1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan suatu negara yang sedang berkembang dimana saat ini sedang giat melaksanakan pembangunan di segala bidang, baik pembangunan di bidang fisik maupun non fisik. Pembangunan di bidang fisik meliputi pembangunan dan perbaikan sarana dan prasarana umum yang bertujuan melaksanakan tugasnya. Pembangunan di bidang non fisik salah satunya adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia, dengan harapan agar manusia lebih mampu mengoptimalkan kemampuan mereka dalam rangka lebih mensukseskan pembangunan. Masyarakat mandiri di dalam Negara Indonesia yang sedang giatgiatnya mambangun diharapkan mampu menciptakan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja untuk memperoleh pendapatan. Kemampuan ini harus dihargai melalui keadilan memperoleh pendapatan, keadilan berusaha maupun keadilan di bidang hukum. Dalam melaksanakan pekerjaan pembangunan dikenal dengan istilah kontrak.”Kontrak disini dikatakan bahwa suatu perjanjian (tertulis) di antara dua atau lebih orang (pihak) yang menciptakan (hak) dan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal khusus. Ciri kontrak yang utama adalah bahwa dia merupakan suatu tulisan yang memuat perjanjian para pihak, lengkap dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat, serta yang berfungsi sebagai alat bukti apa
1
2
adanya (seperangkat) kewajiban.1 Selain itu ciri khas yang paling penting dari suatu kontrak adalah adanya kesepakatan bersama (mutual consent) para pihak. Kesepakatan bersama ini bukan hanya merupakan karakteristik dalam pembuatan kontrak, tetapi hal itu penting sebagai suatu niat yang diungkapkan kepada pihak lain. Di samping itu, sangat mungkin untuk suatu kontrak yang sah dibuat tanpa adanya kesepakatan bersama. Dalam kontrak yang baik akan diatur mekanisme yang efektif dan alat yang ampuh untuk menghadapi dan mengendalikan berbagai permasalahan dan kesulitan dalam proses pelaksanaan kegiatan proyek, sehingga terdapat perlindungan terhadap risiko. Proyek ini yang memberikan tugas yaitu Pemerintah Daerah. Bentuk mekanisme untuk pemilik, antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut : 1.
Jaminan pelaksanaan (performance bond)
2.
Garansi dan pertanggungan (warranty)
3.
Pembayaran berdasarkan kemajuan pekerjaan (progress payment)
4.
Hak untuk mengadakan inspeksi dan testing
5.
Hak mendapatkan laporan berkala
6.
Hak melaksanakan penjaminan mutu (quality control) Dalam rangka pelaksanaan pembangunan fisik yang berwujud
gedung-gedung pemerintah, jalan raya, pasar, dan sebagainya, pemerintah pada umumnya tidak mengerjakan sendiri, pemilik proyek biasanya melimpahkan pekerjaan bangunan tersebut kepada perusahaan jasa kontruksi yang melibatkan
Budiono Kusumohamidjojo, Panduan Untuk Merancang Kontrak, penerbit PT Grasindo, Jakarta, 2001, hlm. 6.
3
rekanan pemborong atau kontraktor bangunan, konsultan proyek yang semuanya banyak berperan dalam pembangunan. Ketentuan khusus untuk kontrak Jasa Konsultansi. Dimana kewenangan anggota konsultan (penyedia jasa) adalah ketentuan yang mengatur mengenai apabila penyedia jasa yaitu sebuah joint venture yang beranggotakan lebih dari sebuah penyedia jasa, anggota joint venture tersebut member kuasa kepada salah satu anggota joint venture untuk bertindak dan mewakili hak-hak dan kewajiban anggota penyedia jasa lainnya terhadap pengguna jasa.2 Dalam usaha untuk mendapatkan suatu kontrak kontruksi, kontraktor harus mengikuti tender atau mengajukan penawaran harga kepada owner. Kontraktor harus menentukan besar mark-up optimum yang tetap akan memberinya keuntungan tetapi dengan harga akhir yang lebih rendah dari pesaing lain. Setelah diputuskan yang berhak mendapatkan
pekerjaan ini diberikan
kepada perusahaan yang bernama CV. Wandy’s. Dijelaskan bahwa kontraktor adalah perusahaan-perusahaan yang bersifat perorangan yang berbadan hukum yang bergerak dalam bidang pemborongan bangunan. Implikasi/penyimpangan yang sering dilakukan oleh kontraktor di lapangan: 1. Kontraktor tidak mau melaksanakan pekerjaan tertentu karena item pekerjaan tidak tercantum dalam Bill of Quantity 2. Kontraktor mengajukan perhitungan perubahan pekerjaan mengacu kepada volume Bill of Quantity yang ada. 2
Herry Kamaroesid, Tata Cara Penyusunan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Penerbit Mitra Wacana Media, Jakarta, 2009, hlm. 17.
