AERODINAMIKA
SUPERCRITICAL AIRFOIL Dalam kedua artikel pendahuluan, telah dengan jelas ditunjukkan keterkaitan yang erat antara perkembangan pesawat (aircraft) dengan sistem propulsi (engine). Pada pesawat, perkembangan berwujud semakin meningkatnya performa dan kapasitasnya, sedangkan pada sistem propulsi berwujud semakin besarnya gaya dorong dan iritnya bahan bakar. Dalam hubungan ini, akan dibahas salah satu parameter yang paling penting, yaitu “kecepatan terbang” yang kenyataannya merupakan aspek paling berpengaruh dalam perancangan pesawat terbang.
PERKEMBANGAN KECEPATAN TERBANG Gbr. 1-1 Pesawat-pesawat pemegang rekor: A. Santos Dumont B. Bleriot C. Deperdussin D. Nieuport 29 E. Bernard F. Supermarine S.6 G. Macchi 72 H. Messer Schmitt Me 209 VI J. Meteor 4 K. Swift L. NA F-100c M. Fairey FD.2 N. Mc Donnel Voodoo
REKOR KECEPATAN ABSOLUT (Absolut
Speed Record)
Kurva 1 menyatakan pesawat pembom, kurva 2 untuk pesawat transpor jet, dan kurva 3 untuk pesawat transpor turboprop
Pada gambar di atas ditunjukkan perkembangan kecepatan terbang dari pesawat pertama pada 1900an sampai pada 1960-an, di mana kecepatan suara (Mach 1) sudah dapat dilampaui dengan propulsi turbin gas. Mengamati Gbr. 1-1 diatas, tampak ada spektrum yang tidak berubah yaitu ―konfigurasi‖ pesawat yang tetap ―konvensional‖. Konfigurasi ―konvensional‖ dalam pengertian tata letak sayap yang dipasang di tengah badan, dan bidang 2-ekor di ujung belakang badan. Enjin dapat dipasang di ujung belakang badan atau di bawah sayap. Sampai masa kini, lebih dari 95 % pesawat transpor di seluruh dunia masih memiliki konfigurasi ―konvensional‖ ini. Namun, ada tipetipe tertentu yang memiliki konfigurasi ―canard‖ se-
perti Beech ―Starship‖ dan pesawat swayasa Rutan ―Vary-eze‖. Sedangkan konfigurasi ―three planes‖ diterapkan pada pesawat bisnis eksekutif Piagio ―Avanti‖. Pada rancangan pesawat tempur, berbagai konfigurasi telah diterapkan guna memenuhi berbagai persyaratan manuver. Pada Gbr. 1-1 tampak juga dengan jelas pengaruh kecepatan terbang terhadap bentuk sayap (wing planform) yaitu semakin besarnya sudut miring ke belakang (swept back-sweep angle). Tapi yang tidak tampak pada gambar tersebut adalah penampang sayap atau ―airfoil‖. Seperti diketahui, bentuk ―airfoil‖ ini sangat menentukan karakteristik aerodinamika dari sayap, dibantu oleh bentuk planform dan kelengkapan-kelengkapan lainnya. 42
Gbr.1-1 menunjukkan dengan jelas peningkatan kecepatan terbang yang dimungkinkan oleh peningkatan gaya dorong motor letup (piston engine). Maupun dengan turbin gas. Yang paling signifikan adalah ditembusnya kecepatan suara Mach 1 oleh pesawat-pesawat tempur atau riset. Namun perkembangan lebih dari satu setengah dekade menunjukkan bahwa hampir semua pesawat-pesawat komersial dari berbagai produsen tetap bersaing di bawah Mach 1. Daerah kecepatan yang disebut ―high subsonic speed‖. Mungkin (salah satu) alasannya karena pada waktu itu (tahun 60-an) teknologi belum cukup maju. Tetapi hal tersebut dibantah, dengan terwujudnya pesawat SST (Supersonic Transport) buatan Rusia Tu-144 yang terbang perdana pada 1968. Kemudian