BAB 4 TEMUAN DAN ANALISA
4.1
Stakeholder Sony BMG Indonesia
Setelah melakukan observasi, ethnography, dan netnography research terhadap para pembeli / peminat musik pada umumnya, dan wawancara dengan manajemen Sony BMG Indonesia dapat disimpulkan terdapat 6 pihak yang mempengaruhi penjualan album musik di Indonesia, yaitu:
Content Provider Pembeli / Peminat Musik
Record Store
SONY BMG INDONESIA
Ripper
Band/Musisi Pembajak
Diagram 4.1 Stakeholder Sony BMG Indonesia
35
Diagram 4.2 Mapping Stakeholder Sony BMG Indonesia
36
37 Penjelasan Mapping Stakeholder dari Sony BMG Indonesia adalah: 1.
Pembeli / Peminat Musik •
Fisik
Pecinta musik membutuhkan musik format fisik (CD / kaset) untuk dikumpulkan sebagai barang koleksi dan juga karena CD / kaset bukan hanya membeli lagu, tetapi juga membeli artwork yang menarik pada cover CD / kaset. •
Digital
Dengan semakin banyaknya pemutar musik digital, maka peminat musik akan lebih memilih untuk menggunakan musik digital karena lebih praktis.
2.
Content Provider •
Lahan baru untuk menjual musik
Content Provider memfasilitasi produk-produk seperti Ring Back Tone dan full track download yang dapat diakses melalui ponsel.
3.
4.
Record Store •
Masih menjadi pilihan utama peminat musik dalam membeli album musik.
•
Distribution channel utama di Indonesia untuk penjualan album fisik.
•
Penjualan mengalami penurunan akibat revolusi musik digital.
Band / Musisi •
Penjualan album mengalami penurunan akibat pembajakan.
•
Tidak lagi dapat mengandalkan penjualan album fisik.
38 •
5.
6.
Harus menjaga basis penggemarnya untuk menjaga penjualan album.
Pembajak •
Semakin banyak
•
Sulit diberantas
•
Lebih diminati pembeli karena harga murah
Ripper •
Merupakan aktualisasi diri
•
Ingin berbagi
•
Mengganggap sharing tidak sama dengan pembajakan
•
Untuk referensi sebelum membeli
•
Gratis
Dengan melihat para pihak yang mempengaruhi perkembangan Sony BMG Indonesia secara keseluruhan, untuk memberi fokus penelitian pada pihak yang lebih berpengaruh terhadap perubahan dalam industri musik di Indonesia, maka ethnography research ini memfokuskan pada pihak:
Diagram 4.3 Key Stakeholder Sony BMG Indonesia
39 Perubahan dalam industri musik dipengaruhi oleh hubungan antara Sony BMG Indonesia sebagai perusahaan rekaman dengan masing-masing key stakeholder.
4.2
Key Stakeholder
Beberapa pihak di bawah ini yang turut berpengaruh terhadap perubahan dalam industri musik di Indonesia, khususnya bagi Sony BMG Indonesia, antara lain: 1.
Pembeli / Peminat Musik Berformat Fisik
Diagram 4.4 Mapping Stakeholder Pembeli / Peminat Musik Berformat Fisik
Format CD atau Kaset banyak disebut sebagai format fisik. Menurut data resmi yang dikeluarkan oleh Asosiasi Rekaman Indonesia (ASIRI), format fisik original yang beredar di Indonesia semakin menurun drastis Pembajakan adalah faktor utama yang belum ada titik cerah penyelesaian masalahnya. Ketika CD mudah untuk digandakan, pembajakan semakin mudah pula. Belum lagi harga CD bajakan sekarang ini lebih murah dibanding CD yang asli. Pasar Indonesia yang mayoritas berasal dari kalangan
40 menengah kebawah lebih memillih CD bajakan ketimbang kaset/CD asli dengan alasan harga yang lebih murah. Data terakhir, perbandingan antara produk original dengan produk bajakan di tahun 2007 adalah 1:22. Perubahan tren menjadi tren digital merupakan salah satu ancaman penjualan album fisik ini. Penemuan pemutar musik format digital dan handphone pemutar musik membuat perubahan perilaku konsumen. Musik menjadi lebih mudah didapat apalagi dengan perkembangan internet. Hal diatas adalah faktor-faktor yang membuat penjualan CD atau kaset original terus menurun. Karakteristik yang didapat setelah melakukan ethnography research, antara lain: a)
Sampul CD atau kaset Menurut interview yang dilakukan dengan Alita Kuncoro, mahasiswi 18 tahun,
ia mengemukakan: “Biasanya album fisik yang gue beli itu karena kemasannya lucu dan menarik. Selain itu gue lebih tertarik kalau ada bonus yang diselipkan di dalamnya”
Dari
diskusi
online
di
mailing-list
“Deathrockstar”
dan
blog
http://selectapop.multiply.com, seni visual yang ditampilkan pada cover telah menjadi daya tarik tersendiri. Hal ini diungkapkan oleh Arian, seorang artis lukis dan visual. “Gue senang bentuk fisik, karena sebuah rilisan adalah kesatuan artistic, packaging, cover, etc. Bahkan artwork yang di print diatas CD…”
Berbeda dengan Arian yang lebih mementingkan seni visual, konten seperti lirik atau informasi tentang band yang ada di dalam sampul CD atau kaset ternyata dapat membuat seseorang membeli CD atau kaset, seperti yang dikatakan oleh Rio, 25 tahun:
41 “Kemasan fisik menurut masih sangat diperlukan, orang lebih bisa menghargai suatu karya, karena ini adalah satu paket yang berisi lagu, artwork, informasi tentang si band dan album itu sendiri. Satu hal yang gua senang setelah beli CD baru adalah: membaca lirik dan bernyanyi bersama lagu favorit”
b)
Alasan koleksi Rezki Perdana seorang member di mailing list Deathrockstar yang sangat aktif
mengemukakan bahwa dirinya seorang kolektor terutama untuk jenis musik tertentu dan oleh karena itu, Ia selalu membeli format fisik: “.. dari SD atau tepatnya zaman Hair Band gue kolektor kaset. Begitu masuk zaman CD, gue juga kolektor CD...”
