BAB I PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG MASALAH.
Berbicara mengenai gerakan perempuan Indonesia berarti kita sedang membahas gerakan yang mempunyai sejarah yang panjang. Sejak sebelum kemerdekaan, dari catatan sejarah kita sudah menyaksikan bagaimana perempuan Indonesia telah berorganisasi dan mengadakan berbagai aksi. Gerakan perempuan Indonesia tumbuh dan berkembang sejak masa kolonial [penjajahan] seiring dengan berdirinya organisasi – organisasi perempuan. Menurut Syahfitri Anita dalam artikelnya yang berjudul ”Gerakan Perempuan: Kajian Teoritis”, wacana gerakan perempuan yang dihadirkan sejak awalnya merupakan suatu usaha untuk mengangkat posisi perempuan. Ini berangkat dari asumsi bahwa peran perempuan dalam kehidupan masyarakat atau ranah kebijakan publik di berbagai belahan dunia dari waktu ke waktu terus berkembang, khususnya di Indonesia. Perkembangan ini tentunya mengarah kepada terciptanya ruang yang memberikan kesetaraan bagi perempuan baik secara individual maupun perempuan sebagai komponen masyarakat. 1 Sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia menceritakan beberapa nama perempuan yang disebutkan sebagai tokoh – tokoh perempuan yang ikut berjuang bersama rakyat dalam memperjuangkan dan merebut kemerdekaan kita dari tangan kolonialisme. R.A Kartini umumnya disebut-sebut sebagai tokoh perempuan pada zamannya, dan yang paling terkenal. Kartini (1897-1904) dinilai sebagai salah satu perintis kemerdekaan Indonesia, karena pemikirannya untuk
Universitas Sumatera Utara
melawan kolonialisme Belanda yang dianggapnya sebagai sumber penderitaan rakyat. Selama hidupnya, Kartini dikenal sebagai seorang tokoh yang berjuang memajukan kaum perempuan. 2 Pemikiran Kartini banyak mengilhami gerakan perjuangan perempuan sesudahnya. Kartini mempunyai cita-cita untuk membebaskan perempuan dari keterbelakangan dan kemiskinan. Ia melihat pendidikan perempuan adalah jalan untuk pembebasan itu. Namun menurut Kartini, titik tolak kemerdekaan perempuan bukanlah dengan melihat perempuan sebagai sosok mandiri yang terpisah dari lingkungannya, melainkan sebagai pribadi yang terkait dengan kemajuan masyarakatnya. Kartini menulis: ''Kecerdasan pikiran penduduk bumiputera tidak akan maju pesat bila perempuan ketinggalan dalam usaha itu, [yaitu] perempuan jadi pembawa peradaban''. 3 Hingga saat ini, Kartini menjadi simbol gerakan perempuan Indonesia dan hari lahirnya, 21 April selalu dirayakan oleh organisasi-organisasi perempuan dewasa ini. Selain Kartini dan beberapa tokoh perempuan lainnya, tercatat beberapa organisasi perempuan yang juga hadir pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia. Organisasi-organisasi perempuan itu bergelut mencari upaya untuk memperbaiki
keadaan
kaum
perempuan
dan
mengubah
tatanan
yang
menyebabkan kaum perempuan tertindas. Sebut saja misalnya Poetri Mardika, organisasi perempuan pertama di masa kolonial, yang berdiri pada tahun 1912. 4 Organisasi ini sangat dekat dengan Boedi Oetomo karena tujuannya yang paling
1
Artikel Syahfitri Anita, Gerakan Perempuan: Tinjauan Sejarah (Sebagai Pengantar Diskusi Lingkar Studi Perempuan, Jakarta, Jumat 7 April 2006, hal. 3. 2 Dri Arbaningsih, Kartini dari Sisi Lain: Melacak Pemikiran Kartini tentang Emansipasi Bangsa, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2005, hal. 33 3 Dri Arbaningsih, ibid., hal. 35
Universitas Sumatera Utara
menonjol yaitu keterlibatan dalam usaha pemerdekaan bangsa. Poetri Mardika memusatkan perhatiannya terhadap perjuangan terhadap akses pendidikan bagi perempuan dan reformasi perkawinan. Setelah berdirinya Poetri Mardika, dalam tahun-tahun berikutnya berbagai organisasi ataupun perkumpulan bermunculan baik yang didukung oleh organisasi laki-laki maupun yang terbentuk secara mandiri oleh perempuan sendiri. Misalnya, Pawiyatan Wanito (Magelang, 1915), Percintaan Ibu Kepada Anak Temurun—PIKAT (Manado, 1917), Purborini (Tegal, 1917), Aisyiyah atas bantuan Muhammadiyah (Yogyakarta, 1917), Wanito Soesilo (Pemalang, 1918), Wanito Hadi (Jepara, 1919), Poteri Boedi Sedjati (Surabaya, 1919), Wanito Oetomo dan Wanito Moeljo (Yogyakarta, 1920), Serikat Kaoem Iboe Soematra (Bukit Tinggi, 1920), Wanito Katolik (Yogyakarta, 1924). 5 Secara keseluruhan organisasi – organisasi ini masih bersifat kedaerahan. Namun, pada intinya setiap organisasi perempuan saat itu bertujuan untuk dapat memperbaiki posisi perempuan dalam kehidupan bermasyarakat dengan meningkatkan pendidikan perempuan sebagai sebuah strategi dasar. 6 Selanjutnya, ada Isteri Sedar yang didirikan pada tahun 1930 di Bandung oleh Suwarni Pringgodigdo. Isteri Sedar adalah organisasi perempuan yang aktif dalam perjuangan politik. Dalam kongresnya tahun 1932, Isteri Sedar menyatakan diri ingin meningkatkan status perempuan Indonesia melalui perjuangan kemerdekaan. Ide dasarnya adalah bahwa tidak akan ada persamaan hak antara laki-laki dan perempuan bila tidak ada kemerdekaan, “Hanya Indonesia yang
4
Saskia E. Wieringa, Kuntilanak Wangi: Organisasi-Organisasi Perempuan Indonesia Sesudah 1950, Jakarta: Kalyanamitra, 1998, hal. 3 5 Saskia E Wieringa, ibid., hal. 3 – 4.
Universitas Sumatera Utara
merdeka oleh usaha besar-besaran kaum laki-laki dan perempuan yang bersatu padu yang akan sanggup memberikan persamaan hak dan tindakan kepada rakyat Indonesia”. 7 Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942, semua organisasi perempuan
dilarang
kecuali
Fujinkai.
Organisasi
bentukan
Jepang
ini
beranggotakan istri pegawai negeri dan memiliki kemiripan dengan Dharma Wanita (organisasi-organisasi istri para pejabat sipil). Kegiatan yang dilakukan oleh Fujinkai yaitu kegiatan sosial salah satunya dibidang pemberantasan buta huruf. 8 Pasca kemerdekaan, berbagai organisasi perempuan tumbuh, selain juga ada yang merupakan kelanjutan dari organisasi perempuan di masa kolonial dan menjadi berkembang sesudahnya. Diantaranya Wanita Marhaen yang menjadi sayap perempuan Partai Nasionalis Indonesia, dan ada Gerakan Wanita Sedar (GERWIS). 9 GERWIS berdiri pada 1950, kemudian tahun 1954 GERWIS berganti nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI) 10 . Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) adalah organisasi perempuan yang paling besar dan paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia oleh karena itu organisasi ini sering dikait-kaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak awal berdirinya, GERWANI banyak melakukan kegiatan-kegiatan untuk peningkatan kesadaran kaum perempuan dalam memperjuangkan hak-hak mereka baik secara ekonomi maupun politik. Para anggota GERWANI pada
6
Ani Widyawani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana, Jakarta: KOMPAS, 2005, hal. 22. 7 Artikel Gadis Arivia, Soekarno dan Gerakan Perempuan: Kepentingan Bangsa Versus Kepentingan Perempuan, Jakarta, 2000, hal. 2 - 3. 8 Saskia E. Wieringa, op. cit., hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
umumnya berpendidikan tinggi dan berkesadaran politik. Gerwani, menuntut tempat ditengah gelanggang politik bagi kaum perempuan. Sejarah yang panjang tentang perjuangan gerakan perempuan terputus sejak 1 Oktober 1965 yang menandai awal berdirinya rezim orde baru. Rezim ini melakukan pemberangusan dan pelumpuhan terhadap organisasi-organisasi perempuan beserta seluruh organisasi independen lainnya. Rezim Orde Baru mendukung habis-habisan kapitalisme yang berkembang dengan cara-cara yang sangat kejam, penuh dengan perampasan tanah petani, penggusuran pemukiman kaum miskin, penindasan dan penghisapan kaum buruh, dan berbagai bentuk kekerasan oleh aparat sipil maupun militer. Gerakan perempuan yang kritis di Indonesia, tidak berkembang pada zaman orde baru. Mitos yang dikembangkan rezim orde baru saat itu mengarahkan peningkatan kualitas perempuan hanya sebagai istri. Ini ditunjukkan oleh berbagai organisasi perempuan bentukan pemerintah saat itu seperti PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga), Dharma Wanita bagi istri pegawai negeri dan Dharma Pertiwi bagi istri yang suaminya bekerja di salah satu cabang angkatan bersenjata. 11 Sebagian besar organisasi perempuan di masa orde baru lahir sebagai tanggapan atas hegemoni dan dominasi negara terhadap perempuan. Karena dalam prakteknya seluruh organisasi perempuan yang ada diawasi dengan ketat, dan mutlak harus menjalankan politik pemerintah. Banyak usaha yang telah dilakukan untuk mengangkat posisi perempuan, salah satunya melalui organisasi sosial perempuan sebagai gerakan perempuan
9
Saskia E. Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Jakarta: Garba Budaya, 1999, hal. 28. 10 Saskia E. Wieringa, ibid., hal. 29.