4
3. Kontraktor melaksanakan pekerjaan dilapangan sesuai volume yang tercantum dalam BQ. Kontrak
dalam
proyek
konstruksi
dikenal
sebagai
kontrak
engineering. Suatu kontrak adalah dokumen yang memuat persetujuan bersama secara sukarela, yang mempunyai kekuatan hukum, di mana pihak pertama berjanji untuk memberikan jasa dan menyediakan material untuk membangun proyek bagi pihak kedua, sedangkan pihak kedua berjanji akan membayar sejumlah uang sebagai imbalan untuk jasa dan material yang telah disediakan oleh pihak pertama. Setiap kontrak harus bersikap adil untuk kedua belah pihak, dan tidak bermaksud untuk mengambil keuntungan secara sepihak dengan merugikan orang lain. Kontrak yang dikaji yaitu pekerjaan Penambahan Tribun Tertutup 2 (dua) Pias. Dengan nama kegiatan Pembangunan Bangunan Tribun Stadion Gelora Mandiri Kota Parepare Sulawesi Selatan. Dimana setiap harga satuan bahan dan upah untuk setiap daerah semakin tahun tambah naik. Disini menimbulkan suatu perjanjian antara Pemimpin kegiatan dengan Jasa konstruksi (kontraktor). Kedua belah pihak telah sepakat untuk mengadakan ikatan perjanjian, untuk melaksanakan pekerjaan sebagai hasil pelelangan Kegiatan Pembangunan Stadion Gelora Mandiri Kota Parepare yang dananya bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU) Kota Parepare. Dalam pasal 1313 KUHPerdata menuliskan “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Subekti dalam bukunya mengatakan bahwa “Suatu
5
perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu”.3 Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa perjanjian adalah perbuatan hukum antara pihak satu dengan pihak lainnya berdasarkan dengan kata sepakat untuk melaksanakan sesuatu. Kita tahu bersama bahwa suatu kontrak atau perjanjian yang baik, harus memenuhi syarat sahnya perjanjian yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan sebab yang halal, sebagaimana yang diatur di dalam pasal 1320 KUH Perdata. Dengan terpenuhinya empat syarat tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi yang membuatnya. Dari empat syarat sahnya perjanjian di atas, terdapat syarat adanya kata sepakat. Menurut Mariam Darus Badrulsalam, bahwa pengertian sepakat dilukiskan sebagai persyaratan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antara pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi (acceptie). Istilah tawaran dan akseptasi ini yang menimbulkan lahirnya perjanjian. Kata sepakat diartikan bahwa kedua belah pihak akan bebas untuk membuat ketentuan-ketentuan dari perjanjian mereka dan tidak disebabkan karena adanya suatu paksaan (Pasal 1324 KUH Perdata), penipuan (Pasal 1328 KUH Perdata) dan suatu kekhilafan atau kekeliruan (Pasal 1322 KUH Perdata).4 Jika hal -hal di atas terdapat dalam suatu perjanjian, maka dapat dibatalkan. Kata sepakat juga dapat diungkapkan dengan
3
Subekti, Hukum Perjanjian, Penerbit PT Intermasa, Jakarta, cetakan keduapuluhsembilan, 2001, hlm. 36. 4 Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, Cetakan kedua, 2005, hlm. 24.
