perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
EKSISTENSI TANAH SULTAN GROUND DALAM HUKUM TANAH NASIONAL
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh LAYLA IZZA RUFAIDA NIM. E0007153
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012
commiti to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commitii to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commitiiito user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama
: Layla Izza Rufaida
NIM
: E0007153
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul EKSISTENSI TANAH SULTAN GROUND DALAM HUKUM TANAH NASIONAL adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 16 Januari 2012 Yang Membuat Pernyataan,
Layla Izza Rufaida NIM. E0007153
commitivto user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orangorang yang beriman”. (QS. Al-Imran : 139)
“Jangan lihat masa lampau dengan penyesalan, jangan pula lihat masa depan dengan ketakutan tapi lihatlah sekitar anda dengan penuh kesadaran”. (James Thurber)
“A person who never made a mistake, never tried anything new”. (Albert Einstein)
“Fiddunya wal'akhiroh (dunia dan akhirat) harus seimbang“. (Penulis)
commitv to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Penulisan
hukum
(skripsi)
ini
Penulis
persembahkan untuk :
Kedua Orangtua ku Bapak Barja Wiyana dan Ibu Sutariyem; Kakak ku Ana Nurul Hidayah; Adik ku M. Arif Rahman Himawan; Keluarga Besar Margo Utomo dan Prapto Diharjo; Keluarga Besar Gopala Valentara; Almamater Fakultas Hukum UNS.
commitvito user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Layla Izza Rufaida, E 0007153. 2012. EKSISTENSI TANAH SULTAN GROUND DALAM HUKUM TANAH NASIONAL. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui eksistensi tanah Sultan Ground dalam hukum tanah nasional berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria serta mengetahui pengelolaan tanah Sultan Ground yang dilakukan pemerintah berdasarkan kebijakan pertanahan nasional di Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat perspektif. Sumber data dalam penelitian ini menggunakan sumber data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Tekhnik pengumpulan data yaitu dengan tekhnik studi kepustakaan. Beberapa data kemudian dimintakan konfirmasi dari Keraton Yogyakarta (Panitikismo) dan Badan Pertanahan Nasional Yogyakarta. Teknik analisis data yang digunakan dengan metode silogisme dan interpretasi dengan menggunakan pola berpikir deduktif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan sebagai berikut: Kesatu, eksistensi tanah Sultan Ground dalam hukum tanah nasional secara tegas belum ada atau belum eksis dalam hukum positif walaupun secara hukum adat tanah Sultan Ground eksistensinya masih diakui oleh masyarakat. Hal ini karena belum diakomodir dalam Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 secara detail mengingat belum adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur tanah Sultan Ground sebagaimana tercantum dalam Diktum ke empat huruf B. Kedua, dalam pengelolaannya tanah Sultan Ground selama ini dikelola oleh pihak Keraton (Panitikismo) berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950. Guna menindaklanjuti hal tersebut, maka DPR dan Presiden Republik Indonesia diharuskan segera membentuk peraturan Undang-Undang Keistimewaan yang baru untuk menegaskan status Keraton Yogyakarta sebagai subyek hukum. Tujuannya agar polemik yang ada segera berakhir dan tercipta kepastian hukum di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kata kunci : Sultan Ground, Keraton, Eksistensi, Pengelolaan
viito user commit
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Layla Izza Rufaida, E 0007153. 2012. THE EXISTENCE OF SULTAN GROUND IN AGRARIAN LAW. Faculty of Law, Sebelas Maret University. This research was purposed to determine the existence Sultan Ground in Agrarian Law based on Basic Agrarian Act and to know the Maintenance of Sultan Ground by the government based on national land policy in Yogyakarta. This Type of Research was Normative-perspective research. Secondary Data was used as source of Data consists of primary, secondary and tertiary legal materials. The Techniques of Data Collection of this research were through literature Study. Afterward, the researcher asked for confirmation to Yogyakarta Palace and National Land Office. Data Analysis Techniques of this research were Syllogism method and interpretation by using deductive pattern analysis. The results of this research show that expressly Sultan Ground has not been exist yet in Positive Law, even though it is still customarily acknowledged by its society. It is because the Sultan Ground has not accommodated yet in Agrarian Act 5 of 1960 completely considering the absence of government rules that regulates Sultan Ground as stated on dictum the fourth letter B. Besides, the management of Sultan Ground has been maintenance by the sides of Yogyakarta Palace based on act 3 of 1950. Responding to that case, President Republic of Indonesia and Parliaments have to form new privilege act to state the Yogyakarta Palace status as the subject of the law. The purpose is that the polemic will be over and the certain legal can be created in Yogyakarta.
Key Word: Sultan Ground, Yogyakarta Palace, The Existence, Management
viiito user commit
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan penulisan hukum (skripsi) yang berjudul : “EKSISTENSI TANAH SULTAN GROUND DALAM HUKUM TANAH NASIONAL”. Penulisan hukum ini disusun dan diajukan guna melengkapi syarat-syarat memperoleh derajat sarjana dalam ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan hukum ini dalam pembuatannya melibatkan banyak pihak yang telah membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan penulisan dari awal hingga akhir sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan memperoleh gelar sarjana dalam ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Untuk itu penulis megucapkan terima kasih kepada: 1.
Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2.
Bapak Pius Triwahyudi, S.H., M.Si., selaku Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara dan Pembimbing yang telah dengan teliti dan sabar memberikan bimbingan kepada penulis dari awal hingga akhir proses penulisan hukum ini.
3.
Ibu Sunny Ummul Firdaus, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademis yang telah membimbing dan mengarahkan penulis selama masa studi.
4.
Segenap dosen dan karyawan Fakultas Hukum UNS. Terimakasih telah memberikan ilmu dan membimbing Penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum UNS.
5.
Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Hadiwinoto, selaku Penghageng Kawedanan Hageng Punakawan Wahono Sarto Kriyo Keraton Yogyakarta yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian dan memberikan data kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
6.
Bapak Suhartono, S.H., selaku kepala Seksi Pendaftaran, Peralihan, Pembebanan Hak dan PPAT Badan Pertanahan Nasional Propinsi Daerah
commitixto user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Istimewa Yogyakarta selaku narasumber yang telah membantu penulis dalam mencari data. 7.
Bapak Bambang, S.H., pada bagian pertanahan Biro Tata Pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah membantu penulis dalam mencari data.
8.
Kedua orangtua penulis, Bapak Barja Wiyana dan Ibu Sutariyem yang telah memberikan semua hal yang sangat berarti dalam hidup penulis, juga untuk doa, harapan, cinta, motivasi, dan kepercayaan yang telah diberikan hingga detik ini.
9.
Kakakku Ana Nurul Hidayah yang senantiasa menjadi teman dan sahabat tempat berbagi, terima kasih atas semua saran dan nasehat yang diberikan pada penulis hingga terselesaikannya masa studi ini
10.
Adikku M. Arif Rahman Himawan yang selalu memberikan kasih sayangnya, telah memotivasi penulis dan menghibur dalam suka maupun duka.
11.
Segenap keluarga besar Margo Utomo dan Prapto Diharjo terima kasih untuk dukungan, perhatian dan kehangatan didalamnya.
12.
Saudara-saudaraku
Diklatsar
XXIV
Gopala
Valentara
Perhimunan
Mahasiswa Pecinta Alam Fakultas Hukum UNS, Dani, Tata, Septi, Peni, Ira, Dedy, Sandy, Surya, Agung, Binar, dan Ponco, untuk semua yang pernah kita lewati bersama. Kalian akan selalu menjadi bagian dari hidup penulis. 13.
Segenap keluarga besar Gopala Valentara Perhimpunan Mahasiswa Pecinta Alam
Fakultas
Hukum
UNS.
Terima
kasih
untuk
kebersamaan,
persaudaraan, ilmu, pengalaman dan petualangan yang sempat terukir, bangga rasanya menjadi bagian dari keluarga yang luar biasa ini. 14.
Sahabat-sahabat penulis, Solikhah, Hesti Indrayani dan Iedha Dwi Prasetyo, terima kasih untuk persahabatan kita selama ini dan semoga berlanjut hingga akhir hayat.
15.
Teman-teman kos Tarita, Brehita, Arsa, Dani, Anggi, dan Marsini, terima kasih untuk kebersamaan dan kehebohan kita bersama.
commitx to user
perpustakaan.uns.ac.id
16.
digilib.uns.ac.id
Teman-teman angkatan 2007 Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, tetap semangat untuk menjadi Sarjana Hukum yang profesional dan bermoral.
17.
Untuk seluruh pihak yang tidak dapat disebut satu persatu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala bantuan yang telah diberikan. Seperti pepatah yang mengatakan bahwa tak ada gading yang tak retak,
penulis menyadari pula bahwa penyusunan penulisan hukum ini jauh dari sempurna, untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun dari para pembaca sangat diharapkan. Akhirnya, semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.
