BAB III ANALISIS GEOMETRI DAN KUALITAS RESERVOIR
3.1
Metodologi Penelitian
Analisis geometri dan kualitas reservoir dilakukan untuk memberikan informasi geologi yang realistis dari suatu reservoir. Informasi geometri dan kualitas ini dapat digunakan sebagai dasar penentuan arah pengembangan lapangan selanjutnya. Dengan adanya pemahaman yang komprehensif dari geometri dan kualitas reservoir diharapkan pengembangan dapat dilakukan jauh lebih efektif dan efisien. Informasi yang diperlukan untuk mengetahui geometri reservoir yaitu lingkungan pengendapan dan ketebalan reservoir. Interpretasi lingkungan pengendapan dianalisis dari batuan inti dan elektrofasies dari pola log sumur pada zona reservoir di daerah penelitian. Ketebalan reservoir didapatkan dari interval zona stratigrafi yang ditentukan melalui korelasi dengan konsep stratigrafi sikuen. Untuk mengetahui penyebaran reservoir baik lateral maupun vertikal, langkah-langkah yang harus dilakukan adalah, interpretasi lingkungan pengendapan, analisis sedimentasi, korelasi antar sumur yaitu reservoir batupasir dan pemetaan gross sand interval dari reservoir Formasi Daram Waripi Bawah. Pemahaman mengenai kualitas reservoir dilakukan berdasarkan properti fisik dari batuan berupa volume of shale dan effective porosity. Properti fisik batuan reservoir ini diperoleh dengan melakukan evaluasi formasi sederhana menggunakan data log sumur meliputi log Sinar Gamma dan log NPHI. Dalam pekerjaan karakerisasi reservoir sangat dibutuhkan pemahaman mengenai lingkungan pengendapan suatu reservoir. Tiap lingkungan pengendapan memiliki karakterisitk yang berbeda. Karakteristik tersebut akan menentukan sifat fisik, geometri dan penyebaran tubuh batuan yang yang menyusun sebuah tipe endapan. Selain itu, dengan pemahaman lingkungan pengendapan juga dapat menentukan kualitas relatif dari suatu reservoir. Dalam penelitian ini, penafsiran lingkungan pengendapan dilakukan berdasarkan data batuan inti dan elektrofasies ditunjang dengan data biostratigrafi yang dimiliki PT BP Indonesia yang diyakini sebagai lingkungan pengendapan laut dalam (neritik luar – batyhal atas) 22
berdasarkan poisson ratio yang bernilai > 95%. Penulis melakukan interpretasi lingkungan pengendapan berdasarkan analisis fasies sedimentasi
yang didefinisikan oleh litofasies,
susunan dari litofasies menjadi aosiasi fasies, susunan asosiasi fasies ditunjang dengan elektrofasies menjadi fasies arsitektur. 3.2
Interpretasi Lingkungan Pengendapan
3.2.1
Analisis Fasies dan Lingkungan Pengendapan Berdasarkan Batuan Inti
Batuan inti merupakan data geologi bawah permukaan yang mewakili suatu lapisan di bawah permukaan secara langsung. Salah satu cara yang paling akurat untuk mengetahui kondisi geologi bawah permukaan untuk penafsiran lingkungan pengendapan adalah dengan analisis menyeluruh dari data batuan inti yang ada. Namun, dapat disadari banyak kekurangan dan keterbatasan dalam penentuan lingkungan pengendapan berdasarkan batuan inti. Beberapa kendala yang terjadi adalah adanya keterbatasan lebar dari batuan inti yang dapat dianalisis sehingga dapat mempersulit penafsiran struktur sedimen dan kondisi batuan inti yang tidak baik, sangat lapuk, ataupun rusak yang dapat mengganggu proses interpretasi. Untuk itu diperlukan tingkat ketelitian yang tinggi serta pemahaman mendalam mengenai konsep geologi dalam proses analisis batuan inti. Kegiatan interpretasi tipe endapan dilakukan dengan analisis urutan vertikal yang bertujuan untuk menganalisis suksesi vertikal suatu contoh batuan inti. Dengan analisis urutan vertikal, dapat diketahui pola sedimentasi suatu batuan yang dicerminkan dari perubahan ukuran, besar butir, warna, bentuk butir, jenis butir penyusun / mineralogi, pemilahan, kemas, matriks penyusun, struktur sedimen serta pola penebalan dan penipisan litologi. Dalam penelitian ini, contoh batuan inti yang dideskripsi berasal dari Sumur RA-1, RA-2, RA-3, dan RA-8. Dengan sumur RA-1 terdiri atas dua interval dari kedalaman 6786 ft – 6850 ft dan 7105ft – 7186 ft. Sumur RA-2 teridiri atas tiga interval dari kedalaman 7365 ft -7381 ft, 7439 ft -7457 ft, 7569 ft – 7727 ft. Sumur RA-3 terdiri atas enam interval yang terdiri dari kedalaman 7546 ft – 7564 ft, 7928 ft - 7980 ft, 8005 ft – 8010 ft, 8059- 8115 ft, 8599 -8626 ft dan 8638 ft – 8877ft. Sumur RA-8 terdiri atas dua interval yang terdiri dari kedalaman 6846 ft – 6997 ft, dan 7297 – 7537 ft. Rincian dapat dilihat pada tabel 3.1. Interval kedalaman data batuan inti merupakan interval yang telah dikoreksi dengan kedalaman log yang bersangkutan.
