BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan Latar belakang masalah dalam skripsi ini dibagi dalam dua fokus permasalahan, yaitu: A.1 Permasalahan teks Tindakan pembasuhan kaki adalah khas Yohanes. Namun, ternyata tidak mudah untuk mengerti makna tindakan pembasuhan kaki tersebut. Hal ini disebabkan oleh karena adanya makna yang berbeda yang disampaikan kepada pembaca. Dengan kata lain, pembaca berhadapan dengan makna yang tidak tunggal. Dan hal yang sama juga terjadi dengan kebanyakan ahli yang memang melihat Yohanes 13 susah untuk dimengerti. Masalah ini kebanyakan dicoba dipecahkan dengan memakai pendekatan kritik sumber ataupun kritik redaksi. Hal ini tentu saja didasarkan pada ketidak-konsistenan teks, yang sangat terasa perbedaannya antara satu bagian dengan bagian lain dalam sebuah perikop termasuk yang bertalian dengan tindakan pembasuhan kaki dalam Injil Yohanes 13. Willi Marxen misalnya menangkap hal yang sama. Dalam tulisannya ia mengatakan bahwa teks Injil Yohanes secara keseluruhan mengalami penyuntingan. Penyuntingan ini hampir pasti terjadi dalam Yohanes 1-20.1 Dan itu berarti bahwa penyuntingan juga terjadi atas teks kita, Injil Yohanes 13. Perbedaan gaya antara pasal 1-20 tidak sama dengan pasal 21. Dia menyimpulkan bahwa pasal 21 merupakan sebuah tambahan. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa agaknya pengarang dalam pasal 1-20 bukanlah karya satu orang saja, yang mencoba membahas dan menyusun masalah hangat dari masanya, tetapi ada indikasi bahwa orang ini berasal dari sebuah komunitas, atau paling tidak memiliki murid. Pada keterangan akhirnya ia mengatakan bahwa kemungkinan besar yang melakukan penyuntingan terhadap Injil ini adalah gereja, yang menganggap “murid yang dikasihi” sebagai figur. Meskipun tidak memberi contoh akan teks bahasan kita, tetapi menurut penyusun, Willi Marxen mencoba memecahkan masalah ini dengan menguraikan teks demi teks, teks yang lepas satu dengan yang lain, karena ia berpedoman pada 1
Willi Marxen, Pengantar Perjanjian Baru. Pendekatan Kritis Terhadap Masalah-masalahnya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000) p. 31
1
“setting in lifenya”, yang berarti bahwa pendekatan kritik sumber dan redaksi merupakan solusi yang bisa dipakai dalam memahami nats-nats dalam Injil Yohanes. Hal yang sama juga dikatakan oleh Jerome H. Neyrey, S.J.2 Menurutnya teks Injil Yohanes 13: 4-20 sangat rumit (complicated). Hanya saja, ia memakai pendekatan lain dalam menguraikan permasalahan ini. Pendekatannya adalah pendekatan ilmu antropologi budaya (lih. penjelasan pada p. 10) Hal yang sama juga dikemukakan oleh R. Alan Culpepper yang mengatakan “because John 13 poses serious interpretive problems for the reader and difficulties in finding a consistent logic in the text, commentators have generally concluded that the text must be dissected into strata of sources and redaction to make sense of it.”3 Jadi permasalahannya menurut Culpepper justru terletak pada teks itu sendiri di mana maknanya disampaikan kepada pembaca dalam bagian yang berbeda-beda. Hal ini tidak lain disebabkan karena teks ini sendiri telah mengalami penyuntingan-penyuntingan. Sehingga diharuskan membedahnya dengan pendekatan sumber dan redaksi. Salah satu dari masalah tersebut menyangkut bagaimana dua jawaban yang berbeda yang diberikan Yesus menyangkut arti pembasuhan kaki. Yang pertama adalah arti yang ia berikan kepada Petrus (13:8) dan yang kedua bertalian dengan penjelasannya kepada murid yang lain (13:12-17). Hal ini tentu saja menimbulkan masalah bagi pembaca terutama karena makna double yang diberikan oleh Yesus. Bahkan Hadiwiyata mengatakan bahwa dua makna yang berbeda, yang diberikan kepada kita sebagai pembaca sukar untuk ditelusuri.4 Sehingga menurutnya, hal ini kemungkinan terjadi karena dialog Yesus dengan Petrus adalah sisipan di kemudian hari untuk menampilkan makna kematian Yesus.5 Pada akhirnya, apa arti dari tindakan pembasuhan kaki dalam Injil Yohanes? Mengapa peristiwa ini ada dalam narasi Injil Yohanes dan Injil yang lain tidak? Ini adalah pertanyaan yang akan dilihat dan dikaji dalam skripsi ini. Pertanyaan ini menyangkut tentang arti Yesus membasuh 2
