Prosiding Seminar Nasional ke-12 Teknologi dan Keselamatan PLTN Serta Fasilitas Nuklir Yogyakarta, 12 -13 September 2006
ISSN : 0854 - 2910
DESAIN TERAS SUPERCRITICAL WATER COOLED FAST BREEDER REACTOR R. Sigit E.B. Prasetyo, Andang Widi Harto, Alexander Agung Program Studi Teknik Nuklir, Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknik UGM
ABSTRAK DESAIN TERAS SUPERCRITICAL WATER COOLED FAST BREEDER REACTOR. Penggunaan pendingin air superkritis pada desain teras reaktor dapat menjadikan desain lebih sederhana, lebih kecil dan memiliki efisiensi termal yang tinggi.Berdasarkan hal tersebut akan dirancang sebuah reaktor nuklir yang merupakan modifikasi dari PWR dengan daya 300 MWth dengan sistem primer yang terintegrasi pada satu bejana. Pendingin air superkritis memungkinkan untuk menggeser spektrum neutron termal menjadi spektrum neutron cepat sehingga reaktor dapat dijadikan sebagai reaktor pembiak. Desain reaktor pembiak dengan pendingin air superkritis ini selanjutnya dinamakan SCFBR (Super Critical Fast Breeder Reactor). Dengan menggunakan paket program SRAC95, konfigurasi dan komposisi teras untuk mencapai kekritisan bisa dihitung dengan melakukan variasi jarak antar rod, variasi komposisi bahan bakar dan variasi daerah pengkayaan. Batang bahan bakar SCFBR menggunakan pelet UPuO2, gap helium dan kelongsong SS304. Teras SCFBR tersusun dari 37 perangkat bahan bakar heksagonal dengan 207 batang per perangkat. Desain ini menghasilkan diameter ekuivalen sebesar 142,8 cm dan tinggi 200 cm. Komposisi UO2 dan PuO2 divariasikan menjadi 3 daerah dalam arah radial. Komposisi kritis didapatkan pada saat konfigurasi teras terdiri dari 11 perangkat dengan komposisi PuO2 13,96%, 12 perangkat dengan komposisi PuO2 12,56%, dan 14 perangkat dengan komposisi PuO2 13,46% yang menghasilkan nilai kefektif sebesar 1,3157 pada saat BoL. Perhitungan neutronik dengan menggunakan paket program SRAC 95 menunjukkan bahwa reaktor memiliki koefisien reaktivitas suhu bahan bakar dan pendingin yang negatif. Simulasi terhadap tiga macam gangguan yaitu kegagalan pengambilan panas sistem primer oleh sistem sekunder, pengurangan laju aliran sistem pendingin primer, dan kelebihan daya transient juga menunjukkan bahwa reaktor memiliki respon negatif. Kondisi ini menunjukkan reaktor memenuhi kriteria keselamatan inheren dilihat dari aspek neutroniknya. Kata kunci : pendingin superkritis, reaktor pembiak, inherent safe ABSTRACT THE CORE DESIGN OF SUPERCRITICAL WATER COOLED FAST BREEDER REACTOR. The use of supercritical water on a reactor core design makes the the reactor design simpler, smaller and more efficient. Based on this assumption, a nuclear reactor system will be designed. The reactor design is a modification of PWR design which has thermal power 300 MWth and incorporates an integrated primary system in a single pressure vessel. The reactor is operated at a supercritical pressure of 25 Mpa. This condition will give the low density coolant without phase change. This will give a possibility to shift the neutron spectrum to fast spectrum to make the breeding possible. The design of a fast breeder reactor using supercritical water as coolant is called as SCFBR (Super Critical Fast Breeder Reactor). The fuel rod of SCFBR uses UPuO2 fuel pellet, helium gap and SS304 cladding. The SCFBR core consists of 37 hexagonal fuel assemblies with 207 rods per assembly. This design will give eqivalent diameter of 142,8 cm and the height if 200 cm. The composition of UO2 and PuO2 are varried into 3 radial zones. The critical composition can be achieved with 11 assemblies of 13,96% PuO2, 12 assemblies of 12,56% PuO2, and 14 assemblies of 13,46% PuO2. The k-eff valus at BoL is 1,03157. Neutronic calculation result using SRAC 95 computer code shows the the reactor core has negative fuel and coolant temperature reactivity coefficients. The simulations of three abnormal conditions, i. e. the failure of primary system heat removal, the decreasing of primary coolant flow rate and the increasing of reactor power shows that the reactor has negative response. This conditions show that the reactor core fulfills the inherent safety criteria in term of neutronics aspect. Key word : supercritical coolant, breeder reactor, inherent safe
