BAB I LAPORAN KASUS A. LAPORAN KASUS Identitas pasien : Nama
: Ny. Wati
Umur
: 34 tahun
Alamat
: Banyu urip, Tegalrejo
Agama
: Islam
Masuk Tanggal
: 2 Desember 2012 pukul 01.30 WIB di Ruang Bogenvile
Subjektif :
KU : Datang ke IGD dengan keluhan utama sesak nafas RPS : o Sesak nafas sejak pukul 20.00 o Sesak terutama saat berbaring dan beraktivitas o Sesak terutama di malam hari o Sesak hilang timbul KT : o Nyeri dada kiri, hilang timbul, terutama saat beraktivitas o Dada sering berdebar-debar o Kedua kaki bengkak o Mudah capai o Demam o Batuk dengan dahak kental berwarna putih o Penurunan berat badan o Mual (+), muntah (-) RPD : o Riwayat tuberculosis 5 tahun yang lalu o Riwayat hipertensi sejak ± 1 tahun yang lalu o Riwayat asma bronchiale disangkal o Riwayat alergi obat, makanan, dingin dan debu disangkal 1
RPK : o Riwayat hipertensi (+) o Riwayat diabetes mellitus (-) o Riwayat asma bronchiale (-)
Objektif :
Keadaan umum : Gelisah, tampak sesak, pucat Kesadaran : GCS E4V5M6 Vital sign : o Tekanan Darah: 150/90 mmHg o Nadi : 128 x/menit o Suhu : 37.6˚C o Pernafasan : 32 x/menit Kepala & Leher : o Konjungtiva anemis : (-/-) o Sklera ikterik : (-/-) o Sianosis : (-) o Dyspneu : (+) o Peningkatan JVP : (+) ± 2 cm o Pembesaran KGB : (-) Thorax : o Paru : - I : simetris kanan dan kiri, terdapat retraksi pada dinding dada - P : gerakan nafas hemithorax kanan dan kiri simetris - P : perkusi paru sonor kanan dan kiri - A : suara nafas dasar vesikuler, wheezing +/+, rhonki +/+ o Jantung : - I : iktus kordis terlihat di ICS 6 midclavicula, tampak heavy - P : iktus kordis teraba dan kuat angkat - P : batas jantung melebar, batas kiri ICS 6 midclavicula sinistra, batas kanan ICS 5 parasternal dextra, pinggang jantung ICS 5 parasternal sinistra - A : bunyi jantung I dan II regular, murmur (+) Abdomen : o I : soefl o A : bising usus (+) normal o P : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba o P : timpani Ekstremitas - Tampak pucat pada akral ekstremitas atas dan bawah 2
- Tampak edema pada kaki kanan dan kiri Hasil pemeriksaan laboratorium : WBC RBC HGB HCT PLT PCT MCV MCH MCHC RDW MPV PDW
: 11 x 10³ /mm3 : 4.21 x 106 /mm3 : 13.3 g/dl : 38.2 % : 284 x 10³ /mm3 : 0.228 % : 86 μm3 : 30.1 pg : 34.8 g/dl : 13.8 % : 8.0 μm3 : 14.8 %
Hasil pemeriksaan foto thorax :
Hasil pemeriksaan EKG :
%LYM %MON %GRA #LYM #MON #GRA GLUCOSE UREUM CREATININE SGOT SGPT LED
: 18.5 % : 7.0 % : 74.5% : 2.0 x 10³ /mm3 : 0.7 x 10³ /mm3 : 8.3 x 10³ /mm3 : 75 mg/dl : 32 mg/dl : 1.0 mg/dl : 27 U/I : 10 U/I : 40’
3
Hasil
pemeriksaan echokardiografi
:
4
Assessment :
Gagal jantung kanan Cor pulmonale kronik Hipertensi grade I Suspek tuberculosis reaktif
Planning :
Planning diagnostik : - Darah lengkap - SGOT / SGPT - Ureum / kreatinin - LED - BTA sputum - Elektrokardiografi - Echokardiografi - Foto thorax Planning Terapi : - Posisi ½ duduk - Oksigen kanul 5 liter / menit - Infus Ringer Laktat 10 tpm - Injeksi Dexamethason 1 amp / i.m - Injeksi Lasix 1 amp / i.v - Injeksi Aminofilin ½ amp / i.v bolus - Injeksi Aminofilin 1½ amp / i.v drip - Nifedipin 10 mg p.o - Aspilet 300 mg p.o 5
6
B. HASIL FOLLOW UP TANGGAL 3 Desember 2012- Sesak
S dari
O GCS : E4V5M6 Tampak sakit sedang Tanda vital : TD : 130/80 mmHg N : 89 x/mnt putih kental RR : 28 x/mnt - Mual (+), muntah (-) S : 36.2 ˚C - BAK dan BAB - Kepala dan leher : normal CA / SI : (-/-) - Keringat dingin ↑ Dyspneu : (+) Peningkatan JVP : (+) ± 2 cm Pembesaran KGB : (-) - Thorax : Paru : I : simetris, retraksi dada (+) P : simetris P : sonor +/+ A : vesikuler +/+, wheezing +/+, kemarinterus-menerus - Dada berdebar-debar - Batuk dengan dahak
rhonki +/+ Jantung : I : IC terlihat, tampak heavy P : IC teraba dan kuat angkat P : batas jantung melebar A : S1>S2 regular, murmur (+) - Abdomen :
A P Gagal jantung kanan - Planning diagnostik : Cor pulmonale Darah lengkap BTA Sputum kronik Elektrokardiografi Hipertensi grade I Suspek tuberculosis Echocardiografi Foto thorax reaktif - Planning terapi : Posisi ½ duduk Oksigen kanul
2
liter / menit Infus D5
1
aminophilin 10 tpm Infus ciprofloxacin
2x0.2 Injeksi lasix 1x1 Injeksi interpril 5
mg 0-0-1 Spirolacton 2x25 Glyceril Guaiacolat
3x1 Vostrin 3x1 cth Injeksi ranitidin 2x1
+
7
I : soefl A : bising usus (+) normal P : nyeri tekan (-), hepar dan lien
Lameson 3x1 tab
tidak teraba P : timpani - Ekstremitas : edema di kaki kanan dan kiri
TANGGAL S O 4 Desember 2012- Sesak hilang timbul - GCS : E4V5M6 - Dada berdebar-debar - Tampak sakit sedang - Batuk dengan dahak- Tanda vital : TD : 130/90 mmHg putih kental N : 82 x/mnt - Mual (+), muntah (-) - BAK dan BAB RR : 24 x/mnt S : 37.2 ˚C normal - Kepala dan leher :
A P - Gagal jantung kanan - Planning diagnostik : - Cor pulmonale Darah lengkap BTA sputum kronik Elektrokardiografi - Hipertensi grade I - Suspek tuberculosis Echocardiografi Foto thorax reaktif
8
CA / SI : (-/-) Peningkatan JVP : (+) ± 2 cm Pembesaran KGB : (-) - Thorax : Paru : I : simetris P : simetris P : sonor +/+ A : vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonki +/+ Jantung : I : IC terlihat, tampak heavy P : IC teraba dan kuat angkat P : batas jantung melebar A : S1>S2 regular, murmur (+) - Abdomen : I : soefl A : bising usus (+) normal P : nyeri tekan (-), hepar dan lien
- Planning terapi : Posisi ½ duduk Oksigen kanul
2
liter / menit Infus D5
1
aminophilin 10 tpm Infus ciprofloxacin
2x0.2 Injeksi lasix 1x1 Injeksi interpril 5
mg 0-0-1 Spirolacton 2x25 Glyceril Guaiacolat
3x1 Vostrin 3x1 cth Injeksi ranitidin 2x1 Lameson 3x1 tab
+
tidak teraba P : timpani - Ekstremitas : edema (-)
9
TANGGAL S O 5 Desember 2012- Sesak (-) - GCS : E4V5M6 - Dada berdebar-debar - Tampak membaik - Batuk dengan dahak- Tanda vital : TD : 170/110 mmHg putih kental N : 88 x/mnt - Mual (+), muntah (-) - BAK dan BAB RR : 22 x/mnt S : 36.4 ˚C normal - Kepala dan leher : CA / SI : (-/-) Peningkatan JVP : (+) ± 2 cm Pembesaran KGB : (-) - Thorax : Paru : I : simetris P : simetris P : sonor +/+ A : vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonki +/+ Jantung :
A P Gagal jantung kanan - Planning diagnostik : Cor pulmonale Darah lengkap BTA sputum kronik Elektrokardiografi Hipertensi grade II Suspek tuberculosis Echocardiografi Foto thorax reaktif - Planning terapi : Posisi ½ duduk Oksigen kanul
2
liter / menit Infus D5
1
aminophilin 10 tpm Infus ciprofloxacin
2x0.2 Injeksi lasix 1x1 Injeksi interpril 5
+
10
I : IC terlihat, tampak heavy P : IC teraba dan kuat angkat P : batas jantung melebar A : S1>S2 regular, murmur (+) - Abdomen : I : soefl A : bising usus (+) normal P : nyeri tekan (-), hepar dan lien
mg 0-0-1 Spirolacton 2x25 Glyceril Guaiacolat
3x1 Vostrin 3x1 cth Injeksi ranitidin 2x1 Lameson 3x1 tab
tidak teraba P : timpani - Ekstremitas : edema (-)
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. TUBERCULOSIS Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis dan menyebabkan peradangan parenkim paru. EPIDEMIOLOGI Indonesia menempati urutan ke-4 sebagai angka kesakitan (morbiditas) dan urutan ke-5 sebagai angka kematian (mortalitas). ETIOLOGI Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. PATOGENESIS a. Tuberkulosis Primer Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut : 1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
12
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus) 3. Menyebar dengan cara : - Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya - Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya -
atau tertelan Penyebaran secara hematogen dan limfogen.
