BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sehat merupakan suatu keadaan yang ideal oleh setiap orang. Orang yang sehat akan hidup dengan teratur, mengkonsumsi makanan bergizi, berolah raga, bersosialisasi dan sebagainya. Setiap orang dianggap
mampu untuk menjaga
kesehatan dirinya hingga batas-batas tertentu, namun persoalan akan menjadi lain ketika seseorang jatuh sakit, dan sudah tentu keadaan ideal orang sehat akan berkurang atau bahkan berhenti sama sekali. Dengan demikian, kesehatan merupakan kebutuhan pokok dalam kehidupan, akan tetapi pengetahuan dan ketrampilan seseorang dalam hal penanganan kesehatan terbatas. Dalam hal ini seorang dalam kondisi kesehatan yang berkurang dan mengalami keadaan yang sakit, maka tentunya tidak terlepas kebutuhan terhadap tenaga medis seperti dokter untuk mengobatinya. Ketika seorang pasien maupun keluarganya meminta pertolongan kepada dokter, dan sudah menjadi tanggung jawab bagi seorang dokter untuk memberikan tindakan upaya penyembuhan kepada pasien yang membutuhkan pertolongannya. Hubungan antara pasien dengan dokter dalam pelayanan medis merupakan suatu hubungan kepercayaan yang tidak tertulis dan dilakukan secara diam-diam dalam suasana saling mempercayai (konfidensial). Dalam ilmu kedokteran modern sekarang ini hubungan tersebut dikenal dengan "transaksi
1 Universitas Sumatera Utara
teraupetik" karena sifatnya yang sukarela dan tidak tertulis yang timbul dari permintaan dan pemenuhan dalam hubungan yang bersifat alamiah. Dalam transaksi itu, pasien meminta diberi pelayanan kedokteran untuk menanggulangi penderitaannya dan dokter memberi pelayanan kedokteran berupa pemeriksaan, pengobatan dan pertolongan medis lain, dengan kemampuan yang sebaik-baiknya. Hubungan yang mengikat antara dokter dengan pasien tersebutlah yang menuntut adanya sikap dan perbuatan dokter yang bertanggungjawab. Dalam pengertian hukum, tanggung jawab berarti keterikatan, tiap manusia, mulai saat dilahirkan sampai ia meninggal dunia mempunyai hak dan kewajiban yang disebut subjek hukum. Demikian juga Dokter dalam melakukan suatu tindakan, harus bertanggung jawab sebagai subjek hukum pengemban hak dan kewajiban. 1 Tindakan atau perbuatan Dokter sebagai subjek hukum dalam pergaulan masyarakat, dapat dibedakan antara tindakannya sehari-hari yang tidak berkaitan dengan profesi dan tindakan yang berkaitan dengan pelaksanaan profesi. 2 Transaksi terapeutik sebagai suatu transaksi mengikat dokter dan pasien sebagai para pihak dalam transaksi tersebut untuk mematuhi/memenuhi apa yang telah diperjanjikan, yaitu dokter mengupayakan penyembuhan pasien melalui pencarian terapi yang paling tepat berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya, sedangkan pasien berkewajiban secara jujur 1
Annie Isfandyarie, Tanggung Jawab Hukum Dan Sanksi Bagi dokter (Buku 1), Prestasi Pustaka, Bandung, 2006, h. 2 2 Perbuatan Dokter yang tidak berkaitan dengan profesinya ini adalah perbuatan hukum Dokter yang umumnya dapat juga dilakukan oleh orang yang bukan Dokter, seperti Menikah, membuat perjanjian, dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
menyampaikan apa yang dikeluhkannya agar dapat ditemukan beberapa alternatif pilihan terapi untuk akhirnya pasien memilih terapi yang paling tepat untuk penyembuhannya. Kondisi yang terjadi saat ini adalah bahwa seorang dokter dalam menjalankan profesinya, jarang menyadari adalah bahwa saat ia menerima pasien untuk mengatasi masalah kesehatan baik di bidang kuratif, preventif, rehibilitatif, maupun promotif sebetulnya telah terjadi transaksi atau persetujuan antara dua pihak dalam bidang kesehatan.