Surakarta, 16 Januari 2012 Penulis,
Layla Izza Rufaida
commitxito user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .........................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ....................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN ....................................................................
iv
MOTTO ........................................................................................................
v
PERSEMBAHAN .......................................................................................
vi
ABSTRAK .................................................................................................
vii
ABSTRACT ........................................................................................ .......
viii
KATA PENGANTAR ................................................................................
ix
DAFTAR ISI ...............................................................................................
xii
DAFTAR BAGAN .....................................................................................
xv
DAFTAR TABEL .......................................................................................
xvi
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
xvii
BAB I
PENDAHULUAN ......................................................................
1
A. Latar Belakang .......................................................................
1
B. Rumusan Masalah..................................................................
6
C. Tujuan Penelitian ...................................................................
6
D. Manfaat Penelitian .................................................................
7
E. Metode Penelitian ..................................................................
8
F. Sistematika Penulisan Hukum ...............................................
12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................
15
A. Kerangka Teori ......................................................................
15
1. Tinjauan Umum Tentang Hak Menguasai Negara ........ ..
15
a. Pengertian Hak Menguasai Negara ...........................
15
b. Dasar-Dasar Pemikiran yang Melatarbelakangi Hak Menguasai Negara Atas Tanah .................................
18
1) Eksistensi Manusia Indonesia ...............................
18
xiito user commit
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2) Hubungan Manusia dengan Tanah…………….
19
3) Hakekat Negara ..................................................
20
4) Hubungan Negara dengan Tanah .......................
21
2. Tinjauan Umum Tentang Hukum Tanah ........................
22
1) Pengertian Tanah Secara Umum .......................
22
2) Macam-Macam Tanah .......................................
23
3)
24
Pengertian Hukum Tanah ...................................
4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta .......
25
3. Tinjauan Tentang Hak Atas Tanah ..................................
27
1) Pengertian Hak Atas Tanah ...............................
27
2) Macam-Macam Hak Atas Tanah .......................
28
Tinjauan Tentang Sultan Ground .......................................
31
B. Kerangka Pemikiran ...............................................................
33
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................
36
A. Gambaran Umum Daerah Istimewa Yogyakarta ...................
36
1. Letak Geografis ........................................................................
36
2. Luas Wilayah ...........................................................................
36
3. Pemerintahan ...........................................................................
36
4. Tata Ruang dan Infrastruktur ...................................................
36
5. Keadaan Alam ..........................................................................
37
6. Iklim ........................................................................................
37
7. Penduduk .................................................................................
38
8. Penggunaan Tanah Sultan Ground di Yogyakarta ..................
38
4.
B. Eksistensi Tanah Sultan Ground dalam Hukum Tanah Nasional …… ………. ...........................................................
39
C. Pengelolaan Tanah Sultan Ground Berdasarkan Kebijakan Pertanahan Nasional ..............................................................
xiiito user commit
57
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP ...................................................................................
69
A. Simpulan ................................................................................
69
B. Saran.......................................................................................
70
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xivto user commit
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR BAGAN
Ragaan 1 : Kerangka Pemikiran…………………………………………... 33
xvto user commit
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel I
: Luas Wilayah ..............................…………………………...
Tabel II : Jumlah Tanah ..................................…………………...……...
xvito user commit
65 66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I
Fotokopi Surat Permohonan Hak Ngindung / Magersari Tanah Karaton Ngayogyakarto
Lampiran II
Fotokopi Surat Perjanjian (Surat Kekancingan) Pinjam Pakai Tanah Milik Sri Sultan Hamengku Buwono Karaton Ngayogyakarto Hadiningrat
Lampiran III
Fotokopi Rijksblad Yogyakarta Nomor 16 Tahun 1918
Lampiran IV
Fotokopi Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1984
Lampiran V
Fotokopi Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 570.34-2493
Lampiran VI
Surat Pemberitahuan Penelitian dari Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat Propinsi Jawa Tengah
Lampiran VII
Surat Keterangan / Ijin Penelitian dari Sekretariat Daerah Propinsi Yogyakarta
Lampiran VIII
Surat Keterangan Penelitian dari Badan Pertanahan Nasional Propinsi Yogyakarta
Lampiran IX
Surat Keterangan Penelitian dari Kantor Biro Tata Pemerintahan Sekretariat Daerah Propinsi Yogyakarta
Lampiran X
Surat Keterangan Penelitian dari Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarto Kriyo Karaton Yogyakarta
xviito user commit
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pertanahan pada hakikatnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam hidup dan kehidupan manusia secara pribadi, dalam pergaulan masyarakat maupun bagi negara. Sepanjang hidupnya manusia selalu berhubungan dengan tanah untuk melakukan kegiatan maupun mencari penghidupan. Oleh karena itu, hubungan manusia dengan tanah sangat erat. Tanah merupakan sumber kemakmuran dan kebahagiaan, baik secara lahiriah maupun batiniah. Bagi masyarakat dan bangsa Indonesia pada umumnya diyakini bahwa tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Untuk itu, hak penguasaan yang tertinggi atas tanah di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan hak Bangsa Indonesia. Implikasinya dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah secara pribadi harus memperhatikan kepentingan bangsa atau kepentingan yang lebih besar dalam masyarakat. Adanya unsur pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia, khususnya pembentukan Hukum Nasional tentang Tanah, didasarkan atas Hukum Adat TAP. MPRS. Nomor 2 Tahun 1960 Pasal 4 ayat (3) merupakan basis pembangunan semesta. Indonesia merupakan negara agraris, tidak mengherankan apabila pembangunan di bidang agraria menduduki tempat yang penting dan urgent. Urgensi ini disebabkan karena pada jaman penjajahan, Hukum Agraria Indonesia bersifat pluralistis, dan kurang memberi jaminan akan kepastian hukum serta dapat pula menghambat bahkan mungkin merintangi kesatuan bangsa Indonesia. Di Indonesia terdapat dualisme hukum dalam bidang pertanahan, yaitu sistem Hukum Barat peninggalan jaman kolonial dan sistem Hukum Adat yang merupakan hukum asli bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 24
commit1 to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2
September 1960 diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 yang secara resmi dicantumkan dalam Lembaran Negara Nomor 104 Tahun 1960 sebagai Hukum Agraria secara Nasional. Tujuannya untuk menggantikan Hukum Agraria yang pluralistis yang berbasis pada kedaerahan. Hal tersebut merupakan pelaksanaan dari Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, Pasal 33 UUD 1945 dan Manifesto Politik Republik Indonesia. Landasannya yang termaktub didalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Menimbang bahwa di dalam negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyat yang perekonomiannya masih bercorak agraris, dengan adanya bumi, air dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai arti yang sangat penting untuk membangun masyarakat adil dan makmur. Hal itu juga diperkuat dalam dasar hukumnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 Bab 1 mengenai Dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan pokok Pasal 2 ayat (1) & (2) yang berbunyi: (1) Atas dasar, ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi di kuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. (2) Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk: a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut. b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenal bumi, air dan ruang angkasa. Dengan adanya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dimaksudkan untuk mengadakan unifikasi hukum pertanahan di Indonesia, tetapi maksud ini tidak bisa langsung terwujud setelah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diberlakukan. Hal ini dikarenakan tidak semua daerah di wilayah Indonesia bisa menerapkan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Salah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3
satu daerah yang tidak bisa langsung menerapkan Undang-Undang Pokok Agraria adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria secara resmi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tanggal 24 September 1984 karena Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah daerah kerajaan yang mempunyai peraturan sendiri dalam bidang pertanahaan yaitu masih menerapkan Hukum Tanah Swapraja. Hukum Tanah Swapraja adalah keseluruhan peraturan tentang pertanahan yang khusus berlaku di daerah Swapraja, seperti Kasultanan Yogyakarta. Hukum Tanah Swapraja ini pada dasarnya adalah Hukum Tanah Adat yang diciptakan oleh Pemerintah Swapraja dan sebagian diciptakan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Landasan hukumnya adalah antara lain Koninlijk Besluit yang diundangkan dalam Staatsblad Nomor 474 tahun 1915 yang intinya memberi wewenang pada penguasa Swapraja untuk memberikan tanahnya dengan hak-hak barat serta Rijksblad Kesultanan 1918 Nomor 16 juncto 1925 Nomor 23, serta Rijksblad 1918 Nomor 18 juncto Rijksblad 1925 Nomor 25 sehingga di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) resmi berlaku Rijksblad Nomor 16 tahun 1918 dan Nomor 18 Tahun 1918, tentang tanah-tanah yang tidak dapat dibuktikan dengan hak eigendom dan hak domain Kasultanan dimana hak milik atas tanah tidak diberikan kepada warga negara Indonesia non-pribumi. Dalam konsiderans Staatsblad Nomor 474 tahun 1915 ditegaskan bahwa di atas tanah-tanah yang terletak dalam wilayah hukum Swapraja, dapat didirikan hak kebendaan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW), seperti hak eigendom, erfpacht, opstal, dan sebagainya. Bagi Pemerintah Swapraja dimungkinkan untuk memberikan tanah-tanah Swapraja dengan hak-hak barat, sebagaimana yang diatur dalam Burgerlijk
Wetboek.
