Matematika Menelusuri Jejak Cara Ber-“matematika” Membaca Borobudur*) Hokky Situngkir**)
Matematika lahir dari evolusi kolektivitas kognitif beribu-ribu tahun. Ia merupakan bagian inheren dari kehidupan manusia dalam menghadapi tantangan alam dan sosialnya. Matematika lahir dari kemampuan manusia berartikulasi dengan simbol-simbol yang memodelkan konsep-konsep yang ia temui di alam. Artikulasi simbol-simbol tersebut kemudian digunakan sebagai perangkat kognitifnya dalam memahami berbagai proses di alam, terkadang tanpa harus “menyentuh” langsung proses yang di-abstraksikannya tersebut. Di luar kekaguman akan matematika modern itu sendiri, rupanya matematika modern memberi peluang untuk menelusuri (bahkan mencuri inspirasi) tentang bagaimana matematika telah diakuisisi oleh yang tak mengenal matematika modern! Umat manusia memerlukan matematika sebagai perangkat yang membantu dalam mengurai dan menggambarkan konsep. Untuk bisa membangun konsep, manusia menggunakan metafora. Metaforametafora membangun relasi konseptual yang membentuk gagasan. Metafora yang digunakan dalam gagasan tersebut tentunya memerlukan kaitan dengan keberadaan material tertentu dalam ruang kenyataan [6]. Dan Matematika modern yang kita kenal hari ini adalah koleksi raksasa metafora dan paduan struktur abstraksi yang ber-evolusi sejak dibangun beratus-ratus tahun yang lalu. Konsep dan gagasan terungkap melalui persamaan, definisi, aksioma, atau teorema. Bahkan matematika modern telah memiliki begitu banyak “kosa kata” baru dalam peri-perkembangannya yang tak mudah untuk ditelusuri kaitannya dengan keberadaan material tertentu dalam ruang keseharian orang awam. Manusia modern menikmati arsitektur, transportasi, ekonomi, elektronika, seni dan sebagainya sebagai keseharian nyata yang biasa, sementara semua orang mafhum bahwa matematika jelas memiliki saham di hampir semua hal modern itu. Gagasan matematis telah membentuk ruang-ruang semiotika baru, di mana mereka yang tak memiliki latar belakang matematis hanya dapat “merasakan” dampak dan banyak konsekuensinya dalam ruang kehidupan yang nyata. Kebenaran sebuah teorema, persamaan, dan banyak relasi-relasi matematis pada dasarnya benar, bergantung dari apa yang dimaksudkan oleh teorema, persamaan, dan relasi konseptual matematika itu sendiri. Matematika yang kita kenal hari ini menceritakan jalan panjang pemikiran manusia dari konsep-konsep dan abstraksi sederhana purba, yang memiliki relasi-relasi dan keterhubungan satu sama lain dengan konsep-konsep. Inilah yang lalu membawa kita pada pertanyaan yang menggelitik saat memandang kemegahan etnografia yang beragam dalam lanskap budaya di kepulauan nusantara ini. Kemegahan Candi *)
Disampaikan pada Workshop Ikatan Himpunan Mahasiswa Matematika (IKAHIMATIKA) Indonesia “Nothing without Maths”, Jakarta, 3 November 2012.. **)
Penulis adalah peneliti di Dept. Computational Sociology, Bandung Fe Institute. Personal Web: http://www.bandungfe.net/hs halaman 1 dari 5 halaman
Borobudur yang dikenal sebagai satu dari situs Budha terkompleks sekaligus terbesar ukurannya di planet bumi kita, memiliki arsitektur luar biasa, mulai dari struktur konstruksinya, hingga ornamentasi dan dekorasi yang terpahatkan di sana. Dan kita juga semakin tergelitik, saat kita juga memaklumi bahwa pada masa candi besar tersebut dibangun, kita tak menggunakan cara berfikir matematis sebagaimana arsitek atau insinyur rekayasa sipil hari ini membangun sebuah mega-struktur serupa Borobudur(!). Ada sebuah fakta geometris menarik yang ditunjukkan pada Borobudur, yaitu bahwa bagian-bagiannya (sebagaimana dikaitkan dengan mitologi yang ada, tentang bagian-bagian candi, meliputi kaki, badan, dan kepala) senantiasa mengikuti perbandingan ukuran 4:6:9, baik jika dilihat dalam penampang vertikal maupun horizontal [1]. Suatu perbandingan yang juga ditemukan dalam satu stupa yang ada, yang merupakan bagian dari Borobudur, baik stupa yang berukuran besar (di lantai atas), maupun stupastupa kecil di bagian lantai dasar. Variasi ukuran stupa terlihat berbeda-beda, namun sungguh menarik untuk melihat bahwa rasio ukuran kaki:badan:kepala tetap seolah dipatuhi bersesuaian dengan penampang besar Borobudur.