6
berbagai cara seperti dengan cara lisan, tertulis, memberikan tanda, simbol dan dengan cara diam-diam pun bisa mewujudkan sebuah perjanjian. Dari uraian tersebut, dapat dilihat dalam membuat suatu kontrak atau perjanjian para pihak berhak menentukan apa saja yang ingin mereka sepakati dan juga berhak untuk tidak menentukan isi dari perjanjian, tetapi tentu saja hal ini tidak memiliki batas. Seperti diatur di dalam Pasal 1338 KUH Perdata Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. 1. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-Undang dinyatakan cukup untuk itu. 2. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Setelah dijelaskan secara garis besar tentang kontrak diatas maka dalam hal ini bahwa proyek pembangunan disini dilakukan atas dasar Perjanjian Pemborongan. Pemborongan pekerjaan adalah perjanjian, dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan. Perjanjian pemborongan sendiri dalam KUH Perdata terdapat dalam Buku ke III KUHPerdata Bab 7 A pada Pasal 1601 a-x tentang persetujuan untuk melakukan pekerjaan. Perjanjian pemborongan merupakan alternatif yang banyak dipilih oleh pihak yang bermaksud melaksanakan pembangunan, tidak terkecuali pemerintah maupun perorangan. Hal ini disebabkan :
7
1. Pekerjaan yang diadakan, ditangani oleh orang yang ahli dalam bidangnya. 2. Dengan memakai dasar perjanjian pemborongan bangunan pihak yang bermaksud untuk mendirikan suatu bangunan tidak perlu bersusah payah mengurusi pekerjaan yang secara langsung mengerjakan pembangunan tersebut, karena hal ini sepenuhnya telah diserahkan kepada pemborong 3. Pihak
yang
bermaksud
mengadakan
pembangunan
gedung
hanya
berhubungan dengan satu pihak saja, yaitu pemborong. Selain itu dari pembangunan bangunan Stadion Gelora Mandiri ini yang dijalankan seorang pemborong sebagai pimpinan sehari-hari ditempat pekerjaan pemborong harus mendapatkan seorang ahli atas persetujuan pemberi tugas. Pelaksana tersebut harus diberi wewenang umtuk bertindak atas nama perusahaan. Selain itu petugas atau pelaksana ini harus setiap hari selama jam kerja berada ditempat pekerjaan. Mengenai isi dari perjanjian tersebut antara lain : jenis dan nilai bangunan yang diinginkan si pemberi borongan, cara pembayaran, jangka waktu pelaksanaan dan pemeliharaan, jaminan konstruksi, serta keadaan memaksa (force majeure) apabila terjadi kejadian diluar kemampuan. Isi dari perjanjian itu mencantumkan jaminan pelaksanaan.5 Jenis kontrak yang diinginkan yaitu: kontrak dilaksanakan atas system harga satuan (unit price), sehingga yang mengikat adalah harga satuan yang tetap (fixed unit price) yang tercantum dalam daftar kuantitas dan harga. Nilai kontrak pekerjaan tersebut sebesar Rp. 743.500.000 (Tujuh ratus empat 5
Surat Perjanjian Borongan/Kontrak, Kegiatan Pembangunan Stadion Gelora Mandiri, Parepare, 2009.