Universitas Sumatera Utara
untuk pembebasannya dari segala ketertindasan dan ketidakadilan. Dengan membangun organisasi perempuan di semua teritori, diharapkan perempuan dari berbagai kalangan masyarakat dapat memahami ataupun menyadari penyebab ketertindasannya kemudian ikutserta memperjuangkan hak – haknya. Dalam masyarakat selama ini perempuan dipandang sebagai yang kedua ”The Second Sex” dimana peran utama perempuan adalah dilingkungan rumah tangga (domestic sphere), sedangkan peran utama pria adalah diluar rumah (public sphere) sebagai pencari nafkah utama. Ini merupakan bentukan budaya patriarki. 12 Ideologi patriarki merupakan salah satu basis penindasan perempuan karena menciptakan dan memperkuat pembatasan ruang gerak perempuan antara privat dan publik. Privat bermuara pada wilayah rumah tangga, yang dianggap sebagai daerah awal utama kekuasaan laki – laki atas perempuan. Sedangkan publik menempati wilayah - wilayah seperti lapangan pekerjaan dan negara. Patriarki menurut Kamla Bhasin adalah sistem yang selama ini meletakan kaum perempuan terdominasi dan tersubordinasi (patriarki). Hubungan antara perempuan dan laki-laki bersifat hierarkis, yakni laki-laki berada pada kedudukan dominan sedangkan perempuan sub-ordinat (laki-laki menentukan, perempuan ditentukan). 13 Patriarki dikonstruksikan, dilembagakan dan disosialisasikan lewat institusi-institusi yang terlibat sehari-hari dalam kehidupan seperti keluarga, sekolah, masyarakat, agama, tempat kerja sampai kebijakan negara.
11
A. E. Priyono, Stanley Adi Prasetyo, Olle Tornqist, Gerakan Pro Demokrasi di Indonesia Pasca Soeharto, Jakarta: DEMOS, 2003, hal. 391. 12 Siti Musidah Mulia dan Anik Farida, Perempuan dan Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005, hal. 31. 13 http://kunci.or.id/esai/nws/08/macho.htm. Nuraini Juliastuti, Kebudayaan yang Maskulin, Macho, Jantan, dan Gagah, Newsletter KUNCI, 8 September 2000, hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
Secara keseluruhan kaum perempuan baik
kalangan
mahasiswa/
intelektual, buruh dan petani mengalami dampak dari budaya patriarki yang dilanggengkan melalui institusi yang bernama keluarga. Rumah adalah tempat dimana sosialisasi awal konstruksi patriarki itu terjadi. Dalam beberapa hal sebetulnya laki-laki juga dirugikan oleh patriarki. Dalam berbagai sistem kebudayaan, seperti juga yang dialami perempuan, mereka didesak ke berbagai macam stereotipe, dipaksa menjalankan peranan tertentu, diharuskan bersikap menurut suatu cara tertentu, terlepas mereka suka atau tidak. Mereka juga diwajibkan untuk menjalankan tugas-tugas sosial dan lainnya yang mengharuskan mereka berfungsi dalam cara tertentu. Laki-laki yang sopan dan tidak agresif dilecehkan dan diledek sebagai banci; laki-laki yang memperlakukan istrinya secara sederajat dicap "takut istri". Frederick Engels, seorang pionir feminisme dalam ajaran Marxisme, melalui bukunya yang berjudul The Origin of Family, State and Private Property (Asal–Usul Keluarga: Negara dan Kepemilikan Pribadi) menjelaskan inti permasalahan dari melemahnya posisi perempuan adalah, mereka disingkirkan dari akses ekonominya dan hanya difungsikan sebagai medium untuk melanjutkan keturunan klan yang berarti penerus kekayaan. 14 Perempuan disingkirkan dari kegiatan produksi dan diposisikan hanya sebagai aset yang dimiliki, dan berfungsi untuk melayani. Posisi kaum perempuan hanya untuk melangsungkan keturunan dan pekerjaan rumah tangga yang dianggap tidak menghasilkan untuk perekonomian. Jika patriarki merupakan akar penindasan perempuan dalam hal budaya, 14
Frederick Engels, The Origin of Family, State and Private Property: Asal-usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara, Jakarta: Kalyanamitra, 2004, hal. 81.
Universitas Sumatera Utara
maka Neoliberalisme juga merupakan akar penindasan perempuan dalam hal ekonomi dan politik (kebijakan). Neoliberalisme adalah cara
baru untuk
penguasaan secara langsung sumberdaya di negara terbelakang oleh penguasapenguasa modal di negara-negara maju. Ini berarti membuat yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. 15 Paket-paket kebijakan yang dibawa oleh Neoliberalisme seperti perdagangan bebas, swastanisasi dan pemotongan subsidi, tidak lain, adalah paket-paket untuk membuat agar pemodal asing bisa mengeruk sebesar-besarnya kekayaan yang ada di negara-negara miskin, bisa dengan leluasa menanamkan modal mereka, sehingga bisa berkembang biak, bisa bertambah kaya. Di Indonesia, tahun 2006 adalah masa panen kesengsaraan bagi kaum perempuan. Secara ekonomi kaum perempuan Indonesia menjadi korban terbesar dari kemiskinan dan kehancuran tenaga produktif akibat kebijakan Neolib. Dari 108 juta rakyat miskin yang hidup dibawah upah Rp. 19.000/hari, kaum perempuan menempati lebih dari setengahnya. PHK sepihak oleh berbagai industri manufaktur yang bangkrut mengorbankan angkatan kerja perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Tingginya angka pengangguran perempuan juga dimanfaatkan oleh bisnis prostitusi dan pornografi, termasuk peningkatan jumlah pelacur. Jumlah pelacur anak saja mencapai 30%, dan setiap tahun 100.000 anak diperdagangkan. 16
15
Materi Pendidikan Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokratik (LMND), Alam, Neoliberalisme dan Pembangunan Berkelanjutan: Antara Charybdis dan Scylla, Jakarta, 2007, hal. 2. 16 Dokumen Resmi Komite Persiapan Partai Persatuan Pembebasan Nasional (KP PAPERNAS), Catatan Akhir Tahun 2006: “Demokrasi Politik untuk Memperkokoh Jalannya Penghisapan (Modal) Asing”. Jakarta, 2006, hal. 7 – 8.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu juga pendidikan dan kesehatan yang merupakan landasan bagi kemajuan sumber daya manusia dan kemajuan suatu bangsa, semakin tak menjangkau perempuan. Semakin sulit bagi mayoritas kaum ibu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan berkualitas yang murah, karena rumah-rumah sakit besar yang berteknologi tinggi mayoritas dimiliki asing dan tidak bisa diakses oleh rumah tangga miskin. Perempuan juga merupakan lapisan masyarakat dengan tingkat melek huruf dan rata-rata sekolah yang paling rendah. Pendidikan berkualitas hanya menjadi milik rumah tangga-rumah tangga kaya. Sehingga masuk akal jika perempuan terjerumus ke dalam pekerjaan-pekerjaan yang rentan eksploitasi, kekerasan, pelecehan seksual, termasuk rela dipoligami karena tergantung secara ekonomi. Ini semua ditimbulkan oleh Neoliberalisme yang diterapkan di Indonesia. Hadirnya organisasi perempuan sebagai gerakan perempuan Indonesia memiliki peran yang signifikan yang bukan saja untuk memperjuangkan hak-hak dan kepentingan perempuan yaitu untuk mengangkat dan mengurusi peran dan kedudukan perempuan yang bersifat jender, tetapi keberadaan organisasiorganisasi perempuan harus mampu menyentuh persoalan-persoalan rakyat secara keseluruhan karena persoalan rakyat adalah juga persoalan perempuan dan sebaliknya persoalan pembebasan terhadap perempuan merupakan bagian persoalan rakyat. Dalam artian gerakan perempuan seharusnya menunjukkan perannya dalam gerakan sosial lain. Atas dasar inilah berbagai alternatif solusi terus dikembangkan dan diwacanakan oleh aktivis perempuan yang dari berbagai organisasi, termasuk dari kalangan akademisi untuk mempertajam persoalan – persoalan perempuan dan
Universitas Sumatera Utara
membicarakan metode pengorganisiran massa perempuan dengan satu prinsip, tidak memisahkan pengorganisiran perempuan dengan massa lainnya. Menurut Vivi Widyawaty, aktivis perempuan dari Jaringan Nasional Perempuan Mahardika, organisasi-organisasi perempuan saat ini harus mampu mengembangkan peran gerakan perempuan ke dalam gerakan sosial lainnya artinya gerakan perempuan yang giat dikalangan rakyat jelata. 17 Karena itu membangkitkan kembali gerakan perempuan yang sudah mengalami pasang surut melalui pembangunan organisasi – organisasi perempuan di semua sektor adalah sebuah langkah kedepan untuk menghadapi persoalan-persoalan ketertindasan rakyat dan juga perjuangan yang lebih luas pada penegakkan demokrasi dan keadilan. Dita Indah Sari seorang aktivis buruh melontarkan pandangan kritis terhadap gerakan perempuan.
