BAB I PENDAHULUAN
I. Latarbelakang Masalah ‘Kuasa atau kekuasaan’ sering menjadi masalah penting dalam kehidupan manusia, baik perorangan maupun kelompok atau masyarakat. Sebab kenyataannya manusia lebih sering salah dalam menggunakan kekuasaan. Kekuasaan pada dasarnya adalah milik Tuhan dan bukan manusia. Tuhan memberikan kekuasaan kepada manusia, termasuk raja, untuk digunakan demi kebaikan manusia.1 Namun karena manusia yang menerima kekuasaan tersebut menggunakannya secara salah maka akibatnya adalah timbul berbagai masalah dalam kehidupan manusia. Sebagai contoh adalah kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintah atau penguasa bangsa-bangsa di dunia seperti yang tampak dalam Injil Markus. Dalam Injil Markus dikisahkan bahwa Yesus mengingatkan para muridNya tentang kekuasaan yang dijalankan oleh penguasa bangsa-bangsa, ‘… penguasa bangsa-bangsa menjadi tuan atas rakyatnya dan para pembesarnya menjalankan kekuasaannya dengan keras atas mereka….’ (Mark. 10:35).
1
Menurut Magnis-Suseno yang mengacu pada pemikiran Thomas Aquinas bahwa ‘kekuasaan pada dasarnya dipahami dan dihayati sebagai yang berasal dari Yang Ilahi. Raja yang menerima kekuasaan itu dipandang sebagai Anak Allah atau pengejawantahan Yang Ilahi yang bertugas untuk mendatangkan ketenteraman, kesejahteraan dan keadilan kepada rakyat. Oleh karena itu, raja atau penguasa harus sungguh-sungguh menjalankan kekuasaan itu untuk kepentingan bersama demi tujuan tersebut dan bukan untuk kepentingan pribadi penguasa atau kelompok-kelompok tertentu (Franz Magnis-Suseno, Kuasa dan Moral [Jakarta: Gramedia, 1988], hlm. 1,6)
1
Pada masa itu, yang disebut penguasa bangsa-bangsa adalah Kaisar dan pasukan militer Roma. Sementara para pembesarnya adalah kaki tangan Roma, termasuk penguasa Yahudi di Bait Allah (Saduki dan Farisi). Akibat dari penguasa ingin menjadi tuan dan kekuasaaan dijalankan dengan keras maka rakyat sangat tertindas dan menderita. Karena itu, Markus mengisahkan bahwa pada zamanNya, Yesus berjuang melawan para penguasa agama – sebagai kakitangan penguasa penjajah Roma – yang menyalahgunakan kekuasaannya. Sejalan dengan tujuan Markus dalam menulis Injilnya maka dalam mengisahkan tentang Yesus, Markus tidak memasukkan kisah-kisah tentang kelahiran dan masa kecil Yesus seperti yang dilakukan oleh Matius dan Lukas. Markus langsung mengisahkan Yesus sebagai seorang Yahudi dewasa yang tampil dengan keyakinan keagamaanNya yang kuat bahwa Ia adalah seorang utusan Allah yang dipenuhi kuasa Allah untuk membebaskan orang-orang yang terpinggirkan dari penderitaan dan ketertindasan yang mereka alami. Markus mengisahkan bahwa dengan keyakinan keagamaanNya itu maka Yesus berupaya mereformasi dan mentransformasi kehidupan masyarakat yang terpuruk
pada
zamanNya
serta
menentang
para
penguasa
agama
yang
menyalahgunakan kekuasaannya. Yesus melakukan semuanya itu tidak dengan kekerasan seperti para tokoh pembebas Yahudi lainnya melainkan melalui pengajaran dan tindakan-tindakanNya yang penuh kuasa. Tampaknya, Yesus, menurut Markus, berusaha menghindari tindakan kekerasan guna menyelamatkan kelompok para muridNya dari kehancuran.
