BAB 4 HASIL DAN BAHASAN PENELITIAN
1.1
Objek Penelitian
1.1.1 Perusahaan (TRANS TV) PT Televisi Transformasi Indonesia (TRANS TV) terletak di Jl. Kapten P. Tendean Kav 12-14 A, Jakarta 12790. Pemilik Trans TV adalah Bapak Chairul Tanjung, dibawah naungan perusahaan PT Trans Corporation (TRANS CORP). Simbol atau Logo Perusahaan
Gambar 4.1 Logo TRANS TV Slogan Trans TV adalah “Milik Kita Bersama” Logo TRANS TV berbentuk Permata atau “Diamond” yang berarti mengekspresikan keindahan dan keabadian. Kilauan dan sinar permata tersebut mencerminkan kehidupan dan tradisi masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia. Visi TRANS TV adalah : 1. Menjadi stasiun televisi terbaik di Indonesia dan Asia Tenggara yang memberikan hasil positif kepada para pemangku kepentingan (Stakeholders). 2. Menyiarkan program-program unggulan.
83
84 3. Bertindak sesuai dengan nilai-nilai moral budaya yang diterima oleh para stakeholders dan rekan kerja. 4. Memberikan kontribusi yang berharga bagi peningkatan kesejahteraan sosial dan kecerdasan masyarakat. Misi TRANS TV adalah untuk mengelaborasi ide-ide dan aspirasi masyarakat untuk mendidik dan mensejahterakan bangsa Indonesia, memperkuat persatuan, dan mengembangkan nilai-nilai demokrasi. Target Audiens : SES (Status Ekonomi Sosial) : A, B, dan C 1. Kelompok A : pengeluaran rumah tangga sebesar Rp 3.000.001 ke atas per bulan. 2. Kelompok B : pengeluaran rumah tangga sebesar Rp 1.500.001 – Rp 2.000.000 per bulan. 3. Kelompok C : pengeluaran rumah tangga sebesar Rp 700.001 – Rp 1.500.001 per bulan. TRANS TV memperoleh izin siaran nasional pada bulan Oktober 1998 setelah melewati semua tes yang tepat oleh departemen pemerintah, dan mulai resmi siaran pada tanggal 15 Desember 2001. Mulai 22 Oktober 2001, secara teknis TRANS TV mulai merelai dan melakukan siaran selama beberapa jam dalam satu hari di beberapa kota : Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Pada 25 Oktober 2001, TRANS TV mulai mengudarakan Trans Tune-In dan menyiarkan upacara pembukaan peresmian Bandung Super Mall secara langsung dari Bandung, sambil memperluas cakupan area untuk kota Bandung. Pada 1 Desember 2001 Trans Tune-In berubah menjadi Transvaganza seiring dengan peningkatan waktu tayang TRANS TV. Selama fase ini, TRANS TV mulai menyiarkan film asing dan program non-drama, antara lain program kuis berjudul Tebak Harga. Kuis ini diadaptasi acara kuis berjudul The Price is Right, yang
85 mencapai ketenaran sejak tahun 1970-an dan sudah ditayangkan di 22 negara. Transvaganza disiarkan dari tanggal 1-14 Desember 2001 dan terdiri dari programprogram contoh TRANS TV yang dapat dinikmati masyarakat pada akhir pekan mulai dari 18 Desember 2001 sampai 28 Februari 2002. Perpanjangan waktu siaran secara bertahap memuncak pada tanggal 1 Maret 2002 ketika TRANS TV mulai siaran secara fulltime, 18 jam sehari dari Senin sampai Jumat dan 22 jam sehari dari hari Sabtu sampai Minggu. Banyak program yang diperkenalkan, antara lain Euro, Digoda, KD, Sinema Gemilang., Diva Dangdut, dan Dunia Lain. Sampai saat ini TV TRANS konsisten menghasilkan program-program inhouse dan menyiarkan image program yang "Trendsetter, Gaya hidup, dan Indonesian HBO", seperti Extravaganza, Ceriwis, Termehek-mehek dan Bioskop TRANS TV, yang membuat TRANS TV unik dan berbeda dari stasiun televisi lainnya.
1.1.2 Profil Umum Program Sexophone 1. Nama Program
: Sexophone
2. Stasiun Televisi
: TRANS TV
3. Tanggal Pertama Tayang : 5 Mei 2012 4. Pencetus
: Bapak Chairul Tanjung
5. Hari dan Jam Tayang
: Kamis, pukul 00.00 WIB
6. Host
: Chantal Della Conceta
7. Co Host
: Zoya Amirin
8. Target Audiens Jenis Kelamin
: Pria
86 Umur
: 21 tahun keatas (dewasa)
Pendidikan
: D3, S1
SES
: A dan B (menengah keatas)
9. Jenis Program
:
(Tapping
atau
siaran
tunda)
Magazine
and
Documentary, Berita Investigasi. 10. Format Program
: Terdiri dari 5 segmen, ada host yang membuka dan
menutup acara serta mengantar tiap segmen. Host akan mengantar ke liputanliputan investigasi, ada wawancara narasumber dengan psikolog seksual dan diakhiri dengan solusi dan kesimpulan dari psikolog. 11. Deskripsi Singkat Program: Sexophone adalah program dewasa tentang seks yang dibahas dengan format investigasi atau penelusuran. Menguak isu dan fenomena seks yang unik dan belum diketahui masyarakat sebelumnya. 12. Susunan Kru Sekarang
:
a. Kepala Departemen
: Rizal Firmansyah
b. Eksekutif Produser
: Yunizar D
c. Produser
: Irene Iriawati
d. Assisten Produser
: L. Erangga Raja
e. Reporter
: Ngesti Utomo, Rajiev W, Cep Hari
f. Campers
: M. Arief T, Daniel, Taufan E, Bara Maestro
g. Production Assistant
: Tiara Maharlika
h. Editor
: Muhammad Syamsudin
87 4.2
Gambaran Umum Informan Adapun beberapa informan yang diwawancarai oleh peneliti adalah sebagai
berikut : 1. MNH (Muhammad Noor Hidayat atau Mas Memet) sebagai Eksekutif Produser Sexophone. Informan adalah seorang pria berusia 44 tahun yang lahir di Pekalongan, 20 Oktober 1968. Informan merupakan lulusan S1 Psikologi di Universitas Gadjah Mada. Memulai karir di dunia broadcasting selama 4 tahun di RCTI, lalu pada tahun 2002 pindah ke TRANS TV dan menjadi Assisten Produser. Mulai Oktober 2002 sampai 2004 menjabat sebagai Produser (Trans Pagi, Jelang Siang, Fenomena). Dan menjadi Eksekutif Produser mulai tahun 2007 sampai sekarang.
Gambar 4.2 Peneliti bersama Informan MNH
2. NU (Ngesti Utomo atau Mas Tom) sebagai Reporter Sexophone. Informan adalah seorang pria berusia 30 tahun yang lahir di Cilacap, 16 November 1982. Informan merupakan lulusan S1 Ilmu Keolahragaan UPI Bandung. Memulai karir di TRANS TV pada 4 Mei 2006 sebagai Research Creative and Development. Menjadi Production Assistant dan RCD (Research Creative and
88 Development) pada tahun 2007, dan menjabat sebagai Reporter News Magazine and Documentary sejak tahun 2008 sampai sekarang.
Gambar 4.3 Peneliti bersama Informan NU
3. RR (Rezki Rangkuty atau Mas Rezki) sebagai Production Assistant Sexophone. Informan adalah pria berusia 29 tahun yang lahir di Padang, 15 Agustus 1983. Informan merupakan lulusan S1 Fakultas Peternakan di Universitas Andalas Padang. Sempat bekerja di Bank Danamon Padang setelah tamat kuliah selama 9 bulan. Lalu memulai karir di dunia broadcasting sejak tahun 2009 di TRANS TV menjabat sebagai Reporter dan Production Assistant, hingga sekarang menjadi Production Asssitant.
Gambar 4.4 Peneliti bersama Informan RR
89 4. DE (Dian Ekawati atau Mba Deka) sebagai Assisten Produser Sexophone. Informan adalah wanita berusia 28 tahun yang lahir di Ambon, 3 September 1984. Informan merupakan lulusan S1 Komunikasi di Universitas Gadjah Mada. Memulai karir di dunia broadcasting pada tahun 2004 sampai 2006 di Radio Swaragama Jogja. Dan bergabung di TRANS TV sejak tahun 2007 sampai 2012 sebagai Reporter, dan sekarang menjabat sebagai Asisten Produser.
Gambar 4.5 Peneliti bersama Informan DE
5. II (Irene Iriawati atau Mba Irene) sebagai Produser Sexophone. Informan adalah seorang jurnalis wanita. Memulai karir menjadi jurnalis media cetak dan radio, mendirikan sebuah NGO media bernama Lembaga Studi Pers dan Informasi tahun 1999, dan aktif sebagai pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Bekerja di TRANS TV sejak awal tahun 2006 di bagian Research and Creative Development selama 6 bulan. Setelah itu menjadi Asisten Produser, hingga sekarang menjabat posisi Produser program di Divisi News TRANS TV.
90
Gambar 4.6 Peneliti bersama Informan II
4.3
Ide Program Sexophone Sebelum masuk pada proses produksi, pembahasan dimulai dengan
menjelaskan tentang ide program Sexophone. Hal ini untuk mendapatkan pengenalan terlebih dahulu mengenai profil program Sexophone. Berikut ini adalah hasil penelitian tentang ide program Sexophone dan dikaitkan dengan teori-teori yang digunakan.
4.3.1 Sejarah Sexophone Program Sexophone dibuat pada tahun 2012 dan tayang perdana pada 5 Mei 2012. Awal mulanya, ide program ini dicetuskan oleh pemilik TRANS TV Bapak Chairul Tanjung. Ia menugasi Kepala Departemen News Magazine and Documentary yaitu Bapak Rizal F membuat program untuk Zoya Amirin seorang psikolog seks (seksolog). Program yang dibuat adalah program dengan format talkshow yaitu dialog tentang pendidikan seks yang disampaikan secara elegan dan ilmiah. Oleh karena itu, harus ada seorang pakar seks dan pembawa acara yang pintar. Akhirnya dipilihlah Chantal Della Concetta sebagai pembawa acara di program ini. Pemilihan
91 Zoya dan Chantal juga dilandasi karena keduanya memiliki situs pribadi di internet yang membahas tentang seks. “Pencetusnya dari magazine TRANS TV. Ee Mas Rizal, Mas Rizal itu ditugasi oleh atasan yang ga perlu disebut ya, untuk membuat program…tentang Zoya… Idenya sih sangat ringan, bikin tu Zoya untuk tampil di TV gitu… Akhirnya menuju pada format disitu ada band ya, dialog tentang pendidikan seks tapi disampaikan secara elegan tidak murahan, ngobrolnya harus ilmiah, harus seorang yang punya keahlian dan pakar di bidang seksologi. Dan penanyanya pun harus pandai ya. Ternyata Zoya sama Chantal ini emang klik mereka, karena punya program bareng di web…namanya In Bed With Zoya…” (MNH)
Gambar 4.7 Zoya Amirin (Sumber : Google)
Gambar 4.8 Chantal Della Conceta (Sumber : Google)
Format awal Sexophone adalah dialog antara narasumber, host, dan psikolog seks, dikelililngi oleh band dan penonton, yang disertai dengan interaksi antar semua pihak tersebut. Namun sayangnya, menghadirkan penonton menjadi hal yang sulit, interaksi antar semua pihak jarang terjadi, dan pembicaraan seksnya pun lamakelamaaan membosankan dan kurang menarik. Akhirnya format program ini diubah menjadi format program yang memiliki nilai berita lebih tinggi yaitu investigasi atau penelusuran. Jadi mereka duduk berdua ditengah-tengah pemain band, kalo bisa pemain band-nya tu muter, jadi mereka dikelilingi pemain band. Ada interaksi antara host sama pemain bass, keyboard, sama drummer ya disekitarnya itu ada penonton. Nah pada kenyataannya ternyata menghadirkan
92 penonton itu juga tidak mudah ya…Nah akhirnya jarang terjadi interaksi antara host dengan penonton. Nah kemudian mencoba menemukan bentuk yang baru ya diantaranya dibuat magazine. Magazine itu feature bentuknya penelusuran karena memang ada fenomena-fenomena yang ada disekitar kita yang hanya bisa ditelusuri lewat ya investigasi. Seperti kehidupan malam waria misalnya ya kita nyemplung kesitu, terus kehidupan yang plus-plus dan sebagainya. Ternyata yang investigasi itu malah menarik dan rating-nya bagus.” (MNH) Format ini dipilih karena terinspirasi dari program TRANS TV sebelumnya yang berjudul Fenomena. Program yang sangat sukses pada saat itu dan memiliki rating yang tinggi. Sexophone ingin menghidupkan kembali kejayaan program Fenomena yang memuat penelusuran dunia seks. Konsep investigasi ini juga di latar belakangi karena banyak fenomena-fenomena atau penyimpangan-penyimpangan seks yang ada disekitar masyarakat, yang tidak atau belum pernah diketahui masyarakat sebelumnya, dan hanya bisa ditelusuri secara investigasi. Ternyata, format investigasi justru menarik dan memiliki hasil rating share yang lebih bagus dibanding format talkshow sebelumnya. “…Jadi Sexophone ini yang saya tahu itu adalah terinspirasi dari program Fenomena...Nah makanya kan dulu-dulu banyak tuh magazine yang termasuk jurnalistik salah satunya Fenomena dulu tuh yang booming banget, dunia lain kayak gitu. Nah makanya sekarang juga pengen nimbulin lagi…Seiring berjalanya waktu, minat pasar, hasil rating dan share jadi sekarang mengarah ke bentuk investigasi penelusuran.” (NU)
4.3.2 Nama Sexophone Pemilihan kata Sexophone sebagai nama program adalah karena kata “Sexophone” diambil dari nama alat musik “Saxaphone”. Sesuai dengan format sebelumnya yaitu talkshow dan ada band. Lagu-lagu yang dimainkan oleh band adalah lagu Jazz. Alat musik Saxaphone identik dengan musik jazz. Lambanglambang musik jazz, huruf “J” pada kata jazz banyak ditulis dengan alat musik Saxaphone yang memang berbentuk seperti huruf J. Sexophone disini berkaitan dengan sex dan saxaphone.
93 “Oiya konsepnya mirip itu sih karena ada sex education sama musik, musiknya itu maunya jazz. Jazz itu kan identik sama Saxaphone ya, kalo kamu lihat lambang-lambang jazz itu huruf J nya selalu kadang-kadang ditulis pake Saxaphone. Nah jadi unik ya namanya Sexophone. Sex and Saxaphone.” (MNH) Sejalan dengan informan pertama, informan kedua menjelaskan bahwa ada kata sex dari kata Sexophone. Dan menambahkan bahwa musik Jazz identik dengan kegiatan bercinta, karena musik jazz sering dijadikan lagu latar untuk adegan romantis. “…Karena dulu tu identiknya ada penampilan penyanyi jazz dan menggunakan alat musik saxaphone, dan Saxaphone itu biasanya identik dengan kegiatan bercinta. Kalo misalkan dalam film-film aja suara saxaphone nya, jadi kalo misalkan lagi adegan di film-film romantis itu misalkan kalo lagi dikamar musiknya nananana musik jazz.” (NU) Nama atau judul program dibuat singkat agar mudah diingat dan menarik. Hal ini sejalan dengan pendapat Zettl (2009) bahwa membuat judul program harus singkat namun memorable atau mudah diingat.
4.3.3 Logo Sexophone Logo program Sexophone terdiri dari tulisan Sexophone, gambar alat musik saxaphone dan gambar wanita. Gambar-gambar tersebut menjadi logo karena alasan program ini adalah program seks yang erat kaitannya dengan wanita, dimana target audiens utama program ini adalah laki-laki, sehingga ada gambar wanita. Lalu gambar alat musik saxaphone menggambarkan musik jazz yang identik dengan kegiatan bercinta. Pemilihan warna ungu, merah, dan pink sebagai warna logo dikarenakan warna ungu, merah, dan pink melambangkan sosok wanita dan terlihat lebih elegan. “Ya itu penggabungan dua makna itu, yang satu musik talkshow diiringi sama musik, dan alat musik saxaphone itu identik dengan bercinta, dewasa, dan wanita…Lambang cinta... Selain pink itu kan ungu kan lebih elegan pasti.” (NU)
94
Gambar 4.9 Logo Sexophone
4.3.4 Target Audiens Target audiens adalah siapapun yang diinginkan paling utama menonton program acara (Zettl: 2009). Sexophone memiliki kategori target audiens utama yang dituju untuk menonton program. Target audiens Sexophone secara geografis adalah : 1. Sex : Pria 2. Umur : 21 tahun keatas (dewasa) 3. Pendidikan : D3, S1 4. Status Ekonomi Sosial : kelas A dan B (menengah keatas) Sementara secara psikografis adalah pria pecinta dunia malam dan senang dengan kehidupan hedonis yaitu kehidupan yang menyukai dan bertujuan untuk mendapatkan kebahagiaan atau kesenangan. “Iya utamanya cowo, male mature, umurnya ya mungkin sekitar 21 keatas…Kalo sosialnya sih maunya menengah keatas.” (MNH) “Kalo dari target audiens secara ekonomi pasti kalangan kelas A kelas B… dan lebih spesifiknya lagi yang sudah aa berpasangan suami istri. Kalo secara pendidikan pasti pendidikannya yang D3 S1 lah…Untuk semua laki-laki cowo-cowo pecinta dunia malam dan senang dengan kehidupan hedonis.” (NU)
95 4.3.5 Hari dan Jam Tayang Hari tayang Sexophone sebelumnya adalah setiap hari Kamis dan Jumat, namun perubahan format tayangan membuat program Sexophone hanya ditayangkan pada hari Kamis saja. Perubahan ini dikarenakan adanya kebijakan dari Divisi Programming TRANS TV. Selain itu karena format penelusuran (investigasi) lebih sulit dibanding format sebelumnya, proses pengerjaannya memakan waktu lebih lama dengan tingkat kesulitan dan resiko yang tinggi. Sebelumnya, hari Jumat dipilih dengan pertimbangan bahwa hari Jumat merupakan hari terakhir bekerja, maka audiens dianggap masih terjaga atau mampu bangun tengah malam untuk menonton Sexophone. Pemilihan jam tayang tengah malam karena Sexophone adalah program dewasa yang tidak boleh ditonton oleh anak-anak. Anak-anak biasanya dianggap sudah tidur pada jam tengah malam. “Karena pembicaraannya kan tidak boleh diakses anak remaja, ga boleh diakses sama anak-anak, jadi memang harus jam 12 keatas…tadinya Jumat aja. Memang hari itu dipilih karena diujung hari kan ketika orangorang uda cape kerja, pulang kerumah ingin rileks, bisa bangun malam karena besoknya hari libur kerja.” (MNH)
4.3.6 Host Host atau pembawa acara Sexophone adalah Chantal Della Conceta. Pemilihan Chantal sebagai host karena ia memenuhi kriteria-kriteria tertentu yaitu, ia adalah mantan seorang anchor yang memiliki pengetahuan dalam jurnalistik karena memiliki dasar news dibanding presenter lainnya. Yang kedua, Chantal dikenal sebagai wanita seksi yang sering berpenampilan seksi, dan memiliki beberapa tato ditubuhnya yang dianggap eksotis. Yang ketiga, Chantal memiliki situs yang membahas tentaang seks. Kriteria tersebut sangat cocok dengan program Sexophone yang membahas tentang fenomena seks, apalagi target audiens utamanya adalah laki-
96 laki. Sehingga pengetahuan tentang seks dan daya tarik seorang host yang cantik dan seksi akan semakin memperkuat pengemasan program. “Kalo Chantal itu punya beberapa kriteria. Satu dia mantan seorang anchor, otomatis dia tanda kutip lebih cerdas dibandingkan dengan presenter-presenter pada umumnya, dia kan punya basic news. Yang kedua Chantal ini sering hadir jadi sosok apa wanita seksi, kadang-kadang di majalah difoto apalagi dengan penambahan tato-tato dimana-mananya hehehe jadi keliatan seksinya. Cantik juga pasti.” (NU)
Gambar 4.10 Chantal ketika menjadi News Anchor (Sumber : Google)
4.3.7 Kategori Program News Program Sexophone masuk dalam kategori program news di TRANS TV karena : 1. Isi programnya memuat informasi-informasi seputar fenomena dunia seks yang berkembang secara nyata di masyarakat. Menurut Morissan (2008), Program informasi adalah segala jenis siaran yang tujuannya untuk memberikan tambahan pengetahuan (informasi) kepada khalayak audiens, memberikan banyak informasi untuk memenuhi rasa ingin tahu penonton terhadap suatu hal. Dalam hal ini, fenomena seks yang disajikan Sexophone memberikan banyak informasi baru yang memenuhi rasa ingin tahu penonton akan fenomena seks yang terselubung. “Ya itu, karena didalamnya memuat informasi-informasi kalo sekarang seputar fenomena dunia seks yang berkembang di masyarakat secara nyata.” (NU)
97
2. Sementara menurut Naratama (2004), program berita adalah format acara televisi yang diproduksi berdasarkan informasi dan fakta atas kejadian dan peristiwa yang berlangsung pada kehidupan masyarakat sehari-hari. Fenomena-fenomena seks yang disajikan Sexophone adalah berdasarkan fakta dan memang benar-benar ada dan terjadi dalam kehidupan masyarakat. 3. Menurut Spencer dalam News Writing, berita adalah suatu kenyataan atau ide yang benar yang dapat menarik perhatian sebagian besar pembaca. Menurut Morissan (2008), berita adalah informasi yang penting dan atau menarik bagi khalayak audiens. Sexophone merupakan program berita karena berisi informasi yang merupakan kenyataan dan benar yang penting dan menarik bagi audiens. Dikatakan menarik karena isi programnya adalah tentang seks. Seks itu sendiri adalah hal yang sangat menarik bagi manusia. Sumadiria mengemukakan 11 nilai berita, salah satunya adalah seks. Berita adalah seks. Seks adalah berita. Segala hal yang berkaitan dengan perempuan, pasti menarik dan menjadi sumber berita. Seks identik dengan perempuan dan sebaliknya. Tak ada berita tanpa perempuan, dan tak ada perempuan tanpa berita. Di berbagai belahan dunia, perempuan dengan segala aktifitasnya selalu layak muat, layak siar, dan layak tayang. Segala berita tentang perempuan dan seks selalu diminati, ditunggu-tunggu, bahkan dicari. Seks bisa menunjuk pada anatomi tubuh perempuan yang selalu menarik dan perilaku menyimpang yang dianggap sebagai kenikmatan. Sexophone sendiri mengungkap isu-isu penyimpangan seks yang terjadi. 4. Sexophone masuk dalam kategori berita soft news yang masuk dalam jenis magazine. Di TRANS TV, Sexophone masuk dalam Departemen Magazine and Documentary. Menurut Morissan (2008), magazine adalah program yang
98 menampilkan informasi ringan namun mendalam, yaitu feature dengan durasi yang lebih panjang. Durasi Sexophone adalah satu jam yang memuat penelusuran seks secara mendalam, ada liputan investigasi dan ada wawancara. 5. Sexophone masuk dalam jenis berita Advance News (mahir) yaitu investigative reporting. Menurut Rivers, Investigative reporting adalah berita yang memusatkan pada sejumlah masalah dan kontroversi. Para wartawan melakukan penyelidikan untuk memperoleh fakta yang tersembunyi demi tujuan. Fenomena-fenomena seks yang disajikan Sexophone merupakan masalah dan penyimpangan seks. Fenomena-fenomena tersebut adalah fakta tersembunyi dan belum diketahui sebelumnya yang diperoleh melalui penyelidikan (investigasi). Menurut Damayanti (2010), berita investigasi adalah berita yang mengandung peristiwa yang tak akan terungkap tanpa usaha si wartawan. Peristiwa-peristiwa yang ditayangkan Sexophone tidak akan terungkap tanpa usaha reporter yang sulit dan berbahaya. 6. Tayangan Sexophone diperoleh melalui langkah-langkah kerja jurnalistik yaitu dengan mencari, mengumpulkan, menulis, menyunting, hingga menyebarluaskan dan disertai dengan liputan-liputan atau paket-paket video, hingga menjadi sebuah tayangan lengkap. “…Gini, yang pertama kenapa masuk news sebenernya itu kan production type ya, ada band ada host, disitu kita menyelipkan liputan-liputan atau paket-paket video. Itu pengennya kita yang membuat dan mencari, jadi ada unsur news nya disitu. Lalu berubah menjadi investigasi ya benar-benar jadi news.” (MNH)
99 4.3.8 Batasan Etika Menurut Zettl (2009), tayangan media massa harus memenuhi standar etika yang berlaku dan juga nilai-nilai dan kepercayaan yang berlaku dalam masyarakat. Tidak boleh memberikan informasi yang palsu, berbohong, ditambah-tambahkan atau dikurang-kurangi demi keuntungan pihak tertentu kepada audiens, hal ini karena acara yang disiarkan mempengaruhi dan berkontribusi bagi kualitas hidup audiens. Program Sexophone berkaitan erat dengan etika penyiaran karena membahas tentang isu seks yang sangat sensitif di kalangan masyarakat. Apalagi program ini adalah program dewasa yang menampilkan gambar dan pembicaraan tentang seks. Oleh karena itu dari tim produksi Sexophone sendiri memiliki batasan-batasan etika untuk menjaga tayangan tetap pada jalur kaidah etika yang benar dan sesuai dengan nilai-nilai masyarakat. Tim Sexophone berupaya menghasilkan tayangan yang tetap sesuai etika yaitu tidak vulgar. Dengan upaya mem-blur wajah dan gambar-gambar yang vulgar, serta menyamarkan suara dengan mengubah suaranya menjadi lebih berat atau lebih tinggi. Selain itu, tayangan yang diberikan adalah tayangan yang benar dan bukan hasil rekayasa, tidak ada pembohongan publik, dimana fenomenafenomena seks yang ditayangakan memang benar-benar ada dan terjadi. “…kita menampilkan gambar pun harus sesuai kaidah KPI. Wajah diblur, suara disamarkan, gambar-gambar yang terlalu terbuka juga di-blur. Kemudian gambar-gambar yang seronok, itu sama sekali ga boleh... Batasannya sih ga vulgar aja.” (MNH)
Tayangan-tayangan Sexophone merupakan tayangan yang sensitif karena membahas tentang seks. Sehingga batasan etika dibutuhkan agar tim menjaga tayangannya dengan proses bluring dan titling, hal ini karena tayangan televisi yang berbau seks mampu menciptakan sikap seks. Menurut Wahyudianata (2007: 79), sikap seks adalah respon seksual yang diberikan oleh seseorang setelah melihat,
100 mendengar, atau membaca informasi dan pemberitaan serta gambar-gambar yang berbau porno, dalam wujud suatu orientasi atau kecenderungan dalam bertindak. Tim harus menjada jangan sampai tayangan program justru mendorong penonton untuk bertindak seks yang menyimpang.
