BAB 5 PENUTUP
Pada bagian ini, akan dibahas temuan studi yang didapat, kesimpulan, kelemahan studi, rekomendasi yang dapat diberikan untuk perencanaan di masa yang akan datang, serta masukan untuk studi selanjutnya.
5.1
Temuan Studi Dari tahapan survei dan analisis yang telah dilalui, didapatkan temuan
studi yang berkaitan dengan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya, yaitu: 1. Hasil identifikasi perubahan harga lahan yang terjadi di Kecamatan Jatinangor sejak sebelum adanya KPT, yaitu pada tahun 1980. ‐
Seluruh lahan di Kecamatan Jatinangor mengalami peningkatan harga lahan sejak tahun 1980, tetapi besarnya peningkatan harga lahan tersebut berbeda-beda di tiap wilayah. Dari hasil survei dan analisis, ternyata wilayah dengan perkembangan harga yang paling pesat di Kecamatan Jatinangor sejak tahun 1980 hingga 2007 adalah wilayah yang berbatasan langsung dengan Kawasan Pendidikan Tinggi, yang meliputi Desa Cibeusi, sebagian wilayah Desa Sayang, Desa Cikeruh, Desa Hegarmanah, dan Desa Cileles. Kenaikan harga lahan di wilayah-wilayah tersebut dari tahun 1980 hingga 2007 mencapai sekitar 8.000% (kenaikan harga lahan di Desa Cibeusi pada periode tahun 1980-2007, lihat Bab 4.1.1).
‐
Kenaikan yang terpesat pada wilayah-wilayah di sekitar KPT tersebut terjadi pada kurun waktu 1980-1990. Pada kurun waktu tersebut, dilakukan relokasi universitas-universitas yang tergabung dalam Kawasan Pendidikan Tinggi (KPT), yang dimulai dari didirikannya IKOPIN pada tahun 1982, yang kemudian disusul oleh UNPAD pada tahun 1987, IPDN pada tahun 1989, dan terakhir UNWIM pada tahun 1991.
‐
Wilayah dengan kenaikan harga lahan tertinggi kedua adalah wilayah yang dilalui oleh jalan arteri primer yang menghubungkan Kabupaten Bandung dengan Kabupaten Garut, antara lain Desa Cipacing dan Desa Mekargalih.
136
137
Namun, di wilayah ini harga lahan yang tinggi hanya terbatas pada wilayah yang berada di pinggir jalan arteri primer. ‐
Sementara wilayah yang tidak berbatasan langsung dengan KPT serta tidak dilalui oleh jalan arteri primer, seperti misalnya Desa Cintamulya, Desa Desa Jatiroke, Desa Jatimukti, dan Desa Cisempur memiliki pola harga harga lahan yang mengikuti jalan desa yang semakin menurun seiring dengan bertambah jauhnya jarak dari jalan desa. Kenaikan harga lahan yang dialami oleh desa-desa tersebut relatif rendah dalam konstelasi wilayah Kecamatan Jatinangor.
2. Hasil identifikasi jumlah dan perkembangan mahasiswa di Kawasan Pendidikan Tinggi Jatinangor. ‐
Universitas yang tergabung dalam Kawasan Pendidikan Tinggi (KPT) berjumlah 4, yaitu UNWIM, IKOPIN, IPDN, dan UNPAD. Jumlah keseluruhan mahasiswa dari keempat universitas tersebut cenderung terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Jumlah keseluruhan mahasiswa di KPT Jatinangor adalah 10.701 orang pada tahun 1990, 40.365 orang pada tahun 2000, namun pada tahun 2003 jumlah tersebut mengalami sedikit penurunan menjadi 37.566 orang. Jumlah yang besar dari mahasiswa tersebut sebagian besar disumbangkan oleh UNPAD.
