BAB 3
PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN A. Konsep Kepemilikan Dan Penguasaan Tanah Sultan Ground Di Daerah Istimewa Yogyakarta 1. Asal Usul Sultan Ground Kasultanan Yogyakarta Berawal dari Perjanjian Gianti 13 Februari 1755 yang ditandatangani antara Mangkubumi, Susunan, dan Gubernur Pantai Timur Laut Jawa Nicolas Hartingh pada tahun 1755 inilah yang dianggap sebagai berdirinya Yogyakarta. Sebelum Perjanjian Gianti, yang salah satu isi pokoknya Kompeni Belanda menyerahkan sebagian atau setengah tanah wilayah Kerajaan Mataram bagian barat kepada Pangeran Mangkubumi yang ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755, Sri Sunan Paku Buwono III dalam suratnya pada tanggal 4 November 1754 menyatakan puas dan gembira atas pembagian Kerajaan Mataram menjadi 2(dua) dan mengharapkan agar hal ini akan dapat membantu untuk menenteramkan tanah Jawa. Atas dasar peristiwa ini maka tanah Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat bukan pinjaman dari Kompeni Belanda, akan tetapi hak milik Sri Sultan Hamengku Buwono dari hasil perang yang diakhiri dengan Perjanjian Gianti 13 Februari 1755. Hal ini dikarenakan pada tanggal 11 Desember 1749 Sunan Paku Buwono II ( Ayah dari Sri Sunan Paku Buwono III) telah menandatangani surat yang intinya menyerahkan
kewenangan, kekuasaan atau kedaulatannya kepada Pemerintah kompeni Belanda, sehingga penyerahan tanah oleh Kompeni Belanda yang diwakili Gubernur Nicolas Hartingh sebagai hak milik kepada Pangeran Mangkubumi adalah sah secara hukum sebagai hasil peperangan. Sejak saat
itulah
setelah
perjanjian
Gianti
ditandatangani,
Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat mempunyai tanah dengan status hak milik yang merupakan hasil perang Pangeran Mangkubumi melawan kompeni Belanda. Lalu apakah yang dimaksud dengan hak tanah yang dimiliki Pangeran Mangkubumi dari hasil perang atau setelah Pangeran Mangkubumi menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono I yang saat ini biasa disebut dengan Sultan Ground (SG), Tanah Kasultanan atau Sultan Ground adalah tanah hak milik adat dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat disebutkan sebagai hak milik adat dikarenakan sejak VOC Belanda masuk di Indonesia penduduk Indonesia dibedakan menjadi 3 golongan, yaitu; Golongan Eropa, Golongan Timur Asing, dan Golongan Pribumi (Indonesia). Sehubungan penggolongan penduduk ini, maka perlakuan hukumnya juga berbeda, untuk golongan Non pribumi (Eropa dan Timur Asing) diberlakukan hukum barat, sedangkan untuk golongan Pribumi diberlakukan hukum adat. Oleh karena itu, Pangeran Mangkubumi atau Sultan HB I adalah termasuk golongan Pribumi, maka diberlakukan hukum adat yang hak milik atas tanahnya tunduk pada hukum adat. Dalam peralihan negari atau pembagian wilayah Kerajaan Mataram menjadi 2
(dua) bagian masing masing yaitu Sunan Paku Buwono III dan Pangeran Mangkubumi mendapat bagian 53100 cacah sebagai wilayah Negaragung, sedangkan sebagai mancanegara Sunan Paku Buwono III mendapat 32350 cacah dan Pangeran Mangkubumi mendapatkan 33950 cacah. Lalu dalam perkembangan
wilayah
mancanegara
dari
Negeri
Ngayogyakarta
Hadiningrat sudah lepas pada era perang Diponegoro,serta sebagai hak milik atas tanah yang sah, sebagian sudah ada yang dilepaskan status hak miliknya kepada yaitu; 1) Orang asing ( Non Pribumi) dengan hak eigendom (hak milik) mendasarkan hukum barat. 2) Orang pribumi dengan hak andarbe (hak milik) mendasarkan hukum adat. Dengan kata lain tanah tanah yang sudah diberikan atau dilepaskan kepada pihak lain ( orang asing maupun pribumi) dengan status hak milik sudah tidak termasuk Sultan Ground (SG) lagi. 2. Sejarah Konsep Hak Milik Dan Penguasaan Tanah Sultan Ground Jika dilihat dari asal usul tanah Sultan Ground yang ada di Yogyakarta ini adalah tanah yang diperoleh dari hasil peperangan oleh Pangeran Mangkubumi dan tanah tersebut adalah milik raja yang kemudian dikenal dengan istilah Sultan Ground (SG) maupun Pakualaman Ground (PAG), lalu status hak milik atas tanah dari Sultan Ground (SG) didasarkan
dengan hukum adat yang berlaku pada saat itu. Wewenang hak milik menurut hukum adat ditunjukkan pada kewenangan pemiliknya untuk memanfaatkan, mengalihkan lepas atau meminjamkan sementara harta bendanya dalam hal ini berwujud tanah kepada pihak lain atau memberlakukan suatu benda (dalam hal ini tanah) sebagai kepunyaan sendiri, meliputi hak untuk memperoleh hasil sepenuhnya dari tanah dan serta untuk mempergunakan tanah itu seolah-olah pemegang hak itu pemiliknya serta mendapatkan pengakuan dari warga masyarakat. (Sudikno
Mertokusumo,1982:13)
Pertama
kali
pengelolaan
hak