b. Tuberkulosis Pasca-Primer Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut : -
Diresorpsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat
-
Sarang tadi mula mula meluas, tetapi segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
-
Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Nasib kaviti ini mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas. Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi. Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir
13
sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).
KLASIFIKASI 1. Tuberkulosis paru Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA) TB paru dibagi atas: a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah: - Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif. - Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan -
radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan
positif. b. Tuberkulosis paru BTA (-) - Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan
kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.
tuberculosis positif. Berdasarkan tipe pasien Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu : a. Kasus baru 14
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan. b. Kasus kambuh (relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan : - Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan dahulu antibiotik selama 2 minggu, kemudian dievaluasi. - Infeksi jamur. - TB paru kambuh. c. Kasus defaulted atau drop out Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. d. Kasus gagal Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan). Atau pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan e. Kasus kronik / persisten Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik. 2. Tuberkulosis ekstra paru Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, kelenjar getah bening, selaput otak, perikard, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan TB ekstra paru aktif.
15
MANIFESTASI KLINIS Tuberculosis menimbulkan gejala klinis berupa demam yang umumnya subfebril tapi kadang 4041˚C, batuk, dahak yang bisa mukoid atau mukopurulen atau purulen, batuk darah, nyeri dada, wheezing, dispneu, malaise, anoreksia, penurunanberat badan, keringat malam, nyeri otot dan sakit kepala. KOMPLIKASI Dapat menyebabkan terjadinya pleuritis, empiema, bronchitis kronis, cor pulmonal, amiloidosis, aspergilosis, karsinoma bronkogenik, hipokalemia, anemia dan pneumothorax. DIAGNOSIS 1. Gambaran klinik Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat). a. Gejala respiratorik Gejala respiratorik berupa batuk 2 minggu, batuk darah, sesak napas dan nyeri dada. Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar. b. Gejala sistemik 16
-
Demam Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun
c. Gejala tuberkulosis ekstra paru Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan. 2. Pemeriksaan fisik Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum. Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”. 3. Pemeriksaan bakteriologik lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila : - 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif BTA positif - 1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali - Bila ada fasilitas foto toraks, kemudian bila 1 kali positif, 2 kali negatif BTA positif atau 3 kali negatif BTA negatif Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) : -
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+) 17
Interpretasi hasil dapat juga dengan cara Bronkhorst. SkalaBronkhorst (BR) : - BR I : ditemukan 3-40 batang selama 15 menit pemeriksaan - BR II : ditemukan sampai 20 batang per 10 lapang pandang - BR III : ditemukan 20-60 batang per 10 lapang pandang - BR IV : ditemukan 60-120 batang per 10 lapang pandang - BR V : ditemukan > 120 batang per 10 lapang pandang 4. Pemeriksaan Radiologik Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral, toplordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif : - Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen -
superior lobus bawah Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular Bayangan bercak milier Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif - Fibrotik - Kalsifikasi - Schwarte atau penebalan pleura 5. Pemeriksaan lain - Analisis Cairan Pleura - Pemeriksaan histopatologi jaringan - Pemeriksaan darah - Uji tuberculin PENATALAKSANAAN Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif 2 bulan dan fase lanjutan 4 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan. Obat yang dipakai yaitu: 1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: - Rifampisin - INH - Pirazinamid - Streptomisin - Etambutol 2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2) - Kanamisin - Amikasin - Kuinolon 18
-
Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam klavulanat
19
B. COR PULMONALE CHRONIC (CPC) Cor pulmonale merupakan suatu keadaan timbulnya hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan tanpa atau dengan gagal jantung kanan, timbul akibat penyakit yang menyerang struktur atau fungsi paru atau pembuluh darahnya. Cor pulmonale dapat terjadi akut (contohnya, emboli paru massif) atau kronik. Insidens yang tepat dari cor pulmonale tidak diketahui, karena seringkali terjadi tanpa dapat dikenali secara klinis atau pada waktu autopsi. Diperkirakan insidens cor pulmonale adalah 6% 7% dari seluruh penyakit jantung berdasarkan hasil penyelidikan yang memakai kriteria ketebalan dinding ventrikel postmortem.
20
FUNGSI NORMAL SIRKULASI PARU Sirkulasi paru terletak di antara ventrikel kanan dan kiri untuk tujuan pertukaran gas. Dalam keadaan normal, aliran darah dalam jaringan vaskular paru tidak hanya bergantung pada ventrikel kanan tetapi juga dari kerja pompa pada pergerakan pernapasan. Karena sirkulasi paru merupakan sirkulasi yang bertekanan dan beresistensi rendah di bawah keadaan normal maka curah jantung dapat meningkat sampai beberapa kali (seperti yang terjadi pada waktu latihan fisik) tanpa peningkatan bermakna tekanan arteria pulmonalis. Keadaan ini dapat terjadi karena besarnya kapasitas jaringan vaskular paru, yang perfusi normalnya kira-kira hanya 25% dalam keadaan istirahat, serta kemampuannya menggunakan lebih banyak pembuluh sewaktu latihan fisik. ETIOLOGI Penyakit-penyakit yang menyebabkan cor pulmonale adalah penyakit yang secara primer menyerang pembuluh darah paru, seperti PE berulang, dan penyakit yang menggangu aliran darah paru akibat penyakit pernapasan obstruktif atau restriktif. COPD terutama jenis bronchitis, merupakan penyebab tersering cor pulmonale. Penyakit-penyakit pernapasan restriktif yang menyebabkan cor pulmonale dapat berupa penyakit-penyakit intrinsik seperti fibrosis paru difus, dan kelainan ekstrinsik, seperti obesitas yang ekstrim, kifoskoliosis, atau gangguan neuromuskluar berat yang melibatkan otot-otot pernapasan. Akhirnya, penyakit vaskular paru 21
yang mengakibatkan obstruksi terhadap aliran darah dan cor pulmonale cukup jarang terjadi dan biasanya merupakan akibat dari PE berulang. Secara garis besar etiologi cor pulmonale dapat digolongkan dalam 5 kelompok : 1. Penyakit paru penyakit paru obstruktif kronik, fibrosis kistik, penyakit paru interstisial. 2. Gangguan sirkulasi pulmonal tromboemboli pulmonal, hipertensi pulmonal primer, emboli tumor, sickle cell anemia, shistosomiasis, penyakit vena oklusif pulmonal. 3. Penyakit neuromuskular amyotrophic lateral sclerosis, myasthenia gravis, poliomyelitis, Guillane-Barre syndrome, lesi spinal cord, paralisis diafragma bilateral. 4. Deformitas rongga thorax kyphoscoliosis. 5. Gangguan kontrol ventilasi hipoventilasi sentral primer, sleep apnea syndrome.