”Gerakan perempuan tidak bisa eksklusif, melainkan harus inklusif bekerja sama dengan gerakan-gerakan lain seperti gerakan buruh, ,gerakan tani, gerakan prodemokrasi, dan gerakan-gerakan masyarakat lain untuk bersama-sama memperjuangkan masyarakat yang lebih berkeadilan dan sejahtera. Juga membangun organisasi di akar rumput dengan mengaitkan persoalan sehari-hari dengan sistem politik seperti kekerasan dengan sistem pemerintahan yang militeristik, kenaikan harga kebutuhan pokok dan banyaknya orang miskin dengan ketidakmampuan mengelola ekonomi, serta tidak berjalannya sistem hukum”. 18
Ayu Ratih mendefenisikan gerakan perempuan sebagai usaha untuk menerobos batasan yang memisahkan persoalan ketertindasan perempuan dan ketertindasan manusia secara keseluruhan. Ini berarti gerakan perempuan harus menyusun strategi tentang bagaimana memberi warna perempuan pada setiap gerakan pembebasan yang bertujuan untuk menghapuskan segala bentuk
17
Vivi Widyawaty, Laporan Konferensi Nasional Perempuan II POKJA (Kelompok Kerja) Perempuan Mahardika, Jakarta, Senin, 14 Agustus 2006, hal. 3. 18 http://situs.kesrepro.info/gendervaw/2004/01/19/Pelangi Gerakan Perempuan Indonesia, KOMPAS, Senin, 19 Januari 2004, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
diskriminasi dan ketidaksetaraan dalam tata hubungan antar manusia yang beradab. 19 Basis teori dari gerakan pembebasan perempuan sesungguhnya adalah feminisme. Gerakan feminisme melihat terjadi penindasan terhadap kaum perempuan. Penindasan bersifat tidak adil. Dan pembebasan, mewujudkan pembatasan atas penindasan. Penindasan dan pembebasan tidak hanya memperkenalkan terminologi politik baru, namun sebuah perspektif baru dalam dunia politik, pandangan ini dipengaruhi oleh ide Marxis dari perlawanan kelas. 20 Menurut Marxis, semua perempuan tertindas sebagai perempuan, tetapi dampak penindasan itu berbeda bagi perempuan pada kelas 21 yang berbeda. Perjuangan seputar
penindasan
perempuan memerlukan keterlibatan perempuan dari latar belakang sosial berbeda. Feminisme Marxis sebagai sebuah gerakan menggunakan analisis kelas dalam memahami penindasan perempuan. Aliran ini memandang masalah penindasan perempuan bersumber dari kapitalisme. 22 Bell
Hooks
seorang
filsuf
Amerika
yang
mewacanakan
dan
mengkampanyekan feminisme, mengemukakan mengenai feminisme. Feminisme menurutnya adalah gerakan untuk mengakhiri seksisme, eksploitasi dan
19
Ayu Ratih dalam Perempuan: Mata Rantai Yang Hilang Dalam Pemberadaban Manusia, hal. 6. 20 http://pembebasan.wordpress.com/2007/02/07/ J. Indra Wisudha, Feminisme-Marxis, hal. 2. 21 Kelas sosial dalam konsepsi Marxisme yaitu sebagai segolongan besar masyarakat yang dibedakan dengan segolongan masyarakat lainnya berdasarkan posisi mereka secara historis dalam sistem produksi sosial, oleh relasi/hubungan mereka dengan alat-alat produksi, oleh peran mereka dalam organisasi kerja secara sosial dan sebagai konsekuensinya, adalah hilangnya kemampuan untuk mendapatkan jatah kekayaan sosial dan cara untuk memperolehnya. (V.I. Lenin, Collected Works, jilid 29, Hal.421, Progress Publisher, Moscow 1964-1970). 22 Kapitalisme adalah sebuah sistem yang dijadikan alat untuk kebutuhan minoritas, untuk pengejaran keuntungan dan karenanya menimbulkan perampasan, eksploitasi, dan penindasan (dalam segala bentuk) dari mayoritas.(Artikel “Politik Feminisme Untuk Pembebasan“, hal. 3).
Universitas Sumatera Utara
penindasan. Feminisme, sebagai roh gerakan perempuan, dapat diberi pengertian sebagai “Suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut”. Menurut definisi ini, seseorang yang mengenali adanya sexisme (diskriminasi atas dasar jenis kelamin), dominasi lelaki, serta sistem patriarki dan melakukan sesuatu tindakan untuk menentangnya, adalah seorang feminis. 23 Karena itu cukup menarik untuk meneliti organisasi perempuan sebagai sebuah gerakan bagi perjuangan pembebasan perempuan. Saskia Eleonora Wieringa salah seorang yang pernah meneliti “Gerakan Perempuan dan Organisasi Kaum Perempuan dalam Perspektif Sejarah 24 , melalui penelitiannya tentang Wieringa mencoba menguak fakta sejarah Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) yang selama ini disusun oleh Orde Baru apakah “fiksi” atau “kebenaran”. Untuk menjawabnya, Wieringa menggunakan gender sebagai konsep analitis. Konsep ini digunakan untuk mengeksplorasi bagaimana fungsi gender dalam hubungan-hubungannya dengan umat manusia dan bagaimana gender dimanipulasi didalam hubungan ekonomi, politik, dan sosial. 25 Dalam perspektif penelitian Wieringa, Gerwani ditempatkan sebagai “korban” peristiwa politik Oktober 1965 dan hal ini tidak akan terungkap tanpa menggunakan metode penelitian yang berperspektif feminis. Melalui penelitian ini, Wieringa telah memberikan sumbangan yang besar untuk keperluan
23
http://rumahkiri.net/2007/01/03/Nur Amin Samhuri: Feminisme Sosialis, hal. 10. Saskia E. Wieringa, Gerakan Perempuan dan Organisasi Kaum Perempuan Indonesia (Disertasi dalam rangka proyek penelitian “The Politization of Gender Relations in IndonesiaGerakan dan Organisasi Perempuan Indonesia dalam Perspektif Sejarah) diterjemahkan oleh Hesri Setiawan dan kemudian diterbitkan oleh Garba Budaya dan Kalyanamitra), Jakarta, Desember 1982 -1985, hal. 25 – 28. 24
Universitas Sumatera Utara
membangun gerakan perempuan di Indonesia, juga terhadap khazanah penelitian sejarah perempuan yang selama ini terabaikan. Bagi gerakan perempuan, ia menyajikan rujukan mengenai perjuangan kaum perempuan yang telah menentukan jalannya sejarah gerakan-gerakan pembebasan pasca kemerdekaan. Organisasi Gerwani yang oleh rezim Orde Baru dikatakan pelacur bejat moral ternyata adalah organisasi massa perempuan yang suaranya sangat keras dalam membela hak-hak perempuan dan anak-anak sesuai dengan keadaan zamannya. Musuh ideologi Gerwani adalah berbagai pandangan yang menjadi penyebab berlangsungnya diskriminasi terhadap perempuan, yang bersumber pada feodalisme, imperialisme dan kolonialisme. Gerwani sebagai organisasi massa perempuan bukan hanya aktif memperjuangkan kepentingan kaum perempuan tetapi juga giat dalam usaha pemberantasan buta huruf dan banyak bekerjasama dengan organisasi massa lainnya seperti SOBSI dalam memperjuangkan nasib buruh perempuan.
26
Penelitian Wieringa terhadap Gerwani sebagai gerakan perempuan dipupuk oleh meningkatnya penelitian terhadap perempuan yang terjadi sejak awal 1980-an. Gerwani turut membangun sejarah perempuan di Indonesia. Ini berarti Gerwani telah membangkitkan kembali Gerakan Perempuan di Indonesia dan juga telah memberikan sumbangan besar terhadap cita-cita organisasi-organisasi perempuan masa kini untuk membangun masyarakat Indonesia baru yang nasional demokratis dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan berkeadilan. Dari penelitian yang dilakukan oleh Wieringa ini kemudian dapat menambah catatan baru bahwa sama seperti organisasi sosial dan organisasi 25 26
Saskia E. Wieringa, ibid., hal. 29. Saskia E. Wieringa, ibid., hal. 55.
Universitas Sumatera Utara
kemasyarakatan lainnya, keberadaan organisasi perempuan adalah sebagai agen dalam melakukan perubahan-perubahan sosial di Indonesia. Sebuah perubahan yang menciptakan tatanan masyarakat demokratis yang adil dan damai bagi semua lapisan masyarakat terutama bagi kaum perempuan. Karena itu membangun organisasi perempuan yang program perjuangannya tidak terpisah dari perjuangan gerakan sosial masyarakat lainnya adalah jalan keluarnya. Perempuan dari semua lapisan masyarakat jelas mengalami ketertindasan, baik oleh budaya patriarki dan Neoliberalisme. Seperti halnya dalam dunia pertanian. Perempuan menghadapi diskriminasi yang luar biasa dalam area ini, seperti upah buruh tani perempuan yang lebih rendah dibanding buruh tani lakilaki. Selain itu, di daerah pedesaan dengan taraf ekonomi rendah, petani perempuan mendapat perlakuan semena-mena. Secara individu mereka tidak memiliki hak-hak sosial dan hukum dan kadang tidak diperlakukan secara manusiawi. Secara total hidup mereka berada dibawah dominasi laki-laki dalam keluarganya. 27 Petani perempuan mempunyai peran yang menentukan dalam ekonomi. Bukan hanya karena jam kerja yang panjang baik di rumah maupun di ladang, tapi karena perempuan menghasilkan anak dan ikut memikul beban ekonomi. Bronstain (1982) menjelaskan bagaimana perempuan dari keluarga miskin di pedesaan acapkali harus menderita karena perjuangan rangkap tiga yang menindihnya, yakni bahwa perempuan itu sebagai warga negara yang terbelakang, perempuan sebagai petani yang tinggal didaerah yang sangat miskin dan perempuan
yang
hidupnya
ditengah-tengah
masyarakat
laki-laki.
Pada
27
http://kinasih.org/portal/2007/06/26/ Soliper Kinasih: Memahami Akar Permasalahan Kaum Perempuan, hal. 1 – 2.