8
puluh tiga juta lima ratus ribu rupiah). Harga satuan dalam nilai kontrak/harga borongan tersebut adalah tetap dan sudah termasuk segala jenis pengeluaran Pemborong. Selain itu nilai kontrak yang sesungguhnya adalah hasil perkalian harga satuan dengan volume pekerjaan setelah diadakan mutual check ditambah PPN 10%. Jangka waktu pelaksanaan yang dicantumkan dalam perjanjian pemborong tersebut diuraikan sebagai berikut : jangka waktu pelaksanaan adalah 150 (seratus lima puluh) hari kalender terhitung mulai tanggal 31 Juli 2009 dan harus diselesaikan dan diserahkan oleh pemborong dan diterima oleh pemilik proyek (pemimpin kegiatan) selambat-lambatnya sampai tanggal 27 Desember 2009. Jangka waktu pemeliharaan adalah 180 (seratus delapan puluh) hari kalender terhitung 1 (satu) hari setelah penyerahan pertama atau selambatlambatnya tanggal 25 Juni 2005 dengan syarat pekerjaan tersebut telah dipelihara dengan baik dan sebagaimana sebaiknya. Jaminan konstruksi dijelaskan bahwa pemborong harus menjamin pekerjaannya selama kurun waktu minimal 5 (lima) tahun terhitung dari selesainya masa pemeliharaan pekerjaan bahwa pekerjaan tersebut dari segi teknis masih dianggap baik. Dalam hal terjadi kerusakan terhadap hasil pekerjaan dalam kurun waktu 5 (lima) tahun yang diakibatkan oleh kelalaian kontraktor, maka kontraktor wajib memperbaikinya tanpa meminta biaya tambahan. Jaminan pelaksanaan dari isi perjanjian kedua belah pihak tersebut berisi, pemborong wajib menyerahkan jaminan pelaksanaan kepada pemimpin kegiatan yang berupa Garansi Bank untuk pelaksanaan yang diterbitkan oleh Bank
9
pemerintah atau bank-bank lain/Lembaga Keuangan yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Besarnya garansi bank untuk pelaksanaan pekerjaan minimum 5% (lima persen) dari nilai kontrak. Masa berlaku garansi bank untuk pelaksanaan pekerjaan sekurang-kurangnya sampai dengan berakhirnya masa pelaksanaan. Selain itu diuraikan secara detail tentang keadaan memaksa. Yang dapat dianggap sebagai keadaan memaksa (force mejeur) adalah semua kejadian diluar kemampuan pemborong yang mempengaruhi jalannya pelasanaan pekerjaan yaitu: bencana alam (yang dinyatakan oleh Pemerintah setempat), peraturan pemerintah dibidang monoter yang pelaksanaannya sesuai dengan Keputusan Pemerintah, serta pemogokan buruh yang bukan disebabkan kesalahan pemborong. Apabila terjadi keadaan memaksa (force majeur) maka pemborong dibebaskan dari tanggungan atas kerugian dan keterlambatan penyelesaian pekerjaan.6 Setelah dijelaskan secara garis besar tentang isi perjanjian Pemborongan diatas, disini akan dikaji tentang pokok permasalahan dari perjanjian proyek tersebut. Kasus yang terjadi “Dimana dalam Kegiatan Pembangunan Stadion Gelora Mandiri Kota Parepare dengan pekerjaan Penambahan Tribun Tertutup 2 (dua) Pias mengalami keterlambatan atau dapat dikatakan penundaan penyelesaian pekerjaan tersebut. Di karenakan adanya kenaikan harga bahan bangunan secara tiba-tiba, disaat pekerjaan ini sedang berjalan tanpa adanya pemberitahuan sebelumnya. Kenaikan harga ini disebabkan karena
adanya
perubahan
harga
atau
perubahan
nilai
uang
dibidang
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Penerbit Pustaka Yustisia, Jakarta, 2009, hlm. 103.
10
perekonomian. Kejadian ini membawa kerugian di pihak pemborong apabila kemungkinan-kemungkinan seperti ini tidak diperhitungkan terlebih dahulu oleh pihak pemborong dengan pihak pemberi borongan. Kenaikan harga ini menyebabkan membengkaknya biaya yang belum selesai dikerjakan dan kewajiban pemborong proyek yang harus tetap menyelesaikan proyek tersebut. Perjanjian pemborongan sendiri diatur dalam Pasal 1604 KUH Perdata sampai Pasal 1616 KUH Perdata. Di mana Pasal 1610 KUH Perdata, menyebutkan : “Jika seorang ahli pembangunan atau seorang pemborong telah menyanggupi untuk membuat suatu gedung secara memborong, menurut suatu rencana yang telah diperkirakan serta ditetapkann bersama-sama dengan si pemilik tanah, maka tidak dapatlah ia menuntut suatu penambahan harga, baik dengan dalih tambahnya upah-upah buruh atau bahan-bahan bangunan, maupun dengan dalih telah dibuatnya perubahan-perubahan dan tambahan-tambahan yang tidak termasuk dalam rencana, jika perubahan-prubahan atau perbesaranperbesaran itu tidak telah disetujui
tertulis dan tentang harganya tidak telah
diadakan persetujuan dengan si pemilik”.7 Jadi di dalam Pasal 1610 KUH Perdata dapat disimpulkan, bahwa “pemborong tidak dapat meminta penambahan harga jika terjadi perubahan harga atau naiknya harga bahan-bahan bangunan, jika perubahan harga itu tidak diperjanjikan secara tertulis terlebih dahulu dan tentang harganya telah diadakan persetujuan dengan si pemberi borongan”. Lain halnya dengan kenaikan harga 7
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hlm. 424.
