BAB I PENDAHULUAN
1.1 Alasan Pemilihan Judul 1.1.1 Aktualitas Dewasa ini kemunculan desa wisata mulai marak di berbagai daerah di Indonesia. Hal tersebut diikuti juga dengan munculnya ideide kraetif dalam upaya pengembangan desa wisata agar kesan unik dan berbeda didapat dari desa wisata lainnya. Hingga saat ini, tercatat banyak desa wisata yang bermunculan namun hanya sebagian kecil yang berhasil, dalam arti sanggup mendatangkan wisatawan secara berkala, namun belum mampu meningkatkan ekonomi masyarakat lokalnya. Fenomena maraknya desa wisata di Indonesia seringkali terjadi bukan sebagai bentuk kreatifitas, tetapi lebih pada prestige. Sangat sering ditemui desa wisata yang infrastrukturnya tidak siap untuk dikunjungi wisatawan, atau di beberapa kasus tidak adanya manajemem yang terbuka dan profesional yang dapat digunakan dalam pengelolaan desa wisata. Keadaan ini menuntut adanya organisasi pelaksana, pengembangan dan pemasaran dalam desa wisata yang memiliki program kerja yang jelas dan punya kemandirian dalam pengelolaan sehingga keberadaanya bisa berkelanjutan. Meskipun banyak desa-desa wisata bermunculan, tetapi perkembanganya masih
1
bersifat fluktuatif dan kualitatif. Hal ini diduga terjadi akibat masih lemahnya kelembagaan dalam desa wisata tersebut. Salah satu potensi pariwisata dalam desa wisata berbasis ekonomi kreatif terdapat di Desa Wisata Kerajinan Tenun di Dusun Gamplong, Desa Sumberrahayu, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman, DIY. Dalam desa wisata kerajinan Tenun Gamplong, potensi wisata yang ada dikelola melalui lembaga-lembaga kemasyarakatan desa yang teribat dalam pengelolaan desa wisata. Pola-pola kelembagaan antar lembaga yang ada disinyalir telah berhasil mempertahankan eksistensi Gamplong sebagai desa wisata kerajinan Tenun. Dalam hal kelembagaan, konektivitas antara desa wisata dan ekonomi kreatif diwujudkan dalam bentuk outlet penjualan yang terletak di daerah wisata tersebut. Bengkel kerja atau studio sebagai ruang kreatif dihubungkan dengan daerah wisata sehingga tercipta konektivitas untuk mempermudah rantai produksi dan meningkatkan promosi wisata. Dengan kata lain, aktivitas wisata di Gamplong menjadi venue bagi ekonomi kreatif untuk proses produksi, distribusi, sekaligus pemasaran. Melihat dari isu perkembangan desa wisata yang semakin marak dewasa ini, dan dilihat pula bahwa potensi ekonomi kreatif dapat dikembangkan bersamaan dengan pengelolaan desa wisata, maka sekiranya bahwa isu seperti ini cukup aktual untuk dijadikan sebuah penelitian. Hasil pengembangan desa wisata berbasis ekonomi kreatif
2
melalui strategi penguatan kelembagaan yang baik diharapkan mampu memberikan dampak positif yang akan berpengaruh pada kehidupan sosial, iklim bisnis, serta pada eksistensi dan citra desa wisata. 1.1.2 Keterkaitan
dengan
Jurusan
Pembangunan
Sosial
dan
Kesejahteraan Dari sisi judul yang penulis ambil mempunyai keterkaitan dengan bidang ilmu yang penulis geluti, yaitu Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. Secara umum, Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan termasuk dalam lingkup ilmu-ilmu sosial yang mempunyai obyek material masyarakat atau manusia. Secara definitif, Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang fenomena pembangunan masyarakat (community development) yang berbasis pada penelitian sosial dan berorientasi pada pemecahan masalah-masalah sosial (solving social problems). Konsentrasi
kajian
Ilmu
Pembangunan
Sosial
dan
Kesejahteraan yang dahulunya bernama Jurusan Ilmu Sosiatri berfokus pada tiga konsentrasi, yaitu; (1) masalah Sosial atau social patologis dengan penanganan beberapa pendekatan individual approach, (2) pembangunan masyarakat atau community development yang bergeser pada upaya pemberdayaan masyarakat, dan (3) Corporate Social Responsibility (CSR), dimana salah satu penanganan dari berbagai macam masalah pembangunan masyarakat yang bersifat preventif,
3
rehabilitasi
dan
developmental.
Ketiga
konsentrasi
tersebut
merepresentasikan kajian mengenai upaya yang dilakukan secara integral untuk menyelesaikan permasalahan sosial yang bermuara pada terciptanya kesejahteraan sosial. Seiring dengan dinamika perkembangan desa wisata yang semakin marak, dan pola pengembanganya yang bisa didasari atau melibatkan masyarakat lokalnya Isu penguatan kelembagaan desa wisata berbasis ekonomi kreatif jika dispesifikkan berdasar konsentrasi jurusan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, penelitian ini merupakan bagian dari upaya sosial yang masuk ke dalam kategori pemberdayaan masyarakat. Lebih jauh, melalui strategi penguatan kelembagaan dalam desa wisata berbasis ekonomi kreatif dapat berpengaruh
pada
hubungan
masyarakat
lokal
untuk
bisa
memanfaatkan moment tersebut sebagai sarana mengembangkan usaha mandiri untuk mencapai keberdayaan sosial, sehingga juga akan mendorong terciptanya lapangan kerja dan mendukung perwujudaan pembangunan daerah dan kesejahteaan sosial masyarakat. 1.1.3
Orisinilitas Sebuah penelitian dikatakan orisinil atau asli apabila masalah yang dikemukakan belum pernah dipecahkan oleh peneliti terdahulu, ataupun jika pernah diteliti maka dinyatakan secara tegas perbedaanya. Hasil penelitian terdahulu yang dianggap relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa PSdK
4
