BAB VI PENUTUP
Pada bab ini dijelaskan hasil temuan dari penelitian, kemudian kesimpulan yang diambil berdasarkan kondisi di lapangan dan menurut teori (hasil analisis), serta memberikan rekomendasi dan implikasi kebijakan sebagai output bagi pembangunan dan perencanaan di masa yang akan datang. Selain itu, akan dijelaskan pula kelemahan dari penelitian yang dilakukan, dan saran bagi studi lanjutan.
VI. 1 Temuan Studi Setelah melalui tahapan-tahapan di dalam melakukan penelitian mengenai perkembangan harga lahan pada wilayah studi, didapat hasil yang berkaitan dengan sasaran dari penelitian yang dilakukan, yaitu: •
Menjelaskan faktor-faktor penentu harga lahan di wilayah studi, pada waktu sebelum dan sesudah keberadaan UNPAR: Sebelum keberadaan UNPAR (1965 - 1975), Ciumbuleuit dikenal sebagai suatu wilayah pemukiman dengan citra yang sangat baik. Dengan kondisi fisik, sosial dan ekonomi di dalam wilayah yang cukup menunjang aktivitas, dan juga meningkatkan kenyamanan bagi para penduduk yang tinggal di dalamnya. Sejak jaman penjajahan, Ciumbuleuit dikenal sebagai suatu wilayah dengan kondisi topografi dan iklim yang nyaman dan cocok bagi aktivitas bercocok tanam, sehingga tidak sedikit para penduduk kolonial yang memilih tinggal di dalam wilayah ini. Namun seiring dengan kemerdekaan Indonesia jumlah penduduk pribumi jumlahnya semakin meningkat, yang kemudian mendominasi populasi penduduk. Kawasan tempat tinggal utama di wilayah studi banyak berlokasi di sekitar jalan raya, sehingga aktivitas utama yang terjadi pun banyak terletak di sekitar jalan raya tersebut, yaitu Jalan Setiabudhi, jalan Ciumbuleuit dan Jalan Hegarmanah. Dalam faktor-faktor yang dapat dijadikan penentu dalam menentukan kesesuaian suatu harga lahan (Lichfield, 1956), wilayah studi memiliki satu faktor yang sangat dominan, yaitu letak dari infrastruktur jalan sebagai akses ke dalam wilayah. Kondisi ini dapat terlihat pada peta harga lahan pada tahun 1965 (gambar 5. 1 dan 5. 2) dan peta isovalue harga lahan pada tahun 1965 (Gambar 5.22), letak 151
dari RT dengan golongan harga tertinggi dan tinggi, banyak terletak di sekitar jalan utama ,dengan perbedaan harga lahan antara di sekitar jalan raya dan di bagian dalam yang cukup curam (peta isovalue harga lahan). Pada tahun 1975, UNPAR sudah beroperasi di wilayah studi, namun belum beraktivitas secara optimal. Ini dapat terlihat bagaimana mereka pada saat itu hanya menggunakan bangunan yang sebelumnya sudah tersedia (bangunan milik Solsana) dan belum ditambah dengan bangunan baru. Jumlah mahasiswa yang berlokasi di kampus Ciumbuleuit pun jumlahnya belum terlalu besar, mengingat masih banyaknya mahasiswa yang berada di kampus Merdeka. Meskipun jumlah mahasiswa yang berada di kampus Ciumbuleuit belum terlalu besar (hanya fakultas teknik sipil), namun aktivitasnya mulai melahirkan permintaan terhadap fasilitas pendukung yang tersedia di dalam wilayah studi. Ini bisa dilihat dari jumlah fasilitas yang timbul pada tahun ini (bab 4. 1. 2. 2). Tetapi apabila dilihat dari formasi harga lahan, pada tahun 1975 tidak terlalu berubah dari tahun 1965, pada peta harga lahan pun bisa dilihat tidak terlalu banyak berubah (gambar 5. 3 dan 5. 