Sama seperti Jonathan Vanco, seorang Sound Engineer, ia mengkoleksi dengan alasan untuk mendokumentasikan karya seni musik: “.. Seperti yang lain, saya masih mengkoleksi CD dan kaset. Namun CD dan kaset tersebut tidak saya putar dalam player untuk menjaga agar tidak rusak. CD dan kaset bagi saya adalah salah satu dokumentasi kebudayaan modern yang paling valid...”
Wahyu Adi Nugroho, seorang terapis jiwa di salah satu Rumah Sakit Jiwa swasta di Jakarta mengaku mengoleksi CD band yang beraliran post-rock. Menurutnya di masa depan
CD
akan
menjadi
barang
koleksi seperti piringan hitam saat ini:
“Menurut saya masa depan cakram padat atau CD sepertinya akan senasib dengan vinyl, hanya kaum-kaum tertentu yang akan membeli untuk koleksi saja tapi untuk masa depannya masih lebih cerah dari vinyl soalnya player CD masih ada dimana-mana, di
42 PC aja masih bisa pasang cd musik, even di DVD player rumahan masih bisa masang CD musik. CD musik akan sama seperti Vinyl: Worth for collection but not for everyone”
Angga, seorang blogger yang menyukai musik keras mengaku tetap membeli CD untuk dikoleksi dengan cara yang unik: “Walaupun mulai terasa berat harganya, tapi tetep gue pertahanin untuk membeli CD original. Gue beli CD biasanya langsung di-convert ke format digital (MP3 atau AAC) terus CDnya gue simpen di lemari koleksi supaya awet...”
c)
Mempunyai rasa memiliki Berbeda dengan membeli format digital, dengan membeli format fisik seperti
kaset atau CD, maka pembeli merasa memiliki. Rio mengaku mempunyai MP3 saja belum mempunyai rasa memiliki: ”... kalo lu beli fisik (CD, kaset, vinyl) lu baru ’berasa’ membeli/memiliki sesuatu yang elu bener2 pengen!”
d)
Fans berat artis Artis yang telah merilis lebih dari 2 album dan mempunyai fans loyal biasanya
akan terus membeli produk fisiknya. Tidak peduli bagaimana isi dari materi album tersebut. Seperti yang diungkapkan Kania, pelajar 18 tahun: “... gua udah jarang banget beli CD, kecuali band yang gua senengin banget. Contohnya Sondre Lerche, band asal Norwegia yang telah merilis 4 albumnya. Jadi
43 setiap dia rilis album, gua akan beli langsung. Nggak peduli materi albumnya bagus apa enggak..”
e)
Kualitas audio yang lebih baik Mas Wok, yang lebih dikenal sebagai Wok The Rock mengaku lebih senang
mendengarkan dalam format kaset dengan alasan kenyamanan di telinganya dibanding rekaman digital: “....Yang pasti, kuping saya rasanya lebih nyaman mendengarkan rekaman dari pita suara dari kaset. Oleh karena itu rilisan fisik itu penting buat saya...”
Kaset untuk sebagian orang mempunyai karakteristik suara yang unik sewaktu di dengarkan. Suara analog yang dihasilkan oleh pita suara tersebut menjadi daya tarik tersendiri. Hal ini diungkapkan Rauf, 26 tahun, reporter media olah raga: “... Entah kenapa gue masih seneng suara ‘kresek-kresek’ dari kaset, dan musti bawel biar CD gue gak baret. Yah, gue akuin gue emang orang jadul sih... “
Wahyu juga mengaku bahwa CD mempunyai kualitas yang baik dibandingkan format digital: ”... CD walaupun sudah di-ripped ke dalam MP3, kalau masang CD-nya kedengerannya nggak sama walaupun MP3 bitratenya gede...”
Jonathan Vanco menambahkan, sebagai seorang yang bergerak di bidang tata suara. CD sangat penting baginya terutama kualitas suaranya:
44 “... Karena saya sangat peduli kualitas suara, ya sudah barang tentu saya kurang suka hasil download-an yang gak jelas asalnya dari mana dan rata-rata jelek suaranya... “
Bagi orang yang mengerti kualitas suara, CD sangat diperlukan. Misalnya seperti Dedi: “... gue agak-agak penggila sound dan itu gak gua dapetin di MP3 atau file kompress lainnya. Bahkan jangan CD saja, gua juga dengerin plat!”