UGM tahun 2010 yakni terkait “Pemberdayaan Wanita Lansia Melalui Pengembangan Usaha Tenun Berbasis Masyarakat” oleh Sayyid Fachrrazi, dkk. Penelitian ini menjelaskan tentang bentuk-bentuk pemberdayaan terhadap Lansia dalam desa wisata Gamplong. Meskipun penelitian tersebut mengambil tempat yang sama yakni di desa wisata kerajinan Tenun Gamplong, namun penelitian yang penulis lakukan mengambil fokus yang berbeda, yakni terkait dengan bentuk-bentuk strategi penguatan kelembagaan dalam desa wisata berbasis ekonomi kreatif. Penelitian lainya berjudul “Strategi Pengembangan Potensi Desa menjadi Desa Wisata di Kabupaten Tabanan, Bali. Penelitian yang dilakukan oleh I Wayan Pantiyasa (2013) ini menjelaskan tentang bentuk-bentuk strategi dalam pengembangan desa wisata yang meliputi: (a) penataan organisasi pengelola desa wisata, (b) penyusunan aturan dalam bentuk anggaran dasar dan anggaran rumah tangga kelompok sadar wisata, (c) pengembangan atraksi wisata, (d) penyiapan sarana dan prasarana, (e) sosialisasi kepada masyarakat lokal, (f) melakukan pemasaran produk desa wisata, serta (g) membuat program kebersihan desa. Penelitian lainya dilakukan oleh Sapja Anantanyu (2009) dengan judul “Partisipasi Petani dalam Meningkatkan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani”. Hasil penelitian menunjukkan upaya peningkatan kapasitas kelembagaan petani dilakukan sejalan dengan
5
kegiatan penyuluhan pertanian dengan memotivasi petani untuk berpartisipasi dalam kelembagaan petani. Penyuluhan pertanian dirancang dengan memberikan muatan pada penguatan kapasitas individu petani sekaligus penguatan kapasitas kelembagaan petani. Upaya ini dilakukan oleh pihak pemerintah seperti meningkatkan kapasitas para penyuluh lapangan dengan menggunakan cara-cara atau pendekatan partisipatif yang berorientasi pada kebutuhan petani dalam melakukan kegiatan penyuluhan, dan memperkuat kelembagaan penyuluhan. Dalam penelitian yang penulis lakukan, pengembangan desa wisata Gamplong dilakukan melalui melalui kelompok-kelompok pengelola, sehingga sekiranya dibutuhkan strategi yang tepat dalam pengembangan desa wisata. Dalam hal ini, aspek kelembagaan dapat menjadi kunci penting dalam menunjang keberhasilan desa wisata. Lebih jauh lagi, melalui hubungan kelembagaan yang dibangun berdasarkan strategi yang tepat akan mampu memberikan pengaruh pada upaya-upaya pemberdayaan terhadap masyarakat lokal desa wisata.
Oleh
karena
itu,
pengembangan
desa
wisata
yang
memperhatikan terkait strategi dan kelembagaan, diharapkan akan mampu mempertahankan eksistensi dan keberlanjutannya.
6
1.2
Latar Belakang Perkembangan pariwisata di Indonesia sampai saat ini telah masuk ke dalam tatanan baru. Salah satu tren perkembangan pariwisata dalam beberapa tahun belakangan adalah perkembangan model pariwisata berbasis desa wisata. Istilah desa wisata sendiri mengacu pada suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku (Nuryanti. 1993:10). Desa wisata biasanya merupakan suatu kawasan
pedesaan
yang
menawarkan
keseluruhan
suasana
yang
mencerminkan keaslian pedesaan baik dari kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa yang khas, atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkannya berbagai komponen
kepariwisataan,
misalnya:
atraksi,
akomodasi,
kuliner,
cinderamata, dan kebutuhan wisata lainnya. Pada tahun 2007, pemerintah Indonesia telah mencanangkan program Visit Indonesia sebagai upaya mempromosikan tujuan pariwisata di Indonesia kepada wisatawan mancanegara maupun lokal. Dengan adanya kebijakan tentang kepariwisataan itulah, pengembangan desa-desa wisata di Indonesia mulai bermunculan. Mengacu pada data Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, sampai tahun 2012 di Indonesia terdapat 978 desa wisata. Jumlah ini meningkat tajam dibanding tahun 2009 yang hanya tercatat 144 desa untuk tujuan pariwisata (PNPM Mandiri, 2013). Bersamaan dengan maraknya
7
kemunculan desa-desa wisata di Indonesia, hal tersebut diikuti juga dengan munculnya ide-ide kreatif dalam usaha pengembangan desa wisata yang dipromosikan, agar kesan unik dan berbeda didapat dari desa wisata lainnya. Hal inilah yang kemudian mendorong pengembangan desa wisata yang kemudian ditunjukkan dengan pengelolaan desa wisata yang mengarah ke basis ekonomi kreatif. Ekonomi kreatif dan sektor pariwisata merupakan dua hal yang saling berpengaruh dan dapat saling bersinergi jika dikelola dengan baik. Pariwisata dan ekonomi kreatif dapat diibaratkan sebagai gula dan semut, dimana pariwisata adalah gula dan ekonomi kreatif adalah semutnya. Pariwisata akan semakin menarik orang-orang untuk membuat karya yang mungkin bisa menjadi ciri dari daerah yang mereka kunjungi, atau dengan kata lain disebut juga dengan oleh-oleh khas. Namun antara pariwisata dan ekonomi kreatif juga dapat disebut ekonomi kreatif adalah gulanya dan pariwisata adalah semutnya. Sebut saja desa wisata, desa wisata yang laku dijual disebabkan karena karya-karya kreatif yang diproduksinya. Ada juga yang disebabkan karena budaya yang dimiliki desa tersebut. Dalam pengembangan ekonomi kreatif melalui sektor pariwisata yang dijelaskan lebih lanjut, kreativitas akan merangsang daerah tujuan wisata untuk menciptakan produk-produk inovatif yang akan memberi nilai tambah dan daya saing yang lebih tinggi dibanding dengan daerah tujuan wisata lainnya. Dari sisi wisatawan, mereka akan merasa lebih tertarik untuk berkunjung ke daerah wisata yang memiliki produk khas untuk kemudian dibawa pulang sebagai souvenir. Di sisi lain, produk-produk kreatif tersebut
8
secara tidak langsung akan melibatkan individu dan pengusaha yang bersentuhan dengan sektor budaya. Persentuhan tersebut akan membawa dampak positif pada upaya pelestarian budaya dan sekaligus peningkatan ekonomi serta estetika lokasi wisata. Sinergi antara ekonomi kreatif dengan sektor pariwisata merupakan sebuah model pengembangan ekonomi yang cukup potensial untuk dikembangkan. Dalam mengembangkan ekonomi kreatif sebagai penggerak desa wisata misalnya, diperlukan adanya konektivitas, yaitu dengan menciptakan outlet produk-prdouk kreatif di lokasi yang strategsi dalam desa wisata. Outlet tersebut nantinya dapat dikemas bersamaan dalam paket-paket wisata. Pada akhirnya wisatawan yang berkunjung tidak hanya sekedar membeli souvenir, tetapi juga melihat proses pembuatannya dan bahkan ikut serta dalam proses pembuatan tersebut atau dengan kata lain souvenir sebagai memorabilia (Suparwoko, 2010:8). Hingga saat ini, tercatat banyak desa wisata yang bermunculan namun hanya sebagian kecil yang berhasil, dalam arti sanggup mendatangkan wisatawan secara berkala, namun belum mampu meningkatkan ekonomi warganya.
