BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia tentunya memiliki masalah dan pergumulannya masing-masing. Persoalan-persoalan ini mungkin berkaitan dengan masalah orang per orang atau pribadi, masalah keluarga atau pun masalah dalam masyarakat. Persoalan-persoalan ini membutuhkan penyelesaian dan jalan keluar serta membutuhkan orang lain sebagai tempat berbagi. Kehadiran orang lain diharapkan dapat membantu menemukan pemecahan atau jalan keluar dari masalah yang dihadapinya secara bersama-sama. Begitu juga halnya warga jemaat1 GKS Waingapu sebagai manusia, yang tidak luput dari masalah dan membutuhkan orang lain. Untuk menjawab setiap pergumulan yang ada, jemaat sangat mengharapkan adanya campur tangan dari pihak gereja2, baik itu dari pendeta maupun majelis jemaat. Salah satu bentuk campur tangan gereja untuk menanggapi pergumulan jemaat adalah melalui pelayanan konseling dan pendampingan pastoral. Gereja memiliki keterpanggilan untuk menumbuhkan dan membangun iman dan spiritualitas orang-orang beriman pada ketaatan dan kesetiaan kepada Tuhan dan firman-Nya. Melalui pelayanan konseling dan pendampingan pastoral, gereja akan menemukan akar permasalahan yang menghambat pertumbuhan jemaat dalam mengenal dan menyerap firman Allah, mampu mengurangi kelumpuhan kemampuan umat Kristen untuk memberi dan menerima kasih, serta dapat membantu jemaat “menjadi” gereja, yaitu persekutan yang di dalamnya kasih Allah menjadi realitas yang dialami dalam hubungan-hubungan.3 Konseling dan pendampingan pastoral diharapkan dapat menjadi alat penyembuhan dan pertumbuhan bagi jemaat secara utuh dan menyeluruh.
Pendeta sebagai orang yang memiliki peran penting dan berpengaruh dalam sebuah gereja, seringkali menjadi sosok panutan dan menjadi sorotan jemaatnya. Peran pendeta dipandang sebagai pusat atau sentral dalam gereja yang terpanggil menjadi orang yang memungkinkan terwujudnya keutuhan rohani di sepanjang siklus kehidupan. Pendidikan teologi yang diperolehnya menolong memperlengkapinya dengan sumber dan kecakapan yang perlu untuk dipergunakan sebagai guru, pembimbing dan pelatih kehidupan rohani dalam semua aspek pelayanannya termasuk dalam proses penyembuhan dan pertumbuhan rohani melalui penggembalaan dan konseling pastoral.4 Secara psikologis, pendeta 1
Jemaat di sini dimaksudkan sebagai perwujudan gereja yang ada dalam lingkungan (lembaga) gereja (GKS Waingapu) Gereja yang dimaksud adalah gereja sebagai lembaga yang terdiri dari Pendeta dan Majelis Jemaat sebagai konselor, serta warga jemaat sebagai konseli. 3 Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, (Jakarta, Yogyakarta: BPK Gunung Mulia, Kanisius, 2006), hal. 17-18 4 Sda, hal. 133 2
1
menjadi tokoh identifikasi yang khas dalam gereja. Jemaat tidak hanya mengidentifikasi dirinya dengan tujuan atau nilai-nilai Kristiani yang tertuju pada Yesus Kristus tetapi juga pada pribadi pendeta. Suka atau pun tidak, mau atau tidak, pendeta tetap menjadi pusat perhatian dalam jemaat karena ia menjadi tumpuan harapan jemaat. Namun, ketika penyusun melakukan penelitian, penyusun melihat bahwa bukan hanya pendeta saja yang memiliki tugas dan tanggung jawab serta keterpanggilan untuk mendampingi seseorang. Mereka adalah anggota jemaat lain dalam hal ini majelis jemaat yang dipandang mampu dan memiliki talenta. Mereka kemudian diarahkan dan dibina oleh pendeta untuk menjadi konselor. Hal ini dilakukan untuk membantu pekerjaan pendeta karena wilayah pelayanan yang cukup luas.