http://www.nd.edu/~jneyrey 1/footwash.htm#N 1 R. Alan Culpepper, ”The Johannine Hypodeigma: A Reading of John 13” Semeia 53 (1999) p. 133 4 A.S. Hadiwiyata, Tafsir Injil Yohanes (Yogyakarta: Kanisius, 2008) p. 192 5 A.S. Hadiwiyata, Ibid, p. 192 3
2
kaki para murid yang dilakukan menjelang penangkapanNya (18:1-11). Karena tindakan pembasuhan kaki sendiri sebenarnya dilakukan oleh mereka yang dianggap sebagai “budak” kepada tuan atau majikanNya. Karena lazim bahwa setiap orang yang bertamu, akan dibasuh kakinya mengingat tamu tersebut telah dikotori oleh debu yang menempel di kakinya ketika sedang dalam perjalanan. Tetapi apa yang dilakukan oleh Yesus justru menimbulkan pertanyaan: “mengapa Ia melakukan hal ini?” Bukankah seyogianya membasuh kaki adalah pekerjaan para murid kepada Dia yang oleh mereka (murid) menyebutnya Guru? Dan mengapa itu dilakukan justru ketika mereka dalam perjamuan makan, dan bukan ketika masuk ke dalam rumah? Lalu mengapa Ia menyampaikan dua makna yang berbeda tentang arti pembasuhan kaki? Pertanyaan-pertanyaan ini membuat penyusun ingin menelusuri lebih jauh makna tindakan pembasuhan kaki ini, khususnya dalam konteks narasi Injil Yohanes.
A.2 Permasalahan Komunitas (Gereja) Tindakan pembasuhan kaki memang tidak begitu familiar dengan kebanyakan orang Kristen Protestan. Hal ini berbeda pada beberapa gereja yang tetap melakukan tindakan ini, misalnya gereja Katolik yang dikenal dengan Kamis putih dan gereja Kristus sejati (True Jesus Church) yang menjadikannya sebagai sebuah sakramen.6 Terlepas dari seberapa pentingnya tindakan pembasuhan kaki, di beberapa komunitas juga tindakan pembasuhan kaki sering dilakukan. Hal ini juga pernah dilakukan pada Ibadah Akhir (ibadah penutupan semester) di Fakultas Teologi UKDW yang dilakukan oleh BEMF Teologi UKDW. Hal yang sama juga dilakukan pada hari terakhir pelaksanaan OKA angkatan 2003. Dan dalam pengamatan penyusun, kesemuanya itu diartikan sebagai perlambang untuk saling mengasihi dan saling melayani satu dengan yang lain, dan selain itu sebagai perlambang untuk merendahkan diri. Bahkan sebuah Partai Kristen, karena mengalami kebuntuan dalam sebuah rapat, kemudian mengadakan tindakan pembasuhan kaki yang diartikan sebagai wujud rekonsiliasi, saling memaafkan atau saling mengampuni yang dilakukan langsung oleh Ketua umumnya kepada pihak-pihak yang selama ini melakukan penentangan terhadap kebijakan DPP (Dewan Pimpinan Pusat). Peristiwa lain adalah bagaimana 6
Dalam websitenya www.tjc.com dikatakan bahwa seperti babtis, footwashing atau pembasuhan kaki adalah sebuah sakramen yang diperintahkan Tuhan kepada orang-orang percaya untuk menerima karunia keselamatan rohani. Foot washing adalah pengingat tentang kasih Kristus yang tak kunjung habis (Footwashing is a reminder of Christ’s unfailing love). “Tindakan pembasuhan kaki itu menjadi bagian ritus di Milan, dan pada akhirnya menjadi bagian perayaan ekaristi berbagai kelompok pretestan seperti Church of the Brethren, beberapa gereja Pentakosta, gereja Babtis dan gereja Advent Hari Ketujuh. Sejak 1955, hal itu telah ditemukan kembali dalam ibadah kamis putih dari banyak gereja”. (lih. James F. White, Pengantar Ibadah Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002) p. 233).