11
bahan-bahan bangunan yang terjadi tersebut secara resmi dinyatakan oleh pihak pemerintah, misalnya adanya kebijaksanaan pemerintah di bidang moneter, maka disini pihak pemborong dapat meminta pertimbangan penambahan biaya proyek yang belum terselesaikan yang terkena kenaikan harga tersebut. Literatur yang memasukkan biaya eskalasi sebagai
bagian dari
kenaikan harga. Eskalasi dijelaskan bahwa suatu pembayaran ganti rugi akibat kenaikan harga/pertambahan (volume, jumlah, dan sebagainya) terhadap biaya proyek yang sedang dikerjakan dari pemerintah itu sendiri. Seperti dalam proyek untuk kontrak tahun jamak (multiyears) yang pembayarannya baru akan dilaksanakan setiap 1 tahun. Namun saat BBM naik, kontraktor butuh tambahan uang dari bank.”Kontrak multiyears ini merupakan kontrak pelaksanaan pekerjaan yang mengikat dana anggaran untuk masa lebih 1 (satu) tahun anggaran yang dilakukan atas persetujuan oleh Menteri Keuangan untuk pengadaan yang dibiayai APBD Propinsi, Bupati/Walikota untuk pengadaan yang dibiayai APBD Kabupaten/Kota”.8 Maka dari itu karena adanya kenaikan harga pada perjanjian kontrak pembangunan proyek gedung ini, maka memungkinkan kontraktor untuk melakukan eskalasi. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa dari kejadian di atas bisa dikatakan merupakan force majeur, karena kejadian demikian tidak pernah terduga oleh para pihak sebelumnya. Sebab, jika para pihak sudah dapat sebelumnya akan adanya peristiwa tersebut maka hal tersebut harus sudah dinegoisasikan di antara para pihak. Dengan demikian, dari berbagai risiko maka 8
Sabinus Sadar, Rita M., Vincent K. Kiat Memenangkan Tender Barang dan Jasa, Jakarta, Penerbit PT Penebar Swadaya, Jakarta, Cetakan Pertama, 2009, hlm. 67.
12
siapa yang bertanggungjawab tentunya harus dilihat secara kasuistis dan professional. Adanya perubahan keadaan setelah dibuatnya perjanjian, maka sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan di Indonesia dan berdasarkan pasal 1338 KUH Perdata yang berdasarkan pada ajaran berlakunya itikad baik dan kepatutan sebagai yang melenyapkan, maka apabila terjadi perubahan keadaan setelah dibuatnya perjanjian, yang perlu diperhatikan ialah bahwa risiko dibagi dua antar kedua belah pihak. Kecuali apabila perubahan keadaan itu praktis sangat berat bagi salah satu untuk memenuhi perjanjiannya kita selalu berhadapan dengan keadaan memaksa (overmacht). Dalam hal ini kegiatan pekerjaan ini mengalami pemberhentian sementara. Sampai adanya keputusan atau dengan jalan lain dapat berjalan kembali namun memakai biaya sendiri. Kerugian kontraktor yang tidak sedikit namun ini sudah kewajiban dari perjanjian sebelumnya. Yang ada di surat pernyataan Perjanjian Pemborongan. Contoh lain dapat diambil dari sebuah kasus di Kalangan pengusaha jasa konstruksi terancam rugi akibat kenaikan harga komponen kebutuhan konstruksi mencapai di atas 100% dan pengajuan eskalasi (penyesuaian harga) terhadap proyek pemerintah belum mencapai tanggapan LPJK. Lonjakan harga terjadi antara lain pasa aluminium, baja, kabel, semen, dan kayu. Bahkan lonjakan harga paling tinggi terjadi pada besi beton yang mencapai di atas 100%. Harga besi beton di pasar kini meroket lagi untuk kolom ukuran 16-19 mm naik menjadi Rp 10.200 dari semula Rp 5.300 per kg dan besi baja jadi Rp 21.000 dari sebelumnya Rp 17.500 per kg. Ujarnya sebagian besar pengusaha jasa kontruksi
