahwa ancaman bencana Merapi ke depan akan lebih mengarah ke wilayah selatan Gunung Merapi mengikuti alur sungai Gendol yang meliputi wilayah Kabupaten Sleman dan Kabupaten Klaten. Perubahan cakupan wilayah bencana pasca letusan Merapi tahun 2010 menjadi pertimbangan bagi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral untuk menetapkan kawasan rawan bencana terbaru dalam Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi, Provinsi
2
Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta 2010. Peta kawasan rawan bencana tersebut menjelaskan tingkat kerawanan kawasan di sekitar Gunung Merapi berdasarkan jangkauan ancaman bahaya material berupa awan panas, hujan abu lebat, lontaran batu pijar dan lahar dalam tiga kawasan yaitu KRB III, KRB II dan KRB I. Kawasan Rawan Bencana III merupakan kawasan dengan tingkat kerawanan tertinggi karena posisinya dekat dengan sumber bahaya sehingga berpotensi terlanda material keluaran gunung Merapi berupa awan panas, aliran lava, guguran batu, lontaran batu (pijar), gas beracun dan hujan abu lebat. Oleh karena tingkat kerawanan yang tinggi, maka kawasan tersebut (KRB III) direkomendasikan untuk tidak digunakan sebagai hunian tetap atau permukiman kembali dan perlu tindakan pengurangan kerentanan. Rekomendasi tersebut menjadi acuan bersama bagi para stakeholder sebagai dasar pertimbangan kebijakan maupun program yang dilaksanakan di kawasan tersebut. Untuk memaduserasikan kegiatan ataupun program pembangunan kembali di wilayah bencana pasca erupsi Merapi dan membangun kesepahaman serta komitmen antar stakeholder yang terlibat maka BNPB dan Bappenas telah menuangkan kebijakan dalam dokumen Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pascabencana Erupsi Merapi di Provinsi D.I. Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011 - 2013. Kebijakan terkait dengan permukiman kembali korban bencana yang tertuang dalam dokumen tersebut antara lain adalah pelaksanaan pembangunan hunian tetap pascabencan dengan relokasi bagi penduduk yang terdampak langsung maupun yang tinggal di wilayah
3
Kawasan Rawan Bencana III. Muntahan material Merapi tidak hanya merusak lahan pertanian akan tetapi juga mengubur sejumlah dusun dan merusak ribuan rumah tinggal penduduk. Dalam catatan BNPB tahun 2011 kerusakan di sektor permukiman akibat terjangan material Merapi secara keseluruhan mencapai 2856 rumah rusak berat dengan rincian 2.682 unit di Provinsi D.I.Yogyakarta dan 174 unit di Provinsi Jawa Tengah. Terkait dengan penanganan dampak bencana Merapi tahun 2010 Pemerintah telah menetapkan 3 tahap kegiatan penanganan yaitu: (1) Tanggap Darurat: sejak terjadinya erupsi sampai dengan Desember 2010; (2) Pemulihan Awal: sejak awal Januari sampai dengan akhir April 2011; (3) RehabilitasiRekonstruksi yang dimulai pada Mei 2011. Program pembangunan hunian tetap pasca bencana merupakan salah satu program rekonstruksi pasca bencana sektor permukiman yang dilaksanakan pada tahun anggaran tahun 2011 sampai dengan 2013. Pembangunan kembali sektor permukiman berdasarkan arahan dalam RENAKSI BNPB memperhatikan kebijakan relokasi yang aman bagi permukiman kembali masyarakat berdasarkan penataan ruang dengan pertimbangan aspek mitigasi dan pengurangan risiko bencana. Sesuai RENAKSI BNPB, pembangunan hunian tetap pasca letusan Merapi tahun 2010 dikoordinasikan oleh Kementerian Pekerjaan Umum melalui mekanisme Program Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas (REKOMPAK).
4
Pemerintah memberikan dua alternatif pilihan relokasi untuk masyarakat korban bencana Merapi tahun 2010 yaitu melalui mekanisme; 1.
relokasi hunian tetap kolektif menggunakan lokasi yang disediakan oleh pemerintah yaitu menggunakan tanah-tanah yang menjadi milik pemerintah daerah seperti tanah kas desa.
