BAB 4 HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN
Pembahasan dalam bab ini lebih memfokuskan pada tarif pajak wajib pajak orang pribadi dimana pembahasan lebih menitik beratkan pada wajib pajak orang pribadi pedagang eceran minuman. Adapun wajib pajak orang pribadi dalam pembahasan ini adalah wajib pajak orang pribadi yang termasuk dalam kategori pengusaha kecil sesuai pasal 14 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, yaitu wajib pajak orang pribadi yang tidak wajib menyelenggarakan pembukuan atau peredaran usaha dibawah Rp 4,800,000,00 Miliar setahun. Point utama dari kebijakan norma adalah penyederhanaan administrasi kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya
4.1 Tinjauan Atas Asas Keadilan Terhadap Kebijakan Perhitungan Penghasilan Neto. 4.1.1 Latar Belakang Penerapan Kebijakan Perhitungan Penghasilan Neto Indonesia adalah negara berkembang dengan administrasi perpajakan yang belum maju dan sumber daya yang belum memadai, dimulai dengan menggunakan system presumptive yang salah satunya adalah penerapan norma perhitungan penghasilan neto yang masih berlaku sampai sekarang. Dalam norma penghasilan neto maka Penghasilan wajib pajak bukan didasarkan atas penghasilan sebenarnya yang didapatkan oleh wajib pajak, tetapi nilai lain yang digunakan untuk menentukan penghasilan tersebut. Hal ini membuat penghitungan penghasilan norma tersebut berbeda dengan sistem self-assessment.
38
Alasan untuk menggunakan norma perhitungan penghasilan neto di Indonesia lebih ditekankan kepada kemudahan administrasi perpajakan wajib pajak. Sebagaimana dikutip oleh Sari (2012) dalam wawancara dengan Staf Pelaksana di Sub Direktorat Potong Pungut Direktorat Jenderal Pajak maka dapat disimpulkan
bahwa pengguna norma lebih ditekankan pada asas kemudahan administrasi bagi wajib pajak orang pribadi dalam melaksanakan kewajiban perpajakan khususnya wajib pajak orang pribadi yang tidak mampu menyelenggarakan pembukuan. Selanjutnya administrasi yang sederhana diperlukan dalam pelaksanaan pemungutan pajak, namum dalam pemungutan tersebut unsur keadilan merupakan bagian yang harus diperhatikan. Melihat perkembangan perpajakan di Indonesia maka unsur kesederhanaan masih menjadi isu utama bagi wajib pajak orang pribadi pengguna norma yang relatif meningkat dari tahun ke tahun sebagaimana ditampilkan dalam table berikut:
Table 4.1 Jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Melaporkan SPT Tahunan Menggunakan Norma Dan Pembukuan Tahun Pajak 2008-2012 Tahun
SPT Tahunan Norma
SPT Tahunan Pembukuan
2008
Rp 3,060,113
Rp 90,852
2009
Rp 4,095,391
Rp 97,911
2010
Rp 4,294,224
Rp 100,062
2011
Rp 4,328,584
Rp 101,107
2012
Rp 4,330,909
Rp 101,123
39
Total Keseluruhan Dari Masing-masing
Rp 20,109,221
Rp 491,055
SPT
Sumber :Yang di ambil dari Humas Direkrotar Jenderal Pajak Berdasarkan tabel 4.2 dari data base Direktorat Jenderal Pajak, jumlah wajib pajak orang pribadi yang menyampaikan SPT tahunan menggunakan norma dan jumlah wajib pajak orang pribadi yang menyampaikan SPT tahunan menggunakan pembukuan. Pada tahun 2008 jumlah SPT tahunan norma dan SPT tahunan pembukuan sebesar 3,150,965, di tahun 2009 mengalami peningkatan sebesar 4,193,302, tahun 2010 mengalami kenaikan yang tidak jauh dengan tahun sebelumnya sebesar 4,394,286, tahun 2011 mengalami kenaikan sebesar 4,429,691, dan tahun 2012 mengalami kenaikan sebesar 4,432,032. Jadi, dapat disimpulkan yang menyerahkan SPT menggunakan norma lebih besar dari pada yang menyerahkan SPT menggunakan pembukuan. Tahun 2012 yang menyerahkan SPT menggunakan norma sebesar 4,330,909. Alasan mengapa wajib pajak memilih menggunakan norma perhitungan dalam menghitung jumlah pendapatan bersih pada umumnya karena tidak dapat membuat pembukuan. Sebagian besar wajib pajak orang pribadi masih belum mampu menyelenggarakan pembukuan yang memenuhi syarat sesuai ketentuan perundang-undangan perpajakan. Maka dari itu masyarakat lebih memilih menggunakan norma perhitungan yang dapat memberi kemudahan mereka untuk dapat membayar pajak sesuai dengan syarat dan ketetapan yang sudah di tentukan. Wajib pajak hanya perlu melakukan pencatatan peredaran usahanya dan biaya yang dikeluarkan secara sederhana. Hal ini yang menjadi dasar perumusan dalam aturan norma perhitungan penghasilan neto, bahwa telah 40
disebutkan dalam ketentuan norma perhitungan ini adalah sebagai acuan bagi wajib pajak orang pribadi yang tidak dapat menyelenggarakan pembukuan untuk menentukan penghasilan neto yang di dapat oleh wajib pajak.