(http://raja1987.blogspot.com/2008/08/opini-hukum-
legalopinion.html>[6 Juli 2011 pukul 11.29 WIB]). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1950 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan suatu daerah yang pemerintahannya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4
setara dengan tingkat I (propinsi) dengan wilayahnya meliputi Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman yang kemudian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengalami perubahan dari sebuah daerah swapraja menjadi sebuah daerah yang bersifat istimewa di dalam teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bentuk keistimewaan yang menonjol yang diberikan kepada Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah pada hukum pertanahan, yaitu adanya tanah Sultan Ground (tanah Kasultanan). Aturan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu terlepas dari aturan pertanahan yang ada seperti yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan peraturan perundang-undangan lainnya. Alasannya adalah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sudah ada dasar hukum yang mapan, yaitu menggunakan hukum zaman Belanda dan hukum adat. Menurut Pasal 4 ayat (1) juncto Lampiran Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) diberi kewenangan urusan rumah tangga sendiri (otonomi) dalam bidang pertanahan yaitu : 1. Penerimaan penyerahan hak eigendom atas tanah eigendom kepada negeri (medebewind). 2. Penyerahan tanah negara (beheersoverdracht) kepada jawatan-jawatan atau kementerian lain atau kepada daerah autonom (medebewind). 3. Pemberian ijin membalik nama hak eigendom dan postal atas tanah, jika salah satu pihak atau keduanya masuk golongan bangsa asing (medebewind). 4. Pengawasan pekerjaan daerah autonom di bawahnya tentang pertanahan (sebagian ada yang medebewind). Dalam penjelasan umum Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Nomor 5 Tahun 1954 angka 4 mengenai pokok pikiran juncto penjelasan Pasal 11 dinyatakan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dalam mengatur masalah pertanahan harus berdasarkan prinsip atau asas domain sebagimana ditentukan dalam Pasal 1 Rijksblad Kasultanan Tahun 1918 Nomor 16 dan Rijksblad tahun 1918 Nomor 18, dimana semua tanah yang tidak dapat dibuktikan dengan hak eigendom oleh pihak lain adalah milik / domain / kerajaan / keraton Yogyakarta
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5
(Sultan Ground). Hak domain bagi Sultan (raja) pada Kerajaan / Kasultanan Yogyakarta ada sejak ditandatangani perjanjian Giyanti pada tahun 1755. (Umar Kusumoharyono, 2006: 2). Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang digunakan sebagai landasan adalah Hukum Adat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), dan ketentuan yang berlaku di dalam Keraton Yogyakarta ternyata juga hukum masyarakat setempat (hukum adat). Keadaan tersebut sangat berkaitan dengan keberadaan tanah Sultan Ground yang dimiliki sultan atas dasar asas domain yang masih berlaku pada waktu Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diundangkan. Sultan menyatakan bahwa seluruh tanah adalah milik Sultan (Sultan Ground) sebagian diantaranya diberikan kepada kerabat dan pejabat keraton sebagai tanah lungguh, sedang rakyat hanya mempunyai wewenang anggadhuh (meminjam) dan menggarapnya. (Tri Widodo. 2002: 123). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), wilayah administratif dikota Yogyakarta terbagi menjadi 5 (lima) kabupaten, yaitu kabupaten Yogyakarta, kabupaten Sleman, kabupaten
Bantul,
kabupaten
Kulonprogo
dan
kabupaten
Gunungkidul.
Pengelolaan tanah Sultan Ground diserahkan kepada masing-masing wilayah administratif atas persetujuan Sultan. Namun, pada kenyataannya dualisme dalam hukum pertanahan masih ada karena di satu pihak berlaku Peraturan Daerah dan di pihak lain berlaku peraturan pemerintahan pusat. (http://www.yousaytoo.com/ ochiana 048/latar -belakang-propinsi-daerah-istimewa-yogyakarta/20259> [7 Juli 211 pukul 13.12 WIB]). Dimana pada masing-masing kabupaten/wilayah administratif tersebut tanah Sultan Ground tersebar secara luas dan tak beraturan. Kasultanan Yogyakarta sampai saat sekarang ini masih mempunyai kewenangankewenangan atas tanah Sultan Ground yang dipunyai dan dimilikinya. Padahal status hukum dan kedudukan tanah Sultan Ground di dalam hukum tanah nasional masih menjadi polemik di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap status tanah Sultan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6
Ground tersebut. Oleh karena itu, penulis mengajukan penulisan hukum dengan judul “EKSISTENSI TANAH SULTAN GROUND DALAM HUKUM TANAH NASIONAL” .
B. Rumusan Masalah Rumusan masalah merupakan hulu dari suatu penelitian yang merupakan pertanyaan-pertanyaan sebagai landasan bagi seorang peneliti guna mendapat jawaban dari suatu masalah yang diangkat dalam penelitian sehingga tujuan yang hendak dicapai menjadi lebih jelas sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, penulis merumuskan
permasalahan
untuk
dikaji
lebih
rinci.
Adapun
beberapa
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu : 1.
Bagaimanakah eksistensi tanah Sultan Ground dalam hukum tanah nasional ditinjau dari Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960?
2.
Bagaimanakah pelaksanaan pengelolaan tanah Sultan Ground berdasarkan kebijakan pertanahan nasional?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian dilakukan karena memiliki tujuan. Tujuan tersebut adalah memecahkan permasalahan yang tergambar dalam latar belakang dan rumusan masalah. Tujuan penelitian dicapai melalui serangkaian metodologi penelitian. Tujuan penelitian yang baik adalah rumusannya operasional dan langsung menuju pokok permasalahan. Tujuan ini yang nantinya dapat diketahui metode dan teknik penelitian mana yang cocok untuk dipakai dalam penelitian itu (M. Subana dan Sudrajat, 2001: 71). Penelitian juga diperlukan guna memberikan arahan dalam mencapai maksud yang ingin dicapai. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7
1.
Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui eksistensi tanah Sultan Ground di Kota Yogyakarta berdasarkan dari Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960. b. Untuk mengetahui pelaksanaan pengelolaan tanah Sultan Ground yang dilakukan pemerintah ditinjau dari kebijakan pertanahan nasional.
2.
Tujuan Subyektif a. Untuk memperoleh data-data dan informasi sebagai bahan utama penyusunan penulisan hukum untuk memenuhi persyaratan wajib bagi setiap mahasiswa dalam meraih gelar kesarjanaan pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Untuk menambah, memperluas, mengembangkan wawasan, pengetahuan, dan pengalaman serta pemahaman aspek hukum dalam teori dan praktek lapangan hukum yang sangat berarti bagi penulis. c. Memberikan gambaran dan sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan hukum.
D. Manfaat Penelitian
Hasil akhir yang diinginkan dalam setiap penelitian yaitu diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun pihak lainnya, baik pada masa sekarang maupun yang akan datang. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan hukum ini sebagai berikut: 1.
Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian merupakan sumbangan pemikiran bagi pengembangan Ilmu Hukum pada umumnya dan Hukum Administrasi Negara pada khususnya terutama berkaitan dengan Hukum Agraria mengenai tanah Sultan Ground. b. Hasil penelitian dapat digunakan untuk menambah referensi di bidang karya ilmiah yang dapat mengembangkan ilmu pengetahuan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8
c. Penelitian ini merupakan latihan dan pembelajaran dalam menerapkan teori yang diperoleh sehingga menambah pengetahuan, pengalaman, dan dokumentasi ilmiah.
2.
Manfaat Praktis a. Mengembangkan penalaran dan wawasan bagi penulis mengenai ruang lingkup yang dibahas sekaligus untuk mengetahui seberapa besar kemampuan dalam menerapkan ilmu yang diperoleh. b. Sebagai teori dan praktek penelitian dalam bidang hukum serta sebagai praktek dalam pembuatan karya ilmiah dengan suatu metode penelitian ilmiah.
E. Metode Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud, 2005 : 35). Metode penelitian adalah cara yang teratur dan terpikir secara runtut dan baik dengan menggunakan metode ilmiah yang bertujuan untuk menemukan, mengembangkan dan guna menguji kebenaran maupun ketidak benaran dari suatu pengetahuan, gejala atau hipotesa. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut : 1.