23
Sumur
RA-1
RA-2
RA-3
6786 -6850 ft = 7365 -7381 ft = 7456 -7564 ft =
Core 1
64ft
16 ft
7105 -7186 ft = 7439 -7457 ft =
Core 2
Core 3
6846 -6997 =
108 ft
151ft
7928 – 7980 ft
7297 -7537 = 240 ft
81 ft
18 ft
= 52 ft
-
7569 -7727 ft =
8005 – 8010
158 ft
= 5 ft
-
Core 4
RA- 8
8059 – 8115 = 56 ft 8599 – 8626
Core 5
= 27 ft 8638 – 8877
Core 6
= 239 ft Total
145 ft
192 ft
435 ft
391 ft
Tabel 3.1 Rincian interval data batuan inti Sumur RA-1, RA-2. RA-3, dan RA-8.
Interpretasi lingkungan pengendapan dilakukan dengan analisis urutan vertikal sampel batuan inti, sehingga dapat diketahui pola sedimentasi suatu batuan yang dicerminkan dari perubahan ukuran besar butir, warna, bentuk butir, jenis butir/ penyusun/ mineraologi, pemilahan, kemas, matriks penyusun, struktur sedimen dan struktur biologi (ichnofossil), serta pola penebalan dan penipisian litologi. 3.2.1.1 Litofasies Analisis litofasies dilakukan dengan menentukan karakteristik litologi, struktur sedimen dan struktur biologi (ichnofossil). Dalam studi ini, mengelompokan dan menamakan litofasies mengacu pada klasifikasi Mutti dan Ricci Luchi (1972) dalam Mutti (1992), serta dengan menambah litofasies yang teramati.
24
Litofasies Konglomerat (A) Konglomerat, masif, pemilahan buruk, matriks batupasir berbutir kasar, sifat konglomeratan, merupakan amalgamasi yang terbentuk setempat. Diendapkan dengan mekanisme grain flow dan fluidized sediment flow. Konglomerat dengan matriks pasir, warna abu-abu terang, konglomeratan, matriks pasir kasar,terpilah buruk, kemas terbuka, kompak, semen karbonatan, fragmen menyudut tanggung, fragmen polimik, rijang, pebble, batuan vulkanik.
Gambar 3.1 Contoh batuan inti litofasies konglomerat (A) pada sumur RA-2, kedalaman 7699 -7701 ft.
Litofasies Batupasir Masif ( B ) Litofasies B (Gambar 3.3 ) pada sampel batuan inti dari sumur RA - 2, berupa batupasir berwarna abu-abu terang, ukuran butir pasir halus-sedang, membundar, masif, tidak karbonatan, terpilah baik. Diperkirakan sebagai hasil dari arus turbidit dan arus traksi rejim atas. Litofasies ini terdapat dalam beberapa ft sampai 100 ft. Lapisan tebal dari diperkirakan sebagai endapan pengisi sungai, berupa channel complex ataupun bagian luar dari endapan lobe. Batupasir berwarna abu-abu terang – putih, ukuran butir pasir sangat halus – halus, terpilah baik, kemas tertutup, masif, semen non-karbonatan, porositas sedang – baik.
Gambar 3.2 Contoh batuan inti yang menunjukan litofasies Batupasir Masif (B) pada sumur RA-2 pada kedalaman 7665-7666 ft.