2.
relokasi mandiri atau inisiatif masyarakat adalah menggunakan lokasi yang diinginkan oleh masyarakat sendiri baik secara kolektif maupun secara individu sepanjang lokasi tersebut tidak termasuk dalam wilayah KRB III. Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman yang terletak di bagian selatan
Merapi merupakan wilayah dengan tingkat kerusakan sektor perumahan yang paling parah terkena dampak erupsi dan aliran awan panas. Berdasarkan data dari penelitian sebelumnya oleh Syafrudin (2011) menyatakan bahwa bencana Merapi tahun 2010 telah mengakibatkan kerusakan rumah sebanyak 2.526 unit dan bangunan fasilitas permukiman sebanyak 182 unit meliputi lima desa administratif di Kecamatan Cangkringan. Disebutkan bahwa meliputi radius ± 7 Km dari puncak Merapi yaitu di Desa Kepuharjo dan Umbulharjo merupakan daerah dengan kerusakan bangunan sangat parah dimana kondisi rumah dan bangunan lain telah hancur dan rata dengan tanah ataupun hilang tanpa bekas. Sebagian Kecamatan Cangkringan merujuk pada Peta Kawasan Rawan Bencana termasuk dalam areal yang terdampak langsung dan wilayah KRB III sehingga harus direlokasikan. Program relokasi hunian tetap untuk korban Merapi pada awalnya sempat mendapat penolakan dari masyarakat. Beberapa alasan penolakan yang sempat
5
mengemuka ke publik antara lain adalah masalah kejelasan status lahan masyarakat baik tanah pertanian maupun bekas rumah hunian serta adanya ikatan budaya dan sosial yang kuat terbentuk turun temurun antara masyarakat dengan gunung Merapi. Setelah melalui proses yang cukup panjang akhirnya sebagian dari masyarakat di Kecamatan Cangkringan memberi respon positif dan secara sukarela mengikuti program relokasi. Akan tetapi sebagian masyarakat lainnya tetap menolak ide tersebut dan memilih membangun kembali hunian tetap di atas tanah yang mereka miliki dulu. Pembangunan hunian tetap relokasi pasca letusan Merapi tahun 2010 dengan dinamikanya merupakan isu aktual yang menarik untuk diteliti. Pembangunan hunian tetap pasca bencana tidak hanya sekedar pembangunan fisik semata akan tetapi juga sebagai kesempatan untuk membangun kehidupan yang lebih aman dan lebih baik dari kondisi sebelumnya (build back safer & build back better). Pembangunan hunian tetap pasca bencana Merapi tahun 2010 memuat isu kontemporer yang dapat memperkaya khasanah kajian tentang permukiman kembali pasca bencana. Peneliti tertarik untuk meneliti lebih mendalam mengenai proses pembangunan kawasan hunian tetap pasca bencana Merapi dengan menggunakan metode studi kasus. Peneliti ingin mengetahui lebih lanjut bagaimanakah proses pembangunan kawasan hunian tetap relokasi pasca bencana Merapi tahun 2010 di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman sebagai sebuah studi kasus penanganan kawasan permukiman pasca bencana.
6
1.2
Rumusan Masalah 1.
Bagaimanakah proses rekonstruksi hunian tetap pasca bencana Gunung Merapi tahun 20120 dengan mekanisme relokasi di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman?
2.
Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi proses rekonstruksi hunian tetap pasca bencana Merapi tahun 2010 dengan mekanisme relokasi di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman?
1.3
Tujuan Penelitian 1.
Mendeskripsikan proses rekonstruksi hunian tetap pasca bencana Merapi tahun 2010 dengan mekanisme relokasi di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman.
2.
Mengidentifikasi
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
proses
rekonstruksi hunian tetap pasca bencana Merapi tahun 2010 dengan mekanisme relokasi di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. 1.4
Manfaat penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi: 1.
Masyarakat korban bencana Merapi pada khususnya dan korban bencana lain terkait dengan permukiman kembali pasca bencana.
2.
Pemerintah sebagai bahan pertimbangan dalam penanganan bencana alam terutama yang berkaitan dengan kebijaksanaan relokasi.
3.
Pengembangan
ilmu
berkaitan
masyarakat pasca bencana.
dengan
pemukiman
kembali
7
1.5
Lingkup Studi Kasus Untuk memperjelas dan memfokuskan permasalahan yang dibahas, maka
penulis membatasi obyek penelitian pada program hunian tetap pasca bencana Merapi tahun 2010 melalui mekanisme relokasi yang telah dilaksanakan dari bulan februari 2011 sampai bulan Desember tahun 2012. Adapun batasan lokasi penelitian adalah di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lingkup studi kasus proses pembangunan kawasan hunian tetap pasca bencana Merapi Tahun 2010 adalah sebagaimana gambar 1.1.
