BAB 8.
AERODINAMIKA, GEOMETRI SAYAP DAN EKOR 8.1. AERODINAMIKA 8.2. AIRFOIL AND WING GEOMETRY 1.
Airfoil Dalam proses desain beberapa parameter harus ditentukan terlebih
dahulu nilainya. Parameter-parameter tersebut meliputi tipe airfoil, geometri sayap dan ekor, pembebanan pada sayap, perkiraan takeoff gross weight, thrust to weight ratio atau horsepower to weight ratio, estimasi berat bahan bakar, estimasi dimensi sayap, ekor dan engine, serta dimensi fuselage yang diperlukan. Airfoil yang digunakan berpengaruh pada cruise speed, jarak takeoff dan landing, stali speed, handling quality ( terutama saat mendekati stali ) dan efisiensi aerodinamis secara keseluruhan selama semua fase penerbangan.
Pada awalnya, kebanyakan airfoil mempunyai bagian bawah yang datar, sedangkan upper surface-nya membentuk camber ( kelengkungan ).
Perkembangan berikutnya, airfoil dengan lower surface berbentuk lengkungan mulai digunakan, yang dikenal dengan "double-cambered airfoils". Demikian juga airfoil dengan lower surface berbentuk cekung ( concave ) yang disebut "under-cambered airfoil". 1.1.
Airfoil Lift and Drag Gambar a. menggambarkan flowfield disekitar airfoil tertentu dari
sejumlah vektor-vektor kecepatan aliran udara, dengan panjang vektor yang menggambarkan besarnya kecepatan lokal. Dalam Gambar b. menunjukkan vektor kecepatan lokal dikurangi vektor kecepatan free-stream, yang tersisa hanya perubahan airflow, yang mans tampak mengitari disekeliling airfoil (sirkulasi). Sirkulasi diberi simbul dan yang digambar sebagai aliran melingkar seperti pada Gambar c. Sudut serang a dan/atau airfoil camber menyebabkan terjadinya sirkulasi tersebut, sehingga udara diatas wing bergerak lebih cepat dibanding dengan yang dibawah wing. Menurut Bernoulli, kecepatan yang lebih tinggi akan menghasilkan tekanan yang lebih rendah. Jadi upper surface dari airfoil cenderung diisap ( ditarik ke atas, oleh tekanan yang lebih rendah dari tekanan udara sekeliling ( free stream) Sementara itu lower surface dari airfoil cenderung ditekan ( didorong ) keatas, oleh tekan yang lebih tinggi dari tekanan free stream. Integritas perbedaan tekanan udara antara upper surface dan lower surface dari airfoil im menyebabkan adanya gaya angkat (lifting force).
Gambar 6. Airfoil flowfield & circulation Sebuah bidang datar yang membentuk sudut terhadap arah datangnya angin akan menghasilkan lift. Contoh yang paling sederhana adalah layang-layang. Bila kecepatan udaranya mencukupi dan membentuk sudut terhadap layang-layang, maka layang-layang tersebut akan bisa melayang-layang di udara, yang berarti telah timbul gays lift, Meskipun plat datar dapat menghasilkan lift, tetapi udara yang lewat diatasnya mempunyai kecenderungan untuk separasi ( memisahkan dirt ) dari permukaan sehingga mengganggu aliran. Oleh karena itu akan teriadi pengurangan lift dan penambahan drag yang besar ( Gambar 7).
Gambar 7. Efek camber pada separasi
Sementara itu, airfoil yang melengkung (bercamber) menjadikan aliran udara akan tetap menempel pada permukaan, sehingga terjadi penambahan lift dan pengurangan drag. Penambahan lift tersebut dikarenakan bertambahnya sirkulasi aliran udara. Pada kenyataannya, sebuah airfoil yang memiliki camber akan menghasilkan lift meskipun antara chord line clan udara yang datang tidak membentuk sudut ( AoA = 0 ) 1.2.
Airfoil Family Berbagal macam bentuk airfoil, sebagaimana tampak pada Gambar 8.)
"Early airfoil" kebanyakan dikembangkan dengan metode trial and error. Pada tahun 1930-an, NACA mengembangkan "four digit airfoil". Di masa sekarang ini (1990-an ) four digit airfoil yang tidak memiliki camber jarang digunakan untuk perancangan wing, tetapi masih banyak digunakan untuk tail dari subsonic aircraft. Dalam perkembangan selanjutnya, dikembangkanlah "NACA five-digit airfoil", yang menggeser posisi camber maksimum ke arah depan, sehingga diperoleh lift maksimum yang lebih tinggi. Sedangkan "NACA six-digit airfoil" dirancang untuk menambah daerah aliran laminar sehingga ada pengurangan drag.
