BAB III Temuan dan Analisa 1. Sejarah dan letak geografis Sejarah desa Blimbingsari dan Jemaat GKPB Pniel Blimbingsari berawal dari pembaptisan 12 orang Bali oleh pendeta Doktor Jeffrey di Tukad Yeh Poh, Untal-Untal, Dalung (tukad artinya sungai yang ada di Desa Untal-Untal, Dalung) Pembaptisan ini membuat orangorang ini dianggap sebagai pembenci adat dan agama lokal. Hal ini megakibatkan perlawanan yang sangat kuat dari orang-orang yang beragama Hindu dan menimbulkan kekacauan di mana saja orang Kristen berada. Orang Kristen Bali dibuang (meselong) atau dikucilkan, tidak diajak bicara, dibuang dari keluarga, tidak boleh menguburkan di kuburan Hindu, tidak boleh mendapatkan air untuk sawah-sawah mereka karena air adalah milik Dewa Sri. Isi lumbung mereka diambil, dicemooh, dicaci maki, dan banyak hal lainnya lagi. Akibatnya pemerintah Belanda memutuskan mereka diselong ke alas angker Blimbingsari, Melaya, Jembrana, Bali Barat.1 Banyak konflik membuat pemerintah Belanda mengambil sikap dengan memberikan lahan di Blimbingsari cara ini dianggap sebagai jalan yang tepat untuk meredam konflik. Pada 30 November 1930 orang-orang Kristen ini diberi tanah yang adalah hutan rimba yang banyak binatang buas. Di hutan ini orang-orang Hindu berharap supaya orang-orang Kristen habis dimakan binatang buas dan mati karena penyakit malaria. Di tahun yang sama mereka yang baru dibaptis berjalan ke daerah Blimbingsari untuk membuka hutan yang diberikan oleh pemerintah Belanda. Seiring berjalannya waktu kehidupan mereka berubah menjadi lebih baik dan diberkati Tuhan. Mereka mendirikan gereja yang diberi nama “Pniel” mereka berkeyakinan bahwa di tanah Blimbingsari Tuhan telah berkenan untuk berjumpa dan memberkati mereka. Secara geografis, Blimbingsari terletak di kecamatan Melaya, Kabupaten Jemberana. Blimbingsari di sebelah timur berbatasan dengan desa Palasari dan Ekasari, di sebelah utara dan barat berbatasan dengan Taman Nasional Bali Barat sedangkan di sebelah selatan berbatasan dengan dusun Pangkung Tanah, Desa Melaya. Sama halnya dengan jemaat yang ada di daerah pedesaan, jemaat GKPB Pniel Blimbingsari sebagian besar bekerja sebagai petani atau berkebun. Mereka berkebun coklat dan kelapa Kebanyakan dari mereka adalah pensiunan dari kota yang memilih pulang kampung dan menetap di kampung. Jemaat tetap adalah jemaat yang setiap hari berada di Desa Blimbingsari. Jumlah jemaat tetap adalah 668 jiwa.2 Selain warga yang sudah pensiun, ada juga warga jemaat yang masih usia sekolah dari SD-SMA. Untuk tingkat sekolah dasar, mereka bersekolah di SD yang ada di Blimbingsari sedangkan untuk SMP-SMA akan bersekolah di Melaya, karena di Blimbingsari belum ada SMP-SMA.