3
Dokter umumnya hanya melihat pasien atau
keluarga pasien yang meminta bantuan, dan sudah menjadi kewajiban seorang dokter untuk memberikan pertolongan. Dokter tidak pernah membuat suatu perjanjian tertulis sebelum mengobati pasien, kecuali persetujuan yang diperlukan Dokter di Rumah sakit sebelum melakukan tindakan bedah. 4 Apabila ditinjau dari kaca mata hukum, hubungan antara pasien dengan dokter dapat dikategorikan ke dalam ruang lingkup perjanjian karena kesepakatan telah terjadi. Dalam sebuah perjanjian persamaan derajat adalah mutlak, persamaan derajat antara dokter dengan pasien menyebabkan tindakan yang diambil oleh dokter terhadap pasiennya tidak lagi merupakan tindakan sepihak tanpa menghiraukan hak-hak pasien. Pasien mempunyai hak dan kewajiban tertentu, seperti halnya dokter. Walaupun seseorang dalam keadaan sakit, akan
3
M. Jusuf Hanafiah & Amri Amir, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta , 2007 h. 42 4 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
tetapi kedudukan hukumnya tetap sama dengan orang yang sehat. Menjadi salah jika menganggap seseorang yang sakit selalu tidak dapat mengambil keputusan, sepanjang dia masih sadar dan dapat mempergunakan akal pikirannya. Putusan yang diambil pasien dapat dikatakan sah bila dilakukan dalam keadaan sadar, tegas dan jelas yang diputuskan, serta sukarela tanpa ada paksaan. Dianggap lemahnya kedudukan pasien, dikarenakan tidak hanya pasien pada umumnya berada dalam keadaan lemah (weaknessess), tetapi juga karena pengetahuan pasien tentang pelayanan kesehatan dan/atau tindakan kedokteran juga terbatas. 5 Dokter dalam melaksanakan tugasnya terhadap pasien tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan hubungan antara dokter sebagai pemberi jasa dan pasien sebagai penerima jasa. Dokter dalam menjalankan tugasnya harus berdasarkan
standard
profesi/standart
pelayanan
kesehatan.
Dalam
perkembangannya karena pengaruh paham konsumerisme, dokter terkadang bertindak dalam kewenangan profesinya secara menyimpang. Hal tersebut dapat membawa dampak negatif bagi pasien. Suatu tindakan menyimpang yang dilakukan oleh dokter sehingga membawa kerugian akan memberi hak bagi pihak yang dirugikan untuk menuntut ganti kerugian, oleh karena itu hak-hak yang dipunyai
5
Azrul Anwar, Beberapa Catatan Penting Tentang Undang-Undang Perlindungan Konsumen Dan Dampakbya terhadap Pelayanan Kesehatan, www. STADTAUS.com, diakses bulan Februari 2010
Universitas Sumatera Utara
oleh pasien sebagai konsumen dalam pelayanan jasa kesehatan yang dilakukan oleh dokter perlu diefektifkan. . Upaya dokter untuk penyembuhan pasien dilakukan dengan apa yang disebut dengan pelayanan kesehatan, dokter memberikan pelayanan kepada pasien sebagai konsumen jasa, sebagai profesi dan pelaku usaha dalam bidangnya. Perlindungan pasien sebagai konsumen yang pada dasarnya merupakan kewajiban bagi para penyelenggara pelayanan kesehatan untuk senantiasa menghormati hakhak pasien. Berbeda dengan jasa pada umumnya, pelayanan kesehatan dikategorikan sebagai suatu jasa yang memiliki karakteristik tersendiri dikarenakan pelayanan kesehatan bercirikan pada : (1) ketidaktahuan konsumen (consumer ignorance), (2) pengaruh penyedia jasa kesehatan terhadap konsumen (supply induced demand), (3) produk pelayanan kesehatan bukan konsep homogen, (4) pembatasan terhadap kompetisi, (5) ketidakpastian tentang sakit, serta (6) sehat sebagai hak asasi. 6
6
Ibid
Universitas Sumatera Utara