Gambar 8. Macam-macam airfoil Berbagai metode dikembangkan untuk merancang suatu airfoil sedemikian rupa sehingga perbedaan tekanan antara bagian atas dan bawah airfoil dengan cepat dapat dicapai harga maksimumnya, tanpa terjadinya separation. Mendekati trailing edge, sering kali digunakan (dipakai) pressure recovery schemes (susunan pengendali tekanan) yang bertujuan untuk mencegah terjadinya separation didekat trailing edge. Pertimbangan lain dalam perancangan "modem airfoil" adalah bagaimana agar dapat mempertahankan aliran supaya tetap laminar. Aliran laminar dapat dipertahankan asalkan gradien tekanannya berharga negatif, misalnya dengan menurunkan tekanan secara kontinyu dari leading edge sampai pada posisi terakhir
trailing edge. Disini ada kecenderungan suction ( menghisap ) aliran kearah belakang sehiingga aliran akan terus laminar. Gambar
9
menunjukkan
airfoil
beraliran
laminar
dan
distribusi
tekanannya.
Gambar 9. Laminar airfoil Sebuah airfoil yang menghasilkan lift, maka kecepatan udara yang lewat pada permukaan atas akan bertambah. Jika aircraft akan terbang sedikit di bawah kecepatan suara, maka gerakan udara di atas upper surface yang lebih cepat itu akan mencapai kecepatan supersonic, yang menyebabkan timbulnya shock (perubahan secara mendadak dan tajam) pada upper surface. Kecepatan dimana aliran supersonic pertama kali tercapai) disebut "critical much number" (Mcrit). Shock tersebut sangat merugikan karena akan ada energi yang hilang. Upper surface shock tersebut menyebabkan adanya penambahan yang besar pada drag, penurunan lift dan perubahan pitching moment. Penambahan drag tersebut terjadi bukan saja karena kehilangan energi, tetapi juga karena adanya efek kenaikan tekanan secara mendadak sehingga terjadi penebalan atau bahkan pemisahan lapis batas. Untuk meminimalkan efek tersebut dirancanglah "supercritical airfoil"'.
1.3.
Airfoil Thickness Ratio ( t/c) Airfoil thickness ratio berpengaruh pada drag, maximum lift, karakteristik
stali dan berat struktur. Drag akan bertambah seining dengan bertambahnya t/c, yang dikarenakan bertambahnya separation. Thikness ratio juga mempengaruhi Mcrit, yaitu semakin besar t/c maka Mcrit semakin kecil. Sebuah supercritical airfoil cenderung untuk meminimalkan shock formation, dan dapat digunakan untuk menurunkan drag (untuk t/c yang diberikan), atau memungkinkan untuk memakai airfoil yang lebih tebal pada level drag yang sama. Thickness ratio berpengaruh pada maximum lift dan karakteristik stall, terutama berpengaruh pada bentuk nose dari airfoil. Untuk wing dengan AR yang agak tinggi dan sweep A yang sedang, airfoil nose radius yang lebih besar menghasilkan sudut stali dan CLmax yang lebih besar. Thickness ratio juga berpengaruh pada berat struktur wing. Persamaan statistik untuk wing weight menunjukkan bahwa berat struktur wing berbanding terbalik dengan t/c. Pengurangan separoh thickness ratio, akan menaikkan wing weight sebesar 41% atau 6% dari total empty weight. 2.
Wing Geometry Reference wing ( trapezoidal ) adalab bentuk dasar geometri wing, yang
digunakan untuk memulai perancangan. Reference wing tersebut adalah khayalan (semu), dan menembus fuselage sampai pada aircraft centerline. Jadi reference wing area meliputi bagian reference wing yang menancap ke fuselage. Untuk reference wing, root airfoil-nya adalah airfoil dari trapezoidal reference wing yang terletak di aircraft centerline, bukan ditempat dimana actual wing berpotongan ( intersection ) pada fuselage. Mean aerodynamic chord adalah chord c dari airfoil, yang terletak pada jarak Y dari aircraft center line. Wing ( secara keseluruhan) memiliki MAC yang terletak dibagian yang sama pada MAC seperti halnya pada airfoil itu sendiri. Aeodynamic chord penting untuk perhitungan stabilitas. Bentuk reference wing dipengaruhi oleh aspect ratio AR, taper ratio , dan sweep A. 2.1.
Aspect Ratio ( AR) Pada
pengujian
dalam
terowongan
angin yang
dilakukan Wright
bersaudara ditemukan bahwa untuk lift yang diberikan pada dua macam wing, maka pada wing yang panjang-ramping ( high aspect ratio ) mempunyai drag yang lebih kecil
dibandingkan pada wing yang pendek-gemuk ( low aspect ratio). Hal ini dikarenakan adanya efek 3-D. Aspect ratio didefinisikan sebagai perbandingan antara kuadrat span (b2) dengan reference wing area ( S ). Sebuah wing menghasilkan lift karena adanya penurunan tekanan pada upper surface dan kenaikan tekanan pada lower surface. Di ujung sayap, udara dari bagian bawah wing akan seperti "escape" (lepas) menuju ke bagian atas wing. Pada sayap 3-D, udara dapat melepas ke atas yaitu di sekitar wing tip. Udara yang escape tersebut memperkecil perbedaan tekanan antara upper and lower surface dari wing, yang berarti terjadi pengurangan lift didaerah tersebut. Dan juga aliran udara disekitar tip tersebut mengalir membentuk circular path (jalur melingkar) ketika tampak dari depan, dan berefek mendorong wing kebawah. Efek yang paling kuat dirasakan didekat tip, yang mana akan memperkecil efektif dari wing airfoil. Aliran melingkar ( wing tip vortex ) tersebut secara kontinyu akan membentuk pola aliran kearah belakang wing.