disusul tahun berikutnya oleh SST hasil kerja sama Inggris dan Prancis: ―Concorde‖. Karena masalah teknis, Tu-144 hanya mengalami pengoperasian dalam jangka waktu pendek. Sedangkan Concorde yang baru dipensiunkan pada 2003 hanya dioperasikan dalam jumlah terbatas (16 pesawat). Hal ini menunjukkan bahwa SST belum menarik masyarakat yang cukup luas, karena mahalnya harga tiket yang belum seimbang dengan kecepatan terbang yang disajikannya. Di lain pihak pesawat-pesawat ―high subsonic‖ semakin berkembang baik dalam kapasitas penumpangnya, jangkauan terbangnya maupun kecepatannnya yang mendekati Mach 1—seperti ditunjukkan pada Gbr.1-2. Hanya pesawat-pesawat tempur yang dikembangkan sampai Mach 3 atau lebih cepat lagi bagi pesawat-pesawat riset. Tren ini disebabkan oleh perbedaan sifat operasi antara SST dengan pesawat tempur. Seperti halnya dengan Concorde, sebagai SST ia terbang menjelajah (cruising) pada kecepatan supersonik
(Mach 1,5 − 2,0) untuk menghubungkan London dan New York dalam waktu 5 jam. Sedangkan pesawat tempur terbang supersonik hanya bila diperlukan dalam combat (bertempur), selebihnya penerbangan akan dilakukan subsonik. Jadi, masalahnya adalah kebutuhan gaya dorong (thrust) yang digunakan pada kecepatan tinggi dalam kaitannya dengan konsumsi bahan bakar. Pada penerbangan komersial hal ini merupakan faktor yang sangat penting karena akan menentukan biaya operasi dan selanjutnya harga tiket. Berhubung pesawat terbang bergerak dalam medium udara yang tunduk pada hukum-hukum fisika udara atau aerodinamika maka masalah kebutuhan gaya dorong tersebut akan dibahas berdasarkan hukum-hukum ini.
GAYA HAMBATAN ( DRAG) Seperti diketahui, gaya hambatan adalah penentu besarnya gaya dorong, thrust, yang harus dihasilkan oleh sumber tenaga dorong (motor) untuk memacu pesawat pada kecepatan tertentu sehingga sayap dapat menghasilkan gaya angkat, lift, yang diperlukan pada kondisi terbang tertentu. Gambar berikut menunjukkan gaya-gaya pada kondisi terbang mendatar (cruise).
L T D
FD CG
W
Gbr. 1-2 Ditunjukkan di sini bahwa kecepatan pesawat transpor berkembang sebesar setengah atau seperempat dari “Rekor Kecepatan Absolut” (Absolut Speed Record)yang dicapai menjelang 1960. Kemudian para airliner turboprop dan turbofan menetap pada kecepatan Mach 0,6 − 0,9. Kecuali Concorde dan Tu-144 yang menjelajah pada Mach 2,2. Perkembangan dalam kapasitas (berat) dan jarak yang semakin besar
43
Pola Abraham: Aerodinamika
Supercritical Airfoil (Mengacu hlm. 4)
Advanced wing technology After the introduction of transonic profiles, a major step, we expect some refinements, but further achievements through only new airfoils will be limited. Besarnya gaya persamaan:
hambatan
ρ T = D = — V2 CD S 2 di mana ρ
dinyatakan
oleh
(N) (lb) - - - - - - - - (1)
V = kecepatan terbang; (m/det), (ft/det). = luas sayap; (m2), (ft2).
CD = koefisien hambatan, suatu besaran tanpa dimensi dinyatakan sebagai berikut. CDtotal = CD tekanan + CD gesekan - - - - (2) (pesawat)
( friction)
di mana CD tekanan =
Maka gaya hambatan Dpesawat ditentukan dengan
rumus (2) berdasarkan besaran-besaran di atas.