2
Dikisahkan oleh Markus bahwa semua ajaran dan tindakan Yesus yang penuh kuasa itu kemudian membuat para murid dan orang banyak menganggap Yesus sebagai raja. Mereka sangat menginginkan agar Yesus menjadi raja. Anggapan dan keinginan tersebut akhirnya membutakan para murid dan orang banyak untuk memahami misi Yesus yang sebenarnya, yakni melayani sebagai hamba dan bukan mendominasi sebagai raja. Markus tampaknya membuat pertentangan dalam kisahnya antara Yesus dan para murid. Para murid lebih terobsesi dengan kekuasaan dan ingin menjadi orang yang berkuasa ketika Yesus kelak menjadi raja. Sementara Yesus menurut Markus lebih memilih jalan untuk menjadi hamba yang melayani sesama. Hal ini yang mengakibatkan para murid tidak mengerti ajaran dan tindakan Yesus yang terkait dengan misiNya. Sehingga mereka kemudian meninggalkan Yesus ketika Yesus sampai pada puncak dari misiNya, yakni menderita dan mati sebagai korban demi banyak orang. Yesus ditangkap oleh penguasa agama di Bait Allah dan diserahkan kepada penguasa bangsa-bangsa untuk dijatuhi hukuman mati. Kematian Yesus menjelaskan penggunaan kekuasaan yang salah yang dijalankan oleh penguasa bangsa-bangsa dan para pembesarnya. Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Suharto juga pernah menjalankan kekuasaan yang keras atas rakyat. Selama 32 tahun memerintah Indonesia, Suharto berusaha mengendalikan semua kekuatan masyarakat ke dalam tangannya. Suharto didukung oleh Golkar sebagai kendaraan politik dan Militer sebagai alat pengamanan dan represif. Itu artinya, pemerintahan Orde Baru sebenarnya merupakan pemerintahan koalisi antara tiga unsur yaitu Suharto, Golkar
3
dan Militer (SGM). Namun karena Suharto menjadi Presiden maka pemerintahan koalisi ini dikendalikan olehnya. Selama pemerintahan Orde Baru, Suharto menjadi seorang yang sangat berkuasa di Indonesia. Suharto tampak sebagai tuhan dan tidak boleh ada seorang pun yang melawannya. Pribadi atau kelompok yang ingin melawannya akan dianggap sebagai pengacau keamanan negara dan dianggap berbahaya sehingga harus didiamkan. Dan tugas mendiamkan – menangkap, memenjarakan, membunuh – para pengacau tersebut dijalankan oleh Militer.2 Sementara Golkar bertugas untuk berjuang guna mempertahankan kekuasaan Suharto sebagai Presiden. Tampak jelas bahwa penguasa Orde Baru menjalankan kekuasaan ala Hobbes3 dan Machiavelli4 selama pemerintahannya. Dengan kedok keamanan negara dan pembangunan bangsa penguasa Orde Baru menjalankan kekuasaan yang semenamena dan keras terhadap rakyat. Rakyat dibuat tunduk dan patuh pada penguasa, meskipun semua harta milik mereka diambil.5 Misalnya, dengan kedok pembangunan
2
3
4
5
Menurut Colombijn, ‘Kekuatan militer sering dipakai untuk melakukan teror, kekerasan, penangkapan, penculikan, penahanan dan pembunuhan terhadap pribadi atau kelompok yang dianggap melawan atau membangkang terhadap penguasa atau yang bercita-cita memecah-belah negara.’ (Freek Colombijn and J. Thomas Linblad [ed.], Roots of Violence in Indonesia {Singapore: Institut of Southeast Asian Studies, 2003}, hlm. 173-174) Menurut Hobbes yang dikutip Sirait, ‘Kekuasaan atau kekuatan umum yang dipercayakan seluruh rakyat pada seseorang atau suatu badan menurut undang-undang merupakan kesatuan yang nyata dari masyarakat. Inilah generasi ‘Leviathan’ yang disebut juga ‘tuhan yang tak dapat mati’. Padanya menumpuk segala kekuasaan yang tidak terbatas, dan karena dijamin oleh hukum maka penguasa dapat menggunakan kekuasaannya untuk melakukan kekerasan dan terror, baik terhadap rakyatnya maupun musuh-musuh negara.’ (Saut Sirait, Politik Kristen di Indonesia: Suatu Tinjauan Etis [Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001], hlm. 61) Menurut Machiavelli yang dikutip Sirait, ‘Dalam rangka mempertahankan keamanan negara dan kekuasaannya maka penguasa dapat menghalalkan berbagai cara, termasuk yang kejam dan jahat seperti binatang. Rakyat harus memaklumi tindakan-tindakan penguasa tersebut sebagai strategi politik, meskipun hal itu bertentangan dengan prinsip-prinsip universal seperti kesetiaan, kemanusiaan, persahabatan dan keagamaan.’ (Saut Sirait, Ibid., hlm. 62 Menurut Benny Susetyo, ‘Penguasa Orde Baru menjalankan kekuasaan dengan pola fasisme dengan tujuan untuk menekan dan menakuti rakyat demi tercapai tujuan politik serta mengokohkan kekuasaannya.’ (Benny Susetyo, Orde Para Bandit [Yogyakarta: Averoess Press LKiS, 2001], hlm. 1)