Gambar 12. Effect AR pada lift
Gambar 13. Maximum lift to drag ratio trend
Berdasarkan definisi aspect ratio, untuk wing area yang sama, maka high aspect ratio wing mempunyai ujung-ujung yang terpisah lebih jauh dibanding dengan low aspect ratio wing. Sebagai akibatnya, pengaruh wing tip vortex tidak begitu dirasakan (lebih sedikit ) dibanding dengan low aspect ratio wing. Oleh karena itu pada high aspect ratio wing tidak banyak kehilangan lift dan penambahan drag ( yang dikarenakan pengaruh tip-nya ). Ketika wing area dan Swet /Sref dianggap konstan ( pada umumnya ) maka (L/D)max ( subsonic aircraft ) berbanding lurus dengan akar kuadrat dari penambaban AR ( Gambar 13 ). Disisi lain, berat wing jugs akan bertambah seiring dengan bertambahnya AR. Karenanya pada high speed aircraft digunakan wing dengan low AR dengan tujuan untuk memperkecil berat dari wing tersebut. Pengaruh lain dari perubahan AR adalah adanya perubahan sudut stali (stall ). Akibat berkurangnya eff pada tip, maka low aspect ratio wing akan mengalami stali pada a yang lebih tinggi dibanding dengan high aspect ratio wing ( Gambar 12 ). Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa pada tail cenderung dipakal low aspect ratio. Dengan adanya penundaan stali pada tail, maka menjadikan tail sebagal kontrol yang cukup meyakinkan disaat wing mengalami stall. Sebaliknya, canard ( yang terbuat dari high aspect ratio airfoil ) dapat mengalami stali sebelum wing stall. Hal ini sebagai informasi bagi pilot, bahwa bila canard telah stall, maka pilot dapat bersiapsiap untuk mengantisipasi terjadinya wing stall. Adanya canard dapat dilihat pada beberapa, pesawat jenis homebuilt dan bisnis ( executive). 2.2.
Wing Sweep (A) Wing sweep ( Gambar 11 ) itu ada dua macam. Yang pertama, dalam
kondisi supersonic flight, dimana sweep adalah sudut yang terbentuk antara wing leading edge dan horizontal (planform position). Semakin besar sweep tersebut maka semakin kecil drag yang terjadi. Definisi kedua adalah dalam kondisi subsonic flight, dimana sweep adalah sudut antara quarter chord line dan horizontal ( planform ). Persamaan yang menggambarkan hubungan dari kedua jenis sudut sweep tersebut adalah:
Pada dasamya wing sweep digunakan untuk mengurangi efek yang merugikan dari aliran transonik dan supersonic. Seperti kits ketahui, dalam aliran transonic dan supersonic akan timbul shock formation ketika aircraft mencapal
kecepatan suara. Shock formation tersebut mengakibatkan adanya penambahan yang besar pada drag, penurunan lift dan peruhaban pitching moment. Alasan
lain
penggunaan
wing
sweep
adalah
guna
mencapai
kesetimbangan aircraft. Pada aircraft dengan konfigurasi canard dan pusher engine biasanya sebagian besar distribusi berat aircraft berada di belakang. Distribusi berat seperti itu memerlukan wing sweep untuk menggeser aerodynamic center jauh ke belakang untuk mencapai kesetimbangan. Wing sweep bersama aspect ratio akan mempengaruhi karakteristik pitchup suatu wing, yang merupakan tendensi yang sangat dihindari pada aircraft. Pitch-up merupakan kecenderungan bertambah-besamya AoA suatu aircraft secara tiba-tiba dan tak terkontrol ketika mendekati stall -nya. Aircraft akan mengalami efek pitch-up secara kontinyu hingga terjadi stali dan keluar total dari kontrol. Pada F-16 fighter, untuk mencegah masalah pitch-up yang tajam, maka (-nya dibatasi oleh komputer, yaitu sebesar 25°). Kecenderungan wing untuk mengalami pitch-up akibat pemilihan aspect ratio AR dan wing sweep dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Effect wing sweep pada pitch-up
Untuk high speed flight, konfigurasi swept wing lebih sesuai. Untuk cruise, takeoff dan landing, konfigurasi unswept wing lebih sesuai. Untuk mengatasi masalah ini, pilihan yang cocok adalah digunakannya variable sweep wing, yang mana harga A dapat diatur sesuai dengan yang diinginkan. Variable sweep wing pertama kali diujiterbangkan pada tahun 1950-an, dan sekarang dapat dilihat pada fighters, seperti F14, B- I B, dan Backfire ( Soviet ). 2.3.