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah jenis penelitian normatif. Penelitian normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan pendapat berdasarkan logika keilmuan hukum berdasarkan ilmu hukum itu sendiri sebagai obyeknya, dalam hal ini yaitu peraturan-peraturan hukum (Johny Ibrahim, 2006: 57). Penulis memilih penelitian hukum normatif dikarenakan sesuai dengan objek kajian dan isu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
9
hukum yang diangkat akan dianalisis melalui peraturan hukum yang terkait dengan isu. 2.
Sifat Penelitian Sifat penelitian hukum ini sejalan dengan sifat ilmu hukum itu sendiri. Sifat ilmu hukum adalah ilmu yang prespiktif dan terapan, yaitu ilmu hukum yang mempelajari mengenai tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum (Peter Mahmud, 2005 : 22). Penelitian ini bersifat preskriptif karena berusaha menguraikan dan menjawab permasalahan mengenai eksistensi tanah Sultan Ground dalam hukum tanah nasional.
3.
Pendekatan Penelitian Menurut Peter Mahmud, pendekatan dalam penelitian hukum ada lima pendekatan, yaitu pendekatan perundangan-undangan (Statue Approach), pendekatan
kasus (Case
Approach),
pendekatan
Approach), pendekatan perbandingan
historis (Historical
(Comparative
Approach),
dan
pendekatan konseptual (Conceptual Approach) (Peter Mahmud, 2005: 93). Adapun dalam penulisan ini penulis menggunakan pendekatan yang relevan dengan permasalahan penelitian yang diangkat yaitu pendekatan perundangundangan dan pendekaan historis. Pendekatan perundangan-undangan dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan peraturan yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani (Peter Mahmud, 2005: 93). Pendekatan historis (Historical Approach) dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan mengenai isu yang dihadapi (Peter Mahmud, 2005: 94).
4.
Jenis Data Penelitian Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data atau fakta yang digunakan oleh seseorang secara tidak langsung dan diperoleh melalui peraturan perundang-undangan, laporan, makalah,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10
dokumen, doktrin, bahan-bahan kepustakaan, dan sumber-sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, yaitu tentang eksistensi tanah Sultan Ground dalam hukum tanah nasional.
5.
Sumber Data Penelitian Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum autoratif, artinya bahan hukum primer merupakan bahan yang memiliki otoritas atau kekuasaan dalam pelaksanaanya, yang termasuk bahan hukum primer adalah peraturan perundang-undangan, catatan resmi atau risalah dalam pembuatan undangundang, dan putusan hukum, bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tidak resmi yang berkaitan dengan hukum. Publikasi hukum tersebut meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentarkomentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud, 2005: 141). Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder, yaitu sumber data yang diperoleh dari kepustakaan, dalam hal ini dibedakan menjadi 2 yaitu: a)
Bahan Hukum Primer Semua bahan hukum yang mempunyai kedudukan mengikat secara yuridis, meliputi peraturan perundang-undangan dalam hal ini: 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. 3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 Perubahan atas UndangUndang Nomor 19 Tahun 1950 juncto Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. 4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. 5) Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 tahun 1954 tentang Hak Atas Tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
11
6) Staatsblad Nomor 474 tahun 1915. 7) Rijksblad Kesultanan Nomor 16 Tahun 1918 juncto Rijksblad Kasultanan Nomor 23 Tahun 1925. 8) Rijksblad Kasultanan Nomor 18 Tahun 1918 juncto Rijksblad Kasultanan Nomor 25 Tahun 1925.
b) Bahan Hukum Sekunder Semua bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, meliputi: 1) Buku-buku ilmiah dibidang hukum. 2) Makalah-makalah dan hasil-hasil karya ilmiah para sarjana. 3) Kamus-kamus hukum ensiklopedia. 4) Jurnal-jurnal hukum. 5) Literatur dan hasil penelitian lainnya.
6.
Teknik Pengumpulan Data Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, yaitu merupakan suatu tehnik pengumpulan data dengan cara mengumpulkan peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen, data-data dan literatur lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas berdasarkan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersebut kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagi hukum penunjang dalam penelitian ini.
7.
Tehnik Analisis Data Penelitian normatif menggunakan tehnik analisis dengan metode silogisme dan interpretasi, dengan menggunakan pola pikir deduktif. Silogisme dengan tehnik analisis deduksi yaitu proses bermula dari penarikan kesimpulan dari permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan khusus yang diteliti. Penulisan hukum ini juga menggunakan interpretasi, interpretasi yang digunakan sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
12
1.
Interpretasi harfiah Interpretasi berdasarkan kata-kata yang terdapat dalam undangundang. Interpretasi ini dapat dilakukan dengan singkat, padat, serta akurat mengenai makna yang dimaksud dalam undang-undang tersebut nantinya tidak mengandung multitafsir atau arti yang bermacam-macam (Peter Mahmud, 2005:112).
2.
Interpretasi historis Interpretasi ini mengungkapkan makna adanya ketentuan undangundang dilacak dari segi lahirnya ketentuan ini. Maksud pengertian itu, makna dibentuknya suatu peraturan dilihat dari asal mula alasan lahirnya ketentuan atau ketetapan itu dibuat.
3.
Interpretasi teologis Interpretasi yang menitikberatkan pada tujuan adanya undangundang itu, dalam hal ini perlu ditelaah pemikiran dan penjelasan yang lebih rasional apakah yang melandasi dibentuknya undang-undang tersebut (Peter Mahmud, 2005: 113). Dalam penelitian ini, data yang diperoleh dengan cara menginteventarisasi
sekaligus mengkaji penelitian dari studi kepustakaan, aturan perundang-undangan beserta dokumen-dokumen yang dapat membantu menafsirkan norma untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir yaitu dengan menarik kesimpulan dari data yang diolah, sehingga pada akhirnya dapat menjawab bagaimanakah eksistensi tanah Sultan Ground dalam Hukum Tanah Nasional saat ini. F.
Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai aturan baru dalam penulisan hukum, maka Penulis menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
13
hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab, yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis menguraikan mengenai gambaran awal penelitian ini, yang meliputi latar belakang eksistensi tanah Sultan Ground dalam Hukum Tanah Nasional kemudian mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan hukum yang dipergunakan dalam melakukan penelitian.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini, diuraikan mengenai landasan teori berdasarkan literatur-literatur yang penulis gunakan, tentang hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Hal tersebut meliputi: tinjauan tentang tanah, tinjauan tentang macammacam tanah, tinjauan tentang hukum tanah dan tinjauan tentang Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogayakarta (DIY). Hal tersebut ditujukan agar pembaca memahami permasalahan yang diteliti.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini, diuraikan mengenai hasil penelitian dan pembahasan. Dalam pembahasan penulis akan membahas dan menjawab permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya yaitu menguraikan mengenai eksistensi tanah Sultan Ground dalam Hukum Tanah Nasional ditinjau dari Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dan pelaksanaan pengelolaan tanah Sultan Ground berdasarkan kebijakan pertanahan nasional.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
14
BAB IV : PENUTUP
Pada bab ini, merupakan bagian akhir dari penelitian yang berisikan kesimpulan yang merupakan jawaban-jawaban permasalahan yang menjadi objek penelitian penulis dan saran-saran mengenai permasalahan yang diteliti.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Hak Menguasai Negara a. Pengertian Hak Menguasai Negara Sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, pemerintah mengupayakan agar pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia meliputi yang terkandung di bumi, air, dan bahan galian dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan bangsa Indonesia. “Salah satu konsep dasar
yang
dikemukakan Moh. Hatta adalah pada dasarnya tanah adalah milik rakyat Indonesia dan negara merupakan penjelmaan dari rakyat yang mempunyai hak untuk mengatur penggunaannya agar dapat mengejar kemakmuran rakyat” (Subadi, 2010: 68). Untuk mencapai tujuan tersebut, maka negara memiliki hak menguasai tanah melalui fungsi negara untuk mengatur dan mengurus (regelen en besturen) yang diwujudkan dengan diberikannya Hak Menguasai Negara (HMN). Hak Menguasai Negara terjadi pada saat bangsa Indonesia sebagai kumpulan manusia secara alamiah terbentuk. Menurut Charles Sebayang, “Hak Menguasai Negara tercipta pada saat ada pelimpahan tugas kewenangan dari bangsa Indonesia kepada negara yang dilakukan oleh wakil bangsa indonesia dalam menyusun UUD 1945 yang tertuang dalam Pasal 33 ayat (3) yang mengandung tujuan negara” (http://hannarenata. blogspot.com/2011/05/hak-menguasai-dari-negara.html). Subjek Hak menguasai negara adalah pihak atau lembaga yang secara konstitusional dan/atau aturan merupakan pihak yang paling berhak dalam urusan penguasaan (menguasai) terhadap sesuatu atau objek tertentu. Subjek Hak Menguasai Negara menurut Pasal 33 ayat (3) adalah