Meskipun
banyak
desa-desa
wisata
bermunculan,
tetapi
perkembanganya masih bersifat fluktuatif dan kualitatif. Fenomena banyaknya desa wisata di Indonesia seringkali terjadi bukan sebagai bentuk kreatifitas, tetapi lebih pada prestige. Sangat sering ditemui desa wisata yang infrastrukturnya tidak siap untuk dikunjungi wisatawan, atau di beberapa kasus tidak adanya manajemem yang terbuka dan profesional yang dapat digunakan 9
dalam pengelolaan desa wisata. Keadaan ini menuntut adanya organisasi pelaksana, pengembangan dan pemasaran dalam desa wisata yang memiliki program kerja yang jelas dan punya kemandirian dalam pengelolaan sehingga keberadaanya bisa berkelanjutan. Dalam pengembangan desa wisata, sangatlah penting memberikan pengenalan kepada masyarakat lokal untuk memahami esensi pariwisata melalui potensi yang dimiliki. Bagi daerah daerah yang memiliki karakteristik dan keunikan terutama di kesehariam masyarakat desa maka potensi tersebut akan sangat membantu dalam upaya pengembangan desa wisata. Lebih jauh, hal tersebut dapat mencegah masyarakat lokal untuk tidak terlibat dalam lakon sebagai penonton saja, tetapi penaggungjawab dan pelaku aktif dalam pariwisata (Damanik, 2010). Ada dua poin penting yang perlu diperhatikan dalam upaya pengembangan desa wisata (Sastrayuda, 2010:20): Pertama, dari sisi pengembangan kelembagaan desa wisata perlunya perencanaan awal yang tepat dalam menentukan usulan program atau kegiatan khususnya pada kelompok sadar wisata agar mampu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat melalui pelaksanaan program pelatihan pengembangan desa wisata, seperti: pelatihan bagi kelompok sadar wisata, pelatihan tata boga dan tata homestay, pembuatan cinderamata, pelatihan guide (pemandu wisata). Kedua, dari sisi pengembangan objek dan daya tarik wisata, perlunya perencanaan awal dari masyarakat untuk menjadi tuan rumah yang baik bagi
10
wisatawan dan mampu mendatangkan wisatawan dari berbagai potensi yang dimiliki oleh masyarakat, serta perlunya sosialisasi dari instansi terkait dalam rangka menggalakkan sapta pesona dan paket desa wisata terpadu. Dari sisi pengembangan sarana prasarana wisata, perencanaan awal dari pemerintah perlu diarahkan ke pengembangan sarana prasarana wisata yang baru seperti: pembangunan gapura, gedung khusus pengelola desa wisata, cinderamata khas setempat, dan rumah makan bernuansa alami pedesaan. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya perlu menjalin kemitraan dengan pemerintah dan pihak swasta. Dalam pengembangan desa wisata juga perlu memperhatikan terkait dengan kelembagaan dalam pengelolaan desa wisata. Aspek kelembagaan merupakan
komponen
penting
dalam
menunjang
keberhasilan
pengembangan desa wisata. Melalui upaya kelembagaan diharapkan pengembangan desa wisata dapat terus berjalan dan berkelanjutan. Menurut Inskeep (1991), dalam konteks pariwisata, kelembagaan adalah salah satu komponen penting dalam menunjang keberhasilan pariwisata. Tanpa adanya kelembagaan yang kuat, maka fungsi perencanaan, pengembangan dan pemasaran sebuah desatinasi wisata tidak akan berjalan optimal. Keadaan ini menuntut adanya organisasi pelaksana, pengembangan dan pemasaran destinasi wisata yang kuat. Menurut WTO (2004), bahwa semua organisasi destinasi harus memiliki kelembagaan yang berkerja dalam berbagai bentuk aktifitas pariwisata, salah satu contohnya adalah bagian pemasaran. Aktivitas pemasaran disebutkan yang dilakukan mencakup pembuatan dan destinasi
11
brosur, pembuatan website, mengikuti travel mart, pelaksanaan even-even pariwisata. Pada hakikatnya hampir sebagian besar Kota/Kabupaten di Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan sektor pariwisatanya. Salah satu daerah di Indonesia yang memiliki potensi tersebut dapat dijumpai di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Menurut data Statistik Kepariwisataan DIY tahun 2012, pertumbuhan kunjungan wisatawan ke DIY mencapai
2.360.173
wisatawan atau telah tumbuh sekitar 46,80 % dari tahun 2011 yang hanya 1.607.694 wisatawan. Melihat potensi pariwisata yang menjanjikan DIY terus giat melakukan pengembangan pariwisatanya. Salah satu fokus pengembangan sektor pariwisatanya terdapat dalam sektor desa wisata. Jumlah desa wisata di DIY sampai tahun 2012 mecapai 65 desa wisata yang tersebar di semua Kabupaten di DIY dengan Kabupaten Sleman sebagai penyumbang jumlah desa wisata terbanyak yakni 33 desa wisata. Kabupaten Sleman memiliki potensi besar dalam pengembangan kegiatan kepariwisataan. Potensi tersebut ditunjukkan dari jumlah pengunjung daya tarik wisata di Kabupaten Sleman pada tahun 2012 yang mencapai 3.042.232 orang. Jumlah tersebut juga termasuk dengan jumlah pengunjung desa wisata di Kabupaten Sleman sebesar 137.281 orang pada tahun yang sama. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun 2009 yang hanya mencapai 39.219 orang dalam desa wisata di Kabupaten Sleman. Salah satu contoh pengembangan pariwisata di Kabupaten Sleman di sektor desa wisata terdapat di daerah Gamplong yang merupakan salah satu 12