3
Paus Benekditus melakukan tindakan pembasuhan kaki kepada 12 orang awam di sebuah Basilika Roma dalam sebuah tradisi Kamis Putih yang melambangkan kerendahan hati dan juga pengingatan kembali akan prinsip saling melayani satu dengan yang lain.7
B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang masalah yang penyusun uraikan di atas, penyusun merumuskan masalah-masalah tersebut dalam beberapa bagian, yaitu: 1) Apakah makna “tindakan pembasuhan kaki” dalam Yohanes 13? 2) Apakah makna dari Yohanes 13 terkait dengan kasih dan pelayanan? Apakah juga terkait dengan rekonsiliasi? Bagaimana memahami hal ini. Tentu ini dilakukan setelah penyusun melakukan exegese. 3) Bagaimana gereja sebagai sebuah persekutuan memahami tindakan pembasuhan kaki? Hal mengenai apakah yang bisa diterapkan oleh gereja melalui pemahaman “pembasuhan kaki”?
C. Batasan Permasalahan Untuk mengeksplorasi makna dari tindakan pembasuhan kaki dalam Injil Yohanes, maka penyusun akan membatasi diri pada usaha menafsir Yohanes 13. Usaha penafsiran ini akan dihubungkan dengan konteks cerita yang lebih besar, yaitu dengan Injil Yohanes sendiri. Artinya, usaha menemukan makna dari tindakan pembasuhan kaki tetap akan dilihat dalam narasi yang lebih besar, mengingat pentingnya narasi Yohanes 13 dikaitkan dengan narasi Injil Yohanes secara keseluruhan. Perikop atau ayat lain dan bahkan kitab-kitab lain akan dikutip sejauh itu mendukung gagasan dari fokus penemuan makna. D. Judul skripsi dan alasan pemilihan judul Berdasarkan uraian penyusun di atas, adapun judul skripsi yang penyusun tentukan adalah: Makna Tindakan Pembasuhan Kaki Dalam Yohanes 13 Mengapa penyusun memilih judul di atas? Karena judul di atas sesuai dengan apa yang menjadi rumusan masalah dalam bagian sebelumnya, yakni ingin menemukan “makna” sebagai jawaban
7
http://www.kompas.co.id/Internasional/0704/07/051327.htm. Diakses tanggal 24 Desember 2007
4
dari permasalahan yang ada dalam cerita pembasuhan kaki dalam Injil Yohanes 13. Judul di atas mencakup tentang permasalahan yang merupakan sebab dari penulisan skripsi ini. E. Tujuan Penyusunan Skripsi 1) Menemukan makna dari tindakan pembasuhan kaki oleh Yesus dengan memakai pendekatan exegetis 2) Setelah melakukan exegese, penyusun akan melihat apakah permasalahan seputar pembasuhan kaki dalam hubungannya dengan permasalahan gereja bisa dijawab? 3) Sebagai bagian dari usaha memberi alternatif tafsir dan juga sebagai bagian dari usaha berteologi penyusun yang diharapkan berguna bagi perkembangan gereja saat ini.