Universitas Sumatera Utara
kenyataannya, perempuan sering ditinggalkan dalam upaya pengembangan ekonomi dan ilmu pengetahuan karena perempuan dianggap bertempat dirumah dan perannya sebagai pengasuh dan pemelihara rumah tangga. 28 Yayasan BITRA Indonesia sebagai salah satu NGO di Sumatera Utara yang pernah meneliti mengenai “Kondisi nyata yang terjadi di lapangan pada komunitas perempuan di pedesaan”, mendeskripsikan bagaimana perempuan pekerja di pedesaan khususnya yang berprofesi sebagai petani mengalami beban ganda (kerja berlebih), selain harus melakukan kerja produksi yaitu bertani, dalam rumah tangga, perempuan ini juga harus mengolah dan menyelesaikan proses pekerjaan domestik (memasak, mencuci dan memelihara anak).
29
Dalam
penelitian ini Yayasan BITRA menunjukkan bahwa telah terjadi peminggiran (marginalisasi) terhadap perempuan pekerja dari kerja produktifnya dimana upah kerja perempuan lebih rendah daripada upah pekerja laki-laki. Hal ini terjadi karena adanya anggapan bahwa posisi perempuan tidak dianggap sebagai individu yang menanggung beban ekonomi keluarga. Kekerasan, subordinasi dan berbagai bentuk ketidakadilan yang dialami kaum perempuan di pedesaan seperti petani perempuan adalah persoalan yang bersumber dari sisa-sisa bentukan budaya feodalisme yang kemudian tertanam kuat (terkonstruksi) dalam sistem sosial masyarakat Indonesia sampai saat ini. Disadari atau tidak ini adalah bentuk penindasan terhadap perempuan yang secara perlahan tapi pasti merendahkan posisi perempuan ditengah-tengah masyarakat. 30
28
V. Aida, Dilema Ekonomi Wanita Pedesaan dalam Dinamika Wanita Indonesia, Jakarta: Penerbit PPSW, 1995, hal. 18. 29 Rustam Ependi, dkk, Gender dan Komunitas Perempuan Pedesaan: Kondisi Nyata Yang Terjadi di Lapangan, Medan: BITRA Indonesia, 2002, hal. 20. 30 Rustam Ependi, dkk, ibid., hal. 21 – 22.
Universitas Sumatera Utara
Untuk merubah penindasan dan penghisapan yang dialami kaum perempuan baik secara ekonomi, sosial, budaya mau pun politik diperlukan kesadaran perempuan untuk melakukan perjuangan beserta seluruh rakyat demi tegaknya kesetaraan, keadilan dan demokrasi. Suatu keharusan untuk membangun pondasi kekuatan dengan persatuan kaum perempuan yang berada di organisasi tani mau pun buruh atau organisasi-organisasi lainnya untuk bersama-sama dan bersatu padu yang juga harus didukung oleh kaum laki-laki. Bagi penulis keberadaan gerakan perempuan harus mampu berperan strategis dalam menguatkan gerakan petani di Indonesia. Seperti halnya Saskia E. Wieringa yang menggunakan perspektif feminis dalam menemukan fakta sejarah Gerakan Perempuan di Indonesia, penelitian ini juga banyak dipengaruhi oleh perspektif feminisme seperti feminis sosialis yang tidak memisahkan perjuangan pembebasan rakyat dari perjuangan pembebasan terhadap perempuan. Teori feminisme beranjak dari asumsi bahwa gender merupakan konstruksi yang meskipun bermanfaat, tetapi didominasi oleh bias laki-laki dan cenderung opresif terhadap perempuan. Teori feminis berupaya menentang asumsi-asumsi gender yang hidup dalam masyarakat dan mencapai cara yang lebih membebaskan kaum perempuan. 31 Dalam
menganalisis
persoalan
ketidakadilan
yang
dialami
oleh
perempuan, penelitian ini tidak melihat bahwa laki-laki sebagai musuh perempuan, melainkan patriarki sebagai salah satu bentuk penindasan perempuan yang dilanggengkan oleh sistem kapitalisme yang sesungguhnya merupakan akar permasalahannya. Ini berangkat dari analisis feminis Marxis dan feminis sosialis 31
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal. 86.
Universitas Sumatera Utara
yang melihat bahwa kepemilikan alat-alat produksi yang hanya dikuasai oleh segelintir orang (minoritas) telah menimbulkan kelas. 32 Sehingga perempuan dan laki-laki sebagai kelas pekerja sesungguhnya mengalami penindasan secara bersamaan
untuk keuntungan minoritas (pemodal). Dan demi terbebasnya
masyarakat dari penindasan ini, sistem kapitalis harus diganti dengan sistem masyarakat sosialis. Gerakan feminisme ini telah mempopulerkan analisis gender dalam mengamati berbagai fenomena sosial. Upaya membebaskan kaum perempuan dari ketidakadilan merupakan perjuangan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang lebih demokratis dan egaliter. Sebab, hak-hak politik, sosial, dan ekonomi perempuan adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari seluruh kerangka hak asasi manusia. Dengan demikian gerakan perempuan dapat berperan strategis untuk menguatkan gerakan – gerakan perlawanan ( gerakan sosial) masyarakat, sebagai agen untuk memperjuangkan hak – hak demokratis, keadilan dan pembebasan rakyat. Demikian pula halnya dalam gerakan tani, gerakan perempuan adalah sebagai salah satu elemen penggerak perjuangan rakyat (petani dan buruh tani)dalam memperjuangkan hak-hak mereka. 2. PERUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah diatas, penulis merumuskan masalah penelitiannya sebagai berikut: 1. Perkembangan gerakan perempuan di Indonesia pada masa sebelum kemerdekaan hingga saat ini.
32
Mansour Fakih, ibid., hal. 88 – 89.
Universitas Sumatera Utara
2. Bagaimana keadaan kaum perempuan akibat bentukkan budaya Patriarki dan Neoliberalisme di Indonesia. 3. Apa dan bagaimana peran organisasi perempuan sebagai bagian dari gerakan sosial dalam memperjuangkan dan mewujudkan hak-hak demokratis dan keadilan bagi kaum perempuan seperti pada petani perempuan. 4. Mengapa organisasi perempuan perlu dibangun dalam gerakan sosial (Gerakan Prodemokrasi) seperti gerakan tani yang dalam penelitian ini yaitu Serikat Tani Nasional desa Pematang Lalang, Kabupaten Deli Serdang. 3. TUJUAN PENELITIAN.
Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Untuk memberikan penjelasan tentang penyebab (akar) dan asal-usul ketertindasan kaum perempuan.
2.
Untuk mendeskripsikan sekaligus memberikan penjelasan bagaimana situasi (kondisi) kaum perempuan, dalam jeratan Neoliberalisme dan Patriarki.
3.
Untuk mengidentifikasikan persoalan-persoalan dan bentuk-bentuk ketidakadilan yang dialami oleh petani perempuan di desa Pematang Lalang.
4.
Untuk mengetahui bagaimana pandangan Serikat Tani Nasional (STN) desa Pematang Lalang tentang perlunya membangun organisasi perempuan dan peran organisasi perempuan dalam gerakan tani.
4. MANFAAT PENELITIAN.
Universitas Sumatera Utara
Disamping tujuan yang hendak dicapai maka suatu penelitian harus mempunyai manfaat. Adapun manfaat penelitian ini adalah : 1. Manfaat Praktis, bagi penulis penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan penulis dalam membuat karya ilmiah dan bagi kaum perempuan, khususnya bagi perempuan tani, penelitian ini dapat
memberikan penjelasan praksis dalam berorganisasi dan
membangkitkan semangat kaum perempuan, khususnya dikalangan petani untuk bangkit melawan ketertindasannya. 2. Manfaat Akademis, bagi FISIP USU, khususnya Departemen Ilmu Politik, penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu sosial secara umum dan secara khusus. 3. Bagi organisasi petani: Serikat Tani Nasional, penelitian ini memberikan masukkan agar gerakan petani juga mendukung gerakan perempuan dalam perjuangan pembebasannya. 4. Bagi
kawan-kawan
perempuan
yang
terlibat
dalam
organisasi
perempuan (Gerakan Perempuan), penelitian ini dapat bermanfaat untuk membangkitkan kembali roh/ semangat gerakan perempuan yang aktif dalam perjuangan rakyat jelata seperti buruh tani perempuan di desa.
5. KERANGKA TEORI.
Kerangka teori diperlukan dalam setiap penelitian untuk memberikan landasan teoritis bagi penulis dalam menyelesaikan masalah dalam proses penelitian. 33 Kerangka teori juga membantu seorang peneliti dalam menentukan tujuan dan arah penelitian, serta sebagai dasar penelitian agar langkah yang
Universitas Sumatera Utara
ditempuh selanjutnya dapat jelas dan konsisten. 34 Peran teori dalam sebuah penelitian diumpamakan sebagai “pemandu” seseorang dalam meneliti Teori-teori yang dipakai untuk menjadi landasan berfikir dan titik tolak menyoroti masalah yang diteliti oleh penulis, yaitu: 5. 1. Teori Gerakan Sosial. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gerakan sosial adalah tindakan atau agitasi terencana yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat yang disertai program terencana dan ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga masyarakat yang ada. 35 Perlawanan atau desakan untuk mengadakan perubahan dapat dikategorikan sebuah gerakan sosial. Gerakan sosial lahir dari situasi yang dihadapi masyarakat karena adanya ketidakadilan dan sikap sewenang-wenang terhadap rakyat. Dengan kata lain gerakan sosial lahir sebagai reaksi terhadap sesuatu yang tidak diinginkannya atau menginginkan perubahan kebijakan karena dinilai tidak adil. Berbagai gerakan sosial dalam bentuk LSM dan Ormas bahkan Parpol yang kemudian menjamur memberikan indikasi bahwa dalam suasana demokratis, masyarakat memiliki banyak prakarsa untuk mengadakan perbaikan sistem atau struktur yang cacat. Gerakan sosial secara teoritis merupakan sebuah gerakan yang lahir dari dan atas prakarsa masyarakat dalam usaha menuntut perubahan dalam institusi, kebijakan atau struktur pemerintah. Di sini terlihat tuntutan perubahan itu
33
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES,
34
Koentjaraningrat, Metode-metode penelitian Masyarakat, Jakarta : Gramedia, 1990,
hal. 21. hal. 65. 35
http://globalisasi.wordpress.com/2006/07/10/Gerakan Sosial: Kajian Teoritis (Makalah yang dimuat pada hari Senin, 10 Juli 2006), hal. 3-4.