R. Sigit E.B. Prasetyo dkk., Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknik UGM
277
Prosiding Seminar Nasional ke-12 Teknologi dan Keselamatan PLTN Serta Fasilitas Nuklir Yogyakarta, 12 -13 September 2006
ISSN : 0854 - 2910
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Peningkatan efisiensi termal secara signifikan (40%-45%) bisa didapatkan dengan memanfaatkan karakteristik air superkritis (374oC, 25 MPa) pada titik operasi sistem reaktor. Dengan pemanfaatan air superkritis, elemen pengatur perubahan fase dari cair ke gas pada Light Water Reactor (LWR) biasa bisa dihilangkan dari desain,sehingga desain menjadi lebih sederhana, yang diharapkan akan mengurangi waktu konstruksi, biaya investasi dan fabrikasi, serta mengurangi limbah nuklir yang dihasilkan [1]. Ketersediaan bahan bakar merupakan salah satu pertimbangan dilakukannya modifikasi sistem reaktor. Dengan skenario pemrosesan ulang bahan bakar nuklir yang telah dgunakan serta kontribusi dari Fast Breeder Reactor (FBR), dengan jumlah pembangkit nuklir yang signifikan, maka jumlah seluruh bahan bakar nuklir di alam bisa mencukupi kebutuhan energi hingga jutaan tahun [2]. Batasan Masalah Penelitian ini akan membahas aspek neutronik dalam teras reaktor dan akan memperhitungkan pengaruh pendingin air superkritis terhadap kritikalitas teras reaktor dan menghitung besarnya breeding ratio Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan: 1. Mendapatkan konfigurasi teras yang paling sesuai dan memenuhi kriteria kekritisan, yaitu k-efektif lebih dari satu. 2. Mencapai target burn-up yang tinggi. 3. Mendapatkan nilai convertion ratio (CR) yang besarnya lebih dari satu. TEORI DAN METODE Reaktor Berpendingin Air Superkritis Tidak adanya perubahan fase pada pendingin air superkritis menyebabkan komponen yang menangani perubahan fase tersebut mencakup sistem resirkulasi, steam separators dan dryers seperti yang terdapat pada LWR biasa, dapat dihilangkan dari desain. Hilangnya sistem resirkulasi akan menyebabkan tingginya perbedaan entalpi antara masukan dan keluaran teras reaktor. Entalpi pendingin akan tinggi pada tekanan superkritis. Dengan dihilangkannya beberapa komponen diatas, desain reaktor akan menjadi lebih kecil dan sederhana [3]. Desain SCWR sesuai dengan desain geometri teras reaktor cepat yang lebih kompak daripada LWR biasa, walaupun secara keseluruhan tidak ada perbedaan antara sistem pembangkit reaktor termal dan reaktor cepat4). Hal itu mendorong dikembangkannya reaktor
R. Sigit E.B. Prasetyo dkk., Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknik UGM
278
Prosiding Seminar Nasional ke-12 Teknologi dan Keselamatan PLTN Serta Fasilitas Nuklir Yogyakarta, 12 -13 September 2006
ISSN : 0854 - 2910
cepat berpendingin air superkritis (SCFR) yang memungkinkan menghasilkan surplus bahan bakar (CR>1). Metode Penelitian Analisis dilakukan menggunakan paket program komputer SRAC95. Analisis dimulai dengan perkiraan kekritisan awal yang dilihat dari perhitungan tingkat cell dengan input geometri cell, jumlah nuklida dan isotop yang digunakan (bahan bakar dan material). Pada langkah ini dimulai analisis nilai convertion rationya dan burn upnya dengan melakukan variasi komposisi UO2 dan PuO2 dalam bahan bakar serta melakukan variasi jarak antar rod. Komposisi bahan bakar yang didapatkan digunakan untuk analisis kekritisan tingkat teras. Pada langkah ini dilakukan variasi jumlah perangkat bahan bakar dengan komposisi yang berbeda. Menghitung koefisien reaktivitas suhu bahan bakar dan pendingin. Perhitungan koefisien reaktivitas suhu bahan bakar didekati dengan persamaan temperature coefficient of reactivity (αT).
αT ≡
δρ δT
persamaaan diatas bisa didekati dengan persamaan yang lebih mudah seperti yang ditampilkan di bawah ini;
αT ≅
1 δk k δT
Meninjau sistem keselamatan pada desain akhir dengan memberi uji simulasi gangguan pada sistem reaktor . HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi dan Konfigurasi Teras Komposisi teras terdiri dari 217 rod tiap perangkat bahan bakar yang terkumpul dalam 37 perangkat bahan bakar berbentuk heksagonal. 37 perangkat bahan bakar tersebut terbagi menjadi tiga komposisi UO2 dan PuO2 yang berbeda, yaitu terdiri dari 13 perangkat bahan bakar dengan komposisi PuO2 13,96%, 13 perangkat bahan bakar dengan komposisi PuO2 12,56% dan 11 perangkat bahan bakar dengan komposisi PuO2 13,46%. Penelitian ini secara keseluruhan menghasilkan karakteristik yang tersaji dalam bentuk tabel di bawah ini;
R. Sigit E.B. Prasetyo dkk., Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknik UGM
279
Prosiding Seminar Nasional ke-12 Teknologi dan Keselamatan PLTN Serta Fasilitas Nuklir Yogyakarta, 12 -13 September 2006
ISSN : 0854 - 2910
Tabel 1. Karakteristik Teras SCFBR Daya termal
300 MWth
Tinggi aktif teras
200 cm
Diameter teras ekivalen
142,8 cm
Jumlah perangkat bahan bakar
37
Pendingin
Air ringan ( Light Water )
Tekanan sistem
25 MPa
Laju alir massa pendingin
306,804 Kg/sekon
Suhu masukan pendingin
377oC
Suhu keluaran pendingin
527oC
Periode refueling
8 tahun 80 hari
Desain burn-up
99.000 MWD/ton
Tabel 2. Karakteristik Perangkat Bahan Bakar SCFBR Material bahan bakar Dimensi pelet Jumlah rod tiap perangkat Material gap Material kelongsong bahan bakar
UPuO2 0,76 x 1,25 cm 217 Helium SS 304 Cr 20 % Fe 70 % Ni 10 %
Jarak antar perangkat bahan bakar
20,4 cm
Jarak antar pin bahan bakar Diameter terluar kelongsong bahan bakar Tebal gap Tebal kelongsong bahan bakar
1,20 cm 0.90 cm 0,16 mm 0,54 mm
R. Sigit E.B. Prasetyo dkk., Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknik UGM
280
Prosiding Seminar Nasional ke-12 Teknologi dan Keselamatan PLTN Serta Fasilitas Nuklir Yogyakarta, 12 -13 September 2006
ISSN : 0854 - 2910
13,46% 12,56% 12,56% 13,46%
13,46% 12,56% 13,96% 12,56% 13,46%
13,46% 12,56% 13,96% 13,96% 12,56% 13,46%
13,46% 13,96% 13,96% 13,96% 13,96% 13,96% 13,46%
13,46% 12,56% 13,96% 13,96% 12,56% 13,46%
13,46% 12,56% 13,96% 12,56% 13,46%
13,46% 12,56% 12,56% 13,46%
Gambar 1. Pemetaan Bahan Bakar dalam Teras 13,96%
Komposisi PuO2 13,96% dan UO2 86,04%
12,56%
Komposisi PuO2 12,56% dan UO2 87,44%
Komposisi PuO2 13,46% dan UO2 86,54% 13,46%
Kritikalitas Teras Pada penelitian ini, perhitungan kekritisan teras dilakukan dengan membagi teras menjadi tujuh daerah aksial sehingga bisa diketahui perubahan suhu pendingin yang diikuti perubahan densitasnya dari bagian bawah teras (inlet) ke bagian atas teras (outlet). Setelah menentukan suhu pendingin di tiap daerah aksial, suhu kelongsong bahan bakar, suhu gap dan suhu pelet bahan bakar di tiap daerah aksial bisa ditentukan [5]
R. Sigit E.B. Prasetyo dkk., Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknik UGM
281
Prosiding Seminar Nasional ke-12 Teknologi dan Keselamatan PLTN Serta Fasilitas Nuklir Yogyakarta, 12 -13 September 2006
ISSN : 0854 - 2910
Tabel 3. Distribusi Suhu Teras Daerah
Densitas
Suhu o
Suhu
o
Suhu o
o
Suhu o
aksial
pendingin( C)
pendingin( C)
kelongsong( C)
gap( C)
bahan bakar( C)
1(inlet)
377.00
0.4798
397.92
425.58
683.28
2
379.49
0.4422
400.52
428.18
685.88
3
386.07
0.2569
407.40
435.07
692.76
4
400.18
0.1662
422.20
449.87
707.56
5
442.27
0.1134
466.50
494.16
751.86
6
502.48
0.0893
529.03
556.70
814.39
7(outlet)
527.00
0.0833
553.85
581.52
839.21
Untuk mendapatkan nilai faktor perlipatan efektif teras ( k-efektif ),data di atas digunakan sebagai masukan ( input ) program SRAC. Nilai k-efektif teras didapatkan sebesar 1.03157. . Kritikalitas dicapai saat konfigurasi teras terdiri dari 11 perangkat bahan bakar dengan komposisi PuO2 13,96%, 12 perangkat bahan bakar dengan komposisi PuO2 12,56% dan 14 perangkat bahan bakar dengan komposisi PuO2 13,46%. Koefisien Reaktivitas Suhu Bahan Bakar Pada kondisi ini dilihat pengaruh kenaikan suhu terhadap nilai k-efektif teras. Koefisien reaktivitas suhu bahan bakar dihitung berdasarkan penurunan nilai k-efektif teras yang disebabkan oleh kenaikan suhu bahan bakar saja dengan suhu kelongsong dan suhu pendingin dijaga tetap. Nilai k-efektif teras akan dihitung untuk tiap kenaikan suhu bahan bakar sebesar o
25 C. 1.0035 1.0030 1.0025
K-eff
1.0020 1.0015 1.0010 1.0005 1.0000 0.9995 0.9990 0.9985 0
25
50
75
100
Kenaikan suhu bahan bakar
Gambar 2. Pengaruh kenaikan suhu bahan bakar terhadap k-efektif
R. Sigit E.B. Prasetyo dkk., Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknik UGM
282
Prosiding Seminar Nasional ke-12 Teknologi dan Keselamatan PLTN Serta Fasilitas Nuklir Yogyakarta, 12 -13 September 2006
ISSN : 0854 - 2910
Tabel 4. Koefisien Suhu Bahan Bakar tiap Kenaikan Suhu Bahan Bakar Kenaikan suhu, δTf (oC)
αTf (oC-1)
0
-2.96166E-05
25
-2.90393E-05
50
-2.81251E-05
75
-2.87849E-05
100
-2.89437E-05
Gambar 2 menunjukkan bahwa setiap kenaikan suhu bahan bakar menyebabkan turunnya nilai k-efektif teras yang mengakibatkan berkurangnya jumlah reaksi fisi selanjutnya. Hal ini menyebabkan terjadinya pengurangan populasi neutron dalam teras yang secara otomatis akan menurunkan daya reaktor. Tabel 4 menunjukkan bahwa reaktor memiliki koefisien reaktivitas suhu bahan bakar yang bernilai negatif, sehingga memenuhi aspek keselamatan inheren. Koefisien Reaktivitas Suhu Pendingin Koefisien reaktivitas suhu pendingin dihitung berdasarkan penurunan nilai k-efektif teras karena kenaikan suhu pendingin yang tidak diikuti oleh perubahan suhu bahan bakar, gap dan kelongsong bahan bakar. Perhitungan suhu pendingin didapatkan dengan menaikkan entalpi pendingin pada tekanan sistem operasi 25 Mpa. Entalpi pendingin dinaikkan empat tingkat kenaikan masing-masing 100 kJ/kg pada tiap daerah aksial teras.
1.0050000 1.0000000 0.9950000
K-eff
0.9900000 0.9850000 0.9800000 0.9750000 0.9700000 0.9650000 0 kJ/kg
100 kJ/kg
200 kJ/kg
300 kJ/kg
400 kJ/kg
Kenaikan Entalpi
Gambar 3. Pengaruh kenaikan entalpi pendingin terhadap k-efektif
R. Sigit E.B. Prasetyo dkk., Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknik UGM
283
Prosiding Seminar Nasional ke-12 Teknologi dan Keselamatan PLTN Serta Fasilitas Nuklir Yogyakarta, 12 -13 September 2006
ISSN : 0854 - 2910
Tabel 5. Koefisien Suhu Moderator untuk tiap kenaikan suhu Moderator Kenaikan suhu, δTM ( 0C )
αTM ( oC-1 )
13.6429
-2.228E-04
15.1571
-1.896E-04
16.8429
-2.798E-04
18.5700
-6.570E-04
64.2129
-3.611E-04
Dari hasil perhitungan pada gambar 3 dengan tabel 5, reaktor memiliki koefisien suhu moderator yang bernilai negatif. Dengan kondisi ini, berarti setiap kenaikan suhu pendingin akan menyebabkan penurunan nilai k-efektif teras yang mengakibatkan berkurangnya jumlah reaksi fisi selanjutnya sehingga terjadi pengurangan populasi neutron dalam teras yang secara otomatis akan menurunkan daya reaktor. Gangguan Pengambilan Panas Sistem Gangguan disebabkan terjadinya kegagalan pengambilan panas sistem primer oleh sistem sekunder karena hilangnya pendingin pada sistem sekunder dan atau hilangnya aliran pada sistem sekunder yang menyebabkan pendingin sistem primer akan mengalami kenaikan entalpi. Kenaikan entalpi otomatis menyebabkan kenaikan suhu pendingin sepanjang daerah aksial, naiknya suhu pendingin akan diikuti kenaikan suhu kelongsong, suhu gap dan suhu bahan bakar secara proporsional. 1.0050 1.0000 0.9950
k-eff
0.9900 0.9850 0.9800 0.9750 0.9700 0.9650 0 kJ/kg
100 kJ/kg
200 kJ/kg
300 kJ/kg
400 kJ/kg
kenaikan entalpi
Gambar 4. Pengaruh kenaikan entalpi pendingin karena kegagalan pengambilan panas oleh sistem sekunder terhadap nilai k-efektif Dari Gambar 4 terlihat nilai k-efektif mengalami penurunan yang signifikan seiring dengan kenaikan entalpi pendingin sistem primer. Penurunan ini membuat jumlah neutron yang menyebabkan reaksi fisi akan senantiasa turun dan akan menyebabkan turunnya suhu teras
R. Sigit E.B. Prasetyo dkk., Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknik UGM
284
Prosiding Seminar Nasional ke-12 Teknologi dan Keselamatan PLTN Serta Fasilitas Nuklir Yogyakarta, 12 -13 September 2006
ISSN : 0854 - 2910
yang secara otomatis menurunkan dayanya. Jadi jika terjadi kegagalan pengambilan panas sistem primer oleh sistem sekunder, maka teras reaktor akan menurunkan dayanya secara otomatis, sehingga akan menjamin keselamatan reaktor secara inheren. Gangguan Aliran Sistem Pendingin Primer Gangguan yang disimulasikan pada teras reaktor dalam penelitian ini adalah yang menyebabkan berkurangnya laju aliran sistem pendingin primer dengan skenario adanya hambatan pada jalur loop yang dilewati oleh pendingin primer atau kegagalan sistem pompa. Aliran sistem pendingin primer pada penelitian ini akan disimulasikan berkurang hingga 60% dari laju aliran awalnya.
1.0050000 1.0000000
K-eff
0.9950000 0.9900000 0.9850000 0.9800000 0.9750000 0.9700000 100
90
80
70
60
Persentase Laju Alir Massa ( % )
Gambar 5. Respon k-efektif teras terhadap gangguan aliran sistem primer Seperti halnya yang terjadi pada kenaikan entalpi yang telah disimulasikan, pada kasus ini entalpi pendingin yang keluar dari teras akan meningkat karena adanya hambatan di jalur loop aliran sistem pendingin primer yang mengurangi laju aliran pendingin primer. Dari grafik yang telah ditampilkan, terlihat nilai k-efektif mengalami penurunan yang membuat teras reaktor mempunyai respon yang memenuhi aspek keselamatan inheren. Kelebihan Daya Reaktor Kelebihan daya reaktor termasuk ke dalam kecelakaan reaktivitas yang bisa berupa ekskursi nuklir maupun overpower transient yang bisa mengakibatkan terjadinya pelelehan bahkan penguapan bahan bakar karena ketidakmapuan pemindahan panas dari bahan bakar menuju pendingin secara cepat [6].