f)
Merupakan suatu memorabilia Selain untuk koleksi, CD atau bentuk fisik lainnya dapat menjadi suatu
memorabilia. Uta, seorang produser radio berpendapat demikian. Apalagi setelah CD tersebut ditandatangani oleh personil band atau artis yang bersangkutan: “... Gue masih beli CD yang asli, karena kegemaran gue minta tanda tangan personil band tersebut di CD gue. Dan gue bangga banget punya tanda tangan mereka... “
g)
Sadar akan hak cipta Hak kekayaan intelektual dan hak cipta di Indonesia dilindungi undang-undang,
yaitu Undang-undang No. 19 Tahun 2002. Namun, dengan pelanggaran undang-undang ini terus saja terjadi di Indonesia dengan banyaknya pembajakan CD yang sering ditemui di pusat-pusat perbelanjaan. Hal ini menandakan bahwa masyarakat Indonesia belum sadar sepenuhnya akan hak cipta. Alita Kuncoro, seorang mahasiswi tingkat pertama mengaku dirinya sangat sadar akan hak cipta. Kesadaran itu diperoleh dari lingkungan keluarganya.
45 “Gue sangat sadar dengan hak cipta ini. Gue dikasih tau sama nyokap, gue dilarang untuk beli CD bajakan karena itu menurut gue adalah kriminal. Sama kayak nyolong lah. Orang tua gue selalu melarang gue beli CD bajakan. Walaupun gue lagi nggak ada duit, gue disuruh terus terang aja sama mereka. Untungnya bokap gue suka musik juga, dan dia dengerin musik yang sama kayak gue. Jadi dia beli untuk koleksinya, dan pinjemin juga ke gue. Gue aja sebenernya gak boleh download lagu sama orang tua di rumah, tapi gue tetep download untuk konsumsi pribadi. Bahkan gue nggak kasih ke temen gue...”
h)
Men-support industri musik Indonesia Alita Kuncoro juga sadar akan kondisi industri musik di Indonesia. Awalnya ia
melihat dari komunitas musik independent bagaimana memproduksi suatu album. Ia menghormati band dari komunitas tersebut. Lambat laun ia menyadari industri musik secara global di Indonesia. “... Gue tadinya mulai support dari band indie. Gue menghargai ide-ide mereka. Oleh karena itu gue membeli CD mereka. Karena gue merasa dekat dengan mereka, dan gue sering denger betapa susahnya bikin album, gue kasihan. Lama-lama gue mulai support ke semua band yang ada di Indonesia. Tapi nggak semua band sih. Ada juga yang menurut gue jelek. Itu gue males...” Guntur Aditya, 23 tahun, seorang mahasiswa mengerti betul seluk beluk industri musik di Indonesia. Mulai dari komunitas musik independent hingga industri musik secara luas. ” ... karena gue tau sebagaimana susahnya dan mahalnya memproduksi album, paling untuk si musisi untungnya paling berapa sih? Karena itulah gue nggak beli CD bajakan.
46 Ini nggak cuma buat temen-temen gue yang punya band indie aja, tapi untuk semua band yang ada disini... ”
i)
Harga Harga merupakan faktor yang mempengaruhi penjualan fisik. Dilihat dari
ekonomi masyarakat Indonesia yang masih mencari barang substitusi. CD atau kaset original masih dapat digantikan dengan CD audio bajakan atau CD MP3 bajakan. Wahyu berpendapat mengenai hal ini: “... dari segi ekonomis pasti masyarakat sekarang mendingan membeli 1 CD dengan ratusan lagu dalam format MP3 yang harganya lebih murah dibandingkan dengan 1 CD original dengan 12 lagu dan harganya mahal..”
Berbeda dengan Wahyu, Kania yang masih bergantung secara finansial pada orang tua, ia merasa bahwa CD original masih terlalu mahal dan menggantinya dengan mengunduh dari internet. “... Gue mending menuntut orang tua gue bayar tagihan internet 200ribu per bulan daripada gue minta duit untuk beli CD 200 ribu per bulan. Karena dengan 200 ribu itu, paling cuma bisa beli 4 CD aja. Tapi dengan koneksi internet, gue sebulan bisa download hampir 10 album tiap bulannya...”
47 2.
Pembeli / Peminat Musik Berformat Digital Harga Teknologi digital dianggap lebih memudahkan
Sebagai substitusi
Kemudahan dalam mendapatkan lagu
SONY BMG INDONESIA
Pembeli / Peminat Musik
Digital Keamanan dalam bertransaksi
RBT tidak keren lagi Merupakan aktualisasi diri
Tidak perlu membeli 1 album untuk memiliki lagu favorit
Diagram 4.5 Mapping Stakeholder Pembeli / Peminat Musik Berformat Digital
Pada tahun 2001, Apple Computer merilis piranti pemutar musik digital dengan format AAC bernama iPod. Sampai bulan Oktober 2004, iPod mendominasi penjualan perangkat pemain musik di Amerika Serikat, dengan meraih 92% dari pasaran perangkat hard drive dan lebih dari 65% dari pasaran jenis lainnya. iPod telah berhasil dijual dengan pesat, melebihi sepuluh juta unit dalam tiga tahun terakhir ini. Perangkat tersebut mempunyai pengaruh kebudayaan yang sangat besar di masyarakat bila dibanding dengan saat alat tersebut pertama kali diluncurkan. (Wikipedia, 2008). Dalam satu genggaman, seseorang dapat mendengarkan lebih dari 40 album tanpa harus direpotkan dengan membawa setumpuk CD. Tidak hanya sebagai pemutar musik, belakangan ditemukan teknologi ring back tone. Ring back tone (RBT) adalah sebuah service yang memungkinkan kita mengganti nada tunggu konvensional dengan sebuah lagu yang dipilih oleh user. Sehingga pada saat user dipanggil, maka pemanggil tidak lagi mendengarkan nada tunggu konvensional
48 melainkan mendengarkan suara lagu yang dipilih oleh user yang dipanggil. RBT menjadi primadona bagi label seperti Sony BMG Indonesia karena dianggap dapat menggantikan penjualan album fisik yang terus merosot akibat pembajakan. Dan hingga saat ini, belum ada RBT yang dibajak. Padahal dalam departemen New Media, ada juga produk lain selain RBT yaitu full track download. Digital Beat Store adalah ritel musik digital legal pertama di Indonesia yang menawarkan konsep download musik dengan penjualan secara satuan. Bisnis ini juga dinilai belum cukup berhasil. Selain itu, online store juga belum ada di Indonesia, padahal beberapa pihak menyayangkan hal tersebut. Yang didapat setelah melakukan research, antara lain: a)
Teknologi digital dianggap lebih memudahkan Jika format fisik seperti CD memiliki keterbatasan dan umur, format digital
sebaliknya. Hal ini diungkapkan oleh Martin Widjaja, 26 tahun, pegawai IT: ”... takut baret kalo pake CD..”