= kerapatan udara, karakteristik fisik dari udara sebagai fungsi ketinggian; (slugs/ lb3), (kg/m3).
S
CD gesekan = luas permukaan (wetted area) dari komponen dikalikan dengan koefisien gesekan berdasarkan data empiris.
CD sayap
+
CD parasit
= CD airfoil + CD induksi +ΣCD komponen dengan C D ai r f o il didasar kan aerodinamis. CL2 CD induksi = —–—— π θ AR
karakter istik
CL = koefisien lift ; θ = faktor Oswald, untuk sayap 0,7 − 1,0; AR = Aspect Ratio. CD komponen = CD dari badan, bidangbidang ekor, roda pendarat, engine cowling, dsb, berdasarkan data dari terowongan angin, masing-masing.
KETERMAMPATAN UDARA DAN DAERAH PENERBANGAN ( FLIGHT REGION) Analisa berdasarkan kejadian-kejadian yang cukup luas menunjukkan bahwa fenomena ini terkait dengan kenyataan bahwa udara adalah ―termampatkan‖ (compressible) pada kecepatan tinggi. Ini berarti bahwa harga CD pesawat adalah konstan seperti ditentukan di atas hanya berlaku di daerah kecepatan rendah (sampai Mach 0,5 atau sekitar 600 km/jam). Di mana udara (diasumsikan) ―tak termampatkan‖ (incompressible). Perubahan besarnya CD pesawat sebagai fungsi dari kecepatan (Mach) dan pembagian daerah kecepatan (flight region) ditunjukkan di Gbr. 1-3. Dalam kondisi seperti di atas, maka besarnya gaya hambatan sepenuhnya ditentukan oleh kecepatan terbang V dan kerapatan ρ yang tergantung ketinggian, karena harga C D pesawat praktis konstan (dan juga luas sayap S). Menjelang berakhinya PD II ketika pesawatpesawat tempur (bertenaga motor torak dan berpropeler) di kedua belah pihak telah terbang semakin besar kecepatannya sekitar Mach 0,5+ (500 - 600 km/jam), seringkali terjadi fenomena di mana tiba-tiba pilot merasakan gejala ―nose heavy‖. Dan ketika ingin dikoreksi terasa timbulnya vibrasi pada bidang-bidang kendali sehingga tidak berfungsi dan dapat berakibat ―crash‖. Peningkatan harga CD pesawat ketika mendekati Mach 1 ini disebabkan oleh ―wave drag‖(hambatan gelombang) sehingga persamaan dasar koefisien: CDpesawat =CDtekanan+CDgesekan+CDgelombang ..(3) (wave)
44
Hal ini terutama berkaitan dengan sifat udara ―inkompresibel‖ atau ―tak termampatkan‖ pada kecepatan rendah sampai mendekati kecepatan suara atau Mach 1. Kemudian di atas daerah ini mulai tampak sifat ―kompresibel‖ atau ―termampatkan‖ dari udara. Hal yang ditunjukkan oleh meningkatnya harga koefisien hambatan CD ketika mendekati Mach 0,6 dan mencapai puncaknya pada kecepatan Mach 1. Dan turun lagi tapi tidak serendah kecepatan subsonik. Karena harga CD menentukan gaya dorong motor, maka bagi pesawat yang mampu terbang supersonik harus memiliki motor yang cukup kuat untuk melampaui puncak tersebut (lihat Gbr. 1-3). Secara umum daerah penerbangan (flight regime) dapat dibagi menjadi “region-region” berikut: Subsonik inkompresibel 0 < Ma < M < 0,72 Transonik
M 0,8 < Ma < M 1,2
Supersonik
M 1,2 < Ma < M 5
Hipersonik
Ma > 5
Di mana Ma menyatakan bilangan Mach dari region terkait. Dalam bab ini, kompresibilitas pada kecepatan tinggi akan dibahas pengaruhnya terhadap desain aerodinamik dari sayap. Baik yang berkaitan dengan bentuk airfoil, bentuk planform maupun ketentuan-ketentuan aerodinamik lainnya.