B. Perumusan Masalah Dari uraian di atas, dapat dirumuskan pokok permasalahan yang akan diteliti dan dibahas secara lebih mendalam pada penelitian ini. Adapun pokok permasalahan tersebut akan dikelompokkan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pelaksanaan Perjanjian Terapeutik (Transaksi Medis) dalam kaitannya dengan pelayanan medis ? 2. Bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban hukum dokter dalam perjanjian terapeutik (transaksi medis)? 3. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum bagi pasien dalam perjanjian terapeutik (transaksi medis) sebagai konsumen pelayanan medis?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pelaksanaan Perjanjian Terapeutik (Transaksi Medis) dalam kaitannya dengan pelayanan medis. 2. Untuk mengetahui dan mengkaji bentuk tanggung jawab dokter dalam perjanjian Terapeutik (transaksi medis). 3. Untuk mengetahui bentuk pelindungan hukum terhadap Pasien, berkenaan dengan pelaksanaan Perjanjian Terapeutik (transaksi medis).
Universitas Sumatera Utara
D. Manfaat Penelitian Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, seperti yang dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:
1. Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, dan khususnya mengenai masalah hak-hak pasien sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan berkaitan dengan Perjanjian Terapeutik (Transaksi Medis) yang terjadi antara Pasien dengan Dokter. 2. Secara Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat, khususnya kepada pengguna jasa kesehatan, agar lebih mengetahui tentang hak dan kewajibannya, terutama apabila diduga terjadi wanprestasi atau pelanggaran hukum oleh dokter yang menanganinya, sekaligus pula memberi masukan kepada praktisi hukum khususnya notaris terkait akan arti pentingnya perlindungan hukum terhadap pasien, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan serta pemahaman dalam menghadapi perkembangan permasalahan yang semakin kompleks, baik yang diakibatkan perkembangan ekonomi, sosial, budaya di masyarakat maupun perubahan hukum dan perundang-undangan.
Universitas Sumatera Utara
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah penulis lakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan sejauh yang diketahui, penelitian yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap pasien, sudah pernah dilakukan oleh peneliti lain, yaitu : 1. Muhammad Syaifuddin (002105015), dengan judul Eksistensi Dan Peranan Komite Medis Dalam Pengelolaan Rumah Sakit Umum Di Kota Palembang (Kajian Tentang Upaya Perlindungan Pasien sebagai Konsumen Kesehatan). 2. Frengky Hasudungan P (037005043), dengan judul Aspek Hukum Pidana Dalam Kelalaian Atau Kesalahan (Malpraktek) Seorang Dokter Terhadap Pasiennya. 3. Sinta Mauly agnes Tamba (067011081), dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Rawat Inap Jamsostek Sebagai Konsumen Jasa Pelayanan Kesehatan (Studi Kasus di RSU Sari Mutiara Medan) Dari Ketiga penelitian yang sudah pernah dilakukan berkaitan dengan perlindungan hukum pasien, belum ada yang melakukan penelitian tentang perlindungan hukum terhadap pasien ditinjau dari perjanjian terapeutik (transaksi medis). Oleh karena itu, penelitian ini adalah asli adanya. Artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada berbagai bidang ilmu lainnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori. 7 Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya. 8 Menurut Bintoro Tjokroamijoyo dan Mustofa Adidjoyo “teori diartikan sebagai ungkapan mengenai kausal yang logis diantara perubahan (variabel) dalam bidang tertentu, sehingga dapat
digunakan sebagai kerangka fikir