kepemilikan dan penguasaan tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta dilakukan dengan system apanage dengan mendasarkan Pranatan Patuh, dalam system apanage atau kepatuhan ini tanah tanah diperuntukkan bagi para abdi dalem sebagai patuh dan merupakan gajinya. Dalam perkembangannya system apanage dirasakan terlalu memberatkan beban masyarakat, maka pada tahun 1914 diadakan reorganisasi di politik, ekonomi dan pertanahan, dengan; menghapus sistem apanage, membentuk kalurahan, mengubah dasar sewa tanah dan memberikan hak atas tanah yang lebih kuat kepada penduduk Bangsa Indonesia/Pribumi. (Sudikno Mertokusumo,1982:30)
Setelah
dihapusnya
sistem
apanage
lalu
dikeluarkannya Rijksblad Kasultanan tahun 1918 nomor 16 dan Rijksblad Kadipaten tahun 1918 nomor 18, ternyata dengan dikeluarkannya Rijksblad sebagai pernyataan domein tidak mendapatkan reaksi atau
penolakan dari Pemerintah Belanda yang saat itu masih berkuasa. Isi dari Rijksblad seperti pada pasal 1 bahwa; “Sakabehing bumi kang ora ana tanda yektine kadarbe ing liyan mawa wewenang eigendom, dadi bumi kagungane Karaton Ingsun Ngayogyakarta-Pura Paku Alaman” Dari ketentuan pasal 1 Rijksblad tahun 1918 ini menunjukkan bahwa dari tanah Kasultanan maupun tanah Kadipaten sudah ada yang dilepaskan penuh kewenangannya untuk selama lamanya dengan hak eigendom diatas tanah kepada orang asing berdasarkan ketentuan hukum Belanda. Selanjutnya menurut pasal 3 ayat 1, semua tanah terletak dalam wilayah yang telah direorganisir yang nyata nyata dipakai rakyat, baik yang ditempati maupun yang diolah secara tetap atau tidak tetap seperti yang tercatat dalam Kalurahan, diberikan kepada Kalurahan baru tersebut dengan hak anggaduh. Tanah tanah yang diberikan kepada pamong pamong Kalurahan adalah tanah tanah yang termasuk dalam register Kalurahan yang bersangkutan. Jika dilihat dari ketentuan pasal 3, 4, dan 7 Rijksblad dapat diartikan ; a) Tanah yang berada di wilayah Kalurahan yang telah dibentuk sebagai wujud reorganisasi diberikan dengan hak anggaduh menurut hukum adat b) Penduduk/warga masyarakat di wilayah Kalurahan yang nyata nyata memanfaatkan tanah untuk diolah atau ditempati diberikan hak anganggo turun temurun (dapat beralih dan/atau dialihkan)
c) Kalurahan diwenangkan memanfaatkan tanah maksimum seluas 1/5 dari tanah Kalurahan yang selanjutnya disebut tanah desa, yaitu untuk; pengarem arem (pensiun pamong), lungguh/bengkok (gaji), dan sumber pendapatan Kalurahan (kas desa) d) Tanah lainnya yang tidak termasuk tanah hak anganggo turun temurun penduduk dan tidak termasuk tanah desa masih merupakan domein bebas dari Kasultanan-Kadipaten, misalnya tanah kehutanan, wedi kengser, oro oro, gisik sepanjang pantai laut, kepentingan sosial, kebudayaan dan agama yang disebut tanah Negeri. Sedangkan untuk dalam kota, berdasarkan pada Rijksblad Kasultanan 1925 nomor 23 dan Rijksblad Kadipaten 1925 nomor 25, tanah tanah yang nyata nyata dimanfaatkan penduduk baik untuk usaha atau tempat tinggal diberikan hak andarbe (hak milik menurut hukum adat). Dengan demikian tanah tanah Kasultanan-Kadipaten yang sudah dibebani hak eigendom milik orang asing dan hak andarbe milik orang Pribumi sudah bukan menjadi kewenangan/domein bebas Kasultanan-Kadipaten lagi, melainkan sudah menjadi hak milik dari warga perseorangan (masyarakat). Selanjutnya setelah Indonesia merdeka dan Yogyakarta bergabung dengan NKRI dibentuknya Daerah Istimewa Yogyakarta setingkat Provinsi melalui Undang Undang Nomor 3 tahun 1950, Yogyakarta diberikan kewenangan otonom yang salah satunya dalam urusan bidang agraria atau pertanahan. Dalam pengaturan pertanahan saat itu masih
berdasarkan Rijksblad Kasultanan nomor 16 tahun 1918 dan Rijksblad Kadipaten nomor 18 tahun 1918 yang juga diturunkan dengan dikeluarkan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengatur tentang pertanahan hal tersebut dimaksudkan juga guna untuk menunggu lahirnya Undang undang agraria yang bersifat Nasional. Keluarnya Undang Undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (UUPA) yang dimaksudkan sebagai aturan agraria secara nasional termasuk wilayah DIY nyatanya belum bisa diterapkan secara penuh dikarenakan baru merupakan ketentuan ketentuan pokok yang masih memerlukan peraturan perundang undangan lebih lanjut, maka dalam Pasal 56 dan 58 UUPA dijelaskan sebagai ketentutan peralihan, selama peraturan pelaksanaan yang dimaksud belum ada maka yang diberlakukan adalah peraturan peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang berlaku pada saat UUPA diundangkan. Dengan kata lain Undang Undang nomor 5 tahun 1960 (UUPA) belum diberlakukan sepenuhnya di DIY, namun baru diberlakukan untuk tanah tanah dengan status hak barat (yaitu; Hak eigendom, Hak opstal dan Hak Gebruiks) sedangkan untuk tanah tanah hak (yaitu; Hak andarbe, Hak milik perseorangan turun temurun, dan Hak milik Kasultanan-Kadipaten) mendasarkan pada hukum adat yang masih diberlakukan dengan ketentuan yang lama, yang kemudian pada tahun 1984 UUPA baru diberlakukan sepenuhnya di Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 33 tahun 1984. Ada beberapa pendapat bahwa setelah diberlakukannya