4.3.9 Kelebihan Liputan Tertutup Program Sexophone merupakan jenis program berita investigasi. Karena fakta-fakta seks yang disajikan diperoleh dengan cara investigasi atau penyelidikan atau penelusuran. Menurut Santana, reportase investigasi merupakan sebuah kegiatan peliputan yang mencari, menemukan, dan menyampaikan fakta-fakta pelanggaran, kesalahan, atau kejahatan yang merugikan kepentingan umum atau masyarakat. Fokus yang diinvestigasi adalah hal-hal yang mengarah kepada sebuah problem atau masalah yang tampil ke permukaan. Isu-isu seks yang diangkat Sexophone diperoleh dengan jalan peliputan, pencarian, menemukan, hingga penyampaian fakta-fakta seks yang merupakan penyimpangan dan pelanggaran. Menurut David Spark, kegiatan reportase tertuju kepada penelusuran dan penemuan sesuatu yang dianggap tertutup. Kegiatan reportasenya terlibat dengan upaya yang berbahaya, dikarenakan oleh upaya menembus pengaturan yang sengaja ditutup-tutupi. Fenomena seks yang bisa dikatakan aneh dan unik karena belum pernah diketahui dan tidak diduga ada sebelumnya ditelusuri secara diam-diam oleh reporter Sexophone. Karena fenomena tersebut merupakan bentuk penyimpangan, sehingga ditutup-tutupi oleh para pelakunya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan informasi tersebut harus dengan jalan yang berbahaya karena harus diam-diam dan menyamar. Di Sexophone sendiri, ada dua jenis investigasi yaitu dengan liputan terbuka dan liputan tertutup :
101 1. Liputan terbuka adalah ketika objek yang diliput dan narasumber yang diwawancarai mengetahui bahwa pihak Sexophone ingin meliput dan wawancara. 2. Liputan tertutup adalah ketika objek dan narasumber tidak tahu sama sekali bahwa mereka diliput dan diwawancara. Reporter melakukan liputan secara rahasia dan tersembunyi. Namun liputan tertutup memiliki nilai berita yang lebih tinggi dibanding yang terbuka, karena memiliki tingkat objektifitas yang tinggi dimana lokasi, jawaban, keterangan, proses atau aktifitas dan aturan main objek yang diliput, tidak ada yang dimanipulasi, tapi sesuai dengan fakta dan apa adanya objek. Hal ini karena objek sama sekali tidak tahu sedang diliput, sehingga berlaku tetap sama seperti kebiasaannya. Sementara liputan terbuka, objek yang diliput bisa mengatur atau memanipulasi jawaban, proses, dan aktifitas mereka agar terlihat baik didepan kamera. Dengan begitu, data yang diperoleh tidak sepenuhnya akurat. Hal ini sesuai dengan penjelasan dari NU selaku reporter Sexophone. “Investigasi tertutup nilai beritanya lebih kuat karena investigasi tertutup dilakukan secara rahasia, tersembunyi dengan tingkat objektifitas yang sangat tinggi. Karena objek yang akan kita atau target yang akan kita ungkap yang akan kita datengin sama sekali ga kita kasih tau jadi sesuai dengan apa adanya mereka. Dari lokasi, dari jawaban, dari keterangan, dari proses atau aturan main mereka, ga ada yang sama sekali di manipulasi...” (NU)
4.3.10 Strategi Promo Sebuah program televisi juga memerlukan promosi agar ditonton masyarakat untuk meningkatkan rating dan share. Herbert Zettl (2009) menjelaskan tentang Publisitas dan Promosi bagi program acara. Menurut Zettl, acara yang bagus tetap tidak akan menjadi sukses jika tidak ada yang mengetahui acara tersebut. Untuk itu butuh promosi terhadap acara yang sudah diproduksi, dan ini adalah tugas
102 departemen publisitas dan promosi dalam sebuah perusahaan media atau stasiun televisi. Untuk Sexophone, promosi program teridir dari dua promo yaitu : 1. Promo off air yang dilakukan adalah dengan mengiklankan program di majalah Male (Mata Lelaki) dan di program Male (Mata Lelaki) di Trans 7. Selain itu juga melalui jejaring sosial seperti facebook dan twitter, serta broadcast message melalui BBM. 2. Promo on air di TRANS TV adalah dengan membuat running text (teks berjalan) sebelum program tayang dan biasanya ditayangkan di program sebelum Sexophone yaitu Bioskop TRANS TV. Running text bertujuan untuk menginformasikan dan mengingatkan penonton tentang jam tayang Sexophone yang akan segera ditayangkan. Promo on air juga dilakukan dalam bentuk mengiklankan program Sexophone di TRANS TV. Promosi ini dilakukan selain untuk menarik audiens untuk menonton, juga untuk mengingatkan audiens yang sudah biasa menonton untuk tidak lupa menonton Sexophone. Biasanya di twitter atau di facebook, akan ditulis status yang berisi promosi episode Sexophone yang akan tayang. “Ada, ke Male doank. Terus lewat jejaring sosial, terus kadang-kadang broadcast, terus promo on-air sudah ada di tv. Tapi selama ini penelusuran jarang pake off-air.” (NU)
Gambar 4.11 Promo Sexophone di twitter (Sumber : Social Media Twitter)
103
Gambar 4.12 Facebook Sexophone (Sumber : Social Media Facebook)
Gambar 4.13 Twitter Sexophone (Sumber : Social Media Twitter)
4.3.11 Respon Penonton Selama program Sexophone berjalan, respon penonton tergolong cukup bagus setelah formatnya diubah menjadi penelusuran. Respon yang bagus dilihat dari rating program ini yang berkisar antara 10 sampai 14 %. Rating dan share nya fluktuatif, namun tetap stabil, tidak sampai jatuh dibawah. Berdasarkan keterangan dari NU, dapat disimpulkan bahwa rata-rata rating Sexophone adalah 12 %. “Kalo average bisa dilihat sih di RCD yah. Kalo aku pikir sih dalam memenuhi ini yah, memenuhi target kan 12 yah, 12% perbulannya itu. Kalo menurut kita bulan ini aja 14%, berarti melebihi, fluktuatif ada yang drop tapi setelah penelusuran ini tidak terlalu drop lebih relaitf stabil lah.” (NU)
104 4.3.12 Tujuan atau Pesan Utama Zettl (2009) menjelaskan bahwa tujuan program adalah mendeskripsikan apa yang ingin dicapai dari program acara bagi audiens. Tujuan utama atau yang ingin dicapai program Sexophone bagi audiens adalah untuk menginformasi fenomenafenomena seks yang terjadi disekitar yang belum diketahui masyarakat. “…Bahwa yang sekarang bergeser ke investigasi sih menurut saya penasaran bahwa dunia malam itu disekitar kita itu sangat hedonis ya sangat luar biasa… Iya informasi, ini sekedar menginformasi.” (MNH) Untuk menjelaskan dan membuka isu-isu seks yang selama ini tersembunyi. Selain itu juga untuk membuka sikap dan pikiran penonton untuk waspada terhadap fenomena seks dan dunia malam yang mungkin saja dekat dengan penonton. Fungsi media massa salah satunya adalah untuk memberi informasi. Menurut Nurudin (2009), media massa memberikan informasi yang luas kepada khalayak, khususnya informasi berita yang penting bagi masyarakat. Informasi yang diberikan harus benar, akurat, dan sesuai fakta. Fakta yang dimaksud adalah kejadian yang benarbenar terjadi di masyarakat. Tayangan-tayangan Sexophone dibuat sedemikian rupa dengan tujuan untuk memberi informasi kepada masyarakat tentang kejadian atau isu seks yang benar, akurat, dan sesuai fakta. “Untuk menjelaskan, untuk membuka … pikiran permirsa, untuk membuka sikap permirsa sebenernya ingin menunjukan fenomena seperti ini ada loh sebenernya di sekitar kita. Nggak jauh-jauh siapa tau orang terdekat anda justru masuk kelingkaran fenomena seperti ini gitu…bisa jadi kalau misalkan orangnya bijak nontonnya bukan ngandalin nafsu bisa menjadi mawas diri yah, lebih waspada sih.” (NU)
Selain itu, program ini juga memberikan edukasi seputar seks dengan adanya solusi yang diberikan oleh pakar seks Zoya Amirin. Solusi yang diberikan biasanya adalah solusi untuk menghadapi fenomena-fenomena seks dan solusi untuk suami istri.
105 4.3.13 Kendala atau Tantangan Program Setiap program acara televisi memiliki kendala dan tantangan masingmasing. Begitu juga dengan program Sexophone. Kendalanya adalah seperti : 1. Tidak berhasil menemukan dan menembus narasumber, sehingga harus mengganti topik, akibatnya waktu tayang jadi molor atau terlambat. “Kendala nya ya kalo ga nembus narasumber aja. Kalo ga dapet narasumber ganti topik, ulang liputan lagi. Yang harusnya tayang minggu ini ga dapet. Ya susahnya itu.” (MNH)
2. Sulitnya untuk tetap kreatif mengembangkan tema dan sudut pandang dari satu fenomena. Fenomena seks sebenarnya jika diteliti hanya berkisar disitu-situ saja, sehingga hal ini menjadi kendala tersendiri dan tantangan bagi tim Sexophone untuk terus bisa menemukan fenomena yang unik, serta mampu mengembangkan berbagai sudut pandang dari tema tersebut. 3. Proses pengerjaan yang cukup lama. Untuk menghasilkan sebuah tayangan satu episode butuh waktu sampai 14 hari. Pengerjaannya tidak bisa diburu-buru karena merupakan investigasi yang tidak bisa ditebak dan diprediksi bagaimana prosesnya. Bisa saja seharusnya liputan 3 hari tapi malah menjadi 6 hari karena ternyata objek yang diliput tidak sesuai dengan standar. 4. Di lapangan sendiri, ketika penelusuran memiliki banyak tantangan dan resiko. Tantangan untuk tetap bisa berakting, berkilah, menyamar jangan sampai ketahuan, resiko keselamatan jika ketahuan, dan resiko mendapatkan tuntutan dari berbagai pihak seperti KPI dan narasumber atau objek yang diliput itu sendiri. “Kendala program…fenomena seks emang banyak tapi kalo misalkan digali secara terus menerus pasti abis. Kita paling pengembangan tema pengembangan sudut pandang dalam satu fenomena. Terus kalo yang tantangan itu memang susah pengerjaannya ya, lama, ngga bisa diburu-
106 buru.. Terus…apa tadi tema terbatas, proses pengerjaannya lama, penuh tantangan resiko kalo dilapangan.” (NU)
4.4
Proses Pra Produksi Program Sexophone Berikut ini adalah hasil penelitian tentang proses pra produksi Sexophone dan
dikaitkan dengan teori-teori yang digunakan. 4.4.1 Proses Pra Produksi Secara Umum Proses pra produksi merupakan proses persiapan sebelum melakukan produksi atau shooting. Segala perencanaan dan persiapan untuk liputan dan tapping Sexophone adalah tahap pra produksi. Hal ini sesuai dengan pendapat Zettl (2009) bahwa, pra produksi adalah proses yang mencakup segala persiapan dan aktifitas sebelum kita benar-benar masuk dalam studio atau lapangan untuk produksi. Selain itu juga, proses pra produksi sesuai dengan pendapat George R. Terry tentang dua fungsi manajemen pertama yaitu Planning dan Organizing. Planning adalah proses perencanaan dan persiapan untuk menentukan tujuan dan apa yang akan dilakukan, dalam hal ini adalah persiapan dan perencanaan untuk produksi prgram Sexophone dengan merencanakan hal-hal yang akan dilakukan untuk produksi seperti untuk liputan dan tapping Host, serta mempersiapkan segala yang dibutuhkan untuk proses produksi. Sementara orginizing adalah kegiatan mengatur, mengorganisasikan, mengarahkan, dan membagi tugas-tugas. Dalam hal ini, proses organizing adalah proses pembagian tugas dan pengarahan yaitu untuk tim liputan melakukan investigasi, dan untuk seluruh kru yang akan bertugas untuk tapping Host. Proses Pra Produksi Sexophone dibagi menjadi dua yaitu untuk liputan dan untuk tapping. Berdasarkan penjelasan dari keempat informan yaitu DE, NU, II, dan RR, dapat disimpulkan bahwa proses pra produksi Sexophone secara umum ialah :
107 1. Liputan Untuk liputan, yang pertama kali dilakukan adalah melakukan rapat pra produksi. Di rapat ini ada diskusi-diskusi seluruh tim Sexophone untuk menentukan tema yang mau diangkat. Tema bisa sudah ada dari reporter yang sudah mencari, namun jika belum ada maka semua tim akan brainstorming mencari ide tema atau isu seks yang paling pas dan menarik untuk Sexophone. Dalam rapat ini juga langsung ditentukan siapa narasumbernya, tim liputan yang mengerjakan, peralatan yang dibutuhkan untuk liputan, juga menentukan liputan yang dilakukan adalah liputan terbuka atau tertutup. “…Liputan itu yang pertama harus ditentukan adalah tema. Jadi tu kita biasanya ada rapat tu, rapat bisa mingguan bisa dua minggu sekali. Nah itu kita sekaligus brainstorming kira-kira tema apa sih yang mau kita angkat. Kira-kira narasumbernya siapa aja, ada ga narasumbernya gitu. Terus siapa yang akan liputan gitu, ehmm itu harus nentuin juga orang yang pas buat tema ini siapa gitu. Harus nyesuain juga tim liputannya…” (DE) Jika liputan terbuka maka prosesnya adalah menghubungi narasumber, menentukan jadwal liputan (hari dan jam), dan menentukan tempat untuk liputan dengan narasumber. “… Oya ada satu pertanyaan penting di pembahasaan tema itu, ini kita lakukan pure investigasi atau sudah ada narasumbernya. Otomatis pasti beda ke flow kerja kita ke liputan kita. Kalo yang sudah ada narasumber atau yang terbuka kita gampang nentuin jadwal liputannya, kita tinggal telepon Mba besok kita liputan arisan berondongnya jam segini ya di karaoke mana di kafe mana atau dirumah siapa, itu kita gampang terencana tu itu keuntungannya…” (NU)
Jika liputan tertutup maka prosesnya tidak bisa diprediksi karena tim tidak bisa mengatur bagaimana proses liputan nanti yang dilakukan secara diam-diam. Tim hanya menyiapkan data-data seputar narasumber dan lokasi sasaran, hanya memiliki prediksi tentang objek dan lokasi tersebut.
108 Tapi kalo yang tertutup sama kayak waktu yang wisata seks, misalkan di beberapa tempat wisata pada nanya tu temen-temen, ini gimana narasumbernya uda ada belum, trus kita ngeliputnya apa aja disana ga tau. Kita hanya punya prediksi, kita hanya punya wawasan, kita hanya punya literatur bahwa disitu ada ini. Kita kesana buktiin…gitu kan, trus narsum nya gimana, ya mau dua hari tiga hari kalo belum dapet ya disitu aja terus gitu kan.” (NU)
Setelah menentukan liputan terbuka atau tertutup, maka proses selanjutnya adalah reporter melakukan riset akan tema yang sudah disepakati bersama. Riset yang dilakukan bisa riset di lapangan langsung datang ke lokasi objek yang dituju untuk menilai situasi dan kondisi. Dan riset dokumen dengan mencari data dan informasi seputar objek sasaran. “…Nah jadi dari perencanaan liputan, dari perencanaan liputan itu biasanya dilakukan oleh seorang reporter. Dia akan riset, riset itu dapet dari mana, riset itu dari riset dokumen, riset lapangan, ataupun pengembangan dari keduanya. Misalnya dari Google internet ada, abis itu dia riset lapangan, baru melakukan liputan…” (II)
Hasil riset yang dilakukan akan menghasilkan sebuah hipotesa atau prediksi tentang objek yang akan diliput. Misalnya, hipotesa awalnya adalah di lokasi A ada pemandu lagu plus-plus yang juga melayani tarian telanjang. Hipotesa tersebut akan dibuktikan dengan penelusuran, apakah benar di lokasi A ada pemandu lagu plusplus yang juga menari telanjang. Setelah semua data terkumpul, maka reporter akan membuat draft rundown yang terdiri dari 5 segmen disertai opening dan closing. Rundown tersebut sudah menggambarkan perkiraan tayangan, menentukan gambargambar yang akan diambil dari segmen satu sampai segmen lima secara lengkap. “…Jadi kita berpikir tu kira-kira tema ini kuat ga ya untuk 5 segmen, trus kita lihat kita lebarin kesini, kita gali dalemin lagi kesini. Nah setelah itu kita buat semacam draft rencana rundown… Kita buat ya segmen satu gini, opening nya seperti ini diisi gambarnya apa aja segmen dua dan seterusnya sampe closing seperti apa…” (NU)
109 Setelah rundown selesai, maka reporter akan melakukan pitching atau mempresentasikan rundown tersebut dan breakdown rundown secara detail kepada Produser dan Asisten Produser atau bisa juga ke seluruh tim. Setelah disetujui baik dengan dan tanpa masukan atau perubahan dari Produser, asprod maupun seluruh tim, maka dari situ akan dipresentasikan kepada atasan yaitu Eksekutif Produser dan Kepala Departemen Magazine and Documentary. Setelah disetujui oleh atasan baik dengan dan tanpa masukan atau perubahan, maka langsung dieksekusi. “…Riset-riset ini namanya hipotesa, hipotesa awal muncul sebuah namanya draft rundown, itu harus di pitchingkan pertama ke Produser dan asisten Produser… Pitching tu artinya dipresentasikan…” (II) “…Nanti kita persentasiin ke Produser, kalo Produser oke kita persentasiin ke Eksekutif Produser sampai ke Kepala Departemen…” (RR)
2. Tapping Untuk tapping Chantal sebagai host, proses pertama adalah konfirmasi jadwal dengan Chantal untuk shooting, setelah jadwal shooting sudah ditetapkan maka selanjutnya adalah mencari lokasi yang tepat untuk shooting. Setelah itu melakukan survei ke lokasi tersebut, menentukan peralatan yang dibutuhkan seperti kamera EX3 dan kamera porta, menentukan lighting yang digunakan, menentukan segala peralatan dan properti yang dibutuhkan untuk shooting, memilih wardrobe atau baju yang digunakan host untuk shooting, dan menentukan tim atau kru untuk shooting. Pada tahap pra produksi ini, segala persiapan harus dilakukan secara detail dan rinci agar tidak menghambat proses produksi atau shooting yang akan dilakukan. “…Kalo tapping itu pertama schedule host nya dulu Chantal, jadwalnya Chantal. Terus uda gitu survei dulu ke lokasi kira-kira lokasi yang cocok sama program kita apa gitu. Terus, karna kita pake apa kamera ini kan aa kayak porta jib gitu, harus cari lokasi yang agak tinggi juga. Nah setelah itu baru…persiapan-persiapan kayak peralatan, lighting nya siapa, terus propertinya, terus wardrobe, make up artis kayak gitu sih kalo tapping ya…” (DE)
110 Untuk tapping Zoya, persiapan yang dilakukan adalah membuat guidance atau panduan untuk melakukan wawancara kepada narasumber. Panduan tersebut dipersiapkan sebelumnya, berisi data dan informasi lengkap tentang narasumber dan tentang tema atau isu seks yang diangkat. Tapping Zoya selalu menempel dengan liputan, misalnya 6 hari liputan di Semarang, maka dari 6 hari tersebut ada satu hari Zoya datang ke Semarang untuk mewawancarai narasumber. “…Kalo Zoya, jadi Zoya itu ada dalam selama proses liputan. Jadi misalnya liputan ke Semarang soal lidah sakti misalnya, liputannya itu kan biasanya waktunya 5 sampe aa 6 hari, nah nanti kita atur schedule nya Zoya, kira-kira dia bisa dateng di hari ke berapa, misalnya hari kedua atau hari ketiga atau hari keempat dia dateng ke Semarang sehari untuk wawancara narasumber kita.” (DE)
4.4.2 Rapat Pra Produksi Ada banyak hal yang dibicarakan dan dilakukan pada saat rapat pra produksi, yaitu : 1. Yang pertama adalah konsolidasi untuk evaluasi hasil tayang Sexophone sebelumnya. Melakukan evaluasi berdasarkan hasil rating dan share, mencari kekurangan dan kendala program dan apa yang harus diperbaiki untuk episode berikutnya. Jika hasil rating rendah maka harus dicari apa penyebabnya, dan jika rating tinggi juga harus diketahui apa yang menyebabkan rating tinggi. “…Rapat itu isinya macem-macem, pertama konsolidasi, konsolidasi itu untuk mengumpulkan jadi biasanya aku tanya ini kemaren kendalanya apa, semuanya pada cerita.” (II) “Kalo rapat pertama kita scheduling, scheduling kira-kira minggu ini kita mau ngapain ni, terus review yang kemaren tu aa share nya berapa, apa kelemahannya, apa yang harus diperbaiki. Itu kayak evaluasi. Review dan evaluasi lah. Terus scheduling sama nentuin tema yang mau digarap apa lagi. Gitu sih paling, sama tapping, misalnya tapping mau kapan nih temanya apa yang mau diangkat sama liputan yang uda jadi apa yang mau di tapping in.” (DE)
111
Gambar 4.14 Pintu ruang kaca rapat Sexophone
Gambar 4.15 Rapat mingguan yang dilakukan tim Sexophone
2. Menurut Fachruddin (2012), rapat redaksi berita atau production meeting biasanya diadakan untuk membicarakan atau membahas informasi yang masuk sebagai bahan berita liputan : mendata dan membahas seluruh informasi berita yang masuk ke ruang produksi, membicarakan nilai berita yang akan diliput, dan menentukan jenis-jenis berita yang akan diliput. Di Sexophone sendiri, setelah review evaluasi selesai, maka selanjutnya adalah membicarakan tema. Yang artinya adalah mencari dan menentukan jenis tema seks yang merupakan berita yang akan diliput. Jika reporter sudah memiliki tema, maka reporter akan langsung melakukan pitching atau presentasi tema ke Produser, Asprod, semua tim sampai ke Eksekutif