4.2 Kesesuaian Kebijakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto di Indonesia dilihat dari Asas Keadilan yang sudah ada.
Asas keadilan merupakan salah satu hal yang penting bagi wajib pajak orang pribadi dalam pelaksanaan kebijakan perpajakan. Sistem perpajakan akan dapat berjalan dengan baik dan didukung oleh rakyat apabila dikenakan secara adil, yaitu pembayaran pajak dilakukan sesuai dengan kemampuan pembayar pajak. Dengan harapan pemungutan pajak dapat menguntungkan banyak pihak. Sehingga dengan terpenuhnya keadilan maka masyarakat dapat membayar pajak secara suka rela. Permasalahan yang terdapat di Indonesia adalah rendahnya kepatuhan wajib pajak tentang membayar pajak menggunakan pembukuan. Karena pembukuan masih menjadi salah satu penghambat bagi wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajaknya. Penyelenggaraan pembukuan yang dilakukan oleh wajib pajak hal yang sangat dibutuhkan di dalam sistem self-assessment. Wajib pajak dapat melakukan perhitungan, menghitung, membayar dan melaporkan sendiri pajaknya. Masalah yang timbul adalah keadilan pemerintah untuk memungut pajak, sehingga sebenarnya menyelenggarakan pembukuan itu sangat memberatkan wajib pajak. Hal ini disebabkan karena tidak semua wajib pajak mengerti menggunakan sistem atau prinsip pembukuan yang sesuai dengan peraturan perundang-udangan perpajakan. Karena ketidaktahuan wajib pajak soal pembukuan kebanyakan dari mereka menggunakan jasa konsultan untuk membuat pembukuan.
41
Maka dari itu pemerintah membuat kebijakan norma penghitungan penghasilan neto untuk memudahkan wajib pajak melakukan kewajiban perpajakan yang seharusnya dibuat oleh wajib pajak dan tidak harus melaksanakan pembukuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undanga pajak karena pembukuan masih terlalu kompleks bagi wajib pajak yang tidak mengerti dengan melakukan perhitungan menggunakan pembukuan. Seperti yang dikemukan oleh Yenni (2001), keadilan merupakan kata kunci dalam upaya pemerintah untuk memungut dana dari masyarakat. Ada dua macam asas keadilan dalam pemungutan pajak yang sangat terkenal, yaitu keadilan horizontal dan keadilan vertikal. Keadilan horizontal adalah suatu sistem perpajakan yang adil, maka setiap Wajib Pajak harus membayar pajak sejalan dengan manfaat yang dinikmatinya dari kegiatan pemerintah. Untuk memungkinkan pembebanan pajak melalui pendekatan ini. Perlu diketahui terlebih dahulu besarnya manfaat yang dinikmati Wajib Pajak yang bersangkutan dari kegiatan pemerintah yang memerlukan pengeluaran yang dibiayai dari penerimaan pajak tersebut. Dalam keadilan vertikal prinsip ini terlihat lebih relevan untuk menjadi latar belakang sistem pemungutan pajak di Indonesia, karena prinsip ini menyarankan agar pajak itu dibebankan pada para pembayar pajak berdasarkan kemampuan untuk membayar pajak masing-masing. Administrasi
mempunyai
alternatif
norma
perhitungan
yang
dapat
mengurangi dampak kurang adil antara masyarakat. Norma penghitungan penghasilan neto dapat jadi pedoman untuk wajib pajak yang menggunakan pembukuan atau membuat pembukuan dengan tidak benar. Dengan dibuatnya norma penghitungan penghasilan neto terkadang dapat di pandang tidak sesuai dengan asas keadilan. Norma penghitungan penghasilan neto juga punya pro dan kontra mengenai
42
perhitunganya sudah adil atau belum. Ada beberapa pihak yang menyebutkan tarif pajak sudah adil, tetapi ada sebagian masyarakat juga mengatakan tarif pajak tidak adil.