Taper Ratio () Taper ratio dari wing (X) adalah perbandingan antara tip chord dan center
line root chord. Untuk low sweep wing, mempunyai harga antara 0,4 - 0,5. Sedang untuk swept wing, harga X antara 0,2 - 0,3. Taper ratio mempengaruhi distribusi lift disepanjang wing span. Seperti yang dibuktikan oleh Prandti pada awal abad ini, bahwa minimum induced drag (drag due to lift) terjadi ketika lift terdistribusi dalam bentuk elliptis. Untuk untwisted dan unswept wing, terjadinya ketika wing yang tampak dari atas berbentuk ellip, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 15.
Gambar 15. Elliptical wing Elliptical wing planform tersebut sulit dan mahal untuk pembuatannya. Sedang yang paling mudah dibuat adalah rectangular wing yang memiliki milai ~1,0 ( untapered ), yang mana panjang chord-nya konstan disepanjang span. Sehingga bila dibanding dengan ideal elliptical wing, maka semakin mendekati tip, selisih panjang chord-nya semakin besar. Karena itu terjadi muatan lebih (loads up ) pada tip, yang mengakibatkan lift di tip berlebihan dari idealnya. Dengan AR yang sama, maka pada untapered rectangular wing terjadi kenaikan drag sebesar ± 7% bila dibandingkan dengan elliptical wing. Ketika rectangular wing diberi taper, artinya tetap berbentuk segi empat tetapi semakin ke ujung dibuat semakin pendek chord line-nya, sehingga dapat
mengurangi efek yang tidak diinginkan, yaitu loads up pada tip chord. Contoh tapered rectangular wing adalah pada Boeing 747. Untuk unswept wing maka harga , = 0,45 sudah dapat mengeliminasi efek tersebut dan menghasilkan distribusi lift yang tepat pada elliptical ideal ( Gambar 16 ). Drag yang dihasilkan hanya kurang dari 1% lebih besar dari idealnya pada elliptical wing). 2.4.
Twist ( 0º- 5º) Ada dua macam istilah yang digunakan. Pertama, "geometric twist", adalah
perubahan sudut incidence antara tip airfoil dan root airfoil. Yang kedua adalah "aerodynamic twist", yaitu sudut yang dibentuk zero lift angle (ol) suatu airfoil terhadap, zero lift angle (ol) dari root airfoil. Jika dari root ke tip digunakan tipe airfoil yang sama, maka aerodynamic twist sama dengan geometric twist. Disisi lain, wing yang tidak memiliki geometric twist dapat memiliki aerodynamic twist, misalnya root airfoil-nya simetri(ol = 0º°) tetapi tip airfoil-nya highly cambered (ol = # 0) Besamya total aerodynamic twist adalah sebagai berikut: Total Aerodynamic twist = geom.twist +ol-root-ol-tip Usaha-usaha untuk optimasi distribusi lift dengan cara twisting pada wing akan valid hanya pada koefisien lift tertentu saja ( pada satu nilai CL ). Pada koefisien lift yang lain, optimasi twist tersebut tidak akan membawa manfaat. Hal ini menjadi alasan mengapa harga twist > 5 harus dihindari, selain tidak membawa manfaat, juga sulit mengoptimasinya. Untuk perencanaan awal, historical data dapat digunakan. Pada umumnya, harga 3º twist sudah cukup memadai untuk memperbaiki karakteristik stall. 2.5.
Wing Incidence Wing incidence adalah besamya sudut pitch antara wing dan fuselage.
Untuk untwisted wing, wing incidence merupakan sudut antara sumbu fuselage dan wing chord airfoil. Sedangkan untuk twisted wing, wing incidence dinyatakan terhadap wing root chord yang intersect dengan fuselage. Sering kali wing incidence itu diberikan pada root dan tip dari wing, yang kemudian mendefinisikan twist sebagai perbedaan antara keduanya. Wing incidence digunakan untuk meminimalkan drag pada beberapa operating condition, terutama pada saat cruise. Nilai wing incidence dipilih pada harga dimana saat wing berada pada AoA yang tepat untuk flight condition yang dipilih, maka fuselage-nya berada pada AoA dimana drag-nya minimum.
Untuk perencanaan awal, dapat diasumsikan bahwa untuk general aviation aitcraft dan homebuilt aircraft mempunvai wing incidence angle 2° , untuk transport aircraft ± 10°, dan untuk military aircraft ± 0°, 2.6.