Universitas Sumatera Utara
biasanya karena kebijakan pemerintah tidak sesuai lagi dengan konteks masyarakat yang ada atau kebijakan itu bertentangan dengan kehendak sebagian rakyat. Karena gerakan sosial itu lahir dari masyarakat maka kekurangan apapun di tubuh pemerintah menjadi sorotannya. Dari literatur definisi tentang gerakan sosial, ada pula yang mengartikan gerakan sosial sebagai sebuah gerakan yang anti pemerintah dan juga pro pemerintah. Ini berarti tidak selalu gerakan sosial itu muncul dari masyarakat tapi bisa pula hasil rekayasa para pejabat pemerintah atau penguasa. 36 Dilihat dari perspektif Marxis, gerakan sosial dianggap sebagai gejala yang positif yang
kemunculannya disebabkan oleh karena terjadinya proses
eksploitasi dan dominasi satu kelas terhadap kelas lainnya. Gerakan sosial, dengan demikian, dipahami sebagai reaksi (perlawanan) kaum proletar terhadap kaum borjuis, merupakan ekspresi dari struktur kelas yang kontradiktif. Singkatnya, gerakan sosial adalah perjuangan kelas yang lahir karena adanya kesadaran kelas. 37 Dalam konteks kekinian, ada dua teori yang mendominasi studi-studi gerakan sosial, yakni teori mobilisasi sumber daya yang berbasis di Amerika Serikat, dan perspektif gerakan sosial baru New Social Movement ( NSM ) yang berbasis di Eropa Barat. Jika dalam studi-studi gerakan sosial yang berkembang pada tahun 1940-1960-an gerakan sosial dianggap sebagai gejala penyimpangan (deviant), irasional dan dianggap penyakit sosial, maka dalam studi-studi yang berkembang pada 1960-1970-an dan 1980-an hingga sekarang, gerakan sosial
36
Juwono Sudarsono (ed), Pembangunan Politik dan Perubahan Politik, Jakarta: Gramedia, 1976, hal. 24 – 25. 37 http://globalisasi.wordpress.com/2006/07/10/Gerakan Sosial: Kajian Teoritis, loc. cit.
Universitas Sumatera Utara
dipandang sebagai gejala positif yang kelahirannya didasari oleh alasan-alasan rasional. Lahirnya pandangan positif merupakan implikasi dari perkembangan gerakan sosial dewasa ini, yang dinilai telah berhasil mendorong proses demokratisasi. Gerakan sosial yang dimaksud adalah gerakan perjuangan hak-hak sipil, gerakan anti kolonial, feminis, gerakan hak asasi manusia dan gerakan antirasial. 38 Teori gerakan sosial baru dan mobilisasi sumber daya merupakan dua perspektif teori yang mendominasi studi-studi gerakan sosial kontemporer. Tidak hanya itu, kedua teori itupun memberi pengaruh yang besar terhadap perkembangan gerakan sosial di negara-negara Dunia Ketiga. Gerakan-gerakan untuk perubahan telah banyak bermunculan di negara Dunia Ketiga. Terdapat pandangan yang berusaha menilai hadirnya gerakan sosial ataupun kelompok aksi di dunia ketiga. Ada yang melihat gerakan sosial itu sebagai leluhur dari transisi ke sosialisme, dan yang lain melihat sebagai pendukung munculnya masyarakat sipil. Fuentes dan Gunder Frank mendefenisikan kelompok aksi atau pun gerakan sosial tersebut sebagai akar rumput (bersifat lokal), transisional ke arah sosialisme dalam arti berusaha untuk memutuskan mata rantai kolonialisme dan bersifat antipolitik, yang artinya tidak berusaha untuk memegang kekuasaan di tingkat institusional, tetapi secara luas merupakan gerakan demokratis.
39
Kelompok itu merupakan instrumen dan pernyataan perjuangan rakyat terhadap
38
Noer Fauzi, Memahami Gerakan-Gerakan Rakyat Dunia Ketiga, Yogyakarta: InsistPress, 2005, hal. 10 – 11. 39 Jeff Haynes, Demokrasi dan Masyarakat Sipil Dunia Ketiga ”Gerakan Politik Baru Kaum Terpinggir”, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000, hal.27.
Universitas Sumatera Utara
eksploitasi dan penindasan yang sudah sangat tua serta upaya bertahan hidup dan mempunyai identitas, mencoba untuk mencapai, dan menjadi instrumen dari, pemberdayaan diri yang demokratis. Disisi lain terdapat pandangan mengenai munculnya kelompok aksi atau gerakan-gerakan sosial di Dunia Ketiga, adalah sebagai unsur utama dalam munculnya masyarakat sipil dengan berusaha untuk melindungi, memprotes dan meningkatkan kepentingan para anggotanya, hal ini memberikan dukungan kepada munculnya proses demokratis yang perlahan dengan memperkuat dan memperluas masyarakat sipil. Stepan mendefenisikan masyarakat sipil sebagai wilayah dimana terdapat banyak gerakan sosial (termasuk asosiasi kemasyarakatan, kelompok perempuan, badan-badan keagamaan, dan arus intelektual) dan organisasi profesi (ahli hukum, wartawan, serikat sekerja, wiraswastawan,dan sebagainya) yang berjuang membentuk diri mereka menjadi suatu kerangka bersama guna menyatakan diri dan memajukan kepentingannya. 40 Dengan kata lain, masyarakat sipil berfungsi sebagai batu pembatas dari warga negara terhadap kekuasaan negara. Masyarakat sipil tercakup dalam konsepsi asosiasi individu yang bebas dan tidak tergantung pada Negara, mengatur dirinya sendiri dalam sederetan aktifitas otonom dan signifikan secara politik. Masyarakat sipil hendaknya menjadi pelindung yang kuat terhadap dominasi negara, meliputi organisasiorganisasi yang membatasi dan mengesahkan kekuasaan negara. Jika suatu negara demokratis, itu mengandung pengertian bahwa paling tidak disitu ada “ruang” dimana masyarakat sipil dan kelompok oposisi dapat
40
Jeff Haynes, ibid., hal. 28.
Universitas Sumatera Utara
berfungsi dan mengejar tujuannya. Hong 1991, dikutip dalam Stiefel dan Wolfe 1994: 197, melihat organisasi yang mengikutsertakan lapisan bawah justru sebagai fondasi dari masyarakat demokratis Dunia Ketiga. 41 Demokrasi, memberikan ruang bagi rakyat jelata termasuk juga bagi perempuan, dimana mereka dapat mengorganisasikan diri dan dengan demikian mereka memiliki peluang untuk mencapai tujuan mereka dalam mengejar pembangunan dan atau perubahan sosial politik untuk memulihkan kedudukan sosial mereka. Perspektif teori-teori yang dikembangkan pada umumnya meletakkan gejala gerakan sosial sebagai aktor penting yang berperan dalam proses perubahan dari otoritarianisme ke demokrasi. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, ada beberapa hal yang dapat dicatat sebagai ciri-ciri atau karakter yang melekat dalam gerakan sosial, yaitu: Gerakan sosial merupakan salah satu bentuk perilaku kolektif. Gerakan sosial senantiasa memiliki tujuan untuk membuat perubahan sosial atau untuk mempertahankan suatu kondisi. Itu artinya, tujuan sekelompok orang untuk melakukan gerakan sosial tidak selalu didasari oleh motif dan cita-cita ‘perubahan’, karena bisa juga–disadari atau tidak– ditujukan untuk mempertahankan keadaan (status quo). Gerakan sosial tidak identik dengan gerakan politik yang terlibat dalam perebutan kekuasaan secara langsung. Gerakan sosial merupakan perilaku kolektif yang terorganisasi, baik formal maupun tidak.
41
Jeff Haynes, ibid., hal. 67.
Universitas Sumatera Utara
Gerakan sosial merupakan gejala yang lahir dalam kondisi masyarakat yang konfliktual. 42 Dalam sejarah modern dikenal ada ada dua jenis gerakan sosial yakni gerakan kelas dan gerakan kelompok etnik. Contoh gerakan sosial adalah antara kelas menengah lawan kelas dan kaum bangsawan, kelas petani lawan tuan tanah, kelas pekerja lawan majikan, petani lawan tengkulak dan petty bourgeoisie (borjuis kecil) lawan pengusaha besar. Mungkin lebih luas lagi kelas miskin lawan kelas kaya. Selanjutnya, fungsi dari gerakan sosial adalah : •
Gerakan sosial memberikan sumbangsih kedalam pembentukan opini publik dengan memberikan diskusi-diskusi masalah sosial dan politik dan melalui penggabungan sejumlah gagasan-gagasan gerakan kedalam opini publik yang dominan.
•
Gerakan sosial memberikan pelatihan para pemimpin yang akan menjadi bagian dari elit politik dan mungkin meningkatkan posisinya menjadi negarawan penting.
