TUGAS TIK - UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA
MENELUSURI JEJAK LETUSAN GUNUNG TAMBORA
Randy Anwar Romadhonny Tehnik Informatika 04315079
MENELUSURI JEJAK LETUSAN GUNUNG TAMBORA
RANDY ANWAR ROMADHONNY | 04315079
TUGAS TIK - UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA
Kaldera Letusan Gunung Tambora dua abad lalu menciptakan kaldera seluas 8 km. Letusan pertama Gunung Tambora terdengar pada 5 April 1815 di Pulau Jawa (Jakarta), terdengar selama 15 menit dan berlangsung sampai kesokan harinya, seperti meriam. Demikian catatan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Thomas Stamfford
Raffles,
tentang
letusan
Gunung
Tambora
dalam
memoarnya The History of Java. Raffles menulis ledakan tersebut sempat disangka meriam yang menyerang pasukan di Yogyakarta. Pada 6 April, sinar matahari tertutup dan ‘hujan abu’ dalam jumlah kecil pun mulai menyelimuti Sulawesi dan Gresik di Jawa Timur. Catatan tentang letusan Gunung
Tambora
juga
tercantum pada naskah kuno Kerajaan Bima, Bo Sangaji Kai. “Maka gelap berbalik lagi lebih dari pada malam itu, maka berbunyilah seperti bunyi meriam orang perang, kemudian maka turunlah krisik batu dan habu seperti dituang lamanya tiga hari dua malam,” sebut naskah kuno itu sebagaimana dibacakan ahli filologi Siti Maryam Salahuddin, 88 tahun, yang merupakan putri Sultan Bima terakhir, Muhamad Salahuddin. Berdasarkan laporan Letnan Owen Philips, selaku utusan Raffles, Raja Sanggar masih hidup dan menjadi saksi peristiwa tersebut.
MENELUSURI JEJAK LETUSAN GUNUNG TAMBORA
RANDY ANWAR ROMADHONNY | 04315079
TUGAS TIK - UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA
“Sekitar pukul 7 malam tanggal 10 April terlihat tiga bola api besar keluar dari Gunung Tomboro. Kemudian tiga bola api itu bergabung di udara dalam satu ledakan dahsyat” demikian keterangan Raja Sanggar.
'Tahun tanpa musim panas' Catatan berbagai saksi mata dan hasil analisis para ahli semakin menegaskan bahwa letusan Gunung Tambora pada 1815 merupakan yang terbesar dalam catatan sejarah modern. Material vulkanis yang dikeluarkan saat Gunung Tambora meletus mencapai lebih dari 100km kubik atau 100 milliar meter kubik, sedangkan Gunung Merapi 'hanya' memuntahkan 150 juta meter kubik. “Volcanic Eruption Index Tambora skala 7. Itu yang terbesar dan baru pertama terjadi pada sejarah modern. Sementara Merapi mencapai skala 4,” jelas Surono. Dampaknya sangat luas. Aerosol sulfat yang dikeluarkan oleh letusan Tambora tertahan di atmosfer sehingga menghalangi sinar matahari ke bumi. Setahun kemudian, gelap masih menyelimuti Benua Eropa pada musim panas. Peristiwa itu kemudian dikenal sebagai 'Tahun tanpa musim panas'. Letusan tersebut juga menyebabkan ketinggian Gunung Tambora menyusut hampir separuhnya menjadi 2.700 meter dari permukaan laut (mdpl).