Dihedral Dihedral adalah sudut yang terbentuk antara wing dengan horizontal
(tampak depan ). Seringkali, sudut dihedral diatur berdasarkan besamya sudut yang diperlukan untuk menghindarl agar wing tip tidak menyentuh landasan selama bad landing landing yang tidak sempurna Sebenarriya, penerapan dihedral ( dan wing sweep ) mempunyai efek negatif pada aircraft, yaitu "Dutch Roll". Dutch roli mcrupakan gerakan dari samping ke samping yang berulang-ulang, yang meliputi gerakan yaw dan roll. Untuk melawan tendansi dutch roll, maka luasan dari vertical tail harus ditambah ( sebagai rudder control ), yang berarti menambah berat dan drag. Sudut dihedral diestimasi dari historical data. Tabel 2.1 menyediakan estimasi awal untuk sudut dihedral. Tabel 2.1. Dihedral guidelines
2.7.
Wing Vertical Location Lokasi vertikal sayap terhadap fuselage pada umumnya ditentukan oleh
kebutuhan atau disesuaikan dengan kondisi dimana aircraft itu akan dioperasikan. Sebagai contoh : commercial transport aircraft berkecepatan tinggi menggunakan low wing, tetapi pada military transport aircraft yang didesain pada mission profile dan payload weight yang sama, menggunakan high wing. a.
High wing Keuntungan utama high wing adalah memungkinkan penempatan fuselage dekat dengan landasan, sehingga memudahkan loading ( pemuatan ) maupun unloading kargo aircraft. Susunan tersebut banyak digunakan untuk military aircraft seperti C-5, C141, dan freighter ( pesawat angkut ) lainnya. Yang mana pada aircraft tersebut menempatkan ruang kargo hanya sekitar 4 - 5 ft dari landasan, yang merupakan ketinggian kargo pada kebanyakan truck.
Dengan high wing, maka jet engine ataupun propeller akan mempunyai ground clearance yang cukup, sehingga tidak memerlukan landing gear yang terlalu panjang. Karenanya, berat landing gear bisa berkurang. Juga, wing tip dari swept high wing tidak akan menyentuh tanah ketika aircraft dalam keadaan nose high.
Gambar 17. High wing Manfaat lainnya adalah wing box diletakkan diatas fuselage, yang jelas lebih balk bila dibandingkan dengan diletakkan menembus, fuselage. Ketika wing box dipasang menembus fuselage, maka fuselage harus dikeraskan terutama disekitar bidang potong antara wing - fuselage. Hal ini mengakibatkan bertambahnya berat fuselage. Karenanya lebih tepat bila wing box diatas fuselage. Meski demikian, peletakan wing box diatas fuselage akan menambah drag, yang dikarenakan bertambahnya frontal area. Juga, dengan high wing, maka engine dan propeller (yang tipe wing mounted) akan terhindar dari puing-puing dan batu-batu beterbangan. Kerugiannya adalah : pada umumnya berat fuselage bertambah, karena fuselage tersebut harus diperkuat untuk mendukung beban yang ditahan landing gear, walaupun berat landing gear itu sendiri berkurang. Dalam banyak kasus, diperlukan adanya tambahan ruang untuk landing gear, yang biasa disebut extemal blister, yaitu ruang tarnbahan yang menonjol keluar yang ditempelkan dibagian bawah sisi sarnping dari fuselage. Hal ini jelas menambah berat dan drag. Pada high wing, digunakan flattened bottom fuselage untuk mendapatkan tinggi lantal kargo yang sesual. Flattened bottom ini lebih berat dari pada bentuk fuselage yang circular. Jika bagian atas fuselage berbentuk circular, maka diperlukan fairing pada bidang temu wing dengan fuselage. Untuk small aircraft, susunan high wing dapat mengganggu pandangan pilot pada saat climb dan pada saat menoleh ketika akan belok.
b.
Mid wing Pada susunan ini, di-mana fuselage berbentuk circular dan tidak menggunakan fairing, memberikan drag yang terkecil. Sedang pada high wing dan low wing harus menggunakan fairing untuk memperoleh interfensi drag yang sesual dengan fuselage yang circular. Susunan mid wing mempunyal wing ground clearance yang cukup, sehiingga sangat bermanfaat terutama pada desain fighter yang menggunakan wing sebagai tempat pembawa born, tangki cadangan dan sistem persenjataan lainnya. Bila menggunakan high wing, maka hal ini akan membatasi pandangan kebelakang dari pilot, yang mutlak diperlukan saat bertempur. Masalah utama pada susunan mid wing adalah kesulitan didalam struktur, terutama struktur dari wing box. Seperti diketahui, momen lengkung yang ditimbulkan oleh lift pada wing harus diteruskan kebagian fuselage yang lain, yaltu dengan menggunakan wing box sebagai perantaranya. Atau dengan menggunakan ring frame yang kuat yang dipasang didalam fuselage. Wing box juga sulit dibuat pada fighter yang menggunakan mid wing, karena sebagian besar fuselage-nya akan ditempati jet engine dan saluran pipa-pipa.