Selain itu dengan berkembangnya alat-alat digital atau gadget yang mendukung format digital, maka musik format digital semakin digemari oleh masyakarat luas. Martin Widjaja menambahkan: ”..kita lihat untuk tape mobil sport keluaran terbaru sampai HI-FI rumahan buatan glodok pun rata-rata sudah mensupport port USB, untuk colokan dengan thumbdrive atau 40in1 card reader atau bahkan memang sudah tertanam card reader, minimal sudah dilengkapi dengan universal stereo audio jack..” Chairina Hanum, 21 tahun, mahasiswi juga berpendapat demikian:
49 ”... sebagian music player yang ada formatnya untuk MP3, sekarang mana ada orang nenteng-nenteng CD player atau walkman. Yang ada MP3 player atau iPod...”
b)
Harga Mengenai harga yang musik format digital yang dijual di salah satu gerai
penjualan musik digital legal; Digital Beat Store, Andi , 23 tahun, berpendapat dalam diskusi di micro-blogging bahwa harga Rp. 5000,00 sudah layak bagi dirinya. Dan dirinya mengaku lebih baik membeli musik format digital di Digital Beat Store daripada membeli CD bajakan. ”... kalau 5000/lagu gue pilih beli kalau lagi ada duid. Dulu pernah ngebahas ini sama temen-temen. Untuk mengurangi pembajakan...”
Andi juga berpendapat bahwa harga yang layak bagi masyarakat Indonesia adalah Rp. 1000,00 per lagu: ”...itu counter ringtone di roxy, kalau dibikin jadi counter untuk jualan mp3 resmi dengan harga let's say 1000/lagu, soalnya 5000/lagu masih too much untuk sebagian orang. coba lihat masyarakat bawah yang suka dangdut. Misalnya bisa beli mp3 dangdut 1000/lagu mungkin bisa laku, mungkin loh dan mudah2an kalau murah, semua orang berpikir untuk beli asli daripada ngopi atau ngebajak kalau memang benar2 suka dgn lagunya ...” Andi tidak mengaktifkan ring back tone di ponselnya dengan alasan pulsa lebih berharga dibandingkan ring back tone: ”... sepuluh ribu rupiah lebih baik buat pulsa daripada untuk RBT...”
50 Seseorang yang menggunakan nama samaran Poo dalam diskusi ini berpendapat bahwa format digital yang dijual full seharga Rp. 5000,00 sudah layak. Apalagi dibandingkan dengan ring back tone seharga diatas Rp. 5000,00 dan memiliki kualitas audio mono: ”... 5000 per lagu rasanya murah buktinya RBT 7000-10000 lumayan banyak dipake padahal kualitas rendah.. ”
Hal tersebut diperkuat oleh Aulia: “kalo orang pada mau beli RBT 10 ribu per 10 detik, bayar 10 ribu per lagu penuh harusnya mau dong ya?”
c)
Sebagai substitusi Dengan alasan harga yang lebih murah dibanding CD original, ketika seseorang
ingin membeli CD original namun tidak sanggup membelinya, orang itu mencari barang substitusi seperti Ring Back Tone atau full track yang dijual di ritel musik digital. Hal ini diperkuat oleh pendapat Chairina Hanum: ”... orang-orang yang mau beli CD makin dikit apalagi barang substitusi buat CD ini sendiri mudah diperoleh...”
Sebagai kolektor, Wahyu juga mengaku ia sering tidak mendapatkan CD yang ia inginkan, jadi ia menggantinya dengan format digital: ”... kadang-kadang nggak semua bisa gue dapetin CD, jadinya gue harus beli digital ataupun download...”
51 Guntur Aditya menambahkan ”... ketika gue nggak punya uang untuk beli CD original, gue beli aja digitalnya di dB...”
d)
Kemudahan dalam mendapatkan lagu Dengan padatnya kehidupan di kota besar seperti Jakarta, banyak orang yang
mengalami kesulitan waktu untuk mencari produk musik yang ia inginkan. Terkadang mengalami kesulitan ketika mencari MP3 gratis di internet. Ketika itulah orang memutuskan untuk membeli produk digital. Hal ini diungkapkan Nuri: ” ... saya beli krn tuh lagu unik n ga ada di net so far. Tapi ga sampe lah spend 5x24 just for mp3. Lagu2 di dB ‘ajaib-ajaib’, worthy lah 5000/lagu. Waktu di PVJ beli banyak lagu gending Bali, Trance juga ada...”
e)
Keamanan dalam bertransaksi Bertransaksi di internet merupakan hal baru di Indonesia. Belum banyak situs-
situs e-commerce dapat berhasil di negeri ini karena gaya hidup belanja online belum begitu diterima. Belum lagi banyaknya kasus carding atau penyelewengan belanja online dengan menggunakan kartu kredit orang banyak terjadi di Indonesia yang mengakibatkan banyak situs belanja musik digital memblokir transaksi untuk Indonesia Riki, seorang pegawai IT mengaku ia menginginkan dapat membeli musik format digital: ”gue kalo bisa beli lagu lewat internet di Indonesia. dengan catatan: AMAN..”
52 f)
Tidak perlu membeli 1 album untuk memiliki lagu favorit Tidak semua orang menikmati seluruh album yang dirilis oleh suatu artis. Dan
tidak selamanya dalam satu album mempunyai keseluruhan lagu yang bersahabat di telinga konsumen. Terkadang konsumen merasa dirugikan ketika dalam 1 album tersebut hanya menyukai 1 atau 2 lagu saja. Guntur Aditya menyatakan pendapatnya bahwa perilakunya dalam mengkonsumsi produk musik berubah: ”... gue lebih banyak beli track download kayak di Digital Beat daripada beli CD karena dari satu album itu, kemungkinan gue cuma suka 2 atau 3 lagu. Ya sekarang nggak mungkin gue langsung beli se-album. Tapi rasa penasaran itu bakal ada setelah denger satu lagu yang gue suka, baru beli lagi dan beli lagi. Dan gue beli CD setelah gue punya lagu-lagu yang gue suka itu... ”
Riki dalam diskusi online juga mengemukakan hal ini: ”...lebih enak karena bisa beli cuman lagu yang gue suka doang”
g)
Merupakan aktualisasi diri Dengan perkembangan teknologi ponsel ring back tone semakin populer. Hal ini
untuk menunjukkan kepada orang lain mengenai jenis musik yang sedang di dengarkan saat ini. Kaum muda menganggap ring back tone pada awalnya merupakan sesuatu yang menarik. Karena kaum muda ingin terlihat ekslusif, ketika semua orang mengaktifkan ring back tone-nya, kaum muda malah tidak tertarik kembali. Alita Kuntoro menyampaikan gagasannya: ”... menurut gue Ring Back Tone itu untuk menunjukkan jati diri biar orang tau gue sukanya musik kayak apa..”
53 h)
RBT tidak keren lagi Ring Back Tone memang menjadi primadona dalam beberapa tahun terakhir ini,
keberadaannya pun menjadi penyelamat industri musik di Indonesia. Penjualannya pun meningkat dari tahun 2005 hingga tahun 2007. Hal ini disebabkan oleh meluasnya penggunaan ponsel di Indonesia ke semua lapisan masyarakat. Namun bagi para kaum muda di Jakarta, penggunaan RBT sudah tidak trendy atau tidak keren lagi. Alita Kuntoro, 18 tahun mengemukakan bahwa RBT itu norak, demikian penuturannya: ”...gue pake Ring Back Tone 3 tahun yang lalu. Sekarang menurut gue Ring Back Tone itu norak dan kayaknya lebih cocok untuk kaum menengah ke bawah apalagi pembokat (pembantu). Untuk menunjukkan eksistensi diri mereka...”
Dengan adanya temuan bahwa RBT sudah ditinggalkan oleh kaum muda di Jakarta, ada kemungkinan bahwa RBT akan mengalami penurunan.
3.
Ripper
Diagram 4.6 Mapping Stakeholder Ripper
54 Ripper adalah orang yang mengubah format audio/film dari format fisik menjadi format digital kemudian menyebarkannya di dalam internet (Wikipedia, 2008). Insight yang didapat setelah melakukan research, antara lain: a)
Merupakan aktualisasi diri Kaum muda menganggap apabila mempunyai suatu musik yang tidak sama
daripada orang lain di sekitarnya akan merasa lebih. Hal itu ditunjukkan dengan seringnya kaum muda mengunggah musik kesukaannya ke dalam blog atau situs jejaring sosial miliknya. Kaum muda juga mengaku ada kebanggaan tersendiri ketika menyebarluaskan suatu musik yang belum banyak diketahui orang banyak. Hal itu diungkapkan oleh Yudhi, 23, fresh graduate, ia mengaku sebagai ripper dengan tujuan untuk menyebarkan musik yang bagus kepada banyak orang: ”... kalo lo ada lagu yang susah dicari. itu menjadi suatu kebanggaan tersendiri ketika elo nge-share. kan namanya manusia butuh pengakuan...”
b)
Ingin berbagi Pemikiran awal kaum muda melakukan sharing adalah hanya ingin berbagi
dengan sesama. Yudhi menambahkan: ”... biar orang lebih tau. gue pingin berbagi aja sama orang. yang penting aja orang denger dulu aja deh. makanya gue suka share. daripada gue bagi-bagi sama orang di jalanan mending gue di rumah aja dan gue share di internet...”
c)
Mengganggap sharing tidak sama dengan pembajakan Undang-undang no. 19 tahun 2002 melindungi tentang hak cipta. Bahkan disalah
satu pasal disebutkan bahwa undang-undang tersebut melindungi penyebaran suatu
55 ciptaan dengan menggunakan alat apa pun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apa pun sehingga suatu Ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain. Namun, hal ini menuai banyak perbedaan pendapat. Yudhi mengaku bahwa sharing bukan masalah legal atau illegal, namun Yudhi berpendapat bahwa sharing tidak sama dengan pembajakan: ” ... ini bukan masalah legal dan illegal. gue hanya menganggap gue tidak sama dengan pembajakan. karena gua nggak ngambil keuntungan apa-apa disana. kan gue beli CD, gue jadiin MP3 terus gue share. toh gue beli, gue gak jual lagi, dan dapet keuntungan apa-apa ... ”
Walaupun di Undang-undang no. 19 tahun 2002 menyebutkan bahwa menyebarluaskan melalui internet melanggar hak cipta, Yudhi mengaku tidak tahu: ”dari undang-undang hak cipta menurut gua juga gak jelas. disitu kan nggak dijelasin tentang media internet. setau gua belum ada undang-undang untuk internet. soalnya untuk dibikin undang-undang di internet kan susah banget. ”
d)
Untuk referensi sebelum membeli Sebelum membeli produk, biasanya calon konsumen mencari sampel produk
tersebut. Hal ini terjadi di dalam industri musik. Sampel tersebut dicari dalam media internet yang biasanya di share.
Felix Wismono, 25 tahun, wirausaha toko CD
mengungkapkan: ”gue mendownload dari internet lagu-lagu baru, cuma fungsinya sebagai teaser aja. Kalau memang gue suka banget, gue pasti cari CDnya...”
56 e)
Gratis Mental gratisan masyarakat Indonesia sangat disayangkan. Hal ini sempat
dilontarkan oleh Anom ketika berdiskusi di micro-blogging: ”... kalau ada yang gratis, ngapain bayar?”
Mengenai mental gratisan ini, Yudhi menyayangkan hal ini. Yudhi berpendapat bahwa masyarakat kita kurangnya pendidikan untuk menghargai orang lain: ”... orang Indonesia itu mentalnya gitu. Waktu gua nonton konser Bjork aja ada temen gua yang bangga dia dapet tiket setengah harga. Dan yang lebih sedih lagi wartawan membanggakan diri kalo mereka masuk gratis. Justru ini gak baik. Harusnya edukasi tentang hak cipta dan menghargai karya orang lain harus masuk ke PPKn...”
4.3
Analisis SWOT
Dari data-data yang didapat, maka dapat dianalisa kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang ada dalam Sony BMG Indonesia, yaitu:
57
Gambar 4.1 Analisis SWOT Sony BMG Indonesia
•
Strengths o Sony BMG Indonesia merupakan pionir dalam penerapan new media, terutama ring back tone di Indonesia. Keputusan dan keberanian untuk menerapkan ring back tone menjadi langkah tepat yang akhirnya ring back tone menjadi populer di Indonesia. o Situs resmi Sony BMG Indonesia yaitu www.sonybmg.co.id menjadi kekuatan tersendiri. Karena dari tahun 2004, Sony BMG Indonesia telah membangun situsnya sebagai yang ter-update. Hingga saat ini, tidak banyak perusahaan rekaman yang mempunyai situs yang aktif.
•
Weaknesses o Sony BMG Indonesia kekurangan sumber daya manusia yang terlatih dalam penerapan-penerapan teknologi baru. Padahal untuk menguasai jalur-jalur media baru dibutuhkan pakar teknologi agar tidak terlalu banyak perencanaan yang bersifat trial and error.
58 o Sony BMG Indonesia terkesan tidak fokus terhadap produk yang dikeluarkan. Contohnya di tahun 2007, Sony BMG Indonesia pernah memproduksi CD ekonomis, namun produk semacam ini tidak lagi dilanjutkan. •
Opportunity o Teknologi ponsel yang semakin meningkat menjadi peluang yang baik bagi Sony BMG Indonesia. Ring back tone, full track download, dan produkproduk semacam itu masih dikonsumsi masyarakat sebagai pengganti CD. o Pengguna internet semakin meningkat, hal ini menjadi peluang untuk melakukan internet marketing dan promosi sebagai pengganti media konvensional seperti televisi, radio, dan media cetak. o Budaya transaksi melalui internet juga semakin meningkat. Banyak forum jual beli yang semakin berkembang di Indonesia. Begitu pula permintaan untuk music online-store dari beberapa kalangan.
•
Threats o Label-label di Indonesia kian banyak. Label lokal seperti Musica Studio menjadi ancaman paling utama. Trinity Optima Production, Nagaswara, dan minor label lokal telah banyak merilis artis yang dapat menyaingi artis dari Sony BMG Indonesia o Ring back tone mempunyai ketergantungan atas operator telepon selular. Operator tersebut mempunyai peran penting atas hidup atau matinya ring back tone. Bisa saja operator tersebut tidak lagi melanjutkan fitur ring back tone.
59 o Content provider yang tadinya menjembatani antara label dengan operator kini telah beralih fungsi. Beberapa content provider telah menjadi label dengan meriliskan artis yang berfokus pada produk format digital. o Regulasi yang dibuat oleh institusi seperti KCI (Karya Cipta Indonesia) yang sering menghambat dalam perkembangan industri dengan mencari-cari kesalahan di dalam diri label. KCI yang seharusnya dibuat oleh label untuk melindungi industri musik, malah banyak regulasi yang dibuatnya tidak menguntungan industri.
