JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)
1
ANALISIS PERUBAHAN IONOSFER AKIBAT LETUSAN GUNUNG MERAPI YOGYAKARTA 2010 (Studi Kasus: Gunung Merapi, Daerah Istimewa Yogyakarta) Lino Garda Denaro1, Mochamad Nur Cahyadi1 Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia e-mail:
[email protected]
1
Abstrak—Lentusan Gunung Merapi merupakan fenomena alam yang sering terjadi di Jawa Tengah. Dari beberapa letusan yang telah terjadi dari tahun 1900 sampai 2000 yang tercatat, sebanyak 20 kali letusan. Dan pada tahun 2010, gunung merapi meletus hingga hampir dua minggu secara berturut-turut. Letusan yang terbesar terjadi pada 5 Nopember tahun 2010 dini hari pada 01.45 AM WIB. Letusan gunung tersebut menghasilkan tekanan keatas yang disertai oleh lava yang tersembur melalui mulut gunung. Dari letusan ini, menghasilkan beberapa perambatan gelombang yakni Acoustic, Gravity, dan Rayleigh. Gelombang tersebut memiliki ciri masing-masing. Gelombang Rayleigh merambat secara horizontal yang biasanya menyebabkan gempa bumi atau goncangan yang bersifat destruktif. Dan gelombang yang lainnya, accoustic yang mempunyai kecepatan berkisar 1 km/h dan gelombang gravity yang mempunyai kecepatan 0,3 km/h, akan merambat keatas hingga ke beberapa lapisan atmosfer. Dari beberapa lapisan yang dilewati, ada suatu lapisan yang sangat dinamis, yang berjarak kira-kira 300 km dari permukaan bumi, ionosfer. Pada saat gelombang letusan mencapai ionosfer, gangguan tersebut dapat diketahui dari sinyal GPS yang melaluinya. Pada gangguan di ionosfer tersebut dapat diukur dengan menggunakan kombinasi L4 yang biasa disebut linear ionospheric combination sehingga didapat nilai TEC (Total Electron Content) dimana 1 TECU adalah 1.016 el/m2. Nilai inilah yang berfungsi untuk menentukan kadar besaran gangguan akibat letusan yang terjadi pada gunung merapi 2010. Kata Kunci—Erupsi Gunung Merapi, Satelit GPS, TEC
I. PENDAHULUAN
I
NDONESIA adalah Negara kepulauan yang berada pada pertemuan dan tumbukan tiga lempeng tektonik yaitu Australia, Eurasia, dan Pasifik yang pergerakannya merupakan salah satu penyebab gempa bumi yang ada di Indonesia. Dari pergerakan lempeng tersebut yang mengakibatkan gempa, maka Indonesia sering disebut berada pada daerah Cincin Api. Cincin api adalah daerah yang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi. Akibat tumbukan lempeng tersebut maka Indonesia mempunyai 129 buah gunung api aktif atau sekitar 13 % dari gunung aktif di dunia sepanjang Sumatera, Jawa sampai laut Banda.
Gunung berapi atau gunung adalah gunung yang masih aktif dalam mengeluarkan material di dalamnya. Gunung Merapi adalah gunung berapi di Jawa Tengah dan merupakan salah satu gunung api teraktif di Indonesia. Letak koordinat lintangnya adalah 7o32’31’’ LS dan 110o26’46’’ BT. Lereng sisi selatan berada dalam administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan lainnya berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang di sisi barat, Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, serta Kabupaten Klaten di sisi tenggara. Akibat dari letusan Gunung Merapi ini menyembabkan beberapa hal termasuk perubahan variasi Ionosfer. Saat terjadinya letusan, magma yang berada dalam perut bumi tidak stabil dan akan terjadi tekanan ke atas[8]. Tekanan ini akan membentuk dan merambatkan energi gelombang permukaan maupun dibawah tanah dalam bentuk getaran. Perambatan yang berada pada permukaan bumi dan merambat secara horizontal disebut dengan gelombang Rayleigh (kecepatan 4 km/s). Gelombang rayleigh inilah yang akan mengakibatkan gempa bumi. Namun, untuk gelombang ini tidak akan dibahas lebih jauh. Pada letusan Gunung Api terdapat dua gelombang