(Frame of thingking) dalam memahami serta menangani permasalahan yang timbul di dalam bidang tersebut“. 9 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan
serta menjelaskan gejala yang
diamati. 10 Kerangka teori yang dimaksud, adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum
7
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta 1986, h. 6 J.J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Penyunting, M. Hisyam, UI Press, Jakarta, , 1996, h. 203 9 Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustofa Adidjoyo, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, CV. Haji Mas Agung, Jakarta, 1988, h. 12 10 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, h. 35 8
Universitas Sumatera Utara
perlindungan hukum, klausul baku dan hukum perjanjian, serta hukum konsumen antara Dokter (pelaku usaha) dan Pasien (konsumen), yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan eksternal bagi penelitian ini. 11 Perlindungan adalah segala upaya yang dilakukan untuk melindungi subjek tertentu; dapat juga diartikan sebagai tempat berlindung dari segala sesuatu yang mengancam. 12 Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa: Perlindungan hukum merupakan perlindungan harkat dan martabat dan pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum dalam negara hukum dengan berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut guna mencegah terjadinya kesewenang-wenangan. Perlindungan hukum itu pada umumnya berbentuk suatu peraturan tertulis, sehingga sifatnya lebih mengikat dan akan mengakibatkan adanya sanksi yang harus dijatuhkan kepada pihak yang melanggarnya. 13 Menurut Philipus M. Hadjon, dibedakan dua macam perlindungan hukum, yaitu: 14 1. Perlindungan hukum yang preventif yang bertujuan untuk mencegah terjadinya permasalahan atau sengketa. 2. Perlindungan hukum yang represif yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan atau sengketa yang timbul. Perlindungan hukum memperoleh landasan idiil (filosofis) pada sila kelima Pancasila, yaitu : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Didalamnya 11
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung 1994, h. 80. W.J.S. Poerwadarminto. 1989. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.h.68 13 Philipus M. Hadjon. Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia. Surabaya : Bina Ilmu. 1987. h. 205 14 Ibid h. 117 12
Universitas Sumatera Utara
terkandung suatu ‘hak’ seluruh rakyat indonesia untuk diperlakukan sama didepan hukum. Hak adalah suatu kekuatan hukum, yakni hukum dalam pengertian subyektif yang merupakan kekuatan kehendak yang diberikan oleh tatanan hukum. Oleh karena hak dilindungi oleh tatanan hukum, maka pemilik hak memiliki kekuatan untuk mempertahankan haknya dari gangguan/ancaman dari pihak manapun juga. 15 Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai tiga ide dasar hukum atau tiga nilai dasar hukum yang berarti dapat dipersamakan dengan asas hukum. Ketiga asas hukum tersebut yang sering menjadi sorotan utama adalah masalah keadilan. 16 Disamping Hukum Kesehatan, Pelaksananan perlindungan pasien dapat dilaksanakan melalui hukum konsumen. Hukum konsumen adalah azas-azas atau kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah peneyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya dalam kehiduan bermasyarakat. 17 Selain itu perlindungan hukum dapat dilaksanakan dalam bentuk substansi atau isi perjanjian antara dokter dan pasien. Ketentuan tentang perjanjian atau kotrak diatur dalam buku III KUH Perdata.