11 2
Pdt. Ketut Suyaga Ayub, S.Th., MBA, Blimbingsari The Promised land Gereja Kristen Protestan di Bali Pdt. Welda Christina Putranti, pendeta jemaat, wawancara, Blimbingsari, 16 Agustus, pukul 19:00 WITA
2. Profil GKPB jemaat Pniel Blimbingsari Alamat : desa Blimbingsari, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, Bali. Jumalah anggota : 668 Jiwa Jumlah KK
: 172
Lembaga-lembaga: 1
Sekolah Minggu Duta Kristama
150 anak
2
Guru Sekolah Minggu
7 orang
3
Pemuda Kristiyasa
100 orang
Pesekutuan Wanita Dian Kristawati
150 orang
Persekutuan Kaum bapak Kristiawinangun
148orang
Persekutuan Lansia Kristiajati
120 orang
Kelompok Pentakoinonia
27 kelompok
Kelompok Wilayah
6 Wilayah
Pekabaran Injil
Fun learning center Blimbingsari 100 orang. Fun learning center Tanah Lot 1 : 20 orang Fun learning center Tanah Lot 2 : 16 orang
3. Pelayanan dalam jemaat a. Ibadah rutin No
Jenis
Waktu
Peserta
1
Pelayanan sekolah Minggu
07:00-08:30
Anak sekolah Minggu
2
Ibadah Umum
09:00-10:30
Jemaat
3
Pemuda
Sabtu, 19:30
pemuda
4
Kaum Ibu
Rabu, 15:00
Kaum Ibu
5
Kaum Bapak
Selasa, Minggu ke 2 dan 3
Kaum bapak
6
Lansia
Minggu ke 2 dan 3
Lansia
7
Pentakiononia
Minggu ke 5
Setiap 3 keluarga
8
Ibadah Kamis
Kamis, 19:30
Semua Jemaat
b. Ibadah khusus
Ibadah syukuran (rumah, kenaikan pangkat, ulang tahun dll)
Ibadah pemberkatan pernikahan
Ibadah pemakaman dan penghiburan
Ibadah perayaan gerejawi (Natal, Paskah dan Pentakosta)
Diaspora (jemaat diaspora adalah jemaat yang berada di luar Blimbingsari karena tugas dan kepentingan tertentu terpaksa meninggalkan desa Blimbingsari) Jemaat Blimbingsari tersebar di sebagian tempat di wilayah Bali dan beberapa daerah di Indonesia, mereka biasanya hidup di perantauan untuk bekerja atau belajar. Jemaat diaspora berjumlah kira-kira 500 jiwa.3 Keinginan untuk mencari pngalaman baru membuat mereka harus meninggalkan tanah kelahiran mereka dan merantau ke daerah lain. Faktor yang menjadi penyebab mereka meninggalkan desa adalah karena kurangnya lapangan pekerjaan, karena sebagian besar warga jemaat hidup dari berkebun sehingga mereka memilih merantau untuk mendapatkan pekerjaan lain. Keberadaan sekolah juga menyebabkan mereka harus meninggalkan daerah tempat tinggal mereka, dikarenakan tidak ada universitas terdekat. Ada banyak orang yang merantau setelah menyelesaikan pendidikan dan sukses dalam pekerjaan memilih menetap di daerah perantauan dan memilih menjadi warga diaspora. Mereka tidak sering bisa bertemu dengan keluarga yang ada di kampung halaman. Ada kemungkinan mereka bisa bertemu hanya pada saat hari raya gerejawi saja karena pada saat itu mereka mendapatkan libur. Ada juga yang bisa pulang ke kampung halaman karena ada keluarga yang memiliki upacara pernikahan, kematian dan yang lainnya. Momen hari raya gerejawi adalah momen yang paling tepat bagi mereka untuk berkumpul bersama dengan keluarga besar. Seperti biasanya pada hari raya Paskah dan Natal, desa Blimbingsari akan dipenuhi dengan warga diaspora sehingga geraja akan sangat penuh ketika diadakan ibadah. 4. Memunjung Memunjung merupakan tradisi upacara agama yang dilakukan oleh orang Hindu di Bali. Memunjung merupakan tradisi membawa sesajen kepada orang yang sudah meninggal, yang
33
Pdt. Welda Christina Putranti, 16 Agustus, pukul 19:00 WITA