15to user commit
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
16
negara. Negara dalam melaksanakan fungsinya mendelegasikan melalui lembaga negara, yaitu eksekutif/pemerintah. Artinya, pemerintah mempunyai kekuasaan untuk melakukan perencanaan, merumuskan aturan, melaksanakan langkah-langkah dan tindakan atas pengelolaan, pemanfaatan, dan mengambil hasil dari sumber daya alam yang terdapat dalam wilayah hukum Indonesia. Kekuasaan yang dipegang pemerintah melekat di dalamnya aspek kewenangan dan tanggung jawab, baik untuk melaksanakan, maupun untuk memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan kewenangan yang telah dijalankan. Sebagai subjek dari hak menguasai negara, maka pemerintah berlandaskan pada kewenangan yang dimiliknya mempunyai fungsi dasar sebagai berikut: 1) Berkuasa, berwenang, dan bertanggung jawab atas pengelolaan, pemanfaatan, dan mengambil hasil dari sumber daya alam; dan 2) Melakukan upaya paksa secara hukum, mulai dari teguran, peringatan, sampai dengan penghentian atas kegiatan usaha yang melanggar aturan dan mengabaikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Mencermati uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa subyek Hak Menguasai Negara adalah Negara Republik Indonesia yang dilaksanakan oleh pemerintah sebagai lembaga negara yang dijamin oleh konstitusi negara, yaitu Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Artinya, kalau ada pihak lain atau pihak ketiga yang melakukan kegiatan usaha pengolahan sumber daya alam nasional hanyalah atas seizin dari pemerintah, dengan kekuasaan pengendalian, pengaturan, dan pemanfaatan berada di tangan pemerintah (http: //www.indolawcenter.com/index.php? option = com_ content & view=article&id =1518% 3A subjek-hak-menguasai-negara& catid =174%3 &Itemid=237). Hak Menguasai Negara merupakan sebutan hak yang diberikan oleh UUPA kepada lembaga hukum dan hubungan hukum konkrit antara negara dan tanah Indonesia yang dirinci isi dan tujuannya dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3) UUPA. Kewenangan negara dalam bidang pertanahan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
17
tersebut merupakan pelimpahan tugas bangsa untuk mengatur dan memimpin
penguasaan
dan
penggunaan
tanah
bersama
(http://charlessebayang.blogspot.com/2009/03/hak-menguasai-darinegara.html). Dengan demikian, Pasal 2 UUPA memberikan sekaligus suatu tafsiran resmi interprestasi otentik mengenai arti perkataan dikuasai yang dipergunakan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Pembatasan wewenang negara atas tanah yang diperinci dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUPA 1960 1960 (LNRI-1960-104, TLN-2043), yaitu: 1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa; 2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa; dan 3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa (Boedi Harsono, 2003: 238). Pelaksanaan dari Hak Menguasai Negara tersebut sebagian kewenangananya dapat juga diberikan dengan penugasan kepada daerah dalam rangka medebeweind dan kepada pejabat-pejabat pusat yang berada di daerah dalam rangka dekonsentrasi sehingga Hak Menguasai Negara harus dilihat dalam konteks hak dan kewajiban negara sebagai pemilik (domein) yang bersifat publiekrechtelijk, bukan sebagai eigenaar yang bersifat privaatrechtelijk. Makna dari pemahaman tersebut adalah negara memiliki kewenangan sebagai pengatur, perencana, pelaksana, dan sekaligus sebagai pengawas pengelolaan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya alam nasional tanpa harus berstatus sebagai pemilik sumber daya alam tersebut. Pembatasan wewenang yang dimiliki negara atas tanah selain bersifat publik seperti yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA juga terdapat wewenang Hak Menguasi Negara yang bersifat perdata yang tercermin dalam Pasal 4 UUPA. Berdasarkan wewenang dalam Pasal 4 UUPA, pemerintah diharuskan membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan, dan penggunaan, bumi, air, dan ruang angkasa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
18
serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, untuk keperluankeperluan yang bersifat: 1)
Politis (tanah dimanfaatkan untuk keperluan atau bangunan pemerintah termasuk bangunan pertahanan);
2)
Ekonomis (tanah dimanfaatkan untuk keperluan perkembangan produksi
pertanian,
peternakan,
perikanan,
perkebunan,
industri, pertambangan, transmigrasi, dan lain-lain); dan 3)
Sosial (tanah dimanfaatkan unuk keperluan beribadat, pusatpusat permukiman, keperluan sosial, kesehatan, pendidikan, rekreasi, dan lain-lain).
Cara-cara negara dalam melaksanakan hak yang dimilikinya demi menjamin kepentingan-kepentingan yang dituntut oleh masyarakat harus dilaksanakan melalui cara-cara pengambilan keputusan yang adil dan beradab atas dasar musyawarah bersama
berlandaskan hikmah
kebijaksanaan sebagai landasan keputusan. Setiap orang dalam suatu komunitas
(bangsa)
memiliki
hak
tertentu
sebagai
dasar
dari
kepentingannya. Sebaliknya, setiap orang juga memiliki kepentingan yang menjadi dasar dari haknya. Setiap orang harus menjalankan secara seimbang
dengan
kewajiban
untuk
memenuhi
keperluan
hidup
masyarakat secara luas, sehingga sikap adil dan beradab merupakan konsekuensi yang perlu ditampakkan dalam pengambilan keputusan terkait dengan pelaksanaan wewenang dan hak yang dimiliki oleh negara.
b. Dasar-Dasar Pemikiran yang Melatarbelakangi Hak Menguasai Negara atas Tanah 1) Eksistensi Manusia Indonesia Sejak lahir manusia adalah pribadi yang tersusun atas jasmani dan rohani dengan akal budi dan kehendak. Unsur manusia tersebut berpotensi untuk terus berkembang agar mencapai eksistensinya. Atas dasar itu manusia Indonesia memandang adanya hak kodrati
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
19
untuk mengembangkan potensi yang dinamakan sebagai hak asasi manusia. Untuk mencapai eksistensinya, manusia Indonesia memandang bahwa tidak mungkin mampu mencukupi kebutuhannya tanpa bantuan dari manusia yang lain dalam masyarakat. Hal ini mempunyai konsekuensi adanya hidup saling membantu antara manusia dan masyarakat. Dalam konteks kehidupan bernegara, maka manusia
Indonesia
juga
memerlukan
peran
negara
untuk
mempertahankan eksistensinya. Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa manusia secara kodrati adalah makhluk individu dan sosial. Dasar eksistensi manusia sebagai makhluk sosial adalah sifat dan hakekat manusia sebagai makhluk berketuhanan (Winahyu Erwiningsih, 2009: 109). 2) Hubungan Manusia dengan Tanah Setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia haruslah menciptakan hak dan kewajiban secara seimbang. Keseimbangan hak dan kewajiban berarti bahwa hak tidak diperlakukan melampaui kewajiban dan sebaliknya kewajiban tidak diperlakukan melampaui hak. Perilaku yang mencerminkan keseimbangan antara hak dan kewajiban adalah perilaku yang mencerminkan pula sifat adil dan beradab sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Manusia yang adil dan beradab merupakan suatu keyakinan dan moral sebagai pedoman kenyataan hidup yang terwujud dalam hubungan manusia dengan masyarakat dan negara secara keseluruhan. Menurut pandangan Ronald Z. Tihatelu, dengan dasar manusia sebagai makhluk Tuhan dan sikap adil dan beradab dalam hubungan manusia, maka tanah merupakan pemberian Tuhan kepada pribadi, keluarga, masyarakat, dan Bangsa Indonesia. Memiliki tanah merupakan hak yang diturunkan karena adanya pemberian Tuhan, namun demikian sejalan dengan itu pula, kewajiban dalam pemilikan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
20
tanah juga diturunkan, karena Tuhan menghendaki dijalankannya kewajiban bersama hak secara seimbang, secara adil, oleh manusia yang beradab, manusia yang memiliki keluhuran harkat dan martabat selaku manusia ciptaan Tuhan. Dengan demikian yang memiliki hubungan dengan tanah yakni manusia alamiah yakni perseorangan, keluarga, dan masyarakat. Kumpulan kepemilikan tersebut disebut sebagai milik bangsa (Winahyu Erwiningsih, 2009: 110). 3) Hakekat Negara Istilah negara mengandung makna suatu alat (agency) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubunganhubungan manusia dalam masyarakat dalam menertibkan gejalagejala kekuasaan dalam masyarakat. “Hakekat negara adalah suatu penggambaran tentang sifat dari negara. Negara sebagai wadah dari suatu bangsa untuk mencapai suatu tujuan atau cita-cita bangsanya. Tujuan negara merupakan kepentingan utama dari tatanan suatu negara” (Soehino, 1998:146). Sebagai organisasi yang memiliki wilayah, negara dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama. Tujuan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 memberikan suatu kewenangan bagi negara untuk mengatur arah pemerintahan dalam usahanya untuk mewujudkan tujuan tersebut. Hak untuk mengatur yang dimiliki oleh negara atau kekuasaan yang dijalankan oleh negara memperlihatkan adanya tugas khusus yang dimiliki oleh negara. Tugas negara antara lain: 1) Melaksanakan fungsi mengatur; 2) Melaksanakan
fungsi
penyelesaian
masyarakat;
commit to user
sengketa
antar
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
21
3) Melaksanakan
fungsi
pengembangan
kehidupan
khususnya di bidang perekonomian; dan 4) Melaksanakan fungsi pengadaan fasilitas umum untuk kepentingan masyarakat. 4) Hubungan Negara dengan Tanah Banyak terjadi perbedaan pandangan mengenai hubungan negara dengan tanah terutama berkaitan dengan status penguasaan tanah oleh negara. Pendapat pertama memandang bahwa negara dapat memiliki tanah dengan alasan bahwa negara dipandang sama dengan subjek perdata sehingga negara dapat mempunyai hubungan hak