F. Metode Penulisan Skripsi Pendekatan yang akan penyusun pakai dalam menafsir teks Yohanes 13 adalah menggunakan pendekatan exegese kritis naratif. Karena sebagaimana kita tahu bahwa Injil Yohanes jelas merupakan sebuah teks yang bersifat naratif.8 Teks yang kita bahas memadai untuk bisa didekati dengan pendekatan naratif karena unsur-unsur narasinya kelihatan seperti adanya komentar narator, setting tempat dan waktu, tokoh dan karakter, dialog, konflik dsb. Adapun alasan penyusun memilih pendekatan exegese kritis naratif didasarkan pada uraian-uraian yang telah penyusun lakukan dimana pendekatan lain lebih berfokus kepada pendekatan historiskritis. Rumusan alasan pemilihan pendekatan ini adalah: 1. Apa yang penyusun sebutkan di atas, terlihat bahwa teks Injil Yohanes 13 didekati dengan berbagai pendekatan di luar exegese naratif. Sejauh yang penyusun tahu, bahwa belum ada ahli yang dengan serius mencoba mengeskplorasi teks ini dengan pendekatan exegese kritis naratif. Kecuali mungkin apa yang dilakukan oleh Robert Kysar yang menulis buku “Injil Yohanes sebagai cerita”. Namun, apa yang diuraikan oleh Kysar masih sangat umum, karena ia membahas narasi Yohanes secara keseluruhan dari pasal 1-21. Itu berarti, bagi penyusun sendiri, mendekati Injil ini dengan exegese naratif adalah sebuah tawaran untuk mencoba menemukan makna teks Injil Yohanes 13. Bagaimanapun, penyusun tetap menghargai apa yang dilakukan oleh para ahli. penyusun berharap bahwa berbagai metode tafsir yang ada akan saling
8
Pdt. Dr. Theo Witkamp, “Mengenal narasi Yohanes” Gema Duta Wacana 41 (1993) p. 66
5
melengkapi, dalam rangka menemukan makna yang tepat untuk memahami dan mengerti teks tersebut. 2. Injil Yohanes jelas merupakan sebuah kitab yang bisa dilihat dari sudut pandang narasi. Mark Allen Powell mengatakan bahwa “ In the new testament, the four Gospels and acts qualify as narratives. The epistles probably do not.”9 Bagi Powell, narasi memiliki dua aspek, yaitu aspek cerita (story) dan aspek wacana (discourse). Cerita merujuk kepada isi (content) narasi yang terdiri dari events (peristiwa), characters (karakter), setting (settings) dan interaksi dari elemenelemen tersebut yang diistilahkan dengan plot. Sedangkan yang namanya discourse (wacana) merujuk kepada retorika narasi tepatnya bagaimana cerita itu disampaikan.10 Atas dasar inilah ia mengatakan bahwa keempat Injil “provide excellent”11. Dengan demikian, mendekati Injil ini dengan exegese naratif adalah hal yang sangat tepat untuk dilakukan. Ketepatan untuk mendekati teks Injil Yohanes 13 dengan memakai pendekatan naratif didukung oleh alasan bahwa “fokus permasalahan” berpusat pada keambiguan makna “tindakan pembasuhan kaki” yang diungkapkan oleh Yesus. Hal ini sangat mungkin terjadi karena Injil Yohanes dikenal sebagai Injil yang bersifat meditatif melalui ungkapan-ungkapan yang panjang. Willi Marxen mengatakan “dalam soal gaya Injil Yohanes memaparkan ucapan-ucapan Yesus dengan panjang dan kebanyakan memang bersifat meditatif dengan ungkapan alur pemikiran yang terus terbentang.”12 Hal lain adalah Injil ini dikenal memiliki dua lapisan makna yang dalam bahasanya William Barclay disebut dengan “makna di permukaan” dan makna “di bawah permukaan”.13 Oleh karena alasan inipulalah ketetapatan pendekatan naratif dilakukan. Karena, menurut penyusun, tereksplorasinya unsur meditatif dan makna dua lapisan hanya bisa dilakukan jika kita menafsirkan teks ini menggunakan exegese kritis naratif.
