Bab 5 Ringkasan Agama-agama yang ada di Jepang mempunyai sejarah yang panjang. Shinto adalah agama asli Jepang. Agama Budha masuk ke Jepang pada abad ke-6 dan agama Kristen disebarkan oleh Francis Xavier. Shinto, Budha dan Kristen adalah tiga agama utama di Jepang. Kebanyakan orang menerima ketiga agama tersebut. Ritual Shinto digunakan dalam hal-hal seperti pernikahan, pembaptisan dan kelahiran. Sedangkan ritual Budha lebih dipakai untuk halhal yang menyangkut kematian. Ada dua karakteristik yang sangat terlihat dalam agama di Jepang. Orang Jepang sangat setia kepada ritual-ritual tradisional agama mereka seperti halnya semua orang di dunia. Di sisi lain, sebagian besar dari orang-orang yang sama, yang tidak pernah berpikiran untuk tidak mengunjungi kuil dalam perayaan tahun baru, mengaku sebagai mushinsha yang dapat diartikan sebagai “orang yang tidak percaya.” Agama di Jepang tidak terlalu dianggap penting, tetapi pengaruhnya terhadap kebudayaan Jepang sangatlah besar. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti pengaruh agama asli Jepang, Shinto, di dalam kebudayaan Jepang, khususnya dalam sumō, sebuah olahraga tradisional Jepang. Shinto adalah kepercayaan animistis berdasarkan harmoni di antara dewa, roh, manusia dan alam. Berbeda dengan agama lain, Shinto tidak memiliki penemu maupun kitab suci. Akan tetapi, terdapat beberapa catatan yang dipercaya sebagai dokumen sejarah agama Shinto, seperti Kojiki (古事記), Nihon Shoki (日本書紀), Kujiki (旧事紀), Kogoshui (古語拾遺) dan Engi Shiki (延喜式).
53
Para penganut Shinto menyembah kami (dewa). Mereka menganggap semua makhluk memiliki roh sehingga semua makhluk dapat dikatakan sebagai kami. Ritual dan upacara Shinto bertujuan untuk menghalau datangnya kesialan. Shinto memiliki empat konsep di dalam penyembahan, yaitu penyucian (harai), persembahan (shinsen), doa-doa (norito) dan perjamuan simbolik (naorai). Selain matsuri, sebuah pertandingan olah raga juga bisa menarik suporter dalam jumlah yang tidak kalah besar di Jepang. Sumō (相撲) merupakan olahraga saling dorong-mendorong antara dua orang pegulat sumō yang disebut sumōtori (相撲取り) dan sudah ada sejak 2000 tahun yang lalu. Sumō dianggap sebagai sebuah olahraga profesional pada permulaan zaman Edo (1600-1868). P.L Cuyler mengatakan bahwa sumō dipertunjukkan sebagai bagian dari ritual Shinto. Bukti bahwa sumō memiliki asal usul yang berbau keagamaan adalah sumō diadakan sebagai bagian dari perayaan festival di kuil Budha dan Shinto di seluruh Jepang seperti karasu zumō dan hitori zumō (sumō perorangan). Orang-orang yang memegang peranan penting di dalam sebuah pertandingan sumō adalah sumōtori (pegulat), gyoji (wasit), shinpan (juri) dan yobidashi (penyelenggara). Dohyō (土俵) merupakan arena bertanding sumō. Dohyō dibuat dari campuran tanah liat yang dikeraskan dengan pasir yang disebarkan di atasnya. Dohyō dibongkar setelah pertandingan selesai dan dohyō yang baru harus selalu dibangun untuk setiap turnamen. Upacara-upacara ritual merupakan ciri khas sumō. Adapun upacara-upacara itu terdiri dari dohyō-matsuri, dohyō-iri (upacara memasuki ring), shikiri (ritual sebelum pertandingan), yumitori-shiki (upacara memutar busur) dan danpatsu-shiki (upacara pemotongan rambut).
54
Kostum di dalam sumō dapat dibagi menjadi dua, yaitu kostum untuk sumōtori dan gyōji. Tata rambut sumōtori juga termasuk bagian di dalam kostum. Kostum untuk sumōtori terdiri dari mawashi, keshomawashi dan kostum yokozuna. Dohyō-matsuri adalah ritual yang mengikuti tradisi shinji-zumō, sebuah ritual sumō tua yang berasal dari zaman Kofun (200 S.M-552 M). Pengaruh Shinto dapat dilihat dari makna dohyō-matsuri itu sendiri, yaitu menyucikan. Di dalam konsep penyembahan Shinto juga terdapat penyucian (harai). Harai juga dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan hal-hal yang dianggap kotor dan jahat. Penyucian adalah bagian dasar dari kepercayaan Jepang dan mempengaruhi sistem Shinto. Selain itu sama seperti salah satu konsep penyembahan Shinto, juga dipanjatkan doa-doa kepada dewa-dewa surga dan bumi yang bertujuan untuk meminta perlindungan dari kesialan dan bencana. Dohyō-matsuri identik dengan jichin sai, sebuah ritual Shinto yang bertujuan untuk menenangkan roh-roh yang ada di dalam tanah. Taiko (太鼓) yang digunakan ketika ritual berakhir berfungsi sebagai pemanggil kami. Dohyō-iri adalah upacara memasuki ring. Pengaruh Shinto terlihat pada soroi-bumi, sebuah kebiasaan sumōtori yaitu menghentakkan kaki. Hal ini berasal dari mitos Shinto di mana para kami mencoba untuk menarik keluar dewi Amaterasu yang bersembunyi di dalam sebuah gua yang bernama Ama-no-Iwato. Suara yang membuat Amaterasu keluar dari gua menyerupai suara yang dihasilkan oleh soroi-bumi. Tujuannya adalah untuk mengusir roh-roh yang jahat dan sekaligus menunjukkan kekuatan sumōtori yang akan bertanding. Tepukan tangan yang dilakukan dalam dohyō-iri bertujuan untuk menarik perhatian kami dan juga merupakan tanda bahwa jiwa dan raga seorang sumōtori telah disucikan.