112 Produser dan Kepala Departemen. Reporter melakukan presentasi dari draft rundown yang sudah dibuat berdasarkan riset yang sudah dilakukan sebelumnya. 3. Namun jika belum ada ide tema, maka biasanya seluruh tim akan brainstorming mencari bersama-sama ide tema yang bisa diangkat, setelah itu baru reporter membuat draft rundown-nya dan dipresentasikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Zettl (2009) bahwa proses pra produksi diawali dengan perencanaan yang salah satunya adalah ide program. Ide program ditentukan dengan memperluas ide dengan melakukan brainstorming yang bisa dilakukan secara kelompok oleh beberapa orang. Presentasi atau pitching ini bertujuan untuk menjelaskan apa saja yang mau dibahas selama 5 segmen, apa saja gambar-gambar dalam 5 segmen tersebut, apa saja alat-alat yang digunakan untuk meliput tema tersebut, dan apa saja yang dilakukan tim liputan. Biasanya reporter akan membagikan draft rundown dan mempresentasikannya untuk mendapatkan kritik dan masukan untuk perubahanperubahan. Hasil dari presentasi ini menghasilkan keputusan disetujui atau tidak disetujui. Jika disetujui maka akan langsung melakukan liputan, namun bila tidak disetujui maka reporter akan membuat ulang draft rundown atau bahkan mengganti tema. “Bicarain tentang tema, tentang kerjaan kita seperti apa, dan pasti proses kreatifnya seperti apa… Biasanya dilontarkan oleh si reporter jadi semacam persentasi dulu. Bahwa gua punya tema ini nih, saya kasihin draft atau rencana rundown dibagiin ke semua anggota rapat. Aku bagiin dibaca dulu, aku persentasi, gimana ada masukan atau gimana.” (NU)
113
Gambar 4.16 Reporter sedang melakukan pitching rundown
4.4.3 Strategi Pemilihan Tema Strategi pemilihan tema untuk setiap episode Sexophone adalah dengan memilih tema-tema tertentu yang sesuai dengan kriteria program Sexophone. Tematema yang dicari adalah : 1. Tema yang orisinil yaitu tema yang belum pernah diketahui oleh masyarakat sebelumnya, yang tidak pernah diduga tapi ternyata benar-benar ada terjadi. Fenomena seks yang tidak pernah didengar dan dilihat namun sebenarnya ada. Contohnya adalah episode tematik seks, ada sebuah tempat yang tersembunyi di Jakarta yang belum banyak diketahui orang. Tempat tersebut menyajikan layanan seks bertema seperti berbentuk penjara, rumah sakit, sekolah dan lain-lain. Perempuan-perempuan disana akan berperan sesuai dengan tema yang dipilih konsumen. Jika sekolah, maka perempuan tersebut akan berperan menjadi guru dan konsumen adalah muridnya. Strategi tim untuk pemilihan tema adalah mampu menangkap fenomena-fenomena tersebut yang belum diketahui masyarakat. “…sebenernya pengen nyarinya yang orisinil, karna kalo orisinil itu orang pasti akan apa sih lebih tertarik…Iya,yang ga pernah diketahui, nah itu biasanya pake itu buka mata, buka telinga, jadi kita itu informasi bisa dari mana aja kan… terus…seksi aja kali ya dibahas.” (NU)
114 2. Yang kedua, tema yang dipilih adalah tema yang seksi atau menarik untuk dibahas. Tema tersebut adalah tema yang unik dan tidak biasa, misalnya tema tentang pekerja seks komersial di hotel adalah hal biasa, tapi tema tentang pekerja seks komersial yang melayani konsumennya didalam mobil mewah dan mengitari kota Jakarta adalah hal yang tidak biasa. Serta menghindari tema-tema yang sensitif seperti soal waria yang masih dianggap sensitif. “Tema itu juga dipilih berdasarkan…apa namanya cukup seksi ga sih, seksi tu dalam artian menarik ga sih buat pemirsa gitu. Terus sensitif ga sih, kita akan menghindari tema-tema yang sensitif misalnya soal waria itu kita masih menganggap itu terlalu sensitif...” (DE)
3. Yang ketiga adalah tema yang menarik yang lebih ke arah kalangan menengah ke atas, karena target audiens utama Sexophone adalah kalangan menengah keatas. Fenomena seks yang terjadi ada di dunia malam yang identik dengan dunia hiburan yang jelas membutuhkan banyak uang. Praktek-praktek penyimpangan seks yang ada biasanya memiliki konsumen yang berasal dari kalangan menengah keatas yang memiliki uang sehingga mampu membayar layanan seks plus-plus. “…Kita cari yang menarik, yang paling menarik yang mungkin… Kalo tema itu sih sebenernya bisa kita angkat semuanya, cuma kita memang tidak mencari yang agak dibawah, lebih menengah ke atas.” (RR) 4. Yang keempat adalah tema yang cukup untuk tayangan satu jam. 5. Yang kelima adalah uniqueness atau unik, yang berbeda dari yang lain dan yang langka atau jarang ditemui. 6. Yang keenam adalah tema yang sedang nge trend atau hangat diperbincangkan. 7. Yang ketujuh adalah tema yang memiliki unsur proximity atau kedekatan dengan masyarakat khususnya yang menjadi target audiens utama. Target audiens
115 utama Sexophone adalah laki-laki yang sebagian besar berdomisili di Jakarta dan memang praktek seks sebagian besar ada di kota metropolitan Jakarta. Secara geografis, tempat-tempat praktek seks tersebut memiliki kedekatan dengan audiens di Jakarta. “...yang pertama uniqueness, itu unik. Yang kedua apa ya langka gitu ya, terus yang ketiga lagi ngetrend…Terus yang keempat lagi…ngetrend sama isunya lagi hangat sama juga kali ya, atau mungkin proximity atau kedekatan gitu.” (II)
4.4.4 Sumber Tema Paul Williams menjelaskan 11 langkah proses melakukan investigasi dan salah satunya adalah conception. Conception adalah mencari berbagai ide/gagasan yang merupakan proses yang unending, tak pernah henti atau usai dicari. Berbagai ide atau gagasan bisa didapat melalui saran seseorang, narasumber reguler yaitu orang-orang yang telah menjadi rekanan terdekat atau komunitas sosial yang telah terjalin hubungannya, yakni orang-orang yang mengetahui sesuatu yang tidak diketahui banyak orang, membaca (koran, majalah, buku, internet), menonton televisi, mendengar radio, memanfaatkan potongan berita, atau observasi langsung. Ide-ide tema Sexophone diperoleh dari berbagai sumber yaitu : 1. Dari pengalaman pribadi tim atau kru. 2. Dari pengalaman dan cerita-cerita teman-teman yang dimiliki tim. Atau bisa disebut berasal dari saran orang lain. 3. Dari dunia maya internet. Biasanya dari situs-situs tertentu, dari jejaring sosial seperti Twitter dan Facebook. Ide diperoleh dari membaca dokumen-dokumen yang ada. “Kalo saya kebanyakan dari saya sendiri, dari pengalaman dunia malam, kita ungkap lagi. oh dulu tu gua pernah one night stand. Kalo ga pengalaman sendiri pengalaman cerita-cerita dari temen, terus juga yang
116 lebih ke kalo saya tuh jarang dari internet, biasanya ambil tema besarnya apa nih, baru cari di internet.” (NU)
4. Dari brainstorming seluruh kru. 5. Permintaan dari atasan. Kadang dari atasan juga memberikan ide dan permintaan untuk mengangkat sebuah tema. 6. Dari link yang disebut sebagai fixer, yaitu informan atau perantara di lapangan yang
memberikan
informasi-informasi
seputar
tempat-tempat
praktek
penyimpangan seks. Fixer disebut juga narasumber reguler yang mengetahui banyak informasi yang tidka diketahui orang lain. Tim harus menjalin hubungan yang baik dengan fixer. “Dari brainstorming temen-temen juga sih, atau kadang-kadang juga permintaan atasan juga bisa, tapi itu jarang banget. Kadang munculnya dari temen-temen reporter sendiri… Kalo searching bisa, baca-baca bisa, atau karna kan temen-temen tu biasanya uda punya link gitu kan, punya fixer disini kita nyebutnya perantara gitu informan lah… link ke orangorang dunia malam itu tu penting banget, karna justru dari mereka lah kadang-kadang.” (DE)
7. Dari reporter itu sendiri, dari riset lapangan dan riset dokumen yang dilakukan reporter. Ide tema juga bisa berasal dari observasi langsung tim yang terjun langsung ke lapangan. “Dari setiap reporter ada, dari setiap kru semuanya mengajukan…” (RR) “Nah kalo temanya munculnya dari beragam, bisa dari riset tadi ya tak ulang ya, riset dokumen apa riset lapangan, terus abis itu dari reporter sendiri dari cameraman, terus dari fixer atau dari entah berantah apapun itu muncul dari manapun.” (II)
117 4.4.5 Strategi Menemukan dan Menembus Narasumber Strategi untuk menemukan dan menembus narasumber Sexophone dibagi menjadi dua yaitu : 1. Terbuka Untuk wawancara terbuka, strategi tim untuk menemukan dan menembus narasumber adalah dengan melakukan negosiasi yang baik, memberi kepercayaan, komunikasi yang baik, dan memberikan bayaran yang setimpal. “Kalo yang terbuka gampang, kita ngasi kepercayaan negosiasi, kita komunikasi yang baik dan kita ngasi ee bayaran yang setimpal kalo bisa berlipat bayarannya…” (NU)
Selain itu menurut Informan ke 4 (DE), cara yang tepat adalah dengan memiliki fixer atau informan perantara yang mengantar dan memperkenalkan tim kepada narasumber. Selain itu juga bernegosiasi dengan baik, misalnya narasumber adalah pemandu lagu plus-plus, maka tim membuat kesepakatan yang win-win solution yaitu kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak. Tim liputan diijinkan meliput narasumber si pemandu lagu plus-plus tanpa diketahui konsumennya, si pemandu lagu juga mengetahui bahwa tim berasal dari TRANS TV. “…Kalo terbuka, itu kita punya fixer, fixer ini yang akan memperkenalkan kita ke narasumber, oke narasumber tau, narasumbernya misalnya pemandu lagu plus-plus. Kita dapet informasi eh disana ada nih pemandu lagu plus-plus, dikenalin lah kan sama tim liputan. Pemandu lagu plusplus ini tahu kita dari TRANS TV, tapi konsumennya kan ga tau. Nah dengan deal yang win-win solution akhirnya yaudah kita bisa candid itu kan si PL plus-plus yang lagi lagi apa transaksi sama konsumennya gitu.” (DE)
Menurut informan kelima (II), strategi untuk menembus narasumber untuk wawancara terbuka adalah dengan menguasai materi liputan sehingga bisa memposisikan diri sejajar dengan narasumber, tidak lebih tinggi dan tidak lebih
118 rendah, serta menggunakan bahasa-bahasa bertutur yang efektif untuk mewawancarai narasumber. “…Kalo ngomongin yang sifatnya terbuka, ada yang namanya teknik menembus narasumber. Yang pertama kita harus menguasai materi itu yang paling penting, modalnya adalah intelektual, ketika kamu menguasai materi kamu akan sejajar dengan narasumber, jangan terlalu rendah jangan terlalu tinggi. Bahasa bertutur bertanya kepada narasumber itu harus menggunakan bahasa-bahasa yang sifatnya efektif.” (II)
2. Tertutup Untuk wawancara tertutup, ada beberapa strategi untuk menemukan dan menembus narasumber. Menurut informan kedua (NU) strateginya adalah dengan membangun hubungan dan kepercayaan dengan orang-orang yang ditemui tim liputan ketika berada di sekitar lokasi target. Melakukan pendekatan dengan orangorang disekitar lokasi untuk bertanya-tanya dan mendapatkan informasi, dan mungkin bisa sampai mengantarkan tim masuk ke lokasi. Contohnya melakukan pendekatan kepada tukang ojek, mengikuti perilaku kebiasaan dan hal yang disukai mereka seperti membelikan rokok dan ikut merokok bersama sambil bertanya-tanya. Harus pintar menjaga mimik wajah, gesture atau bahasa tubuh sehingga tidak terlihat kaku, mampu berkilah dan meyakinkan orang. “…Kalo yang tertutup, keberanian pertama, insting, intuisi, dan bisa apa ya ini ni target sebenernya kita disini ya kita tu belum tau ini tu dimana, ini siapa, ini bagaimana, tapi kita tau nih informasi dari sini nih nanya-nanya. Nah bisa apa ya bisa ngasi kepercayaan kepada orang yang kita temui supaya orang itu bisa mengantarkan kita masuk ke tujuan akhir kita. Jadi kalo misalkan pendekatan kita ya, susah ni nembus si ini gimana caranya ya, ngobrol lah sama tukang ojek, ngobrol lah sama orang-orang disekitar, orang-orang situ pemuda disana, terus kita kasih pendekatan sesuai dengan kebiasaan mereka. Kalo misalkan mereka ngerokok ngerokok ya kita bawa rokok aja… Trus asal bisa ini juga sih jaga gesture jaga mimik… jago berkilah, terus jago meyakinkan orang.” (NU)
119 Penjelasan ini diperkuat oleh penjelasan dari informan keempat (DE) bahwa strategi untuk menembus narasumber adalah dengan pintar berakting dan berpurapura didepan target, mampu tawar-menawar dengan narasumber, bisa dengan luwes mengajak ngobrol narasumber agar terlihat alami dan tidak mencurigakan. Misalnya, tim mengajak pekerja seks komersial (narasumber) ke kamar, lalu mengajak ngobrol yang
sebenarnya
sambil
melakukan
wawancara.
Jangan
sampai
terlihat
mencurigakan dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang kaku seperti wawancara. Namun memberikan pertanyaan yang dibuat seperti mengobrol sehingga narasumber merasa nyaman dan tidak curiga. Hasil mengobrol tersebut harus menghasilkan banyak informasi, tim harus mampu menggali infromasi sebanyakbanyaknya dari narasumber tanpa ketahuan. Strategi lainnya adalah bisa dengan menyewa talent untuk berperan sebagai konsumen pekerja seks komersial tersebut jika tim liputan merasa kurang mampu dan kurang meyakinkan. “…Nah kalo itu… ya pinter-pinternya tim liputan sih, misalnya kita purapura jadi pelanggan gitu, tapi tidak harus sampai eksekusi, ya kayak…tawar-menawar aja gtu misalnya dibawa ke kamar, kita ngobrolngobrol dulu. Setelah itu ga sampai hubungan seks juga kan, karna kita kan yang terpenting adalah kita mau menggali informasi dari dia, cukup sampe di oh oke berarti emang dia bener-bener pekerja seks komersial, udah informasi kita akan selesai sampai disitu… tim liputan atau kita bisa nyewa mungkin talent yang oke deh kamu aa pura-pura jadi pelanggan. Nanti dia yang akan tanya-tanya narasumbernya candid dia…” (DE)
Menurut informan kelima (II), strategi untuk menembus narasumber adalah dengan menyakinkan narasumber, membangun kepercayaan kepada narasumber, memiliki jaringan atau link atau yang disebut fixer sebagai perantara tim dengan narasumber, membangun dan menjaga hubungan yang baik dengan fixer sehingga selalu diberikan informasi-informasi tentang fenomena seks, bersikap dan bermitra dengan baik kepada narasumber.
120 “…menembus narasumber itu satu adalah bagaimana dia bisa menggali informasi, menggali informasi adalah meyakinkan narasumber, mermbangun kepercayaan… Sexophone itu program yang menurut aku penanganannya rada beda. Itu dibutuhkan jaringan…Artinya, seorang jurnalis itu yang paling penting itu adalah jaringan, jagalah jaringan itu dengan benar dan bermitralah dengan narasumber secara benar, no amplop ya. Jadi jagalah idealisme seorang jurnalis, itu kita sama sekali membangun kepercayaan narasumber berdasarkan trust, kamu percaya aku orang TRANS TV jurnalis yang baik, kamu aa menceritakan sebuah fakta aku liput, jadi hubungan kemitraan berjalan…” (II)
Cara menemukan narasumber itu sendiri bisa diperoleh dari teman-teman dan pergaulan tim liputan, dari internet dengan googling, dan dari media sosial seperti facebook dan twitter. Karena di media sosial juga bisa ditemukan komunitaskomunitas seks. Cara lainnya juga dengan melakukan riset jalan-jalan keliling untuk mencari tempat-tempat hiburan. “Satu komunikasi dengan telpon… Atau mungkin pertama cari by online dulu yang Googling dulu ada nggak di internet gitu kan temen-temen dari mana mungkin dari komunitas-komunitas apa gitu, by Facebook atau Twitter… Kalau misalnya nggak ada, mungkin kita punya kenalan dimana kita coba jalan-jalan keliling-keliling ketempat-tempat hiburan gitu nanyananya dari… dari temen-temen yang ada dilapangan juga ya dari pergaulan lah…” (RR)
4.4.6 Kriteria Pemilihan Narasumber Berdasarkan penjelasan dari 4 informan, dapat disimpulkan ada kriteriakriteria tersendiri untuk memilih narasumber yaitu : 1. Narasumber yang cukup cerewet dan blak-blakan. Artinya adalah narasumber yang tidak pendiam dan sangat terbuka ketika ditanya. Narasumber
yang
komunikatif yang bisa diajak wawancara dengan baik dan tidak grogi ketika ditanya. “Kalo tuntutan program ada. Harus yang cantik ya, seger dilihat. Tapi kalo dilapangan sendiri yang paling penting adalah orang yang cerewet dan blak-blakan…” (NU)
121 “… Terus narasumber itu yang pasti dia harus komunikatif bisa diajak wawancara, karna ga semua orang bisa diwawancara dengan baik kan, mungkin grogi atau apa gitu…” (DE)
2. Narasumber yang kompeten dan kredibel di bidangnya. Artinya, narasumber memang benar-benar berkecimpung di dunia tersebut. Misalnya pekerja seks komersial fantasy car (layanan seks didalam mobil mewah), dia memang benarbenar dan masih seorang pekerja seks komersial fantasy car. Kalau narasumber adalah konsumen fantasy car dia memang pernah atau masih menjadi konsumen. Narsumber harus benar-benar tahu proses dari awal transaksi hingga akhirnya. Paul Williams menjelaskan langkah-langkah proses investigasi, salah satunya adalah Final Evaluation yaitu evaluasi dengan mengukur hasil investigasi yaitu mengevaluasi apakah wawancara telah dilaksanakan dengan tepat kepada orangorang yang memang layak, bukan kepada orang yang sengaja merekayasa dirinya agar terkait dengan kasus. Tim Sexophone harus benar-benar memilih narasumber yang tepat yang tidak melakukan rekayasa. “…Harus kompeten dibidangnya yah. Di tema itu harus mengetahui benar-benar... Mulai dari… Awal, misalnya transaksinya seperti apa…Apa sih namanya, sampai prosesnya itu jadi bener-bener harus mengerti...” (RR) “Kalo narasumber berdasarkan konten, yang pasti dia kredibel itu pasti dan di adalah pelaku atau orang yang tau persis…” (II)
4.4.7 Strategi Jika Tidak Berhasil Menembus Narasumber Selama ini tim Sexophone tidak pernah tidak berhasil menembus narasumber. Namun bila tidak berhasil menembus narasumber, maka strategi nya adalah dengan mengganti tema. Sexophone tetap mengutamakan keselamatan tim dan keamanan tayangan, sehingga jika sangat beresiko besar maka tema maupun narasumbernya akan diganti.
122 “…kayaknya ga pernah tapi kalo misalnya itu terjadi ya otomatis harus kita cut, ganti tema. Itu uda ga aa babibu lagi udah cut gitu, karna kita ga mungkin nayangin tema topik yang ga ada narasumbernya misalnya.” (DE)
4.4.8 SDM (Kru) Menurut Zettl (2009), salah satu tahap perencanaan pra produksi adalah koordinasi yang salah satunya fokus pada masalah orang dan komunikasi. Orang adalah siapapun yang terlibat dalam proses produksi program. Produser harus memiliki data dasar orang-orang produksi. Di Sexophone, sebelum melakukan proses liputan dan tapping, ada proses penentuan tim atau kru (orang dan komunikasi) yang terlibat dalam proses produksi tersebut. Penentuan kru dibuat oleh Produser bersama dengan PA. “Itu Produser yang bikin. Itu dibikin sebelum tapping sebelum liputan. Aku biasanya bersama dengan PA tadi.” (II)
Menentukan tim liputan mana yang akan liputan untuk satu episode, dan kru mana saja yang akan terlibat dalam proses produksi tapping. Biasanya prosesnya adalah menentukan setiap kru yang terlibat dengan mengisi formulir request crew. Di formulir tersebut dituliskan kru apa saja yang dibutuhkan dan berapa jumlahnya. Misalnya membutuhkan kru lighting man 3 orang, audio 2 orang dan lain-lain. Di form tersebut tercantum dengan lengkap nomor telepon setiap kru untuk dihubungi dan dikomunikasikan seputar proses produksi program. “…Tergantung kebutuhan...Produksi ya…Biasanya sih PA nya yang menentukan. Ada request kru namanya yang harus diisi, jadi kru-kru yang kita butuhkan nanti kita minta berapa. Lighting nya berapa, audio berapa, enginer nya berapa gitu...” (RR)
123 4.4.9 Peralatan
Proses penentuan jenis dan jumlah alat yang dibutuhkan untuk liputan dan tapping biasanya sudah direncanakan pada rapat pra produksi ketika membicarakan rundown 5 segmen. Pada rapat awal sudah memiliki perkiraan gambar-gambar yangs mau diambil dan alat-alat yang dibutuhkan untuk mengambil gambar-gambar tersebut. “…Di rapat operasional biasanya dibahas ya, jadi di rapat itu ditentuin maunya cahayanya yang seperti apa, nanti ketika…Ketahuan kontennya mau dibikin seperti apa baru kita tentuin alat yang mau digunain seperti apa.” (RR)
Penentuan peralatan untuk liputan selalu disesuaikan dengan tema liputannya, jika mengambil gambar di kolam renang maka membutuhkan kamera underwater. Penentuan alat ini harus dikonfirmasikan kepada tim liputan, biasanya yang mengurus adalah Asprod atau PA yang akan bertanya pada tim liputan alat apa saja yang dibutuhkan. “Iya ada, nah itu pasti konfirmasi ke tim liputan, tim liputan butuh apa aja. Misalnya aku besok mau ada pengambilan di kolam renang, otomatis butuh kamera underwater kayak gitu.” (NU)
Kebutuhan peralatan sudah direncanakan sejak awal secara rinci sampai spekspek atau kriteria alatnya. Asprod atau PA akan mengisi formulir good request yaitu formulir permintaan alat yang dipinjam dari bagian logistik TRANS TV baik untuk liputan maupun tapping. Untuk Sexophone sendiri, selain dari logistik TRANS TV, juga menyewa alat dari vendor (pihak luar) yaitu kamera. “Biasanya Rangga yang ngurus. Itu ditentukannya pada perencanaan awal. Spec nya jelas, misalnya kita pake kamera EX3 dengan apa aa porta jib, lighting nya pake dedo itu dan lain-lain.” (II)
124 Proses penentuan alat ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Herbert Zettl (2009) tentang salah satu tahap perencanaan pra produksi yaitu koordinasi yang salah satunya fokus pada masalah permintaan fasilitas. Permintaan fasilitas mendaftarkan seluruh perlengkapan produksi dan seluruh properti dan kostum yang dibutuhkan untuk sebuah produksi. Tim Sexophone membuat secara rinci segala fasilitas atau peralatan yang dibutuhkan.