13
yang sedang mengerjakan proyek pemerintah dengan nilai tender sesuai dengan harga lama, akan menanggung beban biaya pengerjaan yang membengkak. Sebagai wadah asosiasi jasa konstruksi terdiri dari Gapensi, Gakindo, Gapeknas, Gabpeknas, Gapeksindo, Aksindo, Aspekindo, Aspeknas, Apaksindo, Askindo, AKLI, dan APBI sudah mengajukan permohonan eskalasi terhadap proyek pemerintah. Pengajuan eskalasi dengan cara harga proyek ditujukan kepada LPJK (Lembaga Pengembangan Jasa Kontruksi) dan Dewan Pembina Jasa Kontruksi Pemprov Jateng, setelah terjadi lonjakan harga komponen kebutuhan konstruksi yang kini sudah mencapai lebih 100%. Dengan ini apabila mengajukan eskalasi maka pihak tersebut meminta adanya kesepakatan lagi terhadap anggaran proyek yang akan dilaksanakan pada tahun ini sebesar 15% hingga 25% dan jika tidak sudah dapat dipastikan pengusaha konstruksi akan menanggung risiko kerugian yang tidak sedikit. Perusahaan jasa kontruksi di Jateng sebagian besar masih mengandalkan aktivitasnya dari proyek pemerintah, baik pemprov maupun pemkot/pemkab setempat dan istansi lainnya, meski tengah diupayakan agar mampu menciptakan proyek dan menjual konsep sendiri kepada swasta. Dalam kondisi terpuruk, sektor jasa konstruksi masih dikenal sebagai paling dinamis karena lokasi dan proses produksi berubah-ubah, apalagi dapat bersifat padat karya yang tetap masih berperan menjadi harapan bagi penampungan tenaga kerja. Di sisi lain kalangan pengusaha jasa konstruksi pun kini masih dipusingkan
14
dengan munculnya kekhawatiran dari klaim terhadap hasil pekerjaan hingga harus berperan di pengadilan.9 Setelah dijelaskan secara singkat kasus diatas dan mencantumkan contoh kasus lain juga maka berdasar latarbelakang ini, maka penulis memilih judul “Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Bangunan Tribun Stadion Gelora Mandiri Atas Terjadinya Kenaikan Harga Bahan Bangunan di Parepare Sulawesi Selatan”.
B. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang masalah tersebut diatas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana pelaksanaan perjanjian pemborongan bangunan pemerintah antara CV. Wandy’s selaku pemborong dengan pemerintah ? 2. Bagaimanakah tanggung jawab pemborong jika terjadi kenaikan harga bahan bangunan ?
C. Tujuan Penelitian 1. Dapat mengetahui pelaksanaan perjanjian pemborongan bangunan pemerintah antara C.V. Wandy’s selaku pemborong dengan pemerintah selaku pemberi pekerjaan borongan. 2. Untuk mengetahui tanggung jawab pemborong jika terjadi kenaikan harga bahan bangunan pada sisa pekerjaan yang belum diselesaikan.