belum dilakukan upacara ngaben.4 Ngaben adalah rangkaian upacara Pitra Yadnya, ini merupakan upacara untuk orang yang sudah meninggal dengan melakukan prosesi pembakaran jenazah. Orang yang belum diupacari ngaben dianggap mereka masih memiliki ikatan dengan sifat duniawi sehingga kebutuhan mereka masih sama dengan orang yang masih hidup. 5 Tradisi memunjung bisa juga disebut sebagai nyoda berasal dari kata soda (dibaca sode) soda artinya jenis makanan yang dibawa ke makam. Memunjung memiliki pantangan yaitu dalam melakukan tradisi ini bagi kaum perempuan yang sedang haid atau datang bulan tidak diperpebolehkan melakukannya. Kaitanya dengan sesajen, sesajen yang dibawa tidak boleh makanan yang sisa dan harus makanan yang masih bagus. Bagi semua orang baik laki-laki maupun perempuan, memunjung tidak boleh dilakukan apabila selesai menghadiri upacara pemakaman, hal ini karena menghadiri pemakaman atau upacara kematian adalah hal yang kotor sehingga tidak berkenan bagi leluhur. Jika pantangan di atas dilanggar, diyakini bahwa sode /sesajen yang dibawa akan ditolak dan bisa menimbulkan penyakit bagi orang yang melanggar atau juga bagi anggota keluarga.6 Memunjung dalam tradisi masyarakat Hindu Bali biasanya dilakukan pada hari raya Galungan dan Kuningan. Pada daerah tertentu memunjung dilakukan sesuai keinginan orang tersebut. Saat Galungan, keluarga melakukan hari raya dengan mempersiapkan makanan yang cukup enak, makan tersebut harus dibagikan juga kepada orang yang sudah meninggal dalam bentuk sesajen yang dibawa ke makam. Hal ini dilakukan dulu ketika Ibu Dewa Ayu Padmi masih beragama Hindu. 7 Menurut ibu Kadek Suriani yang memiliki keluarga sudah meninggal, ia melakukan tradisi memunjung sesuai dengan keinginannya sendiri. Ketika merasa rindu dengan keluarga yang sudah meninggal maka ia akan mengunjungi makam keluarga. Selain keinginan diri sendiri, didatangi dalam mimpi untuk datang ke makam untuk membawa makanan.8 Bagi anggota keluarga yang sudah diupacarai ngaben, abu jenasah akan diletakan di mrajan (pura untuk tempat leluhur). Pada waktu tertentu juga memunjung akan tetap dilakukan namun yang membedakan adalah sesajen diletakan di tempat yang lebih tinggi sedangkan bagi yang belum diupacarai ngaben sesajen akan diletakan di atas tanah tempat di mana mereka dikuburkan.9 5. Tradisi memunjung pada perayaan Paskah di Jemaat GKPB Pniel Blimbingsari Warga Jemaat Pniel Blimbingsari merayakan Paskah dalam budaya Bali. Hal ini tidak terlepas bahwa mereka menyadari sebagai orang Bali asli yang walaupun sudah menganut agama yang bukan menjadi agama suku Bali, tetapi mereka akan tetap memegang erat adat dan budaya yang berlaku dalam masyarakat Bali selama adat dan budaya itu tidak bertentangan 4
Suriani, beragama Hindu, wawancara, Melaya, 13 Agustus 09:45 WITA Kadek Suriani13 Agustus 09:45 WITA 6 Dewa Ayu Padmi, pernah memeluk agama Hindu, Blimbingsari, 13 Agustus 14:30 WITA 7 Dewa Ayu Padmi, 13 Agustus 14:30 WITA 8 Kadek Suriani,, 13 Agustus 09:45 WITA 9 Kadek Suriani,, 13 Agustus 09:45 WITA 5