‐
Pada tahun 1990, jumlah mahasiswa UNPAD adalah 5482, atau 51,23% dari jumlah keseluruhan mahasiswa KPT. Pada tahun 2000, jumlah mahasiswa UNPAD adalah 27.163 orang, atau 67,29% dari jumlah keseluruhan mahasiswa KPT, dan tahun 2003, jumlah mahasiswanya meningkat menjadi 28.148, atau mencapai 74,93% dari jumlah keseluruhan mahasiswa KPT.
‐
Sementara UNWIM justru mengalami penurunan jumlah mahasiswa setelah tahun 2000. Pada tahun 2000, jumlah mahasiswa UNWIM adalah 7.265 atau sekitar 18 % dari jumlah keseluruhan mahasiswa KPT. Pada tahun 2003, jumlah mahasiswa UNWIM tersebut mengalami penurunan
138
46,3% dari tahun 2000 menjadi 3.901 orang, atau sekitar 10,38% dari jumlah keseluruhan mahasiswa KPT. ‐
IKOPIN juga mengalami penurunan jumlah mahasiswa setelah tahun 1997. Pada tahun 1997, jumlah mahasiswa IKOPIN adalah sebesar 5.500 orang atau 16,84% dari jumlah keseluruhan mahasiswa KPT. Pada tahun 2000, jumlah tersebut mengalami penurunan 43,93 % dari tahun 1997 menjadi 3.084 orang atau sekitar 7,64% dari jumlah keseluruhan mahasiswa KPT. Pada tahun 2003, jumlah mahasiswa IKOPIN mengalami penurunan lagi sebesar 48,12% dari tahun 2000 menjadi 1.600 orang, atau sekitar 4,26% dari jumlah keseluruhan mahasiswa KPT.
‐
Sedangkan perkembangan jumlah mahasiswa IPDN sejak tahun 1990 sampai dengan tahun 2003 relatif meningkat dengan stabil yaitu 977 orang pada tahun 1990, 2.853 orang pada tahun 2000, dan 3.917 orang pada tahun 2003. Namun, sebagai akibat berbagai kasus yang dialami oleh IPDN sejak tahun 2003, pada tahun 2007 Mendagri melarang pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota untuk mengirimkan siswanya ke IPDN (Surat Edaran Mendagri No. 892.22/803/SJ). IPDN dinyatakan tidak diperbolehkan menerima mahasiswa baru sampai dengan dilakukannya pembenahan internal yang dibutuhkan.
3. Hasil identifikasi jumlah dan perkembangan kamar sewa yang tersedia. ‐
Dari survei lapangan yang dilakukan, didapatkan bahwa kepadatan pondokan/kamar sewa semakin berkurang seiring dengan bertambah jauhnya jarak dari KPT. Pusat tempat tinggal mahasiswa yang padat hanya terdapat pada wilayah yang berjarak sampai dengan sekitar 0,75 Km dari KPT.
‐
Pada jarak sekitar 0,75 Km hingga 1,4 Km dari KPT, jumlah kamar sewa yang ada tidak sepadat wilayah yang pertama. Beberapa RW dari wilayah ini juga memiliki kamat sewa yang ditujukan untuk pegawai/buruh, sehingga wilayah ini juga merupakan wilayah peralihan dari tempat tinggal mahasiswa dan tempat tinggal pegawai/buruh.
139
‐
Letak pusat tempat tinggal mahasiswa dapat dilihat pada Gambar 5.1 sebagai berikut. GAMBAR 5.1 Letak Pusat Tempat Tinggal Mahasiswa
+ 0,75 Km
+ 1,4 Km
U Non-Scale Kawasan Pendidikan Tinggi Pusat Tempat Tinggal Mahasiswa yang Padat Wilayah Tempat Tinggal Mahasiswa yang Kurang Padat
Sumber: Hasil Analisis, 2007.