PATOGENESIS Berdasarkan perjalanan penyakitnya, cor pulmonale dibagi menjadi 5 fase, yakni : 1. Fase 1 Pada fase ini belum nampak gejala klinis yang jelas, selain ditemukannya gejala awal penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), bronkitis kronis, tuberkulosis paru, bronkiektasis dan sejenisnya. 2. Fase 2 Pada fase ini mulai ditemukan tanda-tanda berkurangnya ventilasi paru. Gejalanya antara lain, batuk lama berdahak (terutama bronkiektasis), sesak napas, mengi, sesak napas ketika berjalan menanjak atau setelah banyak bicara. Sedangkan sianosis masih belum nampak. Pemeriksaan fisik ditemukan kelainan berupa, hipersonor, suara napas berkurang, ekspirasi memanjang, ronki basah dan kering, mengi. Letak diafragma rendah dan denyut jantung lebih redup. Pemeriksaan radiologi menunjukkan berkurangnya corakan bronkovaskular, letak diafragma rendah dan mendatar, posisi jantung vertikal. 3. Fase 3 Pada fase ini nampak gejala hipoksemia yang lebih jelas. Didapatkan pula berkurangnya nafsu makan, berat badan berkurang, cepat lelah. Pemeriksaan fisik nampak sianotik, disertai sesak dan tanda-tanda emfisema yang lebih nyata. 4. Fase 4 Ditandai dengan hiperkapnia, gelisah, mudah tersinggung kadang somnolens. Pada keadaan yang berat dapat terjadi koma dan kehilangan kesadaran. 5. Fase 5
22
Pada fase ini nampak kelainan jantung, dan tekanan arteri pulmonal meningkat. Tanda-tanda peningkatan kerja ventrikel, namun fungsi ventrikel kanan masih dapat kompensasi. Selanjutnya terjadi hipertrofi ventrikel kanan kemudian terjadi gagal jantung kanan. Pemeriksaan fisik nampak sianotik, bendungan vena jugularis, hepatomegali, edema tungkai dan kadang asites. Apapun penyakit awalnya, sebelum timbul cor pulmonale biasanya terjadi peningkatan resistensi vaskular paru dan hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal pada akhirnya meningkatkan beban kerja ventrikel kanan, sehingga mengakibatkan hipertrofi dan kemudian gagal jantung. Titik kritis dari rangkaian kejadian ini terletak pada peningkatan resistensi vaskular paru pada arteri dan arteriola. Dua mekanisme dasar yang mengakibatkan peningkatan resistensi vaskular paru adalah: 1. Vasokonstriksi hipoksik pembuluh darah paru-paru 2. Obstruksi dan/atau obliterasi jaringan vaskular paru-paru. Mekanisme yang pertama tampaknya paling penting dalam patogenesis cor pulmonale. Hipoksemia, hiperkapnia, dan asidosis yang merupakan ciri khas dari COPD bronchitis lanjut adalah contoh yang paling baik untuk menjelaskan bagaimana kedua mekanisme itu terjadi. Hipoksia alveolar (jaringan) merupakan rangsangan yang kuat terhadap vaskonstriksi pulmonal bukan hipoksemia. Selain itu, hipoksia alveolar kronik memudahkan terjadinya hipertofi otot polos arteriol paru, sehingga timbul respon yang lebih kuat terhadap hipoksia akut. Asidosis hiperkapnia dan hipoksemia bekerja secara sinergistik dalam menimbulkan vasokonstriksi. Viskositas darah yang meningkat akibat polisitemia dan peningkatan curah jantung yang dirangsang oleh hipoksia kronik dan hiperkapnia, juga ikut meningkatkan terkanan arteri paru. Mekanisme kedua yang turut meningkatkan resistensi vaskular dan tekanan arteri paru adalah bentuk anatomisnya. Emfisema ditandai dengan kerusakan bertahap struktur alveolar dengan pembentukan bula dan obliterasi total kapiler-kapiler di sekitarnya. Hilangnya pembuluh darah secara permanen menyebabkan berkurangnya jaringan vaskular. Selain itu, pada penyakit obstruktif, pembuluh darah paru juga tertekan dari luar karena efek mekanik volume paru yang besar. Tetapi, peranan obstruksi dan obliterasi anatomik terjadap jaringan vaskular diperkirakan 23
tidak sepenting vasokonstriksi hipoksik dalam patogenesis cor pulmonale. Kira-kira dua pertiga sampai tiga perempat dan jaringan vaskular harus mengalami obstruksi atau rusak sebelum terjadi peningkatan tekanan arteri paru yang bermakna. Asidosis respiratorik kronik terjadi pada beberapa penyakit pernapasan dan penyakit obstruktif sebagai akibat hipoventilasi alveolar umum atau akibat kelainan V/Q. Dalam pembahasan di atas diketahui bahwa setiap penyakit paru yang mempengaruhi pertukaran gas, mekanisme ventilasi, atau jaringan vaskular paru dapat mengakibatkan cor pulmonale.
24
Etiologi dan pathogenesis cor pulmonale.
MANIFESTASI KLINIS Gejala klinis : Manifestasi klinis dari cor pulmonale biasanya tidak spesifik. Beberapa gejala bisanya tidak terlalu tampak pada stadium awal penyakit ini. Pasien dapat mengeluhkan kelelahan, denyut jantung yang cepat dan batuk. Nyeri dada juga dapat terjadi dan mungkin juga karena iskemik ventrikel kanan. Beberapa gejala neurologis juga dapat timbul akibat menurunnya curah jantung 25
dan hipoksemia. Hemoptisis dapat terjadi akibat adanya ruptur arteri pulmonalis yang berdilatasi maupun terjadi atherosclerosis. Pada tahap lanjut, dapat terjadi kongestif hepar sekunder karena kegagalan ventrikel kanan menyebabkan anoreksia, rasa tidak nyaman pada perut kanan atas, serta kekuningan. Peningkatan tekanan arteri pulmonalis dapat menyebabkan peningkatan tekanan vena perifer dan tekanan kapiler. Dengan adanya peningkatan gradient tekanan hidrostatik mengakibatkan terjadinya transudasi cairan yang terakumulasi menjadi edema perifer. Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dan filtrasi natrium karena hipoksemia memainkan peran penting dalam edema perifer pada pasien dengan cor pulmonale dengan peningkatan tekanan atrium kanan. Tanda klinis : Dari pemeriksaan fisik dapat mencerminkan penyakit paru yang mendasari terjadinya cor pulmonal seperti hipertensi pulmonal, hipertropi ventrikel kanan, dan kegagalan ventrikel kanan. Peningkatan diameter dada, sesak yang tampak dengan retraksi dinding dada, distensi vena leher dan sianosis dapat terlihat. Pada auskultasi, lapangan paru dapat terdengar wheezing maupun ronkhi. Suara jantung dua yang terpisah dapat terdengar pada tahap awal. Bising ejeksi sistolik diatas area arteri pulmonalis dapat terdengar pada tahap penyakit yang lebih lanjut bersamaan dengan bising regugirtasi pulmonal diastolic. Pada perkusi, suara hipersonor dapat menjadi tanda PPOK yang mendasari timbulnya cor pulmonal, asites dapat timbul pada kasus yang berat.