R. Sigit E.B. Prasetyo dkk., Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknik UGM
285
Prosiding Seminar Nasional ke-12 Teknologi dan Keselamatan PLTN Serta Fasilitas Nuklir Yogyakarta, 12 -13 September 2006
ISSN : 0854 - 2910
1.0050000 1.0000000
K-eff
0.9950000 0.9900000 0.9850000 0.9800000 0.9750000 0.9700000
100
110
120
130
140
Kenaikan Daya ( % )
Gambar 6. Respon k-efektif terhadap kelebihan daya reaktor Seperti yang terlihat pada grafik, k-efektif cenderung mengalami penurunan sehingga jumlah neutron untuk reaksi fisi akan berkurang yang berarti jumlah reaksi fisi yang terjadi akan semakin sedikit seiring dengan kenaikan dayanya. Penurunan jumlah reaksi fisi membuat suhu teras reaktor secara keseluruhan akan mengalami penurunan yang berakibat pada penurunan daya reaktor. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Teras reaktor pada penelitian ini mencapai kekritisan dengan nilai k-efektif sebesar 1,03157 . Didapatkan juga nilai burn up sebesar 99.000 MWD/ton dengan periode refueling 8 tahun 80 hari. Selain itu pada akhir periode operasi didapatkan nilai conversion ratio mencapai 1.054260. Teras reaktor ini juga memiliki koefisien suhu bahan bakar dan moderator yang negatif yang bisa terlihat dari penurunan nilai k-efektif seiring dengan kenaikan suhu. Dari simulasi tiga gangguan yang mungkin terjadi, reaktor memberi respon negatif. Artinya jika terjadi gangguan, reaktor akan secara otomatis menurunkan dayanya, sehingga jika ditambah dengan nilai koefisien bahan bakar dan moderator yang negatif, reaktor pada penelitian ini memenuhi kriteria keselamatan yang inheren ditinjau dari aspek neutroniknya. Saran Penelitian lebih lanjut terhadap penggunaan tekanan operasi superkritis terutama pada reaktor nuklir sangat diperlukan, karena telah terbukti memiliki efisiensi termal yang cukup tinggi dan telah banyak digunakan pada sistem pembangkit non-nuklir. Analisis termohidrolik pada teras reaktor ini juga sangat penting untuk dilakukan agar mencakup seluruh aspek dalam sistem reaktor
R. Sigit E.B. Prasetyo dkk., Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknik UGM
286
Prosiding Seminar Nasional ke-12 Teknologi dan Keselamatan PLTN Serta Fasilitas Nuklir Yogyakarta, 12 -13 September 2006
ISSN : 0854 - 2910
DAFTAR PUSTAKA 1). BUONGIORNO, JACOPO., 2002. The Supercritical Water Cooled Reactor (SCWR), ANS, 2002 Winter Meeting, Idaho National Engineering and Environmental Laboratory. 2). PERMANA, S., 2005. Energi Nuklir dan Kebutuhan Energi Masa Depan, Research Laboratory of Nuclear Reactor, Tokyo Institute of Technology, Tokyo 3). ISHIWATARI, Y., OKA, Y., KOSHIZUKA, S., 2001.Breeding Ratio Analysis of a Fast Reactor Cooled by Supercritical Light Water, Nuclear Engineering Research Laboratory, University of Tokyo, Ibaraki. 4). OKA, Y., NOMURA, K., 2000. Supercritical Pressure Light Water cooled Fast Reactor:A competitive way of FR over LWR, ASME, ICONE-8216, Vol.2, hal.188-211, Baltimore. 5). EL WAKIL, M.M., 1978. Nuclear Heat Transport, The American Nuclear Society, La Grange Park, Illinois. 6). LEWIS, E.E., 1977. Nuclear Power Reactor Safety, John Wiley & son, Inc., Canada.
DISKUSI: PERTANYAAN: (Jati S – PTRKN BATAN) 1. Disarankan untuk ditampilkan perbandingan harga CR dengan fast reactor yang sudah ada baik hasil penelitian maupun yang sudah beroperasi JAWABAN : (R Sigit EB Prasetyo – Teknik Fisika UGM) 1. Nilai CR-nya sudah dibandingkan dengan hasil penelitian yang lain, dengan nilai CR yang lebih besar sekaligus burn-up yang lebih tinggi.
R. Sigit E.B. Prasetyo dkk., Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknik UGM
287