‐
Sementara kamar sewa yang ada pada wilayah yang berjarak lebih jauh dari 1,4 Km dari KPT sebagian besar merupakan kamar sewa yang ditempati oleh pegawai/buruh yang bekerja di kawasan industri di sepanjang jalan arteri primer menuju Kabupaten Garut.
‐
Sebagian besar kamar sewa di sekitar KPT mulai tumbuh pada periode tahun 1980-1990. Pada tahun 1975-1980, penyebaran kamar sewa hanya terbatas di Desa Cibeusi dan sebagian wilayah Desa Sayang dengan penghuni kamar sewa adalah mahasiswa AKOP. Pada tahun tersebut,
140
sebagian besar wilayah Desa Sayang, Desa Cikeruh, Desa Hegarmanah, Desa Jatiroke, dan Desa Cileles masih berupa persawahan atau perkebunan karet1. Kamar sewa di desa-desa selain Desa Cibeusi dan sebagian wilayah Desa Sayang baru muncul pada tahun 1982an dengan didirikannya IKOPIN pada tahun 1982, yang kemudian disusul oleh UNPAD pada tahun 1987, IPDN pada tahun 1989, dan terakhir UNWIM pada tahun 1991. ‐
Untuk selanjutnya, kamar-kamar sewa tersebut terus mengalami peningkatan yang pesat. Wilayah-wilayah dengan jumlah kamar sewa yang tertinggi adalah wilayah di sekitar UNPAD karena jumlah mahasiswa UNPAD adalah yang terbanyak dari universitas-universitas yang tergabung dalam KPT. Pada tahun 2007, jumlah pondokan yang ada pada sebuah RT di dekat UNPAD mencapai 68 pondokan dengan kamar sewa mencapai 1.053 kamar (RT 04/ RW 03 Desa Cikeruh).
4. Hasil uji keterkaitan antara harga lahan dengan aktivitas penunjang pendidikan tinggi yang muncul, yaitu pondokan/kamar sewa. ‐
Melalui analisis yang telah dilakukan, didapatkan bahwa ternyata harga lahan memiliki keterkaitan dengan kamar sewa hanya pada wilayah yang terletak sampai dengan 0,75 Km dari Kawasan Pendidikan Tinggi. Keterkaitan tersebut terjadi pada tahun 2000 dan 2007.
‐
Sementara pada wilayah-wilayah yang terletak lebih jauh dari 0,75 Km tidak terjadi keterkaitan antara harga lahan dengan jumlah kamar sewa.
5.2
Kesimpulan Dari tahapan survei dan analisis yang telah dilalui, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut: ‐
Dari seluruh tahapan analisis yang dilakukan, dapat diketahui bahwa aktivitas pendidikan yang ditetapkan di Jatinangor telah meningkatkan harga lahan di wilayah tersebut, terutama di wilayah-wilayah yang berada di sekitar
1
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat.
141
perguruan tinggi. Sesuai dengan yang dijelaskan oleh Drabkin (1977), bahwa adanya perkembangan atau suatu aktivitas baru yang terjadi di pinggiran kota, seperti misalnya proses pengkotaan atau ditetapkannya wilayah pinggiran kota tersebut menjadi suatu kawasan tertentu, mengakibatkan munculnya kebutuhan lahan untuk kawasan terbangun. Kebutuhan ini mengakibatkan harga lahan di wilayah pinggiran kota tersebut menjadi naik (Drabkin, 1977). ‐
Sebelum adanya KPT, faktor utama yang menentukan harga lahan di Kecamatan Jatinangor adalah prasarana jalan. Hal ini ditunjukkan oleh isovalue harga lahan di Kecamatan Jatinangor pada tahun 1980, dimana wilayah dengan harga lahan yang tinggi hanya terbatas pada wilayah-wilayah yang dilalui jalan arteri primer yang menghubungkan Kabupaten Bandung dengan Kabupaten Garut. Namun, setelah adanya KPT, faktor utama yang menentukan harga lahan tidak hanya terbatas pada prasarana jalan saja. Hal ini ditunjukkan oleh isovalue harga lahan pada tahun 1990, 2000, dan 2007 yang menggambarkan bahwa wilayah-wilayah baru dengan harga lahan yang tinggi tidak terbatas pada wilayah yang dilalui jalan arteri saja, melainkan sampai dengan jarak tertentu yang masih relatif dekat dengan KPT. Wilayah-wilayah sekitar KPT tersebut mengalami kenaikan harga lahan yang sangat pesat terutama pada kurun waktu 1980-1990. Pada kurun waktu tersebutlah dilakukan relokasi terhadap universitas-universitas yang tergabung dalam KPT.