SAYAP UNTUK KECEPATAN TINGGI
Indikasi dari terjadinya ―shock wave‖ adalah: a. Terjadi ―drag rise‖ yang menyolok pada kurva CD. b. Terjadi getaran (vibration) pada pesawat c. Terjadi pergantian sikap (attitude) ke arah menukik (drive, nose heavy), yang memerlukan keseimbangan (trim change). Apa yang disebut ―Mach didefinisikan sebagai berikut.
Kritis‖
dapat
1. Mach kritis adalah bilangan Mach di mana pada suatu tempat tertentu di pesawat mulai terjadi arus dengan kecepatan suara (sonic flow). Hal ini pada kondisi tertentu masih dapat dibiarkan (ditolerir). 2. Definisi lain, Mach kritis adalah Mach di mana terjadi peningkatan hambatan (drag rise) yang cukup besar sebagai akibat dari a da nya /t imbul nya ― gel omba ng kejut‖ (shock wave) tetapi hanya sampai batas intensitas yang masih dapat diterima (acceptable). Letak titik Mach kritis dapat didefinisikan sebagai berikut. Mach kritis adalah bilangan Mach di mana dCD / dMach > 0,04
Mengenai indikasi-indikasi masuknya suatu pesawat ke dalam daerah arus kompresibel yang disebut ―Mach Kritis‖ dapat diterangkan sebagai berikut.
dCD
dMach 0,100
Supercritical Region
CD
0,050
1,0
2,0
Gbr. 1-3 Daerah Penerbangan (Flight Regime) 45
Mach
3,0
CD Gbr. 1-4 PENINGKATAN MACH KRITIS Dilaksanakan dengan penerapan supercritical airfoil dan geometri sayap yang sesuai.
Jadi Mach kritis merupakan batas kecepatan maksimum dari suatu tipe pesawat yang ditentukan oleh desain aerodinamiknya. Mengenai hal ini, akan dilakukan pembahasan lebih lanjut dalam bab-bab berikut. Pesawat-pesawat yang beroperasi pada kecepatan rendah (sampai M 0,6) tidak akan menemui masalah kompresibilitas dengan segala konsekuensinya. Sehingga untuk itu dapat sepenuhnya diterapkan aerodinamika pada arus inkompresibel yang lebih sederhana. Mengenai proses awal terjadinya shock wave ini pada sayap, ditunjukkan pada Gbr. 1-6. Terlihat pada gambar bahwa Mach kritis terjadi pada M 0,72 dan ini berlaku untuk airfoil tertentu. Airfoil yang karakteristik aerodinamiknya ditentukan oleh bentuk lengkungan kontur dan perbandingan ketebalan terhadap lebarnya (thickness to chord ratio, t/c) dan ini juga yang menentukan besarnya Mach kritis tersebut.
kecepatan tinggi terutama dengan penerapan rasio t/c yang lebih kecil. Bentuk dasar dari airfoil-airfoil ini memiliki kontur yang hampir sama simetris (antara atas dan bawah) dan t/c yang kecil. Besarnya Mach kritis dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut.
AIRFOIL KECEPATAN SUBSONIK TINGGI (HIGH SPEED SUBSONIC AIRFOIL)
Untuk batasan rasio ketebalan: 0,06 < t/c 0,18 dan batasan jarak terjadinya ―shock wave‖ dari leading edge (LE): 0,3 c < XR < 0,6c.