25
Selain Batupasir yang masif dan non-karbonatan juga terdapat batupasir yang karbonatan ( B1 ) dan terdapat sedikit bioturbasi. Perbedaan batupasir karbonatan dan non-karbonaatn akan mempengaruhi kualitas reservoir.
Batupasir berwarna abu-abu terang – putih, ukuran butir pasir sangat halus – sedang, terpilah buruk, kemas tertutup, masif, semen karbonatan, porositas sedang – baik. Terdapat bioturbasi ( Planolites ) (horizontal burrow ) (tanda panah kuning )
Gambar 3.3 Contoh batuan inti yang menunjukan litofasies ( karbonatan )(B1) pada sumur RA-2 pada kedalaman 8086-8085 ft.
Litofasies Batupasir Laminasi (Tb) ( C ) Batupasir warna abu-abu terang berukuran pasir halus – sedang, terdapat perselingan lapisan tipis serpih, pemilahan baik, kemas tertutup, porositas baik, semen non – karbonatan, masif, stuktur sedimen pararel laminasi, laminasi silang silur dan ripple mark. Diendapkan sebagai hasil endapan arus turbidit, biasanya menunjukan sikuen Bouma.
Batupasir warna abu-abu terang berukuran pasir halus – sedang, terdapat perselingan lapisan tipis serpih, pemilahan baik, kemas tertutup, porositas baik, semen non – karbonatan, masif, stuktur sedimen pararel laminasi, laminasi silang silur ripple mark.
Gambar 3.4 Contoh batuan inti yang menunjukan litofasies C pada sumur RA-2 pada kedalaman 7598 -7597 ft.
26
Selain batupasir laminasi yang non-karbonatan, juga terdapat batupasir laminasi yang karbonatan (C1) Batupasir warna abu-abu terang berukuran pasir halus – sedang, terdapat perselingan lapisan tipis serpih, pemilahan baik, kemas tertutup, porositas baik, semen non – karbonatan, masif, struktur sedimen pararel laminasi, laminasi silang silur ripple mark.
Gambar 3.5 Contoh batuan inti yang menunjukan litofasies C1 pada sumur RA-2, kedalaman 7380 -7381 ft.
Litofasies Batupasir Perselingan Batulempung Tbc ( Perselingan < 50% mudstone) ( D ) Batupasir yang berselingan dengan batulempung ataupun batulanau, dengan ukuran butir kasar, membundar, pemilahan buruk, perlapisan tidak teratur, kontak tegas, terdapat struktur konvolut. Perbandingan pasir dengan serpih 1: 4. Biasanya terdiri atas lapisan batupasir yang cukup tebal lalu dipisahkan oleh serpih. Karena terdapat lapisan batulempung biasanya terdapat bioturbasi pada bagian atas batupasir. Lapisan ini diendapkan dengan energi rendah, arus turbidit dengan densitas yang rendah. Kecepatan sedimentasi rendah dan bagian atas lapisan diisi oleh organisme-organisme yang membuat burrow. Batupasir, abu-abu gelap, perselingan dengan batulanau, ukuran butir halus – kasar, terpilah buruk terdapat struktur konvolut (panah kuning ), porositas sedang – buruk, berlapis, kontak tegas.
Gambar 3.6 Contoh batuan inti yang menunjukan litofasies D pada sumur RA-3 pada kedalaman 8662 – 8661 ft
27
Litofasies Batupasir perselingan Batulempung Tbc (perselingan dengan >50% mudstone ) (D1) Batupasir berwarna abu – abu gelap dengan ukuran butir sangat halus – halus dan batulanau dengan perbandingan
5 : 5. Biasanya banyak terdapat bioturbasi pada litofasies ini.
Litofasies ini menunjukan periode sedimentasi yang jarang, energi rendah, arus turbidit densitas rendah dengan interval sedimentasi yang cukup jauh. Batupasir, abu-abu gelap, perselingan dengan batulanau, ukuran butir halus – sedang, pemilahan baik , porositas sedang – buruk, berlapis, kontak berangsur. Perselingan batupasir dengan batulanau yang cukup tebal.
Gambar 3.7 Contoh batuan inti yang menunjukan litofasies D1 pada sumur RA-3 pada kedalaman 8866 - 8865 ft.