4.4
Brand Analysis Sony BMG Indonesia
Dari penelitian kualitatif yang dilakukan kepada pembeli / peminat musik kaum muda di Jakarta, Sony BMG Indonesia mempunyai brand awareness yang tinggi, bahkan Sony BMG menjadi top of mind. Di beberapa artikel musik pada media cetak, Sony BMG Indonesia paling banyak mendapatkan sorotan sebagai contoh studi kasus. Bila dibandingkan dengan pergerakan kaum independent atau yang sering disebut indie, kaum muda lebih menghormati dan loyal terhadap label indie dibanding label major seperti Sony BMG Indonesia. Seperti yang diungkapkan Alita Kuntoro: ” ... nggak seperti major label seperti Sony, EMI atau Universal, gue lebih banyak beli CD-CD indie, gue menghargai ide-ide mereka. Oleh karena itu gue membeli CD mereka... ”
60 Pernyataan diatas, ide-ide band indie yang segar menjadi daya tarik tersendiri. Namun diantara label major di Indonesia, ternyata Sony BMG Indonesia dianggap sebagai label major yang mau mengambil resiko dengan mengambil artis The Changcuters yang konsep musiknya diluar kaedah-kaedah industri musik pop. Alita Kuntoro lebih banyak membeli produk musik indie, faktor lain yang menyebabkan Alita tidak sering membeli produk dari label major seperti Sony BMG Indonesia karena gampangnya mendapatkan produk Sony BMG Indonesia. Alita menambahkan: ”... lagu major label mah gampang, bisa minta dari temen, bisa download dan bisa beli bajakan...”
Dari segi loyalitas, pembeli / peminat musik belum memiliki loyalitas yang tinggi terhadap Sony BMG Indonesia. Yang dimiliki hanyalah loyalitas semu, karena masih tergantung pada suatu artisnya.
Dari temuan diatas, dapat digambarkan perceptual map sebagai berikut:
61
Gambar 4.2 Perceptual Map Sony BMG Indonesia
4.5
Temuan Segmentasi Berdasarkan Perilaku Konsumen
Setelah melakukan ethnography research, netnography, dan observasi, ditemukan segmentasi pembeli / peminat musik, sebagai berikut:
1.
The Die-Hard Fans The Die-hard fans adalah fans berat suatu artis atau penyanyi. Biasanya artis
yang memiliki die-hard fans telah merilis lebih dari 1 album, terekspos oleh media dan mendirikan fans club. Selain itu ada die-hard fans untuk jenis musik tertentu. Tipe ini akan membeli produk apa pun, produk fisik maupun digital. The die-hard fans suatu artis tidak peduli dengan bagus atau tidaknya kualitas materi yang ada di dalam produk
62 tersebut. The Die-hard fans suatu jenis musik tertentu tidak peduli dengan kualitas suatu artis. Contohnya, penggemar musik jenis rock akan membeli semua produk dari artis yang mengusung musik rock tersebut.
2.
The Collectors The Collectors atau kolektor mengoleksi produk-produk yang dihasilkan dari
industri musik, mulai dari piringan hitam, kaset, CD hingga memorabilia suatu artis. Biasanya tipe ini mengerti sekali musik, mereka menentukan mana good music dan bad music. Kualitas audio yang dihasilkan juga sangat diperhitungkan oleh tipe ini. The Collectors menggunakan musik dengan format digital sebagai referensi untuk menentukan apakah mereka akan membeli produk fisik. The collectors belum mempunyai perasaan memiliki bila mendapatkan suatu album atau lagu dari format digital. Sampul depan atau cover juga menentukan bagi tipe ini untuk membeli. Dan tipe ini juga sering me-review suatu produk dan menaruhnya dalam blog-nya atau menuliskan dalam suatu milis.
3.
The Scenesters The Scenesters adalah para kaum muda yang menjadi suatu bagian dari
komunitas tertentu yang mengusung suatu jenis musik tertentu dan memakai suatu fashion tertentu (Urban Dictionary, 2008). Di Jakarta telah terbentuk banyak komunitaskomunitas seperti metal, punk, indie. Tipe ini akan mengkonsumsi apa pun jenis produknya dengan alasan untuk mendukung komunitasnya dan adanya suatu perasaan iba. Namun, terkadang tipe ini memiliki kendala ekonomi untuk membeli suatu produk.
63 4.
The Followers The Followers adalah tipe yang mengikuti arus besar tren. Tipe ini berpatokan
pada suatu artis yang sedang populer di masyarakat. The Followers berpatokan kepada media massa besar seperti majalah, radio, televisi. Rata-rata tipe The Followers adalah kaum muda belasan tahun yang masih mencari jati diri. Tipe The Followers cenderung mencari barang substitusi dengan alasan ekonomi. Lebih memilih CD bajakan ketimbang CD asli karena alasan lebih murah. Mengkonsumsi Ring Back Tone sebagai pengganti CD asli dan untuk menunjukkan jati diri mereka.
5.