Gambar 18. Mid wing c.
Low wing Keuntungan utama dari low wing adalah terletak pada tersedianya tempat penyimpanan landing gear. Dengan konfigurasi low wing, maka sendi pada landing gear dimana gear ditarik kemball, dapat ditahan secara langsung oleh wing box yang kokoh struktumya, sehingga tidak memerlukan penguatan tambahan. Pada scat ditarik kemball, landing gear dapat masuk dalam wing itu sendiri, didalam wing-fuselage fairing ( penghubung antara fuselage-wing ). Hal ini dapat mengeliminasi keberadaan extemal blister yang hampir selalu digunakan dalam konfigurasi high wing.
Disamping diperoleh berbagai keuntungan, pemakaian low wing juga ada kerugiannya. Untuk memberikan ground clearance bagi engine dan propeller, maka fuselage harus ditinggikan terhadap landasan, lebih tinggi daripada high wing aircraft. Karenanya diperlukan landing gear yang lebih panjang, yang
tentunya akan menambah ukuran dan berat landing gear itu sendiri. Untuk memimmalkan panjang landing gear tersebut, banyak low wing aircraft yang meletakkan propeller diatas wing. Hal ini akan menambah interferensi antara propeller dengan wing, dan akibatnya teriadi penambahan pengkonsumsian bahan bakar selama cruise, dengan kata lain SFC-nya naik.
2.8.
Wing Tip Bentuk wing tip mempunyai dua pengaruh pada unjuk kerja aerodinamika
aircraft pada daerah subsonic. Pertama, bentuk tip mempengaruhi wetted area dari aircraft, namun hanya dalam jumlah relatif kecil. Yang kedua, pengaruh yang jauh lebih penting adalah pengaruh bentuk tip terhadap lateral spacing (jarak kesamping) dari tip vortex. Tip vortex tersebut sebagian besar ditentukan oleh mudah-tidaknya udara bertekanan tinggi dibawah wing untuk "escape' keatasnya, terutama disekitar tip. Semakin mudah udara untuk escape maka semakin besar tip vortex-nya, yang berarti drag-nya ( induceg drag ) bertambah. Kesemua model wing tip mempunyal tujuan yang sama, yaitu untuk meminimalkan pengaruh tip vortex pada wing. Tetapi dilain pihak, pemakaian wing tip ini akan mendatangkan kerugian, terutama karena konstruksi wing yang lebih sulit. Juga, pemakalan wing tip terutama model end plate dan winglet akan menimbulkan tendensi flutter. Tendensi flutter identik dengan kibasan sayap, yang sangat tidak dibenarkan terjadi pada aircraft.
Gambar 20. Wing tip Karenanya, sebelum menentukan tipe wing tip yang akan dipakal, terlebih dahulu dipertimbangkan keuntungan dan kerugiannya. Jika AR pesawat cukup tinggi, maka wing tip tidak begitu diperlukan karena pengaruh tip vortex pada. wing dengan AR tinggi akan relatif kecil bila dibandingkan dengan wing yang memiliki AR rendah.
8.3. TAIL GEOMETRY AND ARRANGEMENT 1.
Fungsi Tail Tail pada dasamya merupakan wing yang kecil. Perbedaan utama antara
wing dan tail adalah bahwa wing itu didesain untuk menghasilkan sejumlah lift, sedang tail didesain untuk beroperasi hanya pada sebagian potensi lift maksimalnya. Jadi tail tidak pemah mencapai lift maksimalnya. Tail itu memberikan trim, stabilitas, dan kontrol. 1.1. Trim ( penyeimbang) Trim merupakan kemampuan sebuah tail menghasilkan lift sedemikian rupa sehingga diperoleh momen terhadap center of gravity ( c.g ) yang mampu membalance momen lain yang dihasilkan aircraft. Untuk horizontal tail, trim itu pada dasamya menunjukkan pengimbangan terhadap wing moment, misalnya pitching moment. Sebuah aft horizontal tail pada umumnva mempunvai sudut incidence ( sudut serang ) yang negatif sebesar 2° - 3° untuk mem-balance wing pitching moment. Sedang untuk vertical tail, timbuinya gaya trim tidak diperlukan sebab biasanya aircraft itu sudah simeteris (kiri dan kanan ) dan tidak menimbulkan yawing moment yang unbalanced. Timbulnya gaya trim diperlukan pada saat terjadi kegagalan mesin, terutama pada multi engine aircraft.