Menurut
masyarakat
menghitung
menggunakan
norma
penghitungan
penghasilan neto ini tidak adil, karena kurangnya pengakuan kompensasi kerugian untuk wajib pajak yang mengalami kerugian, maka wajib pajak berpikir menghitung menggunakan norma itu kurang menguntungkan. Dasar pengenaan pajak dibagi menjadi dua bagian yang pertama keadilan horizontal dan keadilan vertikal untuk dapat melihat pemenuhan unsur-unsur untuk dapat menilai keadilan dalam suatu kebijakan perpajakan. Keadilan Horizontal Pada keadilan horizontal, besarnya pajak yang dipungut, haruslah sama bagi setiap Wajib Pajak yang memiliki kemampuan untuk membayar pajak yang sama, atau dengan kata lain equal treatments for the equals. Jika ingin mengukur kemampuan membayar pajak seseorang maka harus seluruh penghasilan harus digabungankan, apa saja yang dapat dianggap sebagai penghasilan juga harus jelas, begitu juga pengurangan-pengurangan yang dapat diakui. Untuk mengetahui apakah suatu kebijakan telah memenuhi keadilan horizontal dapat memakai beberapa kriteria yaitu definisi penghasilan, globality, net income, personal exemptions, dan equals treatment for the equals. Keadilan Vertikal Menurut Mansury keadilan vertikal akan terwujud apabila terpenuhi dua syarat, yaitu (1) unequal treatments for the unequals, dan (2) progression. 1. Ketidak Samaan Perlakukan Perlakuan yang berbeda harus diberikan kepada jumlah penghasilan yang berbeda. Hal ini menekankan kepada pemberian beban pajak yang berbeda antara subjek pajak
43
yang memiliki tingkat kemampuan ekonomis yang berbeda. Unsur ini terpenuhi dalam hal Norma Penghitungan Penghasilan Neto di Indonesia disusun berdasarkan masing-masing jenis usaha dan daerah Wajib Pajak berada, sehingga besaran persentase antara jenis kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang satu dengan lainnya pun berbeda. Hal ini diperhatikan mengingat bahwa antara jenis usaha atau pekerjaan bebas memiliki margin keuntungan yang berbeda, biaya-biaya yang dikeluarkan berbeda, sehingga penghasilan bersihnya tidak akan sama. 2. Progression Progression dalam hal ini berarti bahwa Wajib Pajak akan dikenakan beban pajak yang berjenjang, semakin besar kemampuan untuk membayar, maka akan semakin besar pula beban pajak yang akan ditanggungnya. Meskipun Wajib Pajak menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto, unsur progression tetap terpenuhi. Kebanyakan dari wajib pajak lebih memilih untuk menggunakan norma perhitungan untuk menghitung besarnya penghasilan yang di dapat oleh wajib pajak dengan menggunakan tarif pajak pasal 17 UU PPh. Wajib pajak orang pribadi yang membayar pajak dengan jumlah besar akan membayar pajak dengan pembayaran yang lebih besar jika dibandingkan dengan wajib pajak orang pribadi yang memiliki pendapatan lebih kecil. Karena menghitung menggunakan norma penghitungan hanya untuk menghitung berapa besar tarif pajak yang di dapat oleh wajib pajak. Yang membedakan wajib pajak membayar pajak dengan wajib pajak lainnya itu ditentukan dengan perbedaan jumlah besarnya masing-masing penghasilan dan kemampuan ekonomis yang masih kurang bagi masing-masing wajib pajak. Menghitung menggunakan norma penghitungan tidak dapat ditetapkan seberapa besar nominal yang pasti untuk dapat diakui oleh pajak, dengan persentase dari penghasilan bruto wajib pajak yang dianggap penghasilan kena pajak.
44
1.3 Hasil Wawancara 4.3.1 Informasi dari Wajib Pajak (1) Wawancara ini dilakukan terhadapa Wajib Pajak orang pribadi (bukan perusahaan yang berbadan hukum) yang memiliki usaha kelontong semacam minimarket yang berdiri sendiri tanpa dikelola oleh pihak lain dan dalam pelaporan pajaknya menggunakan norma perhitungan penghasilan neto, dan menurut norma penghitungan penghasilan neto klasifikasi lapangan usaha (KLU) untuk usaha dagang kelontong tarif yang di tetapkan sebesar 30% (tiga puluh persen), yang sebelumnya berlaku hanya 10% (sepuluh persen) menurut Keputusan Direktorat Jendral Pajak, Nomor : KEP-01/PJ.7/1991, tanggal 9 Januari 1991. Pertanyaan ini ditunjukan kepada wajib pajak yang cukup mengatahui rasa keadilan yang dialami oleh wajib pajak atas tarif yang berlaku dan menentukan pajak terutang yang dipikul oleh wajib pajak. Pertanyaan (1) : Apakah tarif pajak yang telah ditetapkan untuk orang pribadi telah adil untuk Ibu? Dan Ibu melaporkan pajak Ibu menggunakan pembukuan atau menggunakan norma? sebenernya tidak adil, karena pendapatan saya saja di bawah tarif yang di tetapkan
oleh
pemerintah.