Litofasies Batupasir dan Batulempung banyak Bioturbasi (E) Batupasir abu-abu terang, ukuran butir halus-kasar, membundar-membundar tanggung, terpilah buruk, kemas tertutup, kompak, semen karbonatan, porositas sedang – baik, bioturbasi Annonichnus. Umumnya ditemukan sebagai lensa-lensa batupasir terpisah dalam serpih. Perbandingan serpih dengan pasir umumnya 1:4. Batupasir yang terdapat dalam fasies ini merupakan hasil proses-proses yang terjadi secara lokal berhubungan dengan overbank dari sebuah channel atau pada bagian ujung dari distributary channel.
28
Batupasir abu-abu terang, ukuran butir sedang-kasar, membundar-membundar tanggung, terpilah buruk, kemas tertutup, kompak, semen karbonatan, porositas baik, bioturbasi Annonichnus (Panah kuning).
Gambar 3.8 Contoh batuan inti yang menunjukan litofasies E pada sumur RA-3 pada kedalaman 8748 - 8747 ft.
Litofasies Debris ( F ) Endapan yag terdiri dari berbagai jenis sedimen yang terdeformasi akibat bergeraknya sedimen yang belum terkonsolidasi. Dominasi serpih, menjadi indikator slope deposit yang terendapkan dengan mekanisme debris flow. Batulempung, hitam gelap, kompak, karbonatan, porositas buruk ,laminasi pasir tipis ( panah kuning ).
Gambar 3.9 Contoh batuan inti yang menunjukan litofasies F pada sumur RA-8 pada kedalaman 7391 - 7392 ft.
29
Litofasies Batulempung Abu-abu / Batulempung Kemerahan (G) Batulempung berwarna abu-abu, masif, kompak, non-karbonatan. Merupakan lapisan hemipelagis yang terbentuk akibat suspensi normal. Batulempung berwarna abu-abu, masif, , kompak, non -karbonatan
Gambar 3.10 Contoh batuan inti yang menunjukan litofasies F pada sumur RA-2 pada kedalaman 7705 - 7711 ft.
3.2.1.2 Asosiasi Fasies Suatu fasies akan mencerminkan suatu mekanisme pengendapan tertentu atau berbagai mekanisme yang bekerja serentak pada saat yang bersamaan. Asosiasi fasies ini didefinisikan sebagai suatu kombinasi dari litofasies yang membentuk suatu tubuh batuan dalam berbagai skala. Asosiasi fasies ini mencerminkan lingkungan pengendapan atau proses terbentuknya fasies-fasies tersebut. Untuk memperkuat hasil analisis asosiasi fasies, digunakan data biostratigrafi dari batuan inti. Berdasarkan hasil deskripsi dan analisis batuan inti didapatkan 10 jenis litofasies berbeda, yaitu konglomerat (A), batupasir masif (B), batupasir masif karbonatan (B1), batupasir laminasi (C), batupasir laminasi karbonatan (C1), batupasir perselingan batulempung (<50% mudstone) (D), batupasir perselingan batulempung (>50% mudstone) (D1), batupasir dan batulempung banyak bioturbasi (E), debris (F), batulempung abu-abu / batulempung kemerahan (G).
30
Gambar 3.11 Skema hubungan antara asosiasi fasies turbidit pada suatu kipas bawah laut ( Walker & Mutti, dalam Mutti 1992)
Gambar 3.12 Model lingkungan dan penampang stratigrafi yang menunjukan karakteristik asosiasi fasies turbidit (Walker & Mutti, dalam Mutti 1992)
31
Asosiasi fasies yang telah didefinisikan oleh Walker & Mutti (1973) dalam Mutti (1992): (1) Asosiasi Lereng. Urutan sedimen yang didominasi oleh sedimen yang berbutir halus dari fasies G dan endapan chaotic dari fasies F dan dapat pula dijumpai endapan yang mengisi channel, fasies A. (2) Asosiasi Kipas Bawah Laut. Asosiasi fasies dibagi lagi menjadi beberapa subasosiasi a. Sub-asosiasi Kipas bagian dalam. Dicirikan oleh endapan sungai laut dalam yang diisi oleh fasies A, fasies B (dan fasies F) dan disekitarnya diendapkan fasies C dan G, dan dapat pula dijumpai fasies D dan fasies E. b. Sub-asosiasi Kipas bagaian tengah. Terdiri dari batupasir pengisi sungai yang didominasi oleh fasies A dan fasies B serta memperlohatkan silus yang menghalus dan menipis ke atas. Secara lateral dan vertikal menjari dengan fasies C dan fasies D c. Sub-asosiasi Kipas bagian luar. Terdiri dari sedimen fasies C dan fasies D. Siklus yang berukuran butir mengasar dan lapisan yang menebal ke atas. Umumnya membentuk geometri lobe. Dijumpai pula fasies G. (3) Asosiasi Dasar Cekungan. Terdiri dari fasies D dan fasies G yang merupakan endapan hemipelagis.