yang dominan yang biasa disebut dengan gelombang acoustic (kecepatan 1 km/s) dan Gravity (kecepatan 0.3 km/s) [4]. Pada saat gelombang ini mencapai ionosfer maka akan terjadi gangguan ionosfer yang diukur dengan sinyal GPS yang dikirimkan ke receiver permukan bumi. Gangguan ini direkam dengan frekuensi L4=L1-L2 yang terdiri dari kombinasi L1 (1575.42 MHz) dan L2 (1227.60 MHz). Dengan data dari beberapa satelit yang melintasi di atasnya, gangguan ini terlihat setelah 11 – 16 menit terjadinya gempa dan merambat secepat kecepatan ~0,7 km /detik [3]. II. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah menggambarkan hasil dari pengukuran ionosfer dengan menggunakan satelit GPS yang diakibatkan oleh letusan Gunung Merapi 2010 yang direkam dengan menggunakan GPS-CORS di Indonesia. Dari hasil penggambaran tersebut, dapat diketahui ada beberapa factor
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) yang dapat dijadikan parameter pengukuran yaitu 1. Waktu yang dibutuhkan gelombang letusan gunung berapi mencapai ionosfer, 2. Menentukan satelit-satelit yang dapat merekam terjadinya gangguan ionosfer tersebut, 3. Menentukan nilai TEC yang diakibatkan dari letusan gunung berapi. III. METODOLOGI Lokasi penelitian ini dilakukan pada stasiun pengamatan CORS-GPS di seluruh wilayah Pulau Jawa dan Pulau Sumatra yang diambil dari instansi BIG (Badan Informasi Geospatial) dan SUGAR (Sumatra GPS Array) secara berurutan.
2
terjadinya gangguan gangguan di ionosfer. Jika ada catatan gangguan ionosfer, maka akan ada suatu anomaly yang berbeda dengan yang lainnya. Anomaly tersebut menunjukkan nilai gangguan yang terjadi. Pada penelitian ini satelit yang mengalami gangguan adalah satelit 3 dan satelit 6. Selain itu ada data lain untuk menentukan lokasi dimana saat gunung merapi meletus yaitu data navigasi. Dengan dana ini kita dapat mengetahui bagaimana satelit melintasi bumi. Dengan mengetahui pergerakan dan waktunya, dapat pula ditentukan titik IPP dan proyeksiya SIP yang akan dijelaskan pada bab selanjutnya. IV. ANALISA DAN HASIL
Data Observasi (RINEX)
Data Navigasi
Identifikasi Waktu (Jam, Tanggal, Bulan, Tahun)
Proses
Kombinasi L4=(L1-L2)
Posisi Orbit Satelit (X, Y, Z)
Menentukan gangguan pada satelit
Menentukan Posisi IPP dan SIP
Menghitung Nilai STEC Penentuan VTEC relatif
Menghitung TEC
Nilai TEC
Gambar 1. Diagram Alir Tahapan Pengolahan Data
Dapat dilihat pada gambar 1 bahwa ada dua data pokok yang digunakan dalam studi penelitian ini. Data tersebut adalah data observasi rinex dan data navigasi. Pada data rinex, akan diproses sehingga akan didapatkan hasil variasi timeseries stec pada rentang waktu tertentu. Dari hasil time-series tersebut, selanjutnya dipilah mana saja satelit yang merekam
A. Pengukuran Ionosfer dengan satelit GPS Gunung Merapi terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah. Menurut beberapa historis yang pernah tercatat, Pada bulan Juni 2006 Gunung Merapi meletus sebanyak 84 kali[11]. Letusan tersebut termasuk kedalam siklus pendek yait berkisar 2-5 tahun dan siklus menengah yaitu 5-7 tahun (www.merapi.bgl.esdm.go.id). Dari letusan tersebut, tercatat pada tahun 1930, 1961 dan 1969 terjadi letusan yang sangat besar[11]. Pada masa-masa tahun 2010 tepatnya pada bulan Oktober dan November, Gunung merapi mulai menunjukkan aktifitas letusan. Letusan tersebut terjadi secara kontinyu selama kurang lebih dua minggu[11]. Hingga, awan panas mencapai 20 km dari puncak gunung. Gunung Merapi ini diakhiri dengan letusan besar pada 5 November dini hari kirakira pada pukul 01.45 WIB[11]. Pada masa-masa letusan tersebut, kami mengamati gangguan ionosfer yang terjadi pada bagian akhir letusan terbesar Gunung