Saya
melakukan
pembayaran
dengan
menggunakan norma,lebih memudahkan saya menggunakan norma.
Sebenarnya tarif yang cocok buat pedagang seperti ibu itu berapa yah? Dan sebenarnya profit bersih yang Ibu dapat berapa setiap bulannya? menurut saya sepantasnya saja, 10% cukup wajar buat pedagang kecil seperti saya ini. Profit bersih yang saya dapat setiap bulannya kurang lebih sekitar Rp 9.500.000 – 10.000.000.
45
Menurut Ibu suka dukanya menggunakan norma perhitungan dalam melaporkan pajak? Norma itukan tidak selulit menggunakan pembukuan, untuk menghitung pajaknya tinggal dikalikan saja dengan penghasilan setahun dengan tarif 30% (tiga puluh persen) sudah beres , jadi memudahkan kita yang tidak bisa menggunakan pembukuan itu saja. Tetapi sebenernya sama aja memakai pembukuan sama memakai tarif perhitungan menggunakan norma, samasama di periksa pajak juga kan. Orang pajak maunya saya tunjukin buku pencatatan saya, tapi sebenarnya saya tidak ada buku pencatatan, lagi pendapatan saya dikali sama 30% (tiga puluh persen) itu sudah cukup besar banget, tarif 30% (tiga pulih persen) ini sangat besar buat saya. Saya sangat keberatan dengan tarif norma itu sendiri. Menurut saya jangan Cuma mengejer orang yang mempunyai NPWP saja. Sebenarnya bisa dilihat siapa saja masyarakat yang belum mempunyai NPWP, daftarin dulu aja itu biar pendapatan pajak meningkat dengan sendirinya.
1.3.2 Informasi dari Wajib Pajak (2) Wawancara dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi yang memiliki usaha kelontong yang berdiri sendiri dan dikelola sendiri oleh pemiliknya, yang dalam pelaporan pajaknya menggunakan norma penghitungan penghasilan neto, untuk usaha kelontong persentasenya sebelumnya sebesar 10% (sepuluh persen), setelah mengalami perubahan menjadi 30% (tiga puluh persen) yang berlaku hingga saat ini. Pertanyaan (1) : Apakah tarif pajak yang telah ditetapkan untuk orang pribadi telah adil untuk Ibu?
46
Sebenaenya adil tidak adil, tetapi nanti saya bilang tidak adil juga sebenarnya tidak bisa merubah apapun. Saya sebenarnya melaporkan pajaknya menggunakan perhitungan norma, sebenernya lebih memudahkan saja, tetapi tarifnya saja yang terlalu besar.
Sebenarnya tarif yang cocok buat pedagang seperti Ibu itu berapa yah? Dan sebenarnya profit bersih yang Ibu dapat berapa setiap bulannya? tarif yang adil buat pedagang seperti saya 15% (lima belas persen). Habis tarif 30% (tiga puluh persen) itu sangat besar buat pedagang pasar macem saya. Mungkin kalau untuk pedagang yang sudah besar tidak jadi masalah, tetapi saya pedagang kecil. Pendapatan yang saya dapet kurang lebih Rp 10.000.000 kurang lebih itu tidak bisa diperkirakan pasnya.
Menurut Ibu suka dukanya menggunakan norma perhitungan dalam melaporkan pajak? suka dukanya saya jadi belajar sebenernya membayar pajak menggunakan norma itu seperti apa. Ternyata lebih mudah dari pada menggunakan pembukuan . Cuma tarifnya besar banget 30% (tiga puluh persen) lho. Cuma saya disuruh bayar, ia saya bayar saja. Saya malas berurusan sama orang pajak juga sebenarnya. Tetapi jujur saja sebenernya tarif 30% (tiga puluh persen) itu cukup tinggi.
1.3.3 Informasi dari Wajib Pajak (3) Wawancara ini dilakukan terhadap wajib pajak orang pribadi yang memiliki usaha yang di dirikan sendiri. Usaha yang bersifat penjualan kelontongan ini
47
melaporkan pajaknya sendiri dan pelaporan yang dilakukan menggunakan norma perhitungan, dengan tarif 30% (tiga puluh persen). Pertanyaan (1) : Apakah tarif pajak yang telah ditetapkan untuk orang pribadi telah adil untuk Ibu? tarif 30% (tiga puluh persen) itu? Ia tidak adil, itu sangat
tinggi, itu
sebenarnya tarif kaya membunuh usaha saya. Coba mba di posisi saya, tarifnya sudah adil atau belum? Kalau ditanya adil atau tidak ia tentu itu tidak adil mba.