dengan iman Kristen.10 Merasa bahwa diri sebagai orang Bali tetapi adat dan budaya Bali tidak ada pada diri mereka, maka mereka perlahan-lahan mencari kembali identitas mereka sebagai orang Bali. Mereka mau menjadi orang Bali yang bukan saja hanya karena nama, tetapi mereka mau juga memiliki identitas Bali sehingga mereka bisa diakui keberadaannya oleh masyarakat luas bahwa mereka benar-benar sebagai orang Bali yang walaupun sudah beragama Kristen tetapi tetap memakai adat dan budaya Bali. 11 Warga GKPB Jemaat Pniel Blimbingsari merayakan Paskah dengan tradisi memunjung ke makam keluarga dengan membawa bunga, lilin, air, rokok dan sebagainya sesuai dengan kesukaan dari keluarga yang sudah meninggal. Menurut Ibu Ni Wayan Ester bahwa lilin yang dibawa dan diletakan di makam suaminya adalah tanda hubungan yang erat. Ibu Ester mengatakan bahwa sehari-hari ia masak menggunakan api. Makanan yang sudah dimasak tersebut memberi hidup baginya dan anak-anaknya.12 Tradisi memunjung dilakukan saat Paskah karena saat Paskah adalah saat untuk memberitakan kabar kemenangan. Paskah juga memiliki arti sukacita dan suka cita itu harus dibagikan dengan sanak keluarga yang sudah meninggal. Berkunjung ke makam juga menunjukan rasa bakti terhadap orang tua yang tentunya memiliki jasa yang sangat besar dalam kehidupan mereka.13 Hal ini bukan berarti bahwa sanak keluarga yang masih hidup menjadi penyembah dari keluarga yang sudah meninggal tetapi ini adalah hanya sebagai simbol bahwa hubungan mereka tidak terputus hanya karena kematian. Mereka biasanya beribadah dan berdoa di makam keluarga masing-masing. Dengan berkunjung ke makam keluarga maka ini adalah bentuk hubungan dari kerabat yang mungkin pada saat anggota keluarga meninggal, mereka tidak bisa ikut dalam pemakaman karena berada dalam rantauan dan sibuk dengan kerja sehingga saat mengunjungi makam keluarga mereka bisa berdoa kepada Tuhan untuk mengampuni kesalahan ketika keluarga masih hidup.14 Paskah adalah hari kemenagan Kristus atas maut dengan ini mereka mau mengenang bagaimana nenek moyang mereka sudah menang dari kehidupan duniawi dan menemukan hidup bersama Kristus. Mereka ditolak di daerah asal dan menemukan hidup baru di Blimbingsari. 15 Adapun proses dari tradisi memunjung tersebut adalah sebagai berikut: a. Tahap persiapan Pada tahap awal yang dilakukan adalah persiapan di keluarga dan enjungan (wilayah). Setiap keluarga biasanya akan membersihkan halaman rumah, memotoh rumput dan sebagainya supaya suasana rumah menjadi nyaman. Setiap rumah tangga mempersiapkan diri dengan memasang penjor di depan rumah masing-masing. Biasanya beberapa hari sebelum Paskah 10
Pdt. EM, Suyaga Ayub, 13 Agustus 2015 09:30 Pdt. EM, Suyaga Ayub, 13 Agustus 2015 09:30 12 Ni Wayan Ester, warga jemaat, wawancara, Blimbingsari 13 Agustus 2015:17:00 13 I Ketut Suardana, Warga jemaat, wawancara, Blimbingsari,14 Agustus 2015, 14:25 14 Ni Wayan Ester, warga jemaat, wawancara, Blimbingsari 13 Agustus 2015:17:00 15 I Nyoman Dirgayusa, warga disapora, wawancara, Blimbingsari, 16 Agustus 2015: 16:00 11
warga diaspora akan datang untuk ikut merayakan Paskah yang dirangkai dengan tradisi memunjung. Bagi keluarga yang memiliki saudara diaspora mereka sibuk mempersiapkan makanan dan tempat tinggal untuk saudaranya. Setelah persiapan di rumah tangga, sekitar H minus dua dilakukan kerja bakti untuk membersihkan kuburan, seperti mencabut rumput dan membersihkan kuburan dari lumut kerak. Hal ini dikarenakan kuburan dianggap sebagai rumah bagi orang yang sudah meninggal yang harus dijaga kebersihanya. Hal lainnya adalah untuk menjadikan kuburan sebagai tempat yang indah seperti taman bukan sebagai tempat yang menyeramkan. Kubur Yesus terletak di taman sehingga ketika murid-murid perempuan yan datang ke kuburan tidak takut karena suasana kubur seperti taman. 