9
Mark Allen Powell, What is Narrative Criticsm (Minneapolis: Fortress Press, 1990) p. 23. Tetapi dalam p. 113, dengan merujuk kepada Norman R. Petersen ia mengatakan bahwa surat-surat Paulus juga dapat dianalisis secara naratif sejauh ada cerita di balik surat-surat itu atau sejauh kita dapat merekonstruksi cerita di dalam surat-surat itu. 10 Mark Allen Powell, Ibid, p. 23 11 Mark Allen Powell, Ibid, p. 23. Ia mengatakan “The four Gospels provide excellent examples of this”. 12 Willi Marxen, Perjanjian, p. 311 13 William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari. Injil Yohanes 8-21 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985) p. 222
6
G. Sistematika Penulisan Skripsi Bab I
Pendahuluan Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan permasalahan, tujuan penulisan skripsi, alasan dan pemilihan judul dan metode pendekatan serta interpretasi terhadap Yohanes 13.
Bab II
Pengantar ke dalam Exegese Kritis Naratif Yohanes 13 Bab ini akan berfungsi secara khusus sebagai pengantar ke dalam Injil Yohanes 13 sebagai ”fokus” skripsi ini. Terdiri dari pembahasan tentang konteks baik konteks Makro maupun konteks Mikro, dan kritik teks dalam kaitannya dengan Injil Yohanes 13.
Bab III
Exegese Kritis Naratif Yohanes 13 Bab ini akan menjadi tempat bagi penyusun untuk melakukan exegese dan melihat apakah makna pembasuhan kaki yang terdapat dalam Yohanes 13
Bab IV
Makna “Tindakan Pembasuhan Kaki” dalam Yohanes 13 Dalam bab ini, penyusun akan menyimpulkan makna pembasuhan kaki yang didapat dari proses exegese yang penyusun lakukan di bab sebelumnya. Dalam Bab ini penyusun juga akan melihat apakah permasalahan di bab I terjawab atau tidak. Dalam bab ini, penyusun juga akan melihat sejauh mana relevansinya dalam kehidupan bergereja
H. Interpretasi yang berbeda terhadap teks Yohanes 13 Pembasuhan kaki sebagaimana yang penyusun telah uraikan di awal, diinterpretasikan secara berbeda. Setidaknya, John Christopher Thomas14 mencatat beberapa interpretasi tersebut: 1. Pembasuhan kaki sebagai sebuah contoh kerendahan hati Pembasuhan kaki dan hubungannya dengan kerendahan hati nampak dalam tindakan Yesus itu sendiri yang bersedia untuk melayani murid-muridNya. Guru melayani murid adalah bentuk kerendahan hati. Karena, apa yang dilakukan Yesus adalah pekerjaan dari para budak. Hal ini diperkuat oleh deskripsi Yesus tersebut khususnya ketika Ia menanggalkan jubahNya dan mengikat pinggangNya dengan handuk. Aksi Yesus tersebut sesuai dengan instruksinya dalam 14
John Christopher Thomas, “Footwashing in John 13 and the Johannine Community”, JSNT 61 (Sheffield: Sheffield Academic Press, 1991) p. 11-17
7
ayat 13-17 yang memberikan perintah kepada para murid untuk melakukan hal yang sama satu dengan yang lain. Hal ini secara eksplisit nampak dalam ayat 16 yang dinilai sebagai bukti pembasuhan kaki adalah demonstrasi dari kerendahan hati. 2. Pembasuhan kaki sebagai sebuah simbol dari ekaristi Pembasuhan kaki dan hubungannya dengan sakramen dihubungkan dengan konteks atau latar waktu dari perikop ini. Sejak tindakan Yesus dalam Yohanes mengambil tempat institusi dari ekaristi sebagai rekaman sinoptik, hal tersebut diasumsikan bahwa penulis Injil Yohanes sedang memberi perhatian untuk menghubungkan dua cerita. Hal tersebut ditegaskan lebih lanjut bahwa sejak Yohanes menyinggung ekaristi melalui tindakan spesifik dalam kehidupan Yesus (sebagai contoh, mujizat di Kana dan ceramah roti kehidupan) sebagai sesuatu yang alamiah untuk mengasumsikan bahwa tindakan pembasuhan kaki juga merupakan sebuah hal yang menyinggung tentang ekaristi. Pemberian perintah oleh Yesus untuk melanjutkan tindakan tersebut sejajar dengan perintah untuk mengulang kembali ekaristi (1 Kor. 11:23-26). Atau dengan kata lain, menurut interpretasi ini, ayat 10 dapat diartikan sebagai “siapa yang telah dibabtis seharusnya melanjutkan untuk menerima pengampunan dosa oleh partisipasi dalam ekaristi”. 