contoh desa wisata yang mengembangkan basis wisata kerajinan Tenun. Desa Wisata Gamplong sampai saat ini mampu bertahan sebagai desa wisata yang diminati wisatawan mancanegara maupun lokal karena mempunyai ciri spesifik yang bisa dijual yakni pada contoh kebudayaan lokalnya dalam bentuk kerajinan Tenun. Bentuk wisata yang ditawarkan kepada wisatawan tidak hanya sekedar membeli produk kerajinan Tenun saja, akan tetapi para wisatawan juga dapat melihat proses produksi secara langsung bahkan mereka dapat belajar membuat kain Tenun. Dalam Desa Wisata Kerajinan Tenun Gamplong, potensi wisata yang ada dikelola melalui lembaga-lembaga kemasyarakatan desa yang terlibat dalam pengelolaan desa wisata. Bentuk kelembagaan antar lembaga yang ada telah berhasil mempertahankan eksistensi Gamplong sebagai desa wisata kerjinan Tenun. Dalam konteks kelembagaan, konektivitas antara desa wisata dan ekonomi kreatif diwujudkan dalam bentuk outlet penjualan yang terletak di daerah wisata tersebut. Bengkel kerja atau studio sebagai ruang kreatif dihubungkan dengan daerah wisata sehingga tercipta konektivitas untuk mempermudah rantai produksi dan meningkatkan promosi wisata. Dengan kata lain, aktivitas wisata di Gamplong melalui kerajinan Tenun menjadi venue bagi ekonomi kreatif untuk proses produksi, distribusi, sekaligus pemasaran. Melihat dari isu perkembangan desa wisata yang semakin marak dewasa ini, dan dilihat pula bahwa potensi ekonomi kreatif dapat dikembangkan
bersamaan
dengan
pengelolaan
desa
wisata,
maka
pengembangan desa wisata berbasis ekonomi kreatif melalui strategi
13
penguatan kelembagaan yang baik diharapkan akan memiliki dampak positif yang akan berpengaruh pada masyarakat lokal, iklim bisnis dan citra kawasan wisata tersebut. 1.3 Rumusan Masalah Mengacu pada latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah yang penulis ambil adalah, bagaimanakah bentuk-bentuk strategi penguatan kelembagaan desa wisata yang berbasis ekonomi kreatif dan dampak yang ditimbulkan terhadap masyarakat lokal? 1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: a. Mengetahui bagaimana bentuk-bentuk strategi penguatan kelembagaan dalam desa wisata berbasis ekonomi kreatif; b. Mengetaui sejauh mana dampak yang ditimbulkan terkait dengan penguatan kelembagaan dalam desa wisata terhadap masyarakat lokal. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini diharapkan: a. Menjadi sumbangan pemikiran terhadap penelitian-penelitaian sejenis, serta memberikan kontribusi akademik bagi pengembangan Ilmu Pembangunan
Sosial
dan
Kesejahteraan
pada
khususnya
dan
pengembangan ilmu sosial pada umumnya; b. Memberikan masukan terkait dengan pengembangan desa wisata kerajinan Tenun Gamplong.
14
1.6 Tinjauan Pustaka a. Konsep Kelembagaan Pengertian kelembagaan menurut Pratama (2012:54), mengarah pada suatu pola hubungan antara anggota masyarakat yang saling mengikat, diwadahi dalam suatu jaringan atau organisasi dengan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal dan non-formal sebagai bentuk kerjasama demi mencapai tujuan yang diinginkan. Kelembagaan berasal dari kata “lembaga” yang berarti aturan dalam organisasi atau kelompok masyarakat untuk membantu anggotanya agar dapat berinteraksi satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Menurut Mubyarto (1996:67), yang dimaksud lembaga adalah organisasi atau kaedah-kaedah baik formal maupun informal yang mengatur perilaku dan tindakan anggota masyarakat tertentu baik dalam kegiatan-kegiatan rutin sehari-hari maupun dalam usahanya untuk mencapai tujuan tertentu. Pada dasarnya kelembagaan mempunyai dua pengertian yaitu: pertama, kelembagaan sebagai suatu aturan main (rule of the game) dalam interaksi personal. Kelembagaan sebagai aturan main diartikan sebagai sekumpulan aturan baik formal maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia dan lingkungannya yang menyangkut hak-hak dan perlindungan hak-hak serta tanggung jawabnya. Kedua, kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki hierarki. Kelembagaan sebagai organisasi biasanya merujuk
15
pada lembaga-lembaga formal seperti departemen dalam pemerintah, koperasi, bank dan sebagainya. Dalam proses partisipasi dalam suatu kelembagaan ditentukan oleh keputusan kebijaksanaan organisasi dalam membagi beban dan manfaat terhadap anggota dalam organisasi tersebut. Terkait dengan kelembagaan di pedesaan, terdapat beberapa unit-unit sosial (kelompok, kelembagaan dan organisasi) yang merupakan aset untuk dapat dikembangkan
dalam
rangka
mencapai
tujuan
pembangunan.