4), faktor akses yaitu infrastruktur jalan masih memegang peranan penting dalam menentukan harga lahan. Meskipun pada peta mulai terlihat adanya kenaikan golongan harga lahan pada RT-RT yang berlokasi di sepanjang jalan utama, dari golongan harga tinggi ke sangat tinggi. Seiring dengan meningkatnya kinerja UNPAR dan reputasinya sebagai salah satu perguruan tinggi terbaik di Bandung, jumlah mahasiswa dan fasilitas di dalam kampus Ciumbuleuit mengalami peningkatan yang cukup signifikan, demand yang ditimbulkan terhadap penambahan kawasan semakin meningkat pula. Kondisi ini terjadi mulai dari akhir 1970 an hingga sekarang, ketika jumlah fasilitas publik yang terbangun semakin meningkat dengan pesatnya (bab 4. 1. 2. 2). Perkembangan fasilitas ini ikut merubah tatanan formasi harga lahan yang terjadi, yang dimulai dari tahun 1975. RT yang berada di sekitar kampus UNPAR mengalami peningkatan golongan harga, dengan rentan yang berbeda antara RT yang berlokasi di dekat jalan utama dan di bagian yang lebih ke dalam seperti RW 11 Kelurahan Hegarmanah dan RW 06 dan 07 dari Kelurahan Ciumbuleuit. Dari kondisi ini terlihat bahwa dengan adanya UNPAR dan perkembangan fasilitas publik yang bersifat ekonomi, ikut memberikan nilai tambah atau added value terhadap harga lahan yang berlaku. Sehingga pada kawasan studi setelah keberadaan UNPAR, selain masih terpengaruh oleh keberadaan akses atau jalan 152
utama, ketersediaan dan jumlah dari fasilitas publik ikut memberikan pengaruh terhadap pembentukan harga lahan. Kondisi ini bisa dilihat pada isovalue harga lahan tahun 1990 dan 2005 (gambar 5. 49 dan 5. 51), RT-RT yang berada di sekitar kampus UNPAR dan memiliki fasilitas publik dengan jumlah yang cukup besar, memiliki golongan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan RT-RT yang memiliki karakter fisik dan lokasi yang sama, namun tidak berada di dekat UNPAR atau memiliki jumlah fasilitas publik yang cukup besar. •
Menjelaskan perubahan yang terjadi pada faktor penentu harga lahan di kawasan studi, setelah keberadaan UNPAR: Pada desain riset (bab 3) diterangkan bahwa fasilitas publik yang diambil sebagai tolak ukur yaitu, kamar sewa, rumah makan-kantin, toko-warung, foto copy, dan warnet, kelima fasilitas ini dicari keterkaitannya dengan jumlah penduduk, jumlah mahasiswa dan harga lahan. Pada waktu sebelum keberadaan UNPAR, jumlah fasilitas publik yang tersedia tidak terlalu besar jumlahnya, jenisnya pun hanya ada warung-toko dan kantinrumah makan. Karena UNPAR sendiri belum beraktivitas di sana, maka tidak terdapat forward linkages dari keberadaannya. Perkembangan pada fasilitas pun lebih banyak dipengaruhi oleh jumlah penduduk pada wilayah studi. Dari hasil analisa pada kondisi wilayah studi setelah keberadaan UNPAR didapat bahwa, dengan berkembangnya kampus UNPAR sebagai fasilitas publik yang cukup dominan di wilayah studi, jumlah mahasiswa di dalamnya pun ikut bertambah. Pertambahan jumlah mahasiswa ini melahirkan suatu demand, yang paling utama dan yang terkait cukup besar yaitu dengan perkembangan jumlah kamar sewa, karena peran fasilitas ini cukup penting sebagai tempat tinggal sementara. Keberadaan kamar sewa terkait langsung dengan jumlah mahasiswa UNPAR, dan juga memiliki hubungan yang cukup kuat dengan harga lahan di wilayah studi. Selain itu, fasilitas kamar sewa juga memiliki pengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan dari fasilitas publik yang lainnya. Pada Kelurahan Hegarmanah, perkembangan jumlah kamar sewa memberikan pengaruh terhadap perkembangan rumah makan, foto copy dan warnet. Sedangkan, pada Kelurahan Ciumbuleuit, jumlah kamar sewa mempengaruhi perkembangan rumah makan, toko-warung, dan warnet. 153