32
Berdasarkan hasil kombinasi litofasies didapatkan 4 asosiasi fasies yang terdiri dari submarine channel, channel overbank, dan basin floor fan dan basin plain. Asosiasi Fasies Submarine Channel Asosiasi fasies ini tersusun oleh konglomerat (A), batupasir masif (B), batupasir laminasi (C) dan batupasir bioturbasi (E). Ketebalan interval asosiasi ini bervariasi dari 125 ft – 150 ft.
Gambar 3.13 Asosiasi submarine channel pada interval kedalaman 6850 – 6910 ft pada sumur RA-8.
Secara umum, asosiasi fasies ini memperlihatkan pola perubahan ukuran butir yang menghalus dan menipis ke atas (Gambar 3.13). Suksesi ini terjadi ketika adanya material sedimen yang masuk pada fasies arsitektur slope fan complex. Litofasies A, B dan C hadir berulang pada interval in hingga ketebalan sekitar 30 meter. Kenampakan struktur sedimen yang khas berupa konglomeratan hasil dari mekanisme grain flow. Pada data bawah permukaan Lapangan Jefta, secara lokal asosiasi fasies ini dicirikan oleh elektrofasies bel (bell). Asosiasi Fasies Channel Overbank Asosiasi fasies ini (Gambar 3.14) tersusun oleh batupasir bioturbasi (E), batupasir masif (B), batupasir laminasi (C), dan endapan debris (F). Ketebalan asosiasi ini bervariasi 60 -160 ft. Kontak dengan lapisan dibawahnya berupa kotak tegas.
33
Gambar 3.14 Asosiasi channel overbank pada interval kedalaman 7570 -7615 ft.
Secara umum asosiasi fasies ini memperlihatkan pola perubahan ukuran butir mengasar dan menebal ke atas – lampiran 2. Pembeda utama dengan asosiasi fasies submarine channel pada interval waktu yang sama, terletak pada kelimpahan litofasies E. Asosiasi channel overbank dan asosiasi submarine channel diendapkan pada fasies arsitektur slope fan complex. Asosiasi Fasies Basin Floor Fan
Gambar 3.15 Asosiasi Basin Floor Fan pada kedalaman 7400 – 7530.
Asosiasi fasies ini (Gambar 3.15) tersusun oleh batupasir masif karbonatan (B1), batupasir laminasi karbonatan (C1), perselingan batupasir dengan batulempung (D1).
Interval 34
memiliki ketebalan 40 – 60 ft. Asosiasi fasies ini diendapkan pada fasies arsitektur basin floor fan di atas fasies arsitektur basin plain. 3.2.2 Analisis Fasies dan Lingkungan Pengendapan Berdasarkan Data Log Elektrofasies dianalisis dari pola log kurva Gamma Ray (GR). Menurut Selley (1978) dalam Walker (1992), log Gamma Ray mencerminkan variasi dalam suatu suksesi ukuran besar butir. Suatu suksesi ukuran besar butir tersebut menunjukan perubahan energi pengendapan. Tiap-tiap lingkungan pengendapan menghasilkan pola energi pengendapan yang berbeda. Gambar 3.16 memperlihatkan empat pola bentuk dasar kurva log GR sebagai respon terhadap proses pengendapan, yaitu blocky-shape (bentuk prisma), bell shape (bentuk lonceng), funnel-shape (bentuk cerobong), dan irregular/serated (tidak beraturan). Bentuk-bentuk dasar kurva log GR tersebut dijadikan dasar sebagai penentuan model tipe endapan setelah dicocokan dengan deskripsi batuan inti pada sumur RA-1, RA-2, RA-3 dan RA-8. Model acuan yang dijadikan kontrol bagi penentuan tipe dan karakteristik lingkungan endapan adalah mekanisme turbidit klastik laut dalam.