16 H minus satu pagi-pagi sesuai dengan kelompok (wilayah) yang sudah ada akan dilakukan pemotongan binatang (babi) untuk persiapan bagi anggota keluarga yang diaspora akan datang. Pemotongan babi di pagi hari karena pada siang hari dilakukan kerja bakti di gereja yaitu merias gereja dengan nuansa budaya Bali, memasang tenda, menambah kursi dan memasang penjor di halaman gereja. Pada sore hari biasanya ibu-ibu setelah kerja bakti di gereja akan sibuk untuk memotong bunga dan persiapan lainnya untuk tradisi memunjung ke makam keluarga. b. Tahap pelaksanaan Prosesi diawali dengan ibadah Paskah pada pukul 05:00 WITA pagi. Jemaat diundang untuk berpakaian adat Bali untuk memancarkan nuansa budaya Bali. Liturgi ibadah dilakuan dalam budaya Bali. Sekitar pukul 06:30 proses dilanjutkan dengan tradisi memunjung ke makam Giri Astana Raga. Sekitar tahun 2005-2007, prosesi memunjung dengan memakai kain putih sepanjang 100 m, prosesi diawali dengan membentangkan kain dari Balai Desa sampai depan gedung gereja. Prosesi diatur sedemikian. Pada bagian depan ada Lilin dan Salib diikuti dengan kain putih sepanjang 100 m yang dipegang oleh seluruh warga jemaat dan diiringi oleh tabuh gong serta marching band. Prosesi ini dilakukan dengan berjalan kaki sampai di makam.. Sesampainya di makam, maka kain tersebut akan dipasang pada salib dan untaian kain itu akan dibentangkan ke makam. Menurut sumber, ini adalah lambang dari persekutuan Kerajaan Allah, persekutuan itu mencakup mereka yang sudah meninggal dan juga yang masih hidup. Sumber mengatakan juga bahwa dalam kegitan ini diperkiran lebih dari 1000 orang ikut ambil bagaian. Mereka adalah warga jemat , diaspora, anak panti asuhan dan warga lain yang ikut dalam tradisi tersebut. Kegiatan yang dilakukan di makam adalah, ibadah singkat dan dilanjutkan menabur bunga, menyalakan lilin tetapi tidak jarang ada warga jemaat yang memberi, rokok, makanan dan sebagainya. c. Tahap akhir Seusai acara di makam, warga jemaat akan kembali ke tempat masing-masing. Pada kesempatan inilah mereka akan meluangkan waktu dalam kebersamaan. Mereka akan makan bersama-sama dengan keluarga besar. Kemudian mereka akan saling mengunjungi antara keluarga yang satu dan yang lainnya. Pada sore hari dalam rangka perayaan Paskah diadakan olah raga bersama di 16
Pdt. EM, Suyaga Ayub, 13 Agustus 2015 09:30
lapangan umum desa Blimbingsari. Biasanya setelah H plus satu jemaat diaspora akan kembali ke tempat rantau. 6. Memunjung sebagai upacara/ ritual tradisional. Memunjung adalah ritual tahunan, hal ini karena ritual ini hanya dilakukan satu kali dalam setahun yaitu pada hari raya Paskah. Dalam bukunya yang berjudul Fenomenalogi Agama, Mariasusai Dhavamony membagi ritual dalam empat macam. Pada pandangannya ini memunjung termasuk ritual sebagai tindakan riligius, kultus leluhur.17 Tradisi memunjung adalah sebuah tindakan riligius sebagai bentuk ekspresi iman jemaat terhadap kemenangan iman. Yesus Kristus sebagai figur utama dari iman Kristen telah menang terhadap maut dan ekspresi ini ditunjukan dengan mengunjungi makam keluarga yang sudah meninggal. Kunjungan ini sebagai bentuk rasa hormat dengan leluhur. Dalam tradisi/ritual memunjung ada maksud dan tujuan yaitu untuk mewujudkan pengertian dan pemahaman atas nilai-nilai serta gagasan vital yang terkandung di dalamnya. 