4.4.10 Perlengkapan atau Properti Sesuai dengan pendapat Zettl tentang proses permintaan fasilitas, selain peralatan, juga menentukan properti atau perlengkapan yang dibutuhkan untuk tapping. Biasanya properti tambahan yang digunakan disesuaikan dengan lokasi tapping. Properti hanya berfungsi sebagai tambahan untuk mengisi dan mempercantik spot-spot yang kosong. Namun lokasi tapping host biasanya tidak memerlukan banyak properti tambahan karena di kafe, bar, atau klub sudah memiliki desain interior dan properti yang bagus. Sehingga tim tidak perlu menyiapkan banyak properti tambahan, biasanya hanya menyiapkan bunga dan lilin. “…Kalo properti sih menyesuaikan lokasi ya, mungkin kita bawa bunga gitu, sebenernya untuk mengisi yang kosong juga dia area sana...” (RR)
4.4.11 Bunga dan Lilin Selama melakukan observasi langsung di lokasi tapping, peneliti menemukan bahwa properti bunga dan lilin selalu ada. Ternyata ada alasan tersendiri mengapa bunga dan lilin selalu dijadikan properti tambahan. Bunga dan lilin dianggap sebagai objek yang bagus. Bunga bisa menimbulkan efek indah dan mempercantik ruangan, sementara lilin melambangkan malam hari, simbol redup dan dramatis. Kata seks
125 identik dengan malam hari. Bunga dan lilin ini juga menjadi ciri khas program Sexophone. “…Kalo bunga mungkin bisa menimbulkan efek indah, kalo lilin simbol malam hari, redup, terus…dramatis. Kalo bunga buat mempercantik aja.” (NU) “…lilin itu lambang ini kali ya lambang malam bisa…seksi juga kan…Kadang kita emang harus punya ciri khas juga kalo Sexophone itu ada lilin sama bunga...” (DE)
4.4.12 Kriteria Make Up dan Wardrobe Pemilihan baju dan make up host memiliki kriteria tersendiri. Untuk baju biasanya memilih baju-baju yang berwarna cerah agar tampak bagus di kamera, baju yang seksi namun tetap elegan dan pantas dipakai. Sexophone adalah program seks dewasa, apalagi target utamanya adalah laki-laki, sehingga identik dengan keseksian wanita, oleh karena itu baju yang dipilih juga baju yang terbuka dengan tujuan untuk mengeluarkan aura seksi dari host. Baju yang dipakai tetap layak dipakai, tidak benar-benar terlalu terbuka sampai terlalu vulgar, tetap mematuhi standar penyiaran, karena tayangan Sexophone diawasi oleh KPI. Sementara untuk make up biasanya menyesuaikan dengan baju yang dipakai, make up host dibuat cantik dan elegan namun tidak menor. Rambut nya pun diatur agar mengembang dan keriting agar terlihat lebih seksi. “…kalo make-up ya menyesuaikan ke baju biasanya ya, bajunya warna apa, kalo biasanya sih kita minta bajunya warna-warna cerah, seksi, elegan gitu kan. Seksinya ga norak tapi elegan masih pantas dipake.” (RR) “Kalo baju karna memang kita kan identiknya program seks ya, kalo pakaian tertutup juga ga lucu gitu ya, karna infotainment aja pake bajunya kebuka kan gitu. Karna tayangan tu kan diawasi sama KPI, kadangkadang KPI tu suka protektif sama kita ga boleh ini ga boleh itu, jadi kita cari yang…cukup elegan pasti elegan tapi ga seronok gitu… kalo make up…make up sih yang yang ga terlalu heboh ya, paling rambut juga yang penting keliatan seksinya aja sih.” (DE)
126 4.4.13 Riset Berdasarkan penjelasan dari kedua informan (RR dan DE), ada dua riset yang dilakukan dalam program Sexophone pada pra produksi sebagai bentuk salah satu persiapan untuk produksi. 1. Riset yang pertama berkaitan dengan liputan yaitu riset tema atau konten. Biasanya yang melakukan riset terhadap tema adalah reporter. Yang diriset adalah lokasi untuk liputan baik lokasi penelusuran atau lokasi kegiatan seks maupun lokasi untuk tapping Zoya. Riset lokasi investigasi yaitu melakukan riset terhadap cara praktek lokasi tersebut dan lingkungan disekitarnya apakah aman atau tidak. Riset lokasi bisa dilakukan dengan riset lapangan yaitu bertanya-tanya dengan orang-orang disekitar lokasi tentang praktek seks di lokasi tersebut. Lalu riset siapa saja kira-kira narasumbernya, baik narasumber untuk diwawancarai Zoya maupun narasumber yang diliput investigasi, melakukan riset tentang latar belakang dan profil narasumber. Selain lokasi dan narasumber, riset tema juga meriset berbagai data dan informasi tentang tema yang diangkat sebagai informasi tambahan untuk naskah. Riset tema atau konten ini bisa dilakukan dengan cara riset lapangan yaitu terjun langsung ke lokasi dan riset dokumen yaitu mencari data dan informasi melalui media internet dan jaringan sosial seperti facebook dan twitter. Riset tentang tema atau konten ini sesuai dengan salah satu langkah dalam proses melakukan invetigasi yaitu Original Research yang dikemukakan oleh Paul Williams. Original research adalah pencarian data, penggalian bahan, menembus rintangan yang salah satunya adalah Penelusuran Papers-Trails. Penelusuran tersebut adalah pencarian bahan melalui berbagai keterangan yang bersifat tekstual (papers) terhadap sumber-sumber sekunder (surat kabar, majalah, selebaran, naskah siaran, buku referensi, disertasi dan tesis, internet, dan lain-lain). Proses riset yang dilakukan
127 tim terhadap tema adalah mencari segala data dan informasi dari sumber-sumber sekunder baik melalui internet, buku, dan surat kabar tentang tema seks yang diangkat. 2. Yang kedua adalah riset lokasi untuk tapping host. Riset ini dilakukan oleh Production Assistant (PA) dengan cara riset dokumen dan riset lapangan. Biasanya PA akan mencari informasi di internet tentang tempat-tempat seperti kafe, bar, dan klub yang bagus dan cocok untuk Sexophone. Setelah itu mencatat nomor telepon dan alamat tempat tersebut, dan selanjutnya menelepon dan riset lapangan dengan datang langsung ke lokasi untuk melihat situasi dan kondisi lokasi maupun disekitar lokasi. Selain itu bisa juga dengan tidak melalui internet, namun melalui informasi dari teman-teman atau jalan-jalan keliling melihat tempat-tempat yang bagus “…Pasti kalo tema sih masing-masing udah pasti riset yah. Misalnya, tema episode ini. Si reporternya pasti udah riset kan, udah riset apa dan dimana harus shooting, narasumbernya siapa, terus lokasinya dimana, apakah ada penjebakan atau misalnya...semacam wawancara doang. Ada juga riset lokasi, dimana lokasi tapping untuk Chantal dan Zoya. Kalau untuk riset lokasi itu dilihat dari bagus nggaknya terus luasnya cukup nggak, misalnya dari gambar mungkin catchy nggak dilayar.” (RR) “…Misal ni kita mau ngangkat soal bachelor party, bachelor party itu sebenernya sejarahnya mulai dari mana sih, nah itu kan harus diriset datadatanya. Kita kan harus punya basic juga mau ngangkat tema ini kenapa…” (DE)
Penjelasan tentang riset baik lokasi untuk liputan maupun lokasi tapping Sexophone sejalan dengan pendapat Zettl (2009) yang menjelaskan tahap persiapan produksi salah satunya adalah survei lokasi. Yaitu melakukan survei lokasi untuk mengetahui lingkungan tempat produksi akan dilakukan. Tim sexophone melakukan riset untuk mengetahui kondisi, keamanan dan tingkat bahaya di lokasi tersebut. Hal ini agar tim dapat mempersiapkan diri dan memiliki antisipasi menghadapi segala kemungkinan yang terjadi di lokasi.
128 4.4.14 Strategi Pemilihan Lokasi Produksi (Tapping) Untuk pemilihan lokasi shooting yaitu untuk tapping Host Chantal dan Psikolog Zoya, ada beberapa kriteria lokasi yang dipilih sebagai strategi Sexophone untuk menghasilkan tayangan yang terbaik. Untuk Host Chantal, maka lokasi-lokasi yang dipilih adalah lokasi yang luas yang bisa menampung semua kru, talent dan peralatan tapping. Memiliki desain interior yang bagus, menarik, dan unik. Memiliki banyak varian atau pilihan spotspot yang banyak sehingga bisa digunakan untuk 5 segmen. Program Sexophone terdiri dari 5 segmen, untuk membuat program menjadi menarik, maka setiap segmennya berada dalam satu lokasi namun bisa dari spot yang berbeda-beda untuk menambah variasi gambar agar tidak membosankan dan spot yang monoton. Lokasi yang terkesan mewah, elegan, dan memiliki suasana yang romantis. Juga pemilik lokasi yang kooperatif dan mudah diajak bekerja sama. Lokasi-lokasi yang biasa dipakai Sexophone untuk tapping host adalah kafe, klub, dan bar. Lokasi tersebut dipilih karena identik dengan tempat dunia malam dunia hiburan. Dan hal ini sesuai dengan konten program Sexophone itu sendiri yang mengupas dunia hiburan seks. “Satu, yang luas bisa nampung semua kru dan peralatan shooting. Yang kedua, harus punya desain interior yang eye catching. Yang ketiga, kooperatif si pemilik tempatnya.” (NU) “Lokasi shooting itu ya kalo bisa sih yang menarik yah…Terus yang unik eemm.. Banyak varian didalamnya selain spot nya juga banyak klo bisa sih yang agak mewah gitu.” (RR)
Sementara untuk psikolog Zoya, lokasi yang dipilih adalah berdasarkan lokasi liputan. Lokasi tapping Zoya berada di sekitar lokasi liputan. Hal ini dikarenakan Zoya melakukan wawancara terhadap pelaku kegiatan seks yang diliput, sehingga lokasinya pun berdekatan dengan lokasi liputan. Lokasi yang dipilih memiliki kriteria seperti harus yang memiliki kesan personal, karena melakukan
129 wawancara berdua antara Zoya dan narasumber. Sehingga lokasi nya harus yang sepi dan terkadang disesuaikan dengan tema. Contohnya, episode model nude, lokasi wawancara Zoya dan narasumber adalah di studio yang didekorasi seperti tempat pemotretan. “…kalo Chantal sih sejauh ini biasanya kita di tempat klub-klub gitu, atau di restoran. Kalo aku pribadi menurut penilaianku, aku lebih suka tempattempat yang classy, yang…elegan, lebih ke yang elegan gitu…Kalo Zoya,…Zoya juga sama sih, dia tapi lebih personal ya dia karna wawancara kan, jadi kita cari tempat yang kalo bisa sepi, lebih personal, atau yang sesuai sama temanya...” (DE) “…Lokasi pemilihannya dia akan menempel pada liputan si reporter. Example kalo ngomongin lidah sakti, maka si Zoya akan pergi ke Semarang, dia akan mewawancara dari narasumber si lidah sakti itu…” (II)
4.4.15 Rundown Menurut Zettl (2009), salah satu tahap perencanaan pra produksi adalah membuat proposal program yang salah satunya adalah membuat show treatment (angle atau sudut pandang). Show treatment adalah deskripsi ringkasan narasi dari program yang disebut treatment. Treatment berisi tentang segala usul tentang program, penjelasan angle atau sudut pandang, gaya penulisan, ilustrasi program (bisa berupa storyboard). Sementara di Sexophone, show treatment disebut dengan rundown. Rundown dibuat oleh reporter yang akan melakukan liputan. Rundown yang dibuat merupakan susunan acara Sexophone dari awal sampai akhir selama 5 segmen. “Rundown itu kayak susunan acara, kalo di produksi namanya itu kayak skenario lah.” (NU)
Rundown yang dibuat adalah rundown untuk liputan yang berisi penjelasan tentang 5 segmen. Penjelasan rinci untuk tiap segmen, misalnya segmen 1 berisi
130 informasi apa dan apa saja kira-kira gambarnya sampai segmen 5. Dalam rundown dijelaskan sudut pandang gambar-gambar yang akan ditayangkan. “Kalo untuk liputan kan uda jelas gitu ada rundown nya, segment satunya mau dibikin gambar apa, trus di segment duanya itu gambarnya seperti apa, dan seterusnya.” (RR)
Gambar 4.17 Potongan Rundown Sexophone
Rundown ini adalah perencanaan liputan yang dibuat oleh reporter yang harus dipresentasikan atau dipitchingkan kepada Produser, asprod, semua tim, sampai Eksekutif Produser dan Kepala Departemen untuk mendapatkan masukan dan kritik hingga akhirnya disetujui atau tidak disetujui. “Ada rundown ya pitching itu, reporter pas pitching ke aku. Itu setelah dia riset.” (II)
Gambar 4.18 Reporter sedang membuat rundown
131
Gambar 4.19 Rundown yang sedang dibuat reporter
Gambar 4.20 Rapat tim untuk reporter mempresentasikan (pitching) rundown
4.4.16 Time Table Pada perencanaan pra produksi, tim harus membuat jadwal produksi dan harus diinformasikan kepada seluruh pihak yang terlibat. Menurut Zettl (2009), jadwal produksi harus memberitahu semua orang yang terlibat dalam produksi tentang siapa yang melakukan apa, kapan, dan dimana dalam melakukan ketiga tahap produksi (pra produksi, produksi, dan paska produksi). Di Sexophone, jadwal produksi disebut dengan time table. Sebelum melakukan proses produksi, ada proses pembuatan time table atau schedule yang berisi penjadwalan segala aktifitas yang akan dilakukan tim. Mulai dari persiapan pra produksi seperti riset survei, membuat
132 rundown, liputan dari hari apa sampai kapan, membuat naskah, jadwal tapping, jadwal dubbing, sampai jadwal editing. “Emm ada, ada ada. Yang bikin Produsernya, tentang jadwal shooting kapan-kapan aja sampe editing.” (RR)
Semua itu sudah dijadwalkan day by day menjelaskan apa saja yang dilakukan tim selama beberapa hari liputan dan tapping. Time table berfungsi untuk membuat aktifitas tim menjadi terarah, rapi, disiplin, dan untuk mencegah waktu molor. Hal ini menjadi salah satu strategi tim bagi keefektifan tahap persiapan atau pra produksi Sexophone. “Time table nya gini, kalo time table activity diary nya itu day to day biasanya yang bikin reporter, itu bisa dilaporkan ke aku bisa ngak. Contoh gini, mereka pergi ke Bandung 6 hari, day pertama ngapain day kedua ngapain.” (II)
Gambar 4.21 Time Table Sexophone
Selain time table untuk keseluruhan, Sexophone juga memiliki jadwal shooting khusus pada proses produksi. Jadwal ini menjelaskan apa saja yang dilakukan selama produksi atau shooting untuk tapping setiap jam nya dalam satu
133 hari shooting. Sementara untuk liputan, tidak ada jadwal shooting karena liputan investigasi tidak bisa diprediksi. Hal ini sesuai dengan pendapat Zettl (2009) bahwa salah satu tahap persiapan produksi adalah membuat Time line produksi lapangan atau dsi Sexophone disebut jadwal shooting.
Gambar 4.22 Jadwal Shooting Sexophone 4.4.17 Perencanaan Budget Perencanaan budget adalah hal yang sangat penting bagi sebuah program, karena semua proses produksi membutuhkan biaya untuk merealisasikannya. Menurut Zettl (2009), salah satu proses prencanaan pra produksi adalah dengan mempersiapkan budget. Mempersiapkan budget untuk semua biaya pra produksi, produksi, dan paska produksi. Budget yang dibuat harus detail, yaitu dengan membagi budget ke dalam masing-masing tahap, mulai dari pra produksi, produksi, dan tahap paska produksi. Perencanaan budget untuk program Sexophone adalah perencanaan budget untuk seluruh proses produksi mulai dari pra produksi, produksi, sampai paska produksi. Semua kebutuhan biaya dibuat dengan rinci. Proses perencanaan budget Sexophone diurus oleh sebuah bagian di TRANS TV yang bernama UPM (Unit Production Manager). Dari penjelasan ketiga informan NU, DE, dan II dapat disimpulkan bahwa proses perencanaan budget biasanya adalah budget per 3 bulan untuk semua program. Diawali dari UPM yang
134 memberikan usulan budget program ke Produser berupa draft yang akan dikoreksi oleh Produser. Produser yang berwenang melakukan koreksi karena Produser yang lebih paham biaya-biaya yang dibutuhkan baik untuk liputan dan tapping. Produser akan membuat perincian budget dengan diskusi dengan semua tim, misalnya diskusi dengan reporter, Produser akan bertanya pada reporter biaya yang dibutuhkan untuk melakukan liputan. Misalnya budget dari UPM 10 juta untuk liputan, namun ternyata setelah diskusii tim budget nya 15 juta, maka Produser akan mengkoreksi budget tersebut. Setelah semua biaya sudah dikoreksi oleh Produser, maka draft tersebut akan dikembalikan dan diajukan kepada UPM. Produser akan berdiskusi dengan UPM dan sama-sama membahas perencanaan budget yang sudah dikoreksi tersebut, setelah itu UPM akan menyetujui atau tidak menyetujui dan meneruskannya kepada bagian keuangan yang disebut BMA untuk mengeluarkan uang budget nya. “…biasanya UPM unit production manager itu dia akan memberikan ke Produser usulan budget program. Dia kasih draft dulu nanti kita koreksi, misalnya ni Zoya oh harganya sama oke, oo ini ni naik oke, oo ini dinaikin ni karna harganya sekarang ini uda mahal. Jadi dicek draft nya, disesuain sama kebutuhan, nanti Produser nanya ke kru, aa liputan berapa 6 hari cukup, nah harganya disesuaikan juga, misalnya buat narasumber berapa dan lain-lain. Nah nanti kita kembali ke UPM. Nah dari situ ke BMA…” (II)
Proses perencanaan budget di TRANS TV untuk semua program melalui proses yang sama. Karena budget per tiga bulan, maka biasanya akan direncanakan sebelumnya. Misalnya budget program Sexophone untuk bulan Januari, Februari, dan Maret. Maka perencanaan budget nya sudah dilakukan pada bulan Desember. “Kalo budget di Trans, di news ini itu per tiga bulan gitu. Jadi, itu uda untuk 3 bulan. Jadi itu sebelum misalnya budget bulan Januari, Februari, Maret itu nanti akan dibahas di bulan Desember gitu…” (DE)
135 4.4.18 Legal (Perizinan) Masalah perizinan adalah salah satu masalah yang harus dipersiapkan dengan baik. Jika tidak diurus dengan baik, maka akan menghambat proses tapping karena tidak ada tempat. Untuk Sexophone, perizinan yang dibutuhkan adalah ijin lokasi untuk tapping. Biasanya PA akan membuat surat perjanjian kerja sama dengan pemilik tempat dengan memberikan kompensasi kepada pemilik sesuai perjanjian. Bisa membayar biaya sewa memakai tempat, atau bisa juga gratis, bisa juga mencantumkan nama lokasi pada chargen dan menampilkan logo tempat di akhir tayangan. “…Bikin surat perjanjian kerja sama sama mereka pemilik kafe. Misalnya, aaa. Nanti kita kirim by email suratnya, kalo mereka setuju untuk shooting disana kompensasinya seperti apa. Apa kita harus bayar atau…Ada kerja sama. Kerja sama nya itu apakah ada penulisan nama lokasi dia awal acara atau mungkin nanti di akhir acara kita tampilin logonya.” (RR)
Proses perizinan yang dilakukan tim Sexophone sesuai dengan yang dikemukakan oleh Zettl (2009) tentang salah satu proses perencanaan pra produksi yaitu masalah Perizinan. Menurut Zettl, kebanyakan produksi melibatkan orangorang dan fasilitas yang bukan dari perusahaan atau stasiun televisi kita, sehingga membutuhkan usaha perizinan. Contohnya seperti, izin bagi kru untuk mendapatkan izin masuk untuk meliput suatu acara di suatu tempat, izin parkir untuk shooting, izin memakai tempat untuk lokasi shooting dan bertanggung jawab atas kebersihan lokasi yang digunakan.
136
Gambar 4.23 Contoh surat izin untuk memakai lokasi shooting
Sementara untuk liputan investigasi tidak memerlukan perizinan karena dilakukan secara diam-diam dan rahasia. “Kalo investigasi liputan ga ada karena diem-diem. Kalo tapping-tapping itu butuh perijinan karena kita melibatkan space atau lokasi.” (NU)
4.4.19 Kendala dan Hambatan Selama proses pra produksi program Sexophone, ada beberapa kendala baik untuk persiapan liputan maupun persiapan tapping. 1. Untuk persiapan liputan kendalanya adalah seperti, belum memiliki tema sementara jadwal tayang sudah mendekat. Biaya liputan yang terlambat turun padahal sudah mau berangkat melakukan liputan. Di hari-hari terakhir menjelang
137 liputan, tiba-tiba atasan memutuskan untuk mengganti tema, sehingga semua harus dipersiapkan dari ulang. Kru atau partner tim liputan mendadak tidak bisa hadir atau sakit sehingga harus cepat-cepat mencari pengganti. Kendala yang paling sering terjadi adalah mobil untuk liputan yang tiba-tiba tidak ada. Seringkali kantor tidak menyediakan mobil, bahkan sulit meminjam mobil dari kantor. “Ada kendala jadwal tayang atau deadline. Harus segera tayang tapi kita belum punya tema. Terus kadang-kadang mau berangkat duitnya belum ada. Terus pas mau liputan A pas H min satu atau H min dua tiba-tiba sama atasan disuruh change tema. Terus, kalo kendala itu sih yang kayak kru partner kita sakit harus ganti kru lah. Terus mobil tiba-tiba ga ada pernah, malah sering.” (NU)
Informan kelima (II) menjelaskan dua kendala utama dalam proses pra produksi yaitu penggalian konten dan penggalian narasumber. Kendala penggalian konten adalah kendala dimana tim tidak boleh kehabisan akal dan kreatifitas untuk menggali konten-konten yang menarik tiap episodenya, harus memaksa otak untuk terus berpikir dan kreatif. Sementara kendala penggalian narasumber adalah ketika narasumber yang sulit ditembus, sulit untuk ditemui dan dijangkau. “Kalo pra produksi biasanya lebih ke narasumber ya kalo misalnya susah ditembus, terus konten kita kan harus menggali terus kan otak ini ga boleh mati gitu kan. Itu kendala juga ya penggalian konten, penggalian narasumber...” (II)
2. Untuk persiapan tapping, tidak banyak kendala berarti. Satu kendala yang paling besar adalah tidak semua pemilik tempat untuk tapping mengijinkan tempatnya digunakan untuk shooting Sexophone. Hal ini dikarenakan program Sexophone adalah program seks, sehingga banyak pemilik tempat yang menolak karena takut citra tempatnya menjadi kurang baik sebagai tempat yang berkaitan dengan transaksi seks. Selain itu, rata-rata lokasi-lokasi seperti bar dan kafe adalah
138 tempat hiburan malam yang biaya sewa nya tergolong mahal. Terkadang budget yang ada tidak bisa memenuhi biaya sewa tempat. “Kadang ada, karna tidak semua kafe mau...Kita pakai lokasinya untuk acara kita yang tema nya seks gitu kan. Banyak kafe-kafe yang menolak karna kafenya itu nanti dianggap aaa. Punya image tentang aaa tempat transaksi seks gitu.” (RR)
4.4.20 Strategi atau Trik Untuk Melakukan Pra Produksi Ada beberapa strategi tim Sexophone untuk merampungkan tahap persiapan atau pra produksi. Dari penjelasan keempat informan, dapat disimpulkan strategistrategi yang digunakan tim adalah : 1. Banyak komunikasi (ngobrol) antara tim, komunikasi yang terjalin harus lancar, mendiskusikan masalah dan mencari solusi bersama-sama. Tim Sexophone sering berkumpul baik secara formal maupun informal, baik terencana maupun tidak terencana. Sering berkumpul mengobrol sambil makan atau minum kopi bersantai dan membicarakan banyak hal tentang Sexophone. Hal ini membuat komunikasi terjalin dengan baik, juga mempererat hubungan antara satu sama lain, sehingga hubungan menjadi dekat dan akan berpengaruh pada kinerja tim saat bekerja bersama-sama. Hubungan yang dekat dan harmonis antar sesama kru akan menghasilkan pekerjaan yang maksimal karena dikerjakan dengan rasa percaya dan peduli satu sama lain. Komunikasi yang lancar ini juga berkaitan dengan apapun yang diinginkan Produser harus disampaikan secara jelas kepada seluruh tim, apapun kendala yang dialami tim liputan dan kru-kru yang lain selalu dikomunikasikan kepada Produser. Begitu juga antara reporter dan cameraman, ada komunikasi yang baik yang terjalin, reporter menjelaskan keinginannya, dan cameraman akan mengambil gambar sesuai keinginan reporter, sehingga hasil akhirnya akan cocok dan sesuai.