MENELUSURI JEJAK LETUSAN GUNUNG TAMBORA
RANDY ANWAR ROMADHONNY | 04315079
TUGAS TIK - UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA
Kelaparan Imbas letusan Gunung Tambora kepada nyawa manusia jauh lebih dahsyat. Dalam laporan kepada Raffles, Letnan Owen Philips menjelaskan kondisi Pulau Sumbawa dan Dompu yang melewati sebagian wilayah Bima. Sebagian besar wilayah Kerajaan Sanggar yang terletak di kaki Gunung Tambora turut hancur. “Bencana terbesar yang dialami penduduk sangat mengerikan untuk dikisahkan. Mayat-mayat masih bergelimpangan di tepi jalan dan di beberapa perkampungan tersapu bersih, rumah rumah hancur, penduduk yang masih hidup menderita kelaparan,” tulis Phillips. Sejumlah catatan menyebutkan material vulkanis dari Gunung Tambora juga menyebabkan gagal panen di Pulau Tambora dan Pulau Bali. Akibatnya, sebanyak 100 ribu jiwa meninggal di wilayah sekitar Pulau Sumbawa dan 200.000 jiwa secara global. Situasi setelah letusan digambarkan dalam naskah kuno Kerajaan Bima yang ditulis pada 1815. "Maka heran sekalian hambanya, melihat karunia Rabbal’alamin yang melakukan al-Fa’alu-I-Lima Yurid ( Apa yang dikehendakiNya), maka teranglah hari maka melihat rumah dan tanaman maka rusak semuanya demikianlah adanya, yaitu pecah gunung Tambora menjadi habis mati orang Tambora dan Pekat pada masa Raja Tambora bernama Abdul Gafur dan Raja Pekat bernama Muhammad." Tambora
MENELUSURI JEJAK LETUSAN GUNUNG TAMBORA
RANDY ANWAR ROMADHONNY | 04315079
TUGAS TIK - UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA
Kematian Ada banyak sekali dampak Letusan Tambora 1815 baik di ranah ekonomi, politik, sosial dan budaya. Namun di sini penulis hanya ingin fokus pada hal paling menggetarkan: kematian. Untuk dipahami, korban jiwa akibat Letusan Tambora 1815 tak hanya mereka yang tewas dihempas awan panas maupun tercekik gas dan debu vulkanik, namun
juga
mereka
yang
dilanda
kelaparan
massif
seiring
berkurangnya bahan pangan, pun mereka yang dilanda penyakit menular seiring sanitasi lingkungan yang memburuk pasca letusan.
Sensus yang dilakukan Zollinger di tahun 1847 atas nama pemerintah kolonial Hindia Belanda (saat itu tanah Indonesia sudah dikembalikan ke
Belanda
sebagai
hasil
Kongres
Wina
1815)
menunjukkan
dramatisnya dampak Letusan Tambora 1815. Korban jiwa langsung akibat letusan, yakni yang terkubur awan panas dan debu vulkanik tebal, mencapai 10.100 jiwa. Sementara korban jiwa tak langsung, yakni kelaparan dan wabah diare massif yang berkecamuk di pulau Sumbawa, mencapai 37.825 jiwa. Namun jika korban jiwa yang berjatuhan di pulau Lombok, Bali, Flores, Jawa bagian timur dan pulau-pulau lain disekitarnya akibat terjangan tsunami, kelaparan dan diare juga diperhitungkan, angkanya mungkin mencapai lebih dari 70.000 jiwa.
Zollinger juga mencatat banyaknya penduduk yang hengkang dari pulau Sumbawa, termasuk yang terpaksa dijual oleh orang tuanya, sebanyak 36.275 orang. Dengan demikian Letusan Tambora 1815 menewaskan 35 % populasi dan memaksa 26 % sisanya hengkang
MENELUSURI JEJAK LETUSAN GUNUNG TAMBORA
RANDY ANWAR ROMADHONNY | 04315079
TUGAS TIK - UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA
keluar pulau. Sehingga hanya menyisakan 39 % populasi yang masih berkukuh tinggal di tanah yang semula subur namun kini mendadak segersang Bulan.
Begitu banyaknya nyawa yang terenggut membuat dua kerajaan di kaki gunung, yakni kerajaan Papekat dan Tambora, lenyap dari pentas sejarah karena seluruh penduduknya tewas. Sementara kerajaan Sanggra kehilangan hampir 88 % penduduknya. Tiga kerajaan lainnya di pulau Sumbawa yang tak berbatasan langsung dengan Gunung Tambora, masing-masing kerajaan Dompo, Sumbawa dan Bima pun terpukul telak. Dompo kehilangan 50 % penduduk, sementara Sumbawa 33 % dan Bima 25 %. Di luar korban manusia, sebanyak 75 % populasi ternak Sumbawa tersapu bersih akibat letusan. Pun demikian koloni lebah madu dan burung.
Namun Letusan Tambora 1815 tak hanya berdampak lokal. Seluruh permukaan Bumi merasakan akibatnya seiring terlepasnya tak kurang dari 160 juta ton gas belerang ke atmosfer bersama dengan semburan material vulkanik hingga setinggi 43 km. Ia lantas bereaksi dengan uap air dan gas oksigen membentuk lebih dari 300 juta ton aerosol sulfat. Bersama
dengan
partikel
debu
vulkanik,
aerosol
sulfat
pun
membentuk tabir surya pun terbentuk, yang merentang di antara ketinggian 10 hingga 30 km dari paras laut dan menyebar di segenap penjuru lapisan troposfer-stratosfer. Akibatnya 25 % sinar Matahari diserap dan dipantulkan kembali oleh tabir surya ini ke antariksa. Sehingga intensitas sinar Matahari yang diterima permukaan Bumi menurun.