Gambar 1. Penampang Candi Borobudur: kaki-badan-kepala.
halaman 2 dari 5 halaman
Dengan melakukan pengukuran yang detail atas seluruh stupa hingga bentuk-bentuk sangat kecil yang memiliki keserupaan dengan stupa yang merupakan elemen dari candi, ditunjukkan bahwa seolah-olah pembangun candi tak mempedulikan dimensi ukuran dan penskalaan candi, namun senantiasa melakukan “pengisian” bangunan candi secara 3-dimensional dalam bentuk-bentuk stupa yang bagianbagiannya mematuhi perbandingan,
x(l 1) x(l )
x(l ) 3
dan
y(l 1) y(l )
y(l ) 2
di mana x(l ) adalah lebar dan y(l ) adalah tinggi pada level l . Suatu rumusan perbandingan yang lalu menunjukkan pola bertingkat (seberapapun ukuran awal stupanya ( x(l ) dan y(l ) saat l = 1) untuk perbandingan …:4:6:9:…. [14]. Seolah-olah demikianlah perubahan ukuran dari tingkat-tingkatan dalam satu stupa jika kontinuitas dari ukuran stupa yang dibangun diteruskan hingga ketakberhinggaan. Namun konsep “ketakberhinggaan” tentu merupakan suatu konsep matematis yang sulit dicari kaitannya dalam ruang kenyataan sehari-hari. “Ketakberhinggan” merupakan sebuah metafora yang berasal dari berbagai struktur konsepsi yang kait-mengkait dalam khazanah matematika [10]. Konsep “ketakberhinggaan” merupakan sesuatu konsep yang dalam geometri kerap kita temukan ketika kita berbicara tentang aspek-aspek dengan simetri yang luar biasa, yakni pada bangun-bangun geometris dengan struktur yang memiliki kemiripan pada diri sendiri. Struktur bangun yang memiliki dimensi yang bukan bilangan bulat (1, 2, 3,…) melainkan pecahan (fraction) yakni bangun geometris yang dikenal dengan sebutan “fraktal” (fractal). Uji sifat kemiripan pada diri sendiri pada Candi Borobudur pun dilakukan. Pengukuran detail mulai dari lanskap besar candi hingga bentuk stupa terkecil dilakukan diikuti dengan kalkulasi penghitungan-kotak (box-counting) untuk bangun 3-dimensional dengan metode Dimensi Minkowski–Bouligand [3, 4]. Jika kita menyatakan bangun Borobudur sebagai bentuk geometris A F ( X ) di mana ( X , ) adalah ruang metrik, maka kita dapat mendefinisikan bahwa untuk 0 kita memiliki N ( A, ) sebagai jumlah kotak dengan panjang sisi yang sangat amat kecil 0 yang melingkupi seluruh bangun A . Di sini, bangun Borobudur didefinisikan memiliki dimensi fraktal,
ln N ( A, ) D lim 0 ln 1 yang pada praktiknya kalkulasi dilakukan dengan menghitung jumlah kotak yang sisinya
12 yang n
memenuhi ruang bangun candi, kita nyatakan dengan Nn ( A) . Dimensi fraktalnya dapat ditulis sebagai
halaman 3 dari 5 halaman
ln Nn ( A) D lim n n ln(2 ) Dan menariknya adalah bahwa Candi Borobudur memiliki dimensi fraktal,
Dborobudur 2.3252 [14]. Sebagai sebuah bangun geometris dengan dimensi 2 D 3 , Candi Borobudur ditunjukkan memiliki karakteristik bangun 3-dimensional yang “terfragmentasi” [8]. Candi Borobudur memberikan “pengalaman” 2 dimensional meski bentuknya yang memang 3-dimensi itu. Borobudur tak bisa dipersamakan sebagai kerucut, meski berbentuk kerucut. Borobudur adalah stupa raksasa yang di dalamnya terdapat stupa-stupa lain yang menyusunnya. Seperti halnya kriya seni batik [16], pola kemiripan pada diri sendiri geometri fraktal terdeteksi pula pada Candi Borobudur. Keteraturan dan pola yang muncul pada Candi Borobudur, bagaimanapun adalah sebuah cara bermatematika. Hanya saja cara ber-matematika-nya tak selazimnya yang dikenal oleh masyarakat modern. Borobudur dibangun dengan menumpuk satu batu dengan batu yang lain. Cara bergeometri Candi Borobudur berbeda. Ia tak dimulai dengan pola-pola geometri yang standar. Ia berawal dari stupa dengan berbagai ukuran, dan dengan aturan tertentu, batu-batu ditumpuk dengan “algoritma” tertentu sehingga secara utuh, Borobudur itu sendiri memiliki bentuk sebuah stupa raksasa [15]. Cara bermatematika serupa ini seperti juga ditemukan pada pola pigmentasi pada hewan, seperti misalnya pola pigmentasi cangkang kerang-kerangan. Alam rupanya juga ber-geometri [2], dan pola yang serupa ini juga ter-adaptasi oleh masyarakat dengan geometri primitif yang membangun Candi Borobudur. Sebuah cara bergeometri yang mengisi kekosongan dengan pola dan bentuk yang pada akhirnya membentuk pola dan bentuk yang serupa dengan