15
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni (Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif), Nusamedia, Bandung, 2006 h. 152 16 Ahmadi Miru dkk, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004 h. 26. 17 A. Nasution , Hukum Perlindungan Konsumen : Suatu Pengantar, Cv,. Triarga Utama, Jakarta, 2002. h. 22
Universitas Sumatera Utara
Pasal 1338 alinea 1 KUH Perdata, menentukan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Ketentuan ini merupakan dasar hukum disahkannya perjanjian dalam bentuk apapun yang dibuat secara sah, sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
Dengan demikian perjanjian yang telah
menjelma menjadi undang-undang bagi mereka yang membuatnya wajib dipatuhi oleh kedua belah pihak dengan iktikad baik (Pacta Sunt Servanda). Pasal 1338 KUH Perdata alinea pertama ini merupakan suatu tuntutan kepastian hukum. 18 Tidak dipatuhinya perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak tersebut akan menimbulkan tuntutan/gugatan dari pihak yang merasa dirugikan. Kemungkinan campur tangan pihak ketiga, dalam hal ini negara melalui hakim menjadi terbuka bila salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian tersebut dengan iktikad baik. Disini hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian, jangan sampai pelaksanaan perjanjian tersebut melanggar kepatutan atau keadilan. Pasal 1338 KUH Perdata alinea 3 mengatakan “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Apabila Pasal 1338 alinea pertama dipandang sebagai suatu tuntutan kepastian hukum, maka Pasal 1338 alinea ketiga sebagaimana tersebut di atas harus dipandang sebagai suatu tuntutan keadilan bagi pihak yang dirugikan. 19
18 19
Subekti, Pembinaan Hukum Nasional, Alumni, Bandung , 1981, h. 67. Ibid
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya kontrak atau perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan bebas antara dua pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum (pemenuhan syarat subjektif) untuk melaksanakan suatu prestasi yang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, kepatutan, kesusilaan, ketertiban umum, serta kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat luas (pemenuhan syarat objektif). Namun, adakalanya “kedudukan” dari kedua belah pihak dalam suatu negosiasi tidak seimbang, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang “tidak terlalu menguntungkan” bagi salah satu pihak. Mengenai hal ini Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani yang dikutip Sidarta mengemukakan bahwa : Dalam praktek dunia usaha juga menunjukkan bahwa “keuntungan” kedudukan tersebut sering diterjemahkan dengan pembuatan perjanjian baku dan/atau klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak yang “lebih dominan” dari pihak lainnya. Dikatakan bersifat “baku” karena, baik perjanjian maupun klausula tersebut, tidak dapat dan tidak mungkin dinegosiasikan atau ditawar-tawar oleh pihak lainnya. Take it or leave it. Tidak adanya pilihan bagi salah satu pihak dalam perjanjian ini, cenderung merugikan pihak yang kurang dominan tersebut. Terlebih lagi dengan sistem pembuktian yang berlaku di negara Indonesia saat ini, jelas tidaklah mudah bagi pihak yang cenderung dirugikan tersebut untuk membuktikan tidak adanya kesepakatan pada saat dibuatnya perjanjian baku tersebut, atau atas klausula baku yang termuat dalam perjanjian yang ada. 20
20
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2000, h.
119.
Universitas Sumatera Utara
Salim HS mengatakan bahwa “istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu “standard contract”. Standar
kontrak
merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah”. 21 Munir Fuady mengartikan kontrak baku adalah : Suatu kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan sering kali tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikandata-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahn dalam klausul-klausulnya, di mana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausul-klausul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah. Pihak yang kepadanya disodorkan kontrak baku tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk bernegosiasi dan berada hanya pada posisi “take it or leave it”. Dengan demikian, oleh hukum diragukan apakah benar-benar ada elemen kata sepakat yang merupakan syarat sahnya kontrak dalam kontrak tersebut. Karena itu pula, untuk membatalkan suatu kontrak baku, sebab kontrak baku adalah netral. 22 Hondius sebagaimana dikutip Salim mengemukakan bahwa syarat-syarat baku adalah “syarat-syarat konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa perjanjian
21
Salim. H.S., Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, Rajawali Press, Jakarta, 2006, h. 145. 22 Shidarta, Op.Cit, h. 119.