Sebenarnya tarif yang cocok buat pedagang seperti Ibu itu berapa yah? Dan sebenarnya profit bersih yang Ibu dapat berapa setiap bulannya? Tarif yang cocok. 10% (sepuluh persen) itu sudah sangat cocok buat pedagang seperti saya dan teman-teman saya. Tetapi sebeneranya tarif berapa aja tidak jadi masalah, Cuma yah harus kira-kira juga. Kan harus di lihat itu tarif yang di tentukan sudah adil belum buat pedagang seperti saya.
Menurut Ibu suka dukanya menggunakan norma perhitungan dalam melaporkan pajak? Suka dukanya sebenarnya tidak ada. Sebenarnya saya agak binggung mau bayar pajak seperti apa, saya bayar pajak pembukuan saya tidak bisa, tapi kalau saya memakai pembukuan saya harus bayar jasa konsultan pajak. Tetapi dilain sisi saya harus bayar pajak menggunakan norma, tetapi tarifnya sangat besar. Dan di lain sisi saya juga tetap di periksa sama orang pajak juga. Sebenarnya tarif yang besar membuat saya dan wajib pajak lain seperti saya cenderung membayar pajak tidak sesuai dengan apa yang
48
ditetapkan. Cuma saya juga tidak bisa bayar pajak telalu besar, buat makan dan lain-lain itu tidak akan cukup. Tetapi norma sangat memudahkan saya untuk membayar pajak.
4.4 Kewajiban Pencatatan Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban pembukuan tetapi wajib melakukan pencatatan sesuai dengan Pasal 28 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakan adalah a. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
diperbolehkan
menghitung
penghasilan
neto
dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto b. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Bentuk dan tata cara pencatatan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi seperti berikut ini : a. Kewajiban pencatatan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto berdasarkan Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. 2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
49
b. Pencatatan harus dibuat secara lengkap dan benar, serta didukung dengan dokumen yang dijadikkan dasar penghitungan peredaran atau penerimaan bruto dan atau penghasilan bruto, serta penghasilan yang bukan objek pajak dan atau penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final. c. Pencatatan dalam satu Tahun Pajak meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan, mulai tanggal 1 Januari sampai tanggal 31 Desember. d. Bagi Wajib Pajak yang mempunyai lebih sari satu jenis usaha dan atau tempat usaha, pencatatan harus dapat menggambatkan secara jelas jumlah peredaran atau penerimaan bruto dari masing-masing jenis usaha dan atau tempat usaha yang bersangkutan. Pencatatan yang dimaksud terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenal dengan pajak yang bersifat final. Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan dan pencatatan adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan.
4.5 Norma Penghitungan Penghasilan Neto Penerapan pengguna norma sangat memberikan informasi yang sangat positif bagi wajib pajak, yang artinya bahwa pengenaan pajak dengan cara memakai persentase norma dari penghasilan bruto untuk menghasilkan penghasilan neto yang merupakan salah satu cara mudah dalam penerapannya. Mengingat keterbatasan wajib pajak untuk menghitung pajak dengan cara memakai perhitungan laba rugi yang didasarkan pada prinsip-prinsip akuntansi yang lazim dan dapat diterima atau
50
dalam arti pengertian sempitnya pembukuan. Sejalan dengan berjalannya waktu muncul norma penghitungan penghasilan neto karena ketidak mampuan wajib pajak dalam menyelenggarakan pembukuan yang benar dan lengkap sesuai dengan undang-undang perartutan perpajakan. Di Indonesia wajib pajak bebas memilih perhitungan pajak yang diinginkan. Perhitungan pajak yang berlaku di Indonesia, ada yang berdasarkan norma dan ada juga yang berdasarkan pembukuan. Besarnya perhitungan norma peredaran bruto dalam satu tahun, bisa dilihat dalam Pasl 14 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilann: “(2) Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.”
Penyelasan Pasal 14 Ayat (2): “(2) Norma Penghitungan penghasilan neto hanya boleh digunakan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya kurang dari jumlah Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Untuk dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto tersebut, wajib pajak orang pribadi harus memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.”