‐
Adanya KPT mempengaruhi harga lahan di wilayah sekitarnya melalui aktivitas penunjang yang ditimbulkannya. Hal ini ditunjukkan oleh adanya keterkaitan antara harga lahan dan salah satu aktivitas penunjang pendidikan tinggi yang muncul yaitu kamar sewa. Perkembangan kamar sewa di sekitar KPT tersebut memiliki pola yang sama dengan perkembangan harga lahan yang terjadi (Gambar 4.23, Bab 4.3). Namun, kamar sewa memiliki pengaruh terhadap harga lahan hanya pada wilayah yang berjarak sampai dengan sekitar 0,75 Km dari KPT. Sementara pada wilayah-wilayah yang terletak lebih jauh dari jarak tersebut, kamar sewa tidak memiliki pengaruh terhadap pola harga lahan yang terjadi.
142
5.3
Kelemahan Studi Dalam studi ini, ada beberapa hal yang menjadi kelemahan studi yaitu:
‐
Identifikasi terhadap kegiatan penunjang pendidikan tinggi hanya terbatas pada pondokan/kamar sewa, padahal sebenarnya kegiatan penunjang pendidikan tinggi tersebut sangat beragam. Namun, karena adanya keterbatasan waktu dan tenaga, identifikasi terhadap kegiatan penunjang tersebut dibatasi hanya pada pondokan/kamar sewa, karena aktivitas tersebut merupakan kebutuhan paling primer dari adanya mahasiswa, serta dapat menjadi indikator utama yang membedakan mana daerah yang ditinggali oleh mahasiswa atau pegawai/buruh.
‐
Identifikasi terhadap jumlah kamar sewa hanya dilakukan terhadap 30 RW sebagai sampel karena sulitnya mendapatkan data. Data mengenai jumlah pondokan/kamar sewa ada di pada tingkat RT, sementara unit analisis yang digunakan dalam studi ini adalah RW (1 RW terbagi lagi menjadi 4 hingga 5 RT). Apabila identifikasi terhadap jumlah kamar sewa dilakukan terhadap seluruh RW, tentu hasilnya akan lebih mencerminkan keadaan populasi yang sebenarnya.
‐
Tingkat inflasi tidak dimasukkan dalam menganalisis perkembangan harga lahan.
‐
Seluruh data didapatkan murni dari wawancara sehingga beberapa informasi mengenai harga lahan merupakan harga lahan atas dasar perkiraan, bukan harga lahan yang aktual. Teknik pengumpulan informasi harga lahan dengan cara mixed-sourcing akan memberikan hasil yang lebih baik dan lebih akurat, karena memadukan berbagai sumber dalam informasi harga lahan.
5.4
Rekomendasi Rekomendasi yang dapat diberikan dari studi ini antara lain adalah sebagai
berikut: ‐
Penelitian ini menunjukkan bahwa aktivitas pendidikan tinggi di Kecamatan Jatinangor telah memunculkan kebutuhan lahan untuk kawasan terbangun.