The Surfers The Surfers disini lebih spesifik menjadi Music Surfers. Tipe The Surfers gemar
sekali menjelajah dunia maya dan cenderung kecanduan terhadap internet. Mereka lebih sering mencari informasi dari internet ketimbang membaca koran, membaca majalah dan menonton televisi. Tipe ini berpendapat bahwa melakukan internet sharing bukanlah kejahatan. Menurut tipe ini internet sharing tidaklah sama dengan pembajakan karena tidak ada proses transaksi jual-beli di dalamnya. Ada kemungkinan tipe ini membeli produk fisik dan merubahnya menjadi format digital kemudian mengunggahnya ke dalam blog-nya atau membagi-bagikannya dalam milis tertentu. Tipe ini bisa juga membeli dalam format digital dengan bantuan hacker dan menyebarkannya di internet. Bahkan tipe The Surfers juga dapat memperolehnya secara gratis dari orang lain di internet kemudian menyebarkannya kembali.
64
4.5.1 Analisis Segmentasi
Berdasarkan analisa kriteria segmentasi yang efektif, maka diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 4.1 Analisa Kriteria Segmentasi Pembeli / Peminat Musik Criteria
Measurable
Accessible
Substantial
Differentiable
Actionable
The Die-Hard Fans
High
High
High
Low
High
The Collectors
High
Medium
Medium
Low
Low
The Scenesters
Medium
High
Low
Medium
Low
The Followers
Medium
Medium
Medium
High
High
Low
Low
High
Medium
Low
Segment
The Surfers
Keterangan dari analisa kriteria segmentasi pembeli / peminat musik adalah sebagai berikut: 1.
The Die-Hard Fans Memiliki kriteria yang kuat pada measurable, accessible, substantial, dan
actionable dikarenakan seorang fans memiliki suatu database yang memudahkan mereka untuk diakses, Die-Hard Fans juga sangat menguntungkan, karena mereka akan membeli produk apapun yang berhubungan dengan artis tersebut dan mereka juga sangat mudah terbujuk oleh program-program produk tersebut. Namun Die-Hard Fans rendah pada differentiable, dikarenakan fans sangat homogen, sehingga karakteristik pembeliannya tidak dapat dibedakan.
65 2.
The Collectors Memiliki kriteria yang kuat pada measurable, karena The Collectors memiliki
daya beli yang kuat terutama untuk format fisik. Mereka dikategorikan medium dalam accessible dan substantial karena mereka bisa kumpul di suatu forum online namun dalam dunia nyata mereka cenderung menyendiri. Namun ada beberapa yang eksklusif, dalam arti tidak tergabung dalam suatu forum tertentu. Mereka juga menguntungkan karena pasti akan berani untuk membayar mahal untuk barang koleksi, namun mereka sangat pemilih. Mereka rendah pada differentiable dan actionable dikarenakan mereka tidak dapat dipisah menjadi beberapa segmen dan mereka tidak perduli dengan programprogram khusus serta marketing gimmick dari suatu produk musik. 3.
The Scenesters Mereka mudah diakses (accessible) karena biasa terkumpul dalam suatu
komunitas. Untuk measurable, mereka memiliki daya beli yang kecil namun memiliki market share yang cukup besar. Segmen ini kurang menguntungkan karena beberapa membeli produk atas dasar pertemanan. Mereka dikategorikan medium dalam kriteria differentiable karena dapat dibedakan atas segment indie, punk, hard-core, dan lain-lain, namun mereka dapat disatukan juga dalam bendera misalkan musik underground. Segmen ini tidak mudah dipengaruhi dan mereka cenderung memilih apa yang mau mereka beli. Selain itu segmen ini cenderung ingin berbeda dari lingkungan sekitarnya. 4.
The Followers Mereka memiliki market share yang lebih besar dari scenester, namun mereka
memiliki daya beli yang kecil karena alasan ekonomi dan lebih memilih barang substitusi yang harganya lebih murah. Namun segmen ini terkadang juga dapat mempunyai daya beli yang besar karena gaya hidup konsumtif, biasanya terdapat dalam
66 sub-segment kaum muda yang berasal dari golongan ekonomi menengah ke atas yang mengandalkan orang tua mereka. Karena market share yang cukup besar maka akan sulit diakses namun banyak juga yang suka berkumpul di mall yang terdapat toko CD. Mereka cukup kuat untuk kriteria substantial, karena mereka akan selalu mengikuti tren dan cenderung konsumtif. Dan juga mereka sangat differentiable karena ini merupakan segmen yang paling heterogen, dapat dipecah sampai demografi serta mereka juga sangat mudah dipengaruhi oleh program-program promosi, karena mereka akan mengikuti tren. 5.
The Surfers Segmen ini sangat sulit diukur daya belinya karena jumlahnya yang sangat
banyak dan juga adanya pilihan untuk download gratis. Accessible juga kecil karena belum adanya online store di Indonesia dan juga market share yang terlalu besar sehingga sulit untuk dilayani secara efektif. Segmen ini menguntungkan karena pengguna internet yang semakin banyak dan juga lebih murah karena tidak perlu membeli lagu 1 album untuk 1 lagu favorit. Segment ini cukup differentiable namun masih lebih kecil dibandingkan The Followers. Segmen ini tidak mudah dipengaruhi dan mereka cenderung memilih apa yang mau mereka beli.
4.6
Model Perilaku Konsumen di Era Musik Format Digital
Perubahan
perilaku
konsumen
dalam
industri
musik
karena
adanya
perkembangan teknologi yang sangat cepat sehingga menjadi seperti pada gambar dibawah ini:
67
Gambar 4.3 Model Perilaku Konsumen di Era Musik Format Digital