Pengembangan kelembagaan di tingkat lokal dapat dilakukan dengan sistem jejaring kerjasama yang setara dan saling menguntungkan. Menurut Sumarti, dkk (2008), kelembagaan di pedesaan dapat dibagi ke dalam dua kelompok yaitu: pertama, lembaga formal seperti pemerintah desa, KUD, dan lain-lain. Kedua, kelembagaan tradisional atau lokal. Dalam pengertian kelembagaan tradisional ini, kelembagaan tumbuh dari dalam komunitas itu sendiri yang sering memberikan “asuransi terselubung” bagi kelangsungan hidup komunitas tersebut. Kelembagaan
tersebut
biasanya
berwujud
nilai-nilai,
kebiasaan-
kebiasaan dan cara-cara hidup yang telah lama hidup dalam komunitas seperti kebiasaan tolong-menolong, gotong-royong, simpan-pinjam, arisan dan lain sebagainya. Keberadaan lembaga di perdesaan memiliki fungsi yang mampu memberikan “energi sosial” yang merupakan kekuatan internal masyarakat dalam mengatasi masalah-masalah mereka sendiri. Peran kelembagaan di tingkat desa sangat penting dalam
16
mengatur sumberdaya dan distribusi manfaat, untuk itu unsur kelembagaan perlu diperhatikan dalam upaya peningkatan potensi desa guna menunjang pembangunan desa. b. Penguatan Kelembagaan Masyarakat Desa Lembaga kemasyarakatan di pedesaan menjadi pilihan yang cukup kredibel sebagai agen pembangunan. Hanya saja, ada persoalan umum dimana keberadaannya selama ini masih memerlukan pembenahan, terutama
dari
segi
kapasitas
sumber
daya
maupun
kapasitas
manajerialnya. Arah baru yang diharapkan adalah, bagaimana lembaga kemasyarakatan itu berperan efektif dan optimal dalam pengelolaan pembangunan desa. Urgensi keberadaan lembaga kemasyarakatan disini diharapkan akan menjadi wadah sekaligus agen penggerak dalam memfasilitasi, memediasi, mengkomunikasikan sekaligus sebagai aktor dalam mengembangkan partisipasi, mendayagunakan keswadayaan gotong-royong
demi
mewujudkan
kemajuan,
kesejahteraan
dan
kemandirian masyarakat desa. Dalam sisi penguatan kelembagaan menurut Fajar Surahman (2004:7), diperlukan perubahan struktural terhadap kelembagaan lokal menuju peningkatan taraf hidup produktifitas, kreatifitas, pengetahuan dan keterampilan maupun kapasitas kelembagaan agar senantiasa survive dan sustainable. Ada dua bentuk penguatan kelembagaan yang perlu diperhatikan dalam lembaga kemasyarakatan desa antara lain: (1) kelembagaan masyarakat dalam pengembangan usaha ekonomi produktif;
17
dan (2) kelembagaan masyarakat dalam pelestarian pranata dan kearifan lokal. Berikut ini diuraikan kedua bentuk penguatan kelembagaan tersebut. a. Kelembagaan Masyarakat dalam Pengembangan Usaha Ekonomi Produktif Lembaga lokal yang bergerak di bidang ekonomi, memiliki kontribusi strategi sebagai wahana dalam menggerakkan potensi ekonomi lokal. Kerapuhan usaha ekonomi rakyat selamat ini, disebabkan belum adanya kolaborasi efektif dari berbagai usaha ekonomi yang ada, agar efisien dalam mengelola, efektif dalam mengembangkan usaha, dan optimal dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan. Oleh karena itu dalam rangka penguatan kelembagaan, ekonomi lokal perlu dikembangkan melalui berbagai kerjasama efektif antar pelaku usaha ekonomi. Ada dua bentuk upaya penguatan
kelembagaan
yang
bisa
menjadi
prioritas
dalam
pengembangan usaha ekonomi produktif di desa antara lain meliputi : Pertama, penumbuhan usaha ekonomi sesuai karakteristik kemampuan dan peluang pasar, melalui: (i) menggali dan mengaktualkan potensi ekonomi lokal guna merangsang tumbuhnya peluang kerja dan kesempatan kerja; (ii) peningkatan akses permodalan yang diarahkan ke pengembangan lembaga keuangan pedesaan yang lebih kuat; (iii) peningkatan pengetahuan, keahlian, dan keterampilan usaha bagi SDM desa; (iv) pembinaan kemampuan
18
manajemen usaha; (v) pendampingan guna menjamin keberlanjutan usaha, sampai titik dimana masyarakat lebih dapat mandiri Kedua, penguatan transaksi usaha ekonomi rakyat. Pada umumnya usaha ekonomi masyarakat desa memiliki nilai transaksi ekonomi yang rendah dan potensial memperoleh ancaman dari usaha industri dan bisnis skala besar. Hal ini biasanya terjadi karena daya saing produk rendah, keterbatasan modal, teknis produksi lemah, kurangnya manajemen dan promosi dagang. Untuk menguatkan transaksi usaha rakyat, maka diperlukan beberapa langkah, diantaranya: (a) peningkatan kualitas produk, harga yang bersaing, efisiensi biaya produksi dan pembenahan distribusi dan promosi; (b) diversifikasi produk dengan pengaturan pada produksi unggulan; (c) memfokuskan pada segmen pasar tertentu sehingga terhindar dari persaingan terhadap pasar yang lebih luas; (d) melakukan pembinaan secara intensif dan mengatur regulasi dalam penetapan harga pasar; (e) peningkatan jaringan informasi pasar untuk produk-produk usaha rakyat melalui kemitraan usaha dengan sektor usaha besar dan pemerintah. b. Kelembagaan Masyarakat dalam Pelestarian Tradisi dan Kearifan Lokal Tradisi merupakan nilai atau norma, kaidah atau keyakinankeyakinan yang masih dihayati dan dipelihara, bahkan dipatuhi oleh masyarakat desa atau satuan masyarakat lainnya dalam rangka
19
mewujudkan tertib sosial dan kesejahteraannya. Tradisi itu sering kali terwujud secara lestari dan berkembang berdasarkan ikatan keyakinan komunitas lokal. Pelestarian tradisi penting dilakukan sebagai filter terdepan dalam menghadapi budaya asing, disamping itu tradisi yang tumbuh pada suatu masyarakat pada dasarnya juga menjadi aset atau modal sosial yang penting dalam rangka memberdayakan masyarakat demi mewujudkan kualitas hidup dan kesejahteraan. Selama ini masih berkembang pandangan sederhana mengenai pengelolaan pembangunan yang beredar luas pada khalayak umum. Proses pembangunan dimaknai secara sederhana sebagai perubahan kehidupan masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Modernitas dilakukan dengan memperkenalkan lembaga dan nilainilai
baru dengan
menghancurkan tatanan nilai
lama
atau