Berdasarkan uraian tersebut, penyusun melihat bahwa peranan seorang pendeta dan majelis jemaat sangat dibutuhkan khususnya dalam konseling pastoral lintas budaya. Harus diakui bahwa hingga saat ini masih ada sebagian jemaat yang menganggap pendeta adalah segala-galanya, sehingga mereka lebih memilih pendeta sebagai tempat untuk berbagi persoalan kehidupannya. Pendeta dianggap lebih mampu mencarikan jalan keluar atas masalah yang ia hadapi. Namun, ada juga yang tidak lagi menganggap pendeta adalah segala-galanya sehingga mereka juga mau terbuka terhadap majelis jemaat yang mereka anggap mampu menolong mereka dari persoalan kehidupan yang mereka alami. Ketika jemaat mau membuka diri terhadap pendeta maupun majelis jemaat mengenai pergumulan dan masalah mereka, ada hal penting yang perlu diperhatikan oleh mereka sebagai konselor5 yaitu unsur budaya masing-masing pihak, baik unsur budaya konselor maupun konseli6. Konselor dengan latar belakang budayanya tentunya telah memiliki nilai yang tertanam dalam dirinya dari sudut pandang budayanya begitu pula yang dialami oleh konseli. Unsur budaya yang dimiliki oleh masing-masing pihak perlu diperhatikan karena unsur budaya akan berpengaruh pada proses konseling itu sendiri. Pendeta dan majelis jemaat sebagai seorang konselor harus menyadari benar bahwa kebudayaan yang melekat pada dirinya dan juga pengalaman yang ia pernah rasakan dan bahkan mungkin dialaminya akan berdampak pada proses konseling pastoral itu sendiri. Bagaimana ia akan memahami suasana hati konseli kalau ia tidak memahami nilai yang ada dalam diri konseli menyangkut unsur budaya yang ada dalam dirinya. Oleh sebab itulah pemahaman yang mendalam mengenai konseling lintas budaya harus benar-benar diperhatikan oleh pendeta dan majelis jemaat sebagai seorang konselor di GKS Waingapu.
5
Konselor adalah Pendeta dan Majelis Jemaat di GKS Waingapu. Majelis jemaat adalah tua-tua adat, baik dari suku Sumba maupun suku Sabu. 6 Konseli adalah warga jemaat di GKS Waingapu.
2
1.2. Rumusan Masalah GKS Waingapu adalah sebuah gereja yang terletak di wilayah Kabupaten SumbaTimur tepatnya di kota Waingapu. Anggota jemaat di GKS Waingapu didominasi oleh suku Sumba dan Sabu, namun ada juga yang berasal dari suku-suku lainnya seperti Batak, Ambon, Rote, Jawa, Cina, Timor, dan Alor. Pendeta yang ada di GKS Waingapu ada empat orang, dengan 3 orang yang bersuku Sabu dan satu orang bersuku Sumba. Namun, yang aktif hanya dua orang Pendeta (Suku Sabu dan Sumba). Dua orang pendeta lainnya tidak aktif bekerja karena satu orang pendeta berada dalam keadaan sakit dan pendeta yang lain berada dalam masa penggembalaan sehingga penyusun melakukan wawancara hanya dengan dua orang pendeta saja. Dengan keanekaragaman suku dan budaya ini, penyusun ingin menggali lebih jauh mengenai proses konseling pastoral lintas budaya yang selama ini telah dilakukan khususnya bagi warga dewasa. Dalam penulisan skripsi ini, penyusun membatasi diri pada dua suku mayoritas saja yaitu Sumba dan Sabu. Penyusun menyebut pendeta dan majelis jemaat yang melayani jemaat sebagai konselor dan jemaat sebagai konseli.
Berdasarkan hal tersebut, maka penyusun merumuskan permasalahannya sebagai berikut: 1.2.1. Berapa banyak konseli Sumba dan konseli Sabu yang datang kepada konselor yang sukunya sama dengan konseli dan berapa banyak konseli Sumba dan konseli Sabu yang datang kepada konselor yang berbeda sukunya? 1.2.2. Hal-hal apa sajakah yang menjadi faktor pendukung dan penghambat bagi konselor di GKS Waingapu dalam melakukan konseling pastoral lintas budaya bagi warga jemaat? 1.2.3. Kualitas-kualitas apa sajakah yang perlu dimiliki oleh seorang konselor berkaitan dengan keterampilan dan kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang konselor lintas budaya khususnya bagi konselor di GKS Waingapu?