DIAGNOSIS Diagnosis cor pulmonale terutama berdasarkan pada dua kriteria : 1. Adanya penyakit pernapasan yang disertai hipertensi pulmonal 2. Bukti adanya hipertrofi ventrikel kanan. Pendekatan umum untuk mendiagnosa cor pulmonal dan untuk menyelidiki etiologinya dimulai dengan pemeriksaan laboratorium rutin, radiografi dada dan elektrokardiografi. Echocardiografi juga memberikan informasi yang penting tentang penyakit dan etiologinya. Kateterisasi jantung 26
kanan adalah pemeriksaan yang paling akurat untuk mengkonfirmasi diagnosis cor pulmonale dan penyakit yang mendasarinya. Pada pasien dengan cor pulmonale kronis, rontgen dada dapat menunjukkan pembesaran pembuluh darah paru sentral. Hipertensi pulmonal harus dicurigai jika diameter pembuluh arteri pulmonalis kanan lebih dari 16 mm dan arteri pulmonalis kiri lebih dari 18 mm. Pembesaran ventrikel kanan menyebabkan peningkatan diameter transversal dari bayangan jantung ke kanan pada proyeksi posteroanterior dan mengisi ruang udara restrosternal pada proyeksi lateral. Pada pemeriksaan dengan elektrokardiograph, tampak adanya hipertropi ventrikel kanan.
27
PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan cor pulmonale pada prinsipnya adalah mengobati penyakit dasarnya. Pengobatan dibagi atas : 1. Tirah baring 2. Diet rendah garam 3. Medikamentosa, berupa : diuretika, digitalis, terapi oksigen dan pemberian antikoagulan 4. Preventif, yaitu berhenti merokok, olah raga bertahap dan teratur, serta senam pernafasan Digitalis diberikan terutama bila terdapat gagal jantung kanan. Terapi oksigen sangat penting, bahkan terkadang perlu ventilator mekanik bila retensi CO 2 berbahaya (gagal nafas). Antikoagulan dapat mencegah thrombosis yang memperberat penyakit paru obstruktif menahun. Pengobatan cor pulmonale ditujukan untuk memperbaiki hipoksia alveolar (dan vasokonstriksi paru yang diakibatkannya) dengan pemberian oksigen konsentrasi rendah dengan hati-hati. Pemakain oksigen yang terus menerus dapat menurunkan hipertensi pulmonal, polisitemia, dan takipnea; memperbaiki keadaan umum, dan mengurangi mortalitas. Bronkodilator dan antibiotik membantu meredakan obstruksi aliran udara pada pasien-pasien COPD. Pembatasan cairan yang masuk dan diuretik mengurangi tanda-tanda yang timbul akibat gagal ventrikel kanan. Tetapi antikoagulan jangka panjang diperlukan jika terdapat PE berulang.
C. GAGAL JANTUNG Gagal jantung atau heart failure adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Atau disebutkan gagal jantung merupakan sindrom klinis ditandai oleh sesak napas dan fatik (saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung. Sebagai pompa, jantung bekerja tidak hanya bekerja sendiri, tetapi tergantung pula pada berbagai faktor sehingga ia dapat bekerja secara optimal. Faktor-faktor tersebut adalah kontraktilitas miokard, denyut jantung, beban awal dan beban akhir.
28
KLASIFIKASI Dilihat dari besarnya curah jantung terdiri atas : 1. Gagal jantung curah tinggi Diakibatkan oleh kebutuhan metabolisme yang meningkat jantung harus bekerja lebih kuat untuk memberikan curah jantung yang diperlukan tubuh (high output state). 2. Gagal jantung curah kanan Dalam keadaan aktivitas fisik, jantung mula-mula akan meningkat sedikit tetapi segera akan menurun kembali, bahkan akan lebih rendah dari saat istirahat karena ketidak mampuan jantung menerima beban tersebut. Gagal jantung berdasarkan lokasi terjadinya terdiri atas : 1. Gagal jantung kiri Keadaan di mana jantung bagian kiri tidak lagi mampu memompa darah ke jaringaan di seluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. Gejala gagal jantung kiri berupa dyspnoe de effort, ortopneu, dispneu nokturnal paroksimalis, merasa sangat sesak, takikardia, berkeringat dingin, pucat dan lain-lain. 2. Gagal jantung kanan Keadaan di mana jantung bagian kanan tidak lagi mampu memompa darah ke jaringan untuk memenuhi kebutuhannya. Gejala klinis berupa hepatomegali, splenomegali, teraba denyut di vena jugularis eksterna dan edema perifer. 3. Gagal jantung kongestif Gagal jantung kiri dalam jangka panjang dapat diikuti dengan gagal jantung kanan, demikian juga gagal jantung kanan dalam jangka panjang dapat diikuti gagal jantung kiri. Bilamana kedua gagal jantung tersebut terjadi pada saat yang sama maka keadaan ini disebut gagal jantung kongestif.
ETIOLOGI Penyebab gagal jantung dapat berupa : 1. Kelainan fungsi kontraktilitas ventrikel Adalah suatu bentuk gagal sistolik yang disebabkan oleh infark miokard, kardiomiopati, miokarditis, insufisiensi katup mitral atau aorta, kelainan katup pulmonal dan lain-lain. 29
2. Gangguan relaksasi ventrikel Merupakan suatu bentuk gagal diastolik yang dapat disebabkan oleh kardiomiopati, stenosis katup mitral. PATOFISIOLOGI Disfungsi kardiovaskular disebabkan satu atau lebih dari lima mekanisme utama di bawah ini : 1. Kegagalan pompa Terjadi akibat kontraksi otot jantung yang lemah atau inadekuat atau karena relaksasi otot jantung yang tidak cukup untuk terjadinya pengisian ventrikel. 2. Obstruksi aliran Terdapat lesi yang mencegah terbukanya katup atau menyebabkan peningkatan kamar jantung, misalnya stenosis aorta, hipertensi sistemik atau koarktasio aorta. 3. Regurgitasi Regurgitasi dapat meningkatkan aliran balik beban kerja kamar jantung, misalnya ventrikel kiri pada regurgitasi aorta atau atrium serta pada regurgitasi mitral. 4. Gangguan konduksi Menyebabkan kontraksi miokardium yang tidak selaras dan tidak efisien. 5. Diskontinuitas sistem sirkulasi Mekanisme ini memungkinkan darah lolos, misalnya luka tembak yang menembus aorta. Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi gangguan pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan
cardiac
output.
Hal
ini
menyebabkan
aktivasi
mekanisme
kompensasi
neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron (system RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga. Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta vasokons-triksi perifer
30
(peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan pada fungsi jantung. Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung. Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didpatkan pada pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia. Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yang memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal.
MEKANISME KOMPENSASI Bila curah jantung karena suatu keadaan menjadi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh, maka jantung akan memakai mekanisme kompensasi. Mekanisme ini mencakup : 1. Mekanisme Frank-Starling Mekanisme kompensasi karena kenaikan beban awal (volume akhir diastolik) merangsang isi sekuncup yang lebih besar pada kontraksi berikutnya, yang membantu mengosongkan ventrikel kiri yang membesar. Dengan mekanisme semakin panjang serabut otot miokard makin besar kontraktilitas sehingga isi sekuncup meningkat. 2. Pertumbuhan hipertrofi ventrikel 31
Peningkatan ketebalan dinding ventrikel adalah suatu mekanisme kompensasi yang berfungsi untuk mengurangi stress dinding, dan peningkatan massa serabut otot membantu memelihara kekuatan kontraksi ventrikel. 3. Aktifasi neurohormonal Mekanisme kompensasi yang mencakup sistem saraf adrenergik, sistem renin-angiotensin, peningkatan produksi hormon antidiuretik, semua sebagai jawaban terhadap penurunan curah jantung.