Seperti telah ditunjukkan di Gbr.1-3, Daerah Penerbangan, ketika arus mendekati kecepatan suara maka akan terjadi peningkatan hambatan (drag rise) yang titik awalnya disebut “Mach kritis‖. Dalam pelaksanaan desain sayap diupayakan agar titik tersebut bergeser ke kanan (artinya Mach kritis lebih tinggi) seperti ditunjukkan pada Gbr.1-4, daerah penerbangan inilah yang kini diterbangi pesawat-pesawat transpor modern. Untuk itu, diperlukan airfoil sesuai, yang pada prinsipnya Mach kritis yang lebih tinggi tetapi tetap efektif untuk beroperasi di daerah kecepatan yang lebih rendah. Pelaksanaan yang praktis untuk itu, adalah ―laminar airfoil‖ yang dikembangkan untuk
Mkrit = 1 − 0,66 (t/c) 1/2 − 0,2 CL - - - - - - - (4) (Ref.1) Ini berlaku untuk sayap tanpa atau dengan ―sweep back‖, memiliki AR sedang (moderate) serta batasan rasio ketebalan: 0,06 < t/c < 0,18. Mach kritis dapat ditentukan dengan lebih tepat b er dasar ka n lap or an ―T r ansonic Data Memorandum‖ sebagai berikut. Mkrit = 0,87 + 0,1 (XR/c) − 1,5 (t/c) − (0,2 − 0,5 t/c) CL - - - - - (5) (Ref.1)
shock wave
46
SUPERCRITICAL AIRFOIL Ini adalah airfoil yang khusus dioptimalkan untuk para airliner yang beroperasi pada kecepatan tinggi subsonik yakni M 0,70 − 0,90. Tujuan utamanya adalah menggeser Mach kritis ke arah kanan yaitu mendekati M 1,0 namun tidak perlu memiliki kemampuan supersonik. Dengan kata lain untuk menghindarkan peningkatan hambatan, drag rise, pada kecepatan yang lebih tinggi. Airfoil ini berbeda konsep desainnya dengan ―high speed subsonic airfoil‖ atau ―supersonic airfoil‖ yang telah dibahas di atas. Prinsip yang diterapkan pada ―high subsonic airfoil‖ ialah memerlambat (delay) pembentukan shock wave sejauh harga Mach kritis.
shock wave dipecah
Sedangkan ―supercritical airfoil‖ memiliki bentuk yang membiarkan gelombang kejut terjadi di sepanjang chord, jadi pecah, tidak terpusat, sehingga energinya lemah. Pada keadaan ini terjadi distribusi tekanan dari kedua jenis airfoil tersebut, seperti ditunjukkan dengan jelas pada gambar atas.
Gambar di bawah (Gbr. 1-5) menunjukkan perbedaan bentuk dari kedua jenis airfoil tersebut. Kecuali pada bentuk konturnya, ciri khas pada supercritical arifoil ialah ketebalannya yang lebih besar. Hal ini memberikan keuntungan-keuntungan sebagai berikut. Memungkinkan struktur yang lebih ringan karena spar memiliki momen inersia yang lebih besar. Menyediakan tempat yang lebih besar untuk tangki bahan bakar. Dan ini sangat penting terutama untuk pesawat transpor. Memiliki harga CL yang lebih tinggi sehingga diperlukan sayap lebih kecil, berarti hambatan utama lebih kecil dan struktur sayap lebih ringan Pada Gbr. 1-7A ditunjukkan penerapan pada Boeing 707, pesawat transpor jet generasi pertama yang sukses dioperasikan sejak pertengahan tahun 60-an. Dalam gambar ini diperlihatkan perbaikan pada segi aerodinamik (performa) dan dari segi konstruksi yang dapat terwujud dengan penerapan ―supercritical airfoil‖. Sehingga kini pesawatpesawat yang beroperasi di daerah kecepatan subsonik tinggi menggunakan airfoil tersebut, dalam satu atau lain bentuk pelaksanaannya.
Gbr. 1-5 Perbandingan bentuk airfoil 47
Gbr. 1-6 PERKEMBANGAN TERJADINYA ARUS TRANSONIK (TRANSONIC FLOW) PADA AIRFOIL, Ref. 3
48
Gbr. 1-7 PENERAPAN SAYAP SUPERKRITIS (SUPERCRITICAL WING) PADA PESAWAT BOEING 707-320B
49
Gbr. 1-8 Pesawat Tempur VTOL AV-8B Harrier II Penggunaan supercritical airfoil ini ternyata tidak hanya meluas pada pesawat-pesawat komersial saja tetapi juga pada pesawat-pesawat tempur. Contohnya adalah pesawat VTOL Inggris BAe AV-8A Harrier II, yang sebelumnya menggunakan high subsonic airfoil. Kemudian pada versi pengembangannya dalam kerja sama dengan McDonnel Douglas dari Amerika menjadi AV-8B, yang menggunakan supercritical airfoil. Begitu pula pesawat tempur ―variable swept wing‖ North American F-111.