9
Kedaulatan Rakyat, tanggal 10 Maret 2008
15
D. Tinjauan Pustaka Kontrak merupakan golongan dari perbuatan hukum, perbuatan hukum yang dimaksud adalah suatu perbuatan yang menghasilkan akibat hukum dikarenakan adanya niat dari perbuatan satu orang atau lebih. Dengan ini dapat dikatakan bahwa beberapa perbuatan hukum adalah kontrak. Kontrak konstruksi sangat di pengaruhi oleh proyek konstruksi, tingkat kecanggihan teknologi, dukungan dana, pengguna jasa, penyedia jasa dan tingkat persaingannya. Perkembangan industri jasa konstruksi di Indonesia dibagi dalam 5 periode yaitu : Periode 1945-1950, Periode 1951-1959, Periode 19601966, Periode 1967-1996, Periode 1997-2002.10 Pada umumnya posisi penyedia jasa selalu lebih lemah daripada posisi pengguna jasa. Dengan kata lain posisi pengguna jasa lebih dominan daripada posisi penyedia jasa. Peraturan perundang-undangan yang baku untuk mengatur hak-hak dan kewajiban para pelaku industri jasa konstruksi sampai lahirnya Undang-Undang No.18/1999 tentang Jasa Konstruksi, belum ada sehingga asas “Kebebasan Berkontrak” sebagaimana diatur oleh Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHPer) Pasal 1320 dipakai sebagai satu-satunya asas dalam penyusunan kontrak. Dengan posisi yang lebih dominan, pengguna jasa lebih leluasa menyusun kontrak dan ini dapat merugikan penyedia jasa. Ketidak seimbangan antara terbatasnya pekerjaan konstruksi/proyek dan banyaknya
Nazarkhan Yasin, Mengenal Kontrak Konstruksi di Indonesia, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, hlm 5.
16
penyedia jasa mengakibatkan posisi tawar penyedia jasa sangat lemah. Dengan banyaknya jumlah penyedia jasa maka pengguna jasa leluasa melakukan pilihan. Umumnya kontrak konstruksi sampai saat ini belum mencapai predikat “adil dan setara” (fair and equal) layaknya suatu kontrak sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No.18/1999 tentang Jasa Konstruksi dan PP No. 29/2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Sebagai contoh : 1. Apabila Penyedia Jasa lalai, pihaknya akan terkena sanksi berat, namun apabila Pengguna jasa yang lalai, sanksinya ringan atau tidak ada sama sekali. 2. Kelambatan penyelesaian pekerjaan akan dikenakan sanksi (denda) tetapi kelambatan pembayaran tidak mendapat ganti rugi (interest bank).11 Namun dalam pelaksanaan perjanjian kontrak konstruksi yang telah disepakati para pihak tidak selamanya dapat berjalan lancar karena tidak di taatinya atau tidak dilaksanakannya kewajiban yang harus dilakukan para pihak seperti yang termuat dalam perjanjian. Seperti karena adanya kenaikan nilai mata uang. Dengan adanya kenaikan ini, para pihak konstruksi mengalami kesusahan dalam melanjutkan pekerjaan tersebut. Dimana harga-harga barang bahan bangunan melonjak. Untuk mengantisipasi adanya perubahan harga karena pengaruh waktu perlu diperhitungkan faktor inflasi dan eskalasi, terutama jika jangka waktu penyelesaian proyek cukup lama. Inflasi dan eskalasi berdampak terhadap biaya proyek yang menyangkut harga material, tenaga kerja dan peralatan. Biasanya
Ibid.hlm 16.
17
dalam segi material, didasarkan karena adanya kenaikan harga material, terlambat/ kekurangan bahan waktu pelaksanaan serta kontrol kualitas yang buruk dari bahan. Material, tenaga kerja, dan peralatan merupakan komponen dari biaya langsung untuk pelaksanaan proyek yang merupakan bagian terbesar dari biaya proyek. Dalam suatu kontrak kontruksi, Ketua Badan Pembina Konstruksi dan Sumber Daya Manusia (BKSDM) dan Menteri Pekerjaan Umum mengindentifikasikan bahwa pemerintah hanya menanggung beberapa persen saja dari kenaikan biaya proyek akibat melonjaknya harga material. Namun tetapi itu tergantung tingkat kesukaran dan besarnya biaya proyek tersebut. Eskalasi harga hanya diberlakukan untuk proyek dengan masa konstruksi kurang dari 1 tahun sesuai dengan yang telah dijelaskan di atas. Selain itu untuk proyek dengan masa konstruksi kurang dari 1 tahun hanya dapat di lakukan dalam kondisi force majeur. Force majeur dimaknai dengan suatu keadaan sedemikian rupa, karena keadaan prestasi dalam suatu kontrak terpaksa tidak dapat dipenuhi sebagaimana mestinya. Terdapat dua jenis force majeur atau overmacht. Ada beberapa sifat force majeur yakni force majeur yang bersifat formatif, yaitu adalah suatu keadaan memaksa yang menyebabkan debitor tidak dapat melaksanakan prestasinya dengan pengorbanan-pengorbanan sedemikian rupa. Sedangkan force majeur yang absolute biasanya terlihat dari penyebab dari tidak