MENELUSURI JEJAK LETUSAN GUNUNG TAMBORA
RANDY ANWAR ROMADHONNY | 04315079
TUGAS TIK - UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA
Pada saat yang sama Bumi sedang menjalani periode minimum Dalton, yakni menurunnya suhu rata-rata permukaan Bumi yang disebabkan oleh faktor astronomik dalam rupa berkurangnya jumlah bintik Matahari (sunspot). Intensitas sinar Matahari di permukaan Bumi dalam periode minimum Dalton sebelum 1815 adalah 1.363 watt per meter persegi, atau turun 3 watt per meter persegi dibanding normalnya.
Letusan
Tambora
1815
menghasilkan
penurunan
tambahan hingga 7 watt per meter persegi. Sehingga pada puncaknya intensitas sinar Matahari di Bumi sempat menyentuh titik terendah 1.356 watt per meter persegi, atau turun 0,7 % di bawah normal.
Konsekuensinya terjadilah pendinginan global, yakni penurunan suhu rata-rata permukaan Bumi. Pendinginan global terparah terjadi pada tahun 1816 yang mencapai 0,7 derajat Celcius di bawah suhu ratarata semula. Akibatnya tutupan es dan suhu sangat dingin terus berlanjut di kawasan subtropis meski musim seharusnya telah berganti ke musim panas. Karena itu tahun 1816 dikenang sebagai Tahun Tanpa Musim Panas. Tanpa bisa ‘dicuci’ oleh air hujan, tabir surya Tambora bertahan hingga bertahun-tahun kemudian sebelum gravitasi Bumi lambat-laun menariknya turun ke kembali ke permukaan Bumi. Selama itu pula pendinginan global berlangsung dan memicu kekacauan cuaca. Konsekuensinya produksi pangan pun sangat terganggu dan sanitasi lingkungan memburuk sehingga wabah penyakit mudah terbesar, bahkan melampaui wilayah tradisionalnya.
MENELUSURI JEJAK LETUSAN GUNUNG TAMBORA
RANDY ANWAR ROMADHONNY | 04315079
TUGAS TIK - UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA
Berapa korbannya? Di daratan Amerika Serikat, kelaparan besar membuat sebuah wilayah seperti Vermont saja kehilangan antara 10.000 hingga 15.000 jiwa penduduknya hanya di tahun 1816. Belum wilayah dan kota yang lain. Di Eropa, kelaparan juga merebak dimanamana dan menjadi bencana kelaparan terparah dalam abad ke-19. Kekurangan makanan dan memburuknya lingkungan membuat penyakit merajalela. Misalnya di Irlandia, dimana 1,5 juta orang disergap wabah tipus sepanjang tahun 1817 hingga 1819 dengan sekitar 100.000 jiwa diantaranya meregang nyawa. Wabah tipus juga berkecamuk hebat di Eropa bagian tenggara dan pesisir Laut Tengah bagian timur. Jumlah korban jiwa di kedua wilayah terakhir itu tak diketahui, namun diduga sebanding dengan Irlandia.
Sebaliknya di Asia wabah kolera-lah yang bertahta. Penyakit ini semula endemis di lembah sungai Gangga semata. Namun kombinasi cuaca yang kacau-balau, suhu lebih dingin dan kekurangan nutrisi yang parah membuat penyakit ini menyebar luas ke luar India mulai 1817 dan bertahan hingga tujuh tahun kemudian. Pada puncaknya wabah ini merajalela di kawasan yang sangat luas mulai dari pesisir timur Afrika dan pesisir timur Laut Tengah di sebelah barat hingga Asia Tenggara dan Jepang di sebelah timur serta merangsek hingga masuk ke jantung kota Moskow (Russia) di sebelah utara. Korbannya? Sulit diperkirakan, namun diduga kuat mencapai ratusan ribu jiwa di berbagai tempat. Sebagai contoh, di Bangkok (Thailand) saja 30.000 orang meregang nyawa kala wabah ini berkecamuk, sementara di Semarang (Indonesia), 1.225 orang tersapu bersih dari permukaan Bumi hanya dalam tempo 11 hari saja di bulan April 1821 akibat serangan wabah ini.