Maka dapat dikatakan bahwa demand yang lahir akibat perkembangan UNPAR (jumlah mahasiswanya), mengakibatkan terjadinya forward linkages pada perkembangan
jumlah
kamar
sewa,
yang
kemudian
dilanjutkan
pada
pembangunan fasilitas-fasilitas publik yang bersifat ekonomi lainnya. •
Menganalisis pengaruh UNPAR terhadap dinamika harga lahan yang berlaku di wilayah studi: Seperti yang dijelaskan pada poin sebelumnya bahwa dari perkembangan UNPAR, lahir suatu demand terhadap perkembangan fasilitas publik pendukung yang bersifat ekonomi. Di awali pada tahun 1974, tahun ketika UNPAR pertama kali beraktivitas di wilayah studi. Dengan hanya satu fakultas dan jumlah mahasiswa yang berjumlah puluhan hingga bertambah menjadi ratusan pada tahun 1975, aktivitas dari para mahasiswa dan beberapa staf pengajar memberikan demand pertama kali pada ketersediaan kamar sewa sebagai tempat tinggal. Tidak membutuhkan waktu lama, fasilitas-fasilitas publik lain yang bersifat ekonomi ikut tumbuh dan berkembang seiring dengan meningkatnya intensitas dari aktivitas UNPAR di wilayah studi. Semakin banyaknya mahasiswa dan semakin berkembangnya UNPAR, fasilitas ekonomi yang tersedia pun akan terus berkembang seperti sekarang. Pembangunan UNPAR
Meningkatnya jumlah mahasiswa
Bertambahnya jumlah penduduk
Meningkatnya jumlah kamar sewa
Meningkatnya jumlah fasilitas publik
Perkembangan Harga Lahan Sumber: Hasil Analisa
Gambar VI. 1 Skema Dari Keterkaitan Antara UNPAR dan Perkembangan Harga Lahan di Wilayah Studi
154
Skema tersebut dibuat dengan melihat analisis statistik (tabulasi silang dan koefisien kontingensi), yang kemudian dibandingkan dengan pola persebarannya (spasial). Perkembangan jumlah mahasiswa yang terepresentasikan dengan pertumbuhan jumlah kamar sewa, dan pertumbuhan jumlah penduduk di wilayah studi telah memberikan permintaan terhadap ketersediaan fasilitas publik. Perkembangan fasilitas publik dan keberadaan UNPAR telah memberikan pengaruh terhadap perkembangan harga lahan disekitarnya.
VI. 2 Kesimpulan Setelah melalui tahapan-tahapan dalam penelitian dan identifikasi terhadap perkembangan harga lahan di wilayah studi, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa terdapat kaitan antara keberadaan UNPAR dan aktivitasnya, terhadap pola harga lahan yang terjadi. Adapun wilayah studi sendiri sebelum keberadaan UNPAR, sudah dikenal sebagai kawasan yang cukup elit, dan penelitian ini menelusuri demand lahan terhadap daerah tersebut seiring dengan perkembangan UNPAR. Harga lahan yang berlaku di dalam wilayah studi pada awalnya berpatokan serta memiliki keterkaitan kuat terhadap letak infrastruktur jalan, dan setelah keberadaan UNPAR tampak terjadi perubahan pola harga lahan. Keberadaan UNPAR dan aktivitasnya memberikan pengaruh terhadap pola perkembangan fasilitas yang terjadi di dalam wilayah studi, melalui peningkatan amenities daerah-daerah yang memiliki lokasi dekat dengan UNPAR. Kondisi ini terjadi karena dalam proses forward linkages jarak dan akses akan menjadi salah satu faktor yang sangat penting (Healy;Ilbery, 1990). Akibatnya timbul daerah-daerah di dalam wilayah studi yang mengalami kenaikan golongan harga lahan, meskipun tidak berada di sepanjang jalan utama. Perubahan harga lahan yang terjadi ini merupakan respon dari pembangunan dan perkembangan yang terjadi di wilayah studi, dalam hal ini keberadaan fasilitas sosial. Benke (1976) telah menjelaskan mengenai kondisi ini, ketika terdapat suatu pembangunan fasilitas publik, peningkatan jumlah penduduk dan aktivitas dari suatu wilayah, maka harga yang berlaku pun akan mengalami peningkatan. Dari kondisi ini terlihat bagaimana UNPAR memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap perkembangan di wilayah studi, dan pembangunan ini tampaknya tidak akan berhenti, karena demand yang ada masih sangatlah besar. Sebagai contoh pada tahun 1990, ketika jumlah mahasiswa turun hingga mencapai jumlah 465 siswa 155
(Bab 5.3.3) jumlah kamar sewa dan fasilitas yang lain tidak turut mengalami penurunan, bahkan jumlahnya malah terus bertambah. Ini juga terjadi pada tahuntahun setelahnya, ketika mulai tahun 2000 jumlah mahasiswa UNPAR mencapai jumlah yang cukup ideal dan sesuai dengan kapasitasnya, yaitu ada dalam rentang jumlah 10.000 mahasiswa (gambar 4.12), jumlah kamar sewa dan fasilitas lainnya terus mengalami pertumbuhan. Beberapa penelitian terdahulu lebih memfokuskan mengenai pengaruh aktivitas pendidikan terhadap kegiatan yang ditimbulkannya. Sherry (2001), misalnya, memperlihatkan pengaruh yang signifikan dari kegiatan pendidikan di Amerika Serikat terhadap pertumbuhan rumah sewa, tetapi tanpa mengikutsertakan pengamatan terhadap harga lahan yang berubah seiring pertumbuhan kegiatan ikutan tersebut. Penelitian yang dilakukan di Ciumbeleuit ini mengkonfirmasi temuan yang diperoleh oleh Sherry bahwa keberadaan fasilitas pendidikan (UNPAR) menghasilkan permintaan terhadap keberadaan kegiatan-kegiatan pendukung. Kegiatan-kegiatan ini secara fisik dapat diamati dari keberadaan fasilitas-fasilitas ekonomi (tidak hanya rumah sewa, tetapi juga dapat juga berupa toko, rumah makan, foto copy dan warnet). Pada akhirnya keberadaan fasilitas tersebut meningkatkan kebutuhan terhadap lahan dan menentukan perkembangan harga lahan di wilayah studi. Seperti halnya karakteristik dari suatu kota, daerah Ciumbuleuit pun telah mengalami siklus dari suatu town plan. Konsep yang dimaksud adalah “the burgage cycle concept” (Conzen, 1960, dalam Yunus 2000), diawali dengan tahap “Institutive” (mulai dibangun gedung), “Replitive” (mulai penuh dengan gedung-gedung), “Climax” (tahap tak memungkinkan dibangun gedung-gedung lagi), “Recessive” (tahap kemerosotan). Kondisi ini juga bisa dilihat dari harga lahan, pada awalnya harga mengalami peningkatan yang cukup signifikan, namun semakin lama peningkatan yang terjadi semakin kecil, hingga akhirnya menurun (lihat Gambar 6.2).
156
Climax Replitive Institutive
Intensitas Pembangun
Recessive Tren yang mungkin terjadi 1970 (Keberadaan UNPAR)
1980 awal
Akhir 1990
2005
WAKTU Sumber: Hasil analisis, berdasarkan Conzen (1960), dalam Yunus, (2000).
Gambar VI. 2 The Burgage Cycle Concept dari Wilayah Studi
Tahap institutive di wilayah studi terjadi pada tahun 1970-an, dimulai dari keberadaan UNPAR. Dalam hal tahap ini terjadi dorongan bagi pembangunan yang menggunakan lahan bagi kegiatan ikutan yang cenderung meningkatkan harga lahan, namun dalam hal ini masih dalam intensitas yang masih rendah. Tahap replitive berlangsung antara tahun 1980 – awal 1990-an. Tahap ini ditandai dengan kegiatan pembangunan yang giat dikerjakan di wilayah studi, ini bisa dilihat dari tingkat intensitas aktivitas yang mengalami peningkatan cukup signifikan, dan hal ini juga mempengaruhi peningkatan harga lahan. Tahap climax merupakan tahap yang di dalamnya terjadi penurunan. Dalam studi ini terdapat kemungkinan harga lahan di wilayah studi mengalami tahap climax, karena walaupun harga lahan yang berlaku tetap mengalami peningkatan sebagai akibat dari demand yang terus bertambah namun pertumbuhannya dari tahun ke tahun semakin kecil. Terlebih lagi berdasarkan hasil analisis kondisi fisik kawasan ini mulai jenuh dengan berbagai fasilitas. Kondisi climax dimulai pada akhir tahun 1990-an. Kecenderungannya dengan intensitas kegiatan yang ada saat ini wilayah studi mengalami masalah-masalah yang berkaitan dengan kemacetan dan penurunan kualitas lingkungan (seperti berkurangnya RTH). Hal ini menunjukkan bahwa ada kemungkinan
wilayah
studi
akan
memasuki
tahap
recessive
yang
tidak
menguntungkan bagi perkembangan kawasan ke depan.
157
VI. 3 Implikasi Kebijakan Berdasarkan temuan studi dan kesimpulan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru dan masukan dalam pengambilan kebijakan, terutama ketika melakukan perencanaan dan pengembangan suatu wilayah yang terkait dengan keberadaan fasilitas pendidikan, dalam hal ini universitas, maupun pada tahap pemberian ijin pembangunan universitas atau perguruan tinggi. Selain itu, penelitian ini juga bisa memberikan masukan pada perhitungan atau perancangan NJOP dari suatu wilayah, yang di dalamnya terdapat fasilits pendidikan dengan pengaruh yang cukup besar. Pemerintah sebagai pemegang kebijakan di dalam pembangunan, memiliki kewajiban untuk mengawasi jalannya pembangunan agar tetap sesuai dengan perencanaan awal dan yang telah ditetapkan, serta tetap memperhitungkan pengaruh positif dan negatif yang mungkin timbul. Namun yang sekarang terjadi, pembangunan di wilayah studi banyak mengalami perkembangan yang terkesan tidak terkendali, jumlah fasilitas publik yang terbangun menjadi tak menentu, tanpa adanya batasan atau aturan yang mengendalikan pembangunannya. Pada tahap pemberian ijin pembangunan universitas, pemerintah harus mulai sadar bahwa akibat adanya transfer of demand dari aktivitas mahasiswa yang tidak terpenuhi oleh fasilitas di lingkungan kampus, dapat menyebabkan perubahan fungsi dan harga lahan dari yang sebelumnya. Dari penelitian ini diketahui bahwa yang terkait dengan perkembangan universitas pada lingkungan di sekitarnya adalah keberadaan kamar sewa, serta fasilitas publik yang bersifat ekonomi. Maka sebaiknya pemerintah menetapkan standar jumlah bagi fasilitas pendukung yang tersedia atau terbangun di dalam lingkungan kampus dengan perbandingan yang cukup (perbandingan terhadap jumlah mahasiswa, dosen, dll). Apabila melihat contoh kasus yang terjadi terutama di negara maju, pihak universitas telah menyediakan suatu kawasan yang mereka kelola, menyediakan asrama bagi siswanya, dan juga telah dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas pendukung aktivitasnya, sehingga apabila tetap terjadi transfer of demand di sekitar kampus pun jumlahnya tidak akan terlalu besar. Untuk itu berbagai efek negatif, seperti harga lahan yang semakin tidak terkendali, spekulasi harga lahan dan fungsi lahan yang tidak terencana, dapat dihindarkan. Selain dari tahap pemberian ijin bagi pembangunan universitas, pemerintah juga memiliki wewenang di dalam menentukan perencanaan yang dapat dilakukan 158