Universitas Sumatera Utara
yang masih akan dibuat, yang jumlahnya tidak tentu, tanpa membicarakan isinya lebih dahulu”. 23 Inti dari perjanjian baku menurut Hondius tersebut adalah bahwa
isi
perjanjian itu tanpa dibicarakan dengan pihak lainnya, sedangkan pihak lainnya hanya diminta untuk menerima atau menolak isinya 24 . Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan bahwa standard contract merupakan perjanjian yang telah dibakukan. Mariam Badrulzaman juga mengemukakan ciri-ciri perjanjian baku, yaitu : 1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat; 2. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian; 3. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu; 4. Bentuk tertentu (tertulis); 5. Dipersiapkan secara massal dan kolektif. 25 Sutan Remi Sjahdeni mengemukakan bahwa : Perjanjian standar sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausulklausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan hanya beberapa hal, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. Sjahdeni menekankan, yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut, melainkan klausul-klausulnya. Oleh karena itu suatu perjanjian yang dibuat dengan akta notaris, bila dibuat 23
Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, Buku Keempat Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, h.76. 24 Salim. H.S., Op.Cit., h. 147. 25 Ibid, h. 147.
Universitas Sumatera Utara
oleh notaris dengan klausul-klausul yang hanya mengambil alih saja klausulklausul yang telah dibakukan oleh salah satu pihak, sedangkan pihak yang lain tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan atas klausul-klausul itu, maka perjanjian yang dibuat dengan akta notaris itu pun adalah juga perjanjian baku”. 26 Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa unsur-unsur kontrak baku, yaitu (1) diatur oleh kreditor atau ekonomi kuat; (2) dalam bentuk sebuah formulir; dan (3) adanya klausul eksonerasi/pengecualian. Pada umumnya selalu dikatakan bahwa sebuah kontrak standar adalah kontrak yang bersifat ambil atau tinggalkan, mengingat bahwa tidak ada prinsip kontrak. Dalam reformasi hukum perjanjian diperlukan pengaturan tentang kontrak standar. Hal ini sangat diperlukn untuk melindungi masyarakat, terutama masyarakat ekonomi lemah terhadap ekonomi kuat. Sebenarnya, perjanjian standar tidak perlu selalu dituangkan dalam bentuk formulir, walaupun memang lazim dibuat tertulis. Contohnya dapat dibuat dalam bentuk pengumuman yang ditempelkan di tempat penjual menjalankan usahanya. Jadi, perjanjian standar adalah perjanjian yang ditetapkan secara sepihak, yakni oleh produsen/penyalur produk (penjual), dan mengandung ketentuan yang berlaku umum (massal), sehingga pihak yang lain (konsumen) hanya memiliki dua pilihan: menyetujui atau menolaknya.
26
Sutan Remi Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia (IBI), Jakarta, 1993, h. 66.
Universitas Sumatera Utara
Adanya unsur pilihan ini oleh sementara pihak dikatakan, perjanjian standar tidaklah melanggar asas kebebasan berkontrak
(Pasal 1320 jo. 1338 KUH
Perdata). Artinya, bagaimanapun pihak konsumen masih diberi hak untuk menyetujui (take it) atau menolak perjanjian yang diajukan kepadanya (leave it). Itulah sebabnya, perjanjian standar ini kemudian dikenal dengan nama take it or leave it contract. Jika ada yang perlu dikhawatirkan dengan kehadiran perjanjian standar, tidak lain karena dicantumkannya klausul eksonerasi (exemption clause) dalam perjanjian tersebut. Namun demikian, Sutan Remy Syahdeni terhadap klausul eksonerasi lebih memilih penggunaan istilah klausul eksemsi sebagai terjemahan dari exemption clause yang dipakai dalam hukum Inggris. Hal ini didasarkan pada Pedoman Umum Pembentukan Istilah menurut Keputusan Mendikbud
No.
0389/U/1988. 27 Sutan Remy Syahdeini mengutip beberapa pendapat sarjana mengenai klausul eksonersi antara lain : 1) Mariam Darus Badrul Zaman, yang mengatakan klausul eksonerasi adalah klausula yang membatasi pertanggung jawaban dari kreditur 2) Kumar memberikan mengenai exslusion clause, yaitu clause of a contract which purports to protect the proferens absolutely or in a limited manner against liability, for breach of contract. or damage, or exclude his liability if the action is brought after the stipulated time.