Merapi. Kami mengamati gangguan ionosfer dari stasiun GPS-CORS yang disediakan oleh SUGAR (Sumatra GPS Array) dan yang disediakan oleh BIG (Badan Informasi Geospatial). Pengamatan dari stasiun yang ada tersebut, ada beberapa satelit yang merekam kejadian letusan Merapi dengan nilai TEC yang sangat besar. Dan ad aula yang tida menunjukkan aktifitas gangguan sama sekali dari satelit yang lainnya. Letusan Gunung Merapi ini dapat menimbulkan dorongan energi gelombang acoustic dan juga momentum secara tiba – tiba selama letusan Gunung Merapi yang akan menghasilkan gangguan pada lapisan atmosfer yang dapat menyebabkan terjadinya fluktuasi atau variasi TEC pada lapisan ionosfer. Semakin besar letusan yang terjadi maka gangguan yang akan dihasilkan pada atmosfer akan besar juga. Hal ini disebabkan karena besarnya energi tersebut dapat mengganggu densitas elektron yang ada di ionosfer hingga radius 400 km dari pusat letusan (Heki 2004) dalam [3]. Satelit GPS mengitari bumi dengan ketinggian 20.000 km dari permukaan. Dengan ketinggian tersebut, sinyal yang akan dipancarkan ke receiver permukaan bumi akan lebih dulu melewati atmosfer bumi. Dari perjalanan tersebut, maka sinyal akan mengalami refraksi atau pembelokan terutama pada lapisan ionosfer. Sehingga pada pembelokan ini akan mempengaruhi nilai yang nantinya tercatat oleh receiver. Besarnya nilai bergantung pada kondisi ionosfer pada saat itu,
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) semakin besar gangguan ionosfer yang terjadi seperti letusan gunung api maka pembelokan sinyal akan lebih besar pula sehingga akan dapat dietahui dengan jelas seberapa besar nilai gangguan tersebut. Satelit gps mentransmisikan gelombang L1 dengan frekuensi 1575,42 MHz dan L2 (1227,60 MHz). Adapun juga kombinasi dari frekuensi tersebut yaitu L3 dan L4 yang masing – masing mempunyai keunggulan masingmasing dalam pengukuran. Frekuensi L3 mempunyai keungulan yaitu dapat menghilangkan efek ionosfer yang disebut Ionospheric-free linear combination. Berbeda dengan L4, linear ionospheric combination yang malah mengukur nilai besarnya ionosfer. Pada studi ini, kami menghitung TEC sebagai pokok pembahasan dengan studi kasus erupsi Gunung Merapi 2010. Pada letusan gunung api ini, kembali lagi kami ingatkan bahwa ada tiga macam gelombang yang merambat. Dua gelombang yang akan menjadi kajian kali ini yaitu gelombang acoustic dan gravity. Gelombang ini mempunyai ciri-ciri masing-masing. Gelombang acoustic memiliki ciri yang hampir sama dengan gelombang suara yang memancarkan kearah atas dan gelombang gravity yang menyebar menyamping membentuk sudut kurang lebih 45 derajad terhadap garis normal. Menurut [4] gelombang tersebut mempunyai kecepatan 1km/s dan 0,3 km/s. Dan gelombang yang lain yiatu gelombang Rayleigh dengan kecepatan 4km/s yang bergerak secara horizontal. Gelombang ini yang sering meresahkan penduduk karena sifatnya yang destruktif. Namun dalam paper ini gelombang tersebut tidak akan dibahas.
3
nomor 6. Dari gambar tersebut dapat diketahui masing-masing pengukuran dari stasiun yang berbeda adalah dari 0,2 – 1,8 TECU. Pada time-series ini, gangguan hingga puncak dapat terjadi berkisar 10-25 menit setelah leutsan gunung berapi. Waktu yang digunakan adalah Universal Time (UT). Sehingga untuk menentukan waktu letusan kita tambahkan dengan 7 jam. Untuk mendapatkan nilai variasi STEC yang lebih teliti dan menghilangkan faktor gerakan satelit ketika mengorbit, maka dilakukan dengan metode high pass filter, yaitu polinomial pangkat delapan, kemudian hasil pengurangan dari variasi STEC dan high pass tersebut merupakan short variation (variasi yang pendek) dari VTEC (Vertical Total Electron Content).