51
Besarnya persentase norma penghitungan penghasilan neto menunjukkan respon ketidak setujuan dengan membuat pernyataan yang tidak adil dan tidak wajar. Karena beberapa dari wajib pajak yag mempunyai usaha menyatakan tarif norma terlalu tinggi dan tidak wajar. Besarnya pemerintah menetapkan persentase norma penghitungan penghasilan neto yang untuk pedagang eceran sebesar 30% (tiga puluh persen), sedangkan secara praktis dalam bisnis margin yang kita punya secara bersih dari usaha dagang tidak mengalami kenaikan yang berarti, bahkan tidak ada kecenderungan naik. Kepatuhan pajak seharusnya dilakukan secara suka rela merupakan salah satu pencapaian untuk menilai sistem perpajakan di Indonesia sudah maju. Sebenarnya norma penghitungan penghasilan neto sudah mempunyai azas kepastian, jika didalamnya mempunyai kejelasan dan ketegasan sehingga siapa saja wajib pajak yang dapat memanfaatkan fasilitas dan besarnya persentase yang diberikan pemerintah tidak dapat interpretasikan bagi wajib pajak maupun petugas pajak. Jelas disebutkan di pasal 14 UU PPh yang memberikan kemudahan berupa norma pengitungan penghasilan bagi wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.800.000.000
yang
dibebaskan
dari
kewajiban
untuk
menyelenggarakan
pembukuan.
4.5.1 Contoh Perhitungan Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto -
Wajib pajak A kawin dan mempunyai 2 (dua) orang anak. Ia seorang yang mempunyai toko sembako di Jakarta.
Persentase menghitung
menggunakan norma sebesar 30%.
52
-
Peredaran bruto selama 1 (satu) tahun sebesar
Rp 125,732,318
Jawaban Dengan Menggunakan Norma : Peredaran Usaha Bruto Bulan
Jumlah Peredaran Usaha (Bruto)
Januari February Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Rp 10,534,678 Rp 9,543,200 Rp 10,876,962 Rp 11,400,862 Rp 8,245,768 Rp 11,540,872 Rp 9,678,562 Rp 9,578,143 Rp 9,987,768 Rp 11,906,752 Rp 10,672,875 Rp 11,765,876 Rp 125,732,318
Jumlah
Peredaran Usaha (Pedagang Sembako)
=
Rp 125,732,318
Persentase Norma
=
30%
-
Rp 125,732,318 x 30%
=
Rp 37,719,695
Pajak yang harus di bayar dengan menggunakan perhitungan norma perhitungan sebesar Rp 37,719,695-
4.5.2 Contoh Perhitungan PPh dengan Dasar Pembukuan 1. Pak Andy status menikah dan mempunyai seorang anak. Ia mempunyai toko sembako, peredaran usaha bruto sebesar Rp 200.000.000,- dan memiliki biaya menagihan sebesar Rp 30.000.000,-. Total PPh terutang sebesar:
53
Jawaban : Peredaran bruto
:
Rp 200.000.000
Biaya
:
Rp 30.000.000
Penghasilan Neto
:
Rp 170.000.000
PTKP
:
Rp 18.480.000
Penghasilan Kena Pajak
:
Rp 151.520.000
PTKP : Wajib Pajak
:
Rp 15.840.000
Kawin
:
Rp 1.320.000
Anak
:
Rp 1.320.000 Rp 18.480.000
PPh Terutang: 5% x Rp 50.000.000
=
Rp 2.500.000
15% x Rp 101.520.000
=
Rp 15.228.000
Total PPh Terutang
Rp 17.728.000
Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat dilihat dari perhitungan yang menggunakan norma penghitungan wajib pajak harus membayar pajak sebesar Rp 37,719,695, sedangkan wajib pajak yang menghitung pajaknya berdasrkan pembukuan adalah sebesar Rp 17.728.000. Dapat di lihat antara wajib pajak yang menghitung menggunakan norma perhitungan dan melaksankan pembukuan terdapat selisih sebesar Rp 19,991,695. Maka terdapat ketidak adilan untuk wajib pajak jika harus membayar pajak menggunakan perhitungan norma yang mempunyai tarif yang cukup tinggi. Sehingga dapat disimpulkan wajib pajak merasakan ketidakadilan bila
54
wajib pajak menggunakan norma perhitungan dibandingkan menggunakan pembukuan secara sistematis.
4.6 Kurangnya Kebijakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto Di Indonesia Para
ahli
sering
memberikan
pernyataan
tentang
bagaimana
cara
mengevaluasi menggunakan metode yang memajaki wajib pajak dengan cara presumptive taxation yang mempunyai arti dan tujuan kehadirannya, alat yang efektif menjadi masalah dengan golongan yang sulit untuk dipajaki. Metode perkiraan yang mempunyai sifat alami tentang metode alternatif yang lebih sederhana yang dapat digunakan untuk menentukan kewajiban pajak dari wajib pajak ketika aplikasi yang sulit digunakan. Metode perkiraan yang mempunyai sifat tidak konsisten dan berbeda dengan azas-azas administrasi perpajakan yang baik. Norma penghitungan penghasilan neto bertujuan untuk memperjelas Pasal UndangUndang 36 Tahun 2008:
“Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto bagi wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma penghitungan.”