139 “Harus banyak ngobrol, terus sebenernya tu harus serba ideal ya. Banyak ngobrol sehingga kalo misalkan ada banyak diskusi jadi bisa nentuin solusinya bareng-bareng…” (NU) “…that’s why Sexophone itu sering banget ngumpul. Ngumpul-ngumpul ga jelas sih sebenernya..., apa lah ngopi, terus apa ngobrol, dari situ kita bisa bisa dapet info oh disini ada ini loh…terus…antara reporter dan cameraman itu harus saling komunikasi, reporter lo maunya apa sih gitu, gw maunya yang kayak gini gini nanti lo tolong ambil ya gambarnya yang begini begini. Jangan sampe reporter maunya kemana, cameraman maunya kemana gitu…” (DE)
2. Selalu memiliki rencana cadangan. Sehingga ketika menemui masalah selalu siap dengan masalah tersebut. Misalnya, tiba-tiba narasumber kabur, maka tim sudah memiliki rencana cadangan, seperti sudah memiliki narasumber lain atau sudah memiliki tema lain. Otak dan kreatifitas tidak berhenti bekerja sehingga terus menggali informasi. “…Terus kalo bisa apa yang dimungkinkan akan terjadi ketika produksi sudah dipikirkan di pra produksi jadi kita bisa antisipasi, misalnya kalo narsum ga ada harus gimana, oh ternyata disekitar sana ada lagi tempat lainnya, itu sudah harus dipikirin.” (NU) “Gini, setiap kendala pasti ada solusi. Terbukti semuanya tayang kan gitu. Artinya kan bagaimana kita bijak untuk mengatasi. Contohnya, kalo kendalanya itu narasumber ya bagaimana otak ini harus mencari lagi...” (II)
3. Mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik dan benar supaya tidak akan menjadi kendala dan menghambat saat proses produksinya. Segala persiapan disiapkan dengan rinci dan ideal. “…Jadi kalo misalnya pra produksi ya kita siapin segala sesuatunya dengan baik dan benar biar nanti ga jadi kendala lagi pas proses produksinya.” (RR)
140 4.4
Proses Produksi Program Sexophone Berikut ini adalah hasil penelitian tentang proses produksi Sexophone dan
dikaitkan dengan teori-teori yang digunakan. 4.5.1 Proses Produksi Secara Umum Proses produksi Sexophone dibagi menjadi dua yaitu liputan dan tapping. Proses tersebut diawali dengan beberapa persiapan dan kegiatan. Menurut Zettl (2009), tahap produksi adalah tahapan ketika berada di studio untuk latihan atau sesi perekaman gambar, atau memuat kamera video kedalam mobil barang (van) untuk pengambilan gambar di lapangan. Beberapa hal didalam tahap produksi adalah : Peralatan kamera, audio, pencahayaan (lighting), rekaman video, properti, talent (artis), make up dan kostum, persiapan dan pengarahan director. Sejalan dengan pendapat Zettl, proses produksi Sexophone juga mencakup hal-hal tersebut. Selain itu juga, proses produksi sejalan dengan pendapat dari George R. Terry tentang fungsi manajemen ketiga yaitu Actuating. Actuating adalah kegiatan aksi atau tindakan, menggerakan anggota-anggota organisasi untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan tugas masing-masing. Dalam hal ini, proses produksi program Sexophone adalah berkaitan dengan kegiatan aksi dari perencanaan dan persiapan sebelumnya yaitu mengambil gambar (perekaman gambar dan suara). Pada tahap perencanaan sebelumnya, tim mempersiapkan dan merencanakan untuk kegiatan inti produksi yaitu shooting (Actuating) baik liputan maupun tapping Host. Berdasarkan penjelasan dari dua informan NU dan RR, maka proses produksi Sexophone secara umum adalah seperti berikut. 1. Liputan : Untuk liputan, yang pertama dilakukan adalah konfirmasi ke semua pihak yang terlibat dalam liputan yaitu tim liputan, fixer, narasumber (untuk liputan
141 terbuka), dan narasumber untuk wawancara dengan Zoya. Setelah itu, tim liputan akan berangkat ke lokasi. Setibanya di lokasi, untuk liputan tertutup dan jika tidak memiliki fixer, maka tim tidak tahu apapun tentang lokasi target, sehingga tim akan bertanya-tanya dan melakukan pendekatan dengan orang-orang disekitar lokasi untuk menggali informasi. Jika tim sudah memiliki fixer, maka biasanya tim sudah membuat janji dengan fixer. Fixer yang akan mengantarkan tim sampai ke lokasi dan bisa juga sampai memperkenalkan narasumbernya. “…Produksinya kita ngatur kan dari awal kita shooting konfirmasi ke semua pihak…kita nanya ke siapa gitu pak kalo disana biasanya tempat yang nongkrong yang asik dimana pak ya? Banyak cewe-cewe geulisnya cantiknya ga? Disitulah kita menggali informasi sampe ke yang deal dan segala macem sampe pembayaran narasumber…” (NU)
Perekaman gambar sudah dilakukan tim sejak tim dalam perjalanan di mobil menuju lokasi, mencari target, ketika tim bertanya-tanya dengan orang sekitar, ketika tim sudah berada di lokasi, berbincang-bincang dengan narasumber, show narasumber atau transaksi, hingga sampai akhir membayar narasumber. Artinya, gambar yang direkam adalah dari awal tim berangkat hingga pulang. “…Proses perekaman gambar itu uda dimulai sejak awal sampe di lokasi, perjalanan menuju lokasi atau mencari target, pas chit chat atau transaksi dengan target, pas uda show atau mainnya dengan cewe-cewe. Kan kita itu menguak sebuah fenomena penelusuran gitu, jadi dari awal sampe akhir, dari awal di mobil kita kadang-kadang uda ngerekam, lagi saat nyari kita uda ngerekam, pokoknya pengungkapan fenomena investigasi ya harus total dari awal masuk ke tempat itu ga bisa langsung putus ini akhirnya kayak gimana, harus berakhir terus sampe tujuan akhir mereka itu apa uang misalkan, ya sampe kita serahin uangnya selesai.” (NU)
Perekaman gambar yang dilakukan tim menggunakan 3 jenis kamera, yaitu kamera tersembunyi yang disembunyikan di jam tangan, di topi, di baju, atau di pulpen. Kamera ini dipakai oleh reporter ketika penelusuran. Yang kedua adalah kamera handycam yang dipegang salah satu tim di dalam mobil. Yang ketiga adalah
142 kamera Go Pro yang berada di supir dalam mobil. Semua transaksi direkam dari awal hingga akhir, karena merupakan penelusuran untuk mengungkap sebuah fenomena yang tersembunyi. “…Kalo liputan biasanya pake kamera salah satunya kamera jam tangan yang aku pake, temen didalem mobil pake handycam, di mobil sendiri pake kamera Go Pro di supir…” (NU) 2. Tapping : Untuk tapping host, prosesnya diawali dari konfirmasi dengan menelepon seluruh kru untuk pemberitahuan jam berkumpul di kantor dan jam berangkat. Harus memastikan semua kru yang terlibat hadir pada waktu yang ditentukan. Tim juga harus mempersiapkan segala peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan. Sebelum berangkat ke lokasi, tim harus memeriksa kembali segala peralatan dan perlengkapan tersebut agar tidak ada yang terlupakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Zettl tentang salah satu persiapan produksi yaitu memeriksa peralatan dan perlengkapan (equipment check). Menurut Zettl, tim harus sangat berhati-hati dan teliti ketika memuat perlengkapan dengan menggunakan checklist (daftar cek) perlengkapan. Sebelum memasukan semua peralatan ke dalam kendaraan, periksa dan tes setiap item atau alat untuk memastikan alat tersebut bekerja dengan seharusnya. Tim Sexophone menggunakan formulir good request sebagai checklist atau panduan daftar peralatan dan perlengkapan yang harus dibawa dan digunakan untuk shooting. Setelah sudah berkumpul dan siap, maka seluruh kru akan berangkat dengan membawa alat-alat dan properti yang dibutuhkan menggunakan mobil kantor taksi. Sesampainya di lokasi, vendor-vendor alat seperti kamera, lampu, listrik, genset sudah dihubungi sebelumnya diinformasikan lokasi dan jam untuk tapping. Vendorvendor tersebut biasanya akan langsung datang ke lokasi. Ketika sampai di lokasi, kru harus memeriksa kembali kelengkapan kru dan alat. Setelah itu melakukan
143 proses set up dan install alat, kru akan memasang alat-alat seperti kamera, lampu, dan audio. Menempatkan kamera dan lampu untuk pencahayaan di posisi-posisi yang diinginkan. Mengatur atau mendekorasi spot atau ruangan yang dipakai untuk tapping. Selama persiapan alat tersebut, host akan mempersiapkan diri dengan mengganti baju dan make up. Sementara di make up, host akan sambil menghafal naskah. Setelah itu proses shooting pun bisa langsung dimulai. Sebelumnya, host akan diberi pengarahan sedikit untuk gaya, pandangan ke kamera, berjalan, duduk, sambil minum, dan lain-lain. Ditengah-tengah shooting setiap selesai pengambilan satu gambar, biasanya ada evaluasi dengan melakukan retake-retake atau pengambilan gambar ulang. “…mulainya dari pagi-pagi harus kru call dulu yah, telponin satu-satu, audionya kumpul jam berapa misalnya berangkat jam 7 pagi. Kita harus udah pastiin semua kru itu udah ada jam 7 pagi misalnya gitukan, atau dimana gitu. Terus nanti kita dari sini baru naik mobil ke lokasi. Oke kalo misalnya dilokasi kita itu harus…nunggu…jadi semua vendor kamera, lampu, listrik, genset dan segala macamnya harus udah dihubungi. Oke dihubungi biasanya mereka langsung ke lokasi untuk alat-alatnya. Pas dilokasi nanti kita harus liat... Liat lagi udah komplit belum. Udah ada krunya, udah ada alatnya. Udah ada kru dan alat baru kita coba untuk tapping, kameranya dimana, lampunya dimana, terus si Chantal host nya itu ada dimana. Kalo udah setting lampu, setting kamera, setting audio, mungkin ditambah properti-properti penunjang,... Baru kita siap untuk proses shooting…Proses shooting nya sih tinggal jalan aja itu udah gampang sih sebenernya, tinggal nanti si Chantal bacain lead nya terus… Break, ada retake-retake seperti itu mungkin kesalahan teknis atau mungkin kesalahan si Chantalnya bisa ada take 1, take 2 dan take seterusnya sampai 5 segment. Selesai, abis itu bongkaran pulang deh.” (RR)
Untuk tapping wawancara dengan Zoya, prosesnya berkaitan erat dengan liputan. Karena wawancara oleh Zoya dilakukan selama proses liputan. Misalnya liputan 6 hari di Bandung, dari 6 hari tersebut ada satu hari untuk wawancara. Tim liputan akan menentukan lokasi wawancara yang sifatnya lebih personal, tim akan
144 mengatur ruangan atau spot untuk tapping, mengatur kamera dan lampu. Setelah itu proses tapping dilakukan. 4.5.2 Set Up dan Install Alat Proses awal ketika tim sampai di lokasi tapping adalah melakukan pengaturan dan install alat. Tim akan memilih spot-spot terbaik yang bisa menghasilkan visualisasi gambar yang paling bagus dan indah. Setelah itu tim memasang dan menempatkan peralatan kamera dan lampu beserta segala peralatan pendukungnya. Berikut ini adalah foto-foto tim yang sedang mempersiapkan peralatan.
Gambar 4.24 Pengaturan tenaga listrik oleh Lighting Man
Lampu-lampu dipasang pada posisi-posisi terbaik untuk bisa menghasilkan pencahayaan yang bagus. Berikut ini adalah foto-foto lighting man yang sedang memasang dan mengatur lampu-lampu.
145
Gambar 4.25 Lighting Man sedang memasang dan mengatur lampu di lokasi bar
Gambar 4.26 Lighting Man sedang memasang dan mengatur lampu di lokasi spa
Tim akan memilih warna-warna lampu yang sesuai dengan lokasi dan kebutuhan gambar. Warna lampu bisa merah, kuning, atau biru. Kamera ditempatkan di
posisi-posisi
untuk
menghasilkan
gambar-gambar
yang
bagus.
Selain
menempatkan kamera, tim juga mengatur warna kamera yang bagus. Karena menggunakan dua kamera, tim harus mencocokan warna kedua kamera agar tetap sama.
Gambar 4.27 Campers sedang mengeluarkan kamera dari tas dan menyalakan kamera
146
Gambar 4.28 Campers memasang dan mengetes kamera
Tim juga mengatur warna kamera agar sesuai dengan warna kulit objek. Beberapa kali peneliti dijadikan contoh untuk menyesuaikan warna kamera dengan warna kulit objek nanti yaitu host (Chantal). Hal ini dilakukan agar warna kamera tidak menjadi terlalu kemerahan, kebiruan, ataupun kekuningan, tapi sesuai dengan warna objek.
Gambar 4.29 Peneliti biasanya akan diminta berdiri atau duduk di spot yang nanti akan digunakan host.
Penempatan dan pengaturan kamera dan lampu disebut tim sebagai mengatur blockingan. Setiap kali mengatur blockingan, tim sudah memikirkan spot-spot untuk 5 segmen. Biasanya, dalam 1 hari, tim shooting 2 episode sekaligus dalam satu lokasi namun di spot-spot yang berbeda. Oleh karena itu, setiap mengatur blockingan, tim
147 sudah memikirkan spot-spot yang akan dipakai untuk 5 segmen. Kadang satu spot bisa digunakan langsung untuk 5 segmen. Jika lokasi tersebut memiliki banyak pilihan spot yang menarik, maka bisa juga dalam 5 segmen tersebut spot nya berbeda-beda, misalnya 2 segmen di spot yang satu dan 3 segmen di spot yang lainnya. Begitu juga untuk episode satunya. “Jadi kita datang ke lokasi, kita pilih spot yang sekiranya kamera bisa menghasilkan visualisasi gambar terbaik di satu tempat itu kan. Oke kayaknya bagus nih disini, kamera ngadep situ, nanti objeknya ada disitu, yuk pasang, baru kamera dipasang. Nah tapi biasanya kita harus cerdas juga ketika kita menentukan satu blocking an itu kita berpikir uda untuk nyampe berapa segmen, kalo misalkan sampe closing bisa disitu atau cuma bisa dua segmen aja, nanti dua segmennya ngadep sini dari arah lain. Kalo Chantal itu bisa pindah-pindah spot nya, tapi kalo Zoya satu spot aja dan diam.” (NU)
Proses setting dan install alat yang dilakukan tim Sexophone sesuai dengan pendapat Zettl tentang salah satu tahap produksi yaitu setup atau pengaturan. Mengatur peralatan dengan menempatkan setiap alat di posisi yang tepat dan sesuai, dan memastikan semua alat berfungsi dan bekerja dengan baik serta siap pakai untuk shooting.
4.5.3 Setting Ruangan (Spot) Proses pengaturan spot atau mendekorasi ruangan menjadi hal yang sangat penting. Untuk host, dekorasi ruangan yang bagus akan semakin memaksimalkan tampilan gambar. Dekorasi ruangan Sexophone tidak sulit karena biasanya lokasi yang dipilih sudah memiliki dekorasi yang bagus seperti kafe, bar, dan klub. Tim tidak perlu banyak mendekorasi, hanya menambahkan beberapa properti tambahan saja untuk mempercantik ruangan dengan lilin dan bunga. Terkadang dekorasi ruangan juga disesuaikan dengan tema episodenya, misalnya temanya adalah spa
148 plus-plus, maka shooting dilakukan di lokasi salon spa, memakai ruangan spa untuk pengambilan gambar. “Biasanya ruangan itu identik sama tema ya yang kita buat, kayak waktu di spa itu kan temanya spa plus-plus....” (NU)
Untuk wawancara dengan Zoya, biasanya pengaturan dan dekorasi ruangan dilakukan oleh tim liputan sendiri, karena proses tapping berada diseputaran proses liputan. Tim akan memilih tempat yang sepi dan mengatur ruangan sedemikian rupa yang memiliki kesan personal untuk wawancara. “Kalo buat Zoya, itu biasanya cameraman nya langsung, tim liputan kan biasanya yang mewawancara, tim liputannya langsung. Jadi yang ngatur ruangan cameraman nya, biasanya itu butuh dua cameraman buat ngebantuin…background nya mau seperti apa gitu, bantuin lighting...” (DE)
4.5.4 Lighting Penentuan warna lampu untuk lighting atau pencahayaan Sexophone biasanya adalah warna-warna lampu yang tidak terlalu terang. Karena program ini ditayangkan pada malam hari, maka menggunakan lampu-lampu yang mengesankan suasana malam hari. Selain itu, program ini adalah program dewasa yang menbahas tentang seks, sehingga identik dengan kesan redup dan remang-remang. Warna lampu yang dipilih juga yang menggambarkan dunia malam dunia seks. “Itu lebih ke art, kita harus tetep kesan malemnya tetep dapet, kita ga terang benderang kayak sinetron. Makin redup makin misterius juga.” (NU)
Lampu-lampu yang digunakan pada program Sexophone biasanya adalah warna merah, biru, kuning, dan ungu. Warna-warna tersebut dihasilkan dari filterfilter lampu yang bisa diubah-ubah. Warna-warna tersebut menggambarkan kesan
149 malam hari dan biasanya juga disesuaikan dengan lampu-lampu yang sudah ada di lokasi. “Kalo warna lampu itu sebenernya sih dari filter nya kan, ada warna biru, ada warna ungu, ada warna merah gitu dan segala macamnya…” (RR)
Gambar 4.30 Filter-filter untuk lampu
4.5.5 Latihan (Rehearsal) Proses latihan yang ada di Sexophone sesuai dengan penjelasan dari Zettl (2009) tentang salah satu tahap dalam proses produksi yaitu latihan (rehearsal). Menurut Zettl, proses rehearsal adalah melakukan latihan pada setiap take gambar sebelum direkam, mengarahkan kepada talent dan kru apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak seharusnya dilakukan. Proses latihan atau rehearsal dalam produksi Sexophone adalah dalam bentuk latihan menghafal naskah lead in lead out yang dilakukan oleh host. Proses latihannya dilakukan host sambil make up dan menata rambut.
150
Gambar 4.31 Host sedang latihan naskah sambil ditata rambutnya
Sementara tim menyiapkan spot, mengatur dan menempatkan alat, host akan di make up sambil menghafal naskah dan latihan sendiri.
Gambar 4.32 Host sedang latihan naskah sementara tim sedang menyiapkan dan mengatur alat Latihan juga bisa dilakukan host di sela-sela pengambilan gambar. Ketika selesai pengambilan satu gambar sambil menunggu tim evaluasi atau menyiapkan alat lagi untuk pengambilan gambar berikutnya, host bisa sambil menghafal naskah.
151
Gambar 4.33 Host sedang menghafal naskah di sela-sela pengambilan gambar
Di Sexophone, proses latihan secara bersamaan jarang dilakukan karena seluruh kru dan host sudah terbiasa dengan konsep tapping Sexophone. Hal ini sesuai dengan penjelasan dari kedua informan NU dan RR bahwa latihan jarang dilakukan, latihan yang dilakukan biasanya adalah latihan naskah oleh host dan itu pun dilakukan host sendiri. “Ga ada latihan, paling host nya ngafal naskah sendiri waktu make up, terus waktu kamera masih ngatur-ngatur gitu.” (NU) “Kalo latihan jarang sih yah, karena mungkin kita sudah terbiasa dengan konsep ini jadi jarang sekali ada latihan, hampir nggak pernah. Si host nya mungkin dia latihan dan baca lead nya sambil make-up gitu terus sambil pake baju.” (RR)
4.5.6 Proses Tata Rias Wajah dan Rambut Selama tim mempersiapkan alat, host akan di make up, ditata rambutnya, dan mengganti baju. Make up artist akan menyiapkan segala peralatan dan perlengkapan untuk merias wajah dan rambut host.
152
Gambar 4.34 Make Up Artist dan Peneliti sedang mencatok rambut palsu host agar keriting
Gambar 4.35 Rambut host sedang ditata oleh Make Up Artist
Sementara itu, Asprod akan memilih baju yang paling cocok untuk dipakai oleh host. Pemilihan baju untuk host disesuaikan dengan jenis program Sexophone itu sendiri dimana pakaian harus seksi elegan, dan disesuaikan dengan ruangan yang digunakan untuk mengambil gambar.
153
Gambar 4.36 Asprod sedang memilih baju yang akan digunakan host
4.5.7 Pengarahan dan Koordinasi Setelah host selesai mengganti baju, make up, menata rambut dan latihan menghafal naskah, maka proses selanjutnya adalah briefing (pengarahan) dan koordinasi. Di Sexophone, pengarahan dilakukan tidak secara formal dimana semua kru dan talent berkumpul dalam satu waktu. Pengarahan dan koordinasi dilakukan sambil beraktivitas. Hal ini sejalan dengan pendapat Zettl tentang salah satu proses produksi yaitu walk through. Menurut Zettl, sebelum memulai latihan dan pengambilan gambar, harus memberikan pengarahan (brief walk through) kepada kru dan talent untuk menjelaskan poin-poin penting produksi seperti, posisi kamera, gambar-gambar (shots) spesifik, dan prinsip-prinsip aksi. Pengarahan yang dilakukan di Sexophone menyangkut segala hal yang berkaitan untuk proses shooting. “Kalo sekarang pengarahan tidak berkumpul dalam satu waktu setelah itu baru tapping, ngak. Tapi sekarang lebih ke sambil beraktivitas sambil ngarahin. Kalo sekarang jadi tinggal jalan-jalan aja…” (NU)
Sebelum memulai shooting, director akan memberi pengarahan sebentar secara singkat kepada host untuk posisi berdiri, duduk, atau sambil berjalan dan cara
154 membaca naskah untuk pergantian kamera. Misalnya satu paragraf host menengok ke kamera EX3 tripod dan paragraf berikutnya menengok ke kamera EX3 porta. “Itu sih ada nanti diarahin si Chantalnya mau seperti apa, muter kemana, jalan berapa langkah, nah itu biasanya di breafing secara khusus sebelum di shooting.” (RR)
Untuk pengarahan dan koordinasi dengan kru, biasanya director akan menghampiri langsung setiap kru pada saat pengaturan dan penempatan alat. Misalnya director akan menghampiri campers untuk menjelaskan keinginannya seperti mengambil gambar dari arah dan angle tertentu, pergerakan kamera dan lainlain. Selain campers, director juga akan menghampiri lighting man untuk menjelaskan warna dan posisi lampu sesuai keinginannya. “Kalo briefing aa pasti ada sih ya, paling kalo briefing tu…tapi bukan briefing yang ngumpul gitu ngak. Jadi misalnya director nya biasanya Rangga tu, dia bilang ke lighting lightingman, gw maunya lampunya gini ya, terus nanti dia deketin campers nya ntar lo ngambilnya dari angle sini ya dari sini ya gitu jadi di briefing satu-satu. Nanti misalnya bajunya yang mana nih, pilihin ya…” (DE)
Gambar 4.37 Director sedang mengarahkan campers untuk pengambilan gambar
155
Gambar 4.38 Director maju memegang kamera memberi contoh kepada campers untuk pengambilan gambar
Ketika sudah memulai shooting, director dari tempat duduknya didepan monitor juga tetap mengarahkan host dan kru. Misalnya menginstruksikan host untuk geser ke kanan atau ke kiri, atau mengedit naskah host dengan mengurangi kata-kata, meminta campers untuk menaikan atau menurunkan kamera, meminta lighting man untuk mengganti warna lampu, meminta PA untuk menambahkan atau menggeser asesoris tambahan disamping host. Arahan director tersebut dilakukan director dengan berteriak atau menggunakan HT dan sambil melihat hasil gambar kamera di monitor. “…Kan ada monitor-monitor kan kamera ini bisa terlihat dalam monitor. Jadi si director di lapangan gampang untuk ngontrolnya, kamera ini angkat naik kurang atas kurang smooth gerakannya gini gini gini, ga usah datengin orangnya. Teriak aja, kalo ga teriak pake HT.” (NU)
Gambar 4.39 Director mengarahkan dari tempat duduknya
156
Gambar 4.40 Monitor yang digunakan director untuk melihat hasil gambar
Gambar 4.41 Director mengarahkan sambil melihat monitor-monitor
4.5.8 Proses Pengambilan Gambar Menurut herbert Zettl (2009), salah satu tahap dalam proses produksi adalah perekaman gambar (video recording). Menurut Zettl, Sebelum merekam gambar, memastikan kepada camera operator apakah kamera sudah siap atau belum, apakah white balance kamera sudah sesuai atau belum. Memperhatikan latar depan dan latar belakang untuk aksi adegan, mendengarkan dengan cermat berbagai suara latar yang terdengar selama pengambilan dan perekaman gambar dan suara. Selama proses perekaman gambar di Sexophone, cameraman selalu menjaga dan memantau posisi dan warna kamera, audio man memastikan suara-suara yang masuk dalam rekaman jangan sampai ada suara noise yang masuk, dan director yang memperhatikan dan memantau kualitas gambar yang dihasilkan di monitor.
157 Proses pengambilan gambar memiliki trik-trik tertentu sebagai strategi tim untuk menghasilkan visualiasai gambar terbaik. Untuk tapping host dan psikolog, tim selalu menggunakan dua kamera, yang satu adalah kamera EX3 dengan porta jib yang digunakan untuk mengambil gambar yang cakupannya lebih luas, yaitu secara keseluruhan. Sementara kamera yang kedua adalah kamera EX3 dengan tripod yang digunakan untuk mengambil gambar detail seperti gerakan tangan, gerakan mulut, mata, dan langkah kaki.
Gambar 4.42 Kamera EX3 dengan Tripod
Gambar 4.43 Kamera EX3 dengan Porta Jib
Pada saat yang bersamaan kedua kamera mengambil gambar, yang satu mengambil gambar objek sedang berjalan secara keseluruhan badan, kamera yang satu mengambil gambar detail kaki objek yang sedang melangkah berjalan. “Ketika yang satu master, satu kamera itu harus master. master itu biasanya itu…luasan gambarnya seluruh badan dan seluruh ruangan itu
158 terlihat. Yang satunya lagi buat gambar-gambar detil, gerakan tangan…muka, langkah kaki itu diisi. Jadi biar gambar yang master tetep, tapi disela-sela omongannya dikasi gerakan bibir gitu…” (NU)
Untuk menghasilkan gambar seperti ini, seorang campers dan director harus memiliki insting yang bagus untuk mengambil gambar-gambar terbaik dan dari angle terbaik. Gambar-gambar yang diambil harus bervariasi supaya tidak terkesan membosnkan dan monoton, artinya gambar yang diambil tidak hanya satu jenis gambar dan tidak hanya satu angle saja. Misalnya mengambil gambar host secara bervariasi seperti host duduk, berdiri, berjalan, sedang minum, atau sedang main billiard. Angle atau sudut pandang pengambilan gambar juga bervariasi seperti dari sebelah kanan, sebelah kiri, atau dari atas host. “…Itu sih insting dari seorang kamera harusnya ada, harus ada dari director nya yah, mau gambarnya seperti apa, framing nya seperti apa, apa harus jalan apa harus stay disitu atau pas naskah sekian harus nengok kesini atau kesana... Yang pasti sih itu harusnya dibuat bervariasi, agar penonton yang nonton nggak boring.” (RR)
Gambar 4.44 Dua kamera digunakan dengan posisi yang berbeda sehingga menghasilkan angle yang berbeda
159
Gambar 4.45 Kamera tripod mengambil gambar medium close up (kepala sampai bahu) host, sementara kamera porta mengambil gambar full shot seluruh badan host
Gambar 4.46 Kamera mengambil gambar host sedang berjalan
Gambar 4.47 Kamera mengambil gambar host sedang duduk
160 Selain itu juga harus fokus sehingga tidak kehilangan moment untuk pengambilan gambar. Misalnya gambar yang diambil hanya gambar objek berjalan secara keseluruhan badan, sementara gambar detail langkah kaki nya tidak diambil. Hal ini berarti campers tidak fokus dan kehilangan moment. “…dan kalo bisa jangan kehilangan moment, jadi harus fokus cameraman nya.” (NU)
Strategi lainnya adalah dengan change kamera atau pergantian kamera, yaitu ketika host membaca satu paragraf ia menghadap ke kamera EX3 porta, selanjutnya ketika paragraf berikutnya ia menghadap ke kamera EX3 tripod. “…Pake dua kamera itu lebih variatif, itu untuk variatif gambar sih sebenernya kalo ada dua kamera itu…jadi misalnya nih kamera 1 close ke Chantal, nanti yang kamera lainnya bisa ngambil gerakan tangan Chantal atau mungkin ngambil Chantal dari angle berbeda, itu lebih variatif, penonton juga ga bosen kan. Bisa change kamera juga, misalnya ngomong satu paragraf kesini, paragraf selanjutnya kesini…” (DE)
Setiap selesai mengambil satu take gambar, maka biasanya talent akan diam selama beberapa detik untuk memberikan jeda. Hal ini dilakukan agar proses editing menjadi lebih mudah, editor tidak akan kesulitan memotong dan menggabungkan gambar-gambar. Hal ini sejalan dengan yang dijelaskan oleh Zettl (2009) tentang proses perekaman gambar (video recording) bahwa setiap akhir take, pastikan talent diam beberapa saat dan kamera tetap merekam beberapa detik untuk materi tambahan. Hal ini juga akan mempermudah editor dalam mengedit gambar pada paska produksi. Untuk tapping Zoya, ada dua kamera yang digunakan yaitu kamera dengan tripod dan porta jib. Kamera ini bukan berasal dari vendor tetapi dari logistik TRANS TV. Proses pengambilan gambar untuk Zoya sama hal nya dengan Chantal.
161 Mengggunakan dua kamera, satu kamera untuk mengambil gambar keseluruhan dan satu kamera lainnya untuk mengambil gambar detail.
4.5.9 Evaluasi Shooting Ada evaluasi yang dilakukan tim pada saat proses produksi. Evaluasi dilakukan disela-sela shooting masih berlangsung. Biasanya, setiap kali selesai mengambil satu take atau satu gambar, hasil gambar yang baru saja diambil akan langsung dievaluasi. Jika sudah bagus maka hasil gambar akan langsung dipilih, namun terkadang jika sudah bagus namun merasa belum pasti, untuk amannya akan diambil gambar lagi sebagai cadangan atau yang biasa disebut gambar “choose”. Jika gambar masih belum bagus, maka akan dilakukan pengambilan gambar ulang atau retake. Gambar-gambar yang sudak “ok” atau ”choose” ditcatat oleh PA (Production Assistant) sebagai panduan untuk editing dalam memilih gambar di paska produksi. Biasanya dicatat di naskah lead host, sehingga di setiap segmen dari 1 sampai 5 di naskah sudah ada catatannya gambar mana saja yang “ok” dan “choose”.
Gambar 4.48 Catatan hasil gambar
162 Jika kamera kurang pas, maka akan langsung dievaluasi. Director akan langsung menginstruksikan untuk memperbaiki warna atau posisi kamera yang tadinya kurang tepat. Misalnya warna kamera terlalu gelap, atau gambar yang dihasilkan blur atau goyang akan langsung dievaluasi saat itu juga. “Sebenernya kalo denger Produser bilang take satu choose atau oke itu sebenernya evaluasi. Cut, Tom…kameranya jangan terlalu atas nanti pas…out frame nya. Atau misalnya Mba Chantal geser kemana gitu, itu sudah evaluasi.” (NU) “Oiya, kadang suka ada retake gitu kan. Retake itu kan sebenernya juga bentuk dari evaluasi juga kan. Oh gambar lo kurang ini nih gambar lo goyang misalnya, lo aa agak kekiri dikit deh jangan kekanan gitu. Itu evaluasi yang langsung makanya ada retake kan.” (DE)
Proses evaluasi yang dilakukan tim Sexophone di sela-sela pengambilan gambar, sesuai dengan pendapat Zettl tentang salah satu proses produksi yaitu perekaman gambar. Menurut Zettl, setiap kali selesai mengambil satu gambar, putar ulang pada monitor dan dilihat kenbali, jika sudah bagus maka shooting dilanjutkan dengan gambar atau adegan lain, namun jika hasil gambar kurang bagus maka bisa dilakukan pengulangan pengambilan gambar. Begitu pula yang dilakukan Director setiap selesai mengambil gambar akan langsung diputar ulang di monitor untuk dievaluasi.
4.5.10 Pemeriksaan dan Dismantle (Bongkaran) Setelah proses pengambilan gambar selesai, maka proses selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan gambar dan audio. Memastikan gambar-gambar yang diambil benar-benar terekam dan tersimpan, juga memastikan tidak ada noise dalam audio. Setelah sudah diperiksa dan semua lengkap, maka proses selanjutnya adalah mentransfer hasil gambar yang sudah direkam dengan memindahkan data dari memory card kamera ke hardisc untuk nanti akhirnya diberikan kepada editor. Proses pemeriksaan ini sejalan dengan pendapat dari Fachruddin (2012) tentang
163 pelaksanaan produksi. Menurut Andi, setelah selesai shooting, reporter dan camera person melakukan preview atau checking hasil shooting. Begitu juga yang dilakukan tim Sexophone, tim akan melihat kembali hasil shooting untuk memastikan bahwa semua gambar terekam dan tidak ada yang terlupakan. “Biasanya kita kan harus cek dulu audionya aman atau ngak, sebelum mastiin shooting selesai. Audio aman atau ngak, gambarnya ada semua atau ngak gitu, takutnya ga ke record misalnya. Nah kita kan pake kamera EX3, EX3 ini dia ga pake kaset dia pake kayak memory gitu jadi harus di transfer dulu ke hardisc, harus ditransfer ke hardisc gitu. Jadi setelah ditransfer baru kita mastiin ada semua ngak data-datanya, barulah kita bisa pulang...” (DE)
Setelah memindahkan data ke hardisc, maka proses selanjutnya adalah dismantle atau yang biasa disebut tim adalah bongkaran. Tim akan membereskan semua peralatan, megumpulkan dan mengecek kembali kelengkapan setiap alat baik dari segi kuantitas atau jumlah, dan dari segi kualitas apakah kondisi alat tetap bagus dan tetap sama seperti sebelum digunakan. Biasanya PA yang mencatat dan memastikan semua alat dan properti lengkap dan dalam kondisi yang baik. Proses dismantle atau bongkaran ini merupakan bentuk pertanggung jawaban tim terhadap peralatan khususnya yang dipinjam dari logistik kantor. Untuk peralatan yang disewa dari vendor atau rental, biasanya vendor-vendor tersebut yang membereskan dan mengecek peralatan mereka. “Jadi kalau sudah selesai kalo di kita sih bahasa kasarnya bongkaran yah. Jadi sesudah selesai shooting nanti kan alat-alatnya dibongkar lagi lampunya dan kameranya dikembalikan, kita cek lagi, biasanya tugas PA untuk mencatatnya, nah semua alat oke, kameranya dudah cukup, lampunya udah cukup oke kita selesai gitu kan pulang istilahnya.” (RR)
Proses bongkaran Sexophone sesuai dengan penjelasan dari Zettl (2009) tentang salah satu tahap dalam proses produksi yaitu strike and equipment check. Yaitu proses mengumpulkan dan memeriksa peralatan dan perlengkapan.
164 Membereskan semua peralatan shooting dan membawa kembali semua naskah, shot sheets, dan log sheets. Sebelum memasukan semua peralatan dan perlengkapan ke dalam kendaraan, floor manager, kepala kru, atau PA (production assistant) harus memastikan semua perlengkapan lengkap dan tetap berfungsi dengan baik sama seperti sebelum digunakan, pemeriksaan dilakukan dengan melihat checklist perlengkapan. Tim Sexophone akan memeriksa peralatan sambil melihat form good request sebagai (checklist) daftar peralatan yang digunakan. “…Biasanya karna kan kalo Sexophone itu kamera dan audio itu uda ada petugas penanggung jawabnya dari rental. Jadi kita kalo selesai shooting tinggalin aja ke mereka. Kalo alat-alat yang dibawa dari kantor tanggung jawab si pengambil alat itu dari logistik biasanya cameraman. Jadi prosesnya itu dikumpulin, dikembalikan harus sama jumlah sama jenisjenisnya, sama yang di logistik dites lagi, audio dicek-cek dulu, kamera dicek dulu…” (NU)
4.5.11 Kebersihan Menurut Zettl (2009), proses strike and equipment check juga berkaitan dengan mengatur lokasi tempat shooting, menata semua peralatan (furniture, tirai, dan lain-lain) yang ada di lokasi ke tempat semula, membersihkan lokasi. Di Sexophone, setelah proses bongkaran selesai, maka proses selanjutnya adalah membersihkan lokasi yang digunakan untuk shooting. Semua tim dibantu OB (Office Boy) ikut membersihkan dan merapikan lokasi seperti semula sebelum digunakan shooting. Setiap kali tapping, selalu ada satu orang OB yang ikut sebagai helper tapping. “…biasanya sih beres-beres ngebersihin lokasi. Itu sebenernya tanggung jawab kita semua cuma ada OB yang membantu.” (RR)
165 4.5.12. Kendala dan Hambatan Ada beberapa kendala selama proses produksi baik liputan maupun tapping. 1. Kendala liputan : Kendala liputan adalah ketika narasumber yang tiba-tiba membatalkan janji sehingga kinerja tim menjadi terhambat, jadwal berubah, atau bahkan sampai harus mencari narasumber lain yang merupakan hal sulit. “Kalo untuk proses liputan kendalanya janji sama narasumber, misalnya narasumber tiba-tiba ngebatalin…” (RR)
Selain itu, kendala saat liputan adalah jika sampai penyamaran tim liputan terbongkar. Oleh karena itu, setiap kali liputan, selalu ada rasa takut dan was-was jika ketahuan. Misalnya ke tempat hiburan malam yang tidak boleh membawa kamera, tim selalu merasa khawatir dan tegang ketika melewati security atau satpam. “…kalo kendala itu takut ketahuan…Atau karna kita… penelusuran…ditempat-tempat hiburan malem misalnya yang notabene nya ga boleh bawa kamera ga boleh bawa apa, deg-deg an nya adalah kalo kita ngelewatin security. Nah itu ya deg-degan nya disitu, karna kan kita harus nyamar lah harus apa gitu kan.” (DE)
Kendala lainnya adalah ketika gambar-gambar yang dikira sudah terekam ternyata tidak terekam. Beberapa kali terjadi kelalaian dimana kamera tersembunyi ternyata belum dinyalakan, tiba-tiba mati, jatuh, atau rusak. Kamerakamera tersembunyi juga tidak bisa diatur seperti kamera EX3, karena tim tidak bisa mengatur warna, terang gelap, kefokusan dari kamera tersembunyi. Sehingga gambar-gambar yang dihasilkan kadang tidak sesuai dengan yang diinginkan. “…Karna kendalanya di program ini ya sebenernya itu di produksinya misalnya kan kita pake aa apa alat-alatnya itu kamera-kamera tersembunyi. Kamera tersembunyi itu kan kita ga bisa atur kan, kalo
166 kamera PD biasa mau kita zoom, misalnya warnanya kurang terang bisa kita atur. Nah ini kan kamera tersembunyi yauda kadang-kadang gambar yang kita butuhin ga ada gitu misalnya. Gambar yang kita butuhin ternyata ga ke record misalnya, tiba-tiba kameranya mati gitu, itu kendalanya disitu…” (DE) 2. Kendala tapping : Kendala-kendalanya adalah seperti kru atau talent yang datang terlambat sehingga waktu produksi pun jadi mundur. Hal ini menyebabkan jadwal berubah, banyak waktu terbuang sia-sia karena keterlambatan SDM nya. Yang kedua adalah mati lampu di lokasi yang menyebabkan proses produksi terhambat. “Kendala banyak. Kadang-kadang pengisi acara baik host maupun bintang tamu terlambat, mati lampu..” (NU)
Yang ketiga adalah kendala gangguan pada audio seperti jika hujan turun maka bisa menganggu audio, atau suara-suara berisik mobil-mobil diluar yang masuk ke audio sebagai noise. “…Kalau untuk proses tapping nya sih jarang ada kendala paling hujan yah. Kalau hujan mungkin dilokasi... Audio nya keganggu tidak gitu kan, atau misalnya ada suara-suara bising mobil gitu-gitu sih, tapi itu jarang.” (RR)
Yang keempat adalah kendala pada kamera, karena memakai dua kamera sehingga warna kedua kamera harus benar-benar cocok dan sama. Kadangkadang ditemui warna yang berbeda pada kedua kamera, sehingga menghasilkan warna gambar yang berbeda dan tidak sinkron. Misalnya kamera EX3 porta yang mengambil objek seluruh badan warnanya lebih kekuningan, sementara kamera EX3 tripod yang mengambil close up bibir objek warnanya lebih kebiruan. “…Kebanyakan sih audio ya, misalnya audionya ini ni atau kendala kamera, kameranya kan kita ada dua kamera itu harus nyocokin warnanya harus sama. Kadang-kadang yang yang ditemuin adalah kamera yang ini ga sama dengan kamera satunya. Jadi pas jadi loh kok beda gambarnya, loh tone warnanya kok beda gitu, itu kendala teknis sih…” (DE)
167 4.5.13 Strategi atau Trik Untuk Melakukan Produksi Ada teknik tersendiri yang menjadi strategi untuk melakukan proses produksi liputan. Ketika sudah berhadapan dengan target, reporter harus bisa ber-akting dengan baik sehingga target tidak akan merasa curiga sedikitpun. Tim dituntut untuk pandai menyamar dan akting. Harus bisa bertanya-tanya untuk mendapatkan banyak informasi tanpa ketahuan identitas dirinya sebagai reporter. Oleh karena itu bahasa dan cara bertanya nya pun harus alami dan luwes seperti benar-benar seorang pelanggan atau konsumen dari target. Ketika sedang bersama target, usahakan banyak mengobrol tanpa harus melakukan seks, karena tujuan utama adalah menggali informasi sebanyak-banyaknya. Selain itu, harus pintar berkilah jika target sudah mulai sedikit curiga, harus mampu meyakinkan target dengan baik. Teknikteknik tersebut pada dasarnya disesuaikan dengan kondisi liputan masing-masing. Kondisi-kondisinya bisa berbeda-beda karena target atau narasumbernya juga selalu berbeda tiap liputan, sehingga cara menghadapinya pun juga berbeda. Misalnya, ketika liputan dengan pekerja seks komersial yang langsung ingin melakukan hubungan seks, maka triknnya adalah dengan memberikan uang diawal dan meminta pekerja seks komersial tersebut untuk berbincang-bincang terlebih dahulu. Lain halnya jika liputan tentang gigolo, tim akan berpura-pura menjadi gigolo, karena pelanggannya biasanya adalah wanita dewasa, maka triknya tidak bisa dengan memberikan uang, tapi dengan berdandan yang rapi sehingga disukai oleh pelanggan wanita dewasa. “…Kadang-kadang pas kita chit chat dia tu susah banget ngomongnya kayak gimana, kita sodorin uang sodorin uang. Biasanya kamu dibayar berapa, kita tanya gitu. Kayak di episode sex in the course, kalo ga salah si pelacurnya ga mau bilang pengennya langsung maen aja padahal aku ga pengen maen, aku pengen wawancara kan. Ngapain sih nanya-nanya kayak wartawan aja, trus aku langsung bilang…ngeles aja ya aku sebelum maen biasanya pengen ngobrol-ngobrol dulu biar nyambung, biasanya dibayar berapa, dibayar tiga ratus, yauda ini aku bayar enam ratus kita
168 ngobrol-ngobrol dulu. Eh jadi semangat dia gitu kan. Ada teknik-teknik yang ga kita rencanain tapi kita temuin, wah tekniknya harus kayak gini nih di lapangan, sesuai dengan kondisinya. Kalo misalkan sama pelacur yang kayak gitu kita tawarin uang langsung mau, kalo misalkan sama yang tante-tante gigolo mereka kan justru yang bayar cowo kan, bukan kita. Kita justru ga bisa…ngeliatin duit ke dia, tapi kita dandan lah sebelum liputan biar si tantenya semangat… Akan semakin terasah ketika sering melakukan itu. Kita jadi pandai berkilah, yang awalnya deg-degan sekarang uda ngak.” (NU)
4.5
Proses Paska Produksi Program Sexophone Berikut ini adalah hasil penelitian tentang proses paska produksi Sexophone
dan dikaitkan dengan teori-teori yang digunakan. 4.6.1 Proses Paska Produksi Secara Umum Berdasarkan penjelasan dari informan kedua (NU), dapat disimpulkan proses paska produksi Sexophone secara umum adalah : 1. Setelah selesai shooting liputan dan tapping, maka materi shooting tersebut akan diberikan kepada editor. Hasil rekaman suara wawancara saat liputan akan diproses oleh reporter yaitu melakukan verbatim. Verbatim adalah memindahkan semua hasil rekaman menjadi tulisan kata-kata. Semua pembicaraan yang terekam dijadikan bentuk tulisan secara detail. Hasil verbatim ini digunakan untuk membuat naskah dubbing voice over. Ketika verbatim, reporter juga mencatat time code atau kode waktu gambar untuk tiap tulisan. Di setiap bagian tulisan hasil verbatim ditulis time code rekaman gambarnya. Hal ini untuk memudahkan editor mengedit gambar yang dicocokan dengan tulisan naskah hasil dari verbatim. “Paska produksi yang biasa dikerjain adalah selesai liputan reporter memberikan materi liputan. Materi liputan itu dari hasil rekaman lalu melakukan verbatim. Verbatim itu aa memindahkan data hasil rekaman menjadi tulisan. Semua materi itu kita tulis… Buat naskah. Waktu verbatim itu kita menulis semua detail percakapan, kita menulis time code nya. Nah terus setelah verbatim selesai biasanya dua hari ditulis tangan
169 abis sampe berapa lembar gitu, akhirnya nanti tulisan tangan itu aku masukin lagi ke ketikan…” (NU)
2. Setelah selesai verbatim maka reporter akan membuat naskah VO, butuh waktu 2 sampai 3 hari untuk menyelesaikan naskah beserta time code nya. Hal ini untuk memudahkan proese editing oleh editor, karena naskah merupakan panduan untuk editing. Di dalam naskah ada tulisan dan ada time code gambar-gambar untuk mencocokannya dengan tulisan naskah. Naskah yang dibuat oleh reporter adalah gabungan dari hasil verbatim dan interpretasi pemikiran reporter itu sendiri tentang tema yang dibahas. Setelah naskah selesai, maka naskah tersebut akan diberikan kepada Produser untuk diperiksa kembali, Produser akan mengedit naskah yang dibuat reporter. Biasanya Produser hanya memperbaiki struktur kalimat yang salah atau mengganti kata-kata yang terlalu kasar atau vulgar. “…Nah setelah itu selesai, baru si reporter membuat naskah, naskah liputan… Nah naskah langsung disetor ke Produser, langsung di edit…Jadi setelah verbatim kita merangkai naskah membuat naskah, kalo naskah itu kan gabungan antara tulisan verbatim ya percakapan dengan aa tulisan kita interpretasi kita. Itu dikasihin ke Produser, Produser ngedit naskah itu…” (NU)
Gambar 4.49 Produser sedang mengedit naskah dari reporter
170
Gambar 4.50 Naskah yang sedang diedit oleh Produser
Proses menulis naskah yang dilakukan reporter Sexophone sesuai dengan pendapat Zettl (2009) tentang salah satu proses pra produksi yaitu menulis naskah. Menurut Zettl, naskah mewakili elemen penting produksi dari penyajian program televisi. Naskah memberi panduan artis tentang apa yang harus diucapkan olehnya. Naskah mengindikasikan bagaimana adegannya, dimana dan kapan adegan diambil, juga berisi informasi penting tentang pra produksi, produksi, dan paska produksi. Naskah berisi nama acara, tanggal, pengarah acara, dan remark atau ucapan kata-kata. Naskah program Sexophone memuat informasi tentang gambar adegan yang dipakai, backsound lagu, sound effect, dan narasi voice over. 3. Setelah naskah sudah diedit oleh Produser, maka naskah akan langsung diberikan kepada pengisi suara (dubber) Sexophone untuk langsung di dubbing. Proses dubbing dilakukan sendiri oleh dubber di ruang dubbing dengan panduan naskah. Dubber yang digunakan untuk Sexophone adalah suara wanita dewasa dengan suara yang seksi dan sensual. “…naskah yang udah diedit langsung di dubbing. Nah setelah di dubbing itu kan berupa kaset ya berupa vo di capture…” (NU)
171 Proses paska produksi di Sexophone mulai dari menyerahkan hasil liputan dan tapping ke editor, membuat naskah, proses dubbing, hingga proses editing offline dan online sesuai dengan penjelasan paska produksi dari Andi Fachruddin (2012). Menurut Andi, proses paska produksi mencakup : camera person dan reporter menyerahkan kaset atau card hasil shooting kepada news editor dengan data shooting (shooting list), proses editing, membuat grafik untuk pendukung materi berita, reporter membuat naskah berita yang disesuaikan dengan gambar atau suara yang di-shooting (disinkronisasi), proses dubbing. 4. Setelah proses dubbing selesai, maka data dari hasil dubbing akan ditransfer ke komputer editor. Semua materi liputan dan tapping harus dicek kembali sudah lengkap dan terkumpul semua untuk masuk ke editing. Hasil-hasil gambar liputan juga sudah diberikan kepada editor beserta panduan dari naskah yang berisi gambar apa saja yang dipilih dan dimasukan ke editing. Hasil gambar tapping host juga sudah diberikan kepada editor beserta catatan take gambar yang “ok” dan yang “choose” pada saat tapping. Gambar “choose” menjadi gambar pilihan atau cadangan bagi editor. Naskah juga diberikan kepada editor sebagai panduan editing. Setelah semua terkumpul maka editor akan langsung melakukan proses editing offline dan online. Pada editing offline, editor akan memotong dan menggabungkan gambar-gambar agar tersusun. Pada editing online, editor akan menambahkan transisi antara satu gambar dengan gambar yang lain, memasukan sound effect, memasukan special effect, memasukan suara VO dan backsound, serta memasukan tulisan. Proses editing Sexophone juga sesuai dengan pendapat dari Abidin (2009 : 32), bahwa ada beberapa kegiatan yang dilakukan pada tahap paska produksi, yaitu penyuntingan (editing), pemaduan, pencampuran (mixing), rekayasa kreatif
172 (manipulating, montage). Editor Sexophone menyunting atau memotong gambargambar, menggabungkan atau memadukan gambar-gambar tersebut, mencampur gambar dengan suara dubbing dan backsound atau lagu, serta memberikan efekefek khusus atau rekayasa kreatif. Editor akan menggabungkan gambar-gambar liputan dan gambar tapping host dan gambar wawancara dengan Zoya sesuai dengan panduan dari naskah. Artinya, naskah menjadi panduan atau guidance editor untuk mengedit. Naskah berisi urutan untuk suara voice over dan urutan gambar dari awal hingga akhir, dari host opening sampai host closing yang dtengah-tengahnya adalah gambar-gambar liputan dan wawancara dengan Zoya.