Gambar 3. Gangguan ionosfer yang diamati oleh satelit gps nomo 3. Garis abu-abu vertikal menunjukkan waktu terjadinya letusan gunung merapi. Warna pada masing-masing alur menunjukkan stasiun pengamatan yang tertera dalam legenda.
Pada studi lain, kita dapat mengetahui kejadian yang sama seperti letusan Asama volcano 2004 di Jepang dan letusan gunung Kelud 2014 di Jawa Timur. Letusan gunung kelud merupakan letusan yang eksplosiv, namun untuk variasi temporalnya kecil dan dengan resonansi yang panjang [cahyadi 2015]. Menurut (Heki, 2006) pada letusan asama volcano tercatat nilai tec sebesar ~0,16 tecu. Nilai ini tergolong sngat jauh dibandingkan dengan letusan Merapi 2010.
Gambar 2. Pengertian VTEC (Vertical Total Elektron Content) dan STEC (Slant Total Elektron Content) Sumber: H. Z. Abidin 2006. [2] TEC adalah jumlah elektron dalam kolom vertikal (silinder) yang berpenampang seluas 1 meter2 sepanjang lintasan sinyal dalam lapisan ionosfer, seperti yang ditunjukkan pada gambar 1 diatas. TEC per definisi secara lebih spesifik dinamakan Slant Total Electron Content (STEC). Disamping STEC, dikenal juga istilah Vertical Total Electron Content (VTEC), yang mempresentasikan TEC dalam arah vertikal, seperti yang terlihat pada gambar tersebut. Nilai TEC biasanya dinyatakan dalam TECU, dimana 1 TECU adalah sama dengan 106 elektron/m2. Nilai TEC ionosfer pada umumnya berkisar antara 1 sampai 200 TECU. Pada gambar 3 dan 4 dapat dengan jelas kita lihat variasi pendek dari VTEC yang terekam oleh satelit nomor 3 dan
Gambar 4. Gangguan ionosfer yang diamati oleh satelit gps nomo 6. Garis abu-abu vertikal menunjukkan waktu terjadinya letusan gunung merapi. Warna pada masing-masing alur menunjukkan stasiun pengamatan yang tertera dalam legenda.
Perbedaan besarnya tec yang terekam tersebut bergantung pada lokasi receiver cors-gps. Nilai rata-rata yang menunjukkan tec terbesar adalah pada stasiun reciver yang terletak lebih dekat dengan lokasi letusan, yaitu daerah disektar pulau Jawa. Berbeda dengan di Sumatra, karena letaknya yang sangat jauh tersebut maka perlu diperhatikan
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) fluktuasi yang cenderung hampir tidak kelihatan. Namun hal ini masih bisa dipertimbangkan dalam studi tec. Pada gambar 2 dan 3, terjadi fluktuasi paling besar dengan nilai 1,8 tecu yang diamati oleh stasiun csbk, clbg dan cujk yang lokasinya tersebar di Jawa Barat dan Banten. Kebanyakan dari stasiun yang mencatat alur variasi tec tersebut, gangguan terjadi 10-25 menit setelah letusan. Pada saat amplitude mencapai puncaknya, maka akan kembali pada titik terbawah setelah beberapa saat dan kemudian kembali normal. Hal ini merupakan fase recovery yang terjadi pada ionosfer, karena sifat ionosfer yang sangat fleksibel. Pada satelit 3 yang ditunjukkan pada gambar 2, nilai tec yang terlihat sangat signifikan dan juga fase recoverynya adalah stasiun csbk, ctcn dan cujk. Ketiga stasiun tersbut menunjukkan nilai berksar ~1,2 tecu. Tambahannya yaitu stasiun lais dan mnna juga menunjukkan nilai yang berbeda jauh dengan lainnya yiatu 0,8 tecu. Berbeda dengan stasiun lnng dan ngng yang hampir tidak menunjukkan gangguan ditambah hiolangnya data pengamatan pada saat letusan gunung Merapi. Pada satelit 6 yang ditunjukkan oleh gambar 3, hampir sama juga dengan gambar sebelumnya. Gangguan terbesar dengan nilai berisar ~1,8 tecu ditunjukkan oleh stasiun clbg, cujk, csbk dan ctcn beserta fase recovery-nya. Namun berbeda dengan ngng yang sama sekali hampir tidak menunjukkan gangguan. Pada stasiun yang lain yaitu mnna, jmbi, mlkn, lais dan lnng. Menunjukkan fluktuasi yang kecil namun sangat terlihat jelas. Dari beberapa stasiun tersebut dicatat nilai dari 0,2-0,8 tecu. B. Proyeksi alur satelit Perambatan sinyal dari satelit gps dengan ketinggian ~20.000 km dari permukaan bumi disebut dengan line of sigh. Perpotongan los dengan ionosfer disebut dengan IPP (ionospheric Pierce Point). Dalam hal ini, lapisan ionosfer dianggap flat, tipis yang membentang pada ketinggian 300 meter.