18 Hal ini tercermin dari bagaimana mereka ingin menunjukan rasa hormat terhadap leluhur dan solidaritas. 7. Alasan-alasan melakukan tradisi memunjung a. Identitas sebagai orang Bali Melihat dari latar belakang warga GKPB Jemaat Pniel Blimbingsari yang adalah orang Bali maka mereka mau memperlihatkan identitas mereka sebagai orang Bali. Mereka menganut agama minoritas. Kekristenan dianggap sebagai agama yang membenci budaya dan adat Bali. Tradisi memunjung yang dilakukan oleh GKPB Jemaat Pniel Blimbingsari adalah jawaban atas anggapan yang menyudutkan agama Kristen sebagai agama yang membenci adat dan budaya. 19 Tradisi memunjung yang dilakukan menunjukan walaupun mereka menganut agama yang bukan mayoritas, tetapi identitas mereka sebagai orang Bali masih tetap ada. Adat dan budaya Bali dipergunakan untuk mengekspresikan iman mereka. b. Menghormati leluhur Perjuangan leluhur dalam membuka desa Blimbingsari untuk menjadi desa yang baik perlu untuk dihargai. Para leluhur diusir dari tempat asal mereka karena memeluk agama Kristen. Mereka berjalan dari daerah asal menuju ke Blimbingsari yang dulunya adalah hutan. Keberanian mereka untuk pergi dari kehidupan yang lama telah membuat kehidupan anak-cucu mereka menjadi lebih baik. Jasa-jasa mereka patut dikenang.20 Kunjungan ke makam dalam tradisi memunjung pada perayaan Paskah adalah bentuk hormat dan adanya hubungan persekutuan yang tidak terputus oleh kematian.21
17
Mariasusai Dhavamony,Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 175 Hambali Hasan, Upacara Tradisional yang berkaitan dengan pariwisata Alam kepercayaan daerah Sumatra Selatan. 2 19 Pdt. EM, Suyaga Ayub, 13 Agustus 2015 09:30 20 I Ketut Suardana, 14 Agustus 2015, 14:25 21 Pdt. EM, Suyaga Ayub, 13 Agustus 2015 09:30 18 18
8. Nilai sosial dan teologis dari tradisi memunjung Jemaat GKPB Pniel Blimbingsari Menurut pandangan dari Linton dan beberapa ahli yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah nilai-nilai yang diwariskan yang di mana di dalamnya terdapat unsur kepercayaan, kesenian, dan moral hukum adat istiadat,22 maka memunjung juga termasuk ke dalam pengertian kebudayaan. Hal ini karena dalam tardisi/ritual memunjung mengandung beberapa hal yang diungkapkan oleh beberapa ahli tersebut. Ritual/tradisi memunjung juga diwariskan. Ada banyak nilai-nilai yang diwariskan secara turun temurun dari leluhur kepada anak-cucu. Warga jemaat GKPB Pniel Blimbingsari juga memiliki kepercayaan-kepercayaan bahwa anggota keluarga yang sudah meninggal masih tetap memiliki hubungan yang sangat erat dengan anggota keluarga yang masih hidup. Kepercayaan ini sangat menentukan bagimana mereka harus memperlakukan anggota keluarga yang sudah meninggal. Mereka yang sudah meninggal diperlakukan selayaknya masih hidup walupun secara fisik mereka tidak ada, tetapi mereka masih tetap yakin jikalau kehidupan mereka masih dipengaruhi oleh keberadaan dari anggota keluarga yang sudah meninggal. Pada saat ritual/tradisi memunjung juga ditampilkan kesenian daerah yaitu pakaian adat, tabuh gong dan juga marching band yang digunakan