berkaitan dengan keberadaan universitas, perubahan fungsi lahan dan dinamika harga lahan. Pada kasus UNPAR dan kawasan Ciumbuleuit dalam penelitian ini terlihat bahwa sebagian besar perubahan fungsi lahan dan harga lahan, banyak terjadi di sekitar kampus. Oleh karena itu pemerintah dapat membuat suatu kebijakan yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan, salah satunya adalah dengan membuat areaarea khusus dengan fungsi lahan yang lebih teratur. Pada area komersiil yang dekat dengan kampus, dengan radius kurang lebih 100 – 200 meter (berdasarkan Gambar 5.50. Pola Harga Lahan Tahun 2007), perijinan dan pembangunan fungsi komersiilnya akan diberi kemudahan namun dengan jumlah yang masih dalam tahap sesuai kebutuhan. Area berikutnya, 200 – 400 meter dengan fungsi kombinasi antara komersiil dan pemukiman, perlu diperhatikan dan dibatasi jumlah dari fasilitas komersiilnya. Sedangkan area-area selanjutnya lebih diutamakan untuk fungsi pemukiman sesuai dengan RDTRK, dan jumlah fasilitas komersiil perlu dibatasi dan digunakan tahapan-tahapan pengendalian pembangunan, seperti teknikteknik disinsentif. Kondisi wilayah studi yang telah banyak terbangun fasilitas komersiil perlu dijaga jumlah dan perbandingannya, sehingga efek negatif yang sudah timbul tidak akan bertambah buruk lagi. Bagi kawasan-kawasan yang baru akan dibangun universitas, proses pembentukan area-area dengan radius tertentu juga dapat dilakukan, bahkan mungkin menjadi lebih tertata dan terencana. Efek-efek negatif yang mungkin timbul sudah dipahami dan dimengerti, sehingga hasil akhirnya pun bisa diperkirakan dan disesuaikan dengan tujuan awal dari pembangunan. Bagi kebijakan yang terkait dengan harga lahan seperti NJOP, penelitian ini akan memberikan masukan agar NJOP itu sendiri dapat bersifat lebih reaktif terhadap pasar harga lahan, dan kemudian dapat menjadi salah satu faktor yang dapat mengendalikan operasi harga lahan yang berlaku serta meminimalisasi kegiatan negatif, seperti spekulasi harga lahan atau bahkan land banking yang hanya memberikan keuntungan bagi pihak atau pribadi tertentu. NJOP sendiri merupakan pajak yang dibebankan kepada masyarakat dengan menggunakan harga pasar sebagai acuan. Di wilayah studi faktor-faktor yang mempengaruhi harga lahan bukan hanya pada ketersedian dan jarak dari infrastruktur saja, karena keberadaan UNPAR telah memberikan pengaruh terhadap pembentukan harga lahan yang terjadi. Maka, ketika pemerintah hendak menentukan jumlah pajak yang akan diberlakukan, hendaknya mereka juga memperhitungkan jarak dan akses 159
terhadap lokasi keberadaan UNPAR. Kasus ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu contoh bagi penentuan besarnya pajak di daerah-daerah lainnya, bagaimana keberadaan suatu fasilitas dapat meningkatkan intensitas aktivitas dari suatu daerah serta memberikan pengaruh terhadap permintaan lahan, yang akan berimplikasi pada perubahan harga lahan yang berlaku.
VI. 4 Kelemahan Studi Pada penelitian yang dilakukan di wilayah studi, terdapat beberapa kelemahan, seperti:
Dalam menentukan faktor-faktor pengaruh dalam pembentukan harga lahan yang terjadi, penelitian ini hanya mempertimbangkan faktor-faktor yang bersifat internal, terutama fasilitas publik seperti yang telah disebabkan sebelumnya, sehingga belum mempertimbangkan faktor keberadaan fasilitas sosial yang kemungkinan juga berperan di sini.