4
dan kepentingan umum, rakyat digusur dari rumah dan tanahnya oleh kaki tangan penguasa, yakni para konglomerat dengan penggantian yang tidak manusiawi. Dan jika rakyat menolak dan melawan maka akan diberi stigma anti pembangunan dan bahkan akan dicap subversiv. Pola ‘mengkambing-hitamkan’ kelompok lain dengan isu-isu SARA juga sering digunakan oleh penguasa Orde Baru untuk menciptakan konflik horisontal dalam masyarakat dengan tujuan mengalihkan perhatian masyarakat pada masalah pokok yang sedang terjadi, atau untuk meraih dukungan massa demi tujuan politik tertentu. Kekuasaan yang yang dijalankan oleh penguasa Orde Baru, meskipun tidak bisa disangkal ada juga hal-hal positif yang dihasilkannya, namun secara umum lebih tertuju kepada kepentingan pribadi, keluarga dan kelompoknya. Hal ini yang menyebabkan krisis melanda kehidupan seluruh rakyat di berbagai bidang ketika kekuasaan penguasa Orde Baru mulai goyah dan akhirnya tumbang oleh desakan massa yang dipelopori oleh para mahasiswa yang menuntut reformasi total. Pemerintah Orde Baru telah tumbang, namun kondisi masyarakat dan bangsa belum juga berubah. Kalaupun ada perubahan, itu terjadi sangat lambat. AdeneyRisakotta mengatakan, ‘Sesudah Suharto dijatuhkan, reformasi tidak berjalan seperti diharapkan… Ketegangan dan kerusuhan yang terkait dengan kekuasaan politik dan ekonomi muncul di mana-mana. Isu-isu SARA makin dipakai untuk memecah-belah masyarakat. Integritas negara terancam. Belum diketahui kalau otonomi daerah dan desentralisasi bisa meredam krisis dalam masyarakat yang makin tidak percaya pada pemerintah pusat.’6
6
Bernard Adeney-Risakotta, ‘Siapa Mayarakat Indonesia?’ (draft 28 Januari 2003), hlm. 1
5
Menurut Susetyo, ‘Hal ini terjadi karena para elit bangsa saat ini masih memiliki mentalitas Orde Baru dalam menjalankan sistem perpolitikan nasional.’7 Masingmasing kelompok atau partai ingin berkuasa dan berusaha menyingkirkan partai atau kelompok lain. Yang paling menonjol dalam persaingan tersebut adalah kelompok yang pro reformasi dan kelompok yang pro status quo. Atau menurut Liem Soe Liong, kelompok sipil dan kelompok militer.8 Di satu pihak, sesuai agenda reformasi dituntut agar negara tidak lagi diperintah oleh militer karena cenderung otoriter dan keras. Sementara di pihak lain, kalangan militer tidak ingin sipil mengambil alih kekuasaan dan menyingkirkan mereka dari gelangang politik. Karena itu, mereka terus berupaya untuk mengambil alih kekuasaan dan akan tetap mempertahankannya, meskipun harus memakai cara-cara teror dan kekerasan. Andar Ismail mengatakan, ‘ banyak pemimpin tahu kapan memulai, tetapi tidak tahu kapan harus berhenti… Kursi kekuasaan memang empuk, sehingga kalau sudah duduk orang lupa berdiri.’9 Reformasi akhirnya hanya menjadi sebuah agenda yang belum dapat direalisasikan, meskipun telah terjadi beberapa kali pergantian pemerintahan karena masing-masing kelompok hanya memikirkan kepentingan sendiri dan mengabaikan bahkan mengorbankan kepentingan rakyat. Akibatnya rakyat tetap saja menderita dan menjadi ‘sapi perah’ untuk membayar berbagai kerugian negara yang timbul karena persaingan dalam perebuatan dan penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini kemudian menyurutkan semangat pribadi dan kelompok-kelompok yang selama ini berupaya untuk mereformasi dan mentransformasi kehidupan masyarakat. Gereja sebagai kelompok yang peduli dengan hal itu – yang juga sering menjadi sasaran 7
Benny Susetyo, hlm.2 Liem Soei Liong, ‘It’s the military, stupid’ dalam Freek Columbijn , hlm. 209-210 9 Andar Ismail, Selamat Mengikuti Dia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), hlm. 92 8
6
penyalahgunaan kekuasaan para penguasa – akhirnya tidak berani lagi bersuara apalagi bertindak. Gereja lebih memilih untuk diam terhadap berbagai ketidakadilan yang terjadi serta cenderung ‘nunut’ saja apa kata pemerintah sambil mengurus kepentingannya sendiri dan mengabaikan pelayanannya kepada yang terpinggirkan.