Setelah itu editor juga akan
menggabungkan suara hasil dubbing sebagai voice over, memasukan lagu-lagu atau backsound tertentu, hingga akhirnya selesai menjadi hasil editing final. Selama proses editing, editor juga ditemani oleh Produser, Asprod, atau reporter yang melakukan liputan. 5. Setelah selesai, maka hasil editing final akan di preview oleh Produser dan tim. Jika Produser sudah ok maka akan di preview oleh atasan yaitu Eksekutif Produser dan Kepala Departemen. Jika ada kritik maka akan diubah diedit kembali, jika sudah ok maka akan langsung di print yaitu dimasukan kedalam kaset DV 126. Hasil jadi yang sudah di print akan langsung diberikan ke LSF (Lembaga Sensor Film) dan ke Quality Control TRANS TV. Jika tidak ada perubahan atau kritik, maka akan segera ditayangkan. “…Masuk ke buat ng-editing…Nah barus diprosesnya sama editor… Setelah selesai editing terus preview sama kalo ada yang kurang diedit lagi, kalo uda oke langsung di print, kita serahkan ke QC quality control. Setelah QC sudah oke, langsung siap tayang…” (NU)
173 4.6.2 Strategi Penulisan Naskah Ada strategi tertentu dalam penulisan naskah untuk Sexophone, baik naskah untuk voice over maupun naskah untuk opening dan closing host. Strateginya adalah menggunakan bahasa yang tidak biasa yaitu bahasa kiasan dengan istilah-istilah, dan banyak menggunakan kalimat pasif sehingga alur kalimatnya bisa dibolak-balik tidak selalu kalimat aktif dengan subjek objek predikat. Penggunaan bahasa yang demikian adalah bahasa yang membuat penontonnya berpikir dua kali untuk mencerna maksud bahasanya. Namun sebenarnya bahasa yang digunakan jelas. Reporter menggunakan bahasa demikian dalam naskah juga berdasarkan target audiens program ini yang merupakan kalangan menengah keatas dengan tingkat pendidikan yang tinggi, sehingga dianggap mampu memahami bahasa-bahasa kiasan dan istilah. Cara tim untuk bisa menggunakan bahasa-bahasa tertentu adalah banyak mencari referensi dengan menonton tayangan acara, film, dokumenter-dokumenter luar negeri, seperti salah satunya adalah tayangan national geography. Tayangantayangan luar negeri banyak menggunakan bahasa istilah yang bagus. “Kalo teknis kalo bahasaku selalu pengen ngegunain bahasa yang gak biasa…Karna aku melihat juga siapa sih target audiens kita. Terus kadang-kadang aku ngeliat film-film kalo nggak dokumenter-dokumenter orang. Nah ini strategi aku juga nih aku sering perhatiin naskahnaskahnya liputan-liputan di tv-tv luar, channel-channel luar kayak national geography kan nggak ngerti bahasanya tapi keren. Langsung aku aplikasiin pokoknya kalo bisa tuh sering pake bahasa kiasan, bahasa orang yang harus mikir dua kali tapi sebenernya jelas. Sebenernya simpel gitu, cuma kata-katanya aja. Terus sama alurnya itu kita bisa main bolak-balik, nggak subjek objek predikat gitu terus nggak kalimat aktif. Tapi justru aku lebih banyak mainin kalimat pasif, justru mainin disitu…” (NU)
174 4.6.3 Trik Editing Untuk proses editing, ada trik dan kriteria tertentu untuk mengedit tayangan Sexophone yaitu : 1. Tim liputan menjaga editing, artinya panduan rundown yang dibuat tim liputan untuk editor harus benar-benar jelas. Tim liputan harus benar-benar paham dengan tulisan, gambar, dan alur panduannya. Tim harus membuat naskah sebaik mungkin agar editor tinggal mengikuti saja. “…Trik yang paling benar adalah tim liputan menjaga editing. Jadi kita paham benar maksud dari tulisan naskah itu seperti apa dan alurnya itu seperti apa. Ketika kita kasih tanda panah editing dibuat misterius, misteriusnya itu harus kayak gimana, tim liputan disini yang lebih tahu…” (NU)
2. Karena Sexophone adalah program invetigasi yang merupakan penelusuran diam-diam, maka gambar-gambar yang dihasilkan harus dirusak dengan cara bluring. Hal ini bertujuan untuk menjaga keamanan tim agar tidak dituntut oleh target yang diliput dan untuk menjaga keamanan identitas narasumber serta lokasi. “…Terus trik-trik editing nya itu paling blur-blur gambar, kita harus jaga identitas baik suara, gambar, terus kerahasiaan lah.” (NU)
Gambar-gambar yang harus di blur adalah : a. Adegan-adegan tidak senonoh atau gambar yang vulgar. b. Lokasi tempat transaksi, ikon-ikon, logo atau papan nama di lokasi. Untuk lokasi biasanya gambarnya akan di blur dan warnanya dibuat hitam putih c. Narasumber. Wajah dan tubuh narasumber akan di blur untuk menjaga keamanan identitas narasumber. “…Yang di blur-blur itu ya…pelaku, kan semua kita amankan ya identitasnya. Terus adegan-adegan yang kurang senonoh itu juga harus kita blur. Sama lokasi atau tempatnya keliatan, kayaknya gw tau deh ini
175 dimana, nah itu harus kita biasanya kita ancurin warnanya kita jadiin item putih. Terus kita blur-blur sedikit misalnya ada ikon-ikon yang logo atau apalah papan nama atau apa itu kita blur.” (DE)
3. Melakukan subtitling. Salah satu kriteria editing lainnya adalah merusak suara asli dari setiap orang yang ada di liputan. Suara narasumber yang disamarkan dengan dibuat tinggi (muppet) atau dibuat rendah. Hal ini juga untuk menjaga keamanan tim dan narasumber agar narasumber tidak dikenali dari suaranya. Karena suara dirusak, maka harus ada teks untuk membantu penonton mengerti apa yang sedang dibicarakan. Pembuatan teks ini disebut dengan proses subtitling, yaitu menerjemahkan suara narasumber menjadi teks. “…Jadi itu ada proses bluring sama titling. Titling itu kan suaranya nanti diancurin kan, suaranya entah di bikin berat atau dicemprengin, penonton kan ga tau apa yang diomongin jadi harus kita bantu dengan subtitling itu, titling teks…” (DE)
Gambar 4.51 Editor sedang melakukan proses editing bluring
4.6.4 Preview Setelah proses editing selesai, maka proses selanjutnya adalah preview. Preview adalah proses melihat kembali hasil jadi editing untuk memeriksa dan memutuskan apakah hasil editing sudah ok atau belum. Preview pertama kali dilakukan oleh Produser, Asprod, dan tim liputan. Mereka akan memeriksa apakah perlu ada yang diubah, dikurangi, atau ditambahkan. Misalnya blur di wajah
176 narasumber kurang yang menyebabkan wajah narasumber masih sedikit terlihat, maka akan langsung diedit kembali oleh editor. Produser atau Asprod akan memeriksa dari awal sampai akhir tayangan di ruang editor dengan memberikan catatan-catatan di setiap bagian yang perlu diperbaiki. “Sesudah editing itu nanti yang melakukan proses editing kan asprod sama Produser biasanya sih kita preview lagi dari segment 1 sampai segment 5…kalo misalnya rasa-rasannya udah bagus atau misalnya ada narasumber-narasumber tertentu yang nggak mau ditampilin wajahnya secara jelas gitu, nanti kita blur atau misalnya kita samarkan secara warna agar orang-orang tidak mengenali mereka.” (RR)
Gambar 4.52 Preview yang dilakukan oleh Mba Irene selaku Produser setelah editor selesai mengedit
Jika sudah diedit kembali oleh editor dan Produser sudah menyetujui, maka selanjutnya adalah di preview oleh atasan yaitu Eksekutif Produser dan Kepala Departemen.
Gambar 4.53 Eksekutif Produser Sexophone yang baru (Mba Yunizar) sedang preview haisl jadi editing
177
Gambar 4.54 Eksekutif Produser sedang evaluasi dengan Produser
Setelah preview dilakukan oleh EP (Eksekutif Produser), maka EP akan memberi masukan dengan membicarakannya kepada Produser. Masukan berisi kritik dari hasil jadi editing yang baru saja ditonton. Produser akan mencatat setiap kritik dan perbaikan dari EP, lalu akan diedit kembali. Jika tidak ada perbaikan, maka akan langsung di print dan diberikan ke LSF dan Quality Control TRANS TV. “Di Preview, pasti ada aku ya, ada aku ada asprod terus di preview sama atasan aku EP. Kalo ga ada EP ya Kadept, itu bareng-bareng. Nanti setelah itu kita ke QC quality control, uda akhirnya tayang.” (II)
4.6.5 Quality Control Gatekeeper
berfungsi sebagai orang yang
menambah, mengurangi,
menyederhanakan, mengemas agar semua informasi yang disebarkan lebih mudah dipahami. Gatekeeper sangat menentukan berkualitas tidaknya informasi yang akan disebarkan, karena baik buruknya dampak pesan bagi khalayak tergantung pada fungsi penapisan informasi ini (Nurudin: 2009). Di Sexophone, yang berperan sebagai Gatekeeper atau penyaring informasi adalah Produser, Eksekutif Produser, Kepala Departemen, Editor, Quality Control TRANS TV dan LSF. Setelah selesai di preview atau diperiksa oleh Produser, Eksekutif Produser, dan Kepala Departemen, maka proses selanjutnya adalah masuk dalam proses quality control LSF dan quality control TRANS TV. Setiap episode hasil tayangan di print menjadi 3, yaitu untuk
178 diberikan kepada LSF, kepada quality control TRANS TV, dan kepada Library. LSF akan mengkritisi kelayakan hasil jadi tayangan seperti, apakah blur nya sudah cukup pada gambar vulgar dan narasumber, kata-kata terlalu kasar dan tidak senonoh masih ada atau tidak, dan lain-lain. Jika sudah ok maka LSF akan meluluskan tayangan tersebut sehingga bisa ditayangkan. Selain LSF, hasil jadi tayangan juga masuk ke quality control TRANS TV, disana juga ada pihak yang memeriksa dan mengkritisi kembali hasil tayangan. Mereka akan mengecek gambar, suara, dan item-item lainnya apakah sudah memenuhi standar penyiaran atau belum. Jika sudah lolos dari pemeriksaan LSF dan quality control TRANS TV, maka hasil jadi akan langsung ditayangkan. Hasil jadi yang diberikan ke library adalah untuk disimpan, jika dibutuhkan dikemudian hari. Library adalah tempat penyimpanan kaset-kaset tayangan yang sudah jadi. “Nah itu melalui ininya dia dulu…apa QC nya dia dulu quality control nya Produser. Nanti kalo udah baru ke Eksekutif Produser Mas Memet biasanya. Nanti ada perubahan ga, misalnya minta ditambahin ini, dikurangin yang ini, setelah itu baru kita print, print ke kaset…baru kita masukin ke LSF sama ke quality control TRANS TV.” (DE) “…jadi kita itu setiap episode diprint 3 kasetnya. Kita kasih ke library baru dari library ke LSF, satu ke LSF, lalu ke QC dan satu lagi ke master edit. Master edit itu adalah nanti kalo misalnya dipake lagi, master edit itu ke library.” (II)
4.6.6 Rating dan Share Setelah sudah ditayangkan, maka sehari atau dua hari kemudian data rating dan share akan keluar dan diterima oleh Divisi Programming TRANS TV. Mereka akan mengirim email kepada bagian RCD (Research Creative and Development) di Divisi News hasil rating dan share. Setelah itu bagian RCD akan menyampaikan ke Produser hasil rating dan share nya. “Biasanya sehari atau dua hari sesudah tayang. Yang terima itu biasanya dari programming ya. Programming nanti kayak kirim email ke aa RCD
179 disini, nanti RCD yang akan aa menyampaikan ke Produser berapa rating dan share nya.” (RR)
4.6.7 Evaluasi Program Setelah program sudah ditayangkam dan data rating share sudah keluar, maka proses selanjutnya adalah evaluasi program. Evaluasi program yang dilakukan tim Sexophone adalah evaluasi secara keseluruhan dari awal pra produksi, produksi, paska produksi, sampai ditayangkan dan hasil rating share keluar. Evaluasi yang dilakukan adalah mencari letak kekurangan atau kesalahan dan kelebihan selama proses produksi satu episode tersebut. Evaluasi yang dilakukan tim bisa secara formal dan informal. Secara formal biasanya evaluasi program dilakukan seminggu sekali pada saat rapat pra produksi. Sebelum membicarakan untuk tema episode selanjutnya biasanya tim mengevaluasi episode sebelumnya. Pada evaluasi formal, semua tim berkumpul dan membicarakan hasil sebelumnya, secara rinci mengupas kekurangan dan kesulitan yang dialami selama proses produksi baik liputan dan tapping. “Kalo evaluasi secara keseluruhan itu sih paling kita ngadain rapat mingguan atau bulanan sih rata-rata ya… Kalo yang kumpul besar itu yang tadi yang rapat pas pra produksi tadi, nah itu akan dibahas semua uneg-unegnya disitu...” (RR)
Gambar 4.55 Rapat termasuk evaluasi program tim Sexophone secara formal
180 Sementara evaluasi secara informal dilakukan sambil ngobrol-ngobrol secara santai atau sambil bekerja dan tidak dituangkan dalam meja rapat. Membicarakan secara santai kekurangan dan kesulitan yang ada, serta penyebab hasil rating yang tinggi atau hasil rating yang rendah. “Ada evaluasi. Cuman itu sih…emang gaya kita pada selengean kali ya ga selalu harus dituangkan dalam meja rapat. Kadang-kadang kalo ngobrolngobrol biasa juga uda sambil evaluasi. Siapa aja bisa buka pembicaraan buat evaluasi...” (NU) “Ada sih. Kalo misalnya kok bisa tinggi, kenapa ya, oh ternyata penonton tu suka yang begini begini. Aa kok bisa rendah ya kenapa ya, dicari juga, oh ternyata penonton tu ga suka kalo tema-tema yang sensitif misalnya waria gitu mereka tu ga suka…” (DE) Selain itu, evaluasi yang dilakukan juga bisa berdasarkan budget. Evaluasi budget adalah melakukan evaluasi jika selama proses produksi terjadi over budget atau biaya yang digunakan lebih dari yang sudah dianggarkan. Selama evaluasi, dicari penyebab terjadinya over budget. “…Oo bisa juga sih, tapi biasanya itu sama bagian keuangan kan UPM, sama Produser sih biasanya. Itu kenapa kemaren bisa over misalnya. Karna kan penelusuran kita ga tau, kadang kita ga bisa kita cuma bisa kira-kira aja keluarnya segini, pas di lapangan oh ternyata kurang gitu.” (DE) Evaluasi program yang dilakukan tim sejalan dengan pendapat dari George R. Terry tentang fungsi keempat manajemen yaitu controlling. Controlling merupakan kegiatan pemantauan, pengontrolan, dan evaluasi dari tindakan atau aksi yang sudah dilakukan. Kegiatan untuk mengukur kesesuaian antara aksi pelaksanaan dengan rencana-rencana yang sudah ditentukan sebelumnya pada saat perencanaan. Dalam hal ini, tim melakukan evaluasi secara keseluruhan dari hasil program yang ditayangkan, dan dari keseluruhan tahap pra produksi, produksi, sampai paska produksi untuk mengukur apakah pelaksanaan ketiga tahapan tersebut sudah sesuai dengan perencanaan awal ketika pra produksi atau tidak. Jika tidak maka mungkin
181 ada kesalahan atau kekurangan yang dilakukan yang harus diperbaiki melalui evaluasi tersebut.
4.6.8 Kendala dan Hambatan Ada beberapa kendala selama proses paska produksi Sexophone : 1. Kendala SDM yaitu kurangnya kru yang bisa menjaga editing untuk menemani editor. Karena kesibukan masing-masing, kadang tidak ada yang ikut menemani editing. 2. Kru yang terbatas mengharuskan untuk bergantian menemani editor, sehingga waktu untuk menemani menjadi lebih lama karena kekurangan kru. Biasanya yang terjadi adalah kelelahan secara fisik. “…karena proses editing disini kan 24 jam gitu. Dan kita harus nungguin, sementara kru nya ini sangat sedikit, jadi ya kita…harus secara bergantian, fisik sih ya harusnya. Sehari kan 24 jam jadi kalo misalkan dibagi 3, masing-masing dapet 8 jam satu orang, sementara kadang kru nya kita cuman tinggal dua. Jadi kita ya harus berbagi seperti apa berapa jam satu orang dampingin editor.” (RR) 3. Kadang-kadang tim liputan tidak bisa menemani editor untuk editing karena terbentur dengan jadwal liputan. Sementara kehadiran tim liputan mendampingi editor sangatlah penting karena tim liputan yang paling tahu hasil liputannya. “Kadang-kadang ketika kita nungguin editing tapi kita terbentur sama jadwal liputan harus liputan...” (NU) 4. Kendala teknis seperti alat atau mesin komputer yang tiba-tiba hang atau rusak. Juga data yang tiba-tiba hilang. Hal ini membuat proses editing terhambat dan jadwal selesai yang sudah ditentukan tidak tercapai, karena butuh waktu tambahan. “Kalo paska tu paling misalnya teknis sih, alatnya tiba-tiba nge hang gitu jadi otomatis proses paska produksinya jadi over duration gitu. Misalnya harusnya selesai 3 hari jadi molor, sering begitu…” (DE)
182
5. Proses bluring dan subtitling merupakan proses yang sulit, sehingga sangat membutuhkan waktu ekstra untuk menyelesaikannya. Kru harus menemani editor untuk proses bluring dan subtitling karena merupakan proses yang penting. Kru yang paling paham gambar dan suara mana saja yang harus di blur dan disamarkan. Karena proses yang sulit, Editor sering dikejar-kejar waktu untuk segera selesai karena waktu editing Sexophone hanya 3 hari. “…Karna memang kan editing nya ini harus bener-bener ditungguin gitu, ya dilepas untuk beberapa waktu aja. Tapi harusnya memang ditungguin terus pas titling, bluring, itu tu harus ditungguin banget. Itu sih molor itu salah satu kendala juga sih, molor sama itu subtitling dan bluring itu kadang-kadang karna butuh waktu ekstra buat itu.” (DE)
4.6
Analisis SWOT Program Sexophone Menurut Freddy Rangkuti (2004), Analisis SWOT adalah identifikasi
berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang untuk memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Analisis SWOT digunakan sebagai dasar dari strategi program Sexophone dalam meningkatkan kualitas program dengan memaksimalkan kekuatan dan peluang, serta meminimalkan kelemahan dan ancaman dari program Sexophone. Analisis SWOT digunakan untuk merumuskan strategi tim yang terkait dengan proses produksi program Sexophone, yaitu merumuskan proses produksi terbaik berdasarkan keempat indikator tersebut. 4.6.1 Kekuatan (Strengths) Sexophone 1. Memiliki Co Host yang memiliki gelar seorang master psikolog untuk seksual yaitu Zoya Amirin. Sementara program seks penelusuran lainnya tidak memiliki
183 pakar psikologi seks. Dengan adanya Zoya, isu seks yang menyimpang ditanggapi secara profesional, juga dengan memberikan solusi. “Yang pertama itu host nya ya, Zoya itu kan Master psikologi untuk seksual. Jadi memang menurut saya dia satu-satunya orang yang punya gelar Master di Indonesia. Yang bener-bener bisa ngomong seks ini Zoya…” (MNH) “…Ga ada juga program lain yang menampilkan aa seksolog aa psikolog seksual kan belum ada, Zoya kan paling bintang tamu ini bintang tamu itu, tapi kan yang bener-bener di co host yang ada pakarnya itu belum ada…” (DE) 2. Membuka dan menginformasikan isu dan fenomena seks yang belum diketahui oleh masyarakat. Isu-isu yang tidak terpikirkan sebelumnya bahwa isu tersebut ada, di Sexophone isu tersebut justru dikuak. 3. Memiliki tema-tema seks yang berani, menarik, dan unik yang ternyata benarbenar terjadi di masyarakat. Tema-tema yang diangkat tidak biasa, bukan tema seks yang sudah biasa diketahui. Misalnya fenomena lidah sakti dimana ada seorang kakek yang membuka pengobatan terhadap alat kelamin wanita menggunakan lidahnya, atau fenomena layanan seks di dalam mobil mewah Alphard sambil mengitari kota Jakarta. Isu-isu tersebut bukan isu biasa, tapi unik dan menarik karena tidak biasa diketahui. “...Temanya itu yang benar-benar baru yang menarik terjadi dimasyarakat sekitar. Misalnya kayak fantasi car yang di Alphard, terus pemandu plusplus. Jadi tema atau sesuatu yang belum diketahui oleh masyarakat tapi ternyata ada.” (MNH) “…Kalo kamu liat dari tema-temanya kita cukup berani gitu. Cuman tetep ada di koridor yang benar, kita ga yang vulgar, kita pilih-pilih banget gambar mana yang harus masuk mana yang ngak…” (DE) 4. Sexophone sekarang merupakan program investigasi seks satu-satunya. Tidak ada program lain yang sejenis dengan Sexophone yaitu program yang investigasi dan membahas soal seks. Program-program lain yang membahas seks pengemasannya lebih ke arah life style dan bukan penelusuran seperti Sexophone.
184 “… program lain itu yang sejenis nggak ada unsur investigasinya, mereka lebih ke life style…” (NU) “Kalau strength nya ini, aku pikir program yang sejenis ga ada di stasiun tv manapun ya. Paling kalaupun ada mereka nyerempet-nyerempet dan ga berani seberani kita gitu. Pertama dari itu sih, kekuatan program kita ga ada program sejenis yang sama…Investigasi dan soal seks itu belum ada di televisi…” (DE)
5. Durasi program yang panjang yaitu satu jam. Dibanding program sejenis seperti program dulu yang berjudul Fenomena yang berdurasi hanya setengah jam. “Bisa dibagi-bagi, secara durasi ini program paling panjang di antara program sejenis satu jam…” (NU)
6. Durasi yang lebih panjang, menyebabkan informasi yang diberikan di program ini juga lebih banyak dan lebih mendetail. Konsep investigasi yang digunakan menelusuri fenomena secara keseluruhan mulai dari tim liputan melakukan riset dokumen dan lapangan, ketika menelepon dan membuat perjanjian dengan narasumber, datang ke lokasi, transaksi sampai selesai. Program seks lain tidak sedetail Sexophone, dan program sejenis yang dulu yaitu Fenomena juga tidak sedetail Sexophone karena durasi yang lebih pendek. “…Kalau sekarang tergali aktivitas jurnalistik investigasinya ketika penggambaran tim atau seorang reporter saat menelusuri sebuah fenomena, mulai dari riset komputernya aja itu udah ada gambarnya, mulai dari nelpon-nelpon narasumber. Kalau dulu Fenomena itu langsung kedaging-dagingnya, karena kan cuma setengah jam terus nggak ada pakar.” (NU)
7. Sexophone adalah program seks investigasi yang bukan hanya sekedar membahas seks, tapi juga memiliki nilai dengan adanya psikolog seksual yang juga memberikan solusi dan edukasi. “…Menurut aku kelebihannya sekarang ini kan trend masyarakat semakin berkembang, program ini menjadi wadah bagaimana berkembangnya seks untuk edukasi ke masyarakat. Program ini punya value bukan sekedar esek-esek.” (II)
185
Berdasarkan kekuatan-kekuatan yang dimiliki Sexophone, maka strategi terbaik terkait dengan proses produksi adalah dengan memaksimalkan kekuatankekuatan tersebut agar menjadi nilai lebih dan nilai jual program di banding program lainnya. Nilai lebih ini akan menguntungkan program karena membuat program Sexophone akan lebih disukai penonton dibanding program lain. Cara atau strategi tim adalah : a. Dalam memproduksi tayangan, tetap terus memakai Zoya sebagai co host, karena
kehadiran
Zoya
menjadi
kekuatan
besar
Sexophone
yang
membedakannya dari program seks lain. b. Terkait proses pencarian tema pada tahap pra produksi, tim tekun dan aktif mencari tema-tema seks yang menarik dan unik. Mampu menangkap fenomena-fenomena seks yang baru dan tersembunyi. Memperluas jaringan (fixer) agar update dengan berbagai informasi terkait fenomena seks. c. Terkait dengan tahap produksi liputan, memanfaatkan durasi satu jam dengan memberikan informasi yang men-detail tentang tema yang dibahas. Merekam segala peristiwa penelusuran mulai dari awal sampai akhir. d. Terkait dengan tahap paska produksi, mengemas tema seks sedemikian rupa sehingga menarik. Dengan trik dan konsep editing yang menarik, memberikan efek-efek gambar dan suara. e.
Memberikan solusi dan kesimpulan yang tepat dan baik di setiap akhir tayangan.