MANIFESTASI KLINIS Pasien dengan gagal jantung harus memenuhi kriteria sebagai berikut : 1. Gejala-gejala dari gagal jantung dapat berupa sesak nafas saat istirahat dan atau saat beraktivitas, rasa lemah, kelelahan atau pembengkakan tungkai. 2. Tanda-tanda dari gagal jantung dapat berupa takikardia, takipneu, efusi pleura, peningkatan tekanan vena jugular, edema perifer atau hepatomegali. 3. Objektif ditemukannya abnormalitas dari struktur dan fungsional jantung berupa kardiomegali, suara jantung 3, kardiak murmur, abnormalitas ekokardiogram, peningkatan natriuresis.
32
DERAJAT Klasifikasi dari NYHA (New York Association Classification) : 1. Class I Penderita penyakit jantung tanpa limitasi aktivitas fisik, aktivitas fisik sehari-hari tidak menimbulkan dyspnoe atau kelelahan. 2. Class II Penderita penyakit jantung disertai sedikit limitasi dari aktivitas fisik, saat istirahat tidak ada keluhan, aktivitas sehari-hari menimbulkan dyspnoe atau kelelahan. 3. Class III Penderita penyakit jantung disertai limitasi aktivitas fisik yang nyata, saat istiahat tidak ada keluhan, aktivitas fisik yang lebih ringan dari aktivitas sehari-hari sudah menimbulkan dyspnoe atau kelelahan. 4. Class IV Penderita penyakit jantung yang tak mampu melakukan setiap aktivitas fisik tanpa menimbulkan keluhan, gejala-gejala gagal jantung bahkan mungkin sudah nampak saat istirahat, setiap aktivitas fisik akan menambah beratnya keluhan. DIAGNOSIS a. Pemeriksaan Fisik -
Gejala dan tanda sesak nafas
-
Edema paru
-
Peningkatan JVP
-
Hepatomegali
-
Edema tungkai
b. Pemeriksaan Penunjang -
Pada pemeriksaan foto toraks seringkali menunjukkan kardiomegali (rasio kardiotorasik (CTR) > 50%), terutama bila gagal jantung sudah kronis. Kardiomegali dapat disebabkan oleh dilatasi ventrikel kiri atau kanan, LVH atau kadang oleh efusi perikard. Derajat kardiomegali tidak berhubungan dengan fungsi ventrikel kiri.
33
-
Elektrokardiografi memperlihatkan beberapa abnormalitas pada sebaigian besar pasien (80-90%), termasuk gelombang Q, perubahan ST-T, hipertropi LV, gangguan konduksi, aritmia.
-
Ekokardiografi harus dilakukan pada semua pasien dengan dugaan klinis gagal jantung. Dimensi ruang jantung, fungsi ventrikel (sistolik dan diastolik), dan abnormalitas gerakan dinding dapat dinilai dan penyakit katub jantung dapat disinggirkan.
-
Tes darah direkomendasikan untuk menyinggirkan anemia dan menilai fungsi ginjal sebelum terapi di mulai. Disfungsi tiroid dapat menyebabkan gagal jantung sehingga pemeriksaan fungsi tiroid harus selalu dilakukan.
-
Pencitraan radionuklida menyediakan metode lain untuk menilai fungsi ventrikel dan sangat berguna ketika citra yang memadai dari ekokardiografi sulit diperoleh. Pemindahan perfusi dapat membantu dalam menilai fungsional penyakit jantung koroner.
PENATALAKSANAAN Pengobatan gagal jantung ditujukan pada beberapa aspek, yakni : 1. Mengurangi beban kerja, dengan membatasi aktivitas sesuai dengan beratnya keluhan, menghindari hal-hal yang memperberat kondisinya. 2. Memperkuat kontraktilitas miokard, dengan menggunakan obat-obat inotropik yaitu : -
Digitalis : untuk memperbaiki curah jantung pada keadaan dengan curah jantung rendah dan pada gagal jantung dengan takiaritmia.
-
Dopamin : bermanfaat pada gagal jantung dengan hipotensi dimana efek vasokonstriksi perifer diharapkan akan banyak membantu sirkulasi.
-
Dobutamin : bermanfaat pada gagal jantung berat dengan tekanan pembuluh baji baru yang tinggi namun tekanan sistemik dalam batas normal.
-
Amrinon : menyebabkan penurunan tekanan pengisian ventrikel kiri dan kanan dan meningkatkan curah jantung.
3. Mengurangi kelebihan cairan dan garam -
Diuretika : mengatasi retensi dan kelebihan beban cairan.
-
Nitrat : dilatasi pembuluh darah kapasitan, sehingga menyebabkan preload berkurang dan tekanan pembuluh baji baru serta tekanan pengisian ventrikel turun.
34
-
Vasodilator : mengurangi beban akhir, contoh penghambat ACE, nitrat long acting, prazosin, hidralazin.
4. Melakukan tindakan dan penngobatan khusus terhadap penyebab, faktor-faktor pencetus dan kelainan yang mendasari. -
Vuloplasti balon atau pembedahan bila terjadi stenosis gangguan mekanis akibat stenosis katup.
-
Angiografi koroner bila diduga menderita penyakit jantung koroner.
-
Pemasangan kateter Swan Ganz untuk pemantauan hemodinamik terutama tekanan vena sentral dan tekanan pembuluh baji paru.
D. GAGAL JANTUNG KANAN Gagal jantung kanan disebabkan oleh ventrikel kanan yang gagal, hal ini terjadi karena sisi kanan jantung tidak mampu mengosongkan volume darah dengan adekuat sehingga tidak dapat mengakomodasi semua darah yang secara normal kembali dari sirkulasi vena. ETIOLOGI 1. Jantung mendapat penambahan darah yang melebihi normal sehingga jantung harus bekerja lebih berat, contoh: ASD. 2. Jantung harus bekerja lebih berat daripada biasanya, sebab adanya tahanan yang lebih besar daripada tahanan normal, misalnya pada stenosis katup aorta atau katup pulmonal, cor pulmonal. 3. Kelemahan otot jantung sendiri, misalnya : a. Radang atau intoksikasi otot jantung pada penderita demam reumatik atau difteri b. Otot jantung kurang makanan, seperti pada anemia berat c. Perubahan-perubahan patologis dalam struktur jantung, misal, kardiomiopati, kelainan jantung kongenital (ASD, VSD, PDA) PATOFISIOLOGI Pada keadaan gagal jantung kanan akut karena ventrikel kanan tidak bisa berkontraksi dengan optimal, terjadi bendungan di atrium kanan dan vena kava superior dan inferior. Dalam keadaan 35
ini gejala edema perifer, hepatomegali, splenomegali belum sempat terjadi, tetapi yang mencolok adalah tekanan darah akan menurun dengan cepat sebab darah balik berkurang. Pada gagal jantung kanan yang kronis, ventrikel kanan pada saat sistol tidak mampu memompa darah keluar, sehingga seperti pada gagal jantung kiri pada saat berikutnya tekanan akhir diastol ventrikel kanan akan meninggi. Dengan demikian maka tekanan di atrium kanan juga akan meninggi dan hal ini akan diikuti bendungan darah di vena kava superior, vena kava inferior, serta seluruh sistem vena. Hal ini secara klinis dapat dilihat dengan adanya bendungan di vena jugularis eksterna, vena hepatica (sehingga menimbulkan hepatomegali), vena lienalis (splenomegali) dan juga terlihat bendungan di vena-vena perifer, dengan demikian tekanan hidrostatik di pembuluh kapiler akan meningkat melampaui tekanan koloid osmotik, maka terjadilah edema perifer. GEJALA KLINIS -
Edema perifer
-
Hepatomegali
-
Splenomegali
-
Teraba denyut di vena jugularis eksterna
-
Mual
-
Mudah lelah
DIAGNOSA Mendiagnosis gagal jantung kanan yaitu dengan memperhatikan tanda-tanda dan gejala sebagai berikut : 1. Gejala nonspesifik : kelelahan, anoreksia, mual-muntah 2. Tiga tanda pokok yaitu : takipnea, takikardia, dan hepatomegali (dengan/tanpa splenomegali) 3. Tanda klinis lain : a.
Edema perifer
b.