UUPA secara penuh di DIY berarti Tanah Kasultanan (SG) dan Tanah Kadipaten (PAG) sudah tidak ada dan dihapus menjadi tanah negara, hal tersebut didasarkan dengan berlakunya UUPA berarti Diktum Keempat A UUPA berlaku terhadap tanah Kasultanan-Kadipaten, karena Kasultanan dan Kadipaten merupakan pemerintahan Swapraja yang terikat dengan perjanjian
atau
kontrak
dengan
pemerintah
Belanda
(Mr
Usep
Ranawidjaja, 1975: 1-7), seperti yang tertuang dalam surat perjanjian antara pemerintah Belanda dengan Kasultanan Yogyakarta tertanggal 18 Maret 1940 yang ditandatangani Gubernur Dr. Lucien Adam dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dalam pasal 1, 6 dan 12 yang intinya Kasultanan bukan Negara merdeka. Oleh karena itu dengan berlakunya UUPA ,tanah swapraja Yogyakarta beralih menjadi tanah negara. Kemudian pada tahun 2012 dikeluarkannya kebijakan baru yaitu Undang Undang nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam Undang Undang Keistimewaan ini Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki kewenangan dalam hal keistimewaannya seperti; tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; kebudayaan; pertanahan; dan tata ruang. Pertanahan dan tata ruang termasuk dalam 5 kewenangan keistimewaan tersebut, Undang Undang Keistimewaan ini menjadikan atau menetapkan Kasultanan dan Kadipaten sebagai Badan hukum yang dapat memiliki hak atas tanah seperti lembaga yang sebelumnya juga sudah memiliki hak atas tanah yaitu; Bank
Pemerintah, Koperasi Pertanian, dan Yayasan Sosial Keagamaan. Undang Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta saat ini sebagai dasar atau payung hukum dilaksanakannya inventarisasi, identifikasi dan pendaftaran sertifkat tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten karena dalam Pasal 43 Undang Undang Keistimewaan DIY menyebutkan Gubernur selaku Sultan Hamengku Buwono yang bertahta dan/atau Wakil Gubernur selaku Adipati Paku Alam yang bertahta bertugas melakukan inventarisasi, identifikasi
tanah
Kasultanan
dan
Kadipaten
yang
selanjutnya
mendaftarkan hasil inventarisasi dan identifikasi kepada lembaga pertanahan. Mengenai hal pertanahan yang dicantumkan dalam Undang Undang Keistimewaan DIY tersebut kemudian guna pelaksanaan pemanfaatan, pengelolaan dan penatausahaan dijelaskan pada Peraturan Daerah Istimewa DIY tentang Kewenangan Dalam Urusan Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dan juga diatur dengan Perdais Pertanahan. Dengan adanya hal tersebut pada pasal 33 ayat (4) UU Keistimewaan DIY warga masyarakat atau pihak lain yang akan memanfaatkan atau menggunakan lahan diatas tanah Kasultanan harus membuat permohonan ijin Kekancingan kepada Keraton Ngayogyakarta dalam hal ini ditangani oleh Panitikismo Keraton Ngayogyakarta.
B. Konflik Hak Kepemilikan Dan Penguasaan Tanah Sultan Ground Di Pesisir Pantai Kabupaten Gunungkidul 1. Pemetaan Konflik Pemetaan konflik merupakan tehnik penggambaran yang menunjukkan hubungan
antara
menghadirkan
para
gambaran
pihak
dalam
konflik,
konflik.
meletakkan
Digunakan para
pihak
untuk dalam
hubungannya dengan masalah dan kaitan satu dengan yang lain. Dalam penelitian ini konflik yang terjadi mengikuti perkembangan pariwisata di Kabupaten Gunungkidul saat ini bisa dibilang sangat meningkat dengan jumlah destinasi wisata alam yang semakin banyak, seperti destinasi wisata pantai yang semakin menjamur hal tersebut tentu saja semakin mengundang wisatawan untuk berkunjung lebih banyak. Intensitas pengunjung yang semakin banyak ini tentu saja mendatangkan pendapatan yang melimpah bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul maupun pedagang khususnya warga pesisir pantai, hal tersebut juga mengundang investor untuk menanamkan investasi di sektor pariwisata Kabupaten Gunungkidul yang bisa saja dengan kedatangan investor ini meminggirkan pedagang ataupun usaha warga masyarakat sekitar pesisir pantai, disisi lain kawasan pantai dipetakan sudah merupakan kawasan Sultan Ground (SG) yang saat ini mulai diinventarisasi oleh Kasultanan, lalu adanya kebijakan penertiban dan penataan kawasan pantai oleh Pemerintah Kabupaten Gunungkidul yang juga menimbulkan permasalahan di pesisir pantai Gunungkidul. Padahal menurut teori (Sumardjono, 2008)
mengatakan tanah adalah salah satu sumber alami penopang kehidupan, penguasaan masyarakat terhadap tanah merupakan hal yang tidak dapat ditawar tawar seperti halnya tanah tanah Sultan Ground yang digunakan dan dimanfaatkan guna mata pencahariannya dan lainnya oleh masyarakat di
daerah
pesisir
pantai
Kabupaten
Gunungkidul.
Mulai
dari
perkembangan dan kondisi tersebut saat ini sudah banyak muncul permasalahan pertanahan di Kabupaten Gunungkidul khususnya mengenai hak milik dan pemanfaatan tanah berpotensi di kawasan Sultan Ground wilayah Kabupaten Gunungkidul. Dalam hal ini penulis ingin memetakan konflik dengan model segitiga ABC (attitude, behaviour, context) berdasarkan dengan masalah yang diperselisihkan yaitu penggunaan sempadan pantai sebagai lahan usaha serta pendirian bangunan oleh warga pesisir dan juga keinginan atau kekhawatiran oleh masing masing pihak dalam konflik tersebut. Dilihat dari pihak pertama yang terlibat dalam konflik dan bersinggungan dengan stakeholder yaitu Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul, berikut adalah gambaran untuk memetakan presepsinya :
Gambar 3.1 Peta Konflik Presepsi Pemerintah Daerah
(Perilaku) • Sosialisasi untuk pengosongan sempadan pantai guna penertiban • Penggusuran lahan usaha dan bangunan di sempadan pantai
(Sikap) Kebijakan penertiban dan penataan sempadan pantai
(Situasi) Inventarisasi SG dan MoU Pemda dengan Kasultanan Yogyakarta
Dari peta tersebut menurut penjelasan dari Kepala Subbag pengendalian pertanahan dan pembinaan wilayah Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul polemik yang terjadi yaitu sengketa hak pemanfaatan sempadan pantai oleh masyarakat yang mereka klaim sudah menggunakan dan menggarap tanah yang notabene tanah Kasultanan (Sultan Ground) sejak lama kenapa dipermasalahkan setelah adanya Undang Undang Keistimewaan Yogyakarta dengan ada inventarisasi tanah sultan ground dan bentuk adanya penertiban dan penataan di kawasan pesisir pantai tindak lanjut dari MoU Pemda dengan Keraton. Fokus dalam penelitian ini yaitu wilayah pesisir pantai termasuk tanah yang diinventarisasi terletak di Kecamatan Tanjungsari, masyarakat pesisir pantai yang ada di Kecamatan
Tanjungsari yaitu Pantai Drini, Watu Kodok, dan Sepanjang menjadikan sempadan pantai sebagai lahan untuk membangun bangunan guna usaha bentuk pemenuh kebutuhan mereka, seperti didirikannya gazebo, warung dan lain sebagainya, Kepala Subbag pengendalian pertanahan dan pembinaan
wilayah
Pemerintah
Daerah
Kabupaten
Gunungkidul
menjelaskan jika dilihat dalam Peraturan Daerah Provinsi DIY nomor 2 tahun 2010 tentang Rencana Tata ruang dan Wilayah Provinsi DIY, sempadan pantai merupakan kawasan lindung, pengelolaanya dengan cara mencegah kegiatan budidaya yang mengganggu fungsi lindung kawasan sempadan pantai dan mengendalikan kegiatan budidaya di dalam kawasan sempadan pantai yang notabene di Daerah Istimewa Yogyakarta ini sendiri wilayah pesisir pantai dipetakan sebagai wilayah tanah Kasultanan atau Sultan Ground, hal itu yang menjadi dasar Keraton Ngayogyakarta dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul membuat kesepakatan atau Memorandum of Understanding (MoU) nomor : 103/WNK/6/2016 Tentang Penertiban dan Penataan Atas Tanah Kasultanan (Sultan Ground) di Wilayah Kabupaten Gunungkidul, khususnya guna penertiban, penataan dan pengelolaan wilayah pesisir pantai selatan Kabupaten Gunungkidul yang termasuk Sultan Ground dengan penertiban bangunan-bangunan yang berada di kawasan sempadan pantai selatan yang menurut Peraturan Daerah DIY juga melanggar tata ruang. Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul mengeklaim tindakan penertiban dan penataan kawasan pesisir pantai Kabupaten Gunungkidul mengacu pada Peraturan Daerah
tata ruang dan Undang Undang nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil bukan semata karena wilayah Sultan Ground Keraton Ngayogyakarta ataupun kepentingan kelompok saja. Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul menghendaki jika kawasan sempadan pantai bersih dari bangunan-bangunan ataupun penghalang bagi pengunjung pantai, penertiban sebelumnya pernah dilaksanakan di Pantai Krakal hal tersebut guna penataan kawasan pantai agar rapi dan terorganisir sehingga tidak mengganggu pengunjung yang ingin bebas melihat sepanjang pantai maupun merusak dan mengotori sempadan pantai, jadi tidak ada sangkut pautnya dengan pengambil alihan oleh Keraton Ngayogyakarta atas Sultan Ground yang berada di kawasan pesisir pantai Kabupaten Gunungkidul. Sultan Hamengku Buwono X selaku Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta juga menjelaskan penertiban dan penataan tersebut bertujuan agar pemanfaatan dan penggunaan Sultan Ground (SG) dapat dipergunakan dengan sebaikbaiknya untuk menunjang kehidupan warga maupun kepentingan publik, sehingga berdasarkan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil, Sultan menghendaki penertiban dan penataan kawasan pantai yang rapi. (Harianjogja.com, 2016) Sedangkan Dinas Pertanahan dan Tata ruang Provinsi DIY yang menangani bidang pendataan dan penata usahaan tanah Sultan Ground juga menjelaskan, bahwa keberadaan tanah Sultan Ground sudah paten
dengan berdasarkan data data peta desa dan Undang Undang Keistimewaan DIY nomor 13 tahun 2012, dengan itu Kasultanan berhak melakukan inventarisasi dan pensertifikatan tanah Sultan Ground. Sebagai gambaran pada tahun 2015 telah diinventarisasi sebanyak 4046 bidang tanah Kasultanan di wilayah Gunungkidul termasuk wilayah pesisir pantai, berikut adalah rekapitulasi hasil sementara inventarisasi tanah Sultan Ground (SG) di Kabupaten Gunungkidul tahun 2015 : Tabel 3.1 Rekapitulasi Hasil Inventarisasi Sultan Ground Di Kabupaten Gunungkidul
No.
Kecamatan
1
Kasultanan Bidang
Luas (M)
Wonosari
513
4.719.703
2
Playen
204
1.002.123
3
Nglipar
223
1.639.354
4
Ngawen
327
2.979.461
5
Semin
402
1.916.976
6
Paliyan
246
2.238.848
7
Gedangsari
114
422.279
8
Saptosari
344
5.230.648
9
Patuk
183
462.024
10
Panggang
98
204.140
11
Girisubo
133
436.876
12
Purwosari
80
249.087
13
Tanjungsari
80
538.158
14
Tepus
80
296.110
15
Rongkop
128
368.020
16
Karangmojo
145
156.055
17
Ponjong
379
2.395.932
18
Semanu
367
1.400.397
Jumlah
4046
26.656.191
Sumber : Dinas Pertanahan dan Tata Ruang DIY Dari hasil inventarisasi tersebut akan didaftarkan pada Badan Pertanahan Nasional untuk selanjutnya dibuatkan sertifikat hak milik tanah. Sertifikat kemudian diserahkan kepada Keraton Ngayogykarta sebagai subyek pemilik tanah. Sementara ini sertifikat yang sudah diserahkan kepada Keraton di wilayah Kabupaten Gunungkidul sudah sebanyak 53 sertifikat dengan luasan 177.467 meter. Ditambahi pula oleh Dinas Pertanahan dan Tata Ruang DIY, Sultan Ground masih boleh dimanfaatkan dan digunakan namun dengan syarat yang salah satunya memenuhi kesesuaian tata ruang yang ada dengan kata lain tidak boleh melanggar peraturan tata ruang dan lingkungan, dilihat dari konflik yang ada di pesisir pantai Kabupaten Gunungkidul terjadi karena adanya bangunan bangunan yang tidak sesuai tata ruang yang seharusnya dialihkan dari sempadan pantai. Berbeda lagi sudut pandang dan presepsi dari pihak yang kedua atau yang terdampak langsung yaitu masyarakat, konflik yang terjadi pada masyarakat pesisir pantai khususnya di pantai yang berada di Kecamatan Tanjungsari yang menjadi sorotan yaitu Pantai Drini, Watu Kodok, Sepanjang, masyarakat pesisir menolak Keraton melakukan inventarisasi tanah tanah Kasultanan yang berada di pesisir pantai Kabupaten Gunungkidul karena dianggap bahwa tanah Kasultanan atau Sultan
Ground itu sudah dihapus dengan amanat 5 September 1945 Sultan Hamengku Buwono IX menyatakan bergabung dengan Negara Republik Indonesia pada jaman setelah kemerdekaan Indonesia. Namun, setelah dijadikannya Keraton Ngayogyakarta sebagai badan hukum yang boleh memiliki hak tanah, Keraton tetap melakukan pendataan dan inventarisasi tanah tanah yang ada DIY begitu pula di Gunungkidul sesuai pada Undang undang Keistimewaan. Sedangkan dengan adanya rencana atau isu penertiban ataupun penggusuran lahan usaha masyarakat pesisir yang berada pada sempadan pantai guna pelaksanaan kesepakatan atau MoU penertiban dan penataan kawasan pantai antara Keraton dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul, warga menolak untuk penertiban dan penataan karena pertama, mereka menganggap dengan adanya bangunan dan gazebo sangat berguna dan menarik pengunjung yang berakibat pengunjung pantai lebih nyaman dalam menikmati suasana pantai dan untuk beristirahat dikala panas ataupun lelah bukan malah mengganggu pengunjung, kedua, dengan adanya penertiban penataan bangunan ataupun gazebo yang menjauh dari pantai justru akan mengurangi daya tarik wisatawan dan juga mengurangi segi kesejahteraan dan pendapatan masyarakat pesisir yang bergantung pendapatannya pada usaha mereka di pantai, dan yang ketiga, jikalau dilakukan relokasi mereka tidak diberikan tempat yang memadai serta bongkar pasang bangunan mereka tidak dibiayai, dan juga jaminan kalau relokasi penataan tersebut adalah relokasi yang terakhir dilaksanakan oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul. Dari sisi pengembangan lokasi wisata pantai dan infrastruktur ke lokasi juga dimulai oleh masyarakat pesisir sendiri dengan biaya mereka sendiri tanpa ada jasa ataupun bantuan dari pemerintah daerah, dengan itu masyarakat tidak ingin istilahnya disingkirkan dengan adanya penertiban dan penataan bangunan ataupun gazebo yang menjauh dari pantai, yang mungkin nanti akan ada investor yang masuk dengan modal yang lebih tinggi mengalahkan masyarakat sekitar, hal tersebut pernah terjadi di Pantai Watu Kodok. Adanya isu penertiban atau yang disebut oleh masyarakat pesisir dengan istilah penggusuran, menjadikan kelompok sadar wisata (pokdarwis) dari tiga pantai yang direncanakan akan ditertibkan yaitu Pantai Watu Kodok, Drini dan Sepanjang membuat penguatan organisasi pokdarwis mereka guna strategi dalam melakukan penolakan dan pencegahan rencana penertiban atau penggusuran oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul. Penguatan-penguatan organisasi dan solidaritas sesama pokdarwis dilakukan dengan cara mengagendakan pertemuan rutin dalam bentuk apapun, seperti pertemuan kajian dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang membantu dalam kajian adalah Rumah Baca Rakyat, pertemuan antara pengurus pokdarwis dan sebagainya. Hal inilah konflik yang terjadi pada masyarakat yaitu masyarakat khususnya yang memperjuangkan nilai serta status, kekuasaan dan sumber daya yang mereka sudah kelola menolak penertiban kawasan sempadan pantai. Jika dipetakan dengan model segitiga ABC ,konflik tersebut sebagai berikut :
Gambar 3.2 Peta Konflik Presepsi Masyarakat
(perilaku) • Menghindari undangan perorangan dari Pemda • Penguatan organisasi masyrakat (pokdarwis) • Menolak menandatangi daftar hadir jika ada pertemuan dengan Pemda
(sikap) Menolak penertiban dan penggusuran bangunan usaha
(situasi) Kebijakan penertiban dan penataan kawasan pantai
Sedangkan dari pihak ketiga yang tidak berhubungan langsung yaitu investor dan Kasultanan Yogyakarta, peranan dalam konflik di pesisir pantai Kabupaten Gunungkidul ini pihak dari Kasultanan menyerahkan kekuasaan dan kewenangan terhadap Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul dalam pelaksanaan penertiban dan penataan kawasan pantai di Gunungkidul sesuai dengan bunyi pasal 5 dalam MoU yang memuat hak dan kewajiban para pihak kesatu (Pemda Kabupaten Gunungkidul) dalam bidang penertiban sebagai berikut : “Pihak Kesatu diberikan hak dan kewajiban oleh Pihak Kedua untuk melaksanakan penertiban tanah Pihak Kedua di
wilayah Kabupaten Gunungkidul, mencakup penertiban yang bersifat administratif dan penertiban yang bersifat fisik. 1. Penertiban yang bersifat administratif adalah: a. Mendata Tanah Kasultanan b. Memverifikasi kekancingan c. Memproses
dan
mengajukan
usulan
rekomendasi
permohonan kekancingan d. Mengusulkan pembatalan dan/atau mengusulkan tidak memperpanjang surat kekancingan 2. Penertiban yang bersifat fisik adalah: a. Memberikan
penjelasan/
sosialisasi/
musyawarah/
pemberitahuan secara tertulis b. Melakukan penghentian pembangunan tanpa ijin yang dilakukan di atas Tanah Kasultanan c. Melakukan pembongkaran bangunan secara paksa yang dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Gunungkidul dibantu oleh pihak Polri dan TNI d. Melaporkan atau mengadukan kepada penegak hukum atas
perbuatan
menguasai
Tanah
Kasultanan,
membangun tanpa hak /tanpa ijin” Lalu salah satu dari pihak investor mengatakan dalam Seminar Nasional Pengembangan
Industri
Pariwisata
Gunungkidul
di
Yogyakarta
mengatakan
nantinya
mempunyai
rencana
membangun
kawasan
selayaknya Bali Tourism Development Corporation (BTDC) yang ada di Nusa Dua Bali di Kabupaten Gunungkidul guna pengembangan dan pembangunan pariwisata di Kabupaten Gunungkidul seperti contohnya dibangun lapangan golf dan hotel hotel berbintang disekitar kawasan pantai, hal inilah yang dikhawatirkan oleh warga pesisir pantai Gunungkidul yang bisa jadi meminggirkan usaha mereka. 2. Analisis Konflik Konflik terjadi melalui beberapa tahapan, Peter Harris dan Ben Reilly dalam bukunya Democracy and Deep-Rooted Conflict: Options for Negotiators menyebutkan setidaknya ada empat (4) tahap dalam konflik, tahap yang pertama yakni; 1) discussion stage atau tahapan diskusi ,dalam tahap ini terdapat perbedaan pendapat antara pihak-pihak, namun masih cukup dekat untuk bekerja bersama. Komunikasi diharapkan berupa perdebatan langsung dan diskusi antara kedua pihak. Persepsi mengenai masing-masing pihak lawan akurat dan cukup baik. Hubungan antara kedua pihak diwarnai dengan kepercayaan dan saling menghargai 2) Tahapan konflik kedua adalah polarization stage atau tahapan polarisasi. Pada tahap ini kedua pihak mulai memberikan jarak, menarik diri dan menjauh satu sama lain. Karena jarak tersebut, komunikasi mulai tidak langsung dan bergantung pada interpretasi
(atau malah misinterpretasi). Persepsi mengenai pihak lainnya mengeras menjadi stereotip yang kaku, karena tidak ada tantangan dari fakta yang muncul dari interaksi langsung. Hubungan memburuk menjadi hubungan yang saling menghormati menjadi lebih dingin, ketika semua pihak tak lagi memandang pihak lain sebagai pihak yang penting, namun semakin tidak dapat diandalkan. 3) Tahapan konflik ketiga adalah segregation stage atau tahap segregasi. Pada tahap ini, kedua pihak saling menjauh dari pihak lawannya. Komunikasi terbatas pada ancaman. Persepsi telah menguat menjadi gambaran “kita sebagai yang baik dan mereka sebagai yang jahat”. Hubungannya
diwarnai
ketidakpercayaan
dan
tidak
saling
menghargai. Isu yang ditekankan dalam pertikaian adalah kepentingan dan nilai utama setiap kelompok: taruhannya ditingkatkan dalam tahap ini. Hasilnya dianggap sebagai perhitungan zero-sum: situasi kalah atau menang sederhana. 4) Tahapan
yang
keempat
adalah destruction
stage atau
tahapan
destruksi. Ini merupakan tahap permusuhan yang sepenuhnya. Komunikasi kini hanya terdiri dari kekerasan langsung atau sama sekali tanpa hubungan. Untuk menjustifikasi kekerasan, persepsi mengenai pihak lain menjadi penjelasan yang memojokkan mengenai pihak lawan sebagai bukan manusia, psikopat atau lainnya. Hubungannya dianggap berada dalam kondisi tanpa harapan. Isu yang ditekankan kini hanyalah keselamatan suatu pihak terhadap agresi
pihak lainnya. Kemungkinan hasil yang dipersepsikan bagi semuanya adalah sama-sama kalah: situasinya sedemikian buruk sehingga keduanya akan harus membayar mahal. (Reilly B, 2000) Tahapan konflik yang terjadi di pesisir pantai Kabupaten Gunungkidul bisa dilihat dari peta konflik yang sudah penulis gambarkan pada poin diatas, pada awalnya pemicu atau trigger dari konflik tersebut adalah kebijakan inventarisasi tanah tanah Sultan Ground di Gunungkidul serta kebijakan penertiban dan penataan kawasan sempadan pantai Kabupaten Gunungkidul, dari akar konflik tersebut terjadi perbedaan pendapat antara masing masing pihak (Pemda, Keraton dengan Masyarakat pesisir) adanya pro-kontra pada kebijakan tersebut, Pemda dengan Keraton yang sejalan mempunyai asumsi bahwa untuk menjalankan dan melaksanakan peraturan yang ada yaitu Undang Undang Keistimewaan DIY nomor 13 tahun 2012 dan Perda RTRW sedangkan masyarakat masih sebatas menolak akan 2 kebijakan tersebut karena belum ada tindakan yang riil dari Pemda dalam pelaksanaan kedua kebijakan tersebut sehingga masih menimbulkan 2 presepsi dan prinsip di kubu masyarakat sendiri, sebagian masyarakat masih mau untuk diajak diskusi dan sosialisasi mengenai hal tersebut. Hal tersebut masih berada pada tahapan konflik yang pertama yaitu tahap diskusi. Selanjutnya Pemda menindaklanjuti kebijakan penertiban dan penataan kawasan sempadan pantai dengan bentuk akan melakukan pengosongan sempadan pantai dari bangunan yang digunakan masyarakat untuk
berdagang maupun usaha, mendengar isu pengosongan dan penggusuran bangunan
usaha
pengelompokan
mereka
pihak
pengelompokan
masyarakat
kubu
mereka
mulai
melakukan
dengan
penguatan
organisasi pokdarwis antara 3 pantai (Pantai Watukodok, Pantai Drini dan Pantai Sepanjang) yang rencananya akan ditertibkan oleh Pemda Kabupaten Gunungkidul, hal lain yang membuat masyarakat pesisir menguatkan solidaritas antar anggota dalam pokdarwisnya adalah adanya beberapa alasan seperti adanya penertiban penataan bangunan ataupun gazebo yang menjauh dari pantai dianggap justru akan mengurangi daya tarik wisatawan dan juga mengurangi segi kesejahteraan dan pendapatan masyarakat pesisir,kemudian dilihat dari pembukaan lahan lokasi wisata pantai dan infrastruktur ke lokasi juga dimulai oleh masyarakat pesisir sendiri dengan biaya mereka sendiri tanpa ada jasa ataupun bantuan dari pemerintah daerah. Ada perubahan sikap dari masing masing anggota pokdarwis yang sebelumnya belum semua pro untuk menolak menjadi riil menolak dengan bentuk penguatan kelompok kelompok mereka karena penjabaran keadaan riil dan faktor faktor yang nanti bisa terjadi jika dilakukan penertiban oleh ketua kelompok pokdarwis, perilaku yang lain timbul kecurigaan mereka terhadap langkah Pemda yang memanggil anggota anggota pokdarwis Pantai Drini satu persatu hal tersebut dinilai sebagai salah satu strategi Pemda guna memecah solidaritas kekuatan kelompok pokdarwis pantai tersebut. Masyarakat juga tidak mau hadir jika nantinya ada undangan diskusi untuk perorangan oleh Pemda, mereka
menolak untuk menandatangani buku hadir jika diadakan audiensi dengan Pemda. Dari hal tersebut bisa dilihat tahapan konflik saat ini sudah memasuki tahap polarisasi dimana sudah timbul kecurigaan masyarakat terhadap lawannya (Pemda Kabupaten Gunungkidul) dan sudah membuat kubu di masyarakat sendiri, lalu dengan adanya sebuah penolakan terhadap undangan diskusi dan penandatanganan buku hadir sebagai bentuk kecurigaan pada Pemda ini bisa diartikan sudah mulai ada ciri ciri menuju tahap sigregasi. Selanjutnya dilihat pada kaitannya konflik tersebut dengan adanya dualisme peraturan yang mengatur tentang pengelolaan pertanahan yaitu antara UUPA dengan UU keistimewaan dan Perdais Pertanahan DIY, pada faktanya UUPA tidak bisa terlaksana di DIY walaupun sudah diberlakukan secara penuh hal tersebut dikatakan karena didalam UUPA baru merupakan ketentuan ketentuan pokok yang masih memerlukan peraturan perundang undangan lebih lanjut, maka dalam Pasal 56 dan 58 UUPA dijelaskan sebagai ketentutan peralihan, selama peraturan pelaksanaan yang dimaksud belum ada maka yang diberlakukan adalah peraturan peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang berlaku pada saat UUPA diundangkan (kembali ke Rijksblad 1918) , hal ini sesuai yang dijelaskan oleh Dinas Pertanahan dan Tata ruang DIY. Selama UUPA ada dan belum terbentuknya UU keistimewaan belum terjadi konflik pada kawasan pesisir pantai Kabupaten Gunungkidul namun, kemudian setelah terbentuk Undang undang Keistimewaan DIY nomor 13 tahun 2012, yang
berarti status Kasultanan menjadi badan hukum yang berhak memiliki tanah sehingga Kasultanan mempunyai landasan kuat untuk melakukan penatausahaan tanah tanah sultan ground yaitu dengan inventarisasi dan pendaftaran tanah SG lalu juga pengaturan pertanahan di DIY diacukan dengan UU keistimewaan tersebut dan juga Perdais tentang pengelolaan dan pemanfaatan tanah kasultan dan tanah kadipaten tahun 2016 turunan dari UU Keistimewaan. Kemudian konflik mulai terjadi setelah adanya kebijakan tersebut, dikonflik pada kawasan pantai Kabupaten Gunungkidul posisi Pemerintah Daerah dipertegaskan dan mempunyai wewenang menjadi fasilitator Kasultanan dalam penataan dan penertiban atau pengelolaan Sultan ground di pesisir pantai sesuai dengan MoU dan seperti yang dijelaskan pada pasal 25 Perdais tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten yang berbunyi ; Fasilitasi Pemerintah Daerah dalam pengelolaan dan pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten bersifat memberikan bantuan dalam hal : a. kegiatan inventarisasi, identifikasi, verifikasi, pemetaan dan pendaftaran tanah; b. pengadaan