18
dipenuhinya prestasi debitor lebih diakibatkan pada suatu sebab diluar kekuasaan manusia. Kerugian akibat force majeur dinamakan risiko.12 Jadi di dalam Pasal 1610 KUHPerdata dapat disimpulkan, bahwa pemborong tidak dapat meminta penambahan harga jika terjadi perubahan harga atau naiknya harga bahan-bahan bangunan, jika perubahan harga itu tidak diperjanjikan secara tertulis terlebih dahulu dan tentang harganya telah diadakan persetujuan dengan si pemberi borongan. Lain halnya apabila kenaikan harga bahan-bahan bangunan yang terjadi tersebut secara resmi dinyatakan oleh pihak pemerintah, misalnya adanya kebijaksanaan pemerintah di bidang moneter, maka di sini pihak pemborong dapat meminta pertimbangan penambahan biaya proyek yang belum terselesaikan yang terkena kenaikan harga tersebut. Selama ini, perusahaan jasa konstruksi di Sulsel sebagian besar masih mengandalkan aktivitasnya dari proyek pemerintah, baik pemprov maupun pemkot/pemkab setempat dan instansi lainnya, meski tengah diupayakan agar mampu menciptakan proyek dan menjual konsep sendiri kepada swasta.
E. Metode Penelitian Untuk melengkapi penelitian ini maka penulis menggunakan metode-metode sebagai berikut : 1. Subyek Penelitian a. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Parepare Sulawesi Selatan b. Direktur C.V. Wandy’s
12
Budiono Kusumohamidjojo. op.cit., hlm. 66.
19
2. Sumber Data a. Data primer, yaitu data yang diperoleh dari penelitian lapangan. b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari dokumen, literatur, majalah, makalah, peraturan-peraturan yang terkait dengan masalah yang diteliti. 3. Teknik Pengumpulan Data a. Data
primer
diperoleh
dengan
menggunakan
interview
(teknik
wawancara), yaitu tanya jawab secara langsung dengan subyek penelitian. b. Data sekunder diperoleh dari hasil penelusuran literatur juga termasuk karya ilmiah, peraturan perundang-undangan ( KUHPerdata pasal 1601, 1604–1610, Jasa Konstruksi no 18 tahun 1999) dan sumber tertulis lainnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. 4. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridisnormatif artinya data dan fakta yang diteliti, dikaji dan dikembangkan berdasarkan pada hukum. 5. Analisis Data Data-data yang diperoleh tersebut baik melalui penelitian lapangan ataupun studi kepustakaan diolah dan disusun secara sistematis, kemudian oleh penulis dipaparkan secara diskriptif dengan jalan menggambarkan sifat dan dianalisis berdasarkan teori dan peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan relevansi permasalahan yang akhirnya sampai pada penarikan kesimpulan.
20
F. Kerangka Skripsi Agar memudahkan untuk mengetahui isi yang terkandung di dalam skripsi, maka diperlukan sistematika sebagai berikut : BAB I :
PENDAHULUAN a. Latar Belakang Masalah b. Rumusan Masalah c. Tujuan Penelitian d. Tinjauan Pustaka e. Metode Penelitian f. Kerangka Skripsi
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBORONGAN BANGUNAN a. Garis Besar tentang Jasa Konstruksi b. Pengertian Perjanjian Pemborongan Bangunan c. Pihak-pihak dalam Perjanjian Pemborongan Bangunan d. Hak dan Kewajiban Pemborong serta Pemberi Borongan e. Risiko dalam Perjanjian Pemborongan Bangunan BAB III : PELAKSANAAN
PERJANJIAN
PEMBORONGAN
ATAS
TERJADINYA KENAIKAN HARGA BAHAN BANGUNAN a. Pelaksanaan Perjanjian antara pemborong bangunan dengan pemberi borongan dan Perjanjian antara Pemborong dengan Perorangan
21
b. Tanggung Jawab Pemborong jika terjadi kenaikan harga bahan bangunan BAB IV : PENUTUP a. Kesimpulan b. Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN