BAB 5 STRUKTUR ORGANISASI
1 Struktur Organisasi dan Perbedaan Wewenang
1.1. Pengertian Pengertian tentang sebuah struktur dapat disederhanakan menjadi suatu cara dimana bagian-bagian disusun menjadi satu kesatuan. Sebagai contoh, sebuah sepeda motor atau sebuah mobil pada dasarnya adalah suatu kesatuan dari bagianbagian (spare parts) yang tersusun menurut struktur tertentu. Bangunan dimana manusia tinggal juga memiliki struktur. Dengan analogi sederhana ini, pengertian struktur secara mudah dapat dipahami. Contoh yang lain, sebuah bangunan juga memiliki struktur. Struktur dari bangunan terlihat mulai dari pondasi bangunan, dinding, sekat antar ruang, tiang, atap,
dan sebagainya.
Bagaimana struktur
bangunan itu dibentuk
sangat
berpengaruh terhadap aktifitas dan gerak orang yang berada di dalamnya. Untuk dapat memberikan keleluasaan dalam gerak sehingga aktifitas berjalan lancar maka struktur itu harus disusun agar memudahkan orang bergerak dan beraktifitas. Jadi aktifitas dan gerak itu juga berpengaruh terhadap struktur bangunan. Struktur sebuah kantor memiliki suatu struktur yang berbeda dengan struktur sebuah pabrik, berbeda pula dengan struktur sebuah gudang. Struktur yang ada pada tiap bangunan ini berklaitan dengan suatu ukuran, jumlah dan sifat kegiatan yang akan diwadahi. Pabrik mobil memiliki struktur bangunan yang berbeda dengan struktur bangunan pabrik komputer. Ini berkaitan dengan masalah teknologi yang dipakai dalam kedua pabrik itu. semua ini menunjukkan bahwa struktur bukanlah sesuatu yang berdiri bebas, tetapi selalu berada dalam pengaruh faktor lain. Meskipun analogi sebuah bangunan dapat dipakai untuk menjelaskan struktur, tetapi hal ini tidak sepenuhnya berlaku dalam menjelaskan struktur organisasi. Jika sebuah banguna dirancang oleh arsitek dan dikerjakan oleh pekerja bangunan, maka sebuah organisasi dibentuk oleh orang-orang yang berada di dalam organisasi itu. Masalah yang muncul adalah tidak semua orang yang berada dalam suatu organisasi itu selalu bersepakat mengenai bagaimana organisasi akan disusun. Sebuah bangunan dapat dibangun dengan meniru bangunan lain yang telah ada. Hal ini juga berlaku bagi organisasi, organisasi dapat saja mengambil bentuk tertentu seperi organisasi yang telah ada. Meskipun demikian, masalah yang muncul dalam
Universitas Gadjah Mada
organisasi yang berkaitan dengan hal ini jauh lebih rum it dari pada penggambaran analogi organisasi dengan sebuah bangunan. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa struktur organisasi merupakan berkaitan dengan berbagai macam faktor yang berpengaruh secara bersama. Hal ini pula yang kemudian menjadi dasar munculnya pandangan yang berbeda-beda dalam menjelaskan struktur organisasi. Sutarto (1981:37-39) menampilkan beberapa pandangan para ahli mengenai struktur organisasi sebagai berikut:
(a). Pendapat dari Ralp Currier Davis: Menurut pendapat dari Ralp Currier Davis, struktur organisasi menunjuk pada hubungan antara fungsi-fungsi tertentu, faktor-faktor phsisik dan orang.
(b) Pendapat dari John Pfiffner dan Owen Lane: Menurut pendapat dari John Pfiffner dan Owen Lane, struktur organisasi adalah hubungan antara para pegawai atau pekerja dan aktifitas-aktifitas mereka satu sama lain serta terhadap keseluruhan, dimana bagianbagiannya adalah tugastugas, pekerjaan-pekerjaan atau fungsi-fungsi dan masing-masing anggota kelompok pegawai atau pekerja yang melaksanakannya.
(c). Pendapat dari Robert Y. Durant: Menurut pendapat dari Robert Y. Durant, struktur organisasi menunjuk bagan atau skema dari hubungan-hubungan dan tugas-tugas dari orangorang yang bekerja dalam organisasi.
(d). Pendapat dari Ralp Currier dan Allan C. Filley: Menurut pendapat dari Ralp Currier dan Allan C. Filley, struktur organisasi adalah seperangkat formal hubungan-hubungan yang direncanakan antara pengelompokan fungsi-fungsi yang semacam, dan antara faktor-faktor phisik dan orang-orang yang diperlukan untuk melakukan fungsi-fungsi ini.
(e). Pendapat dari Dalton E. McFarland: Menurut pendapat dari Dalton E. McFarland, struktur organisasi diartikan sebagai pola jaringan hubungan antara bermacama-macam jabatan atau posisi dan para pemegang jabatan atau orang yang memiliki posisi itu.
Universitas Gadjah Mada
(f). Pendapat dari F.G. Anderson: Menurut pendapat dari F.G. Anderson, struktur organisasi adalah struktur dari hubungan-hubungan, pertanggungjawaban-pertanggungjawaban dan otoritasotoritas atau wewenang-wewenang melalui tujuan perusahaan pada pencapaian sasarannya.
(g). Pendapat dari Richard A. Johnson, Fremont E. Kast dan James E. Rosenzweig Menurut pendapat dari Richard A. Johnson, Fremont E. Kast dan James E. Rosenzweig, struktur organisasi adalahhubungan antara bermacam-macam fungsi atau aktifitas dalam suatu organisasi.
Berbagai macam pandangan dan pendapat mengenai struktur organisasi ini berasal dari berbagai disiplin ilmu yang menaruh perhatian besar pada fenomena organisasi dan strukturnya. Oleh sebab itu, penekanan dari masingmasing pandangan sangat berlainan, meskipun ada juga kesamaankesamaannya. Blau (Hall, 1991:85) menyatakan bahwa struktur organisasi menunjuk pada suatu distribusi dari orang-orang dalam berbagai posisi sosial yang berpengaruh terhadap hubungan peran diantara orang-orang itu dalam organisasi. Pengertian ini berkaitan dengan dua hal, yaitu adanya pembagian kerja, dimana diantara orangorang di dalam organisasi memiliki tugas atau pekerjaan yang berbeda-beda. Hal yang lain adalah bahwa dalam organisasi terdapat jenjang atau hirarkhi, dimana suatu posisi tertentu dalam organisasi diatur secara jelas bagaimana orang yang berada dalam posisi itu harus berperilaku. Hampir semua orang tahu bahwa setiap organisasi selalu memiliki tujuan dan tujuan ini merupakan hasil dari suatu proses tarik menarik, proses belajar dan proses adaptasi yang terus menerus dalam organisasi. Setiap organisasi senantiasa berada pada posisi dimana antara berbagai kekuatan, baik antar anggota organisasi maupun antara kekuatan dalam organisasi dengan kekuatan di luar organisasi, saling pengaruh mempengaruhi. Hal ini pastilah berpengaruh terhadap arah perkembangan dari setiap organisasi maupun tujuan dari setiap organisasi. Selain itu, setiap organisasi selalu berada dalam pengaruh lingkungan sekitarnya sehingga ia tidak terbebas dari pengaruh itu dan selalu berupaya beradapasi dengan berbagai perkembangan yang terjadi. Ini juga berpengaruh besar terhadap tujuan organisasi itu sendiri.
Universitas Gadjah Mada
Meskipun demikian, salah satu kekuatan penting yang berpengaruh terhadap pencapaian tujuan dari setiap organisasi adalah struktur organisasi yang ada dalam organisasi itu sendiri. Struktur organisasi merupakan sesuatu yang dipersiapkan sebagai sarana atau instrumen untuk mewujudkan tujuan yang organisasi dimaksudkan tersebut. Keberhasilan dan terwujudnya tujuan organisasi yang dimaksudkan. sangat ditentukan oleh struktur yang dimiliki oleh organisasi itu sendiri. Hal ini berarti bahwa dalam upaya mencapai tujuan organisasi, maka struktur organisasi dikembangkan. Struktur organisasi yang demikian, secara kebetulan saja, muncul dalam ukuran yang kecil saja pada saat suatu organisasi lahir. Secara bertingkat, sejalan dengan perkembangan dan perluasan yang terjadi dalam organisasi, hubungan temu muka menjadi tidak mudah dilakukan dan akibatnya kebutuhan akan pembagian kerja yang sistematik dan spesialisasi pada organisasi mulai muncul. Pada umumnya, suatu perencaaan yang baik dan suatu susunan organisasi yang baik baru terjadi pada tahap dimana kebutuhan akan pembagian kerja dan spesialisasi ini mulai dirasakan dalam organisasi. Jadi disini terdapat dua macam struktur yang dapat ditemui dalam organisasi, yaitu struktur yang direncanakan dan disusun (the planned and desinged structure) dan disisi lain juga dapat ditemui struktur yang sebenarnya berlaku (the operating structure). Suatu struktur mengalami modifikasi atau penyesuaian-penyesuaian secara bersamaan dan merupakan hasil dari suatu modifikasi atau penyesuaian dalam tujuan organisasi. Ini berarti, perubahan pada tujuan organisasi akan berpengaruh terhadap struktur organisasi. Dengan demikian antara tujuan organisasi dengan strukturnya memiliki hubungan saling tergantung dan saling berkaitan. Meskipun struktur organisasi merupakan sesuatu yang abstrak, tetapi keberadaannya merupakan sesuatu yang nyata-nyata ada. Setiap orang dapat dapat merasakan dan mengamati adanya susunan dari berbagai komponen atau bagian dalam suatu organisasi. Dalam organisasi yang demikian juga dirasakan adanya perbedaan antara suatu bagian dengan bagian yang lain dalam berbagai hal. Struktur organisasi dapat dipandang sebagai suatu pola-pola yang mapan dari hubungan sosial diantara berbagai bagian atau komponen dari suatu organisasi. Secara umum, suatu struktur formal menunjuk pada beberapa hal, yaitu:
(a) terdapatnya pola yang mapan dari hubungan dan tugas-tugas. (b) berbagai aktifitas dan kegiatan diberikan kepada bagian-bagian atau orangorang yang ada dalam organisasi.
Universitas Gadjah Mada
(c) terdapat koordinasi dari berbagai aktifitas dan pekerjaan ini. (d) terdapat hubungan hirarkis dalam organisasi (e) semua kebijakan, prosedur, ukuran, sistem evaluasi dan sebagainya memberi kan pedoman bagi berbagai aktifitas dan hubungan antar orang dalam organisasi. Dalam pandangan Hall (1991:85), struktur organisasi melaksanakan tiga fungsi utama yang mendasar bagi setiap organisasi. Tiga fungsi dari struktur organisasi itu adalah:
(a) Fungsi utama dan terpenting adalah bahwa struktur organisasi dibentuk untuk menghasilkan keluaran organisasi dan pencapaian tujuan organisasi. setiap organisasi senantiasa memiliki aktifitas dan memiliki tujuan tertentu. Struktur organisasi dibentuk untuk mendukung pelaksanaan aktifitas sehingga organisasi dapat menghasilkan keluaran tertentu. Dengan cara ini berarti struktur organisasi mendukung proses yang beralngsung dalam organisasi. Namun, struktur organisasi tidak hanya mendukung suatu proses secara khusus. Struktur organisasi juga mendukung pencapaian tujuan dari setiap organisasi secara umum.
(b) Struktur organisasi memiliki fungsi untuk meminimalisasikan berbagai pengaruh dari perbedaan yang ada pada tingkat individu. Struktur organisasi dibentuk untuk meminimalkan atau paling tidak mengatur kondisi dalam organisasi yang timbul sebagai akibat dari pengaruh perbedaan-perbedaan yang berasal dari individuindividu terhadap organisasi. Setiap individu yang memasuki suatu organisasi memiliki kondisi yang berbeda dari individu yang lain. Untuk mengatasi pengaruh dari perbedaan ituilah maka struktur organisasi dibentuk. Struktur organisasi dibentuk untuk memastikan bahwa setiap individu melakukan penyesuaian diri pada kondisi atau ketentuan yang berlaku pada organisasi, bukan sebaliknya organisasi menyesuaikan pada individu. Jadi disini individulah yang haruys melakukan pentesuaian terhadap apa yang ada dalam organisasi, peraturan, persyaratan, kegiatan dan sebagainya.
(c) Struktur organisasi memiliki fungsi sebagai kerangka dari penggunaan kekuasaan. Fungsi struktur organisasi ini berkaitan dengan kekuasaan dan pengunaannya di dalam organisasi. Sebagaimana dipahami, kekuasaan baru memiliki anti jika kekuasaan itu diterapkan atau ditujukan kepada pihak lain. Dalam hal ini struktur memberikan kerangka bagi pelaksanaan kekuasaan. Struktur organisasi menentukan bagaimana posisi-posisi
Universitas Gadjah Mada
kekuasaan dalam organisasi disusun. Dalam hal ini struktur organisasi menentukan posisi yang yang memiliki kekuasaan dan seberapa besar kekuasaan itu dimiliki oleh posisi itu. Ini berkaitan erat dengan proses pengambilan keputusan dan aliran komunikasi dalam organisasi. Sebagai contoh, seorang manajer pemasaran pada perusahaan akan memiliki posisi yang berbeda dalam struktur organisasi dengan seorang petugas pemasaran. Ini menunjukkan bahwa manajer pemasaran memiliki kekuasaan yang lebih besar dari petugas pemasaran di dalam organisasi perusahaan tersebut. Ini nampak misalnya dalam proses pengambilan keputusan mengenai segmen pasar yang akan dimasuki, strategi pemasaran dan sebagainya. Peranan manajer pemasaran lebih besar dari pada petugas pemasaran dalam pengambilan keputusan mengenai hal itu. Jadi, struktur organisasi dapat dilihat sebagai arena bagi berbagai kegiatan dalam organisasi. 1.2. Hirarkhi dan Perintah dalam Struktur Organisasi Struktur menunjuk pada sejumlah bagian-bagian dari suatu organisasi berhubungan satu sama lain dalam suatu susunan tertentu. Ini berarti bahwa suatu struktur memiliki susunan dan susunan ini memiliki arti penting bagi berbagai bagian dalam organisasi maupun bagi organisasi itu sebagai suatu keseluruhan dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Dalam memahami struktur organisasi, adalah sangat sukar untuk memilah suatu bagian dengan bagian lain karena antar bagian ini saling tergantung dan mempengaruhi. Namun demikian, untuk keperluan analisis hal itu dapat saja dilakukan sepanjang dipahami bahwa pada kenyataannya, antar bagian itu tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Beberapa komponen utama dari sebuah struktur adalah sebagai berikut: (a). Hirarkhi. Hirarkhi merupakan hal yang penting dalam struktur organisasi. Ketika jumlah tugas dan volumenya bertambah maka untuk dapat melaksanakan aktifitasnya dengan baik dan cepat, organisasi harus melibatkan banyak orang di dalam kegiatannya. Pertambahan jumlah dan volume kegiatan serta pertambahan jumlah orang dalam organisasi ini mendorong organisasi untuk mengembangkan unit-unit yang bertambah banyak pula, misalnya dalam bentuk bagian-bagian atau unit-unit kerja. Salah satu kesulitan yang muncul sejalan dengan pertambahan volume dan jumlah kegiatan serta pertambahan orang dan bagian-bagian dalam organisasi
Universitas Gadjah Mada
adalah sukarnya pimpinan melakukan kontrol atau pengawasan terhadap orangorang bawahannya meskipun orang-orang ini telah tergabung dan diorganisir dalam bagian-bagian atau unit-unit kerja. Untuk itu, sejumlah orang dalam bagian-bagian atau nit-unit kerja dalam organisasi ditunjuk untuk menduduki posisi tertentu guna membantu pimpinan dalam melakukan kontrol atau pengawasan terhadap bawahan. Jadi ketika kegiatan atau aktifitas mulai dibagi-bagi dan dikelompokkan dalam bagian-bagian atau unit kerja-unit kerja tertentu, maka perluasan sebenarnya sedang berlangsung. Perluasan itu dapat ke arah atas-bawah secara vertikal maupun ke arah samping atau horisontal. Pembentukan bagian-bagian atau unit kerja baru sebagai akibat dari bertambahnya kegiatan dan volumenya serta bertambahnya pelaksana kegiatan menunjukkan
adanya
perluasan
horisontal.
Ditunjuknya
seseorang untuk membantu pimpinan dalam pengawasan atau kontrol terhadap bawahan menunjukkan perluasan vertikal. Pembentukan bagian-bagian atau unit kerja baru sebagai akibat dari bertambahnya kegiatan dan volumenya serta bertambahnya pelaksana kegiatan menunjukkan adanya perluasan horisontal. Untuk menunjukkan gambaran terjadinya perluasan horisontal perhatikan bagan berikut ini Bagan : Perluasan Horisontal
Dari bagan di atas nampak secara jelas bahwa sebelum suatu perluasan, suatu organisasi memiliki dua bagian atau unit kerja, yaitu B dan B. Akan tetapi setelah mengalami perluasan, bagian atau unit kerja yang ada dalam organisasi itu bertambah menjadi empat bagian atau unit kerja, yaitu B, C, D dan E. Perluasan ke arah atas-bawah, yang disebabkan karena situnjuknya seseorang untuk membantu pimpinan dalam pengawasan atau kontrol terhadap bawahan ditampilkan dalam bagan berikut ini.
Universitas Gadjah Mada
Bagan : Perluasan Vertikal
Dari bagan di atas nampak bahwa sebelum kegiatan perluasan dilakukan, atasan melakukan kontrol atau pengawasan langsung kepada bagian-bagian atau unit kerja dibawahnya secara langsung. Setelah mengalami perluasan kegiatan, perluasan vertikal terjadi, yaitu dengan ditunjuknya B oleh atasan untuk membantu melakukan kontrol dan pengawasan terhadap bawahan yang ada dalam bagian atau unit kerja itu, yaitu C dan D bagi B. Pada umumnya, ketika jumlah kegiatan bertambah dan jumlah pelaksananya juga bertambah, organisasi mengalami perluasan baik vertikal maupun horisontal. bagan berikut menggmbarkan bagaimana perluasan vertikal maupun horisontal itu terjadi. Bagan : Perluasan Horisontal dan Vertikal
Universitas Gadjah Mada
Dari bagan di atas nampak jelas bahwa sebelum perluasan, organisasi hanya terdiri dari dua bagian atau unit kerja, sedangkan pengawasan dilakukan oleh atasan secara langsung. Setelah mengalami perluasan, bagian-bagian atau unit-unit kerjanya mengalami pertambahana sedangkan pengawasan dilakukan secara tidak langsung, yaitu melalui orang yang ditunjuk atasan.
(b). Kesatuan dan Rantai Perintah Dalam suatu organisasi yang di dalamnya terdapat pembagian tugas, semua aktifitas-aktifitas atau kegiatan-kegiatan yang saling berhubungan dilakukan dalam bagian-bagian atau unit-unit kerja tertentu. Setiap bagian atau unit kerja yang ada di dalam organisasi hanya melakukan kegiatan atau aktifitas yang ditugaskan kepadanya. Jadi di dalam bagian-bagian atau unit-unit kerja itu, terdapat spesialisasi kegiatan atau aktifitas sesuai dengan yang diperintahkan pada bagian atau unit kerja itu. Ini merupakan kondisi dimana kesatuan dalam penugasan dapat dilakukan. Jadi prinsip utama dari penugasan dalam organisasi adalah satu pemikiran dan satu perencanaan bagi semua kegiatan yang dilaksanakan dalam bagian-bagian atau unit-unit kerja yang ada dalam organisasi, untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Hal ini menunjukkan bahwa efisiensi dari administrasi atau organisasi dapat mengalami peningkatan jika tiap-tiap bagian atau bagian hanya memiliki satu jenis aktifitas atau kegiatan yang homogen dan direncanakan serta diperintahkan oleh atasan. Salah satu segi yang penting dari kesatuan perintah ini adalah mengenai distribusi atau alokasi dari otoritas pada berbagai tingkatan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diperintahkan. Setiap orang pada posisi bawahan harus memberikan pertanggung jawaban kepada pihak atasan dan dalam hal ini bawahan hanya bertanggung jawab pada satu atasan. Hal ini merupakan prinsip yang penting untuk melindungi kesatuan antara atasan maupun bawahan. Perintah hanya diberikan oleh satu atasan dan bawahan hanya bertanggung kawan padasatu atasa. Ini merupakan prinsip yang penting sebab, jika bawahan mendapat perintah dari banyak atasan maka akan menimbulkan situasi yang sulit bagi bawahan. Pada satu sisi, bawahan tidak dapat tunduk pada perintah yang diberikan oleh lebih dari satu atasan pada suatu waktu tertentu, dan disisi lain, pada saat yang sama, bawahan harus mempertanggung jawabkan apa yang ditugaskan kepadanya. Ini akan menimbulkan konflik bagi bawahan.
Universitas Gadjah Mada
Pada saat bawahan menerima perintah atau penugasan dari atasan, maka bawahan harus mempertanggung jawabkan perintah atau penugasan itu kepada atasan yang memberi penugasan atau perintah tadi. Apabila bawahan melaporkan hasil kerja atau tugasnya kepada atasannya, kemudian atasannya ini melaporkannya kepada atasan yang berada pada jenjang yang lebih tinggi, maka sebenarnya hal itu memberikan gambaran bahwa ada aliran perintah dari jenjang yang tertinggi ke jenjang yang lebih bawah, sampai yang terbawah. Ini menunjukkan adanya suatu rantai perintah yang mengalir dari atas ke bawah, sedangkan laoran atau informasi berjalan sebaliknya, mengalir dari bawah ke atas. Adanya mata rantai perintah dan aliran informasi ini menghubungkan setiap jenjang dalam struktur organisasi, sehingga dapat dilihat apa yang sedang terjadi dalam organisasi. Ini akan memberikan kepastian baik bagi atasan maupun bawahan, bahwa tidak ada seorangpun dapat melompat dari satu jenjang ke jenjang lain yang lebih atas, tanpa melewati jenjang yang langsung ada di atasnya dan sebaliknya. Segala sesuatu berjalan melalui saluran yang tepat. Dalam organisasi yang modern, yang struktur organisasinya telah berkembang menjadi sangat rumit, terdapat hirarkhi dengan banyak jenjang, dan karena setiap hal harus melalui setiap jenjang, ini akan menghasilkan suatu route aliran infromasi yang panjang dan seringkali mengakibatkan terjadinya keterlambatan dalam proses pengambilan keputusan. Oleh karena kenyataan yang demikian, para ahli dan praktisi organisasi mencoba mengembangkan beberapa alternatif, misalnya mengabaikan jenjang yang tidak dianggap penting, menciptakan "jembatan" bagi mudahnya pergerakan aliran komunikasi dari suatu level ke level lain yang penting. 1.3. Wewenang dan Pembagian Wewenang dalam Struktur Organisasi Wewenang atau otoritas merupakan komponen penting dalam struktur organisasi. Setiap individu pada suatu posisi melakukan tugas yang diperintahkan kepadanya di dalam organisasi melalui cara pemberian wewenang atau otoritas dari organisasi kepada posisi yang ditempati oleh orang itu. Wewenang yang diberikan kepada seseorang dalam posisi tertentu dalam struktur organisasi merupakan hak untuk menerapkan suatu kebijaksanaan, hak untuk menciptakan dan memelihara situasi yang dapat mendukung kenyamanan bagi individu maupun kelompok sehingga dapat menjalankan fungsinya dalam organisasi. Pemberian wewenang atau otoritas oleh organisasi ini pada sisi yang lain juga mengharuskan adanya pertanggung jawaban. Oleh sebab itu, antara pemberian
Universitas Gadjah Mada
wewenang dengan pertangung jawaban merupakan dua hal yang timbal balik dan setaraf. Pertanggung jawaban merupakan konsekuensi dari pemberian wewenang. Pemberian otoritas atau wewenang bagi seseorang dalam posisi tertentu pada struktur organisasi tidak akan menimbulkan persoalan bagi anggota yang lain. Dalam organisasi dapat saja muncul kekuasaan yang tidak bersumber dari otoritas atau wewenang yang diberikan oleh organisasi, misalnya otoritas yang bersumber atau berdasarkan senioritas seseorang, keahlian seseorang, kepribadian seseorang dan sebagainya. Setiap orang akan melihat bagaimana posisi seseorang dalam struktur organisasi, dengan cara ini maka orang tidak melihat siapa yang berada dalam posisi tersebut, tetapi melihatnya sebagai orang yang mendapatkan kekuasaan yang sah dari organisasi. Dengan itu pula maka kekuasaan yang saha ini dapat dilaksanakan dengan tanpa pertimbangan apapun. Dalam suatu organisasi yang modern, tugas dan aktifitas organisasi telah dibagi-bagi diantara banyak orang dalam berbagai unit kerja atau bagian, baik secara vertikal maupun horisontal. lni berarti bahwa dalam organisasi yang modern terjadi susunan vertikal, yang menunjukkan penentuan jenjang berdasarkan tingkatan keahlian yang ditentukan bagi tiap jenjang. Sedangkan susunan horisontal menunjuk pada pengaturan kelompok-kelompok kegiatan berdasarkan spesialisasi atau keahlian yang ditentukan. Sebagai hasil dari penyusunan vertikal dan horisontal ini adalah suatu hirarkhi berjenjang. Setiap jenjang dalam hirarkhi itu menerima otoritas atau wewenang dari jenjang yang lebih atas, tetapi bersamaan dengan pemberian otoritas itu dituntut pula pertanggung jawaban. Ini akan menghasilkan suatu kondisi dimana jenjang yang terbawah menerima tingkat otoritas yang rendah atau paling kecil. Sebaliknya, makin ke atas, tingkat otoritasnya makin tinggi atau makin besar. Ini tidak terjadi pada organisasi yang memiliki struktur otoritas yang sentralisasi. Dalam struktur otoritas yang sentralisasi, jenjang tertinggi tidak memberikan otoritas kepada jenjang yang lebih bawah. Dalam bagan berikut, digambarkan bagaimana otoritas bertambah besar jika dilihat dari jenjang terbawah ke yang lebih atas, atau sebaliknya bertambah kecil jika dilihat dari jenjang paling atas ke jenjang yang lebih rendah,
Bagan : Distribusi Otoritas
Universitas Gadjah Mada
Penenpatan seseorang dalam suatu posisi dalam struktur organisasi mensyaratkan pemilikan kemampuan untuk dapat melaksanakan otoritas yang dimiliki pada posisi itu. Jika seseorang yang mendapatkan posisi tertentu tetapi mengalami kesiltan dalam pelaksanaannya karena kemampuannya yang kurang memadai atau seseorang yang mendapatkan suatu posisi kemudian menyalah gunakan wewenang itu, maka pihak atasan dapat saja menarik otoritas yang diberikan dan memindahkan atau bahkan memecat orang itu dari posisi yang diberikan kepadanya. Sebaliknya, seseorang yang mampu mendusuki suatu posisi dan menggunakan otoritasnya dengan benar dan menunjukkan suatu prestasi yang nyata maka bukan tidak mungkin ia akan mendapatkan otoritas yang lebih besar, misalnya dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi, dipindahkan ke posisi yang lebih stategis dan sebagainya. Seseorang yang menduduki suatu posisi dalam suatu struktur organisasi senantiasa berusaha menciptakan situasi dan kondisi yang baik dan mapan dalam hubungan kerja dengan bawahannya. Atasan memberikan perintah yang jelas bagi bawahannya serta melakukan pemantauan mengenai apa yang dilakukan bawahan dan bagaimana perintah itu dilakukan. Pola pengawasan langsung ini hanya dapat dilakukan dalam suatu organisasi yang terdiri dari sedikit anggota. Dengan demikian, atasan masih mampu melakukan pengawasan secara langsung terhadap bawahan yang jumlahnya sedikit itu. Dalam organisasi dengan sedikit anggota ini hampir tidak ada jenjang yang mengantarai atasan yang memberi perintah dengan bawahan yang menjalankan perintah.
Universitas Gadjah Mada
ketika organisasi mengalami perkembangan, dimana tugas-tugas bertambah luas dan banyak, maka pola pengawasan langsung yang demikian tidak dapat lagi dipertahankan. Tugas dari atasan mengalami peningkatan sejalan dengan perkembangan organisasi yang demikian. Oleh karena itu, atasan kemudian menentukan orang yang dapat membantunya melakukan pekerjaan yang tak lagi dapat dilakukannya sendiri itu. Pada kenyataannya tidak mungkin seorang atasan memikul sendiri pekerjaan yang makin bertambah dan meluas itu. demikian juga menjadi bertambah sukar penyelesaian masalah-masalah yang muncul dan bertambah luas sejalan dengan perkembangan organisasi. Jadi disini atasan membagi pekerjaan kepada orang yang membantunya.
Universitas Gadjah Mada
Dalam membagi tugas dengan orang yang ditentukan untuk membantunya itu, atasan juga melakukan pemberian otoritas atau wewenang kepada orang yang ditentukan untuk membantunya. Ini berarti ketika atasan memberikan perintah kepada orang
yang ditentukan untuk
membantunya, yang dalam hal ini
berkedudukan sebagai bawahan dari atasan itu, maka pada saat itu otoritas juga diberikan kepada bawahan atau orang yang ditentukan untuk membantunya. Otoritas dalam hal ini berkaitan dengan hak dan kekuasaan tertentu untuk melaksanakan tugas yang diperintahkan kepadanya. Proses pemberian otoritas dan tanggung jawab kepada bawahan ini dikenal dengan proses pendelegasian. Jadi delegasi menunjuk pada kemampuan dari seseorang yang menduduki suatu posisi dalam struktur organisasi dengan otoritas tertentu, untuk melakukan suatu pekerjaan melalui orang lain. Singkatnya, delegasi menunjuk pada bagaimana atasan mendapatkan hasil kerja melalui orang lain. Atasan tidak akan menyerahkan semua pekerjaan untuk dibagi dan dikerjakan oleh orang lain yang ditunjuk untuk membantunya. Terdapat beberapa yugas yang tidak didelegasikan, baik karena tugas itu tidak dapat diserahkan pada orang lain karena sangat penting bagi kehidupan organisasi, atau dapat juga karena bawahan yang ditunjuk untuk membantunya dipandang tidak akan mampu melakukannya apabila tugas itu diserahkan kepadanya. Pada semua tugas atau pekerjaan yang senantiasa rutin terjadi, pekerjaan yang menjadi bidang keahlian bawahan dalam suatu bagian atau unit kerja, dapat dengan mudah didelegasikan. Tetapi terdapat juga beberapa pekerjaan yang hanya bisa dipertimbangkan dan diputuskan oleh atasan, misalnya masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan organisasi, masalah pekerjaan yang membutuhkan dukungan semua bagian atau unit kerja dan masalah lain yang hanya bisa diputuskan oleh atasan. Ini semua akan menjadi tugas atasan, sedangkan untuk halhal lain akan didelegasikan kepada bawahan. 2. Faktor-faktor yang Berkaitan Dengan Struktur Organisasi
2.1. Kompleksitas Kompleksitas merupakan faktor yang memiliki pengaruh besar terhadap struktur organisasi. Kompleksitas juga membawa pengaruh pada perilaku individu di dalam organisasi, kondisi-kondisi struktural dalam organisasi, proses-proses yang terjadi di dalam organisasi, serta hubungan antara organisasi dengan lingkungannya.
Universitas Gadjah Mada
Kompleksitas merupakan sesuatu yang pertama-tama dirasakan oleh individu ketika memasuki suatu organisasi. Kompleksitas ditandai dengan adanya pembagian kerja dalam organisasi, nama-nama bagian yang ada dalam organisasi, berbagai pengelompokan bagian atau kegiatan danm suatu jenjang hirarkhi. Kompleksitas pada umumnya dapat ditemui terutama dalam organisasi besar, seperti dalam perusahaan besar, negara, Angkatan bersenjata, Universitas dan sebagainya. Namun sebenarnya, pada organisasi yang sederhanapun kompleksitas ini dapat ditemukan. Misalnya dalam organisasi tingkat desa seperti PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga), secara sangat jelas menunjukkan adanya kompleksitas ini, apalagi sebuah organisasi besar seperi misalnya Departemen Dalam Negeri, akan sangat jelas terlihat adanya kompleksitas ini. Kompleksitas suatu organisasi disebabkan terutama karena bagianbagian atau unit-unit kerja yang ada di dalam organisasi itu memiliki berbagai macam variasi dalam kompleksitasnya. Dalam uraian terdahulu mengenai perluasan vertikal maupun horisontal telah dikemukakan bahwa bertambahnya kegiatan dan volume tugas-tugas yang dijalankan organisasi menyebabkan terjadinya perluasan tersebut. Pada kajian kompleksitas ini hal itu akan disinggung kembali dan akan akan dikaji lebih mendalam lagi.
Masalah kompleksitas organisasi bukanlah masalah yang sederhana. Terdapat tiga elemen dari kompleksitas ini, yaitu:
(a). Diferensiasi Horisontal Mengenai diferensiasi horisontal sebagai elemen kompleksitas ini terdapat beberapa pengertian. Hall (1991:53-54) menjelaskan mengenai pandanganpandangan itu. Menurut Hage, kompleksitas menunjuh pada spesialisasi dalam organisasi yang ditandai oleh banyaknya pekerjaan spesialisasi yang terdapat dalam organisasi dan lamanya pelatihan yang diperoleh pekerja spesivalis yang ada dalam organisasi. Makin besar jumlah pekerjaan spesialisasi dan makin lama pelatihan bagi tenaga spesialis yang ada maka makin kompleks pula organisasi itu. Sepaham dengan Hage, Price menyatakan bahwa kompleksitas dapat dilihat sebagai derajat persyaratan penngetahuan yang dimiliki dalam menghasilkan keluaran atau output. Ukuran dari derajat kompleksitas suatu organisasi adalah tingkat pendidikan anggotanya. Makin tinggi tingkat pendidikan, makin kompleks organisasi itu. Selain itu, Aiken menyatakan bahwa ada tiga ukuran untuk melihat kompleksitas suatu
Universitas Gadjah Mada
organisasi, yaitu jumlah pekerjaan spesialisasi, banyaknya aktifitas profesional dan banyaknya pelatihan profesional. Jadi menurut pandangan di atas, diferensiasi horisontal akan menambah kompleksitas suatu organisasi terutama karena tingginya spesialisasi yang membutuhkan koordinasi dari tenaga spesialis. Berbeda dengan pandangan di atas, Blau menyatakan bahwa kompleksitas menunjuk pada jumlah posisiposisi yang berbeda dan perbedaan bagian atau unit-unit kerja dalam organisasi. Organisasi bertambah kompleks jika di dalamnya makin banyak terdapat bagian-bagian atau unit-unit kerja. Dalam hal ini Blau tidak melihat dari segi kualitas pendidikan dan ketrampilan, tetapi semata-mata pada pertambahan jumlah bagian. Secara umum diferensiasi horisontal menunjuk pada pembentukan bagianbagian atau unit-unit kerja dalam suatu organisasi. Pembentukan bagian atau unit kerja tersebut dapat dilakukan melalui dua cara. Pertama, dengan memberikan kepada tenaga yang memiliki keahlian tertentu dalam sejumlah kegiatan untuk membentuk bagian atau unit tersebut. Kedua, melakukan pembentukan secara cermat dan teliti sehingga tenaga yang bukan ahlipun dapat melakukan pembentukan bagian atau unit tersebut. Pada cara pertama, ditandai oleh adanya tenaga ahli atau tenaga terampil dalam organisasi yang mampu melakukan tugas itu dengan baik. Kepada mereka diberikan tanggung jawab dan wewenang untuk menyelesaikan tugas itu. Cara ini tepat untuk menyelesaikan masalah-maslah yang relatif tidak rutin dan memiliki tingkat keragaman tugas atau kegiatan, dalam arti antar satu dengan lain tugas atau kegiatan terdapat variasi atau perbedaan yang cukuyp besar. Cara yang kedua merupakan cara yang nampaknya sangat sederhana, dimana setiap pekerja hanya menyusun satu atau sedikit tugas atau kegiatan yang dapat diulanginya jika menghadapi kondisi yang sama. Cara ini tepat untuk menyelesaikan tugas yang sifatnya rutin dan memiliki kesamaan atau tidak banyak perbedaan antara tugas yang satu dengan yang lain.
(b). Diferensiasi Vertikal Diferensiasi vertikal atau diferensiasi hirarkis merupakan masalah yang relatif tidak serumit diferensiasi horisontal. Hall (1991:54) melihat adanya pandangan para ahli lain mengenai hal ini. Meyer misalnya menyatakan diferensiasi vertikal ini sebagai penggandaan jenjang pengawasan, sedangkan Turner melihat diferensiasi vertikal sebagai jumlah posisi jabatan antara atasan tertinggi sampai dengan
Universitas Gadjah Mada
bawahan terrendah yang menghasilkan keluaran atau output. Sedang Johnson melihat indikator dari diferensiasi vertikal ini pada jumlah total dari jenjang dalam sebua bagian dalam organisasi. Semua pandangan ini secara jelas menunjukkan bahwa dalam diferensiasi vertikal terdapat distribusi sesuai dengan jenjang hirarkhi yang ada, sehingga makin tinggi jenjang, makin besar otoritas yang dimiliki. Meskipun distribusi otoritas merupakan hal yang pasti terjadi, tetapi dalam hal ini yang terpenting adalah adanya penggandaan jenjang dalam organisasi. Baik diferensiasi vertikal maupun diferensiasi hprisontal telah menyebabkan munculnya masalah bagi organisasi terutama dalam hal komunikasi, kontrol atau pengawasan dan koordinasi. Makin besar diferensiasi vertikal maupun horisontal makin besar masalah berkaitan dengan koordinasi, kontrol maupun komunikasi.
(c). Sebaran Secara Spasial Sebaran secara spasial merupakan elemen dari kompleksitas dalam kaitannya dengan diferensiasi vertikal maupun horisontal. Baik secara horisontal maupun vertikal, aktivitas dan pendukung aktivitas organisasi dapat tersebar secara spasial karena adanya sebaran secara spasial pada tugas atau kekuasaan. Sebaran secara spasial memiliki sumbangan bagi terjadinya kompleksitas jika sebaran secara spasial itu telah menyebabkan organisasi harus mengembangkan fungsi-fungsi yang sama dalam pembagian tugas dan susunan hirarkhis dalam berbagai lokasi. Jadi kompleksitas bertambah besar jika diferensiasi vertikal dan horisontalk terjadi pada beberapa lokasi sekaligus. Dalam kenyataannya, diferensiasi vertikal dan horisontal serta sebarasn secara spasial tidak hanya terjadi secara sendiri-sendiri pada suatu organisasi, tetapi dapat juga suatu organisasi mengalami perkembangan dalam kompleksitasnya karena tiga elemen ini secara bersama terjadi dalam organisasi. Satu hal yang penting untuk dipahami adalah bahwa kompleksitas suatu organisasi memiliki kaitan erat dengan faktor lingkungan. Jadi dapat dikatakan bahwa terdapat kecenderungan yang kuat suatu organisasi akan mengalami peningkatan kompleksitasnya jika aktifitas yang terjadi dalam organisasi itu serta lingkungan yang mengelilinginya juga bertambah kompleks.
Universitas Gadjah Mada
2.2. Formalisasi Dalam pandangan banyak ahli, formalisasi bukanlah suatu konsep yang netral. Menurut pandangan ini, tingkat formalisasi suatu organisasi menunjukkan perspektif dari para pengambil keputusan dalam organisasi dalam hubungannnya dengan para anggota organisasi. Jika anggota organisasi dipandang memiliki kemampuan untuk melaksanakan keputusan dengan baik dan mampu melakukan pengawasan pada diri sendiri dengan baik, maka formalisasi organisasi cenderung rendah. Sebaliknya, jika anggota organisasi dipandang tidak mampu melaksanakan keputusan dengan baik dan membutuhkan banyak aturan yang mengarahkan perilaku anggota dalam organisasi, maka formalisasi cenderung tinggi. Jadi formalisasi memiliki kaitan erat dengan kontrol organisasi terhadap anggotanya. Meskipun demikian, formalisasi memiliki konsekuensi yang penting tidak hanya tingkat individual, tetapi juga pada tingkat organisasi. Hall (1991:64-65) melihat bahwa pandangan para ahli mengenai formalisasi ini berbeda-beda. Hage melihat bahwa organisasi selalu belajar dari pengalaman masa lalunya dengan menggunakan aturan sebagai sarananya. beberapa organisasi mengembangkan pola yang cermat mengenai tugas-tugas yang ada secara detail, tetapi ada pula organisasi yang tidak melakukannya dan tidak ada batasan yang pasti mengenai tugas-tugas yang ada dalam organisasi. Formalisasi atau standardisasi diukur dari bagaimana penyusunan pola itu dilakukan dan bagaimana tugas-tugas itu dirumuskan. Aiken melihat formalisasi berkaitan dengan penggunaan aturan dalam suatu organisasi. Sedangkan Turner melihat formalisasi berkaitan dengan makin banyaknya aturan, prosedur, instruksi dan komunikasi yang dilakukan secara tertulis. Formalisasi berupakan dasar penting dari struktur organisasi. Jadi pada dua ahli terakhir ini, penekankannya terlertak pada bagaimana aturan diterapakn dalam organisasi. Setiap organisasi dapat melakukan formalisasi, tetapi pada umumnya dapat dibedakan antara formalisasi maksimal dan formalisasi minimal. Dalam setiap organisasi terdapat aturan dan tatacara atau prosedur. Aturan maupun prosedur ini memiliki variasi dari yang paling ketata sampai yang paling longgar. Ini semua memiliki pengaruh terhadap perilaku anggota dalam organisasi. Formalisasi maksimal terjadi jika aturan dan prosedur dalam organisasi berlaku sangat ketat. Misalnya suatu hal harus dikerjakan harus didahului oleh suatu perintah, dikerjakan dengan cara yang ditentukan oleh aturan dan prosedur yang
Universitas Gadjah Mada
berlaku. Ini menunjukkan bahwa formalisasi yang maksimal. Salah satu akibat dari formalisasi maksimal adalah kemungkinan besar munculnya rasa frustasi dari anggota atau pekerja karena ketatnya aturan dan prosedur dalam organisasi. Formalisasi minimal sebaliknya terdapat aturan dan prosedur tetapi tidak diperlakukan secara ketat, sehingga anggota organisasi memiliki keleluasaan mengenai berbagai hal, termasuk apa yang harus dilakukan. Organisasi yang memiliki formalisasi minimal ini antara lain terjadi pada organisasi yang berhadapan dengan situasi baru yang sebelumnya belum pernah dihadapi atau berhadapan dengan masalah-masalah kemanusiaan yang bermacam-macam bentuknya. Hal lain yang berkaitan dengan formalisasi adalah sentralisasi kekuasaan. Kekuasaan merupakan hal yang sangat penting dalam setiap organisasi, bahkan ada yang melihat organisasi sebagai "pemerintah swasta" ketika melihat penggunaan kekuasaan dalam organisasi. Pernyataan ini hanyalah ingin menekankan bahwa kekuasaan merupakan elemen penting dalam organisasi sehingga pelaksanaannya dapat menyerupai kekuasaan pemerintah atas rakyatnya. Distribusi kekuasaan dalam organisasi memiliki kaitan erat dengan formalisasi. Dalam suatu organisasi yang memiliki staf yang profesional dan terlatih, sehingga memiliki kemampuan dan kemauan untuk melakukan pengambilan keputusan maka pengambilan keputusan tidak berada pada sedikit orang pada jenjang tertinggi struktur organisasi. Ini berarti keberadaan staf yang profesional dan terlatih dalam organisasi dapat menumbuhkan kebutuhan untuk mengurangi perluasan aturan dan prosedur. Sebaliknya jika staf yang profesional dan terlatih tidak dimiliki, maka kebutuhan akan pengambulan keputusan yang sentralistis menjadi besar. Artinya, dibutuhkan perluasan aturan dan prosedur agar kinerja organisasi tetap terjaga. Meskipun terdapat perbedaan, perlu tetap dipahami bahwa organisasi tetap memiliki kontrol terhadap anggotanya, terlepas anggota itu memiliki keahlian profesional dan terlatih atau tidak. Formalisasi juga berkaitan dengan perubahan kegiatan dalam organisasi. Pada organisasi yang memiliki rutinitas khusus yang tinggi untuk diikuti oleh para anggotanya, maka dukungan dan perhatian terhadap gagasan baru dan perubahan kegiatan menjadi kecil. Ini disebabkan karena inisiatif individual dari anggota mengalami pengurangan sebagai akibat terjadinya formalisasi dalam organisasi. Dampak formalisasi bagi individu dapat dilihat dari bagaimana individu mengalami pembatasan oleh aturan dalam organisasi. Secara ekstrim dapat dikatakan bahwa, aturan-aturan yang sifatnya impersonal telah membatasi semua
Universitas Gadjah Mada
fungsi dari setiap individu dalam organisasi, sehingga individu melakukan tingkah lakunya mengikuti aturan yang ada, tanpa ada pilihan lain. Tingkat formalisasi yang ekstrim seperti itu akan menghasilkan "lingkaran setan" karena anggota atau pekerja mengikuti aturan itu demi aturan itu sendiri, karena ini menjadi ukuran bagi penialain prestasinya. Aturan menjadi lebih penting dari tujuan organisasi itu sendiri. Organisasi menjadi sangat kaku dalam menghadapi pihak lain termasuk menghadapi perubahan lingkungannya. Aturan yang demikian akan menyebabkan proses pengambilan keputusan cenderung akan menghasilkan aturan baru lagi. aturan menjadi "penguasa" dan otonomi tidak dapat dijalankan. Kondisi ini jelas tidak memberi peluang bagi individu untuk mengembangkan inisiatifnya dan akan menimbulkan frustasi bagi individu. 2.3. Sentralisasi Sentralisasi berkaitan erat dengan distribusi kekuasaan dalam organisasi, terutama dalam hubungannya dengan struktur organisasi. Terdapat banyak pandangan mengenai sentralisasi ini, sebagaimana dikemukakan oleh Hall (1991:7475). Hage menyatakan bahwa sentralisasi merupakan tingkat dan variasi partisipasi dalam suatu pengambilan keputusan yang strategis oleh suatu kelompok atau bagain/unit kerja dalam hubungannya dengan kelompok atau bagian/unit kerja lain dalam organisasi. Makin tinggi tingkat partisipasi dalam pengambilan keputusan oleh lebih banyak kelompok atau bagian/unit kerja dalam organisasi, maka itu menunjukan tingkat sentralisasi yang makin rendah. Kekuasaan dalam organisasi dapat diterapkan dalam berbagai tingkat dan dalam berbagai lokasi dalam organisasi tersebut. Ferry menyatakan bahwa sentralisasi menunjuk pada lokasi dari otoritas pengambilan keputusan dalam organisasi. Jika sebagian besar pengambilan keputusan dibuat secara hirarkhis di tangan satu unit atau bagian organisasi maka ini menunjukkan adanya sentralisasi. Sebaliknya desentralisasi terjadi jika dalam proses pengambilan keputusan terjadi pendelegasian dari atasakn ke bawahan dan semua unit secara umum menjadi sumber bagi pengambilan keputusan itu. Elemen lain dari sentralisasi berkaitan dengan bagaimana suatu aktifitas dievaluasi. Proses evaluasi menunjuk pada suatu proses penentuan apakah suatu kegiatan atau aktivitas dalam organisasi telah dikerjakan atau dilakukan dengan sebagaimana mestinya secara benar atau sebaliknya, tidak dikerjakan sebagaimana mestinya. Apabila evaluasi suatu kegiatan atau aktifitas dilakukan oleh orang-orang
Universitas Gadjah Mada
yang berada pada posisi puncak dalam organisasi tanpa menghiraukan pada tingkatan mana suatu keputusan diambil, hal itu secara jelas menunjukkan adanya sentralisasi. Meskipun konsep sentralisasi secara jelas menunjukkan pada hak untuk membuat keputusan, yang menggambarkan siapa yang mengambil keputusan apa dan kapan keputusan itu dibuat. Banyak orang menilai bahwa jika pengambilan keputusan ada ditangan orang yang berada pada posisi puncak dari organisasi, itu berarti terjadi sentralisasi. Akan tetapi masalah sebenarnya tidaklah sesederhana itu. Hal ini terutama jika dikaitkan dengan kenyataan bahwa setiap organisasi itu selalu memiliki kebijaksanaan yang mendasari proses pengambilan keputusan. Secara sederhana, hal itu dapat dijelaskan dengan mengkaitkan antara tingkat kelonggaran kebijaksanaan organisasi (yang meliputi kebijaksanaan, tatacara dan aturan yang ada dalam organisasi) dengan tingkatan pengambilan keputusan. Tingkat kelonggaran terdiri dari dua kemungkinan, yaitu longgar dan ketat, sedangkan tingkat pengambilan keputusan juga dapat dipilah menjadi dua, yaitu tingkat atas dan tingkat bawah dari suatu struktur hirarkhis organisasi. Sebagai hasilnya terdapat antar hubungan yang secara jelas menunjukkan bentuk sentralisasi dan desentralisasi suatu organisasi. Terdapat empat kemungkinan dari hubungan antara tingkat kelonggaran kebijakan dengan tingkat pengambilan keputusan itu, yaitu:
(a). Sangat Sentralisasi Kondisi ini terjadi jika tingkat kelonggaran kebijaksanaan cukup besar atau sangat longgar dan dilakukan pada tingkatan atas. Keadaan ini akan menghasilkan sedikit keputusan yang dapat dibuat oleh pelaksana pada tingkat bawah dan keputusan yang dibuat oleh tingkat bawah itu mengacu pada kebijaksanaan yang cukup Ioanggar tersebut. Sebagian besar keputusan harus mengacu pada apa yang ditentukan oleh tingkatan yang lebih tinggi.
(b). Sentralisasi Kondisi ini terjadi jika tingkat kelonggaran kebijaksanaan cukup ketat atau sempit dan dilakukan pada tingkatan atas. Keputusan dibuat oleh para pelaksana di semua tingkatan dengan mengacu pada kerangkakerja yang didasari oleh kebijakan, tatacara dan aturan yang ketat. Masalah-masalah yang muncul harus ditangani dan dikonsultasikan dengan tingkatan yang lebih tinggi untuk mendapatkan keputusan dan kejelasan penyelesaiannya.
(c). Desentralisasi
Universitas Gadjah Mada
Kondisi ini terjadi jika tingkat kelonggaran kebijaksanaan cukup ketat atau sempit dan dilakukan pada tingkat bawahan. Keputusan sebagai besar dibuat pada tingkat bawahan tetapi dengan mengacu pada kerangka kerja kebijaksanaan yang ada. Para pelaksana pada tingkat bawahan ini memiliki keleluasaan untuk memecahkan berbagai masalah yang timbul yang tidak diatur secara jelas oleh kebijaksanaan organisasi.
(d). Sangat Desentralisasi Kondisi ini terjadi jika tingkat kelonggaran kebijaksanaan organisasi cukup besar atau sangat longgar dan dilakukan pada tingat bawahan. Sebagian besar keputusan dibuat pada tingkat bawahan dengan tanpa adanya arahan dan keharusan untuk mengacu pada kebijaksanaan yang ada pada organisasi, sedangkan sebagian kecil keputusan yang dibuat dengan mengacu pada kerangka kerja kebijaksanaan organisasi. Dari empat kondisi yang ada di atas secara jelas menunjukkan bahwa konsep sentralisasi tidak sekedar menunjuk pada pembuatan keputusan yang ada ditangan orang-orang yang berada pada tingkat puncak dari struktur organisasi, tetapi konsep sentralisasi juga berkaitan dengan bagaimana kebijaksanaan organisasi mempengaruhi pengambilan keputusan itu. Sebagaimana terlihat dalam uraian di atas, organisasi menjadi sangat sentralistis manakala kebijaksanaan organisasi sangat ketat dan pengambilan keputusan dilakukan oleh tingkat atasan dari struktur organisasi. Sentralisasi itu makin berkurang dalam kondisi dimana kebijaksanaan organisasi tidak ketat tetapi keputusan tetap berada pada tingkat atas dari struktur organisasi. Sebaliknya, ketika keputusan itu pada tingkat bawah, dan itu berarti desentralisasi, memiliki kondisi yang berbeda dalam kaitannya dengan tingkat kelonggaran kebijaksanaan organisasi. Faktor lain yang juga mempengaruhi sentralisasi adalah ukuran dari organisasi. Antara ukuran besarnya organisasi dan sentralisasi menunjukkan adanya kecenderungan yang berkebalikan. Suatu organisasi yang memiliki ukuran yang kecil, pengambilan keputusan dan pelaksanaan serta kontrol atas keputusan itu dapat dilakukan dengan mudah oleh orang-orang yang berada pada posisi puncak suatu organisasi yang berukuran kecil tersebut. Ini berkaitan dengan kecilnya urusan dan tidak panjangnya rantai komando yang ada dalam organisasi yang
berskala
kecil.
Dalam
keadaan
yang
demikian,
keharusan
untuk
mendelegasikan urusan dan wewenang menjadi tidak mendesak sifatnya.
Universitas Gadjah Mada
Sebaliknya, dalam suatu organisasi yang berskala besar, kondisinya sangat berbeda. Makin besar ukuran suatu organisasi maka makin tidak sentralistis sifatnya. Hal ini dapat dipahami bahwa dengan makin besarnya ukuran suatu organisasi maka beban yang dipikul oleh orang-orang yang berada dalam posisi punjak dari suatu organisasi makin besar. Makin besar ukuran suatu organisasi berarti makin besar volume tanggung jawab yang ada di posisi puncak pimpinan suatu organisasi dan ini menjadi sebab mendesaknya keharusan untuk melakukan pendelegasian sebagian urusan dan tanggung jawab yang ada pada mereka kepada orang-orang yang berada pada posisi yang lebih rendah posisinya dalam struktur organisasi. Jadi sebagai akibat dari makin besarnya ukuran organisasi maka konsekuensinya adalah keharusan dilakukannya pendelegasian sebagian urusan dan wewenang, atau dengan kata lain, keharusan terjadinya desentralisasi. Dalam proses pendelegasian beberapa urusan dan wewenang ini, resiko yang ditimbulkannya dapat dikurangi jika dalam organisasi itu terdapat orangorang yang secara tepat dapat diserahi sebagian urusan dan wewenang yang didelegasikan, misalnya orang-orang yang memiliki pengalaman dan ketrampilan dalam bidang tanggung jawabnya atau orang-orang yang memiliki kualifikasi ahli dalam bidang yang didelegasikan. Hal ini berarti bahwa kemungkinan terjadinya kesalahan-kesalahan pelaksanaan tugas atau kegiatan yang ditetapkan dari atas pada tingkat bawah akan dapat dikurangi seminimal mungkin jika pihak-pihak yang diserahi tanggung jawab dan wewenang untuk melaksanakan kegiatan atau aktifitas itu benar-benar terampil atau ahli dalam melaksanakannya. Sebaliknya, jika para pelaksana pada tingkat bawah itu tidak memiliki kualitas dan kemampuan yang memadai, kemungkinan terjadinya kesalahan dalam pelaksanaan tugas atau aktifitas tersebut pada tingkat bawah cukup besar. Sentralisasi juga memiliki kaitan yang erat dengan kondisi lingkungan organisasi. Dalam banyak studi diperoleh surau kecenderungan dimana dalam suatu situasi yang tingkat kompetisi pasar antar organisasinya berlangsung cukup keras, maka kecenderungan dilakukannya desentralisasi menjadi makin penting dari pada dalam suatu lingkungan organisasi yang tingkat kompetisi pasarnya cukup lemah. Ini menunjukkan bahwa tingkat persaingan dalam lingkungan membawa pengaruh pada tingkat desentralisasi organisasi. Namun dari studi yang lain juga memberikan hasil yang berlawanan dari kecenderungan di atas. Berbeda dengan kecenderungan di atas, beberapa hasil studi yang lain justru menunjukkan bahwa dalam suatu lingkungan yang tingkat
Universitas Gadjah Mada
persaingan antar organisasinya cukup keras, kebutuhan akan adanya koordinasi dan kontrol menjadi makin besar. Ini berarti bahwa kebutuhan akan sentralisasi menjadi makin penting dan bukan desentralisasi. Dalam kondisi yang demikian, frekuensi pelaporan
perkembangan
keadaan
lingkungan
organisasi
menunjukkan
kecenderungan yang tinggi, makin dibutuhkannya komunikasi yang tertulis, kebutuhan akan prosedur atau tatacara pengambilan keputusan yang makin terperinci dalam organisasi makin besar. Ini semua secara singkat menunjukkan adanya tingkat sentralisasi yang makin besar. Perbedaan kecenderungan dari berbagai hasil studi tersebut di atas menunjukkan hubungan antara tingkat persaingan antar organisasi dalam lingkungan dengan kecenderungan terjadinya sentralisasi atau sebaliknya desentralisasi dalam organisasi. Hal ini sebenarnya berkaitan dengan karakteristik lingkungan organisasi yang ada. Dalam suatu lingkungan yang memiliki tingkat persaingan dimana semua organisasi yang saling bersaing itu memiliki kemungkinan memperoleh hasil yang sama, maka kecenderungan terjadinya desentralisasi akan bertambah kuat. Sebalinya dalam suatu lingkungan yang relatif memiliki keterbatasan tertentu sehingga keberhasilan suatu organisasi dalam persaingan antar organisasi akan mengakibatkan
organisasi
yang
lain
kehilangan
kesempatan
dan
peluang
mendapatkan hasil, maka kecenderungan terjadinya sentralisasi menjadi makin besar. Tingkat sentralisasi dalam organisasi secara tidak langsung menggambarkan kondisi masyarakat dimana organbisasi itu berada. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa sentralisasi berhubungan dengan kekuasaan. Jika organisasi menjadi
alat
utama
pelaksanaan
kekuasaan
dalam
masyarakat,
maka
kecenderungan kebutuhan akan sentralisasi menjadi makin besar karena masyarakat sebagai lingkungan organisasi memberikan peluang sentralisasi dapat dilakukan. Jika sebagian besar organisasi dalam masyarakat menerapkan sentralisasi maka peluang para pekerja tingkat bawahan untuk membicarakan dan memecahkan masalah yang mereka hadapi tidak banyak dapat dilakukan. Tingkat sentralisasi organisasi juga menggambarkan bagaimana organisasi memperlakukan anggotanya. Ini terlihat dari asumsi bahwa dalam suatu organisasi yang sangat tersentralisasi, akan memperlakukan pengawasan yang ketat terhadap anggotanya. Sebaliknya, jika tingkat sentralisasinya rendah, itu berarti bahwa para anggota organisasi memiliki peluang dan kesempatan yang besar untuk mengambil keputusan sendiri.
Universitas Gadjah Mada
3. Hubungan Kerja Dan Struktur Organisasi
3.1. Hubungan Kerja dalam Organisasi Dalam masyarakat yang makin modern, organisasi telah menjadi bagian yang penting dari kehidupan masyarakat. Setiap anggota masyarakat senantiasa berhubungan dengan organisasi selama ia menjadi anggota masyarakat tersebut. Organisasi bahkan telah dapat dinyatakan sebagai salah satu tempat dimana proses sosialisasi bagi anggota masyarakat dilakukan, selain di dalam keluarga, di sekolah maupun di tengah-tengah masyarakat. Sebagai contoh, ketika seorang anak belum memasuki usia sekolah, maka proses sosialisasi hampir sepenuhnya dilakukan di dalam keluarga. Ketika anak mulai memasuki usia sekolah dan kemudian anak juga makin luas pergaulannya, maka proses sosialisasi tidak hanya dilakukan oleh keluarga, tetapi juga oleh sekolah dan juga oleh masyarakat. Ketika anak itu kemudian aktif dalam organisasi di dalam masyarakat, misalnya anak itu aktif dalam organisasi kepemudaan di kampungnya, maka sosialisasi juga dilakukan oleh organisasi kepemudaan itu. Jadi makin dewasa anak, makin luas pergaulannya, makin banyak organisasi yang dimasukinya, maka akan lebih banyak faktor yang mempengaruhi proses sosialisasinya. Organisasi memang tumbuh dan berkembang disekitar upaya manusia dan masyarakat memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Sebagaimana diketahui bahwa manusia tidak mampu memenuhi semua kebutuhannya sendiri sehingga ia kemudian bekerja sama dengan orang lain melalui cara membentuk berbagai organisasi. Jadi, terdapat banyak organisasi sejalan dengan ragamnya kebutuhan hidup manusia dan masyarakat. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa dewasa ini, orang lebih banyak hidup dalam organisasi dan pada saat yang sama, orang menjadi anggota berbagai organisasi sekaligus. Dengan demikian, makin banyak seseorang menjadi anggota berbagai organisasi, maka makin banyak pula hubungan sosialnya dengan orangorang yang memiliki latar belakang pengalaman sosial yang beragam, dan semua ini akan mempengaruhi pula proses sosialisasinya. Dalam pengkajian tentang pengertian organisasi telah dipahami bahwa organisasi menunjuk pada suatu tipe kolektifitas yang mapan untuk mencapai suatu tujuan khusus, yang ditandai oleh adanya suatu struktur aturan yang formal, hubungan kewenangan, pembagian kerja dan pembatasan keanggotaan. Organisasi juga menunjuk pada suatu aktifitas sosial yang teratur dengan tujuan tertentu. Dalam pengertian ini, organisasi memiliki implikasi pada kemampuan untuk mengontrol
Universitas Gadjah Mada
hubungan-hubungan antar manusia untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dari pengertian diatas napak jelas bahwa organisasi memiliki kaitan dengan kumpulan orang, yang di dalamnya ada proses pembagian kerja dan terdapat pula suatu sistem hubungan diantara anggota-anggotanya dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Oleh karena orang berada dalam organisasi untuk saling bekerja sama dalam mencapai tujuan tertentu, maka hubungan antar orang merupakan hal yang penting untuk dipahami. Meskipun sangat disadari bahwa pemahaman tentang hubungan antar manusia (human relations) merupakan sesuatu yang tidak mudah mengerti, tetapi karena hubungan antar manusia itu memainkan peranan yang penting, termasuk dalam organisasi, maka hal ini menjadi sangat penting untuk dipahami. Pada umumnya perhatian tentang hubungan antar manusia dalam organisasi tertuju pada bagaimana memahami kekuatankekuatan dan akibat-akibat dari perilaku orang per orang maupun kelompokkelompok yang ada dalam organisasi. Menyadari akan hal ini maka tugas-tugas pengorganisasian pada prinsipnya adalah mengatur bagaimana hubungan antar manusia dalam organisasi dapat diarahkan pada penvcapaian tujuan yang ditentukan. Dalam organisasi, hubungan antar anggotanya pada umumnya diarahkan pada usaha untuk memahami dan menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadinya kerjasama antar anggota tersebut untuk mencapai tujuan yang ditentukan. Hubungan antar anggota organisasi yang berjalan baik, sangat besar sumbangannya bagi pencapaian tujuan organisasi tersebut. Oleh karena itu banyak organisasi yang melakukan pelatihan atau orientasi awal bagi calon anggota atau calon pegawainya. Adapun tujuan dari pelatihan pada awal keterlibatan anggota baru dalam organisasi ini pada dasarnya ditujukan agar anggota baru itu dapat mengenal aktifitas, tugas, kegiatan organisasi dan menerima nilai-nilai yang ada dan hidup dalam organisasi serta anggota baru itu mampu mengembangkan sikap-sikap yang positip dalam berhubungan dengan anggota organisasi lainnya. Hubungan antar anggota dalam organisasi formal memiliki beberapa perbedaan dengan hubungan antar anggota dalam organisasi informal. Dalam organisasi formal mempunyai struktur yang dinyatakan dengan jelas dan tegas, yang dapat menggambarkan hubungan-hubungan wewenang, kekuasaan dan tanggung jawab. Organisasi formal memiliki perincian pekerjaan yang jelas bagi tiap anggota, juga tujuan yang jelas dan terdapat pengaturan yang tegas mengenai hak dan kewajiban
anggota.
Dalam
organisasi
formal,
struktur
organisasi
dibentuk
berdasarkan aktifitas yang harus dikerjakan oleh para pekerja atau anggota
Universitas Gadjah Mada
organisasi kedalam fungsi-fungsi yang logis, yang secara umum dikenal sebagai departementalisasi. Dengan adanya departementalisasi ini, maka pembagian kegiatan organisasi dapat dilakukan secara lebih efektif dan efisien. Di sisi lain, organisasi informal disusun secara bebas, lebih fleksibel, tidak pasti dan spontan. Keanggotaan dalam organisasi informal dapat diperoleh secara sadar atau bisa pula tidak secara sadar dan sukar ditentukan kapan menjadi anggota kapan tidak menjadi anggota. Pada umumnya keanggotaan tumbuh melalui perjalanan waktu. Oleh karena itu, hubungan antar anggota dalam organisasi informal ini lebih longgar dan tidak secara jelas dan tegas menentukan hak dan kewajiban dari anggotanya. Perbedaan ini sangat penting untuk memahami bagaimana hubungan antar anggota dalam suatu organisasi formal berlangsung. Dengan adanya struktur organisasi yang jelas, maka hubungan wewenang, kekuasaan dan tanggung jawab terrinci dengan jelas, demikian juga penjabaran akan tugas masing-masing menjadi jelas. Ini semua akan menjadi pedoman tingkah laku bagi semua anggota organisasi. Oleh karena sedemikian jelas dan formalnya hubungan antar anggota dalam melakukan aktifitas organisasi, maka hubungan antar anggota dalam suatu organisasi formal dapat dipandang sebagai suatu bentuk hubungan kerja. Ini juga didasari oleh kenyataan bahwa dalam setiap organisasi, antara satu anggota dengan anggota lain senantiasa saling tergantung (interdependent) dan hanya dengan bekerja sama tujuan organbisasi akan dapat dicapai. Hubungan kerja yang terjadi dalam organisasi menggambarkan bagaimana budaya yang berkembang dalam organisasi itu. Ini dapat dipahami karena pada umumnya
dalam
kurun
waktu
tertentu,
setiap
organisasi
akan
selalu
mengembangkan budayanya sendiri, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai, norma-norma dan harapan-harapan yang berlaku bagi anggota organisasi. Oleh karena organisasi itu merupakan lingkungan sosial sekaligus tempat untuk saling berinteraksi, atau bekerja bagi para anggota organisasi, maka budaya yang berlaku dalam organisasi itu akan sangat mempengaruhi interaksi sosial dan perkembangan kepribadian para anggota organisasi itu. Sebagai contoh, seorang pegawai baru yang diterima bekerja pada suatu kantor yang terkenal memiliki disiplin yang tinggi serta memiliki penghargaan yang tinggi atas kerja keras dan prestasi kerja, segera akan melakukan penyesuaian terhadap budaya yang berlaku di kantor tersebut. Pegawai itu akan menempatkan disiplin, prestasi kerja dan kerja keras sebagai pedomannya dalam bekerja. Ini
Universitas Gadjah Mada
membuktikan bahwa sebagai lingkungan sosial, organisasi akan mempengaruhi perkembangan kepribadian dan pola interaksi sosial anggota organisasi itu. Demikian pula organisasi sebagai tempat bekerja, akan mempengaruhi cara dan kebiasaan kerja anggota organisasi itu. Meskipun diakui bahwa seseorang bekerja tidak semata-mata karena motivasi untuk mendapatkan upah atau gaji, tetapi ada juga motivasi lain yang mendorongnya untuk bekerja. Apalagi jika dikantor tersebut promosinya ditentukan oleh prestasi kerja yang dimiliki seseorang, maka akan sangat besar kemungkinannya orang akan bekerja dengan sangat keras untuk tidak sekedar mendapat uang, tetapi juga posisi jabatan dalam kantor itu. Selain itu, besar kecilnya ukuran organisasi yang ditandai oleh kompleks tidaknya
struktur,
aktifitas
dan
jumlah
anggota
suatu
organisasi,
sangat
mempengaruhi hubungan kerja yang terjadi dalam organisasi. Sebagai contoh, dalam suatu pabrik tekstil, struktur organisasinya hanya terdiri dari tiga jenjang, yaitu manajer pada posisi atas, para mandor atau pengawas pada jenjang tengah dan pekerja biasa pada jenjang terbawah. Ditilik dari jumlah, para manajer merupakan yang paling sedikit, hanya ada empat atau lima orang, para pengawas hanya berjumlah sepuluh sampai lima belas orang, tetapi setiap pengawas ini membawahi antara duapuluh sampai tiga puluh orang pekerja yang bekerja secara terus menerus selama dua puluh empat jam secara bergiliran. Ini menunjukkan bahwa meskipun jumlah pekerjanya banyak, tetapi tingkat kompleksitas struktur organisasi dan ragam aktifitasnya sebenarnya sangat rendah. Berbeda dengan contoh ini, contoh lain misalnya sebuah Rumah Sakit, struktur organisasinya jauh lebih kompleks, selain pimpinan rumah sakit, para dokter umum, para dokter ahli, paramedis, karyawan administrasi dan sebagainya, berada dalam suatu struktur organisasi dan aktifitas yang jauh lebih kompleks, walaupun jumlah keseluruhannya tidak sebanyak pekerja pada pabrik tekstil di atas. Sangat disadari bahwa perkembangan masyarakat yang makin modern membawa perubahan pula pada hubungan kerja yang terjadi dalam organisasiorganisasi yang ada dalam masyarakat itu. Bentuk-bentuk organisasi, struktur dan kegiatannya telah sangat berbeda dibandingkan dengan organisasi dimasa-masa lalu. Anggota organisasi atau pekerja yang bekerja dalam organisasi juga sangat berbeda dengan kondisinya dimasa lampau, Pada masyarakat yang makin modern, pada umumnya para anggota organisasi memiliki tingkat pendidikan yang berbeda, penguasaan teknologi yang berbeda dan juga lingkungan yang berbeda pula. Ini
Universitas Gadjah Mada
semua akan mempengaruhi bagaimana hubungan kerja yang ada di dalam organisasi. Sebagai contoh, di Indonesia dalam tahun 1990-an, lapangan kerja di sektor Industri sangat berbeda dengan yang ada pada tahun 1960-an. Pada masa tahun 1960-an itu tingkat pendidikan rata-rata pencari kerja masih rendah, umumnya hanya sekolah menengah, tingkat teknologi yang masih sederhana, dengan pengaruh lingkungan yang masih terbatas. Penggunaan teknologi dalam bidang indutri pada umumnya masih merupakan teknologi yang memadukan antara keahlian dan ketrampilan manusia dengan kemampuan mesin. Penggunaan computer, masin otomatis dan sejenisnya masih sangat terbatas pada masa itu. Sementara itu pada tahun 1990-an, pencari kerja dengan jenjang pendidikan tinggi dan spesialis sudah sangat banyak, penguasaan teknologi yang makin canggih juga makin banyak dimiliki para pekerja, demikian kondisi lingkungannya juga berubah. Perekmebangan teknologi industri mengalami percepatan atau akselerasi yang sangat cepat. Penggunaan mesin produksi. komputer dan sejenisnya, dapat dikatakan sangat cepat berubah, perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) sedemikian cepat berganti. seakan-akan apa yang hari ini baru besok pagi sudah ketinggalan jaman karena muncul yang lebih canggih lagi. Hal-hal tersebut tentu sangat mempengaruhi hubungan kerja. Jadi hubungan kerja yang terjadi pada tahun 1960-an, dan itu jelas-jelas berbeda dengan hubungan kerja dalam berbagai lapangan kerja di sektor industri pada tahun 1990-an. Selain itu dapat dinyatakan bahwa hubungan kerja dalam organisasi memiliki at yang sangat penting bagi pelaksanaan aktifitas dan pencapaian tujuan organisasi. Meskipun demikian, sangat sukar dikatakan bentuk dan kondisi hubungan kerja yang bagaimana yang sebenarnya paling efektif dan efisien. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa walaupun telah disatukan dalam organisasi dan telah ada seperangkat aturan yang mengatur hubungan kerja dalam organisasi, tetapi tetap tidak mudah diketahui apa yang dapat membuat hubungan kerja berjalan secara efektif dalam segala situasi dan kondisi apapun. Jadi, hubungan kerja dalam organisasi itu senantiasa berubah-ubah, tergantung dari situasi dan kondisi yang terjadi dalam organisasi itu. Hal ini antara lain disebabkan karena pada kenyataannya tidak pernah terjadi dua orang yang memiliki interpretasi, pemahaman dan penafsiran yang tepat sama dan dengan cara yang tepat sama pula terhadap realitas dan dunia yang ada disekelilingnya. Jadi disni selalu ada perbedaan antara orang yang satu dengan lainnya.
Universitas Gadjah Mada
Dalam hubungan kerja ini, tidak jarang anggota organisasi atau para pekerja harus bekerja secara bersama dalam suatu kerja kelompok atau kerja beregu (work team). Kerja kelompok atau kerja beregu ini sangat banyak manfaatnya, terutama untuk menyelaraskan perbedaan-perbedaan antar anggota organisasi. Jika anggotaanggota dari suatu unit kerja kelompok ini kemudian menguat menjadi kelompok, maka ikatan dan solidaritas antara anggota dalam kelompok ini akan bertambah besar, terutama jika melalui kerja bersama ini banyak manfaat yang dirasakan oleh anggotanya, khususnya jika dibandingkan jika anggota itu tidak berada dalam kelompok, tetapi bekerja secara mandiri dan berdiri sendiri-sendiri. Dalam kaitannya dengan hubungan kerja dalam organisasi, proses-proses yang terjadi dalam kelompok-kelompok baik formal maupun informal di dalam organisasi merupakan hal yang penting dan mempengaruhi aktifitas organisasi. Besar kecilnya jumlah kelompok dan jumlah anggotanya juga mempengaruhi hal tersebut. 3.2. Tata Formal dan Tata Informal dalam Organisasi Di dalam organisasi terdapat kumpulan orang-orang, yang bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu. Untuk mengatur bagaimana kerjasama itu dilakukan dan bagaimana tujuan itu dicapai, di setiap organisasi pada umumnya memiliki seperangkat aturan, baik yang berbentuk formal karena dibentuk melalui prosedur tertentu, tertulis dan dapat dirasakan keberadaannya secara jelas dan nyata oleh setiap anggota organisasi, maupun seperangkat aturan yang berbentuk informal, tidak tertulis, lebih merupakan kesepakatan-kesepakatan yang sangat longgar, tetapi keberadaannya sangat dapat dirasakan oleh para anggota organisasi itu. Dalam organisasi formal, pada umumnya aturan-aturannya bersifat formal, dalam arti pembuatannya dilakukan melalui cara tertentu yang mengikuti cara-cara yang ditetapkan dalam organisasi dan berlakunya aturan itu dinyatakan secara formal, sehingga setiap bentuk pelanggarannya akan dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam aturan itu. jadi di dalam organisasi terdapat aturan atau tata formal yang secara nyata berlaku dan ditaati oleh anggota organisasi. Sebagai contoh, dalam organisasi formal seperti sekolah, sangat jelas dapat diketahui adanya aturan-aturan yang berlaku bagi semua orang yang menjadi bagian dari organisasi sekolah itu. Dalam aturan itu diatur secara jelas tentang apa larangan, hak, tugas, kewajiban dan sanksi atas pelanggaran aturan, sehingga baik Kepala Sekolah, Guru, Siswa dan Karyawan akan mengerti dan menjadikan perangkat aturan-aturan itu sebagai pedomannya dalam bertingkah laku dan berhubungan satu sama lain. Contoh yang
Universitas Gadjah Mada
lain, sebuah rumah sakit, selain terdapat aturan formal yang mengatur hubungan kerja di dalam rumah sakit itu, misalnya tentang tugas, kewajiban dan hak dari pimpinan, para dokter, karyawan, paramedis dan sebagainya, juga terdapat aturan formal bagi pihak lain yang berhubungan dengan rumah sakit itu, misalnya tentang jadwal pemeriksaan, tatacara pengobatan, penanganan pasien gawat darurat atau rawat inap, tarif pengobatan dan sebagainya. Semua ini merupakan aturan formal yang berlaku di dalam rumah sakit itu. Sesuai dengan sifat dari aturan formal yang umumnya bersifat tegas dan jelas, namun kelemahan dari aturan formal itu juga ada, antara lain karena sifatnya yang formal maka kemudian menjadi kaku dan tidak mudah disesuaikan dengan kondisi yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Pada kenyataannya, apa yang terjadi dan berlangsung dalam kehidupan sehati-hati tidak jarang belum atau tidak diatur dalam aturan formal yang ada. Akibatnya, akan terjadi suatu kondisi dimana jangkauan aturan formal itu tidak dapat mencapai pengaturan hal-hal yang ada dalam kehidupan sehari-hari itu. Oleh karena semua itu harus dilakukan, sementara aturan formal yang ada tidak dapat diberlakukan pada hal itu, maka kemudian muncul cara-cara dan kebiasaan-kebiasaan yang diterima dalam hubungan kerja pada organisasi formal itu. Jadi disini selain terdapat aturan atau tata formal, juga terdapat dan berlaku tata informal. Sebagai contoh, dalam suatu Kantor Pemerintah, aturan yang ada tidak mengatur tentang siapa yang bertanggung jawab terhadap suatu keharusan pengambilan keputusan yang segera harus diambil jika pimpinan yang berwenang untuk mengambil keputusan itu sedang tidak ada di tempat, sementara persolannya harus segera diputuskan. Dalam kasus seperti ini kemudian diambil inisiatip pegawai dengan pangkat tertinggi atau yang paling senior yang ada pada unit organisasi kerja itu, yang menjalankan wewenang pengambilan keputusan tersebut. Jika pola ini kemudian menjadi sesuatu yang selalu dijalankan maka pola ini kemudian menjadi ketentuan yang tidak tertulis yang berlaku dalam satuan organisasi itu. Sudah barang tentu munculnya polapola seperti itu akan terjadi jika suatu tindakan yang diambil itu dinilai benar dan memberikan manfaat bagi pencapaian tujuan organisasi. Sebaliknya jika ternyata suatu tindakan yang diambil itu dinilai tidak benar atau tidak sesuai dengan tujuan organisasi, maka pola itu tidak akan muncul karena pengulangan terhadap tindakan yang salah dan merugikan itu. Tindakan yang salah dan merugikan itu memiliki konsekuensi adanya hukuman (punishment), sehingga
Universitas Gadjah Mada
cenderung tidak akan diulang. Jadi ada semacam pola kebiasaan yang telah menjadi suatu pedoman yang menyertai keberadaan aturan formal dalam suatu organisasi. Adanya seperangkat aturan tidak hanya ditemukan dalam organisasiorganisasi formal semata. Di dalam organisasi informal juga terdapat seperangkat aturan meskipun memiliki bentuk yang berbeda dengan peraturan yang ada dalam suatu organisasi formal. Dalam organisasi semacam ini, senantiasa juga terdapat seperangkat aturan, namun pada umumnya lebih merupakan aturan-aturan yang berdasar pada kesepakatan-kesepakatan longgar diantara para anggota sehingga penegakkan aturan tersebut juga tergantung pada bagaimana sikap para anggota terhadap pelanggaran yang terjadi. Jadi dalam suatu organisasi informal, baik tata formal maupun tata informalnya sama-sama tidak memiliki bentuk yang tertulis, tetapi secara nyata berlaku dan ditaati oleh para anggota organisasi itu. Sebagai contohnya, sekumpulan pengemudi taksi yang biasa mencari penumpang di depan Terminal Bus atau di sekitar Stasiun Kereta Api, yang dapat dipandang sebagai suatu organisasi informal, juga memiliki seperangkat aturan yang berlaku diantara mereka. Sebagai organisasi yang informal sifatnya, para pengemudi taksi ini secara sukarela dan secara spontan membuat kesepakatan-kesepakatan tertentu, yang dengan kesepakatan itu dirasakan akan memberikan kepuasan bagi semua. Meskipun tidak secara formal diakui, salah satu atau beberapa orang mendapatkan kepercayaan dari para sopir taksi lainnya untuk menjadi "pemimpin" diantara para sopir taksi itu. Meskipun tidak ada ketentuan yang secara formal dibuat dan ditentukan, tetapi semua sopir yang merasa bagian dari organisasi informal itu mentaati aturan main yang berlaku dikalangan mereka. Semua informasi melalui saluran informal, namun norma, nilai dan kepercayaan yang ada dalam lingkungan para sopir itu mampu mengatur perilaku semua sopir yang merasa menjadi bagian dari kelompok itu. Penegakkan aturan juga dilakukan secara informal, tetapi pada umumnya dapat berjalan efektif karena kepatuhan dan ketaatan yang tinggi dari anggota organisasi informal itu. Seperangkat aturan itu juga menentukan bagaimana hubungan antar posisi dalam organisasi itu dilakukan. Sebagaimana diketahui, pada setiap organisasi selalu terdapat adanya struktur organisasi. Meskipun demikian terdapat perbedaan antara organisasi formal dengan organisasi informal, dimana dalam organisasi formal, struktur ini dibentuk menurut kebutuhan teknis tertentu, sedangkan pada organisasi informal, tidak terdapat desain tertentu yang mengaturnya. Meskipun demikian, pada dasarnya setiap struktur organisasi menunjuk pada hubungan antara fungsi-fungsi
Universitas Gadjah Mada