sarana
prasarana
untuk
perawatan
dan
pemeliharaan dokumen; c. penyelenggaraan pemantauan dan penertiban penggunaan Tanah Kasultanan atau Tanah Kadipaten yang menyalahi Serat Kekancingan;
d. penanganan sengketa atas Tanah Kasultanan atau Tanah Kadipaten; e. penyiapan bahan pertimbangan teknis izin penggunaan tanah; dan f. kegiatan peremajaan data Tanah Kasultanan atau Tanah Kadipaten. Adanya pasal dari Perdais pengelolaan dan pemanfaatan tanah SG dan tanah PAG tersebut menjadikan landasan kuat oleh Pemda dan Kasultanan dalam pelaksanaan kebijakan penataan dan penertiban kawasan pantai yang sudah disepakati sebelumnya. Kepentingan dari masing-masing pihak yang ada dalam konflik ini berbeda-beda, untuk lebih jelasnya mengenai masing-masing presepsi atau aspirasi dari pihak yang terlibat penulis akan jabarkan dalam bentuk tabel sebagai berikut : Tabel 3.2 Analisis Perbandingan Kepentingan Pemda - Kasultanan
Masyarakat
Investor
(pokdarwis) 1. Kasultanan
1. Masyarakat
1. Investor
melaksanakan
melakukan
usaha
melakukan
inventarisasi,
dagang di wilayah
penjajakan
pesisir pantai guna
Pemprov
pensertifikatan tanah
menunjang
Pemda
SG
kehidupannya
pembangunan
identifikasi
2. Pemda
dan
membantu 2. Masyarakat
selaku
kawasan
ke dan guna
Kasultanan
pelaku
wisata
penatausahaan,
pantai
Kabupaten
penertiban
Gunungkidul menilai
internasional
digunakan masyarakat
bangunan
Kabupaten
pesisir di Kabupaten
dagang mereka tidak
Gunungkidul
mengganggu
3. Pemda
dalam
SG yang
melakukan
di
usaha
pariwisata berkelas di
Gunungkidul
ruang
publik
penertiban
sesuai 3. Masyarakat menolak
penegakan
Perda
digusur
jika
RTRW DIY nomor 2
dilakukan
tahun 2010
penertiban, relokasi
tetap
namun yang
memadai
C. Resolusi Konflik Hak Kepemilikan Dan Penguasaan Tanah Sultan Ground Di Pesisir Pantai Kabupaten Gunungkidul Sampai saat ini upaya penyelesaian konflik Sultan Ground sudah dilakukan dari pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul dengan melakukan tindakan persuasif berupa sosialisasi guna masalah penataan dan penertiban tanah Sultan Ground (SG) yang berada di pesisir pantai Kabupaten Gunungkidul, sosialisasi dilakukan dengan pemberian pengertian mengenai tujuan penataan dan penertiban tersebut bahwa tidak untuk diambil alih oleh Keraton Yogyakarta namun karena untuk penataan kawasan pantai yang rapi dan nyaman sesuai dengan Rencana Tataruang dan Wilayah (RTRW), Kasubbag pengendalian pertanahan dan pembinaan wilayah Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul menilai masyarakat pesisir pantai sudah
banyak yang mengerti dan menyadari bahwa tanah yang mereka gunakan adalah tanah Kasultanan hanya saja memang ada juga beberapa yang tidak setuju dengan penataan dan penertiban kawasan pesisir pantai tersebut karena berhubungan dengan mata pencaharian. Selain melalukan tindakan persuasif berupa sosialisasi Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul juga melakukan revisi rencana detail penataan kawasan pantai atau Detail Engineering Design (DED) yang digunakan sebagai acuan dalam penataan dan penertiban kawasan pantai karena seperti yang dikatakan Bupati Kabupaten Gunungkidul dalam Kedaulatan Rakyat (2017 : 3) DED yang ada sudah tidak sesuai dengan kondisi kawasan pantai saat ini sehingga perlu direvisi. Dalam proses revisi DED kawasan pantai Pemerintah Daerah juga akan berkoordinasi dengan masyarakat pesisir sebagai pengguna dan pelaku langsung, Pemerintah daerah melalui sosialisai yang dilakukan Bupati Kabupaten Gunungkidul mengatakan tidak akan menggusur bangunan di sempadan pantai namun penataan penertiban kawasan pantai dan relokasi pastinya tetap dilakukan cepat atau lambat dengan tetap berkoordinasi dengan masyarakat. Sedangkan pihak masyarakat yang terkena dampak penataan tersebut, mengapresiasi adanya pernyataan dari Bupati Kabupaten Gunungkidul jikalau tidak akan menggusur bangunan milik masyarakat sehingga saat ini masyarakat masih mempertahankan bangunannya dengan menata gazebo mereka yang tidak akan digunakan untuk memasak namun hanya untuk berjualan dan memberikan tempat bagi wisatawan, namun jika penataan
penertiban kawasan pantai dengan relokasi masyarakat juga menuntut direlokasi sesuai dengan kapasitas dan memadai untuk mereka usaha selain itu masyarakat meminta jaminan bahwa relokasi yang akan direncanakan merupakan relokasi terakhir. Disisi lain masyarakat juga tetap melakukan penguatan kelompok pokdarwis mereka guna mengantisipasi langkah langkah Pemerintah Daerah yang tidak sesuai dengan rencana yang sudah disosialisasikan Bupati Kabupaten Gunungkidul.