Ronkhi basah pada paru, terutama didaerah basal
c.
Irama gallop
d.
Keringat yang terus-menerus
e.
Kardiomegali 36
f.
Hipertrofi atrium kanan pada EKG Pemeriksaan perlu dilengkapi dengan alat diagnostik lain. Alat diagnostik yang paling sederhana untuk masa kini adalah pemeriksaan rontgenologi, elektrokardiografi (EKG) dan pemeriksaan darah. Di samping itu masih ada lagi pemeriksaan yang lebih canggih seperti pemeriksaan dengan ekokardiografi, baik cross-sectional, M-mode maupun Doppler. Pemeriksaan lain yang juga digunakan sebagai baku untuk diagnosis anatomi dan fisiologi penyakit jantung adalah pemeriksaan kateterisasi dan angiokardiografi. -
Rontgenogram dada : menampakkan kardiomegali dan pembesaran pembuluh darah arteri pulmonalis sampai tepi lapangan paru.
-
Elektrokardiografi : pada analisis elektrokardiografi yang perlu diperhatikan adalah frekuensi nadi serta irama dasarnya, mean sumbu QRS, gambaran P apakah normal, meninggi atau melebar, dan gambaran hipertrofi ventrikel kanan. Gambaran P yang meninggi pada salah satu hantaran merupakan pertanda hipertrofi atrium kanan. Hipertrofi ventrikel kanan pada EKG dapat dibedakan menjadi hipertrofi ventrikel tipe volume (volume overload) dan hipertrofi ventrikel tipe tekanan (pressure overload), sehingga dengan melihat gambaran elektrokardiografi saja dapat membedakan antara penyakit jantung kongenital dengan hubungan dari kiri ke kanan, misalnya ASD atau VSD, atau penyakit jantung obstruktif misalnya stenosis pulmonal atau aorta.
-
Ekokardiografi : sangat berguna menilai fungsi ventrikel. M-mode dapat menilai kuantitas ruang jantung dan shortening fraction yaitu indeks fungsi jantung sebagai pompa.
-
Pemeriksaan Doppler dan Doppler berwarna : dapat menambah informasi secara bermakna.
-
Pemeriksaan kardiologik invasif : pada kateterisasi jantung terdapat peninggian tekanan diastolik-akhir ventrikel kiri, kemudian atrium kiri dan baru tekanan v. Pulmonalis.
PENATALAKSANAAN Terdapat tiga aspek yang penting dalam menanggulangi gagal jantung : pengobatan terhadap gagal jantung, pengobatan terhadap penyakit yang mendasari dan pengobatan terhadap faktor pencetus. Termasuk dalam pengobatan medikamentosa yaitu mengurangi retensi cairan dan garam, meningkatkan kontraktilitas dan mengurangi beban jantung. Medikamentosa :
37
1. Digitalis (digoksin) Manfaat utamanya adalah akibat efek inotropiknya, yakni dalam menambah kekuatan dan kecepatan kontraksi ventrikel. Digoksin juga mengurangi tonus simpatis, menurunkan resistensi sistemik dengan vasodilatasi perifer, serta menurunkan frekuensi denyut jantung. Digoksin dimulai dengan dosis rumatan (maintenance) 2 x 0,125 mg atau 2 x ½ tablet dilanjutkan loading dose 0,01-0,03 mg/kgBB. 2. Obat inotropik parenteral -
Dobutamin menambah kontraktilitas jantung tanpa meningkatkan frekuensi jantung dengan bermakna, meningkatkan curah jantung dan menurunkan resistensi vaskular sistemik.
-
Amrinon mempunyai efek inotropik yang poten selain efek vasodilatasi.
3. Vasodilator -
Dominan pada arteri (arteriolar dilator), misalnya hidralazin
-
Dominan pada vena (venodilator) misalnya nitrat, nitrogliserin
-
Berimbang pada vena dan arteri (mixed dilator), yakni misalnya prazosin, kaptopril, nitroprusid
4. Diuretik Golongan diuretik bermanfaat mengurangi gejala bendungan. Obat yang sering dipakai adalah golongan tiazid, asam etakrinik, furosemid, dan golongan antagonis aldosteron.
38
BAB III PEMBAHASAN Cor pulmonale adalah suatu keadaan timbulnya hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan tanpa atau dengan gagal jantung kanan, timbul akibat penyakit yang menyerang struktur atau fungsi paru atau pembuluh darahnya. Oleh karena itu cor pulmonale merupakan salah satu penyebab gagal jantung kanan, yaitu keadaan di mana jantung bagian kanan tidak lagi mampu memompa darah ke jaringan untuk memenuhi kebutuhannya. Gejala klinis berupa hepatomegali, splenomegali, teraba denyut di vena jugularis eksterna dan edema perifer. ANAMNESA Pasien bernama Ny. Wati datang dengan keluhan : GEJALA KLINIS KETERANGAN Sesak nafas sejak pukul 20.00, terutama saat Tanda berkurangnya ventilasi paru pada berbaring dan beraktivitas, di malam hari dan cor pulmonal. hilang timbul. Nyeri dada kiri, hilang timbul, terutama saat Mengarah iskemik ventrikel kanan akibat beraktivitas.
hipertrofi
ventrikel
kanan
pada
cor
Dada sering berdebar-debar.
pulmonale atau gagal jantung kanan. Terjadi karena denyut jantung yang kuat, akibat beban kerja ventrikel kanan yang
Kedua kaki bengkak.
meningkat. Tanda edema perifer mengarah gagal
Mudah capai.
jantung kanan. Mengarah cor pulmonal dan gagal jantung
Demam. Batuk dengan dahak kental berwarna putih. Penurunan berat badan. Riwayat tuberculosis 5 tahun yang lalu.
kanan. Mengarah infeksi. Mengarah infeksi. Mengarah proses spesifik. Mengarah proses spesifik yang mungkin
Riwayat hipertensi sejak ± 1 tahun yang lalu.
untuk menjadi reaktif. Faktor resiko gagal jantung.