CD Breakdown Persamaan (3) di atas (hlm 44) merupakan dasar dari drag polar yang didefinisikan sebagai persamaan maupun grafik yang menyatakan relasi antara CD dan CL (Anderson/Ref.2). Sementara grafik drag polar dengan berbagai variasi Mach ditunjukkan pada Gbr. 1-9 (Ref. 3). Dan Anderson membuat CD breakdown dalam bentuk bar chart yakni pada dua kecepatan, M 0,8 dan M 2,2, untuk menunjukkan pengaruh wave drag terhadap CD, yang pada akhirnya terkait erat dengan gaya dorong, thrust, seperti dinyatakan dalam persamaan (1) di atas (hlm. 44). Tinggi bar chart yang menyatakan harga CD (total drag) pada
Gbr. 1-9 Grafik drag polar dengan berbagai variasi Mach
kedua kecepatan tersebut dapat berbeda (pada Mach 2,2 selalu lebih tinggi) seperti ditunjukkan pada kurva-kurva Mach dalam grafik drag polar Gbr.1-9. Sehingga Gbr.1-10a dan 1-10b menggambarkan perbandingan relatif CD breakdown dimaksud secara persentase, juga bukan dalam besaran aktual. Pada Gbr. 1-10a, tampak bahwa elemen-elemen wing, body, empennage, engine installations, interference, leaks, undercarriage, dan flaps berkontribusi terhadap apa yang disebut dengan Zero-lift parasite drag (kotak-kotak berarsir). Atau dalam persamaan (3)—yang dijabarkan lanjut dari persamaan (2)—di atas dinotasi sebagai CDtekanan. Sementara yang disebut Lift-dependent drag (kotak-kotak putih/tak berarsir) pada persamaan (3) maupun (2) dinotasi dengan CDgesekan. Jelaslah, pada jelajah subsonik ini yang disebut zero-lift wave 100 % Wing
Wing/body Includ Engine inst etc Fin
Body % Total Drag
Empennage Engine install. Interference leaks etc
Zero-lift wave drag
Liftdependent drag
Liftdependent drag
0% Zero-lift parasite drag
Gbr. 1-10a Subsonic transport Cruise M 0,8 (Di bawah Mach Kritis)
Gbr. 1-10b Supersonic transport Cruise M 2,2 (Di atas Mach Kritis)
drag tidak ada, karena shock wave belum muncul. Pada Gbr. 1-10b untuk jelajah di atas kecepatan suara, M 2,2 dalam konteks ini, pengaruh zero-lift wave drag jelas terlihat. Malah, bersama dengan lift -dependent drag memberikan persentase kontribusi hampir dua pertiga dari total drag pesawat. Dan menarik, bahwa persentase kontribusi zerolift parasite drag atau CDtekanan justru mengecil dibanding dengan kondisi pada jelajah subsonik dalam Gbr. 1-10a—seiring CD yang menurun di atas M 1, seperti pada Gbr.1-3. Juga kontribusi liftdependent drag supersonik ini lebih besar dibanding dengan kondisi jelajah subsonik; hal yang dijelaskan oleh koefisien lift CL sebagai salah satu parameter induced drag (CD induksi; persamaan [2]) ketika menjelajah pada supersonik. Dengan demikian dari CD breakdown ini— 50
khususnya pada Gbr. 1-10b—lebih menegaskan lagi bukan hanya hadirnya pengaruh wave drag, seperti ditunjukkan oleh persamaan (3), tetapi juga dominasinya, setidaknya pengaruhnya yang besar, pada karakteristik utama segi aerodinamik pesawat supersonik—pada kebutuhan thrust.