Pasal 14 Undang-Undang 36 Tahun 2008 menjelaskan bahwa tujuan pemerintah Indonesia, tanggung jawab diserahkan kepada Direktorat Jenderal Pajak, untuk memberikan
kemudahan
kepada
wajib
pajak
dengan
menerbitkan
norma
penghitungan penghasilan neto dan tidak lagi harus menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung besarnya penghasilan. Mungkin seharusnya administrasi pajak
55
disusun sesederhana mungkin supaya tidak memberatkan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban dalam perpajakan. Jangan sampai menghabiskan waktu, tenaga dan material wajib pajak yang dapat menghalangi wajib pajak untuk melaksanakan usahanya.
Norma penghitungan penghasilan neto di Indonesia juga memiliki kelemahan, yaitu: 1. Sistem yang bertentangan oleh Indonesia adalah sistem self assessment Sistem self assessment memberikan kemudahan terhadapat wajib pajak, dasarnya hanya memberikan wajib pajak untuk menghitung, melaporkan dan membayar kewajiban pajak secara sendiri. Penghitungan yang menggunakan norma penghitungan penghasilan neto hanya berarti untuk pengenaan pajak secara tidak langsung yang ditetapkan dengan otoritas pajak. 2. Cara Yang Di Lakukan Wajib Pajak Untuk Menghadari Pajaknya Penghitungan menggunakan norma dapat mendorong supaya wajib pajak patuh, penggunaan peredaran bruto sebagai dasar pengenaan pajak yang memiliki celah untuk melaporkan pendapatan yang tidak sesuai. Direktorat Jenderal Pajak harus melakukan tugasnya untuk melakukan pemeriksaan berkala. Wajib pajak menghindari pemeriksaan pajak dengan cara membuat surat pemberitahuan pajak kurang bayar supaya setoran pajak pada akhir tahun membuat surat pemberitahuan pajak nihil. Norma penghitungan adalah alat untuk memudahkan wajib pajak untuk melaporkan pajaknya, wajib pajak yang belum terlalu paham mengenai pembukuan dapat menggunakan norma penghitungan penghasilan sesuai dengan peraturan perpajakan. Tetapi kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakan di Indonesia masih
56
belum terlalu relevan. Oleh karena itu norma penghitungan penghasilan neto dilaksanakan bersama-sama dengan pemeriksaan.
4.7 Beberapa Alasan Besarnya Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto Yang Masih Belum Disesikan Di Indonesia. Norma pengitungan penghasilan neto menggunakan penghitungan persentase yang mendekati keadaan yang sebenarnya dapat memungkinkan terjadinya salah satu cara untuk memberikan keadilan bagi wajib pajak yang memilih untuk menggunakan norma perhitungan penghasilan. Pasal 14 Ayat (1) menyebutkan bahwa norma penghitungan penghasilan neto akan disempurnakan terus menerus oleh Direktorat Jendral Pajak. Direktorat Jendral Pajak sebenarnya memberikan tanggung jawab untuk memperhatikan kelayakan norma penghitungan penghasilan neto. Sejak tahun 2006 penelusuran gagasan mengenai revisi persentase norma sudah dimulai dengan surat Direktur Jendral Pajak Nomor S-138/PJ.41/2005 yang berisi tentang daftar isi persentase norma penghitungan penghasilan neto. Dengan di susunnya norma penghitungan penghasilan neto kita dapat menyesuaikan dengan Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) yang di dibuat oleh Direktorat Jenderal Pajak Nomor KEP-34/PJ./2003 tentang Klasifikasi Lapangan Usaha untuk wajib pajak. Dalam keputusan yang terlampir isi yang membuat wajib pajak boring adalah mengenai besarnya norma yang menurut wajib cukup realistis dan cukup memberikan alasan yang jelas dan mendukung buat wajib pajak. Pengumpulan data telah dilaksanakan sejak tahun 2005, dan penyusunan dimulai sejak tahun 2010, sebagaimana yang dikutip oleh Sari, 2012 yang mewawancarai tim perumusan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagai berikut:
57
“sebenarnya dari tahun 2010 kita sudah review karena itu sudah sepuluh tahun lewat kayaknya sudah tidak relevan ya dengan kondisi ekonomi saat ini ya, makanya mesti diupgrade, terakhir ini sih masih jalan, masih diproses tapi nggak tahu bakal ada dihentikan atau nggak karena kita ada kebijakan lain yang bersinggungan dengan norma.” Hasil penelitian yang didapat dari latar belakang yang sebenarnya belum disesuaikan berdasarkan norma penghitungan penghasilan neto sampai saat ini sebagai berikut:
1. Sulitnya Membuat Perumusan Dalam Menetapkan Beasarnya Persentase Norma Kesulitan terbesar bagi Direktorat Jendral Pajak adalah bagaimana menyusun besarnya norma penghitungan penghasilan neto. Seperti dilakukan oleh narasumber yang menjelaskan tentang gunanya ketelitian untuk penghitungan besarnya penghasilan sesuai dengan kewajaran yang di terima oleh wajib pajak dan usaha yang dilakukan oleh wajib pajak untuk menentukan prinsip keadilan dalam norma penghitungan penghasilan neto.
