BAB I PENDAHULUAN
Deskripsi Singkat Topik : Pokok Bahasan
: Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi Kecamatan Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 19 Tahun 2008
Sub Pokok Bahasan : 1. Kedudukan Kecamatan 2. Tugas, Fungsi dan Kewenangan Camat 3. Struktur Organisasi Kecamatan 4. Hubungan Kerja Waktu
: 1 (satu) kali tatap muka (selama 100 menit)
Tujuan
: Praja dapat memahami dan membandingkan tugas pokok dan fungsi organisasi kecamatan sebagai wilayah administrasi pemerintahan menjadi wilayah kerja
Metode
: Ceramah/Tatap Muka
A. Kedudukan Kecamatan Menurut UU 5/1974, 22/1999 dan 32/2004 Keberadaan UU Nomor 22 Tahun 1999 sebagai “kontra-konsep” terhadap UU sebelumnya (UU 5 Tahun 1974) dilatarbelakangi adanya perbedaan filosofi serta paradigma yang mendasarinya. Mengapa menunjuk pada UU Nomor 22 Tahun 1999? Karena berdasarkan UU tersebut, kedudukan kecamatan termasuk tupoksi dan hubungan kerja dengan unit organisasi pemerintahan di bawahnya (desa dan kelurahan) berubah secara drastis yang ditandai dengan beberapa hal sebagai berikut :
-1-
a. Dari filosofi “keseragaman” berubah menjadi filosofi “keanekaragaman” dalam kesatuan. Berdasarkan filosofi ini, Daerah diberi kebebasan yang luas untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, termasuk kebebasan mengatur organisasi kecamatannya. b. Dari paradigma administratif yang mengutamakan dayaguna dan hasilguna pemerintahan menjadi paradigma demokratisasi, partisipasi masyarakat serta pelayanan. c. Tugas utama pemerintah daerah yang semula sebagai promotor pembangunan berubah menjadi pelayan masyarakat, sehingga unit-unit pemerintahan yang berhadapan dan memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat perlu diperkuat. d. Dari dominasi eksekutif (executive heavy) berubah ke arah dominasi legislatif (legislative heavy). e. Pola otonomi yang digunakan adalah a-simetris, menggantikan pola otonomi simetris. f. Pengaturan terhadap Desa yang terbatas, menggantikan pengaturan yang luas dan seragam secara nasional. g. Penggunaan pendekatan “besaran dan isi otonomi” (size and content approach) dalam pembagian daerah otonom, menggantikan pendekatan berjenjang (level approach). Perubahan paradigma tersebut secara signifikan mengubah pula kedudukan kecamatan dengan berbagai implikasinya. Pada UU Nomor 5 Tahun 1974, kecamatan merupakan “wilayah administrasi pemerintahan” sebagai -2-
konsekuensi penggunaan “Fused Model” (B. C. Smith), sedangkan menurut Undang-undang 22 Tahun 1999 kecamatan merupakan “wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah Kabupaten dan Daerah Kota”. Camat menerima pelimpahan sebagian wewenang Bupati/Walikota dalam bidang desentralisasi. Kewenangan yang dijalankan camat hanya bersifat delegasi dari Bupati/Walikota. Sementara menurut Undang-undang 32 Tahun 2004, Kecamatan merupakan “wilayah kerja camat sebagai perangkat Daerah Kabupaten/Kota” (Pasal 126 ayat (1)) dan Camat menerima pelimpahan sebagian wewenang Bupati/Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah (kewenangan delegatif). Camat juga melaksanakan tugas umum pemerintahan (kewenangan atributif) (Pasal 126 ayat (1) dan (2) UU 32/2004). Perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan kecamatan sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, kemudian dilanjutkan pada UU Nomor 32 Tahun 2004. Perubahannya mencakup mengenai kedudukan kecamatan menjadi perangkat daerah kabupaten/kota, dan camat menjadi pelaksana sebagian urusan pemerintahan yang menjadi wewenang Bupati/ Walikota. Di dalam Pasal 120 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 dinyatakan bahwa, “Perangkat daerah kabupaten/kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan Kelurahan”. Pasal tersebut menunjukkan adanya dua perubahan penting yaitu : a.
Kecamatan bukan lagi wilayah administrasi pemerintahan dan dipersepsikan merupakan wilayah kekuasaan camat. Dengan paradigma baru, Kecamatan merupakan suatu wilayah kerja atau areal tempat Camat bekerja. -3-
b.
Camat adalah perangkat Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dan bukan lagi kepala wilayah administrasi pemerintahan, dengan demikian camat bukan lagi penguasa tunggal yang berfungsi sebagai administrator pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, akan tetapi merupakan pelaksana sebagian wewenang yang dilimpahkan oleh Bupati/Walikota. Perubahan kedudukan kecamatan dan kedudukan camat, membawa
dampak pada kewenangan yang harus dijalankan oleh camat. Namun demikian ada karakter yang berbeda antara status perangkat daerah yang ada pada kecamatan dengan instansi/lembaga teknis daerah. Bila ditelaah lebih lanjut, kewenangan camat justru lebih bersifat umum dan menyangkut berbagai aspek dalam pemerintahan dan pembangunan serta kemasyarakatan. Hal ini berbeda dengan dengan instansi dengan lembaga dinas daerah ataupun lembaga teknis daerah yang bersifat spesifik. Sebagai perangkat Daerah, Camat memiliki kewenangan delegatif seperti yang dinyatakan dalam Pasal 126 ayat (2) bahwa : ”Kecamatan dipimpin oleh Camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang Bupati atau Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah”. Ini berarti bahwa kewenangan yang dijalankan oleh Camat merupakan kewenangan yang dilimpahkan oleh Bupati/Walikota. Dengan demikian luas atau terbatasnya pelimpahan kewenangan dari Bupati/Walikota sangat tergantung pada keinginan politis dari Bupati/Walikota.
-4-
Selain itu, Camat juga melaksanakan tugas umum pemerintahan yang merupakan kewenangan atributif sebagaimana diatur dalam Pasal 126 ayat (3) yaitu sebagai berikut : a. b. c. d. e. f. g.
mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat; Mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum; mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundangundangan; mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum; mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan; membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan; melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yg belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan.
Tugas umum pemerintahan yang dimaksud dalam Pasal 126 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 berbeda maknanya dengan urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada UU Nomor 5 Tahun 1974. Menurut Pasal 1 huruf (j) UU Nomor 5 Tahun 1974, yang dimaksud dengan urusan pemerintahan umum adalah : “urusan pemerintahan yang meliputi bidang-bidang ketentraman dan ketertiban, politik, koordinasi, pengawasan dan urusan pemerintahan lainnya yang tidak termasuk dalam tugas sesuatu Instansi dan tidak termasuk urusan rumah tangga Daerah”. Urusan pemerintahan umum ini diselenggarakan oleh setiap kepala wilayah pada setiap tingkatan - sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dalam rangka melaksanakan asas dekonsentrasi. Tugas umum pemerintahan yang diselenggarakan oleh Camat tidak dimaksudkan sebagai pengganti urusan pemerintahan umum, karena Camat bukan lagi sebagai kepala wilayah. Selain itu, intinya juga berbeda. Tugas umum -5-
pemerintahan sebagai kewenangan atributif mencakup tiga jenis kewenangan yakni kewenangan melakukan koordinasi yang meliputi lima bidang kegiatan, kewenangan melakukan pembinaan serta kewenangan melaksanakan pelayanan kepada masyarakat. Kewenangan koordinasi dan pembinaan merupakan bentuk pelayanan secara tidak langsung (indirect services), karena yang dilayani adalah entitas pemerintahan lainnya sebagai pengguna (users), meskipun pengguna akhirnya (end users) tetap masyarakat. Sedangkan kewenangan pemberian pelayanan kepada masyarakat, pengguna (users) maupun pengguna akhirnya (end users) sama yakni masyarakat. Jenis pelayanan ini dapat dikategorikan sebagai pelayanan secara langsung (direct services). Diberikannya kewenangan atributif bersama-sama kewenangan delegatif kepada Camat menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 sebenarnya merupakan koreksi terhadap UU Nomor 22 Tahun 1999. Pada masa UU tersebut, Camat hanya memiliki kewenangan delegatif dari Bupati/Walikota tanpa disertai kewenangan atributif. Dalam prakteknya selama UU tersebut berlaku, masih banyak Bupati/Walikota yang tidak mendelegasikan sebagian kewenangannya kepada Camat, entah karena tidak tahu ataupun karena tidak mau tahu. Akibatnya banyak Camat yang tidak mengetahui secara tepat mengenai apa yang menjadi kewenangannya. Mereka umumnya hanya menjalankan kewenangan tradisional yang sudah dijalankan secara turun temurun, padahal peraturan perundangundangannya sudah berubah. Posisi camat menjadi serba tidak menentu. Pada
sisi
lain,
bagi
Bupati/Walikota
yang
paham
tentang
penyelenggaraan pemerintahan, mereka akan melakukan delegasi kewenangan -6-
yang luas kepada Camat sehingga fungsinya menjadi lebih besar dan luas dibanding pada waktu Camat masih menjadi kepala wilayah. Pendelegasian sebagian kewenangan Bupati/Walikota kepada Camat sebenarnya menguntungkan Bupati/Walikota bersangkutan, karena mereka tidak dibebani oleh urusan-urusan elementer berskala kecamatan yang dapat diselesaikan oleh Camat. Menyadari kedudukan kecamatan yang strategis tersebut, maka yang perlu
dilakukan
mendudukkan
adalah
kecamatan
bagaimana sebagai
pemerintah bagian
daerah
pemerintah
Kabupaten/Kota daerah
dalam
menyelenggarakan otonomi serta memberikan penguatan untuk melalukan banyak peran dalam penyelenggaraan otonomi daerah melalui pelimpahan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota. Sebagai intitusi publik, keberadaan kecamatan hendaknya dimanfaatkan secara optimal untuk melayani masyarakat. Jangan sampai dana publik yang dikeluarkan untuk membayar gaji PNS dan membiayai fasilitas kantor namun tidak memberi manfaat bagi rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
B. Tugas, Fungsi dan Kewenangan Camat Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 158 Tahun 2004 tentang Pedoman Organisasi Kecamatan menyebutkan bahwa Camat mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh Bupati/Walikota atau Walikotamadya/Bupati Administrasi di Provinsi DKI Jakarta, sesuai karakteristik wilayah, kebutuhan daerah dan tugas pemerintahan lainnya berdasarkan paraturan perundang-undangan. Urusan -7-
pemerintahan yang menjadi kewenangan camat meliputi 5 (lima) bidang kewenangan pemerintahan yaitu : 1. bidang pemerintahan; 2. bidang pembangunan dan ekonomi; 3. bidang pendidikan dan kesehatan; 4. bidang sosial dan kesejahteraan; 5. bidang pertanahan. Di samping urusan pemerintahan tersebut di atas yang dapat menjadi isi kewenangan dan menjadi tugas Camat, juga terdapat penyelenggaraan tugas umum pemerintahan sebagaimana diatur pada Pasal 126 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004. Penjabaran lebih lanjut mengenai tugas dan wewenang Camat, perlu ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Menurut Pasal 15 ayat (1) PP Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan disebutkan bahwa : Camat menyelenggarakan tugas umum pemerintahan yang meliputi: a) mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat; b) mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum; c) mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundangundangan; d) mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum; e) mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan; f) membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan; h. melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya; g) dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan.
-8-
Selanjutnya pada Pasal 15 ayat (2) PP Nomor 19 Tahun 2008 ditambahkan rambu-rambu kewenangan yang perlu didelegasikan oleh Bupati/ Walikota kepada Camat untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah, yang meliputi aspek : a) b) c) d) e) f) g) h) i)
perizinan; rekomendasi; koordinasi; pembinaan; pengawasan; fasilitasi; penetapan; penyelenggaraan; dan kewenangan lain yang dilimpahkan.
PP Nomor 19 Tahun 2008 mengatur secara lebih rinci mengenai tugas dan wewenang Camat, baik untuk kewenangan yang bersifat atributif maupun pedoman untuk kewenangan yang bersifat delegatif. Untuk kewenangan delegatif disusun berdasarkan kriteria EKSTERNALITAS DAN EFISIENSI. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang Camat diatur dengan Peraturan Bupati/Walikota (Uraian lebih lanjut mengenai tugas pokok dan fungsi serta kewenangan Camat diatur tersendiri dalam Pelatihan Praktek Implementasi Kewenangan Camat dan Tupoksi Camat).
C. Susunan dan Bagan Organisasi Kecamatan Pada Pasal 126 ayat (5) dan (6) UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa Camat dalam menjalankan tugas-tugasnya dibantu oleh perangkat kecamatan dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui Sekretaris Daerah kabupaten/kota. Perangkat kecamatan bertanggung jawab kepada Camat.
-9-
Selanjutnya menurut Pasal 14 Kepmendagri Nomor 158 Tahun 2004, susunan organisasi kecamatan terdiri dari Camat, Sekretaris, dan sebanyakbanyaknya 5 (lima) seksi, serta kelompok jabatan fungsional. Khusus untuk organisasi kecamatan di Provinsi DKI Jakarta, Camat dibantu oleh seorang Wakil Camat. Susunan organisasi kecamatan terdiri dari : a.
Camat;
b.
Sekretarias Kecamatan;
c.
Seksi Pemerintahan;
d.
Seksi Ketenteraman dan Ketertiban Umum;
e.
Seksi lain dalam lingkungan kecamatan yang nomenklaturnya disesuaikan dengan spesifikasi dan karakteristik wilayah kecamatan sesuai kebutuhan daerah;
f.
Kelompok jabatan fungsional. Sekretariat kecamatan dipimpin oleh seorang sekretaris yang berada di
bawah dan bertanggungjawab kepada Camat. Sekretaris Kecamatan mempunyai tugas
membantu
Camat
dalam
melaksanakan
tugas
penyelenggaraan
pemerintahan dan memberikan pelayanan administrasi kepada seluruh perangkat/ aparatur kecamatan. Seksi yang wajib ada pada susunan setiap organisasi kecamatan sebagaimana Pasal 7 Kepmendagri Nomor 158 Tahun 2004 adalah :
- 10 -
1. Seksi Pemerintahan, mempunyai tugas membantu Camat dalam menyiapkan bahan perumusan kebijakan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan urusan pemerintahan. 2. Seksi Ketenteraman dan Ketertiban Umum, mempunyai tugas membantu Camat dalam menyiapkan bahan perumusan kebijakan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan urusan ketenteraman dan ketertiban umum. Kelompok jabatan fungsional yang ada di kecamatan biasanya merupakan “kepanjangan tangan” dari Dinas dan Lemtekda Kabupaten/Kota maupun
instansi
vertikal
yang
bertugas
dalam
lingkungan
kecamatan
bersangkutan seperti PLKB (Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana), PPL Pertanian (Petugas Penyuluh Lapangan), Petugas/Mantri Statistik, dsb. Adapun nomenklatur dan tugas masing-masing seksi ditetapkan lebih lanjut oleh Bupati/Walikota sesuai kebutuhan berdasarkan beban tugas dan urusan pemerintahan yang diselenggarakan kecamatan. Dimungkinkan dibentuknya jabatan fungsional sesuai kebutuhan. Penempatan jabatan fungsional dalam susunan organisasi kecamatan menyesuaikan dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.
- 11 -
BAGAN 1.1 STRUKTUR ORGANISASI KECAMATAN MENURUT KEPMENDAGRI NOMOR 158 TAHUN 2004 Camat
Sekretaris Kecamatan
Kelompok Jabatan Fungsional
Seksi Pemerintahan
Seksi Ketenteraman dan Ketertiban
Desa
Seksi
Seksi
Seksi
Kelurahan
Garis Hubungan Operasional Garis Hubungan Koordinasi & Fasilitasi
Sedangkan menurut Pasal 23 PP Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan, susunan organisasi Kecamatan diatur sebagai berikut : (1) Organisasi kecamatan terdiri dari 1 (satu) sekretaris, paling banyak 5 (lima) seksi, dan sekretariat membawahkan paling banyak 3 (tiga) subbagian. (2) Seksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. seksi tata pemerintahan; b. seksi pemberdayaan masyarakat dan desa; dan c. seksi ketenteraman dan ketertiban umum. (3) Pedoman organisasi kecamatan ditetapkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara. Berdasarkan uraian tersebut, maka struktur organisasi dan tata kerja kecamatan dapat digambarkan sebagai berikut : - 12 -
BAGAN 1.2 STRUKTUR ORGANISASI KECAMATAN MENURUT PP NOMOR 19 TAHUN 2008 Camat
Es. IIIa
Sekretaris Kecamatan
Kelompok Jabatan Fungsional Subbag 1
Subbag 2
Es. IIIb
Subbag 3
Es. IVb Seksi Tata Pemerintahan
Seksi Ketenteraman dan Ketertiban Umum
Seksi Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
Seksi
Seksi
Es. IVa
Desa
Kelurahan
Keterangan : Menurut PP 19 Tahun 2008, jumlah seksi paling sedikit 3 artinya minimal seksi yang ada adalah seksi tapem, seksi trantib dan seksi pemmasy, tergantung Perda masing-masing daerah (bisa 3, 4, 5 atau bahkan lebih). Sedangkan di bawah Sekretaris Kecamatan (Sekcam) ditambah dengan adanya jabatan setingkat Kepala Sub Bagian (paling banyak 3) yang mengurusi administrasi umum, kepegawaian dan keuangan.
D. Hubungan Kerja Sebagai satuan kerja perangkat daerah yang juga merupakan satu entitas pemerintahan, maka kecamatan tidak terlepas dari lingkungan sekitarnya, terutama unit-unit pemerintahan lainnya yang berada di kecamatan. Hubungan
- 13 -
kerja kecamatan dengan unit kerja/instansi lainnya dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut : 1. Kecamatan Dengan Perangkat daerah Kabupaten/Kota Pasal 14 Kepmendagri Nomor 158 Tahun 2004 mengatur hubungan kerja kecamatan dengan perangkat daerah Kabupaten/Kota atau perangkat Kotamadya/ Kabupaten Administrasi di Provinsi DKI Jakarta yang bersifat koordinasi teknis fungsional dan teknis operasional. Menurut Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) PP Nomor 19 Tahun 2008, Camat melakukan koordinasi dengan kecamatan di sekitarnya. Selain itu, Camat juga mengoordinasikan unit kerja di wilayah kerja kecamatan dalam rangka penyelenggaraan kegiatan pemerintahan untuk meningkatkan kinerja kecamatan. Selanjutnya Camat juga melakukan koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah di lingkungan pemerintah kabupaten/kota dalam rangka penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di kecamatan. Pada Pasal 28 ayat (1) PP Nomor 19 Tahun 2008 dikemukakan bahwa hubungan kerja kecamatan dengan perangkat daerah kabupaten/kota bersifat koordinasi teknis fungsional dan teknis operasional. Sedangkan hubungan kerja kecamatan dengan swasta, lembaga swadaya masyarakat, partai politik, dan organisasi kemasyarakatan lainnya di wilayah kerja kecamatan bersifat koordinasi dan fasilitasi. Instansi daerah otonom (Kabupaten/Kota) yang biasanya ada di kecamatan antara lain :
- 14 -
a)
Unit Pelaksana Teknis Dinas seperti Puskesmas, Terminal, Pasar, Sekolah Negeri dan lain sebagainya;
b) Cabang dinas daerah, seperti Cabang Dinas Pendidikan, Cabang Dinas PU dan lain sebagainya, meskipun seharusnya menurut PP Nomor 8 Tahun 2003 keberadaannya sudah dihapus. 2. Kecamatan dengan Instansi Vertikal Hubungan kerja kecamatan dengan instansi vertikal di wilayah kerjanya bersifat koordinasi. Hal tersebut diatur secara tegas pada Pasal 28 ayat (2) PP Nomor 19 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa : “Hubungan kerja kecamatan dengan instansi vertikal di wilayah kerjanya bersifat koordinasi teknis fungsional”. Ada beberapa instansi vertikal yang ada di kecamatan antara lain : a) Komando Rayon Militer (Koramil); b) Kantor Polisi Sektor (Polsek); c) Mantri Statistik; d) Kantor Urusan Agama (KUA). Keberadaan Camat sampai saat ini masih diposisikan sebagai koordinator Muspika (Musyawarah Pimpinan Kecamatan), meskipun Camat bukan lagi kepala wilayah. Hanya saja kedudukan sebagai koordinator tidak sekuat pada saat Camat berposisi sebagai kepala wilayah. 3. Kecamatan dengan Pemerintahan Desa Hubungan kerja kecamatan dengan pemerintahan desa bersifat koordinasi dan fasilitasi. Hubungan Camat dengan Kepala Desa juga mengalami perubahan - 15 -
yang sangat berarti. Apabila pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974 dan UU Nomor 5 Tahun 1979, hubungannya bersifat hierarkhis, sekarang hubungannya bersifat koordinasi, pembinaan dan fasilitasi. 4. Kecamatan dengan Kelurahan Berbeda dengan UU Nomor 22 Tahun 1999, pada UU Nomor 32 Tahun 2004, hubungan Camat dengan Lurah bersifat koordinatif (lihat juga PP Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan). Hubungan ini terjadi karena delegasi kewenangan yang dijalankan oleh Lurah berasal dari Bupati/Walikota, sehingga Lurahpun bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui Camat. Prinsip yang digunakan adalah bahwa mekanisme pertanggungjawaban mengikuti mekanisme pendelegasian kewenangan. Hubungan pelimpahan kewenangan dan pertanggungjawaban Camat dengan Lurah dapat digambarkan sebagai berikut : BAGAN 4.3 ALUR PELIMPAHAN KEWENANGAN DARI BUPATI/WALIKOTA KEPADA CAMAT DAN LURAH MENURUT UU NOMOR 22 TAHUN 1999
Bupati/Walikota Arus Pelimpahan Kewenangan
Camat Arus Pertanggung jawaban
Lurah - 16 -
Dalam konteks UU Nomor 22 Tahun 1999, hubungan pembinaan Camat kepada Lurah sudah merupakan kewajiban yang melekat pada dirinya, mengingat Lurah adalah bawahan Camat. Hal tersebut nampak dari bunyi Pasal 67 ayat (5) UU Nomor 22 Tahun 1999 bahwa : “Lurah bertanggung jawab kepada Camat”. Di dalam pasal 2 ayat (2) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 159 Tahun 2004 disebutkan bahwa : “Kelurahan dipimpin oleh Lurah yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Camat”. Dengan demikian hubungan antara Camat dengan Lurah bersifat subordinatif. Selanjutnya di dalam Pasal 8 Kepmendagri Nomor 159 Tahun 2004 disebutkan bahwa “Camat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi Kelurahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Di dalam Pasal 3 Keputusan Menteri dalam Negeri Nomor 159 Tahun 2004 dikemukakan pula bahwa : “Lurah mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh Camat sesuai karakteristik wilayah dan kebutuhan Daerah serta melaksanakan tugas pemerintahan lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Kepmendagri ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari Pasal 67 ayat (4) UU Nomor 22 Tahun 1999. Mengingat kewenangan yang dijalankan oleh Camat berasal dari pendelegasian kewenangan Bupati/Walikota, maka apabila Camat mau membuat Keputusan Camat mengenai pelimpahan sebagian kewenangan Camat kepada Lurah, maka Camat perlu berkonsultasi terlebih dahulu dengan Bupati/Walikota, kecuali hal tersebut telah diatur secara eksplisit di dalam - 17 -
Keputusan Bupati/Walikota mengenai pelimpahan sebagian kewenangan kepada Camat. Berbeda dengan UU Nomor 22 Tahun 1999, di dalam Pasal 127 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 dikemukakan bahwa : “Kelurahan dibentuk di wilayah kecamatan dengan Peraturan Daerah berpedoman pada Peraturan Pemerintah”. Artinya Kelurahan bukan perangkat kecamatan seperti pada UU sebelumnya. Pada Pasal 127 ayat (2) selanjutnya dikemukakan bahwa : “Kelurahan dipimpin oleh Lurah yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan dari Bupati/Walikota “. Konsekuensi logis dari ayat tersebut, di dalam menjalankan tugasnya Lurah tidak lagi bertanggung jawab kepada Camat, melainkan kepada Bupati/Walikota melalui Camat. Hubungan kerja antara Bupati/Walikota, Camat dan Lurah dapat digambarkan sebagai berikut : BAGAN 4.4 ALUR PELIMPAHAN KEWENANGAN DARI BUPATI/WALIKOTA KEPADA CAMAT DAN LURAH MENURUT UU NOMOR 32 TAHUN 2004
Bupati/Walikota Arus Pelimpahan Kewenangan
Arus Pertanggungjawaban
Camat
Arus Pembinaan
Lurah - 18 -
Gambar di atas menunjukkan bahwa Camat dan Lurah masing-masing memperoleh delegasi kewenangan langsung dari Bupati/Walikota, karena Bupati/ Walikota adalah administrator yang menentukan “Apa” (what), yang dilengkapi kewenangan dan sumber-sumber manajerial yang memadai. Camat tidak lagi dapat mendelegasikan sebagian kewenangannya, karena hubungan antara Camat dengan Lurah tidak lagi bersifat hirarkhis, melainkan bersifat koordinatif (lihat PP Nomor 73 Tahun 2005). Tetapi berdasarkan kewenangan atributif yang diberikan kepadanya, Camat dapat melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan pemerintahan kelurahan.
- 19 -