27
Ibid., h. 73
Universitas Sumatera Utara
3) David Yates yang juga menggunakan istilah exslusion clause, yaitu Any term i acontract restricting, excluding or modifying a remedy or a liability arising out of a breach of a contractual obligations. 28 Sutan Remi Syahdeni memberikan pengertian klausul eksonerasi adalah klausul yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan dalam perjanjian tersebut. 29 Dalam memahami produk hukum berupa Undang-Undang keberadaan bagian ketentuan umum sangat menentukan arah dan tujuan kemana suatu Undang-Undang tersebut akan dibawa. Oleh karena itu, agar memberikan jaminan akan kepastian hukum, ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam UndangUndang Perlindungan Konsumen dan undang-undang lainnya yang juga dimaksudkan dan masih berlaku untuk memberikan perlindungan hukum bagi konsumen, baik dalam bidang hukum privat (Perdata), maupun hukum publik (Hukum Pidana dan Hukum Administrasi Negara) 30 . Perlindungan Konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. 31 Apabila pihak
28
Ibid., h. 74 Ibid., h. 75 30 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, h. 1-2 31 Ibid, h. 11. 29
Universitas Sumatera Utara
lain melanggar hak tersebut, maka akan menimbulkan gugatan hukum dari sipemilik hak, yang diajukan ke hadapan aparat penegak hukum. 32 Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa seluruh rakyat Indonesia berhak memperoleh keadilan, yang dalam konteks hukum perlindungan konsumen terbagi menjadi dua kelompok yakni keadilan sebagai pelaku usaha disatu sisi dan keadilan sebagai konsumen disisi lain. Perbedaan prinsipil dari kepentingan-kepentingan dalam penggunaan jasa kesehatan dan pelaksanaan kegiatan terapeutik antara Dokter dan Pasien, dengan sendirinya memerlukan jenis pengaturan perlindungan dan dukungan yang berbeda pula. Bagi seorang Dokter perlindungan itu adalah untuk kepentingan pengabdian profesi mereka dalam menjalankan kegiatan pelayanan jasa kesehatan, seperti bagaimana mempergunakan segala ilmu dan keahlian untuk kepentingan pasien, serta bertanggung jawab penuh terhadap apa yang dilakukannya dalam upaya penyembuhan. Masalah tanggung jawab hukum dalam hukum perdata (civielrchtlijke aanspraakkelijkheid) dapat dilihat dari formulasi Pasal 1365 KUH Perdata yang mengatur adanya pertanggung-jawaban pribadi si pelaku atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya (persoonlijke aansprakelijkheid). Disamping itu, Undang-Undang mengenal pula pertanggung-jawaban oleh bukan si pelaku
32
Ibid
Universitas Sumatera Utara
perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur di dalam Pasal 1367 KUH Perdata. Pasal ini menegaskan bahwa setiap orang tidak saja bertanggung jawab atas kerugian yang yang disebabkan oleh perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya,
disebabkan
oleh
barang-barang
yang
berada
dibawah
pengawasannya. 2. Konsepsi Sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti, penelitian ini memiliki batasan/defenisi tentang beberapa kata kunci Kajian Yuridis, Perlindungan Hukum, Pasien, Dokter, Praktek Kedokteran, dan Perjanjian Terapeutik (transaksi medis). Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konsepsi atau definisi operasional sebagai berikut : 1. Kajian yuridis adalah suatu bentuk kajian yang dilakukan dan yang mengacu pada norma-norma yuridis (hukum) atau ketentuan perundang-undangan sebagai pijakan normatif. 2. Perlindungan Hukum adalah suatu bentuk perlindungan yang diberikan oleh ketentuan hukum kepada subjek hukum (orang atau badan hukum), yang dalam penelitian ini adalah Pasien.