4
dapat diproyeksikan deatas permukaan bumi yang biasa disebut dengan SIP (Sub-Ionospheric Point). Arah pergerakan sinyal dari beberapa gelombang seismik yang disebabkan oleh gunung merapi 2010 ini sangat erat kaitanya dengan SIP di sekitar pusat letusan gunung[12].
Gambar 6. Gambar alur satelit 6 yang dipetakan melalui IPP dari berbagai stasiun. Garis biru menunjukkan alur proyeksi dan pada titik merah merupakan waktu dimana terjadi letusan gunung merapi. Simbol Segitiga adalah stasiun cors-gps yang dijelaskan dalam legenda. Dan titik biru yang yang ada di jawa adalah lokasi Gunung Merapi..
Pada tampilan kedua gambar tersebut yaitu gambar 5 dan 6, diperlihatkan alur satelit dari rekaman stasiun pengamat. Jauhnya lokasi ipp dari letusan merapi bergantung pada letak stasiun yang ada dipermukaan, karena pada saat satelit mengorbit, perpotongan los terhadap ionosfer masing – masing berbeda. Dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa saat terjadi letusan merapi, satelit berada di bagian selatan bumi atau barat daya. Pada satelit nomor 3, posisi stasiun yang paling atas, mlkn dapat dilukiskan alurnya kurva biru paling atas, sedangkan mkmk diikuti alur yang berada dibawahnya dan diikuti yang lainnya berturut-turut clbg, mlkn dan clbg. Hampir sama dengan satelit nomor 3, satelit yang bernomor 6 ini juga dapat disimpulkan bahwa terletak di bagian barat daya. Alur ipp yang tergambarkan ini yang terletak di bagian atas adalah milik stasiun mlkn, diikuti pada alur bawahnya yaitu jmbi, mkmk, ctcn, csbk, cujk dan clbg.
V. KESIMPULAN
Gambar 5. Gambar alur satelit nomor 3 yang dipetakan melalui IPP dari berbagai stasiun. Garis biru menunjukkan alur proyeksi dan pada titik merah merupakan waktu dimana terjadi letusan gunung merapi. Simbol Segitiga adalah stasiun cors-gps yang dijelaskan dalam legenda. Dan titik biru yang yang ada di jawa adalah lokasi Gunung Merapi.
Ketinggian tersebut termasuk pada lapisan F-layer yang sesuai dengan kondisi di Indonesia. Pada titik IPP tersebut maka
Penelitian yang dilakukan pada gangguan ionosfer akibat dari erupsi Gunung Merapi tahun 2010 yang terletak di Yogyakarta propinsi Jawa Tengah dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Sebelum Gunung Merapi meletus, tidak adanya gangguan yang teramati kecuali pada stasiun CLBG. Hal ini diasumsikan bahwa sebelum letusan terbesar tersebut terjadi, ada rentetan letusan Gunung Merapi yang dapat direkam melalui satelit GPS nomor 6. Pada saat terjadi letusan besar, maka banyak sekali gangguan yang diamati dari beberapa stasiun pengamatan. Gangguan tersebut
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) terjadi dengan rentang waktu yang berbeda-beda. Berikut waktu yang diamati pada saat terjadi letusan: A. Diamati menggunakan satelit GPS nomor 03. CTCN : 18 menit setelah letusan CUJK : 18 menit setelah letusan LAIS : 12 menit setelah letusan CSBK : 18 menit setelah letusan MNNA : 17 menit setelah letusan NGNG : 50 menit setelah letusan LNNG : 35 menit setelah letusan B. Diamati menggunakan satelit GPS nomor 06. CLBG : 8 menit sebelum letusan CTCN : 35 menit setelah letusan CUJK : 23 menit setelah letusan JMBI : 13 menit setelah letusan LAIS : 15 menit setelah letusan CSBK : 24 menit setelah letusan MLKN : 15 menit setelah letusan MNNA : 14 menit setelah letusan NGNG : 40 menit setelah letusan LNNG : 15 menit setelah letusan 2.