milik,
hanya
saja
tanah-tanah
milik
negara
tersebut
dipergunakan bagi kepentingan umum. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa ada hubungan khusus antara negara dengan tanah yang masuk untuk kategori kepentingan umum. Hak milik ini harus mendapat perlindungan dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Pendapat pertama, menurut Louis Kaplow dan Steven Shavell, penegakan perlindungan hak milik dapat melindungi
pemegangnya dari sebuah
resiko,
seperti
kemungkinan adanya pengambilalihan hak tersebut oleh pihak lain. Dalam tulisannya “Economy Analysis of Law”, Louis Kaplow dan Steven Shavell menyatakan: “A related benefit of enforcing property rights is that it protects people against risk. In the absence of protection of property rights, individuals would face the possibility that their property would be taken from them (even though they might also enjoy the possibility that they would be able to take property from others)” (Louis Kaplow and Steven Shavell, 1999:15). Pendapat kedua, menyatakan bahwa negara bukan pemilik tanah karena yang menjadi pemilik tanah adalah manusia yang mempunyai kedudukan istimewa. Eksistensi manusia senantiasa disertai dengan hak-hak yang secara alami melekat padanya,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
22
termasuk untuk hak memiliki. Tanah dapat dimiliki oleh negara dengan alasan-alasan sebagai berikut: 1) Penggunaan langsung oleh negara; 2) Statusnya sebagai res publicae yag dipergunakan warga; dan 3) Penggunaannya oleh warga tetapi memberi manfaat bagi kekayaan warga sehingga harus dikuasai dn dimiliki oleh negara, walaupun sebagai quasi proprium (sifat dari pemilikan itu adalah tidak mutlak) (Winahyu Erwiningsih, 2009:114). Pada awalnya manusia secara alami memiliki tanah untuk kebutuhan hidupnya. Namun demikian lama kelamaan timbul ketidaksamaan pemilikan yang disebabkan adanya perbedaan kemampuan
dalam
berusaha
dan
kekuatan.
Hal
tersebut
menyebabkan perpecahan yang dapat berupa perampasan tanahtanah oleh golongan yang kuat terhadap yang lemah. Untuk mencegah
hal
tersebut,
negara
memiliki
wewenang
untuk
menguasai, mengatur, dan mengusahakan untuk kemakmuran rakyat dan
mengusahakan
pemerataan
kesejahteraan
bagi
seluruh
masyarakat. Dalam hal ini, negara hanya bertindak untuk mengatur tanpa harus memiliki tanah tersebut, karena pada hakekatnya segala tanah dan kekayaan yang terkandung didalamnya adalah hak bangsa. 2. Tinjauan umum tentang Hukum Tanah 1) Pengertian Tanah Secara Umum Pengertian tanah adalah permukaan bumi atau lapisan bumi paling atas yang merupakan keadaan bumi di suatu tempat dan permukaan bumi tersebut diberi batas (Boedi Harsono, 2003: 19). Tanah merupakan pengertian yuridis dalam hukum tanah yang diberi batasan oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dalam Pasal 4 yaitu “macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun dimiliki bersama orang-orang lain serta badan-badan hukum”.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
23
2) Macam-macam Tanah a) Tanah Negara Tanah negara dalah tanah-tanah yang dimilki pemerintah yaitu tanah-tanah yang diperoleh pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah
berdasarkan
nasionalisasi,
pemberian,
penyerahan sukarela maupun melalui pembebasan tanah, dan berdasarkan akta-akta pemilikan hak (B.F. Sihombing, 2004: 87). Tanah negara juga dapat diartikan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam rangka hak menguasai dari negara untuk mengatur bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada suatu tingkat tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat yang mempunyai kewenangan untuk : 1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; 2. Menetukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa; 3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa (Supriadi, 2008: 22-23). b) Tanah Swapraja Tanah Swapraja yaitu tanah yang dahulu disebut daerah raja-raja atau Zelbestuurende Landschappen dimana di daerah Swapraja terdapat beberapa peraturan-peraturan yang tidak sama dengan peraturan yang ada di daerah luar Swapraja. Hak-hak tanah
di
daerah
Swapraja
masih
mempunyai
sifat-sifat
keistimewaan berhubung dengan struktur pemerintahan dan masyarakat yang sedikit banyak adalah lanjutan sistem feodal sehingga tidak tegas kedudukannya. Kekuasaan raja menganggap
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
24
tanah seluruhnya di dalam kerajaan dalah tanah miliknya, sementara kekuasaan raja-raja atas tanah tidak terlepas dari kedudukan raja dan pemerintah daerah (Supriadi, 2008: 18-19).
c)
Tanah Sultan Ground Pengertian tanah Sultan Ground ialah tanah keraton yang
belum diberikan haknya kepada penduduk maupun kepada pemerintah desa, masih merupakan milik keraton sehingga siapapun yang akan menggunakannya harus meminta ijin kepada pihak keraton atau kepada Sultan (Suyitno, 2007: 1-2).
3) Pengertian Hukum Tanah Hukum adalah himpunan petunjuk petunjuk hidup (perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan oleh karena itu seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan (Utrecht, 1957: 9). Berdasarkan definisi tersebut diatas, hukum memiliki karakteristik
mendasar, yaitu memaksa dan
mengatur, yang merupakan peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dapat memaksa orang supaya mentaati tata-tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa yang tidak patuh mentaatinya. Sedangkan tujuan dari hukum itu sendiri adalah menjamin adanya kepastian hukum dan keadilan dalam masyarakat. Hukum tanah adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang semuanya mempunyai obyek pengaturan yang sama, yaitu hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan-hubungan yang konkret, beraspek publik dan perdata, yang dapat disusun dan dipelajari secara sistematis, hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem. Hak-hak pengaturan tanah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
25
macamnya beragam karena disebabkan oleh perbedaan konsepsi yang melandasi hukum negara yang bersangkutan, kondisi yang dihadapi dan kebutuhan yang harus dipenuhi. Hukum Tanah Nasional tertuang dalam Undang-Undang Pokok Agaria (UUPA) yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia dan meliputi semua tanah yang ada di wilayah negara (Boedi Harsono, 2003: 31). Disamping itu, sistem Hukum Pertanahan Nasional harus berpegang
pada
prinsip
Hukum
Pertanahan
Nasional
yang
direkomendasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam People Charter, yaitu Prinsip Kesatuan Hukum Agraria untuk seluruh wilayah tanah air yang meliputi: a. b. c. d.
Penghapusan hak domein verklaring; Fungsi sosial hak atas tanah; Berdasarkan atas hukum adat atas tanah; Persamaan derajat warga negara Indonesia antara laki-laki dan wanita; e. Pelaksanaan reformasi hubungan antara warga negara Indonesia dengan tanah, bumi, air, dan ruang angkasa; f. Rencana umum penggunaan, persediaan, pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; g. Prinsip nasionalitas (Mohammad Hatta, 2005: 21-22). 4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) secara formal dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1950. Kedua UndangUndang tersebut diberlakukan mulai 15 Agustus 1950 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1950. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terdiri dari 7 pasal dan satu lampiran mengenai daftar kewenangan otonomi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
26
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 menyebutkan secara tegas bahwa Yogyakarta adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat Propinsi. Hal itu mengandung konsekuensi hukum dan politik yang amat berbeda terutama dalam hal kepala daerah dan wakil kepala daerahnya tetapi Yogyakarta bukan merupakan sebuah monarki konstitusional. Undang-undang tersebut mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan, serta aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan. Tri Yuniyanto memberikan penjelasan secara singkat mengenai sejarah Yogyakarta dalam tulisannya di International Journal for Historical Studies (2010: 62), yaitu: Yogyakarta, in the time of Dutch colonial governance, was a selfgoverning state of swapraja (Zelfbestuur), which held self government based on political contract between the sultan and the Dutch colonial. Like other self- Government region, the order of governance was also required to hold democracy order, both the kasultanan Yogyakarta and Kadipaten Pakualaman, whose rules had aligned themselves with the Republic Indonesia’s struggle for independence, were together constituted as a Special region or Daerah Istimewa with the status of a province. The sultan of Yogyakarta (Sultan Hamengkubuwono IX) was appointed as Kepala Daerah (Governor) and the ruler of Pakualaman (Pakualam VIII) became Wakil Kepala Daerah (Deputy Governor). Berdasarkan tulisan di atas dapat diartikan bahwa Yogyakarta pada zaman Pemerintahan Kolonial Belanda adalah pemerintahan otonom dari swapraja (Zelfbestuur), pemerintahan otonom yang mana berpegang pada kontrak politik antara Sultan dan Kolonial Belanda. Seperti pemerintahan daerah otonom lainnya, perintah dari penguasa juga mewajibkan untuk memegang teguh demokrasi, baik Kasultanan Yogyakarta
(Sultan
Ground)
maupun
Kadipaten
Pakualaman
(Pakualaman Ground), yang mana kedua pihak saling bersekutu menyatukan kekuasaan mereka pada saat perjuangan Republik Indonesia untuk kemerdekaan, yang bersama-sama berdasarkan kuasanya menetapkan sebagai daerah khusus atau Daerah Istimewa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
27
sebagai
status
dari
Propinsinya.