186 4.6.2 Kelemahan (Weakness) Sexophone 1. Gambar-gambar yang dibatasi, tidak bisa secara bebas mengambil gambar dan menampilkan gambar karena terbentur dengan etika. Tim liputan tidak bisa secara kreatif mengambil gambar karena dilakukan secara sembunyi-sembunyi. “…Untuk Sexophone yang investigasi kekurangannya ya adalah Masalah gambar ya. Jadi ruang nya sangat terbatas ga bisa bebas karena etika.” (MNH) 2. Gambar-gambar yang dihasilkan dirusak dengan cara di blur untuk keamanan dan menyembunyikan identitas. Kenyamanan penonton saat menonton berkurang akibat gambar-gambar yang menjadi tidak jelas kerena di blur. Gambar-gambar yang dihasilkan kurang berwarna dan gelap karena diambil secara diam-diam dan kamera tersembunyi tidak bisa diatur kualitas gambarnya. “…Satu kenyamanan penonton saat menonton itu kayaknya minim yah soalnnya banyak gambar yang di blur, banyak gambar yang gelap, gambar yang bagus justru kita rusakin untuk menyembunyikan identitas…” (NU)
3. Mengharuskan penonton untuk membaca teks karena suara yang disamarkan menjadi tidak jelas. Penonton harus berpikir lebih ekstra dengan membaca teks. “…Terus si penonton tuh, tapi ini juga jadi strategi sih, harus ngebaca subtitle karena suara disamarkan dan dirusak. Itu sebenernya kalau secara strategi kita menguntungkan karena bisa menahan penonton untuk stay di program kita...” (NU) 4. Jam tayang yang tidak tentu. Sexophone ditayangkan setelah bioskop TRANS TV, dan jam selesai bioskop kadang-kadang tidak tentu. Hal ini menyebabkan ketidakpastian penonton untuk menonton, dan penonton yang bosan karena menunggu. “…Jam tayang kali malem banget. Jam tayangnnya ngga tentu.” (NU)
187 Berdasarkan kelemahan-kelemahan yang dimiliki Sexophone, maka strategi terbaik terkait dengan proses produksi adalah dengan meminimalkan dan mengantisipasi kelemahan-kelemahan tersebut agar berkurang dan tidak menjadi hambatan bagi program. Cara atau strategi tim adalah : a. Untuk proses pengambilan dan penayangan gambar yang dibatasi, tim tidak bisa berbuat banyak, karena harus tetap mematuhi batasan etika yang ada. Dalam proses pengambilan gambar liputan, tim tetap mengambil gambar dengan detail selengkap-lengkapnya, namun tetap memperhatikan keamanan dan keselamatan diri. Sementara untuk penayangan, tim harus mengedit hasilhasil gambar dan suara sesuai dengan batasan etika yang berlaku. b. Untuk kenyamanan penonton yang terganggu karena gambar dirusak, tim harus bisa berupaya agar tayangan tetap menarik walaupun gambar banyak di blur. Cara atau strategi tim adalah pada proses produksinya memaksimalkan naskah semenarik mungkin, memaksimalkan cerita dalam tema tersebut, memberikan suara-suara backsound yang menarik. c. Untuk kelemahan yang mengharuskan penonton membaca teks, maka tim bisa memanfaatkan kelemahan tersebut untuk membuat penonton justru stay di program Sexophone. Dengan membaca teks maka penonton mau tidak mau akan terus stay menonton Sexophone dan mencerna isi tayangan Sexophone dengan baik dengan membaca teks. Sehingga tim harus memastikan teks nya benar-benar jelas. d. Untuk kelemahan jam tayang, tim tidak bisa berbuat apa-apa karena hal tersebut merupakan kebijakan dari programming TRANS TV dan tergantung dari jam selesai Bioskop TRANS TV yang tidak bisa diprediksi. Cara atau strategi tim menghadapi kelemahan ini adalah dengan membuat promo
188 berupa running text pada tahap paska produksi yang ditayangkan pada saat bioskop TRANS TV masih tayang untuk mengingatkan penonton tentang jam tayang Sexophone.
4.6.3 Peluang (Opportunity) Sexophone 1. Hal-hal berbau seks dan dunia malam pasti menjadi hal yang menarik dan disukai masyarakat. Karena seksualitas merupakan kebutuhan mendasar pada manusia khususnya pria. “Kalo menurut saya dunia malam, dunia remang-remang pasti akan disukai banyak orang. Buktinya majalah Playboy aja dicari, namanya libido, seksualitas itu kan konsep paling mendasar pada manusia ya itu… Karena merupakan kebutuhan mendasar manusia, lalu informasi.” (MNH) 2. Banyaknya penonton yang masih terjaga pada tengah malam yang sebagian besar adalah pria. Artinya, banyak penonton potensial yang bisa dijangkau pada tengah malam. Dan pria tentu saja menyukai tayangan yang berkaitan dengan seks. “Adalah pasti. Kita nyuri penonton yang masih melek jam segitu yang kebanyakannya laki-laki. Jadi ketika dikasih sodorin acara dia pasti nonton. Kalo dilihat di profil audiens penonton, kalo jam segitu itu emang penonton yang potensial atau penonton dominan itu laki-laki. Siapa sih laki-laki yang nggak suka dikasih tontonan berbau seks begitu kan…” (NU)
3. Rating dan share Sexophone selama ini stabil dan bahkan beberapa kali menembus target rating yang tinggi. Hal ini membuktikan program ini disukai dan memiliki kelompok penonton tertentu yang selalu menonton Sexophone. “Peluang sih masih tetep ada ya, karena dari ukurannya mungkin…kalo buat kita ya tetep aja dari share dan rating ya, sampe sekarang sih share dan rating kita masih stabil, berarti penonton kita juga... Walaupun misalnya tidak tinggi share dan rating nya tetapi kita punya penonton komunitas tertentu yang menonton acara kita.” (RR)
189 4. Fenomena seksual yang terus berkembang sehingga mash banyak tema-tema seks yang bisa diangkat. Seks merupakan fenomena sosial, isu seks dipengaruhi oleh kehidupan, dan kehidupan dipengaruhi oleh manusia. Artinya, selama masih ada manusia dan kehidupan, maka isu seks akan terus ada. Selama isu seks terus ada, maka tema yang bisa diangkat Sexophone juga akan terus ada yang tetap dikemas dengan benar. Sehingga tidak hanya menarik namun tetap pada batasan etika yang berlaku. “Peluang…fenomena seksual itu kan makin lama makin berkembang, ya selalu pasti akan ada terus tema yang bisa kita angkat. Tema tu masih banyak, jadi itu peluangnya kita masih tetep ada…” (DE) “Kalo menurut aku peluangnya cukup besar tapi asal dikemas dengan benar. Dan aku yakin ini berpeluang karena ini fenomena sosial. Selama masih nafas dan manusia ada kehidupan, isu tentang seks itu kan dipengaruhi oleh kehidupan, kehidupan dipengaruhi oleh manusia dan nafas kan...Jadi peluangnya besar, tapi dikemas dengan cara yang benar lah. Kalo aku, peluang bisa diciptakan oleh kita.” (II)
Berdasarkan peluang-peluang yang dimiliki Sexophone, maka strategi terbaik terkait dengan proses produksi adalah dengan memanfaatkan peluang-peluang tersebut secara maksimal agar bisa tetap membuat program bertahan dan terus meningkatkan kualitas program. Peluang-peluang ini menjadi jalan terbuka bagi Sexophone untuk mengembangkan program. Cara atau strategi tim adalah : a. Untuk peluang fenomena seks yang terus berkembang, maka strategi tim pada tahap pra produksi adalah harus mampu jeli, aktif, dan menangkap setiap fenomena-fenomena seks yang terjadi. b. Untuk peluang rating dan share program yang stabil, maka tim harus mampu mempertahankan rating share tersebut, bahkan harus terus meningkatkan. c. Untuk peluang banyaknya penonton pria yang menonton, maka sebelum memproduksi tayangan, tim harus mampu mengidentifikasi kebutuhan dan
190 keinginan pria sebagai target audiens utama untuk diimplementasikan pada program Sexophone. Dengan demikian maka program akan semakin disukai. d. Untuk peluang hal-hal seks yang sangat menarik dan sangat disukai, maka dalam proses produksi, tim harus mampu mengembangkan setiap tema seks yang dibahas dalam program agar semakin menarik sehingga tidak monoton.
4.6.4 Ancaman (Threats) Sexophone 1. Ada beberapa program dari stasiun televisi lain yang membahas tentang seks walaupun tidak sejenis dengan Sexophone dan jam tayang yang tidak sama, yaitu Mata Lelaki di TRANS 7, … ” …threat itu banyak program sama. Antv udah bikin, lalu TRANS 7 udah ada ya namanya Mata Lelaki. Artinya banyak program yang bisa juga mereka membuatnya…” (MNH)
2. Jam tayang yang tidak pasti dan maju mundur menyebabkan ketidakpastian penonton untuk menonton. Penonton justru bisa merasa bosan menunggu atau malah sudah terlanjur beristirahat karena terlalu lama. “…Terus yang kedua kalo di Trans ancamannya itu jamnya ga pasti, kadang jam setengah 1, jam 1, karena program bioskopnya maju mundur. Itu buat penonton males juga nunggunya…” (MNH)
3. Ancaman dari kompetitor yaitu program lain yang tidak sejenis tapi memiliki jam tayang yang sama dan memiliki jumlah penonton yang tinggi seperti, program FTV di SCTV, film, dan pertandingan sepak bola.
“Ancamannya kalo kompetitor itu biasa lah, saingannya ga satu genre, itu paling sinetron SCTV yang malem-malem, itu penontonnya SCTV itu gede banget yang FTV banyak tentang Bali gitu-gitu…” (II)
191 4. Ancaman dari narasumber yang menuntut karena wajah atau lokasinya dikenali. Contohnya kasus spa plus-plus dimana pemilik tempat menuntut karena ketahuan lokasinya akibat gambar yang kurang di blur. “…Oh nuntut ada, kemaren yang spa plus-plus, spa nya ga di-blur tapi masih ketahuan lokasi spa nya…” (MNH) 5. Ancaman dari KPI yang mengontrol tayangan-tayangan Sexophone yang berbau seks. KPI sudah dua kali memperingati Sexophone dengan memberikan dua surat peringatan karena gambar-gambar yang ditayangkan terlalu terbuka dan vulgar atau kata-kata yang dibicarakan terlalu kasar dan vulgar. “Kalo ancaman paling...karna kita kan selalu dikontrol sama KPI. Jadi…semua tayangan kita itu harus bener-bener kita perhatiin setelah kita dapat dua kali surat ancaman dari KPI itu, jadi kalo yang ketiga kan otomatis kita akan dibredel…” (DE) “…ancaman lebih ke bagaimana kita punya etika, kita beberapa kali diperingati KPI karena gambarnya vulgar esek-esek… Iya ancaman dari KPI dan narasumber. Tapi kan bagaimana kita mengemasnya biar meminimalkan ancaman itu.” (II) 6. Adanya ancaman keselamatan jika penyamaran dan penyelidikan tim sampai ketahuan. Karena penyelidikan tim dilakukan secara diam-diam di tempat-tempat hiburan malam yang berbahaya, dan yang diliput adalah bentuk penyimpangan. “…Ancaman itu bisa ke program itu sendiri otomatis ke stasiun tv sama ancaman keselamatan.” (NU)
Berdasarkan ancaman-ancaman yang dimiliki Sexophone, maka strategi terbaik terkait dengan proses produksi adalah dengan mengantisipasi ancamanacaman tersebut agar tidak membahayakan program Sexophone. Cara atau strategi tim adalah : a. Untuk ancaman dari KPI, maka tim harus bisa mengantisipasi ancaman tersebut dengan cara tetap taat dan patuh pada peraturan dari KPI dan mengikuti standar penyiaran selama proses produksi. Caranya adalah dengan
192 tidak menampilkan gambar-gambar yang terlalu vulgar dan seronok sesuai batasan-batasan yang berlaku. b. Untuk ancaman dari narasumber maka tim harus bisa menjaga agar tidak mengekspos narasumber hingga bisa dikenali orang lain. Inilah pentingnya menyembunyikan identitas narasumber pada tahap paska produksi dengan bluring gambar dan mengubah suara. c. Sementara untuk ancaman dari kompetitor, maka tim harus berusaha untuk selalu
mengungguli
program
lain
sebagai
kompetitor
dengan
mengidentifikasikan kekurangan kompetitor agar kekurangan tersebut bisa dijadikan keunggulan bagi Sexophone.
4.7
Diskusi Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, peneliti memberikan beberapa
analisa sebagai berikut : Sexophone adalah program berita invetsigasi yang fokus pada tema-tema seks. Konsep program ini sangat menarik karena menayangkan fenomena-fenomena seks yang baru, unik, tidak biasa, tersembunyi, dan belum diketahui sebelumnya oleh masyarakat. Karena pembahasannya adalah mengenai seks, maka Sexophone menjadi program dewasa dengan target audiens utamanya adalah pria dewasa. Seks menjadi hal yang sangat dan selalu menarik bagi manusia, karena merupakan kebutuhan krusial dalam hidup manusia. Pria adalah kelompok audiens yang paling tertarik mengenai seks. Karena merupakan program dewasa, maka program ini ditayangkan pada jam tengah malam agar tidak ditonton oleh penonton dibawah umur. Program Sexophone menjadi semakin menarik karena memiliki Host dan Co Host yang terkenal. Host nya adalah Chantal Della Concetta yang merupakan mantan
193 news anchor dengan image nya yang seksi dan sensual. Sementara Co Host nya adalah seorang pakar seksologi ternama di Indonesia yaitu Zoya Amirin Sexophone adalah program berita karena memuat informasi-informasi penting dan menarik yang didapatkan dengan cara investigasi atau penelusuran diamdiam. Berdasarkan proses produksinya, produksi Sexophone sebagai program berita sudah sesuai dengan kegiatan jurnalistik. Tayangan yang dihasilkan tim mengalami proses kerja jurnalistik yaitu didapatkan dengan mencari dalam tahap pra produksi yaitu pencarian tema dan riset, mengumpulkan dalam tahap produksi shooting liputan, setelah itu menulis naskah dalam tahap paska produksi, menyunting dalam proses editing, hingga menyebarluaskan atau menayangkan, dan disertai dengan liputan-liputan atau paket-paket video, hingga menjadi sebuah tayangan lengkap. Proses produksi program Sexophone baik tahap pra produksi, produksi, dan paska produksi sudah sesuai dengan teori produksi yang digunakan. Keseluruhan proses produksi Sexophone sudah memenuhi konsep proses produksi berdasarkan teori. Namun, urutan prosesnya tidak semuanya benar-benar sama dengan urutan proses produksi dalam teori. Ada beberapa perbedaan urutan-urutan proses produksi Sexophone dengan urutan produksi berdasarkan teori, hal ini karena proses produksi sebuah program televisi tidak bisa disama ratakan. Proses produksinya bisa berbedabeda tergantung dari konsep dan format program itu sendiri. Setiap program memiliki konsep dan format yang berbeda-beda. Ada program siaran langsung, ada program talkshow, ada program kuis, program games, variety show, olahraga, dan lain-lain. Contohnya, proses produksi program siaran langsung akan memiliki perbedaan dengan program tapping Sexophone. Program siaran langsung harus menulis naskah di tahap pra produksi. Sementara Sexophone, proses penulisan naskah berada di tahap paska produksi. Pada intinya,
194 semua program mengalami proses produksi dengan tahapan yang sama yaitu pra produksi, produksi, dan paska produksi. Yang membedakan hanyalah urutan prosesnya dan cara melakukan prosesnya. Program Sexophone yang merupakan program investigasi memiliki cara-cara khusus yang sulit dalam memproduksi sebuah tayangan. Karena dilakukan secara diam-diam dan tersembunyi. Proses produksi program Sexophone juga sesuai dengan teori manajemen produksi menurut Arifin dan Hadi, yaitu merupakan kegiatan untuk mengatur dan mengkoordinasikan atau mengarahkan penggunaan sumber daya organisasi berupa sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya alat, sumber daya dana, dan bahan-bahan lainnya
secara efektif dan efisien dalam rangka menciptakan dan
menambah kegunaan suatu barang atau jasa. Menurut Umar, manajemen produksi merupakan proses yang berhubungan dengan penciptaan atau pembuatan produk (barang atau jasa), dimana kegiatan meghasilkan produk tersebut bertujuan untuk mencapai tujuan perusahaan atau organisasi. Dalam hal ini, tayangan program Sexophone adalah produk yang dihasilkan oleh TRANS TV sebagai organisasi atau perusahaan yang dikerjakan oleh orang-orang (sumber daya manusia) yang memiliki tanggung jawab dalam organisasi yaitu para kru Sexophone itu sendiri. Proses produksi ini menggunakan peralatan-peralatan sebagai sumber daya alat, dan memerlukan budget atau biaya sebagai sumber daya dana untuk merealisasikannya. Dalam hal ini, TRANS TV sebagai organisasi memiliki tujuan yaitu agar program yang dihasilkan adalah program unggulan yang memiliki rating yang tinggi, sehingga manajemen produksinya adalah TRANS TV mengarahkan kegiatan untuk menghasilkan atau menciptakan
produk (berupa
tayangan program Sexophone) dengan mengkoordinasikan dan menggunakan kru
195 untuk bertugas, menggunakan peralatan dan biaya untuk mencapai tujuan menghasilkan program Sexophone yang bagus dengan rating tinggi. Selain itu, seluruh proses produksi (pra, pro, paska) Sexophone juga sesuai dengan teori manajemen yang menjelaskan tentang fungsi manajemen yang terdiri dari
Planning,
Organizing,
Actuating,
dan
Controlling.
Fungsi
Planning
(perencanaan dan persiapan) dan Organizing (koordinasi, pengarahan, pembagian tugas) sesuai dengan proses pra produksi Sexophone yang berupa segala perencanaan dan persiapan liputan dan tapping serta koordinasi dan pembagian tugas pada saat rapat pra produksi kepada seluruh kru baik untuk tugas liputan maupun tapping Host. Fungsi Actuating (aksi atau tindakan) sesuai dengan proses produksi Sexophone yang berupa kegiatan aksi pengambilan gambar dan suara (shooting) pada saat liputan investigasi dan tapping Host. Sementara fungsi Controlling (pengawasan dan evaluasi) sesuai dengan proses paska produksi Sexophone yang berupa kegiatan editing, lalu ada quality control (Quality Control TRANS TV, KPI, dan LSF) yang menjadi pengawas program Sexophone agar layak disiarkan, dan ada evaluasi program secara keseluruhan setelah program ditayangkan. Tahap pra produksi merupakan tahap paling penting dalam proses produksi. Tahap pra produksi merupakan perencanaan dan persiapan awal yang menentukan tahap-tahap selanjutnya. Ibarat kata jika awalnya sudah baik dan siap, maka untuk melakukan tahap selanjutnya juga akan baik dan siap. Di Sexophone, tahap pra produksi sangat menentukan tahap produksi dan paska produksi. Segala persiapan di tahap pra produksi harus dilakukan dengan baik, pencarian tema dan narasumber bukanlah sesuatu yang mudah. Pada tahap pra produksi, tim harus mampu menyiapkan tema, menemukan narasumber, merencanakan pengambilan gambar,
196 mempersiapkan segala kebutuhan-kebutuhan lainnya yang penting dan mendukung jalannya tahap produksi. Tahap produksi program Sexophone memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, karena merupakan program investigasi. Apalagi pembahasannya adalah mengenai seks. Hal yang menarik namun tidak mudah dicapai karena fenomena seks yang diangkat adalah yang tidak biasa dan terselubung, sementara tim harus mampu menguak fenomena tersebut. Pada tahap produksi, tim harus melakukan penyamaran, mengambil gambar diam-diam dengan kamera tersembunyi, masuk dalam tempat dan lingkungan seks yang berbahaya dengan adanya ancaman keselamatan. Tantangan tersulit program ini adalah pada tahap produksinya, dan hal tersebut yang membedakan program investigasi dengan program lainnya. Tahap paska produksi Sexophone juga memiliki kesulitan dan kerumitan. Proses editing harus benar-bear detail dan tidak boleh sampai ada kesalahan. Rekaman gambar dan suara yang dihasilkan adalah gambar dan suara yang vulgar dan seronok. Tim harus patuh pada etika, nilai-nilai, dan peraturan yang berlaku dengan melakukan bluring dan titling pada sebagian besar gambar. Inti kesuksesan dari seluruh proses produksi baik tahap pra produksi, produksi, maupun paska produksi ada pada komunikasi organanisasi yang terjalin. Hubungan antar tim atau kru Sexophone sangat baik dan erat, serta komunikasi yang lancar membuat proses produksi dilaksanakan dengan efektif. Artinya, semakin lancar komunikasi dan hubungan yang erat, akan semakin memaksimalkan pekerjaan. Menurut Pace dan Faules, komunikasi organisasi didefinisikan sebagai pertunjukan atau penyampaian dan penafsiran atau penerjemahan pesan di antara unit-unit komunikasi yang merupakan bagian dari suatu organisasi. Dalam hal ini,
197 TRANS TV adalah sebuah organisasi yang terdiri dari unit-unit komunikasi yaitu orang-orang (karyawan atau kru) yang saling berinteraksi, berhubungan satu sama lain dan melakukan proses komunikasi di dalam organisasi (TRANS TV). Ada poses penyampaian dan penerimaan (penerjemahan) pesan antara para kru Sexophone. Menurut Pace dan Faules, dalam komunikasi organisasi, komunikasi yang terjalin merupakan hubungan antara orang-orang (unit) dalam jabatan-jabatan (posisi-posisi) dalam organisasi. Dalam hal ini, komunikasi yang terjalin juga berdasarkan jabatan masing-masing tim dalam Sexophone mulai dari jabatan yang paling tinggi yaitu antara Kepala Departemen, Eksekutif Produser, Produser, Asisten Produser, Reporter, Production Assistant, Camera Person, Audio Man, Lighting Man, Make up Artist, Office Boy, dan sebagainya. Komunikasi berdasarkan jabatan ini khususnya terjalin pada saat komunikasi secara formal, di mana cara berbicara, cara menerima dan menanggapi pesan, cara mengambil keputusan dipengaruhi oleh jabatan-jabatan tersebut. Dalam organisasi, jabatan-jabatan mempengaruhi kewenangan seseorang, yang akhirnya juga mempengaruhi cara berkomunikasi dan jenis informasi atau pesan yang disampaikannya. Begitu juga yang terjadi pada tim Sexophone, Eksekutif Produser memiliki kewenangan yang lebh tinggi dibanding Produser, sehingga cara berkomunikasi nya pun lebih menggambrkan seorang pemimpin kepada Produser. Jenis informasi yang diberikan berupa kritik, saran, pemberitahuan tentang tugas kepada produser. Proses komunikasi yang terjalin di Sexophone terdiri dari 3 jenis aliran informasi, yaitu komunikasi ke bawah, komunikasi ke atas, dan komunikasi horisontal. Proses komunikasi ke bawah adalah komunikasi dari jabatan yang lebih tinggi ke jabatan yang lebih rendah yaitu seperti, komunikasi dari Produser ke
198 seluruh kru Sexophone (Asisten Produser, PA, Reporter, Camera Person, dan sebagiainya) tentang pembagian tugas liputan dan tapping. Komunikasi ke atas adalah komunikasi dari jabatan yang lebih rendah ke yang lebih tinggi yaitu seperti, komunikasi dari Reporter ke Produser pada saat presentasi rundown atau perencanaan liputan, dan ketika Reporter mengalami kesulitan liputan dan memberitahukannya kepada Produser untuk mendapatkan saran dan bantuan dari Produser. Sementara proses komunikasi horisontal adalah proses penyampaian informasi diantara rekan-rekan sejawat dalam unit kerja yang sama yaitu seperti, komunikasi antara sesama Reporter Sexophone tentang informasi penjadwalan penugasan liputan, dan komunikasi antara sesama Production Assistant tentang membagi tugas (yang satu survei lokasi dan yan satunya membuat surat perjanjian kerja sama dengan lokasi tersebut). Analisis SWOT program Sexophone menjadi panduan dan dasar program untuk membuat strategi yang tepat terkait dengan proses produksi, untuk banyak dibanding kelemahannya. Oleh karena itu, tim harus mampu mempertahankan dan memaksimalkan kekuatan-kekuatan program yang digunakan sebagai nilai lebih dan pembeda dibanding program lainnya. Kelemahan-kelemahan program menjadi kesulitan tersendiri karena diluar kuasa tim. Masalah gambar yang memang terbentur dengan etika, dan masalah jam tayang yang ditentukan dari bagian programming TRANS TV. Namun, menghadapi hal ini tim tetap memiliki cara dan strategi terbaik untuk mengatasi kelemahan-kelemahannya. Selain itu, program ini masih memiliki peluang besar untuk terus eksis, apalagi karena merupakan program yang membahas tentang seks. Tidak ada manusia yang tidak tertarik pada seks baik pria maupun wanita, khususnya pria.
199 Sementara ancaman-ancaman yang dimiliki program adalah ancaman keselamatan jika ketahuan saat liputan, ancaman tuntutan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan dari penayangan program, dan ancaman dari KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) yang sangat membatasi penayangan program. Asalkan tim tetap berhati-hati, menjaga identitas tempat maupun narsumber, dan tetap mematuhi batasan yang berlaku, maka ancaman-ancaman tersebut tidak akan menjadi masalah besar.