tertentu atau menunjuk bagan atau skema dari hubungan-hubungan dan tugas-tugas dari orang-orang yang bekerja dalam organisasi. Pemahaman terhadap aturan yang ditunjukkan oleh perilaku anggota organisasi ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa setiap saat, banyak orang atau anggota melakukan berbagai tindakan dalam organisasi, namun tidak menghasilkan kekacauan maupun kebingungan, sebaliknya justru menghasilkan suatu tindakan yang teratur. Meskipun demikian, hal ini bukan berarti bahwa dalam organisasi tidak terdapat persaingan, ketegangan dan konflik diantara para anggota organisasi itu. Jadi dengan adanya aturan dan pemahaman aturan oleh para anggota organisasi maka hubungan sosial yang dilakukan diantara orang-orang ini pada umumnya dapat berjalan dengan baik dan pencapaian tujuan organisasi dapat dilakukan. Keberadaan seperangkat aturan ini juga berfungsi sebagai penyelaras berbagai perbedaan yang muncul diantara orang-orang maupun kelompokkelompok yang ada dalam organisasi. Perbedaan latar belakang sosial, kecenderungan sikap pribadi secara individual, perbedaan ketrampilan dan keahlian serta pendidikan, serta perbedaan kepentingan dapat diatasi oleh adanya seperangkat peraturan yang mengatur bagaimana semua orang yang menjadi anggota organisasi itu harus berperilaku. Dengan demikian ada keteraturan, keselarasan dan kesamaankesamaan tertentu diantara para anggota organisasi, dan dengan kondisi yang demikian, pelaksanaan tugas pada umumnya lebih mudah dilakukan. Sebagai contoh, dalam suatu kantor yang memiliki pegawai mencapi ribuan orang, sedangkan aktifitas yang ada di kantor itu sangat banyak dan beragam. Banyaknya pegawai menunjukkan adanya latar belakang yang berbeda, kepribadian yang berbeda satu sama lain, kepentingan dan kebutuhan yang berbeda, serta perbedaan keahlian, pendidikan dan ketrampilan. Seharusnya dalam situasi seperti itu akan terjadi kebingungan dan kekacauan, tetapi kenyataannya tidak demikian. Orang bekerja menurut bidang dan tugas masing-masing. Antara bagian yang satu dengan lain dapat bekerja sama dengan baik dan secara umum dapat dikatakan bahwa pelaksanaan tugastugas di kantor itu dapat berlangsung dengan lancar. Kondisi yang demikian sebenarnya dapat tercipta karena pengaturan hubungan antar orang yang berjalan dengan baik. Keberadaan aturan informal sebenarnya tidak hanya ditemukan dalam organisasi informal saja. Di dalam organisasi formalpun sebenarnya berkembang pula aturan informal diantara para anggota organisasi itu, meskipun aturan-aturan ini berbeda dengan aturan informal yang muncul dalam rangka pelaksanaan hubungan
Universitas Gadjah Mada
kerja sebagaimana telah dikemukakan di atas. Jika aturan formal secara jelas dan tegas mengatur hubungan kerja dan kemudian hal-hal yang berkaitan dengan hubungan kerja dalam rangka pelaksanaan aktifitas organisasi tetapi belum ada aturan formal yang mengaturnya, maka aturan informal yang berupa kebiasaan itu kemudian dipergunakan sebagai acuan untuk melaksanakan hubungan kerja. Akan tetapi duluar itu semua, masih ada lagi aturan yang mengatur hubungan sosial secara umum diantara para anggota, baik dalam kerangka hubungan kerja maupun hubungan sosial di luar hubungan kerja, yang ditaati oleh para anggota suatu organisasi. Hubungan antar anggota dalam suatu organisasi tidak hanya terbatas pada hubungan kerja formal semata. Selain hubungan kerja, sebagian besar hubungan yang berlangsung diantara para anggota suatu organisasi merupakan hubungan yang sifatnya tidak formal atau bukan hubungan kerja. Hubungan-hubungan sosial yang bukan hubungan kerja, yang berkembang dalam organisasi ini merupakan dasar dari adanya kelompok informal dan pada umumnya mengikuti aturan-aturan yang berbeda dari aturan-aturan yang secara formal mengatur hubungan kerja, meskipun aturan formal juga mempengaruhi hubungan sosial ini. 3.3. Pedoman Hubungan Kerja dalam Organisasi Dalam pelaksanaan hubungan kerja, terdapat beberapa hal yang menentukan pola hubungan kerja yang terjadi di dalam suatu organisasi. Struktur organisasi merupakan salah satu hal yang menentukan pola hubungan kerja dalam organisasi. Struktur
organisasi
adalah
seperangkat
formal
hubungan-hubungan
yang
direncanakan antara pengelompokan fungsi-fungsi yang semacam,
dan antara faktor-faktor phisik dan orang-orang yang
diperlukan untuk melakukan fungsi-fungsi ini. Dalam pengertian yang lebih umum, struktur organisasi dapat dipandang sebagai suatu pola-pola yang mapan dari hubungan sosial diantara berbagai bagian atau komponen dari suatu organisasi. Secara umum, suatu struktur formal menunjuk pada beberapa hal, yaitu:
(a) terdapatnya pola yang mapan dari hubungan dan tugas-tugas. (b) berbagai aktifitas dan kegiatan diberikan kepada bagian-bagian atau orangorang yang ada dalam organisasi.
(c) terdapat koordinasi dari berbagai aktifitas dan pekerjaan ini. (d) terdapat hubungan hirarkis dalam organisasi
Universitas Gadjah Mada
(e) semua
kebijakan,
prosedur,
ukuran,
sistem
evaluasi
dan
sebagainya
memberikan pedoman .bagi berbagai aktifitas dan hubungan antar orang dalam organisasi. Di dalam organisasi formal yang demikian, dimana struktur organisasinya secara
nyata
menentukan
posisi-posisi
dari
tiap-tiap
anggota
organisasi,
pelaksanaan aktifitas organisasi itu pada umumnya dilakukan atas dasar adanya hubungan kerja diantara berbagai posisi dalam struktur organisasi itu. Ini dapat dilihat dalam berbagai aturan dasar organisasi, pada umumnya hak dan kewajiban serta fungsi dan tugas masing-masing posisi dalam organisasi formal itu ditentukan secara jelas. Semua itu akn sangat mempengaruhi pola hubungan kerja di dalam organisasi. Hal kedua yang mempengaruhi pola hubungan kerja dalam organisasi adalah koordinasi. Dalam organisasi formal, koordinasi harus ada dalam suatu organisasi karena dalam organisasi itu terdapat orang-orang atau bagianbagian yang bekerja sama dalam pencapai tujuan umum yang sama, sehingga koordinasi menjadi sangat diperlukan untuk menyatukan berbagai bagian atau orang-orang itu dalam bekerja untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Ini berarti pola hubungan kerja yang terjadi dalam organisasi juga dipengaruhi oleh bagaimana
koordinasi
dilakukan.
Koordinasi
menyatukan
atau
mengintegrasikan orang-orang atau bagian-bagian yang satu sama lain memiliki batas-batas dan aktifitas yang berbeda kedalam satu unit kegiatan dalam rangka pencapaian tujuan yang ditetapkan. Pola hubungan kerja dalam organisasi juga dipengaruhi oleh bagaimana kerjasama antar bagian itu dilakukan. Kerjasama dari bagian-bagian atau orangorang, yang satu dengan lainnya memiliki bidang kerja atau spesialisasi yang tidak sama, semestinya diarahkan pada satu fungsi tunggal. Pola hubungan kerja dalam organisasi juga dipengaruhi oleh Kerjasama diantara bagian-bagian atau orang-orang yang ada dalam organisasi itu. Dalam organisasi dimana di dalamnya terdapat bagian-bagian atau orang-orang yang bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan umum yang sama. Oleh sebab itu, sejauh mungkin kerjasama dari bagian-bagian atau orang-orang, yang satu dengan lainnya memiliki bidang kerja atau spesialisasi yang tidak sama, semestinya diarahkan pada satu fungsi tunggal. Jika satu fungsi tunggal ini dapat dijalankan maka hal ini berarti bahwa hubungan antar bagian-bagian atau orang-orang yang memiliki bidang tugas berbeda itu dapat dijalankan. Pelaksanaan hubungan antar fungsi hanya dapat dilakukan oleh adanya suatu koordinasi yang menyatukan berbagai bagian yang
Universitas Gadjah Mada
berlainan itu. Prinsip keseimbangan menunjukkan bahwa bagaian-bagian dalam organisasi yang efektif memiliki posisi yang seimbang, tidak semestinya suatu fungsi diberikan kepada suatu banguan dengan memberikan tekanan yang mengorbankan bagian yang lain. Pola hubungan kerja juga dipengaruhi oleh adanya kesatuan dalam perintah (unity in command) dan kesatuan dalam pimpinan. Dalam suatu organisasi yang efektif akan terdapat satu pimpinan dan satu perencanaan bagi tiap-tiap kelompok aktifitas dalam mencapai tujuan yang ditentukan. Prinsip ini dibangun untuk memastikan bekerjanya koordinasi dalam organisasi. Tiap bagian atau orang dalam organisasi pada yang efektif hanya menerima perintah dari satu orang atasan dan mempertanggung jawabkan perintah itu kepada atasan yang memberi perintah. Prinsip ini juga menunjukkan bahwa pada umumnya perintah berasal dari atasan kepada bawahan. Jika seseorang menerima perintah dari lebih dari satu orang atasan maka akan terjadi kebingungan mengenai apa yang mesti dilakukan, dan kepada siapakah harus melaporkan pertanggung jawabannya, apalagi jika beberapa perintah yang diberikan oleh beberapa orang atasan itu saling tidak sesuai atau bertentangan. Ini menunjukkan bahwa koordinasi merupakan suatu prinsip yang penting dalam organisasi. Dalam organisasi, tiap keputusan didelegasikan kepada bagian yang paling kompeten. Ini berarti bagian yang paling kompeten dalam organisasi itu tentulah yang paling mengetahui semua hal yang berkaitan dengan keputusan dan mampu mengawasi semua konsekuensi dari keputusan itu. Pendelegasian juga menunjukkan adanya tanggung jawab dari atasan terhadap hasil dari keputusan yang didelegasikan ke bawahan yang kompeten itu. Ini secara jelas berpengaruh terhadap pola hubungan kerja yang ada dalam organisasi. Pola hubungan kerja juga dipengaruhi oleh adanya perbedaan wewenangan dan kekuasaan yang dimiliki oleh orang-orang dalam organisasi. Sebagai konsekuensi dari adanya struktur organisasi, wewenang dan kekuasaan tidak dimilki secara merata diantara para anggota suatu organisasi. Wewenang dan tanggung jawab merupakan dua hal yang setara sifatnya, artinya seseorang dalam organisasi memiliki tanggung jawab untuk suatu tugas tertentu, kepada orang itu diberikan wewenangan yang sesuai untuk menjalankan tugas tersebut. Ini berarti, seseorang dalam organisasi memerlukan wewenang untuk bertindak dan orang itu harus mempertanggung jawabkan hasilnya kepada pemberi wewenang. Dalam kaitan ini, koordinasi memungkinkan pemberikan wewenang dan sekaligus kontrol terhadap
Universitas Gadjah Mada
pertanggung jawaban pelaksanaan wewenang itu dapat dilakukan. Dalam organisasi, atasan tidak hanya membawahi satu bagian yang spesifik, tetapi membawahi beberapa bagian yang bekerja saling berhubungan. Dengan demikian atasan memiliki suatu bidang pengawasan atas beberapa bawahan yang menjadi sasaran pengawasannya.
Universitas Gadjah Mada