5. 2. Teori Gerakan Perempuan. Defenisi yang komprehensif tentang gerakan perempuan sangat sukar, karena gerakan perempuan tidak pernah bicara dalam satu bahasa. Defenisi yang luas
lebih
tepat
untuk
bisa
menangkap
heterogenitas,
pluralitas
dan
kompleksitasnya. Gerakan perempuan dapat dilihat sebagai spektrum menyeluruh dari perbuatan individu atau kolektif secara sadar dan tidak sadar, kegiatan, kelompok atau organisasi yang berperhatian terhadap berkurangnya berbagai
42
Sadikin, Perlawanan Petani dan Konflik Agraria dalam Diskursus Gerakan Sosial, 2004, hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
aspek subordinasi gender yang dipandang sebagai berjalinan dengan penindasan lainnya, seperti misalnya yang didasarkan atas kelas, ras, etnik, umur dan seks. 43 Menurut Melluci, gerakan perempuan bisa berupa jaringan kerja yang tak nampak dari kelompok kecil yang timbul ditengah kehidupan sehari-hari, di dalam ”laboratoriumnya” yang tak menampak itu, gerakan akan mempertanyakan atau menentang aturan hidup sehari-hari.
44
Gerakan perempuan seperti gerakan feminisme memandang perempuan sampai saat ini selalu dalam posisi tertindas, subordinat secara sistem dan terpenjara secara ideologis. Kelahiran gerakan pembebasan perempuan merefleksikan perubahan struktural dalam kehidupan sebagian besar perempuan. Gerakan feminis berhasil membangun karakter sosial atas situasi kaum perempuan dan mendapatkan pengakuan gender perempuan. Gerakan
pembebasan
perempuan
merupakan
gerakan
yang
dengan berbagai teori dan pandangan politik yang berbeda.
heterogen 45
Kalau gerakan perempuan yang terjadi pada akhir abad ke-18 sampai awal abad ke-20 banyak memusatkan perhatiannya pada upaya memperoleh ruang publik yang lebih luas dengan keterlibatan perempuan di dalam wilayah politik dan ekonomi, maka belakangan ini tuntutan yang memuncak dan meluas adalah penghilangan batasan wilayah publik dan pribadi dalam masalah perempuan. Gerakan perempuan yang terjadi saat ini lebih kritis memandang asal-usul munculnya penindasan terhadap mereka. Kaum sosialis memandang perlunya gerakan perempuan yang bukan bertujuan memusuhi laki-laki. Lebih dari itu, gerakan perempuan mesti lebih kritis
43 44
Saskia E. Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan diIndonesia, op. cit., hal. 75. Saskia E. Wieringa, ibid., hal. 77.
Universitas Sumatera Utara
memandang asal-usul penindasan terhadap perempuan dan kaum tertindas lainnya. Karena kaum perempuan dan laki-laki sebagai kelas pekerja, sejatinya berada dalam penindasan yang sama. Perempuan harus bertarung dengan kemiskinan sebagai buruh pabrik, buruh migran, buruh tani dan buruh kebun, juga sebagai pembantu rumah tangga dan pekerja seks. Mereka semua memiliki karakter sosial yang sama yaitu miskin, berpendidikan rendah dan dibayar murah. Ketiga poin diatas merupakan bentuk kekerasan yang paling mendasar terhadap perempuan yang berakar pada diskriminasi secara ekonomi politik dan sosial terhadap perempuan yang berwatak patriarki. 46 5.2.1. Teori Feminisme. Feminisme dilahirkan beberapa abad lalu di Barat yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet, karena menilai ada ketidakadilan bagi kaum perempuan. Sumber ketidakadilan itu dinilai karena kuatnya dominasi laki-laki (patriarki). Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan-putih di Eropa. Simone de Beauvoir dalam Le Deuxieme Sexe (1949) memunculkan eksistensi perempuan sebagai kelas kedua. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa (perempuan kulit putih) memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood.
45
Ernawaty Sasongko, Feminisme dan Sosialisme (diterjemahkan dari tulisan Lisa Mcdonald ”Feminism and socialism : Putting The Pieces Together”), Australia: Resistance Book, 2001, hal. 41- 42. 46 Saskia E. Wieringa, loc. cit.
Universitas Sumatera Utara
Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. 47 Pada awalnya gerakan ini diperlukan pada masa itu, karena terjadinya pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriarki sifatnya. Dalam bidangbidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan terutama bidang politik, hak-hak kaum perempuan biasanya memang lebih rendah ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi agraris (pertanian), cenderung menempatkan kaum laki-laki didepan atau di luar rumah sedangkan kaum perempuan di rumah. Secara umum, hal-hal yang menjadi momentum perjuangan gerakan feminisme yaitu: hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas. Maka dapat dikatakan bahwa sebenarnya, gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme, stereotyping, seksisme, dan penindasan perempuan. 48 Dalam perjalanan sejarahnya, ide feminisme ternyata muncul di berbagai penjuru dunia dan punya berbagai corak yang masing-masing menawarkan analisisnya tentang sebab dan pelaku penindasan kaum perempuan. Meski berbeda-beda, pada dasarnya feminisme sampai kini masih sepakat bahwa diperlukan perjuangan untuk mencapai kesetaraan harkat perempuan dengan lakilaki, serta kebebasan perempuan untuk memilih dalam mengelola kehidupan dan tubuhnya, baik di dalam maupun di luar rumah tangga. Sampai kini dikenal
47
http://wikipedia.com/2007/01/07/Penelusuran tentang Feminisme, hal. 1 – 2.
Universitas Sumatera Utara
beberapa aliran besar feminisme antara lain feminisme Marxis, feminisme Sosialis, feminisme liberal, dan ekofeminisme. 49 Di Indonesia pada abad 20, organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal bagi kaum perempuan. Selain itu juga, reformasi hukum yang berperspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis. Saat ini, feminisme umumnya mengacu pada semua usaha yang mencoba untuk mengakhiri subordinasi. Menurut Gerda Lerner terdapat beberapa defenisi mengenai istilah feminisme. Diantaranya, feminisme adalah sebuah doktrin yang menyokong hakhak sosial dan politik yang setara bagi perempuan; kepercayaan pada perubahan sosial yang luas dan berfungsi untuk meningkatkan daya perempuan. Menurutnya, feminisme dapat mencakup baik gerakan hak-hak perempuan maupun emansipasi perempuan. 50 Gerakan hak-hak perempuan berarti sebuah gerakan yang peduli dengan pemenangan bagi kesetaraan perempuan dengan laki-laki dalam semua aspek masyarakat dan memberi mereka akses pada semua hak-hak dan kesempatankesempatan yang dinikmati laki-laki dalam institusi dari masyarakat tersebut. Gerakan hak-hak perempuan serupa dengan gerakan hak-hak sipil dalam menginginkan partisipasi setara bagi perempuan dalam status quo. Istilah
48
Artikel Dewi Candraningrum Soekirno, Menolak Universalisme ‘Perempuan’: Perempuan Indonesia ‘bukan’ Perempuan Jawa, Jakarta, 2003, hal. 2. 49 Artikel Nur Amin Samhuri “Feminisme Sosialis: Apa? Bagaimana? Dan Mengapa Kita Harus Menolak Feminisme Borjuis?” (Materi Pendidikan Politik Perempuan yang dibawakan dalam DIKPOL Perempuan Mahardika), Medan, 5 Januari 2007, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
emansipasi perempuan berarti bebas dari pembatasan yang menindas yang dikenakan oleh seks; penentuan diri; dan otonomi. 51 Feminisme juga dapat dikatakan sebagai sebuah ide yang berupaya melakukan pembongkaran terhadap ideologi penindasan atas nama jender 52 , pencarian akar ketertindasan perempuan sampai upaya penciptaan pembebasan perempuan secara sejati. 53 Feminisme sesungguhnya adalah basis teori dari gerakan pembebasan perempuan. Berbicara mengenai pembebasan berarti ada hubungannya dengan penindasan. Pembebasan mewujudkan pembatasan atas penindasan. Penindasan bersifat tidak adil. Penindasan dan pembebasan tidak hanya memperkenalkan terminologi politik baru, namun sebuah perspektif baru dalam dunia politik, pandangan ini dipengaruhi oleh ide Marxis dari perlawanan kelas. 54 5.2.2. Teori Feminisme Sosialis.
[
Aliran feminis sosialis mulai berkembang di Jerman dan Rusia dengan menampilkan beberapa tokohnya, seperti Clara Zetkin (1871-1919). Feminisme sosialis sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Akan tetapi,
50
C.Y. Marselina Nope, Jerat Kapitalisme Atas Perempuan, Yogyakarta: Resists Book, 2005, hal. 66. 51 C.Y. Marselina Nope, ibid., hal. 68. 52 Dalam Webster’s New World Dictionary (1984: 561), Jender diartikan sebagai “perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku” (Endang Sumiarni, op. cit., hal. 1.) 53 C.Y. Marselina Nope, op. cit., hal. 57. 54 http://pembebasan.wordpress.com/2007/02/07/ Penelusuran tentang Sejarah feminisme, hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
feminisme sosialis tidak melihat laki-laki sebagai sumber penindasan ataupun sebagai musuh kaum perempuan. 55 Menurut penindasan
pandangan
atas
feminisme
perempuan
sosialis,
adalah
perjuangan
perjuangan
melawan
untuk
melawan
penindasan dan penghisapan dari kelas masyarakat, bukan perjuangan melawan laki-laki karena penindasan perempuan merupakan produk dari kelas masyarakat.
56
Feminis sosialis berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin. Aliran ini berpendapat bahwa ”ketimpangan jender didalam masyarakat
adalah akibat penerapan
sistem kapitalis” yang mendukung terjadinya tenaga kerja tanpa upah
bagi
perempuan
dalam
lingkungan
rumah
tangga.