Sultan
Yogyakarta
(Sultan
Hamengkubuwono IX) ditunjuk sebagai Kepala Daerah dan Raja Pakualaman (Paku alam VIII) sebagai Wakil Kepala Daerah. Penegasan bentuk keistimewaan berdasarkan sejarah yang ditetapkan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) paling menonjol ada pada hukum pertanahan, yaitu adanya tanah Sultan Ground (tanah Kasultanan). Aturan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu terlepas dari aturan pertanahan yang ada seperti yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan peraturan perundangundangan lainnya. Pada tahun 1955 diundangkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1950 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 yang berisi mengenai perubahan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta (DPRD DIY).
3. Tinjauan Tentang Hak Atas Tanah 1) Pengertian Hak Atas Tanah Hak atas tanah adalah hak yang diterima oleh perseorangan atau badan hukum selaku pemegang kuasa atas tanah yang memberi wewenang kepada pemegangnya untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan dalam batas-batas yang diatur oleh perundangundangan.
Hak
atas
tanah
memberikan
wewenang
untuk
mempergunakan tanah kepada subjeknya, oleh karena itu hak jaminan bukanlah hak atas tanah. Menurut Pasal 4 ayat (2), hak atas tanah memberikan
wewenang
untuk
mempergunakan
tanah
yang
bersangkutan demikian pula bumi, air dan ruang angkasa yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah dalam batas menurut UndangUndang Pokok Agraria (UUPA) dan peraturan hukum lain.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
28
Pada dasarnya setiap hak atas tanah baik secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa, dimana merupakan hak bersama seluruh rakyat dan dipergunakan untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Hal tersebut mengandung arti bahwa tanah mempunyai fungsi sosial. Sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dinyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Hal tersebut mengandung pengertian bahwa semua hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidak boleh digunakan semata-mata untuk kepentingan pribadi akan tetapi penggunaan tanah tersebut juga harus memberikan kemanfaatan bagi kepentingan masyarakat dan Negara. Fungsi sosial hak atas tanah, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPA mengandung beberapa prinsip keutamaan antara lain: a. Suatu pernyataan yang penting mengenai hak-hak atas tanah yang dapat merumuskan secara singkat tentang sifat kebersamaan atau kemasyarakatan. b. Hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya, artinya keadaan tanah, sifat, dan tujuan pemberian haknya (Santoso Soeroso, 2005 : 37). 2) Macam-Macam Hak Atas Tanah Hak-hak atas tanah sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) terdiri dari hak-hak yang tunduk pada hukum adat dan hukum barat. Adapun hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat adalah : a) Hak agrarisch eigendom adalah suatu lembaga usaha dari Pemerintahan Hindia Belanda dahulu untuk mengkonversi tanah hukum adat, baik yang berupa milik perorangan maupun yang ada hak perorangannya pada hak ulayat dan jika disetujui sebagian besar dari anggota masyarakat pendukung hak ulayatnya, tanahnya dikonversikan menjadi agrarisch eigendom.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
29
b) Tanah hak milik, hak yasan, hak andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, dan hak pesini. Istilah dan lembaga-lembaga hak atas tanah ini merupakan istilah lokal yang terdapat di Jawa. c) Grant Sultan adalah hak milik adat, diberikan oleh Pemeritah Swapraja, khusus bagi kawula Swapraja, dan di daftar di Kantor Pejabat Swapraja terdapat di Kasultanan Deli (Sumatera Timur). d) Landerijenbezittrecht, altijddurende erpacht, dan hak-hak usaha atas bekas tanah partikelir. Selain tanah-tanah di atas, yang tunduk pada hukum adat, ada juga hak-hak atas tanah yang lain diantaranya adalah hak ganggan bauntuik, hak anggaduh, hak bengkok, hak lungguh, hak pituas, dan hak-hak atas tanah lainnya (Adrian Sutedi, 2007: 130-131). Sedangkan hak-hak atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional, pada dasarnya meliputi sebagai berikut: a) Hak-hak atas tanah yang primer, yaitu hak-hak atas tanah yang diberikan oleh negara dan bersumber langsung pada hak bangsa Indonesia atas tanah. Jenis hak tanahnya diantaranya adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai. b) Hak-hak atas tanah yang sekunder, yaitu hak-hak atas tanah yang diberikan oleh pemilik tanah dan bersumber secara tidak langsung pada hak bangsa Indonesia atas tanah. Hak atas tanah yang sekunder disebut pula hak baru yang diberikan di atas tanah hak milik dan sellau diperjanjikan antara pemilik tanah dan pemegang hak baru dan akan berlangsung selam ajangka waktu tertentu. Jenis hak atas tanah sekunder diantaranya adalah hak usaha bagi hasil. Hak gadai atas tanah, hak menumpang (Arie Sukanti dan Markus Gunawan, 2008: 29-30). Berdasarkan peraturan perundang-undangan hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yaitu:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
30
a) Hak Milik Hak milik dahulu dikenal dengan sebutan hak milik adat atau dalam hukum barat disebut hak eigendom. Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan Pasal 6 dan hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain (Pasal 20 ayat (1) & (2) UUPA). b) Hak Guna Usaha Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung
oleh
Negara,
dalam
jangka
waktu
sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan (Pasal 28 ayat (1) UUPA). c) Hak Guna Bangunan Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan-bangunan
atas
tanah
yang
bukan
miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun (Pasal 35 ayat (1) UUPA). d) Hak Pakai Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oeh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian
pengolahan
tanah, segala
sesuatu
asal
tidak
bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undangundang ini (Pasal 41 ayat (1) UUPA). e) Hak Sewa untuk Bangunan Seseorang atau badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
31
keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa (Pasal 44 ayat (1) UUPA).
f) Hak Membuka Tanah dan Hak Memungut Hasil Hutan Hak untuk membuka tanah dan memungut hasil hanya dapat dipunyai oleh Warga Negara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 46 ayat (1) UUPA).
4.
Tinjauan Tentang Sultan Ground Tanah Sultan Ground ialah tanah keraton yang belum diberikan haknya kepada penduduk maupun kepada pemerintah desa, masih merupakan milik keraton sehingga siapapun yang akan menggunakannya harus meminta ijin kepada pihak keraton atau kepada Sultan. Tanah Sultan Ground dibagi menjadi dua macam yaitu : a.
Tanah Mahkota (Crown Domain) Yaitu tanah yang tidak bisa diwariskan yang merupakan atribut pemerintahan Keraton Yogyakarta. Diantaranya berupa keraton, alun-alun, kepatihan, pasar Ngasem, pesanggarahan Ambarukmo, pesanggarahan
Ambarbinangun, hutan
Jati di
Gunungkidul, masjid Besar dan sebagainya. b.