3. Pembasuhan kaki sebagai sebuah simbol pembaptisan Keterkaitan pembasuhan kaki dengan pembaptisan didasarkan pada Yoh. 13:1-20. Yang menjadi fokus dalam pembahasan ini adalah kata “leloume,noj” atau mandi (13:10). Sejak kata “lou,w” menggambarkan pemandian yang sempurna, sebagaimana babtisan dan sejak adanya bukti dalam PB bahwa kata “lou,w” menjalani fungsi sebagai sebuah sinonim untuk kata “bapti,zw”, beberapa interpreter lalu menghubungkan kata leloume,noj secara langsung kepada babtisan. Hal yang sama juga diperkuat oleh bahasa tegas Yesus dalam ayat 8, dimana Petrus mengatakan bahwa bagiannya dengan Yesus akan hilang jika pembersihan tidak dilakukan dan juga pernyataan di ayat 10 bahwa murid-murid akan bersih sebagai hasil dari pembasuhan. Inilah yang menghubungkan gambaran pembasuhan kaki dan leloume,noj. 4. Pembasuhan kaki dan simbol pembersihan dari dosa Menurut gagasan ini, pembasuhan kaki merupakan pembersihan dari dosa setelah melakukan baptisan, karena dosa merupakan bagian dari kondisi manusia yang lemah. Simbol pembersihan dosa juga dijelaskan dengan menganggap bahwa pembasuhan kaki merupakan persiapan dalam sebuah acara ekaristi. Jadi sementara pembersihan/ pengampunan disampaikan, pembasuhan
8
kaki sebagai sebuah simbol untuk alat/perantara pembersihan yang sebenarnya, darah Kristus. Interpretasi tersebut muncul dari ayat 8, dimana hal tersebut ditafsirkan sebagai sebuah dimensi “soteriologi” dari tindakan pembasuhan kaki. Pernyataan di ayat 10 yang juga menyebutkan bahwa para murid telah bersih dimengerti sebagai sebuah efek yang manjur dari tindakan pembasuhan kaki. 5. Pembasuhan kaki sebagai sebuah sakramen yang terpisah dari pembaptisan dan ekaristi Beberapa interpretasi menganjurkan agar tindakan pembasuhan kaki dipisahkan dari sakramen ekaristi dan baptis. Sebagai contoh adalah a. Pembasuhan kaki dilihat sebagai referensi kepada sakramen penebusan dosa yang menolong kita untuk bersih dari dosa setelah kita menerima babtisan. b. Pembasuhan kaki dapat diidentifikasi sebagai sakramen yang baru c. Sebagai sebuah ritual penahbisan, pembasuhan kaki didirikan dalam rangka penahbisan para murid sebagai pelayan eskatologis Yesus. Pembasuhan kaki dipersiapkan bagi para murid untuk melayani meja perjamuan. 6. Pembasuhan kaki sebagai tanda soteriologi Sebagai soteriologi dihubungkan dengan kematian Yesus di salib. Apa yang tercantum dalam ayat 8, akibat dari pembasuhan, merupakan pusat dari salib dalam Yohanes, kecintaan Yesus dan didukung oleh konteks cerita yang merupakan awal dari buku kemuliaan. Dalam bagian ini, pembasuhan kaki merupakan simbol yang membawa kita ke dalam pengorbanan Yesus. 7. Pembasuhan kaki sebagai polemik Meskipun banyak interpreter menghubungkan pembasuhan kaki dan sakramen atau pengampunan dosa, pembasuhan kaki pada waktu tertentu ditafsirkan sebagai sebuah polemik yang melawan babtisan atau ritual pembersihan (ritual purification). Hal ini disimpulkan dengan mengatakan bahwa pembasuhan kaki menggantikan tempat baptisan dalam perikop ini. Jadi dalam hal ini, apa yang diinginkan Petrus untuk dibasuh seluruhnya tidak diperlukan lagi, karena respon Yesus yang hanya menginginkan kaki yang dibasuh. Di awal15, penyusun telah menyebutkan komentar Jerome H. Neyrey, S.J. Jeremey berfokus pada permasalahan teks berkenaan dengan percakapan Yesus dengan Petrus (6-11) dan percakapan