kelembagaan tradisional, yang dipandang sebagai kendala terhadap jalannya proses modernisasi. Dengan demikian, tolak ukur suksesnya pengelolaan pembangunan lebih mengarah pada seberapa pesat nilai yang berlaku di masyarakat dengan meninggalkan ikatan nilai tradisi seperti kekeluargaan, kegotong-royongan, nilai-nilai keagamaan, adat-kebiasaan lokal, maupun pranata budaya yang sebenarnya telah berakar dalam pondasi kehidupan sosialnya. Penguatan kelembagaan dalam hal ini berarti mengoptimalkan fungsi lokal yang berfungsi sebagai wadah penerapan, pelestarian, sekaligus pengembangan tradisi yang ada. Dalam hal ini masyarakat
20
memiliki kewenangan untuk menggali dan memanfaatkan potensi lokal yang ada secara bijaksana dengan tetap berpegang pada nilainilai fungsional yang dibutuhkan agar mereka mampu berpartisipasi dengan tetap berlandaskan pada jati diri dan akar budaya yang dimilikinya. Seringkali pengembangan kelestarian dan kearifan lokal ini tidak semata berorientasi sosial-kultural, namun juga ekonomi, semacam pengembangan pariwisata lokal. Pada akhirnya melalui penguatan kelembagaan, lembagalembaga lokal desa diharapkan akan memiliki fungsi dan peran yang optimal dalam berkontribusi terhadap pembangunan desa. Melalui lembaga keamsyarakatan desa, diharapkan akan memberikan peluang besar bagi masyarakat termasuk kelembagaan lokal yang ada dalam pengambilan keputusan dan mendayagunakan keswadayaan guna mengembangkan potensi dan menangulangi permasalahan yang dihadapi dalam rangka mewujudkan mutu kehidupan masyarakat yang lebih baik. Menurut Fajar Surahman (2004:12), dalam upaya penguatan kelembagaan ada beberapa bentuk tindakan yang bisa dilakukan oleh lembaga kemasyarakatan desa antara lain: (i) perumusan visi dan misi bersama tentang tujuan, urgensi dan prioritas-prioritas pembangunan desa; (ii) pengkajian potensi dan modal sosial yang dimiliki bersama dalam mendukung harapan-harapan perubahan yang diinginkan; (iii) melaksanakan dan mengendalikan program; (iv) melakukan evaluasi
21
dan refleksi bersama terhadap pelaksanaan program; dan (v) menyusun rencana tindak lanjut program. Pada akhirnya penyusunan rencana tindak lanjut program, akan menandai siklus baru dalam upaya pencapaian mutu kehidupan masyarakat yang lebih baik, dimana hal ini merupakan langkah transformatif yang dilakukan secara terus menerus melalui feedback dari semua pihak untuk terciptanya pembangunan desa yang sustainable. Pada akhirnya peningkatan fungsi dan peran lembaga kemasyarakatan desa memiliki arti yang strategis karena lembaga kemasyarakatan desa merupakan unit terdepan pelayanan kepada masyarakat serta menjadi tonggak utama untuk keberhasilan pembangunan desa. c. Konsep Strategi Menurut Stoner (2001), strategi dapat didefinisikan berdasarkan 2 prespektif yang berbeda yaitu: (1) dari perspektif apa suatu organisasi ingin dilakukan (intends to do), dan (2) dari perspektif apa yang organisasi akhirnya dilakukan (eventually does). Berdasarkan perspektif yang pertama, strategi dapat didefinisikan sebagai program untuk menentukan dan mencapai tujuan organisasi dan implementasi misinya. Artinya, bahwa para pengurus dan anggota memainkan peranan penting yang aktif, sadar dan rasional dalam merumuskan strategi organisasi. Sedangkan berdasarkan perspektif kedua, strategi didefinisikan sebagai pola tanggapan atau respon organisasi terhadap lingkungannya sepanjang waktu. Pada definisi ini, setiap organisasi pasti memiliki strategi,
22
meskipun strategi tersebut tidak pernah dirumuskan secara eksplisit. Pandangan ini diterapkan bagi para pengurus anggota yang bersifat reaktif, yaitu hanya menanggapi dan menyesuaikan diri terhadap lingkungan secara pasif manakala dibutuhkan. Pernyataan strategi secara eksplisit merupakan kunci keberhasilan dalam menghadapi perubahan lingkungan. Strategi memberikan kesatuan arah bagi semua anggota organisasi. Bila konsep strategi tidak jelas, maka keputusan yang diambil akan bersifat subyektif atau berdasarkan intuisi belaka dan mengabaikan keputusan yang lain. d. Konsep Pengembangan Desa Wisata Desa wisata merupakan suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku (Nuryanti. 1993:10). Desa wisata biasanya merupakan suatu kawasan pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian pedesaan baik dari kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa yang khas, atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkannya berbagai komponen kepariwisataan, misalnya: atraksi, akomodasi, kuliner, cinderamata, dan kebutuhan wisata lainnya. Penentuan strategi dalam pengembangan desa wisata sangatlah penting dilakukan. Melalui konsep pengembangan desa wisata yang tepat,
23
diharapkan mampu memberikan pengenalan kepada masyarakat pedesaan untuk memahami esensi pariwisata melalui potensi yang dimiliki. Bagi daerah daerah yang memiliki karakteristik dan keunikan terutama di kesehariam masyarakat desa maka pengembangan konsep ini akan sangat membantu. Ada dua pertimbangan terkait dengan pentingnya konsep pengembangan desa wisata, yaitu: Pertama, dengan adanya desa wisata maka pengelola harus menggali dan mempertahankan nilai nilai adat budaya yang telah berlangsung selama puluhan tahun di desa tersebut. Lestarinya nilai nilai budaya merupakan daya tarik utama bagi wisatawan. Suatu desa tidak akan menarik jika tidak memiliki budaya, adat istiadat yang unik. Kedua, dengan konsep ini maka secara otomatis masyarakat desa dapat berperan aktif dalam kelangsungan desa wisata. Dengan kata lain, akan timbul lapangan pekerjaan baru serta upaya pemberdayaan masyarakat akan lebih intensif dilakukan sebagai langkah mempertahankan kelangsungan desa wisata. Lebih jauh, hal tersebut dapat mencegah masyarakat untuk tidak terlibat dalam lakon sebagai penonton, tetapi penaggungjawab dan pelaku aktif dalam pariwisata (Damanik, 2010). Ada dua poin penting yang perlu diperhatikan dalam upaya pengembangan desa wisata (Sastrayuda, 2010): Pertama, dari sisi pengembangan kelembagaan desa wisata perlunya perencanaan awal yang tepat dalam menentukan usulan program atau kegiatan khususnya pada kelompok sadar wisata agar mampu meningkatkan
pengetahuan
dan
24
keterampilan
masyarakat
melalui