Kapitalisme
adalah sebuah sistem yang digunakan sebagai alat untuk kebutuhan minoritas, untuk pengejaran keuntungan dan karenanya menimbulkan perampasan, eksploitasi, dan penindasan (dalam segala bentuk) dari mayoritas. 57 Melalui perspektif Marxis, penindasan perempuan merupakan produk dari masyarakat kelas dan hanya bisa diakhiri apabila kita mampu menghancurkan seluruh tatanan masyarakat kelas. tidak
akan
masyarakat, perempuan menegaskan
terbebaskan sehingga
merupakan bahwa
sebelum
menghancurkan
perjuangan satu
jika
kesatuan gerakan
kelas
dan
yang
tidak
feminisme
58
Perempuan
sisa-sisa
kelas
perjuangan
untuk
terpisahkan. Ini
tidak
mengembangkan
strategi untuk membangun aliansi dengan sektor tertindas lainnya maka mustahil dasar penindasan perempuan dapat dihancurkan.
59
55
C.Y. Marselina Nope, op. cit., hal. 62. http://rumahkiri.net/ 2007/05/02/ Nur Amin Samhuri, Feminisme Sosialis, hal. 8. 57 http://pembebasan.wordpress.com/2007/02/07/ Nur Amin Samhuri, Feminisme Marxis, 56
hal. 1. 58 59
Ernawaty Sasongko, op. cit., hal. 7. Ernawaty Sasongko, ibid., hal. 40.
Universitas Sumatera Utara
Feminis sosialis memandang kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Menurut Heidi Hartmann (1992), salah seorang feminis sosialis, patriarki adalah relasi hirarkis antara laki-laki dan perempuan dimana laki-laki lebih dominan dan perempuan menempati posisi subordinat. Menurutnya, patriarki semacam forum solidaritas antar laki-laki yang mempunyai landasan material serta memungkinkan mereka untuk mengontrol perempuan. Agenda perjuangan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Di Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problemproblem kemiskinan yang menjadi beban perempuan. 60 Engels dalam bukunya yang diterbitkan 1884 (Origins of the Family, Private Property, and the State): Asal-usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi,dan Negara, mengatakan, “masyarakat kapitalis yang memiliki kepemilikan pribadi asal usulnya berasal dari institusi keluarga. Dan keluarga yang universal itu adalah keluarga patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga”. 61 Cikal bakal kapitalisme adalah adanya struktur patriarki dalam keluarga yang menempatkan pria sebagai penguasa/kepala keluarga serta adanya konsep kepemilikan pribadi dalam keluarga, termasuk kepemilikan harta dan kepemilikan istri.
62
Patriarki menurut Edwards (dkk) adalah suatu sistem yang dapat
berproduksi secara mandiri yang memberikan kendali atas komponen-komponen penting dari alat produksi dan reproduksi, kepada laki-laki. 63 Di sini dinilai pihak perempuan/istri tertindas karena tidak punya kekuatan ekonomi.
60 61 62 63
http://rumahkiri.net/ Nur Amin Samhuri, Feminisme Sosialis, op. cit., hal. 10. C. Y. Marselina Nope, op. cit.., hal. 118. C. Y. Marselina Nope, ibid. Endang Sumiarni, op. cit., hal. 77.
Universitas Sumatera Utara
Dalam masyarakat dibawah cengkraman kapitalisme seperti Indonesia, kaum perempuan yang jumlahnya setengah dari umat
manusia mengalami
penindasan ganda, dimana secara ekonomi kaum perempuan mengalami penindasan dalam lapangan kerja produksi, seperti perempuan buruh di pabrikpabrik yang harus berjuang menuntut kenaikan upah yang layak, serta dalam lingkup budaya yang terhegemoni oleh budaya patriarki. Seorang buruh perempuan dan petani perempuan ditindas oleh modal. Mereka, yang telah lelah sepulang bekerja, juga harus memenuhi tugasnya sebagai istri dengan melayani suami, memasak di dapur, mencuci dan mengurus anak. 64 Feminisme sosialis mencoba membongkar akar ketertindasan perempuan dan menawarkan ideologi alternatif yakni: Sosialis. Penindasan terhadap perempuan tidak akan berakhir selama masih terus diterapkannya sistem kapitalisme. Inilah yang dikatakan sebagai peminggiran peran perempuan sebagai bagian dari produk sosial, politik dan ekonomi yang berhubungan dengan keberadaan kapitalisme sebagai suatu sistem. Inilah penindasan yang berakar pada keberadaan kelas-kelas dalam masyarakat. Secara ringkas, feminisme sosialis berpandangan bahwa perjuangan sosialisme tak dapat dipisahkan dengan perjuangan pembebasan perempuan dan dengan keteguhan didalam masyarakat yang terorganisirlah pembebasan perempuan sejati akan tercapai, yakni ketika masyarakat sosialis telah tercipta. Tak ada sosialisme tanpa pembebasan perempuan, tak ada pembebasan perempuan tanpa sosialisme. 65
64
Artikel Ken Budha Kusumandaru, Asal – Usul Penindasan Perempuan (Materi Pendidikan Politik Perempuan yang dibawakan dalam DIKPOL Kelompok Diskusi - Perempuan Mahardika), Medan, 5 Januari 2007, hal. 7. 65 Nur Amin Samhuri, op. cit., hal. 2 – 3.
Universitas Sumatera Utara
Ini berarti bahwa perjuangan pembebasan perempuan hanya berhasil ketika sistem kepemilikan pribadi yang memerlukan secara logis penindasan terhadap perempuan, berhasil dihancurkan dan lalu berhasilnya transformasi sosial masyarakat yang menghancurkan kelas-kelas, dan penguasaan alat-alat produksi oleh segelintir orang untuk diserahkan dan dikelola secara sosial. Perjuangan perempuan harus dilakukan dengan persatuan yang kokoh dengan berbagai sektor masyarakat lain, terutama dengan kelas pekerja. Perjuangan perempuan tak bisa terpisah secara sektoral dan eksklusif, karena akan melemahkan persatuan kokoh dari masyarakat yang tertindas. Ini berarti perempuan juga harus terlibat aktif dalam gerakan-gerakan sosial lainnya. 5.2.3. Teori Neoliberalisme Neo-liberalisme adalah variasi dari liberalisme klasik di abad 19 ketika Inggris dan imperialisme lainnya menggunakan ideologi kompetisi pasar dan perdagangan bebas untuk menyetujui kapitalisme di negara mereka sendiri dan negeri jajahan mereka di seluruh dunia. "Liberalisme" bisa berkaitan dengan politik, ekonomi, atau bahkan gagasan-gagasan relijius. "Neo" berarti kita membicarakan tentang jenis baru liberalisme. 66 Aliran ekonomi liberal menjadi terkenal di Eropa ketika Adam Smith, seorang ekonom Inggris, menerbitkan bukunya di tahun 1776 yang berjudul The Wealth of Nations. Ia dan pihak-pihak
lainnya mendukung penghapusan
intervensi pemerintah dalam urusan ekonomi. Menyerukan agar tidak adanya hambatan dalam perdagangan, tidak adanya tariff. Smith menyatakan:
66
Artikel Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia, Apa Itu Neo-Liberalisme ? (Materi Pendidikan Politik bagi Pengurus Serikat Tani nasional (STN)-sebuah defenisi ringkas bagi Aktifis yang tidak mencantumkan tanggal penulisannya), hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
“perdagangan bebas adalah cara
terbaik untuk perkembangan perekonomian
sebuah bangsa”. Gagasan ekonomi semacam ini adalah "liberal" dalam artian tidak adanya kontrol. Penerapan watak individualisme ini mendorong adanya persaingan "bebas", yang sesungguhnya bermakna kebebasan bagi kaum kapitalis untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya sesuai keinginan mereka. Pokok-pokok utama Neo-Liberalisme 67, meliputi: 1. Aturan Pasar. Membebaskan perusahaan "bebas" atau perusahaan swasta dari kewajiban-kewajiban yang diterapkan oleh pemerintah (negara)
tidak
peduli
sebanyak
apa
kerugian
sosial
yang
diakibatkannya. Tidak ada lagi kontrol harga. Intinya, kebebasan mutlak bagi pergerakan modal, barang, dan jasa. 2. Memotong Anggaran Belanja Publik bidang pelayanan sosial seperti pendidikan dan pemeliharaan kesehatan. 3. Deregulasi, mengurangi peraturan pemerintah dalam segala hal yang bisa menurunkan keuntungan, termasuk dalam hal perlindungan alam dan keselamatan kerja. 4. Privatisasi. Menjual badan-badan usaha milik negara, barang-barang dan jasa kepada investor swasta. Ini termasuk bank-bank, industriindustri strategis, jaringan rel kereta api, jalan-jalan tol, pembangkit listrik, sekolah-sekolah, rumah sakit dan bahkan air bersih. Privatisasi
terutama
sekali
berpengaruh
dalam
pemusatan
kemakmuran/kekayaan yang lebih besar lagi ke tangan segelintir
67
Artikel Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia, ibid., hal. 1-2.
Universitas Sumatera Utara
orang dan membuat masyarakat membayar lebih banyak lagi untuk memenuhi kebutuhannya. Di seluruh dunia, Neo-liberalisme telah didiktekan oleh lembaga-lembaga keuangan yang
berkuasa seperti International Monetary Fund (IMF), Bank
Dunia dan Inter-American Development Bank. 6. METODOLOGI PENELITIAN
6. 1. Jenis Penelitian Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Berdasarkan metode yang dipakai, maka penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Menurut Hadari Nawawi, prosedur
metode
penelitian
pemecahan
menggambarkan/melukiskan
deskriptif
masalah keadaan
dapat
yang
diartikan
sebagai
diselidiki
subjek/objek
dengan penelitian
seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.
68
Penelitian deskriptif melakukan analisis dan menyajikan data-data dan
fakta-fakta
secara
sistematis
sehingga
dapat
lebih
mudah
dipahami dan disimpulkan.