1.2. Stabilitas Tail juga merupakan elemen utama stabilitas, seperti halnya keberadaan fin (sirip ) pada anak panah. Ada kemungkinan untuk merancang aircraft yang stabil tanpa adanya tail, tetapi ada beberapa parameter yang harus dipenuhi. Parameterparameter tersebut adalah bentuk airfoil yang sesuai, pemberian wing area ataupun wing sweep yang lebih besar, dan mempersempit range dan C.g. 1.3. Kontrol Fungsi lain dari tail sebagai kontrol. Tail harus diberi ukuran sedemikian rupa sehingga memberikan control power yang cukup pada semua kondisi kritis. Kondisi-kondisi kritis pada horizontal tail pada umumnya terdiri dari nose- wheel lift-off, low speed flight dengan posisi flaps down, dan manuver transonik. Sedang pada vertical tail, terdiri atas engine out flight pada low speed, maximum roll rate, dan spin recovery ( pemulihan dari kondisi spin) Besamya control power tersebut tergantung pada ukuan dan tipe dari permukaan luasan yang dapat digerak-gerakkan, dan juga tergantung pada ukuran keseluruhan dari tail itu sendiri. Contoh, beberapa airliner menggunakan double hinged rudder ( rudder berengsel ganda ) untuk memberikan engine out control power yang lebih, tanpa memperbesar ukuran vertical tail melebihi apa yang diperlukan untuk mengurangi dutch roll. Beberapa fighter seperti YF-12 dan F-107, telah menggunakan all-moving vertical tail sebagai ganti dari rudders yang terpisah, untuk meningkatkan control power. 2.
Tail Arrangement Pada sub bab ini tidak semua tipe tail diuraikan, tetapi hanya yang sering
diterapkan pada transport aircraft, yaitu conventional tail, T-tail, cucriform tail, dan triple tail. Untuk jet transport, kebanyakan menggunakan conventional tail dan T-tail.
Gambar 2.21. Aft tail variations 2.1. Conventional tail Untuk kondisi yang. wajar, maka conventional tail-lah yang banyak digunakan. Untuk sebagian besar perencanaan aircraft ( tipe transport ), conventional tail biasanya akan memberikan stabilitas dan kontrol yang cukup, pada berat terendah. Jenis ini bisa dilihat pada Boeing 747, DC-10, Airbus A300 dan lain-lain. 2.2. T-tail T-tail jugs sering digunakan. T-tail lebih berat dibandingkan dengan conventional tail, sebab vertical tali harus diperkuat untuk menopang horizontal tail. Keuntungan lainnya adalah : a.
Horizontal tail jauh dari daerah wing wake dan propwash, yang membuat T-tali lebih efisien, dan mengijinkan memperkecil ukuran tail tersebut.
b.
Dapat mengurangi buffet ( hantaman ) pada horizontal tail yang mans akan mengurangi fatigue kelelahan ) balk pada pilot maupun pada struktumya.
c.
Pada jet transport DC-9 dan Boeing 727 ), dengan T-tail memungkinkan untuk memasang engine yang diletakkan pada kulit aft fuselage.
d.
Konfigurasi T-tail dianggap penuh gaya ( stylish ), yang merupakan pertimbangan yang tidak sepele.
2.3. Cucriform tall ( bentuk salip) Dengan cucriform tall maka horizontal tail jauh dari jet exhaust ( seperti pada B-IB ), atau membebaskan rudder bawah agar tidak terganggu udara selama kondisi AoA tinggi dan spin. Sebenamya hal tersebut dapat diselesaikan dengan T-tail, tetapi cucriform tail lebih ringan. Meskipun demikian, cucriform tail tidak memberikan pengurangan tail area. Jenis ini juga diterapkan pada pesawat transport amphibi M-130 China Cliper. 2.4. Triple tail (dan H-tail ) Tipe ini pada dasamya digunakan untuk peletakan vertical tail agar tak terganggu udara selama kondisi AoA tinggi (seperti pada T-46 aircraft), atau untuk peletakan rudder pada propwash ( dalam multi engine aircraft ) untuk menambah engine- out control. Triple tail (dan H-tail) lebih begat daripada conventional tail, tetapi dengan adanya efek end-plate, memberikan ukuran horizontal tail yang lebih kecil. Susunan triple tail ( dan T-tail ) juga digunakan untuk menurunkan ketinggian tail, sehingga aircraft menjadi lebih rendab, seperti Lockheed Constellation aircraft yang dengan aman bisa dimasukkan ke hanggar. Kemungkinan lain penyusunan tail adalah seperti yang tampak pada Gambar 26, yang diantaranya adalab pernakaian canard. Canard digunakan agar control power-nya cukup, tetapi ditemukan kesulitan dalam hal stabilitas.
Gambar 22. Variasi lain dari konfigurasi tail
3.