pelaksanaan program pelatihan pengembangan desa wisata, seperti: pelatihan bagi kelompok sadar wisata, pelatihan tata boga dan tata homestay, pembuatan cinderamata, pelatihan guide (pemandu wisata). Kedua, dari sisi pengembangan objek dan daya tarik wisata, perlunya perencanaan awal dari masyarakat untuk menjadi tuan rumah yang baik bagi wisatawan dan mampu mendatangkan wisatawan dari berbagai potensi yang dimiliki oleh masyarakat, serta perlunya sosialisasi dari instansi terkait dalam rangka menggalakkan sapta pesona dan paket desa wisata terpadu. Dari sisi pengembangan sarana prasarana wisata, perencanaan awal dari pemerintah perlu diarahkan ke pengembangan sarana prasarana wisata yang baru seperti: pembangunan gapura, gedung khusus pengelola desa wisata, cinderamata khas setempat, dan rumah makan bernuansa alami pedesaan. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya perlu menjalin kemitraan dengan pemerintah dan pengusaha/pihak swasta. Dalam
konsep
pengembangan
desa
wisata
juga
perlu
memperhatikan terkait dengan kelembagaan dalam pengelolaan desa wisata. Aspek kelembagaan merupakan komponen penting dalam menunjang keberhasilan pengembangan desa wisata. Melalui upaya penguatan kelembagaan desa wisata diharapkan pengembangan desa wisata dapat terus berjalan dan berkelanjutan. Menurut Inskeep (1991), dalam konteks pariwisata, kelembagaan adalah salah satu komponen penting dalam menunjang keberhasilan pariwisata. Tanpa adanya kelembagaan yang kuat, maka fungsi perencanaan, pengembangan dan
25
pemasaran sebuah desatinasi wisata tidak akan berjalan optimal. Keadaan ini menuntut adanya organisasi pelaksana, pengembangan dan pemasaran destinasi wisata yang kuat. Menurut WTO (2004), bahwa semua organisasi destinasi harus memiliki kelembagaan yang berkerja dalam berbagai bentuk aktifitas pariwisata, salah satu contohnya adalah bagian pemasaran. Aktivitas pemasaran disebutkan yang dilakukan mencakup pembuatan dan destinasi brosur, pembuatan website, mengikuti travel mart, pelaksanaan even-even pariwisata. e. Konsep Ekonomi Kreatif dalam Pengembangan Pariwisata Menurut Kementerian Perdagangan (2008), ekonomi kreatif dapat diartikan sebagai era ekonomi baru yang mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan mengandalkan ide dan stock of knowledge dari sumber daya manusianya sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya. Ekonomi kreatif dan sektor pariwisata merupakan dua hal yang saling berpengaruh dan dapat saling bersinergi jika dikelola dengan baik. Pariwisata dan ekonomi kreatif dapat diibaratkan sebagai gula dan semut, dimana pariwisata adalah gula dan ekonomi kreatif adalah semutnya. Pariwisata akan semakin menarik orang-orang untuk membuat karya yang mungkin bisa menjadi ciri dari daerah yang mereka kunjungi, atau dengan kata lain disebut juga dengan oleh-oleh khas. Namun antara pariwisata dan ekonomi kreatif juga dapat disebut ekonomi kreatif adalah gulanya dan pariwisata adalah semutnya. Sebut saja desa wisata, desa wisata yang laku dijual disebabkan karena karya-karya kreatif yang
26
diproduksinya. Ada juga yang disebabkan karena budaya yang dimiliki desa tersebut. Dalam kemunculan desa-desa wisata di Indonesia, hal tersebut diikuti juga dengan munculnya ide-ide kraetif dalam usaha pengembangan desa wisata yang dipromosikan, agar kesan unik dan berbeda didapat dari desa-desa wisata lain. Hal inilah yang kemudian mendorong pengembangan desa wisata yang kemudian ditunjukkan dengan pengelolaan desa wisata yang mengarah ke basis ekonomi kreatif. Dalam pengembangan ekonomi kreatif melalui sektor pariwisata yang dijelaskan lebih lanjut, kreativitas akan merangsang daerah tujuan wisata untuk menciptakan produk-produk inovatif yang akan memberi nilai tambah dan daya saing yang lebih tinggi dibanding dengan daerah tujuan wisata lainnya. Dari sisi wisatawan, mereka akan merasa lebih tertarik untuk berkunjung ke daerah wisata yang memiliki produk khas untuk kemudian dibawa pulang sebagai souvenir. Di sisi lain, produkproduk kreatif tersebut secara tidak langsung akan melibatkan individu dan pengusaha yang bersentuhan dengan sektor budaya. Persentuhan tersebut akan membawa dampak positif pada upaya pelestarian budaya dan sekaligus peningkatan ekonomi serta estetika lokasi wisata. Sinergi antara ekonomi kreatif dengan sektor pariwisata merupakan sebuah model pengembangan ekonomi yang cukup potensial untuk dikembangkan. Dalam mengembangkan ekonomi kreatif sebagai penggerak desa wisata misalnya, diperlukan adanya konektivitas, yaitu dengan menciptakan outlet produk-prdouk kreatif di lokasi yang strategsi
27
dalam desa wisata. Outlet tersebut nantinya dapat dikemas bersamaan dalam paket-paket wisata. Pada akhirnya wisatawan yang berkunjung tidak hanya sekedar membeli souvenir, tetapi juga melihat proses pembuatannya dan bahkan ikut serta dalam proses pembuatan tersebut atau dengan kata lain souvenir sebagai memorabilia (Suparwoko, 2010). Menurut Thomas (2010), desa wisata dan ekonomi kreatif memliliki potensi besar jika dikelola secara kreatif. Kerajinan memang punya potensi dalam desa wisata, oleh karena itu penjualan ke wisatawan lebih mudah jika proses produksi bisa disaksikan oleh pembelanja, atau dalam hal ini bisa menjadi bagian dari atraksi desa wisata. Ini berarti satu desa yang punya tradisi produksi kerajinan memiliki potensi lebih besar daripada desa wisata lain yang hanya menjual produk dari tempat lain. Sisi lain dari hubungan face to face antara produsen dan konsumen adalah terbentuknya citra diri dari kawasan wisata tersebut yang bisa dinikmati oleh masyarakat lokal dan pengrajinya. Dalam proses produksi maupun produk yang ditawarkan dapat mengandung nilai kebudayaan lokal, tidak saja pengrajin sendiri tetapi masyarakat lokal dapat merasa bangga sebagai suatu bagian kebudayaan yang dimiliki. Permasalahan yang sering kali muncul dalam pengembangan desa wisata melalui basis ekonomi kreatif adalah lemahnya kelembagaan dalam desa wisata itu sendiri. Aspek kelembagaan merupakan komponen penting dalam menunjang keberhasilan pengembangan desa wisata. Tanpa adanya kelembagaan yang kuat, maka fungsi perencanaan,