pola dan bentuk penyusunnya itu sendiri [5]. Tak ada meter standar yang digunakan selain perbandingan ukuran antara satu bagian dengan bagian yang lain. Menumpuk batu dengan aturan-aturan tertentu untuk lalu terciptalah karya besar seperti Borobudur. Sebuah cara ber-matematika yang unik, yang bahkan menggoda fisikawan Stephen Wolfram untuk menyebutnya sebagai cara “ber-sains” yang baru: the new kind of science [18]. Jika ini merupakan jejak-jejak ber-matematika penghuni nusantara di masa silam, kita sebagai generasi yang mewarisi Candi Borobudur memiliki panggilan untuk menggali lebih jauh lagi. Menggali metafora dan bagaimana relasi-relasi konseptual kita dalam meng-abstraksi kehidupan di alam dan sosial. Ada banyak kecerdasan kolektif sebagaimana halnya Borobudur ini di sepanjang kepulauan besar nusantara kita. Mulai dari teknik pertanian seperti subak di Bali [7], tata cara dalihan natolu di suku Batak [11], pola bertata-negara dan birokrasi [9], hingga penciptaan kriya seni yang bisa menginspirasi peradaban modern kita hari ini dan masa depan [16]. Kita hidup di era yang penuh dengan krisis sosial dan ekologis. Mungkin saja penggalian lebih lanjut tata kelola hidup tradisional yang terbukti bisa menjaga harmonisasi kehidupan sebagaimana tercetak pada kemegahan Candi Borobudur dapat menjadi pijakan inspiratif [12]. Kita juga hidup di era informasi, di mana kreativitas memainkan peran sangat penting di dalamnya. Bisa saja penggalian lebih lanjut cara ber-kriya yang unik ini dapat memberikan inspirasi karya-karya estetika modern yang dapat memberi nilai tambah bagi peradaban modern kita [13], kini dan masa depan.
halaman 4 dari 5 halaman
Karya Yang Disebut: [1.] [2.] [3.] [4.] [5.] [6.] [7.] [8.] [9.] [10.] [11.] [12.]
[13.] [14.] [15.] [16.] [17.] [18.]
Atmadi , P. (1988). Some Architectural Design Principles of Temples in Java: A study through the buildings projection on the reliefs of Borobudur temple. Gajah Mada UP. Bak, P.(1996). How Nature Works: The Science of Self-organized Criticality. Springer-Verlag. Barnsley. M. F. (1988). Fractals Everywhere. Academic Press. Falconer, K. (2003). Fractal Geometry: Mathematical Foundations and Applications 2nd ed. John Willey & Sons. Kappraf, J. (1990). Connections: The Geometric Bridge between Art and Science 2nd ed. World Scientific. Lakoff, G. & Nuñez, R. E. (2001). Where Mathematics Comes From: How the Embodied Mind Brings Mathematics into Being. Basic Books. Lansing, S. J. (2006). Perfect Order: Recognizing Complexity in Bali. Princeton UP. Mandelbrot, B. (1982). Fractal Geometry of Nature. W. H. Freeman and Co. Maulana, A. & Situngkir, H. (2010). "Relasi Evolusioner Struktur Birokrasi Kerajaan‐Kerajaan Klasik Nusantara". BFI Working Paper Series WP-3-2010. URL: http://www.bandungfe.net/?go=xpi&&crp=4befb34b Nuñez, R. E. (2005). "Creating mathematical infinities: Metaphor, blending, and the beauty of transfinite cardinals". Journal of Pragmatics 37. Elsevier. Situngkir, H. (2008). “How Close a Bataknese One Another?: Study of Indonesian Batak’s Family Tree”. BFI Working Paper Series WP-2-2008. URL: http://www.bandungfe.net/?go=xpg&&crp=47f9b47c Situngkir, H. (2009). Memperbaharui Pendidikan Sains Dasar untuk Pembalikan Krisis Sosial Ekologis(?). Makalah dipresentasikan Seminar Pemaparan “Imperatif Pembalikan Krisis Sosial Ekologis dan Pengurusan Publik”, Institut Teknologi Bandung, 11 Februari 2009. Situngkir, H. (2009). “Evolutionary Economics Celebrates Innovation and Creativity-Based Economy”. The Icfai University Journal of Knowledge Management 7(2):7-17. Situngkir, H. (2010). "Borobudur was Built Algorithmically". BFI Working Paper Series WP-8-2010. URL: http://www.bandungfe.net/?go=xpi&&crp=4c8658c4 Situngkir, H. (2010). "Exploring Ancient Architectural Designs with Cellular Automata". BFI Working Paper Series WP9-2010. URL: http://www.bandungfe.net/?go=xpi&&crp=4cd3d78e Situngkir, H. (2012). "Deconstructing Bataknese Gorga". BFI Working Paper Series WP-7-2012. Situngkir, H. & Dahlan, R. M. (2008). Fisika Batik: Jejak Sains Modern dalam Seni Tradisi Indonesia. Gramedia. Wolfram, S. (2002). A New Kind of Science. Wolfram Media Inc.
halaman 5 dari 5 halaman