2. Judul Dari uraian di atas, penyusun akan membahas permasalahan dengan memberikan judul sebagai beikut:
KONSELING PASTORAL LINTAS BUDAYA BAGI WARGA DEWASA DI GEREJA KRISTEN SUMBA (GKS) JEMAAT WAINGAPU
Penjelasan mengenai judul: a. Konseling Pastoral adalah proses perjumpaan dan percakapan pastoral antara konselor dan konseli, dalam rangka memberikan pertolongan kepada konseli yang sedang menghadapi pergumulan agar mereka mampu mandiri dan menemukan jalan keluar atas pergumulan dan
3
persoalan kehidupan iman mereka sesuai dengan teladan Yesus sebagai seorang Gembala yang baik. b. Lintas Budaya dapat juga disebut dengan “antar budaya”. Kata ini menunjukkan bahwa adanya dua atau lebih budaya dalam satu waktu tertentu. c. Warga Dewasa adalah warga jemaat yang telah melakukan pengakuan iman (sidi), mulai umur 16 tahun ke atas.7 d. GKS Waingapu adalah gereja yang menjadi tempat penyusun melakukan penelitian yang terletak di Ibukota Kabupaten Sumba Timur yaitu Waingapu.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan“Konseling Pastoral Lintas Budaya Bagi Warga Dewasa di Gereja Kristen Sumba (GKS) Jemaat Waingapu” adalah proses perjumpaan dan percakapan pastoral antara konselor dan konseli yang berbeda latar belakang budayanya, nilai-nilai dan gaya hidupnya dan digolongkan dalam usia dewasa di GKS Waingapu. Penyusun tertarik dan memilih judul tersebut karena penyusun ingin mengetahui lebih banyak tentang peranan pendeta dan majelis jemaat GKS Waingapu dalam konseling pastoral lintas budaya demi pengembangan pastoral di GKS sendiri. Melalui tulisan ini, kiranya dapat bermanfaat bagi gerejagereja yang berada di Sumba dalam melaksanakan fungsi koinonianya, khususnya bagi GKS Waingapu.
3. Tujuan Penulisan Berdasarkan permasalahan dan pemilihan judul di atas, maka penyusun menyusun skripsi dengan tujuan sebagai berikut: 3.1. Mengetahui berapa banyak konseli Sumba dan konseli Sabu yang datang kepada konselor yang sukunya sama dengan konseli dan berapa banyak konseli Sumba dan konseli Sabu yang datang kepada konselor yang berbeda sukunya. 3.2. Menggali hal-hal yang menjadi faktor pendukung dan penghambat bagi konselor di GKS Waingapu dalam melakukan konseling pastoral lintas budaya bagi warga jemaat. 3.3. Menguraikan kualitas-kualitas seorang konselor berkaitan dengan keterampilan dan kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang konselor lintas budaya khususnya bagi konselor di GKS Waingapu.
4. Metode Penulisan Metode penulisan yang dipilih dalam penyusunan skripsi ini adalah metode deskriptif analitis. Metode deskriptif analitis dimaksudkan untuk menguraikan data secara jelas dan seobyektif mungkin, untuk 7
Sekretariat Sinode GKS, Tata Gereja Kristen Sumba, (Waingapu: Percetakan Pemimpin GKS, 2006), hal. 26
4
selanjutnya dianalisa. Cara penggalian data meliputi studi literatur dan penelitian lapangan. Studi literatur dipakai untuk mendapatkan kerangka teoritis konseptual yang menuntun penulis untuk memahami dan menjabarkan permasalahan di atas. Penyusun juga memfokuskan diri pada observasi dan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait langsung yaitu pendeta, majelis jemaat dan warga jemaat di GKS Waingapu.
5. Sistematika Penulisan BAB I
PENDAHULUAN
Bagian ini menerangkan permasalahan, termasuk di dalamnya: latar belakang pemilihan masalah, rumusan masalah, judul, tujuan penulisan, metode penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB II
KONSELING PASTORAL LINTAS BUDAYA
Bagian ini menguraikan tentang prinsip-prinsip konseling lintas budaya yang seharusnya dilakukan. Hal-hal apa yang perlu diperhatikan dalam menunjang proses konseling lintas budaya dan hal-hal apa yang tidak boleh dilakukan oleh konselor dalam konseling lintas budaya.
BAB III
FAKTA KONSELING PASTORAL LINTAS BUDAYA DI GKS WAINGAPU
Bagian ini memaparkan tentang bagaimana proses konseling yang telah dilakukan dalam pelaksanaan konseling pastoral lintas budaya oleh para pendeta dan majelis jemaat GKS Waingapu, berkaitan dengan prinsip-prinsip konseling lintas budaya yang telah diuraikan dalam bab II. Hal-hal apa yang dibutuhkan atau yang perlu diperhatikan oleh konselor dalam melaksanakan proses konseling pastoral dan hal-hal apa saja yang menjadi kendala bagi konselor dalam melaksanakan proses konseling pastoral lintas budaya di GKS Waingapu.
BAB IV
USULAN KONSELING PASTORAL LINTAS BUDAYA BAGI GKS
WAINGAPU Bagian ini berisi tentang usulan dan refleksi penyusun mengenai konseling pastoral lintas budaya bagi GKS Waingapu dengan bertolak pada kajian bab II dan bab III
BAB V
PENUTUP
Bagian ini berisi tentang kesimpulan dan saran dari keseluruhan uraian skripsi berdasarkan apa yang sudah penulis paparkan dalam bab I-IV.
5