55
Shikiri adalah sebuah ritual yang dilakukan sebelum pertandingan. Konsep Shinto mengenai harai (penyucian) sangat jelas terlihat di dalam shikiri. Selain tepukan tangan, untuk penyucian juga digunakan air dan garam. Misogi (penyucian dengan air) terdapat di dalam bagian ke dua shikiri. Seperti penggunaannya di dalam Shinto, garam digunakan oleh sumōtori untuk menyucikan dohyō dan dirinya sendiri agar tidak ada yang terluka. Selain dilempar, garam juga dipakai untuk mengusir roh jahat dengan cara ditaruh di dalam mulut. Yumitori-shiki hanya diadakan pada hari terakhir honbasho (turnamen). Upacara ini telah berlangsung sejak tahun 1575 ketika Oda Nobunaga memberikan salah satu busur kesayangannya kepada pemenang turnamen besar yang dihadirinya. Tidak ada pengaruh-pengaruh
keagamaan
di
dalam
yumitori-shiki.
Yumitori-shiki
lebih
menggambarkan tradisi yang didasari oleh sejarah. Danpatsu-shiki adalah upacara yang diadakan ketika seorang sumōtori memutuskan untuk berhenti dari sumō. Danpatsu-shiki dilaksanakan sebagai salah satu dari sekian banyak ritual yang ada di dalam sumō. Tidak ada pengaruh-pengaruh keagamaan di dalam danpatsu-shiki. Mawashi adalah perlengkapan sumō paling dasar yang digunakan oleh semua sumōtori baik di dalam latihan maupun pertandingan, untuk pertandingan ditambahkan sagari. Sagari adalah tali yang disimpul dan ditempelkan di depan mawashi dan jumlah tali tersebut selalu berkisar dari tujuh belas hingga dua puluh satu tali. Jumlah angkaangka ini adalah angka keberuntungan menurut ajaran agama Shinto. Sagari menandakan tali suci yang digantung di depan kuil. Selain mawashi, sumōtori peringkat sekitori memakai kain khusus berbentuk celemek untuk dohyō-iri yang disebut keshomawashi. Kegunaan keshomawashi tidak 56
berhubungan dengan agama. Keshomawashi bisa berfungsi untuk mempromosikan sponsor seorang sumōtori dan juga memberitahu tempat kelahiran sumōtori yang memakainya. Kostum untuk yokozuna sedikit berbeda dengan sumōtori lainnya. Yokozuna memakai mawashi dan keshomawashi sama halnya dengan sumōtori lainnya, tetapi terdapat tambahan tsuna (tali tambang) yang dililitkan di pinggang. Tsuna yang dililitkan di pinggang yokozuna menyerupai tambang shimenawa yang dipasang pada torii (bangunan sejenis pintu gerbang yang terdapat di kuil Shinto) dan berbagai tempat atau benda yang dianggap suci menurut kepercayaan Shinto. Kostum gyōji berasal dari pakaian samurai di zaman Muromachi (1336-1573) dan disebut hitatare. Persamaan kostum gyōji dengan kostum pendeta Shinto adalah keduanya sama-sama menggunakan kimono, sebuah topi (eboshi) dan tabi. Akan tetapi, pakaian ini tidak memiliki arti simbolik. Selain itu, warna pada pakaian gyōji dan pendeta Shinto hanya bertujuan untuk menunjukkan peringkat pemakainya. Selain tubuh yang besar, ciri khas seorang sumōtori juga terletak pada tata rambutnya yang unik. Terdapat dua jenis penataan rambut yang telah menjadi ciri khas seorang sumōtori yaitu chonmage (丁髷) dan oichōmage. Tidak ditemukan adanya pengaruh agama terhadap penataan rambut sumōtori ini. Penataan rambut ini merupakan pengaruh dari penataan rambut yang terkenal pada zaman Edo. Dohyō merupakan daerah yang dianggap suci sejak pertama kali diadakan pertandingan sumō tradisional hingga sekarang ini. Di atas dohyō terdapat yakata (atap) yang berukuran sedikit lebih kecil daripada dohyō itu sendiri.
57
Bentuk dari yakata menyerupai bentuk atap kuil Shinto (shinmei zukuri). Yakata memiliki empat rumbai dengan empat warna berbeda yang menandakan empat musim, empat hewan yang dianggap kami dan empat arah mata angin. Konsep Shinto mengenai harai terlihat di dalam dohyō. Penyucian telah dilakukan melalui penggunaan sake dan garam, membacakan doa-doa dan melakukan soroi-bumi pada ritual dohyō-matsuri, dohyō-iri dan shikiri. Selain konsep harai, juga terdapat konsep Shinto lainnya yaitu shinsen (persembahan). Di dalam dohyō dikuburkan persembahan berupa kastanye, rumput laut dan sotong. Persembahan ini betujuan untuk meminta perlindungan untuk sumōtori yang akan bertanding. Dari analisis yang telah dilakukan, penulis menarik kesimpulan bahwa Shinto memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap sumō. Akan tetapi, Shinto tidak mempengaruhi semua ritual sumō, seperti pada ritual yumitori-shiki (upacara memutar busur) dan danpatsu-shiki (upacara pemotongan rambut). Begitu pula pada penataan rambut sumōtori.
58