untuk mengiringi prosesi tradisi memunjung. Keberadaan kesenian dan alat kesenian ini bertujuan untuk menyemarakan suasana Paskah dan sebagai bentuk sukacita atas kemenangan pada Paskah. Bukan itu saja dalam tradisi memunjung juga ada nilai-nilai moral yang juga dapat dipelajari yaitu bagaimana sikap hormat dan saling menghargai antar warga jemaat. Rasa hormat terhadap leluhur ditunjukan dengan kepedulian terhadap mereka dengan selalu menyebut mereka dalam setiap doa. Berkunjung adalah bentuk rasa hormat dan kepedulian terhadap anggota keluarga yang sudah meninggal. Nilai sosial yang tidak kalah penting adalah kebersamaan, warga jemaat bersama-sama berjalan kaki ke makam dengan memegang kain dan menggunakan pakaian adat sesampainya di makam mereka tidak hanya menabur bunga di makam keluarga yang memiliki hubungan darah saja, tetapi juga di makam yang lain, mereka merasa bahwa pendahulu-pendahulu mereka sama-sama berjasa dalam membuka desa Blimbingsari sehingga mereka juga merasa bahwa yang sudah meninggal juga adalah anggota keluarga. Siapapun yang masuk ke desa Blimbingsari adalah anggota keluarga. Melihat dari tradisi/ritual memunjung, maka tentunya memunjung adalah sebuah budaya yang memiliki tiga wujud. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat yang mengungkapkan bahwa kebudayaan terdiri dari ide, sistim sosial dan kebudayaan fisik.23 Ide yang ada dalam ritual/tradisi memunjung adalah pemikiran bahwa orang yang sudah meninggal masih memiliki hubungan yang erat dengan orang yang masih hidup sehingga mereka perlu diperhatikan. Hubungan yang erat di sini dimaksud adalah kematian tidak memutuskan persekutuan. Sebagai sistem atau aktivas sosial dalam melakukan tradisi memunjung mereka berjalan kaki mengunjungi makam keluarga dan melakukan doa, menabur bunga, menyalakan lilin dan memberi sesuatu yang menjadi kesukaan dari orang yang sudah meninggal. 22 23
Harsojo, Pengantar Antropologi (Bandung:Binacipta, 1967) 109 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia,1982). 5-7
Kebudayaan fisik yang ada dalam tradisi memunjung adalah penggunaan alat musik seperti gong, pakaian adat, marching band dan juga kuburan. Alat-alat tersebut adalah kebudayaan yang nyata yang dipakai dalam tradisi memunjung. Secara teologis tradisi memunjung memiliki makna yang sangat penting bagi jemaat GKPB Pniel Blimbingsari. Penggunaan alat musik gambelan dan marching band adalah sarana untuk memuji Tuhan dengan nada dan irama yang teratur. Pemain gambelan dan marching band terdiri dari dari anak-anak sampai yang sudah dewasa, hal ini dimaknai dalam memuliakan Tuhan setiap orang terpanggil untuk memuliakan Tuhan tanpa melihat latar belakang usia. Sebelum tradisi memunjung dilakukan warga jemaat akan membersihkan makam keluarga hal ini dilakukan supaya suasana kuburan menjadi nyaman. Kuburan tidak menjadi sesuatu yang menyeramkan seperti yang dipahami pada umumnya. Kuburan adalah rumah bagi anggota keluarga yang sudah meninggal sudah selayaknya suasana kuburan sama seprti rumah sendiri. Tradisi memunjung juga mengacu pada kunjungan perempuan ke makam Yesus di mana mereka tidak takut karena kuburan tidak menyeramkan. Penggunaan kain sepanjang 100 meter yang berwana putih yang dibentangkan di makam adalah simbol dari kemenagan Kristus. Paskah identik dengan