15
Lihat p. 2 halaman skripsi ini
9
(khotbah) Yesus dengan para murid (12-20). Beberapa permasalahan yang diangkat oleh Jeromey adalah: 1. Seolah-olah teks ayat 12-20 bertindak sebagai penjelasan atas teks 6-9 2. Petrus tidak tahu (mengenal) apa yang dilakukan oleh Yesus sedangkan para murid yang lain tahu seluk-beluk dari tindakan Yesus ini. 3. Petrus akan mendapat bagian dalam Yesus jika ia bersedia dibasuh kakinya. Sedangkan para murid yang lain dihormati jika mereka saling membasuh kaki satu dengan yang lain 4. ada dua hal yang menjadi pedoman bagi kita, jika kita memakai pendekatan Antropologi yakni apakah ini bertalian dengan ritual ataukah ini sebenarnya merupakan semacam ceremony (upacara). Neyrey melihat bahwa ada dua hal yang saling berbeda berkenaan dengan teks ini yakni antara ayat 6-11 dan ayat 12-20. Berkenaan dengan itu, Neyrey, S.J melihat bahwa kedua hal yang berbeda tersebut merupakan dua upacara yang berbeda dan ia mengusulkan untuk mendekati teks ini dengan memakai ilmu antropologi . Ia mengatakan bahwa: “Notions of "ritual" and "ceremony" from cultural anthropology can serve as important lens for sharpening our perception of 13:6-11 and explaining the differences between the two accounts of Jesus' symbolic action. "Ritual" refers to rites of status transformation, such as baptism, marriage, consecration, in which individuals change status and role. "Ceremony" refers to rites which confirm roles and statuses, such as anniversaries, priestly rites, triumphal parades, and the like”16
Meskipun pada akhir kesimpulannya ia mengatakan bahwa pendekatan Ilmu Antropologi budaya dengan sendirinya tidak bisa secara penuh menginterpretasikan maksud dari keberadaan pembasuhan kaki tersebut, akan tetapi ia melihat bahwa pendekatan yang ia lakukan sangat membantu dalam membaca Injil ini A model of rites of status change and status confirmation greatly assists our reading of the Fourth Gospel. This gospel records precious few successful ceremonies. Since attention is focussed on boundary crossings and status changes (i.e. "unless . . ."), we are urged to focus on the social conflict within and without the Johannine community; this is helped by noting the shifting demands made of disciples, which are expressed in terms of new rites of status transformation. This model, moreover, greatly clarifies the rivalry between the symbolic figures Peter and the Beloved Disciple, when we see the latter successfully if temporarily acting as the ceremonial Noble Shepherd. The figure of Peter, moreover, remains in a state of change and uncertainty until the final ritual in 21:15-19.17 16 17
http://www.nd.edu/~jneyrey 1/footwash.htm#N 1 http://www.nd.edu/~jneyrey 1/footwash.htm#N 1
10
Ia memulainya dengan menguraikan perbedaan antara Ritual (Rituals) dan Upacara (Ceremonies) dengan mengutip uraian yang diberikan oleh Victor Turner, seorang ahli Antropologi Agama yang mengatakan bahwa: "I consider the term 'ritual' to be more fittingly applied to forms of religious behavior associated with social transitions, while the term 'ceremony' has a closer bearing on religious behavior associated with religious states. . . Ritual is transformative, ceremony confirmatory”.18 Jadi nampak bahwa ritual berkaitan dengan transformasi sedangkan upacara merupakan sebuah hal yang sifatnya menegaskan.19 Neyrey melihat bahwa Yohanes 13:6-11 