II. Rumusan Masalah Meskipun ada banyak masalah besar dalam Injil Markus,10 namun sesuai dengan yang telah saya katakan di atas bahwa masalah besar yang sangat menonjol dalam Injil Markus adalah terkait dengan kekuasaan. Maka saya akan fokus pada masalah kekuasaan. Sebab menurut saya, dengan mengisahkan kembali tentang Yesus yang berjuang melawan para penguasa agama yang menjalankan kekuasaan secara salah pada zamanNya maka sebenarnya secara tidak langsung hendak menjelaskan bahwa Markus sedang berjuang menghadapi kekuasaan yang sama pada zamannya. Dengan kata lain, Injil tentang Yesus yang ditulis oleh Markus adalah salah satu bentuk perjuangan Markus melawan para penguasa yang menyalahgunakan kekuasaan. Myers mengatakan, ‘The evangelist Mark enlisted into war in his day; he did so by writing his Gospel, by retelling the story of Jesus of Nazareth and his struggle with the powers of Roman Palestine.’11 Perang Yahudi yang dikobarkan oleh gerakan Zelot dan Sikarii didukung oleh semua kelompok Yudaisme – termasuk Esseni, Farisi dan Saduki – yang berhasil mengusir militer Roma dari Palestina dalam waktu singkat, ternyata telah
10
Menurut David Rhoads, ‘Injil Markus berbicara tentang masalah-masalah yang besar – tentang kehidupan dan kematian, kebaikan dan kejahatan, keberhasilan dan kegagalan manusia.’ (David Rhoads dan Donald Michi, Injil Markus Sebagai Cerita [Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2004], hlm 1) 11 Ched Myers, hlm. 4
7
menimbulkan kemarahan yang besar dari pihak Roma. Karena itu, atas perintah kaisar Roma, pasukan militer dalam jumlah yang sangat besar dipimpin oleh Vespasianus dan anaknya, Titus, dikirim dari Roma untuk menyerang Yehuda dan berhasil. Yerusalem dan Bait Suci dihancurkan (dibakar) serta gerakan Zelot dan para pendukungnya dilumpuhkan. Penyerangan berakhir pada tahun 70 dengan matinya sekitar seratus orang pejuang Yahudi yang memilih bunuh diri dalam benteng Massada daripada dibunuh oleh militer Roma. Kelompok Yahudi yang selamat adalah Farisi yang dipelopori oleh Rabbi Yohanan bin Zakhai melalui Akademi Yamnia yang didirikannya. Sejak itu, pemerintah Roma mengambil kebijakan untuk mendudukan pasukan-pasukan militer dalam jumlah besar di Palestina, khususnya di daerahdaerah yang dianggap rawan konflik oleh Roma seperti Galilea dan Yudea. Ini dilakukan guna mencegah munculnya gerakan-gerakan mesianis baru dengan jumlah pengikut yang besar, yang ditakutkan akan mengobarkan api pemberontakan melawan Roma serta mengacaukan tujuan penguasa Roma untuk menciptakan ‘Pax Romana’ di seluruh wilayah kekuasaannya. Stambaugh mengatakan, ‘Orang-orang Romawi mengambil langkah-langkah yang berat untuk menjamin ketenangan Yudea pada tahun-tahun sesudah 70 M. Kedudukan gubernur ditingkatkan … Pasukan militer juga diperkuat dengan penempatan sebuah legiun lengkap dengan tentara professional. Penjagaan ketat dilakukan untuk menghalangi setiap kemungkinan munculnya Mesias sebelum mereka memperoleh pengikut, dan keturunan Daud dikenai pemeriksaan khusus dan dianiaya.”12 Pendudukan militer tersebut menjadi masalah bagi komunitas Kristen perdana karena sebagai persekutuan yang mendasarkan kepercayaannya pada Yesus sebagai utusan