Patogenesis : 39
Ny. Wati ↓ Riwayat tuberculosis ± 5 tahun yang lalu ↓ Komplikasi : lesi fibrotik pada parenkim paru ↓ Penyakit paru restriktif ↓ Usaha berlebih untuk ambilan oksigen lebih banyak ↓ Vasokonstriksi arteri pulmonal ↓ Peningkatan resistensi vaskular arteri pulmonal ↓ Beban kerja ventrikel kanan meningkat ↓ Hipertrofi ventrikel kanan ↓ Ventrikel kanan makin lama tidak bisa berkontraksi dengan optimal ↓ Ventrikel kanan saat sistol tidak mampu memompa darah keluar ↓ Tekanan akhir diastol ventrikel kanan akan meninggi ↓ Tekanan di atrium akan meningkat ↓ Terjadi bendungan darah di vena kava superior dan inferior serta seluruh sistem vena ↓ Bendungan di vena jugularis eksterna JVP meningkat Bendungan vena hepatika hepatomegali Bendungan vena lienalis splenomegali 40
Bendungan vena perifer edema perifer PEMERIKSAAN FISIK TANDA KLINIS KETERANGAN - Pernafasan : 32 x/menit Kompensasi untuk ambilan oksigen yang - Dyspneu : (+) lebih banyak terhadap berkurangnya - Suara nafas dasar vesikuler, wheezing +/+, ventilasi paru karena penyakit paru rhonki +/+ restriktif sebagai akibat dari adanya lesi - Peningkatan JVP
: (+) ± 2 cm
fibrotik pasca tuberculosis. Terjadi bendungan di sistem vena termasuk vena
kava
mengakibatkan jugularis
superior
yang
juga
di
vena
bendungan
eksterna
sehingga
terjadi
peningkatan JVP. - Jantung : Hipertrofi ventrikel kanan akan I : iktus kordis terlihat di ICS 6 menyebabkan jantung bagian kanan akan midclavicula, tampak heavy lebih dekat dengan dinding dada, sehingga P : iktus kordis teraba dan kuat angkat P : batas jantung melebar, batas kiri ICS 6 denyut jantung semakin terlihat, dan midclavicula sinistra, batas kanan ICS 5 memberikan gambaran heavy. parasternal dextra, pinggang jantung ICS 5 Akibat dari hipertofi ventrikel kanan juga mengakibatkan batas jantung melebar. parasternal sinistra
A : bunyi jantung I dan II regular, mumur (+)
Bunyi murmur karena peningkatan tekanan vaskular
arteri
pulmonal
yang
dapat
mengakibatkan regurgitasi pulmonal. - Ekstremitas : tampak edema pada kaki kanan dan Terjadi karena bendungan di sistem vena kiri
sistemik
dan
vena
perifer
sehingga
mendesak cairan plasma ke ekstravaskuler. PEMERIKSAAN PENUNJANG WBC RBC HGB HCT PLT
PEMERIKSAAN LABORATORIUM : 11 x 10³ /mm3 %LYM 6 3 : 4.21 x 10 /mm %MON : 13.3 g/dl %GRA : 38.2 % #LYM : 284 x 10³ /mm3 #MON
: 18.5 % : 7.0 % : 74.5% : 2.0 x 10³ /mm3 : 0.7 x 10³ /mm3 41
PCT MCV MCH MCHC RDW MPV PDW
: 0.228 % : 86 μm3 : 30.1 pg : 34.8 g/dl : 13.8 % : 8.0 μm3 : 14.8 %
#GRA GLUCOSE UREUM CREATININE SGOT SGPT LED
: 8.3 x 10³ /mm3 : 75 mg/dl : 32 mg/dl : 1.0 mg/dl : 27 U/I : 10 U/I : 40’
Hasil pemeriksaan foto thorax :
Pada hasil pemeriksaan foto thorax terdapat : 1. Gambaran lesi fibrotik pasca tuberculosis disertai dengan gambaran tenting diafragma. Dimana keadaan tersebut dapat mengakibatkan gangguan fungsi paru baik penyakit paru obstruktif maupun penyakit paru restriktif, keduanya dapat menyebabkan penurunan ventilasi paru. Sehingga jantung akan bekerja lebih berat untuk kompensasi tubuh terhadap rendahnya kadar oksigen di dalam tubuh. Kerja jantung yang berat dapat menyebabkan hipertrofi jantung terutama ventrikel bagian kanan, dan komplikasinya dapat mengakibatkan gagal jantung kanan. 2. Tidak terdapat gambaran edema pulmo. 42
Hasil pemeriksaan EKG :
Pada hasil pemeriksaan EKG terdapat : 1. Gambaran takikardi dengan hitung nadi ± 150 kali/menit. 2. Gambaran iskemik ditandai oleh t terbalik. 3. Gambaran hipertrofi ventrikel kanan. PENATALAKSANAAN Planning Terapi di UGD : 1. 2. 3. 4.
Posisi ½ duduk Oksigen kanul 5 liter / menit Infus Ringer Laktat atau Dextrose 5% 10 tpm Injeksi Dexamethason 1 amp / i.m - Komposisi : Dexamethasone (amp: Na phosphate). - Indikasi : Asma, urtikaria, alergi, penyakit reumatik atau inflamasi yang membutuhkan terapi -
kortikosteroid. Kontraindikasi : Ulkus peptik, osteoporosis, infeksi akut, vaksin hidup, laktasi. 43
-
Efek samping : Retensi cairan dan elektrolit, peningkatan infeksi, sindrom cushing, amenorea,
hiperhoidrosis, osteonekrosis aseptik. Interaksi obat : Barbiturat, fenitoin, rifampisin. - Dosis pemakaian : Dewasa : Tablet 2-4 kali/hari. Ampul 0.5-9 mg/hari maksimal 80 mg/hari. Anak : Ampul 0.006-0.04 mg/kgBB 1-2 kali/hari. - Sediaan : Tablet 0.5mg. Ampul 5 mg/ml. 5. Injeksi Lasix 1 amp / i.v - Komposisi : Furosemide. - Indikasi : Tablet : edema jantung, ginjal dan hati, edema perifer karena obstruksi mekanis atau -
insufisiensi vena dan hipertensi. Ampul : terapi tambahan pada edema pulmonal akut, digunakan jika ingin terjadi diuresis -
lebih cepat dan tidak mungkin diberi oral. Kontraindikasi : Gagal ginjal akut dengan anuria, koma hepatik, hipokalemia, hiponatremia dan
-
hipovolemia. Efek samping : Gangguan pencernaan ringan, kehilangan Ca, K dan Na, metabolic alkalosis, diabetes,
-
syok anafilaktik, reaksi alergi. Interaksi obat : Aminoglikosida, sisplatin, penghambat ACE, indometasin. Dosis pemakaian : Dewasa : Tablet untuk edema 20-80 mg dosis tunggal dapat dinaikkan sampai 600
mg/hari. Ampul 20-40 mg iv/im. Anak : 1-2 mg/kgBB dosis tunggal maksimal 6 mg/kgBB. - Sediaan : Tablet 40 mg. Ampul 20 mg/ 2 ml. 6. Injeksi Aminofilin ½ amp / i.v bolus - Komposisi : Aminophylline. - Indikasi : Pengobatan dan pencegahan bronkospasme dan inflamasi yang berhubungan dengan -
asma, emfisema dan bronchitis kronik. Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap golongan xantin. Efek samping : Mual, muntah, nyeri perut, diare, sakit kepala, insomnia, pusing, cemas, tremor, palpitasi. Interaksi obat : 44
Simetidin, eritromisin, rifampisin. - Dosis pemakaian : Dewasa : tablet 1-2 tab 2 kali/hari. 250-500 mg/hari iv. Anak : 6-12 tahun 50-100 mg/hari, 1-5 tahun 25-50 mg/hari, 0-1 tahun 10-25 mg/hari. - Sediaan : Tablet 225 mg. Ampul 24 mg/ml. 7. Injeksi Aminofilin 1½ amp / i.v drip - Komposisi : Aminophylline. - Indikasi : Pengobatan dan pencegahan bronkospasme dan inflamasi yang berhubungan dengan asma, emfisema dan bronchitis kronik. Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap golongan xantin. - Efek samping : Mual, muntah, nyeri perut, diare, sakit kepala, insomnia, pusing, cemas, tremor, palpitasi. - Interaksi obat : Simetidin, eritromisin, rifampisin. - Dosis pemakaian : Dewasa : tablet 1-2 tab 2 kali/hari. 250-500 mg/hari iv. Anak : 6-12 tahun 50-100 mg/hari, 1-5 tahun 25-50 mg/hari, 0-1 tahun 10-25 mg/hari. - Sediaan : Tablet 225 mg. Ampul 24 mg/ml. 8. Nifedipin 10 mg p.o - Komposisi : Nifedipine. - Indikasi : Pencegahan dan pengobatan insufisiensi koroner akut dan kronik, terapi penyerta -
-
hipertensi. Kontraindikasi : Hipersensitivitas dihidropiridin, syok kardiovaskular, 8 hari pertama sesudah infark
miokard, hamil, laktasi. - Efek samping : Sakit kepala, edema, vasodilatasi, konstipasi, gelisah. - Interaksi obat : Antihipertensi, simetidin, digoksin, kuinidin. - Dosis pemakaian : Tablet 5-10 mg 3 kali/hari. - Sediaan : Tablet 5 mg, 10 mg. 9. Aspilet 300 mg p.o - Komposisi : Acetylsalicylic acid. - Indikasi : Pengobatan dan pencegahan angina pectoris dan infark miokardium. 45
-
-
Kontraindikasi : Gangguan perdarahan, asma, ulkus peptikum aktif. Efek samping : Ulkus peptikum, gangguan GI, peningkatan waktu perdarahan, hipoprotrombinemia, reaksi hipersensitif, pusing, tinitus. Interaksi obat : Alcohol, antikoagulan, probenesid, sulfonylurea. Dosis pemakaian : 1 tablet 1 x/hari. Sediaan : Tablet 100 mg.