Tujuan penelitian deskriptif analisis adalah untuk menjelaskan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. 69 Penelitian ini bermaksud untuk mengungkapkan bagaimana kondisi gerakan perempuan masa kini yang digambarkan lewat program dan strategi perjuangan organisasi perempuan yang dalam penelitian ini adalah organisasi yang ada pada basis tani perempuan di Pematang Lalang, Deli Serdang.
68
Hadari Nawawi, Metodologi Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1987, hal. 63.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian ini juga menggunakan teori-teori, konsep-konsep dan data dari pengamatan langsung yang diperoleh dilapangan untuk menjelaskan hasil penelitian dan sekaligus menjawab persoalan yang diteliti. Maka jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. 6. 2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian penulis dalam penelitian ini yaitu di desa Pematang Lalang, Kabupaten Deli Serdang dan mengambil tempat pada organisasi tani yaitu Serikat Tani Nasional, Pematang Lalang. 6. 3. Populasi dan Sampel Menurut Sumanto populasi yaitu : seluruh subyek di dalam wilayah penelitian dijadikan subyek penelitian. 70 Populasi dari penelitian ini adalah seluruh warga masyarakat di Pematang Lalang yang terdaftar sebagai anggota dari Serikat Tani Nasional. Sedangkan Sampel dari penelitian ini adalah seluruh pengurus (Komite Pimpinan Desa) Serikat Tani Nasional - Pematang Lalang, Deli Serdang dan pengurus (Komite Pimpinan Wilayah) STN Sumut. Yang dimaksud pengurus dalam hal ini adalah seorang-orang yang telah melewati proses pendidikan dan juga bertanggung jawab terhadap terlaksananya program kerja organisasi. Pengurus ini dijadikan sebagai Key Informant. 7. TEKNIK PENGUMPULAN DATA
69
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, Cetakan IX,1995, hal. 18. 70 Sumanto, Metodologi Penelitian Ilmu Sosial dan Pendidikan, Yogyakarta: ANDI, 1990, hal. 23.
Universitas Sumatera Utara
Untuk pengumpulan data penelitian ini, penulis menggunakan 2 teknik pengumpulan data, yaitu dengan cara : 1. Metode Lapangan (Field Research) Dengan metode ini penulis akan terjun langsung ke lapangan untuk mendapatkan data-data yang diperlukan. Dalam hal ini peneliti menggunakan metode wawancara yaitu melakukan wawancara langsung dengan pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang akan diteliti. Penulis juga akan melakukan metode observasi yaitu mengamati secara langsung objek yang akan diteliti. 2. Metode Kepustakaan (Library Research) Untuk data pendukung, terutama guna melengkapi kerangka teoritis dan kerangka konsep dipergunakan penelitian kepustakaan. Referensi yang digunakan adalah text book yaitu buku bacaan, artikel, makalah, majalah/surat kabar, dan web site.
8. TEKNIK ANALISA DATA
Setelah data yang diperoleh dirasa cukup memadai untuk mendukung proses analisa, maka tahapan selanjutnya adalah analisa data. Dalam analisa data ini, data yang sudah terkumpul akan diolah dan kemudian di analisis untuk dapat disimpulkan sebagai hasil dari penelitian. Penelitian ini mencoba menganalisis pandangan Serikat Tani Nasional (STN) desa Pematang Lalang mengenai perlunya membangun Organisasi Perempuan dalam gerakan-gerakan rakyat maupun gerakan prodemokrasi seperti gerakan tani. Metode analisa data dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode analisis deskriptif yaitu suatu metode dimana data yang diperoleh disusun dan
Universitas Sumatera Utara
kemudian diinterpretasikan sehingga memberikan keterangan terhadap masalahmasalah yang aktual berdasarkan data-data yang sudah terkumpul dari penelitian. Dalam menganalisa data dalam penelitian ini pertama-tama penulis terlebih dahulu mengumpulkan data-data primer yang menyangkut masalah penelitian dan data tersebut diperoleh melalui buku-buku, dokumentasi resmi, artikel dan makalah/ skripsi/ tesis dari peneliti terdahulu yang sebelumnya juga pernah meneliti masalah yang sama. Selain itu data juga diperoleh melalui wawancara langsung dengan orang-orang ataupun organisasi (pihak) yang berhubungan langsung dengan masalah penelitian yng dalam penelitian ini adlah petani perempuan di Desa Pematang Lalang serta seluruh pengurus Serikat Tani Nasional – Pematang Lalang. Data- data yang sudah terkumpul kemudian di analisa dengan menggunakan teori-teori sebagai landasan teoritis bagi penulis dalam menjelaskan dan menjawab masalah-masalah penelitian. Teori-teori yang digunakan yaitu, teori Gerakan Sosial untuk menganalisis peran organisasi massa perempuan sebagai bagian dari gerakan sosial, teori Feminisme sebagai analisa terhadap perkembangan gerakan perjuangan pembebasan perempuan, dan juga Perspektif Feminisme Sosialis dan Feminisme Marxis terhadap Perjuangan Pembebasan Perempuan. Dalam menganalisis persoalan petani perempuan, penulis juga menggunakan teori Gender untuk menjelaskan peran dan kedudukan perempuan terutama pada petani perempuan di Desa Pematang Lalang. Berdasarkan teoriteori tersebut masalah-masalah yang diteliti oleh penulis dapat dijelaskan secara ilmiah dan sistematis. 9. SISTEMATIKA PENULISAN.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian ini berusaha mengungkapkan tentang apa yang dimaksud gerakan pembebasan perempuan (Gerakan Sosial Perempuan) melalui pembangunan organisasi perempuan sebagai bagian dari perjuangan pembebasan rakyat melawan ketidakadilan dan ketidakberpihakan sistem terhadap hak-hak sosial, ekonomi dan politik kaum perempuan. Agar penulisan hasil penelitian ini lebih sistematis, maka penulis membaginya dalam IV bab dan beberapa sub bab. Bab I menguraikan tentang latar belakang masalah yaitu perkembangan gerakan perempuan Indonesia dari catatan sejarah yang dimulai sebelum kemerdekaan, bagaimana keikusertaan perempuan Indonesia dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia dan munculnya organisasi-organisasi perempuan Indonesia yang tumbuh dan berkembang sampai saat ini. Bab ini menjelaskan bagaimana strategi dan pengorganisiran organisasi massa perempuan dalam memperjuangkan hak dan kedudukan kaumnya pada massa orde lama, penghancuran gerakan perempun di masa orde baru dan bangkitnya gerakan perempuan yang demokratis saat ini. Dalam bab ini juga di uraikan kondisi perempuan pedesaan seperti petani perempuan yang kerap kali mengalami bentuk-bentuk ketidakadilan sistem ekonomi dan politik terutama budaya yang meminggirkan posisinya dan bagaimana peran organisasi perempuan dalam menyikapi persoalan mereka.
Bab II berisi tentang gambaran lokasi penelitian yaitu desa Pematang Lalang. Untuk memudahkan penulis dalam pengumpulan data, penelitian ini dilakukan pada Serikat Tani Nasional (STN) desa Pematang Lalang sebagai organisasi tani yang menjadi payung bagi beberapa kelompok tani dan komunitas petani perempuan di desa Pematang Lalang. Maka dalam bab ini di jelaskan profil organisasi meliputi ; sejarah singkat organisasi, tujuan dan program organisasi, prinsip-prinsip organisasi serta struktur organisasi. Kemudian pada bab III adalah pembahasan. Dalam pembahasan, penulis menyajikan data-data masalah penelitian dan menganalisis masalah penelitian. Pertama, penulis menjelaskan tentang asal-usul ketertindasan perempuan mulai dari fase komunal primitif sampai fase kapitalisme. Kemudian penulis akan memberikan gambaran mengenai kondisi perempuan Indonesia akibat sistem ekonomi Neoliberalisme dan budaya patriarki. Dalam bab III penulis juga menguraikan bagaimana situasi petani perempuan yang mayoritas hidup dalam
Universitas Sumatera Utara
kemiskinan akibat penghisapan ekonomi neolib serta ketidakadilan yang dialami petani perempuan dalam memperjuangkan hak atas tanah mereka yang dirampas oleh pengusaha bekerjasama dengan penguasa, juga bagaimana budaya patriarki yang mengharuskan mereka menjalankan kerja-kerja rumah tangga tetapi juga harus melakukan kerja produksi agar dapat bertahan hidup (beban ganda). Bab ini juga menganalisis pandangan Serikat Tani Nasional Desa Pematang Lalang sebagai alat perjuangan petani laki-laki mau pun petani perempuan mengenai perlunya membangun organisasi perempuan yang demokratik di setiap sektor baik dalam dunia buruh, mahasiswa, khususnya dalam gerakan petani. Bagian terakhir dari penulisan skripsi ini berisikan saran dan kesimpulan yang diperoleh dari analisa data yang diteliti. Bab IV berusaha menyimpulkan mengenai gerakan perempuan dewasa ini dalam masyarakat serta makna gerakan sosial perempuan yaitu peran organisasi perempuan yang dibangun dalam gerakan pro-demokratik seperti gerakan petani karena melihat kondisi perempuan di pedesaan yang berprofesi sebagai petani atau buruh tani kerap kali mengalami ketidakadilan dan pengeksploitasian dari sistem ekonomi-politik Neoliberal dan budaya patriarki. Selain menyimpulkan data-data yang telah dianalisis, penulis juga mencoba memberikan saran sebagai masukan bagi kemajuan ataupun perkembangan gerakan perempuan dewasa ini, terlebih bagi para akademisi yang juga berperan dalam berbagai gerakan sosial kemasyarakatan khususnya aktifis perempuan demi kemajuan kaum perempuan di masa mendatang.
Universitas Sumatera Utara