Fasilitas publik yang dijadikan tolak ukur hanya diambil yang bersifat ekonomis, karena dilihat sebagai faktor utama yang lahir akibat adanya demand dari aktivitas UNPAR. Fasilitas ini pun hanya dibagi menjadi rumah makan, yang di dalamnya terdapat kantin, warteg, dan cafe. Kemudian tokowarung, yang di dalamnya juga termasuk toko buku, toko keperluan rumah tangga. Lalu usaha fotocopy dan warnet. Langkah ini dilakukan untuk membatasi penelitian agar dapat lebih terfokus dengan waktu yang relatif singkat.
Dalam memperoleh data dari tahun sebelum keberadaan UNPAR hingga sekarang (1965 – 2005), lebih banyak didapat berdasarkan hasil wawancara terhadap penduduk, pegawai pemerintah atau para makelar lahan yang pernah beroperasi di wilayah studi. Akurasi data tidak bersifat absolut tepat, karena kurang lengkapnya data tertulis yang tersedia dan dipengaruhi faktor kemampuan responden dalam mengingat informasi yang dibutuhkan.
Dalam menentukan perkembangan harga lahan, hanya dilihat dari harga nominal yang berlaku di lapangan, dengan tidak memperhitungkan NJOP. Dalam
hal
ini,
peneliti
beranggapan
harga
NJOP
kurang
dapat
mempresentasikan kondisi di lapangan dan kurang bersifat reaktif terhadap kondisi pasar. Seharusnya bisa diperhitungkan berbagai sumber data harga
160
lahan yang dapat memperkaya pengetahuan mengenai harga lahan di wilayah studi.
Dari perkembangan yang terjadi di UNPAR, hanya dilihat aspek perkembangan mahasiswa yang dianggap dapat mewakili dinamika perubahan yang terjadi. Seharusnya dapat juga dipertimbangkan aspek perkembangan fisik, seperti ketersediaan prasarana.
Langkah-langkah yang diambil dalam melakukan penelitian ini, didasari atas pertimbangan waktu dan biaya yang terbatas, tetapi tanpa maksud untuk mengurangi nilai dan tujuan awal dari penelitian itu sendiri.
VI. 5 Saran Studi Lanjutan Dari penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa poin yang bisa dilakukan dalam melanjutkan penelitian ini, yaitu:
Dalam melihat pengaruh terhadap harga lahan, ada baiknya memasukan faktor-faktor eksternal sebagai salah satu faktor penentu dari pola dan pembentukan harga lahan di wilayah studi.
Karena wilayah studi merupakan bagian dari Kota Bandung, ada baiknya pembatasan wilayah didasari atas Kota Bandung itu sendiri, dan melihat halhal lain yang memiliki kemungkinan untuk ikut mempengaruhi perubahan harga lahan seperti jarak dari pusat kota, atau bahkan rencana pembangunan yang dimiliki oleh pemerintah.
Karena Kota Bandung sendiri memiliki banyak perguruan tinggi dan universitas, maka akan lebih sesuai untuk melihat pembangunan dari perguruan tinggi dan universitas terhadap perkembangan Kota Bandung secara keseluruhan, khususnya harga lahan.
Ketika melakukan penelitian terhadap perkembangan dari fasilitas publik seperti universitas, selain faktor jumlah mahasiswa ada banyak faktor-faktor lain yang dapat dimasukkan ke dalam penelitian seperti perubahan biaya kuliah, komposisi mahasiswa, atau bahkan melihat perkembangan dari citra universitas itu sendiri di mata penduduk kota tempat universitas tersebut berada.
Data yang digunakan dalam penelitian tidak hanya bergantung pada data yang didapat dari wawancara terhadap pihak-pihak yang memang berada di wilayah studi, tetapi dapat dicari juga ke tempat-tempat lain yang mungkin memiliki 161
arsip atau catatan yang berkaitan dengan wilayah studi atau memiliki pengetahuan terhadap perkembangan yang terjadi di dalamnya.
Dalam mengukur perkembangan yang terjadi di dalam wilayah studi, selain dari perkembangan fasilitas publik yang bersifat ekonomi, ada baiknya melihat juga hal-hal lain seperti fasilitas dasar dari suatu daerah, seperti air bersih, listrik dan lainnya.
162