28
pengembangan dan pemasaran dalam sebuah destinasi wisata tidak akan berjalan optimal. Melalui upaya penguatan kelembagaan dalam desa wisata, diharapkan pengembangan desa wisata berbasis ekonomi kreatif ini akan dapat terus berjalan dan berkelanjutan. f. Kelembagaan UMKM dalam Desa Wisata Berbicara soal ekonomi kreatif dalam desa wisata tentu tidak bisa terlepas dengan yang namanya UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah). Penjelasan tentang konsep kelembagaan dalam UMKM diharapkan semakin memperkuat kajian dalam penguatan kelembagaan dalam desa wisata berbasis ekonomi kreatif. UMKM yang berada dalam kawasan desa wisata secara langsung akan ikut memberikan kotribusi terhadap perkembangan desa wisata tersebut, karena UMKM menjadi bagian dalam pengerak ekonomi desa. Dalam desa wisata, bentuk-bentuk UMKM biasanya muncul dalam outlet-outlet kerajinan khas daerah. Keberadaan UMKM dalam desa wisata sendiri bukan tanpa hambatan, berbagai hambatan itu antara lain menyangkut masalah permodalan, pemasaran, dan teknologi yang berakibat pada rendahnya mutu produk dan tidak adanya keberlanjutan dalam berproduksi. Disinilah pentingnya peran lembaga kemasyarakatan desa untuk memperkuat kelembagaan UMKM. Dengan peranan kelembagaan desa, diharapkan akan meningkatkan kontribusi UMKM terhadap perbaikan kondisi perekonomian desa, antara lain melalui penyerapan tenaga kerja dan pengurangan tingkat pengangguran, untuk itu perlu dilakukan
29
penguatan secara kelembagaan terhadap UMKM (Adiningsih. 2002), antara lain: Pertama, melalui Institusional Building (membangun institusi). Institusional building sangat penting bagi institusi
yang akan
mengembangkan diri menjadi lebih kuat dan berkelanjutan. Untuk itu ada beberapa hal prinsip yang dapat dilakukan, antara lain: melakukan strategic planning (perencanaan strategis), internalisasi budaya bisnis dan pengembangan sistem kelembagaan. Melalui proses strategic planning, UMKM akan mengembangkan institusinya sesuai dengan visi dan misi yang ditetapkan. Selain itu penguatan pada manajemen bisnis dapat menjadi prioritas yang mengacu pada kemampuan SDM serta peluang yang ada sesuai dengan keahlian dan kebutuhan konsumen. Kedua, penguatan jaringan UMKM. Peningkatan jaringan informasi pasar untuk produk-produk usaha rakyat melalui kemitraan usaha dengan sektor usaha besar dan pemerintah. Dalam hal ini pemerintah dan swasta harus menfasilitasi jaringan itu, sehingga secara kelembagaan semakin kuat. Ketiga, peningkatan kapasistas SDM. Hal ini dapat dilakukan melalui agenda studi banding, pelatihan, pembinaan dan lain-lain. Setiap UMKM tentu memiliki kebutuhan dan keunikan tersendiri, sehingga upaya peningkatan kapasitas SDM hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing UMKM.
30
Makin berdayanya UMKM berarti juga keuntungan bagi desa wisata itu sendiri. Melalui kelembagaan UMKM yang kuat, berdaya saing, dan menyejahterakan diharapkan mampu mengurai berbagai permasalahan sosial seperti pengangguran, kemiskinan, rendahnya produktifitas dalam desa wisata. Mampunya UMKM mengatasi problem tersebut akan berdampak positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat serta meningkatnya citra kawasan wisata sehingga eksistensi desa sebagai destinasi wisata mampu untuk terus bertahan. Kerangka Berfikir Gambar 1.1 Kerangka Berfikir Penelitian Strategi Penguatan Kelembagaan Desa Wisata Gamplong
Tahap Identifikasi Lembaga
Tahap Evaluasi
Dampak Upaya Penguatan Kelembagaan Jumlah Lembaga dalam Desa Wisata
Profil Lembaga
Pelaksanaan Kegiatan dan Agenda Kerja
Jejaring Kemitraan
Dampak Jejaring Kemitraan Dampak Terhadap Perkembangan Desa Wisata dan Usaha Kerajinan Tenun
31
Penjelasan Kerangka Berfikir Fokus dalam penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana strategi penguatan kelembagaan dalam desa wisata Gamplong. Dalam hal ini upaya penguatan kelembagaan dilakukan melalui lembaga-lembaga pengelola dalam desa wisata yang diharapkan berperan efektif dan optimal dalam pengelolaan desa wisata serta mampu membantu mengembangkan usaha kerajinan Tenun. Urgensi keberadaan upaya penguatan kelembagaan disini diharapkan akan menjadi wadah sekaligus penggerak dalam memfasilitasi, memediasi, sekaligus sebagai meningkatkan
kapasitas
aktor
dalam
mengembangkan
partisipasi
demi
mewujudkan kemajuan, kesejahteraan dan kemandirian masyarakat dalam desa wisata. Analisis strategi penguatan kelembagaan dalam desa wisata Gamplong bertumpu pada dua tahap yaitu tahap identifikasi lembaga dan tahap evaluasi. Tahap pertama adalah tahap identifikasi lembaga, dimana ada empat poin penting yang akan diidentifikasi, yakni: (1) mengidentifikasi jumlah lembaga yang ada dalam desa wisata dengan melihat cakupan keseluruhan lembaga serta dinamika keberadaan lembaga dalam lima tahun terakhir; (2) pemetaan terhadap profil lembaga yang ada dengan mamaknai peran dan fungsi tiap lembaga, struktur kepengurusan
lembaga
serta
hubungan
antar
lembaga
yang
ada;
(3)
mengidentifikasi bentuk upaya penguatan kelembagaan melalui cakupan pelaksanaan kegiatan dan agenda kerja lembaga (pelatihan dan pembinaan), lama berjalanya kegiatan, manfaat dan kendala yang dihadapi; (4) identifikasi terkait jejaring kemitraan yang dibangun dengan pihak lain yang meliputi bentuk kerjasama, lama berjalan, serta manfaat yang didapatkan. 32
Tahap yang kedua adalah tahap evalusi untuk melihat bagaimana dampak yang ditimbulkan dari upaya penguatan kelembagaan dalam desa wisata Gamplong. Evaluasi dilakukan melalui tiga poin penting yakni: (1) dampak yang ditimbulkan terhadap usaha penguatan kelembagaan kepada pengelola desa wisata dan pelaku usaha kerajinan Tenun; (2) dampak jejaring kemitraan yang dibangun dalam desa wisata terhadap kapasitas lembaga pengelola desa wisata, serta pengaruh dari jejaring kemitraan yang dilakukan terhadap kegiatan usaha kerajinan Tenun; (3) evaluasi terkait dengan perkembangan desa wisata dan usaha kerajinan Tenun sebagai dampak yang ditimbulkan dari upaya penguatan kelembagaan yang dilakukan pihak pengelola desa wisata.
33