Gambar 3.16 Pola respon dari log GR (Rider 2000) Pengamatan batuan inti pada sumur RA-2, RA-3, RA-4 dan RA-8 memberikan gambaran hubungan antara tipe endapan dengan pola log GR, yaitu (berdasarkan urutan vertikal dari 35
bawah ke atas) : bentuk pola log bell shape merupakan endapan channel, pola log funnel merupakan endapan lobe dan pola log serrated diinterpretasikan sebagai deep marine slope. Analisis pola log tali kawat juga dilakukan dengan membandingkan data log interval penelitian dibandingkan model yang dibuat oleh Mitchum dkk (1990). Berdasarkan model pola log yang dibuat oleh Mitchum dkk. pada lingkungan pengendapan laut dalam maka terdapat 4 fasies arsitektur yaitu : basin plain, basin floor fan, slope fan complex dan prograding complex (Gambar 3.18, Gambar 3.19 dan Gambar 3.20). 3.2.3
Analisis Fasies dan Lingkungan Pengendapan Berdasarkan Data Biostratigrafi
Formasi Daram-Waripi bagian bawah merupakan endapan turbidit laut dalam berdasarkan data biostratigrafi berupa kehadiran asosiasi fosil bentik berupa Ostracoda, Ammobacolites sp. dan Batisiphon sp. yang melimpah pada pada sumur RA-5 kedalaman 8950-8980 ft. Selain itu melimpahnya fosil nannoplankton yang diindikasikan oleh poisson ratio > 90%. berdasarkan analisis “ A High Resolution Correlation of Paleocene Clastics from Various “Wiriagar Deep” Wells based on Nannofosil Biostratigraphy” oleh PT Horizon Consulting (2007) menjadi indikator kuat bahwa lingkungan pengendapan pada interval sebagai lingkungan pengendapan laut dalam.
Gambar 3.17 Model sikuen stratigrafi lowstand dalam konteks endapan silisiklastik laut dalam. (Vail dkk, 1987 dalam Vail and Wornardt, 1996)
36
37
Gambar 3.18 Karakter log basin floor fan (Mitchum,1992) sebagai model analog dibandingkan dengan contoh interval penelitian.
Gambar 3.19 Karakter log slope fan complex (Mitchum,1992) sebagai model analog dibandingkan dengan contoh interval penelitian
.
38
39
Gambar 3.20 Karakter log prograding complex (Mitchum,1992) sebagai model analog dibandingkan dengan contoh interval penelitian.
3.3
Korelasi Stratigrafi
Korelasi dapat didefinisikan sebagai suatu metoda untuk membedakan unit stratigrafi yang ekivalen dalam segi waktu, umur dan posisi stratigrafi. Korelasi yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan konsep stratigrafi sikuen yang bertujuan untuk menghubungkan interval stratigrafi yang memilik kesamaan waktu atau posisi stratigrafi. Data yang digunakan untuk korelasi adalah data log sumur, berupa log Gama Ray Normalization (GRN), Resistivity (DRES), Sonic Log (DT) dan Density (RHOB) . Suatu interval pola log tertentu mencerminkan suatu siklus pengendapan tertentu di suatu lingkungan pengendapan. Contohnya log Gamma Ray dan SP yang menceminkan variasi dalam suatu suksesi ukuran besar butir (Walker, 1992). Secara umum, tujuan dari korelasi adalah :
Merekonstruksi kondisi geologi bawah permukaan berupa struktur dan stratigrafi, serta mengetahui penyebaran lateral maupun vertikal zona reservoir
Merekonstruksi paleogeografi pada umur stratigrafi tertentu
Menyusun sejarah geologi daerah penelitian
Korelasi antar sumur berguna untuk menghubungkan bidang kesamaan waktu dalam tiap-tiap sumur. Korelasi ini diawali dengan menggunakan marker biostratigrafi yang memisahkan reservoir. Pekerjaan korelasi untuk reservoir target dilakukan pada 8 sumur taarget. Korelasi yang dikerjakan sebanyak tiga penampang korelasi (Gambar 3.21), yaitu satu penampang korealsi yang menunjukan arah Baratlaut – Tenggara (NW-SE) berwarna kuning ,satu penampang korealsi yang lain menunjukan arah TimurLaut – BaratDaya (NE-SW) berwarna hijau dan satu penampang korelasi yang menunjukan arah Barat – Timur ( W- E) Lampiran.
40