Universitas Sumatera Utara
3. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi. 33 4. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuaidengan peraturan perundang-undangan. 34 5. Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan. 35 6. Perjanjian Teurapeutik adalah suatu perjanjian yang timbul akibat adanya hubungan atau transaksi antara Pasien dengan Dokter. 7. Hak-hak konsumen adalah hak-hak Pasien sebagai pengguna jasa pelayanan jasa kesehatan seorang Dokter yang dapat diperoleh Pasien sebagai konsumen dan dilindungi oleh hukum sesuai dengan ketentuan perlindungan konsumen.
33
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran, Pasal 1
angka 10 34 35
Ibid, pasal 1 angka 2 Ibid, pasal 1 angka 1
Universitas Sumatera Utara
G. Metode Penelitian 1. Sifat dan Jenis Penelitian Rancangan penelitian tesis ini merupakan penelitian yang menggunakan penelitian
deskriptif
analitis,
yang
menguraikan/
memaparkan
sekaligus
menganalisis tentang hak-hak konsumen yaitu Pasien atas penggunaan jasa Pelayanan Kesehatan oleh Dokter, dilihat dari hukum positip secara umum, unsurunsur keperdataan serta akibat hukum yang timbul apabila diduga ada tindakan oleh Dokter yang dapat merugikan Pasien. Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif, yang berawal dari premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru (suatu tesis) dan kebenaran-kebenaran induk (teoritis). Pendekatan yuridis normatif disebut demikian karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau dilakukan hanya pada peraturan perundang-undangan yang relevan dengan
Universitas Sumatera Utara
permasalahan yang diteliti atau dengan perkataan lain melihat hukum dari aspek normatif. 36 Untuk mendukung validitas data sekunder yang diperoleh melalui pendekatan Yuridis Normatif, maka dilakukan wawancara dengan beberapa informan yaitu Dokter dan Pasien.
2. Metode Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui konsepsi
penelitian teori
atau
kepustakaan doktrin,
(library
pendapat
research) atau
untuk
pemikiran
mendapatkan
konseptual
dan
penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini, yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, dan karya ilmiah lainnya
3. Sumber data Sumber-sumber data kepustakaan diperoleh dari : a. Bahan hukum primer, yang terdiri dari ; 1) Norma atau kaidah dasar 2) Peraturan dasar (Ground Norm) 3) Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran 4) Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
36
Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, h. 13
Universitas Sumatera Utara
5) Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 6) Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan hukum pasien. b. Bahan hukum sekunder, seperti hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini. c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahanbahan primer, sekunder dan tersier (penunjang) di luar bidang hukum, misalnya yang berasal dari bidang kesehatan, filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya yang dapat dipergunakan untuk melengkapi atau sebagai data penunjang dari penelitian ini. Sebagai data penunjang dalam penelitian ini juga didukung dengan penelitian lapangan (field research) guna akurasi terhadap hasil penelitian yang dipaparkan, yang dapat berupa wawancara langsung dengan Pasien dan Dokter yang dalam penelitian ini dipilih sebagai informan dan narasumber.
Universitas Sumatera Utara
25
4. Analisis Data Di dalam penelitian hukum normatif, maka analisis data pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti, membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut, untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi. 37 Sebelum analisis dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang telah dikumpulkan (primer, sekunder maupun tersier), untuk mengetahui validitasnya. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang baik pula. 38 Penelitian ini akan berupaya untuk memaparkan sekaligus melakukan analisis terhadap permasalahan yang ada dengan kalimat yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan jawaban yang jelas dan benar. 39 Artinya analisis data dilakukan dengan pendekatan kualitatif untuk membahas secara mendalam permasalahan perlindungan hukum pasien dalam perjanjian terapeutik.
37
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, h. 251. Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002, h. 106. 39 Ibid 38
Universitas Sumatera Utara