143
Karena persediaan lahan bersifat tetap, harga lahan di wilayah tersebut menjadi
meningkat dan para pemilik lahan pertanian cenderung menjual
lahannya, sehingga terjadi konversi penggunaan lahan. Dampak positif dari hal ini adalah manfaat ekonomi yang diterima oleh masyarakat lokal. Sementara dampak negatifnya adalah apabila konversi guna lahan dari pertanian menjadi kawasan terbangun terjadi secara terus-menerus, dalam jangka panjang akan timbul berbagai masalah terutama yang berkaitan dengan daya dukung lingkungan serta ketersediaan sarana dan prasarana. Oleh karena itu, penetapan sebuah wilayah menjadi sebuah kawasan pendidikan tinggi memerlukan perencanaan yang matang, yang meliputi perencanaan penggunaan lahan di wilayah sekitarnya yang disertai dengan regulasi/mekanisme kontrol yang ketat, agar perkembangan yang terjadi selanjutnya dapat terkendali dengan baik. Harga lahan di sekitar KPT yang sangat tinggi juga mengakibatkan swasta dan para pelaku ekonomi lainnya memaksimalkan pemanfaatan ruang yang ada, sehingga kondisi di sekitar KPT pada saat ini cenderung terlalu padat dan semrawut. Oleh karena itu, Pemerintah harus melakukan penataan kota yang sesuai dengan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) yang telah ditetapkan, misalnya dengan penegasan garis batas sempadan bangunan atau pengaturan kepadatan bangunan. ‐
Dari survei lapangan yang dilakukan, didapatkan bahwa NJOP seringkali berada jauh di bawah harga lahan yang sesungguhnya, terutama di wilayahwilayah yang berada di sekitar perguruan tinggi. Sebagai contoh, berdasarkan NJOP wilayah Desa Sayang yang lokasinya berbatasan langsung dengan KPT memiliki harga lahan sebesar Rp. 537.000,00, per meter persegi, padahal harga lahan yang sebenarnya mencapai Rp. 1.100.000,00 per meter perseginya. Di wilayah sekitar perguruan tinggi tersebut, faktor-faktor yang mempengaruhi harga lahan tidak hanya terbatas pada ketersediaan dan jarak dari infrastruktur saja, melainkan juga faktor keberadaan perguruan tinggi
144
tersebut. Oleh karena itu, dalam penentuan NJOP sebaiknya diperhitungkan pula faktor-faktor seperti jarak dan akses terhadap perguruan tinggi.
5.5
Saran untuk Studi Lanjutan Berikut ini adalah saran untuk studi lanjutan yang dapat dilakukan:
‐
Studi lanjutan mengenai faktor-faktor penentu harga lahan di Kecamatan Jatinangor.
‐
Studi mengenai pengaruh Kawasan Pendidikan Tinggi terhadap harga lahan yang lebih detail dengan skala analisis yang lebih kecil yaitu RT, dengan pembatasan wilayah studi yang lebih kecil dari Kecamatan Jatinangor, agar didapatkan hasil yang lebih teliti dan akurat.
‐
Studi yang mencari keterkaitan antara harga lahan dengan aktivitas penunjang yang lebih lengkap yang tidak hanya meliputi pondokan/rumah sewa, melainkan juga kegiatan yang menyediakan kebutuhan sehari-hari (rumah makan dan warung), kegiatan yang menyediakan jasa (rental komputer dan wartel), dan seterusnya.
‐
Berdasarkan survei primer yang dilakukan, didapatkan informasi bahwa penetapan KPT juga memiliki dampak terhadap kehidupan sosial masyarakat yang ada di sana. Kegiatan KPT telah menarik pendatang yang berasal dari berbagai daerah dengan latar belakang budaya dan kebiasaan yang berbeda. Hal tersebut membawa perubahan pada kondisi sosial masyarakat asli Kecamatan Jatinangor. Identifikasi terhadap perubahan nilai-nilai sosial tersebut akan menjadi suatu studi yang menarik untuk mengetahui sejauh mana dampak dari penetapan KPT terhadap perubahan nilai sosial di Kecamatan Jatinangor.