2. Susunan Kebijakan Penghitungan Penghasilan Neto Pada pasal 14 Undang-udang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008 menyebutkan bahwa norma penghitungan penghasilan neto untuk menentukan penghasilan neto, dibuat dan disempurnakan terus menerus serta diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan neto dengan
58
menggunakan norma penghitungan penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayar 1 (satu), dengan syarat memberitahukan kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Kebijakan ini adalah kebijakan pajak yang bersifat final, kebijakan pajak final dianggap wajib pajak lebih memberikan kemudahan dibanding harus menggunakan norma penghitungan. Mengenaik kebijakan final akan di jelaskan dalam paragraph selanjutnya.
Berdasarkan kutipan yang di ambil Sari, 2012 yang melakukan wawancara kepada pihak Direktorat Jenderal Pajak yang di wakili dengan Direktorat Peraturan Perpajak II untuk menggantikan kebijakan norma penghitungan penghasilan neto wajib pajak orang pribadi harus melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dengan tarif final. Yang membedakan norma penghitungan penghasilan neto dengan kebijakan pajak final adalah wajib pajak dalam ketentuan ini. Kebijakan pajak final akan diterapkan bukan hanya kepada wajib pajak orang pribadi melainkan juga dengan wajib pajak badan dengan ketentuan-ketentuan yang memberikan batasan kepada peredaran usaha wajib pajak tidak boleh melebihi Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus rupiah). Kutipan wawancara yang dilakukan oleh Sari, 2012 kepada Bapak Budianto: “kita ada kebijakan lain yang bersinggungan dengan norma. Kan kalau Anda baca media massa kan ada pengenaan pajak UMKM, rame kan ya? kalau kebijakan UMKM itu jadi berjalan, norma ini sepertinya dalam tanda kutip kurang berguna. Jadi norma ini nanti digantikan dengan tanda kutip ya dengan kebijakan pajak untuk UMKM itu… rencananya sih nanti, pengenaan
59
PPh Final dari peredaran bruto. Begitu rencananya. Tapi memang belum jadi aturannya.” Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 menyebutkan bahwa penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: a. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi. b. Penghasilan berupa hadiah undian c. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivative yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura. d. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan. e. Penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah. Pada pasal 4 Ayat (2) penghasilan-penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat ini merupakan objek pajak. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan antara lain: -
Perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investtasi dan tabungan masyarakat
-
Kesederhanaan dalam pemungutan pajak
-
Berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak
-
Pemerataan dalam pengenaan pajaknya
60
-
Memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter
Jika di perhatikan lebih lanjut pemikiran ini sebenarnya dibutuhkan adanya suatu tata cara yang lebih sederhana dan dapat memberikan jaminan kepada penerimaan negara dan selain itu juga dapat memberikan keadilan kepada masyarakat atas pajak yang sudah di bayarkan kepada negara. Kebijakan pajak final juga memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihan yang dimiliki oleh kebijakan pajak final adalah aspek administratif yang sangat memudahkan wajib pajak. Dari segi administrative juga memberikan kelebihan pada wajib pajak, yaitu dengan memberikan kesederhanaan untuk penghitungan dan pemungutannya.yang di pakai dalam sistem pemungutan pajak di Indonesia, penghitungan dan penetapan pajak memang merupakan
hal yang harus di
perhatikan. Jadi, dapat membuat pajak tidak merasa rumit untuk membuat menghitung besarnya pajak yang terutang. Negara juga dapat menikmati keuntungan yang mengalir terus menerus ke dalam penerimaan pajak, sehingga dalam kebijakan pajak final adalah dasar pengeenaan pajak yang didasarkan dengan penghasilan bruto dan tidak dapat diperbolehkan untuk diakui dalam pengakuan biaya. Wajib pajak selalu dianggap mendapat keuntungan yang didapat dari kebijakan final.
61