merupakan tindakan pembasuhan kaki sebagai Ritual dari transformasi status yang dilakukan oleh Yesus “hanya” kepada Petrus. Ia melihat bahwa kata Yesus kepada Petrus “bahwa jika...engkau tidak akan mendapat “bagian” dari aku” merupakan sebuah tindakan “akan” ke “masa depan”. Ada sebuah perubahan status yang akan terjadi dalam diri Petrus. Hanya saja syaratnya adalah dengan bersedia dibasuh kakinya oleh Yesus. Perubahan status ini nampak juga dari “sebagian bersih” (mandi) ke “keseluruhan bersih”. Dalam hal ini Neyrey melihat Yesus sebagai pemimpin ritual yang membasuh kaki Petrus. Bertalian dengan InjilYohanes 13:12-20, Neyrey melihatnya sebagai bagian dari sebuah upacara atau ceremony. Dalam hal ini, yang membedakanya dengan ritual adalah “Frekuensi” yang terjadi. Frekuensi terjadi secara berulang yang akan dilakukan oleh murid-murid Yesus. Hal yang lain yang diidentifikasi oleh Neyrey bahwa keberadaan pembasuhan sebagai upacara dilakukan secara teratur sedangkan ritual agaknya terjadi tanpa aturan, di sela-sela perjamuan makan. Hal yang lain yang membedakannya adalah jika ritual yang terjadi kepada Petrus berfokus ke masa depan dengan kata “kelak/nanti” maka upacara yang terjadi kepada para murid yang lain berfokus ke masa lalu dalam diri Yesus. Artinya, tindakan Yesus menjadi pedoman bagi para murid, untuk melakukan hal yang sama. Fokus para murid adalah ke masa lampau dalam diri Yesus. I. Tanggapan Penyusun Banyak hal bisa dilakukan untuk mengerti maksud dari sebuah teks. Pendekatan-pendekatan di atas tentu saja sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku. Usaha-usaha yang dilakukan, baik dengan 18
http://www.nd.edu/~jneyrey 1/footwash.htm#N 1 Dalam bukunya “Daya kekuatan Simbol”, Dillistone mengatakan bahwa ciri khas tulisan Turner terletak pada dua hal yaitu upacara dan ritual. Upacara bertalian dengan stabilitas sedangkan ritual berhubungan dengan peralihan dan hubungannya dengan keadaaan yang baru. (lih. F.W. Dillistone, Daya Kekuatan Simbol (Yogyakarta: Kanisius, 2006) p. 111-115 19
11
memakai pendekatan kritik sumber atau redaksi bahkan mencoba melihatnya dari sudut pandang ilmu antropologi budaya merupakan sumbangan yang luar biasa dalam usaha menjembatani perbedaan ketidak-mengertian kita akan teks yang telah terbentuk puluhan abad yang lalu. Namun, dalam usaha menjembatani ketidak-mengertian itu, penyusun berpendapat bahwa teks khususnya yang bertalian dengan Injil Yohanes bisa juga didekati dengan memakai pendekatan atau kritik narasi yang melihat teks sebagai sebuah cerita dan menerima teks dalam bentuk akhirnya. Hal ini tentunya didasari atas berbagai pendapat yang melihat teks telah mengalami penyuntingan. Ketika mengalami penyuntingan, maka memang kepentingan kelompok tertentu sangat dominan. Namun, apa yang sampai kepada kita pada saat ini bisa dipahami dengan melihat teks apa adanya tanpa mempersoalkan itu suntingan atau ubahan dari kelompok tertentu. Karena bagaimanapun, jika benar bahwa teks mengalami penyuntingan, maka kepentingan itulah yang menurut penyusun perlu kita pahami dan berusaha untuk mengerti maknanya. Karena suntingan itu dimaksudkan untuk membicarakan dan menyampaikan sesuatu, dengan ideologinya sendiri. Hal ini tentu saja bukan tidak menghargai pendekatan kritik teks atau redaksi ataupun kritik sumber dan ilmu antropologi budaya tetapi lebih kepada mencari makna lain dengan pendekatan lain sehingga alternatif tafsir yang lain dapat dijadikan sebagai sumbangan dalam gereja saat ini dalam usaha teks Yohanes 13 (lihat metode penulisan skripsi)
12