MENELUSURI JEJAK LETUSAN GUNUNG TAMBORA
RANDY ANWAR ROMADHONNY | 04315079
TUGAS TIK - UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA
Jadi, berapa jumlah kematian akibat Letusan Tambora 1815 secara keseluruhan? Sayangnya hingga saat ini belum bisa diketahui secara pasti. Namun dengan merangkai kepingan-kepingan fakta di atas, maka jelas mencapai ratusan ribu jiwa. Dan diduga mungkin melampaui angka 1 juta jiwa. Korban jiwa sebanyak ini harus dilihat dalam perspektif awal abad ke-19 dimana populasi manusia secara keseluruhan jauh lebih sedikit dibanding masa kini karena baru menyentuh angka semilyar. Jika Letusan Tambora 1815 benar menewaskan sejuta orang, baik secara langsung maupun tak langsung, jelas bahwa dari setiap 1.000 orang di Bumi saat itu, maka 1 orang diantaranya tewas sebagai korban jiwa Letusan Tambora 1815. Maka bolehlah kita sebut bahwa Gunung Tambora telah menaklukkan dunia dengan letusan 1815-nya yang kolosal.
Hari ini, Gunung Tambora kembali ke tabiat kalemnya. Hari ini pula tak banyak yang mengetahui apa yang pernah dipertontonkan gunung ini secara dramatis pada hampir dua abad silam. Ironisnya, ketidaktahuan yang sama bahkan dijumpai pula di kalangan penduduk yang kini bermukim di kaki gunung berapi tersebut. Namun terlepas
dari
ketidaktahuan
tersebut,
Letusan
Tambora
1815
mendemonstrasikan betapa sebuah letusan dahsyat gunung berapi mampu berdampak demikian besar bagi peradaban manusia.
Ancaman bencana Ahli geologi dari Museum Geologi Bandung, Indyo Pratomo, yang terlibat
dalam
penelitian
bersama
MENELUSURI JEJAK LETUSAN GUNUNG TAMBORA
Haraldur
Sigurdsson
dari
RANDY ANWAR ROMADHONNY | 04315079
TUGAS TIK - UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA
Universitas Rhode Island, Amerika Serikat, pada 2007, menemukan kerangka manusia di Dusun Oi Bura yang dapat digunakan untuk merekonstruksi kejadian saat letusan Gunung Tambora. “Kerangka yang kita jumpai masih bertahan di tempat pada saat terjadi letusan utama. Mereka kebetulan jatuh masih di bawah rumah sendiri, tertimbun rumahnya sendiri. Mungkin juga pada saat itu hujan karena kita temui endapan lumpur. Jadi diperkirakan dia jatuh di dalam lumpur karena di bagian bawahnya itu utuh dalam artian tidak terbakar,” jelas Indyo. Dari temuan itu, diduga penduduk di kaki Gunung Tambora ketika itu tidak mengenal ancaman gunung berapi. Selain Tambora, gunung berapi lain di wilayah Indonesia yang tercatat sebagai letusan besar dalam sejarah modern yaitu Krakatau pada 1883, meski kedahsyatannya di bawah Tambora. Penelitian internasional pada 2003 menemukan jejak letusan Gunung Samalas di Lombok NTB yang terjadi pada tahun 1257 berupa abu kimia yang terdapat di Arktik Kutub Utara dan Antartika. Struktur awal gunung purba ini menyisakan kawah besar yang kini lebih dikenal dengan nama Danau Segara Anak. Gunung Purba lain yang meletus pada 74.000 tahun lalu adalah Toba yang menyisakan kawah berupa danau dengan panjang 100 km dan lebar 30 km. Di Indonesia terdapat 127 gunung berapi, 69 diantaranya dipantau karena pernah meletus sekali sejak 1600 an. Sekitar empat juta orang tinggal di sekitar gunung-gunung berapi tersebut. Kepala Badan Geologi Surono mengatakan keberadaan gunung berapi tidak hanya memberikan tanah yang subur dan potensi wisata, tetapi
MENELUSURI JEJAK LETUSAN GUNUNG TAMBORA
RANDY ANWAR ROMADHONNY | 04315079
TUGAS TIK - UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA
juga memunculkan pentingnya edukasi tentang potensi ancaman sebagai upaya untuk pengurangan risiko bencana.
MENELUSURI JEJAK LETUSAN GUNUNG TAMBORA
RANDY ANWAR ROMADHONNY | 04315079