1.6
Keaslian penelitian
Pilar utama penelitian adalah lokus, fokus dan metode penelitian. Penelitian tentang Gunung Merapi telah banyak dilakukan antara lain: 1.
Penelitian yang dilakukan oleh Dwita Had Rahmi (1996) berjudul Evaluasi Purna Huni Perumahan di lokasi Pemukiman Kembali Korban Bencana Gunung Merapi. Lokus
: Relokasi Sudimoro.
Fokus
: Mengetahui persepsi penghuni mempengaruhi
dan faktor-faktor yang
kepuasan penghuni
lingkungan dan rancangan tata ruang. Metode
:
Deskriptif.
terhadap
kondisi
8
Bencana Merapi Tahun 2010
Rumah rusak DIY : 2682 Jateng : 602
Pemenuhan kebutuhan dasar sektor permukiman
Tanggap Darurat Barak Pengungsian Oktober 2010 -April 2011
1. Rekomendasi KRB III tidak dapat digunakan untuk hunian kembali 2. Perbup Sleman Nomor 20 Tahun 2011 tentang 9 dusun yang tidak dapat dihuni lagi 3. Renaksi Rehab Rekon Merapi BNPB Juli 2011
Tahap Pemulihan Dini Hunian Sementara Januari 2011- Desember 2012
Tahap Rekonstruksi Hunian Tetap Juli 2011- Desember 2013
Kembali hunian awal
Hunian Tetap Relokasi Relokasi Kelompok Tanah Kas Desa
Studi Kasus Proses Pembangunan Kawasan Huntap Di Kecamatan Cangkringan
Relokasi Tanah Mandiri Individu
Relokasi Kelompok Tanah Mandiri Relokasi swasta
Gambar 1.1 Skema Studi Kasus Proses Pembangunan Hunian Tetap Pasca Bencana Merapi Tahun 2010
9
2.
Tri Wibawawanti (2003) Kajian perilaku penduduk dalam memanfaatkan ruang permukiman relokasi pasca bencana merapi di dusun Sudimoro Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman. Lokus
: Relokasi Sudimoro, Kecamatan Pakem, Kabuapten Pakem.
Fokus
: Perilaku
penghuni
permukiman
relokasi
dalam Sudimoro
memanfaatkan dan
kendala
ruang yang
dihadapi. Metode 3.
: Deskriptif kualitatif.
Abdur Rahman (2011) Gap between resettlement policy of sleman Regency and Victim's preferences after mount merapi eruption in 2010. Lokus
: Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Pakem
Fokus
: Adanya gap antara kebijakan pemerintah dan preferensi korban selama proses evakuasi dan permukiman kembali para korban. Berdasarkan analisis faktor menunjukan bahwa preferensi bermukim dipengaruhi keamanan erupsi merapi, hubungan sosial,
atribut personal, kesenangan terhadap
lingkungan, dan pekerjaan. Metode: 4.
: Deduktif kuantitatif dan kualitatif
Toni Wahyu Kusuma (2011) Perubahan tata fisik dan tata kehidupan sosial ekonomi masyarakat setelah erupsi gunung merapi tahun 2010 di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lokus
:
Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman.
10
Fokus
: Kerusakan fisik mengubah tatanan kegiatan sosial ekonomi, ketidakpastian dan kesulitan ekonomi, derita batin dan ketidaktenangan, hubungan sosial renggang.
Metode 5.
:
Induktif kualitatif.
Syafrudin (2011) Pola kerusakan permukiman lereng merapi pasca erupsi Merapi Nopember 2010 di Kecamatan Cangkringan. Lokus
: Kecamatan Cangkringan
Fokus
: Mencari pola kerusakan pemukiman di lereng Merapi pasca erupsi Merapi pada bulan Oktober-Nopember 2011
Metode 6.
:
Deskriptif eksplanatori
Harry Priyanto Putra (2012) Pembangunan Huntara Pasca Bencana Merapi di Kabupaten Sleman. Lokus
: Kecamatan Cangkringan.
Fokus
: Deskripsi perencanaan dan pembangunan huntara pasca bencana Merapi tahun 2010 model pemerintah dan swasta.
Metode 7.
:
Deskriptif eksplorasi.
Wiwit Setyowati (2010) Konsep Spasial Permukiman Dusun Pelemsari, Umbulharjo, Cangkringan Yogyakarta. Lokus
: Dusun Pelemsari, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman.
Fokus
: Gambaran deskriptif ideografis konsep permukiman Dusun Pelemsari berdasarkan sosiokultural kekerabatan.
Metode
:
Kualitatif Naturalistik