Tail Arrangement untuk Spin Recovery Vertical tail mempunyai peranan penting dalam spin recovery. Aircraft
dalam kondisi spin, pada dasamya mengalami jatuh bebas dan berputar terhadap sumbu vertikal, dengan wing yang mengalami stall penuh. Pada umumnya, saat itu aircraft berada pada sudut sideslip yang besar. Untuk memulihkan dari kondisi spin tersebut maka wing dibuat agar tidak stall, sehingga AoA harus diturunkan. Pertama kali yang harus dilakukan adalah putaran harus dihentikan dan sudut side-slip diturunkan. Oleh karena itu aircraft tersebut memerlukan rudder control yang cukup handal ketika-berada pada AoA yang tinggi yang terlihat saat spin. Gambar 23 menggambarkan efek dad tail arrangement terhadap rudder control ketika berada pada AoA tinggi. Pada kondisi tersebut horizontal tail mengalami stall, yang menghasilkan turbulent wake yang membentang keatas kira-kira pada sudut 45° Pada gambar pertama, rudder seluruhnya terletak dalam wake olakan dari horizontal tail, sehingga fungsi kontrol dari rudder menjadi kecil. Gambar-gambar berikutnya menunjukkan upaya untuk memperbalki fungsi rudder control dengan cara mengatur sedemikian rupa sehingga rudder terletak di luar wake, minimal 1/3 dari luasan rudder harus berada di luar wake. Untuk gambar terakhir menunjukkan pemakaian dorsal fin ( sirip punggung dan ventral fin ( sinip perut ). Dorsal fin memperbaiki kemampuan tail pada saat sudut sideslip tinggi, yaitu dengan membuat vortex yang menempel pada vertical tail. Hal im cenderung mencegah terjadinya high sideslip angle dan memperbesar rudder control disaat spin. Sedang ventral fin juga cenderung mencegah high sideslip angle, dan mempunyai keuntungan ekstra yaitu tidak tertutup wing wake. Ventral fin juga digunakan untuk menghindari lateral instability pada saat high-speed flight.
Gambar 23. Tail geometry untuk spin recovery
4.
Tail Geometry Untuk semua tipe tail, luas permukaannya tergantung pada luas wing, jadi
luasan tail tidak ditentukan sebelum estimasi awal dari takeoff gross weight pesawat ditentukan. Parameter-parameter geometris yang lain dan tail dapat ditentukan, yaitu aspect ratio ( AR ), taper ratio ( ), tail sweep, dan thickness ratio. 4.1. Aspect Ratio ( AR ) dan Taper Ratio () Tabel 2 memberikan petunjuk untuk pemilihan AR dan dari tail. T-tail mempunyai vertical tail aspect ratio yang lebih rendah, yang bertujuan untuk mengurangi weight impact ( pengarub berat ) dari horizontal tail yang letaknya diatas vertical tail. Beberapa general aviation aircraft menggunakan untapered horizontal tail ( = I ) untuk mengurangi blaya manufacturing. Tabel 2.2. Tail aspect ratio and taper ratio Horizontal tail
Vertical tail
AR
AR
Fighter
3-4
0.2-0.4
0.6-1.4
0.2-0,4
Sailplane
6-10
0,3-0,5
1,5- 2,0
0,4-0,6
Others
3-5
0,3-0,6
1.3-1,0
0,3-0,6
0,7-1,2
0,6-1,0
T-tail 4.2. Sweep (A)
Leading edge sweep dari horizontal tail biasanya mempunyai harga 5° lebih besar dani wing sweep ( ALE = 50 + Awing ). Hal ini cenderung menjadikan tail mengalami stall setelah wing, dan juga memberikan tail yang memiliki yang lebih besar dari wing, yang mans dapt menghindari hilangnya effectiveness dari elevator yang dikarenakan adanya shock formation. Sedang vertical tail sweep mempunyai harga antara 35° - 55°. Untuk low speed aircraft, nilainya sebesar 20° keatas, dengan pertimbangan segi estetika (keindahan ). Untuk high speed aircraft, vertical tail sweep digunakan terutama untuk memastikan bahwa W rit dan tail lebih tinggi dari pada W crit wing.
4.3. Thickness Ratio (t/c) Biasanya tail thickness ratio sama dengan wing thickness ratio, yang ditentukan dari historical guidelines yang diberikan dalam bagian wing geometry. Untuk high speed aircraft, horizontal tail sering kali memiliki thickness ratio 10% lebih tipis dari wing, untuk memastikan bahwa tail mempunyai Writ yang lebih tinggi. 8.4. FAR & BCAR
1.
Federal Aviation Regulation / FAR Peraturan FAR dikeluarkan oleh Federal Aviation Administration FAA ), suatu
badan dibawah departemen transportasi Amerika. Ada beberapa jenis FAR yang berhubungan dengan proses sertifikasi, seperti : FAR Part 21 Prosedur sertifikasi untuk produk dan part. FAR Part 25 Airworthiness standard untuk kategori tran-sport aircraft. FAR Part 33 Airworthiness untuk aircraft engine.
2. British Civil Airworthiness Requirement (BCAR) Peraturan ini dikeluarkan oleh Civil Aviation Authority ( CAA) di Inggris. Negaranegara lain menggunakan peraturan yang hampir sama. Namun demikian selalu ada perbedaan yang membuat bingung dan memakan biaya yang besar Jika ingin memenuhi semua ketentuan tersebut secara keseluruhan. 8.1. AERODINAMIKA