KESIMPULAN Dalam perkembangan kecepatan yang dimungkinkan oleh sistem propulsi, sayap sebagai penghasil gaya angkat perlu menyesuaikan diri dengan mewujudkan nilai CL/CD atau disebut ―aerodynamic efficiency factor‖ yang optimal. Ini sangat penting karena berkaitan dengan BIRD WING
Typical airfoil or wing section of soaring birds such as: eagle, buzzard, hawk, seagul
aspek ekonomi yang didasari oleh pengiritan bahan bakar. Untuk itu terjadi evolusi dalam perubahan bentuk airfoil era pesawat pertama sampai masa kini seperti ditunjukkan oleh tabel pada Gbr.1-11. Supercritical airfoil merupakan bentuk yang dioptimasikan untuk M 0,70 − M 0,90 yaitu daerah kecepatan yang pada waktu ini di dunia diterbangi oleh paling banyak pesawat terbang komersial. Pesawat jenis transpor sipil yang mengangkut lebih kurang 7 miliar penumpang setiap tahunnya. Jadi seperti dikemukakan dalam pola Abraham perkembangan aspek aerodinamika, khususnya sayap, penggunaan supercritical airfoil guna menekan wave drag telah diterapkan secara luas dengan sukses pada pesawat-pesawat modern.
WRIGHT BROTHERS
Wright Brothers 1903 Flyer Wright Brothers 1905 Fyer Wright Brothers 1907 Flyer Roe Triplane 1909 Curtiss early models 1910-1912
WW.I-NIEUPORT
Nieuport Other World War I fighters used similar cambered sections in biplanes or triplanes configurations with external bracing
BIPLANES
CLARK Y & GÖTTINGEN 396
Sipirit of St Louis, Northrop Alpha, Northrop Beta. Many early monoplanes used either the Clark Y or the Göttingen 367 from 1922 on. These two airfoils were actually very similar in geometry and aerodynamics characteristics. The NACA four digits series was derived partially by of these airfoils
NACA FOUR DIGIT SERIES
Douglas B-18, Douglas B-23, Douglas AD, Douglas DC-2, Douglas DC-3, Douglas B-19, North American F86, Cesnna F2 Trainer, Cessna Various Light Airplane Types, Lockheed P-3, Northrop Delta, Northrop Gamma
NACA FIVE DIGIT SERIES
Douglas DB-7, Douglas A-20, Douglas DC-4, Douglas DC-6, Douglas DC-7, Cessna 401-421, Cessna Citation I & II Beech Most Models
MONOPLANES
NACA SIX SERIES
Douglas A-26, Douglas D558-I, Douglas D558-II, North American F-100, North American T-2 Trainer, Lockheed C-130, Vought A-7, McDonnell F-15, General Dynamics F-111
MONOPLANES
SUPERCRITICAL
Early Pearcey Peaky Types Trident, Harrier, CSA, Airbus, Lockheed L1011 Whitcomb Type T2C Mod, F-111 Mod, F8U Mod > NASA Research Airplanes Douglas YC-15 STOL Transport Prototype, Cessna Citation, Gulf Stream III, Adv A 300, Dassault Falcon 50, Canada Challenger CL 600, Future Transport
Gbr. 1-11 Tabel Historical Development of Airfoils (Sebagai fungsi dari kecepatan terbang)-Ref. 4
Willem J. Pattiradjawane Referensi: 1. Flight International, July 1971 & March 1982, Read Business, Sussex, UK. 2. John D. Anderson, Jr, Aircraft Performance & Design, Mc Graw-Hill International, LondonNew York, 1999. 51
3.
Ray Whitford, Design for Air Combat, Jane’s Publishing Inc., New York, 1987.
4.
Ed Heinemann, Aircraft Design, The Nautical & Aviation Publishing Co. of America Inc., 1985.