warna putih yang adalah lambang dari kemenangan dan kehidupan yang baru. Bentangan kain adalah wujud persekutuan warga jemaat yang masih hidup dan yang sudah meninggal dengan Allah.24 9. Memunjung dalam Tipologi Richard Niebuhr Melihat dari tradisi memunjung yang ada di Jemaat GKPB Pniel Blimbingsari, bila dikaitkan dengan hubungan antara Kristus dan kebudayaan berdasarkan teori dari Richard Niebuhr, maka tradisi memunjung ada pada pandangan yang menyatakan Kristus pengubah kebudayaan. Warga jemaat merayakan paskah dengan mengunjungi makam dengan menggunakan adat, tradisi dan budaya Bali. Adat dan budaya Bali adalah hal yang identik dengan penyembahan. Membawa sesajen ke makam memiliki pantangan-pantangan yang tidak boleh dilanggar yang apabila dilanggar akan menimbulkan halangan bagi yang melanggarnya. Pada tradisi memunjung yang dilakukan oleh Jemaat GKPB Pniel Blimbingsari alasan utamanya bukan melakukan penyembahan melainkan memberitakan kabar sukacita kemenagan Kristus atas maut. Memunjung ini sebagai bukti bahwa kematian tidak memutus tali persekutuan antara keluaraga yang hidup dan yang mati. Sukacita tersebut mereka sampaikan melalui kunjungan ke makam dengan membawa bunga dan sebagainya. Tidak ada pantangan-pantangan yang harus dilakukan. Dalam hal ini terlihat bagaimana sikap gereja yang mampu untuk menggunakan kebudayaan yang terkadang mengekang masyarakat dan mengubahnya menjadi kebudayaan yang memberi kebebabasan dalam menunjukan iman.
10. Memunjung sebagai Pengikat Masyarakat Tidak semua hal yang berkaitan dengan suku, adat, tradisi, upacara tradisional, dan upacara keagamaan selalu berkaitan dengan hal-hal yang bersifat mistis. Dalam sebuah tradisi 24
Pdt. EM, Suyaga Ayub, 13 Agustus 2015 09:30
dan sebagainya, ada banyak hal yang bila kita cermati, hal tersebut dapat dicerna dengan akal sehat. Suku, adat, upacara tradisional, upacara keagamaan adalah sebuah kebudayaan yang di mana menurut pengertian beberapa ahli, bahwa kebudayaan dapat dikaitkan dengan hal - hal yang bersangkutan dengan akal. Budaya adalah akal dari budi yang juga berupa cipta, karsa dan rasa. Sehingga dengan demikian, kebudayaan dimulai dengan akal dan tentunya kebudayaan tersebut harus dapat dijelaskan dengan akal. Warga Jemaat GKPB Pniel Blimbingsari menjadi jemaat tetap yang selalu ada di Blimbingsari dan jemaat diaspora. Bagi mereka, waktu untuk berkumpul dengan keluarga hanya pada hari raya gerejawi yaitu Natal dan Paskah. Menurut Pendeta Welda, bahwa ada perbedaan dari jumlah jemaat yang hadir ketika Natal dan Paskah yang dilanjutkan dengan tradisi memunjung. Pada saat Natal warga jemaat yang datang sekitar 700-800 (jumlah jemaat tetap 668 jiwa) hal ini bisa dilihat dari jumlah liturgi yang habis dalam ibadah. Sedangkan ketika Paskah dan tradisi memunjung jumlah jemaat yang hadir lebih dari 1000 orang dilihat dari bunga dan liturgi yang disediakan. Hal ini menunjukan bahwa tradisi memunjung menjadi momen yang baik untuk berkumpul bagi keluaraga diaspora. Mereka yang warga diaspora akan datang kembali untuk merayakan paskah dengan mengikuti tradisi memunjung. Tradisi memunjung menjadi pengikat bagi mereka untuk tetap menjadi masyarakat/warga jemaat Pniel Blimbingsari. Hal ini diikuti dengan kewajiban untuk menggunakan pakaian adat sesuai dengan kesepakatan bersama.