Melalui pengamatan GPS-CORS yang ada di Jawa dan Sumatra, didapatkan nilai TEC setiap stasiun GPS-CORS sebagai berikut: A. Diamati menggunakan satelit GPS nomor 03. CTCN : 1,4 TECU CUJK : 1,4 TECU LAIS : 0,4 TECU CSBK : 1,1 TECU MNNA : 0,5 TECU NGNG : 0,7 TECU LNNG : 0,3 TECU
B. Diamati menggunakan satelit GPS nomor 6. CLBG CTCN CUJK JMBI LAIS CSBK MLKN MNNA NGNG LNNG
: 1,5 TECU : 1 TECU : 1,8 TECU : 0,8 TECU : 0,7 TECU : 1,7 TECU : 1,1 TECU : 0,9 TECU : 0,4 TECU : 0,2 TECU
UCAPAN TERIMA KASIH Terimakasih kepada dosen pembimbing Mochamad Nur Cahyadi ST, M.Sc, PhD. dengan dedikasinya telah membimbing dalam berjalannya penelitian ini dan juga kepada instansi Badan Informasi Geospasial (BIG) karena telah memberikan dukungannya dalam bentuk data sehingga menjadikan penelitian ini selesai sampai akhir. Dengan bantuan yang telah diberikan hingga menjadikan penelitian ini.
5
Semoga dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk perkembangan penelitian. Demikian dari saya , saya ucapkan terimakasih. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8] [9]
[10]
[11]
[12]
[13]
Abidin, Dr. Hasanudin Z. 2001. Geodesi Satelit. Jakarta: PT. Anem Kosong Anem. Abidin, Hasanuddin Z. 2006. Penentuan Posisi dengan GPS dan Aplikasinya. Jakarta: PT Pradnya Paramita. Cahyadi, Mochamad Nur, dan Kosuke Heki. 2013. “Ionospheric disturbances of the 2007 Bengkulu and the 2005 Nias earthquakes, Sumatra, observed with a regional GPS network.” JOURNAL OF GEOPHYSICAL RESEARCH 118. Cahyadi, Mokhamad Nur. 2014. Near-Field Coseismic Ionospheric Disturbances of Earthquakes In and Around Indonesia. Hokkaido: Kosuke Heki. Heki, Kosuke , Otsuka Y, Choosakul N., Hemmacorn N., Komolmis T., dan Maruyama T. 2006. “Detection of ruptures of Andaman fault segments in the 2004 great Sumatra earthquake with coseismic ionospheric disturbances.” J. Geophys 111. Hofmann-Wellenhof, B., H. Lichtenegger, dan J. Collins. 2001. Global Positioning System. Graz, Austria: Novographic Druck G.m.b.H..A1230 Wien. Kaloka,, S, Suhartini Jiyo, Perwitasari S, Mardini, dan S Dear A. 2010. Lapisan Ionosfer, Prediksi Frekuensi, dan Teknis Komunikasi Radio. Bandung: Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa LAPAN. Nandi, S.Pd. 2006. Vulkanisme. Jakarta: Geologi Lingkungan. Spilker, Jr J.J. 1996. "GPS Signal Structure and Theorical Performance" in Global Positioning System : theory Application, volume 1, Chapter 3. Washington D.C.: Edited By B.W. Parkinson et al. Taufiqurrahman, Edwards. 2010. Analisis Korelasi Frekuensi Kritis Lapisan F Ionosfer (F Of2) Dengan Gempa Di Sumatera Barat (Studi Kasus Gempa Tanggal 6 Maret 2007 Dan 30 September 2009). Padang: Universitas Andalas. Wahyunto, dan Wasito. 2014. Lintasa Sejarah Erupsi Gunung Merapi. 10 12. Diakses Desember 10, 2014. http://www.litbang.pertanian.go.id/ buku/Erupsi-Gunung-Merapi/Bab-I/1.2.pdf. Denaro, L. G., & Cahyadi, M. N. (2015). Gangguan Ionosfer Akibat Letusan Gunung Merapi 2010 Yang Diamati Oleh Stasiun Gps-Cors Di Pesisir Sumatra. Simnas. http://www.ae.metu.edu.tr/~tyapici/thesis/chapter2.pdf diakses tanggal 18 Mei 2015