Planning terapi di ruang perawatan : 1. 2. 3. 4.
Posisi ½ duduk Oksigen kanul 2 liter / menit Infus D5 + 1 aminophilin 10 tpm Infus ciprofloxacin 2x0.2 - Komposisi : Ciprofloxacin lactate. - Indikasi : Infeksi saluran nafas, saluran kemih dan gangguan GIT, GO dan septicemia. - Kontraindikasi : Hipersensitifitas, hamil, laktasi, anak < 18 tahun. - Efek samping : Gangguan GI, sakit kepala, pusing, insomnia, agitasi, tremor, rekasi hipersensitifitas,
gagal ginjal, takikardi, palpitasi Interaksi obat : Teofilin, siklosporin, probenesid, antikoagulan oral, metoklopramid. - Dosis pemakaian : Dewasa : tablet 250-750 mg 2 kali/hari po. Ampul 100-200 mg 2 kali/hari. - Sediaan : Tablet 250-500 mg. Ampul 200 mg/ 100 ml 5. Injeksi lasix 1x1 - Komposisi : Furosemide. - Indikasi : Tablet : edema jantung, ginjal dan hati, edema perifer karena obstruksi mekanis atau -
insufisiensi vena dan hipertensi. Ampul : terapi tambahan pada edema pulmonal akut, digunakan jika ingin terjadi diuresis -
lebih cepat dan tidak mungkin diberi oral. Kontraindikasi : Gagal ginjal akut dengan anuria, koma hepatik, hipokalemia, hiponatremia dan hipovolemia. 46
-
-
Efek samping : Gangguan pencernaan ringan, kehilangan Ca, K dan Na, metabolic alkalosis, diabetes, syok anafilaktik, reaksi alergi. Interaksi obat : Aminoglikosida, sisplatin, penghambat ACE, indometasin. Dosis pemakaian : Dewasa : Tablet untuk edema 20-80 mg dosis tunggal dapat dinaikkan sampai 600
mg/hari. Ampul 20-40 mg iv/im. Anak : 1-2 mg/kgBB dosis tunggal maksimal 6 mg/kgBB. - Sediaan : Tablet 40 mg. Ampul 20 mg/ 2 ml. 6. Injeksi interpril 5 mg 0-0-1 - Komposisi : Lisinopril - Indikasi : Hipertensi esensial dan renovaskular, terapi tambahan gagal jantung kongestif. - Kontraindikasi : Angioneurotik edema karena terapi ACE inhibitor. - Efek samping : Pusing, sakit kepala, diare, lelah, batuk, mual, ruam kulit, edema angioneurotik, hiperkalemia. - Interaksi obat : Diuretik. - Dosis pemakaian : Dewasa : tablet awal 2.5 mg/hari, pemeliharaan 10-20 mg/hari, maksimal 40 mg/hari - Sediaan : Tablet 5 mg, 10 mg. 7. Spirolacton 2x25 - Komposisi : Spironolactone. - Indikasi : Hipertensi esensial, edema pada gagal jantung, sindroma nefrotik, sirosis hati, -
-
hiperaldosteronisme. Kontraindikasi : Hiperkalemia, gagal ginjal progresif, anuria. Efek samping : Sakit kepala, mengantuk, gangguan GI, ataksia, kebingungan mental, ketidakteraturan menstruasi, impotensi, ruam kulit, ginekomastia. Interaksi obat : ACE inhibitor, digoksin. Dosis pemakaian : Dewasa : 25 – 200 mg/hari dalam dosis terbagi, dapat ditingkatkan sampai 400 mg/hari. Anak : 3 mg/kgBB/hari dosis terbagi. Sediaan : 47
Tablet 25 mg, 100 mg. 8. Glyceril Guaiacolat 3x1 - Komposisi : Glyceryl guaiacolat. - Indikasi : Meringankan batuk dan flu. - Kontraindikasi : Hipertensi berat, penyakit jantung koroner, terapi MAOI, nefropati. - Efek samping : Mengantuk, pusing, mulut kering, ruam kulit. - Interaksi obat : MAOI. - Dosis pemakaian : Dewasa : 1 tablet / 10 ml 3-4 kali/hari. Anak : 6-12 tahun ¼- ½ tablet atau 5 ml, 2-6 tahun 2.5 ml 3-4 kali/hari. - Sediaan : Tablet 10 mg. Sirup 100 ml. 9. Vostrin 3x1 cth - Komposisi : Erdostein. - Indikasi : Mukolitik pada infeksi saluran napas akut dan kronik. - Kontraindikasi : Sirosis hepatic, defisiensi sistationin sintetase, gangguan hati berat. - Efek samping : Mual, muntah, nyeri lambung, diare, sakit kepala. - Dosis pemakaian : Dewasa : 1 kapsul 2-3 kali/hari. Anak : BB > 30kg 10 ml 2 kali/hari, BB 20-30kg 5 ml 3 kali/hari, BB 15-19kg 5 ml 2 kali/hari. - Sediaan : Kapsul 300 mg. Sirup kering 175 mg x 60 ml. 10. Injeksi ranitidin 2x1 - Komposisi : Ranitidine. - Indikasi : Tukak lambung, refluks esofagitis, tukak peptic, sindrom Zollinger-Ellison. - Efek samping : Sakit kepala, pusing, mengantuk, takikardi, bradikardi, insomnia, artralgia, mialgi, -
gangguan GI. Interaksi obat : Warfarin. Dosis pemakaian : Dewasa : Tablet 150 mg 2 kali/hari atau 300 mg 1 kali/hari. Ampul 50 mg/ 2 ml im tiap 6-8 jam, 50 mg/ 2 ml iv bolus/infus tiap 6-8 jam. 48
-
Sediaan : Tablet 150 mg. Ampul 50 mg x 2 ml 11. Lameson 3x1 tab - Komposisi : 6α- methylprednisolone. - Indikasi : Kondisi alergi dan inflamasi, penyakit reumatik, penyakit autoimun, penyakit endokrin, -
gangguan hematologik, sindroma nefrotik. Kontraindikasi : Tuberculosis, penyakit jamur sistemik, herpes simpleks, DM, varisela, osteoporosis berat. Efek samping : Retensi Na dan cairan, gangguan metabolism karbohidrat, lemah otot, osteoporosis. Interaksi obat : Antidiabetik, AINS, rifampisin, babiturat. Dosis pemakaian : Dewasa : awal 4-48 mg/hari diturunkan bertahap. Anak : 0.8-1.1 mg/kgBB Sediaan : Tablet 4 mg, 8 mg, 16 mg.
49
DAFTAR PUSTAKA Alsagaff,H., Mukty,H.A. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University Press Anonim. 2011. Primary Right Heart Failure. Didapat dari : http://www.docstoc.com/docs / 41513244/Primary-Right-Heart-Failure diakses pada tanggal 8 Desember 2012 Corwin,E.J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC,. p. 437-8 Djauzi,S., Sundaru,H., Mahdi,D. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Fedullo,P.F., et all. 2001. Chronic thromboembolic pulmonary hypertension. Didapat dari : http://www.medscape.com/medline/abstract/11794196 diakses pada tanggal 8 Desember 2012 Mansjoer,A., Suprohaita, Wardhani. 2000.
Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2002. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Didapat dari : http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.pdf diakses pada tanggal 8 Desember 2012 Price,S.A., Lorraine,M.W. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed. 6. Jakarta: EGC 50
Rilantono,L.I., et all. 2004. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Santoso,A., dkk. 2012. MIMS. Vol.13. Jakarta : Bhuana Ilmu Populer Wiedemann,H.P. 1999. Cor Pulmonale. Didapat dari : http://cmbi.bjmu.edu.cn/uptodate/vascular %20medicine/pulmonary%20hypertension/cor%20pulmonale.htm diakses pada tanggal 8 Desember 2012
51