12
John Stambaugh & David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 21
8
Allah dan Mesias dari keturunan Daud, mereka pun tidak bebas dari pemeriksaan dan penganiayaan yang menimbulkan berbagai penderitaan. Dalam menghadapi penganiayaan dan penderitaan yang timbul akibat pendudukan militer Roma tersebut maka komunitas Markus mengalami krisis kepercayaan. Di satu sisi, mereka ingin tetap mempertahankan kepercayaan mereka bahwa Yesus adalah Mesias dan Tuhan. Namun, di sisi lain mereka berhadapan dengan
kenyataan
akan
ditangkap,
disiksa
bahkan
dibunuh
oleh
karena
kepercayaannya. Karena itu, lebih baik bagi mereka dalam situasi kritis tersebut untuk tidak mengakui Yesus sebagai Mesias dan Tuhan, melainkan hanyalah seorang manusia yang berjuang atas dasar keyakinan keagamaanNya sampai akhirnya mati disalib. Dan bahwa kematian secara tersalib merupakan aib bagi mereka karena menandakan bahwa Yesus mati sebagai seorang yang dikutuk oleh Allah. Dalam krisis kepercayaan yang dihadapi oleh komunitas Markus itulah Markus menulis Injil tentang Yesus. Dan terkait dengan situasi yang dihadapi oleh Markus dan komunitasnya maka dalam tulisannya ini tampak bahwa Markus bersikap tidak konsisten. Misalnya, melalui para murid dan orang lain di satu pihak, Markus sangat menekankan bahwa Yesus adalah Mesias. Namun, di sisi lain melalui mulut Yesus sendiri, Markus menolak untuk mengakui Yesus sebagai Mesias. Bahkan melarang para murid untuk mengakuiNya sebagai Mesias. Contoh lainnya adalah bahwa di satu pihak Markus menggambarkan komitmen dan kesetiaan para murid untuk mengikut Yesus sampai mati. Namun di pihak lain Markus juga menggambarkan bahwa para murid akhirnya lari meninggalkan Yesus ketika Yesus ditangkap dan disiksa, serta hanya menatap dari jauh ketika Yesus disalib dan mati.
9
III. H i p o t e s i s •
Markus berusaha mengisahkan tentang Yesus yang berjuang melawan ketidakadilan akibat penyalahgunaan kekuasaan pada zamanNya untuk melegitimasi perjuangannya menyelamatkan komunitasnya dari kehancuran yang bisa timbul dari penguasa pada waktu itu;
•
Dalam perjuangannya itu, Markus lebih bersikap fleksibel dan tidak ekstrim terhadap penguasa. Ia mengkritik penguasa tetapi tidak secara langsung. Markus juga mengkritik komunitasnya karena sikap mereka yang ekstrim dan frontal terhadap penguasa. Hal ini Markus lakukan karena pengalaman membuktikan bahwa bersikap ekstrim dan frontal terhadap penguasa hanya akan menghancurkan komunitas.
•
Gereja dan orang-orang Kristen tidak boleh bersikap ekstrim dalam kepercayaannya kepada Yesus dan pelayanannya kepada sesama – khususnya ketika berada dalam situasi yang sulit akibat penyalahgunaan kekuasaan – melainkan harus fleksibel guna tetap mempertahankan keutuhan komunitas serta terus menjalankan pelayanannya kepada masyarakat yang membutuhkan.
IV. Tujuan Penulisan dan Judul Tesis Selain ingin membuktikan hipotesis di atas sebagai tujuan penulisan tesis ini, saya juga mengharapkan agar penafsiran yang saya lakukan atas Markus 10:35-45 merupakan suatu tafsiran yang sungguh-sungguh berpihak pada masyarakat yang selama ini terpinggirkan dan menderita akibat penyalahgunaan kekuasaan. Sehingga gereja sebagai suatu persekutuan umat baru pun dapat mengikuti jalan Yesus untuk
10
melayani masyarakat yang terpinggirkan dan menderita dengan tetap bersikap fleksibel dan tidak ekstrim. Dengan demikian maka saya memberi ‘Judul’ bagi tesis ini :
MELAYANI YANG TERPINGGIRKAN : Sebuah kritik terhadap penggunaan kekuasaan Berdasarkan Tafsir Markus 10 : 35 – 45
Alasan saya memilih ‘Judul’ karena Gereja dan orang-orang Kristen sering mengabaikan pelayanannya kepada kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Gereja cenderung berkiblat ke kota dan memfokuskan pelayanannya kepada orang-orang kaya dan berkuasa. Padahal justru orang-orang kaya dan berkuasa lah yang menyebabkan munculnya banyak kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Kalau tujuan pelayanan gereja adalah agar orang-orang kaya dan berkuasa menjalankan kekuasaannya demi rakyat kecil maka itu baik. Namun, jika pelayanan gereja itu bertujuan agar gereja dilindungi dan mendapat berbagai faisilitas dan kemudahan sehingga gereja bersikap diam terhadap ketidakadilan maka ini yang harus dikritik.
V. Metode Penelitian Dalam penulisan tesis ini saya akan memakai pendekatan sosiologi atau metode analsis sosial. Pertama-tama saya akan menganalisis teks dan sumber-sumber historis lainnya tentang kehidupan masyarakat Yahudi Palestina abad pertama guna memahami situasi sosial, politik,ekonomi dan keagamaan yang terjadi pada waktu itu yang berdampak pada kehidupan komunitas Kristen Markus. Kemudian, saya akan menganalisis hubungan sebab-akibat dari masalah-masalah yang terjadi akibat
11
pemberlakuan suatu ‘premis nilai’ tertentu yang melatarbelakangi penulisan Injil oleh Markus dengan mengangkat kisah tentang Yesus dan gerakanNya dengan ‘premis nilai’ baru yang ingin diperkenalkannya. Selanjutnya, saya akan menerapkan analisis ini untuk memahami situasi masyarakat Indonesia terkait dengan masalah kekuasaan dan apa yang seharusnya dilakukan oleh gereja dan orang-orang Kristen untuk menjawab situasi tersebut. Dalam hal ini saya akan menggunakan sebuah teori dalam sosiologi pengetahuan yang menyatakan seperti diacu oleh Ioanes Rakhmat, ‘bahwa supaya suatu masyarakat dapat bertahan dan hidup terus maka masyarakat ini harus mengembangkan prosedur-prosedur pemeliharaan kenyataan (reality-maintenance) untuk mempertahankan suatu simetri antara kenyataan obyektif dan kenyataan subyektif. Sebab tanpa simetri ini masyarakat akan ambruk. Kenyataan obyekif mengacu pada masyarakat sebagai sebagai suatu lembaga. Sementara kenyataan subyektif mengacu pada nilai-nilai dan norma-norma sosial yang dipegang dan melegitimasi kehidupan masyarakat.’13
VI. Sistematika Penulisan Study ini akan dibagi atas Lima Bab :
Bab I : Pendahuluan Bab II : Latarbelakang Penulisan Injil Markus Merupakan analisis terhadap situasi sosial, ekonomi, politik dan keagamaan dari masyarakat Yahudi Palestina abad pertama dan masalah-masalah yang dihadapi komunitas Kristen perdana terkait dengan kekuasaan serta upayaupaya untuk mengatasinya. Bab III: Kekuasaan Bukan untuk Mendominasi tetapi untuk Melayani Berisi tafsiran atas Markus 10 : 35 – 45. 13
Ioanes Rakhmat, ‘Tafsir Sosial Perjanjian Baru’ dalam Buku Acara Temu Alumni Akbar 70 tahun STT Jakarta (Panitia Temu Alumni STT Jakarta), hlm. 30
12
Bab IV : Kondosi Sosio, Ekonomi dan Politik di Indonesia Berisi analisis terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi di Indonesia dan upaya-upaya untuk mengatasinya oleh pemerintah dan gereja. Bab V: Kesimpulan dan Penutup Merupakan kesimpulan dari seluruh pembahasan dan Penutup.
13