Tanah Milik Kasultanan (Sultanaad Ground) Yaitu tanah-tanah yang bisa diberikan dan dibebani hak. Tanah tersebut merupakan wilayah kerajaan Yogyakarta yang tanahnya bisa dikuasai oleh rakyat. Kewenangan penguasaan tanah oleh Sultan Yogyakarta didapat sebagai pelaksanaan dari perjanjian Giyanti pada tahun 1955. Setelah perjanjian Giyanti, maka Sultan Hamengku Buwono mempunyai hak milik (domain) atas tanah di wilayah barat Kerajaan Mataram yang harus hidup dalam kesadaran hukum masyarakat. (http://www.scribd.com/doc/5177 7593/Sultan-Ground> [26 Juni 2011 pukul 07.49 WIB]).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
32
Konsekuensi diberlakukan asas domain adalah rakyat yang tidak mempunyai hak eigendom dapat menggunakan hak anggaduh dengan kewajiban menyerahkan separo atau sepertiganya hasil tanahnya apabila tanah tersebut merupakan tanah pertanian dan berupa tanah pekarangan. Hak eigendom yang bisa dimiliki rakyat berdasar pada pasal 570 Burgerlijk Wetboek
(BW) yang
merupakan ketentuan keluaran pemerintah Hindia Belanda. Hal ini bisa diberlakukan di wilayah Yogyakarta karena adanya ikatan kontrak politik yang berlangsung hingga tahun 1940. Adapun kewenangan-kewenangan Sultan sebagai pemilik dan penguasa tanah mutlak (pemegang domain) adalah : a.
Berdasarkan perjanjian Giyanti tahun 1755, Sultan mempunyai kewenangan atas tanah berupa mengatur penggunaan tanah untuk keberadaan keraton dan penduduknya serta memberikan hak-hak pemanfaatan tanah kepada keluarga, rakyat, orang asing dan lembaga asing.
b.
Berdasarkan Zaman Kepatuhan / Kabekelan tahun 1863, Sultan berhak menguasakan tanah kepada keluarga sebagai penghasilan dengan ketentuan tanah untuk keluarga dan rakyat adalah dua bagian dan tanah untuk orang yang dikuasakan mengurus (bekel) adalah satu bagian.
c.
Berdasarkan Rijksblad tahun 1918, Sultan dapat memberikan hak anggaduh, hak anggaduh turun-temurun, hak andarbeni, hak pungut hasil, hak didahulukan,dan hak blengket kepada rakyat / penduduk.
d.
Berdasarkan Surat Perjanjian Pemerintah Belanda dengan Sri Sultan IX tahun 1940, izin penggunaan tanah dan air di daerah Kasultanan harus mendapat persetujuan dari Sultan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
33
B. Kerangka Pemikiran
Peraturan perundang-undangan Peraturan Perundang-Undangan Rijksblad KasultananNomor Nomor 16 16 Tahun Tahun 1. 1. Rijksblad Kasultanan 1918; 1918; Undang undang Dasar 31945; 2. 2. Undang-Undang Nomor Tahun 1945; Undang Undang Nomor 3 Tahun1950; 1950; 3. 3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun Undang Undang No. 5 5Tahun 1960; 4. 4. Undang-Undang Nomor Tahun 1960; Keppres Nomor Tahun 1984; 5. 5. Keppres Nomor 33 33 Tahun 1984; Kepmendagri Nomor Tahun 1984; 6. 6. Kepmendagri Nomor 6666 tahun 1984; Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1954. 7. 7. Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 1954.
Fakta Hukum
Peristiwa Hukum
Kebijakan pertanahan terhadap Sultan Ground di Yogyakarta 1. Eksistensi tanah Sultan Ground 2. Pelaksanaan pengelolaan tanah Sultan Ground
1. Eksistensi tanah Sultan Ground 2. Pelaksanaan pengelolaan tanah Sultan Ground
Kesimpulan 1. Keberadaan tanah sultan ground dalam hukum tanah nasional 2. Kesesuaian pelaksanaan pengelolaan tanah Sultan Ground terhadap kebijakan pertanahan. Ragaan 1. Kerangka Pemikiran
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
34
Keterangan: Pada tahun 1945 diundangkannya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 18, merupakan landasan landasan yuridis timbulnya otonomi daerah di Indonesia. Otonomi daerah dalam hal wewenang, tugas, dan tanggungjawab daerah. Pemerintah daerah di Indonesia mengenal adanya daerah otonom, daerah administrasi, dan daerah istimewa. Salah satu Daerah Istimewa tersebut adalah Daerah Istimewa Yogyakarta yang ketentuannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa (DIY). Dimana undang-undang tersebut secara otomotis telah menegaskan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan daerah yang memiliki keistimewaan dengan kewenangan urusan rumah tangga sendiri (otonomi). Kewenangan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) salah satunya dibidang agraria yaitu untuk mengatur hak atas tanah daerahnya sendiri yang kemudian dikenal adanya Sultan Ground atau tanah milik sultan dimana sebagian diantaranya diberikan kepada kerabat dan pejabat keraton sebagai tanah Lungguh, sedang rakyat hanya mempunyai wewenang anggadhuh (meminjam).
Ketentuan
mengenai
Sultan
Ground
tersebut
juga
berdasarkan Rijksblad Kasultanan Nomor 16 Tahun 1918 yang telah berlangsung tahun sejak dimulainya reorganisasi keagrariaan. Pada tahun 1960 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pada waktu itu Daerah Istimewa Yogyakarta belum memberlakukan peraturan tersebut. Hal ini disebabkan karena masih adanya peraturan lama yang berlaku sehingga pemberlakuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tidak bisa dijalankan secara penuh di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 33 tahun 1984 tentang Pemberlakuan sepenuhnya UUPA di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang baru berlaku efektif pada tanggal 24 September 1984. Selanjutnya ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
35
Negeri (Kepmendagri) Nomor 66 Tahun 1984 Tentang Pelaksanaan Pemberlakuan Sepenuhnya UUPA di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) hal tersebut tidak menuntut pemberlakuan UUPA sepenuhnya secara otomatis terhadap semua kelompok tanah. Seperti halnya, tanah-tanah hak milik perseorangan sebagaimana diatur dalam Peraturan daerah Nomor 5 tahun 1954 sudah dapat diberlakukan Undang-Undang Pokok agraria (UUPA) seperti tanah-tanah yang sebelumnya diatur menurut hukum barat, sedangkan untuk tanah-tanah Sultan Ground dan tetap terintegrasi dalam yuridiksi Undang-Undang Pokok agraria (UUPA). Disamping selama ini belum ada ketentuan yang mengatur tanah Sultan Ground sebagai tanah hak milik adat juga tidak dapat dikonversi dengan hak-hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pokok agraria (UUPA), mengingat Kasultanan (Sultan Ground) tidak termasuk subyek hak yang dapat mempunyai hak atas tanah. Sehingga penting untuk menelaah hal tersebut termasuk dalam pelaksanaannya Sultan Ground sudah sesuai atau belum dengan amanat peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
a. Gambaran Umum Daerah Istimewa Yogyakarta 1.
Letak Geografis Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu propinsi di Indonesia. Secara astronomi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terletak antara 110°24'19" – 110°28'53" Bujur Timur dan antara 07°49'26" – 07°15'24" Lintang Selatan. Secara administratif terdiri dari 14 kecamatan dan 45 kelurahan dengan batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Sleman, dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bantul dan Sleman, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bantul dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bantul dan Sleman.
2. Luas wilayah Luas Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) 3.185,80 km2 terdiri atas Kota Yogyakarta 32,50 km 2, Kabupaten Sleman 574,82 km2, Kabupaten Bantul 506,85 km2 , Kabupaten Kulon Progo 586,27 km2, Kabupaten Gunung Kidul 1485,36 km2.
3. Pemerintahan Wilayah administrasi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terdiri dari satu kota dan empat kabupaten yaitu Kotamadya Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Kulon Progo yang terbagi menjadi 78 kecamatan dan 438 desa/kelurahan.
4. Tata Ruang dan Infrastruktur Kondisi bentang alam Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang beragam dan aspek filosofi kebudayaan mempengaruhi pengembangan
36to user commit
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
37
tata ruang/wilayah dan pembangunan infrastruktur. Model yang digunakan dalam tata ruang wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah corridor development atau disebut dengan pemusatan intensitas kegiatan manusia pada suatu koridor tertentu yang berfokus pada Kota Yogyakarta dan jalan koridor sekitarnya. Dalam konteks ini, aspek pengendalian dan pengarahan pembangunan dilakukan lebih menonjol dalam koridor prioritas, terhadap kegiatan investasi swasta, dibandingkan dengan investasi pembangunan oleh pemerintah yang dengan sendirinya harus terkendali. Untuk mendukung aksesibilitas global wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), maka diarahkan pengembangan pusat-pusat pelayanan antara lain Pusat Kegiatan Nasional (PKN)/Kota Yogyakarta, Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) Sleman, Bantul, dan Pusat Kegiatan Lokal (PKL). Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010 tentang RTRW Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) 2009 – 2029 mengatur pengembangan tata ruang di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). 5. Keadaan Alam Secara garis besar Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan dataran rendah dimana dari barat ke timur relatif datar dan dari utara ke selatan memiliki kemiringan ± 1 derajat, serta terdapat 3 (tiga) sungai yang melintas Kota Yogyakarta, yaitu sebelah timur adalah Sungai Gajah Wong, bagian tengah adalah Sungai Code dan sebelah barat adalah Sungai Winongo. Disebagian utara seluas lebih kurang 4% tanah miring (kelanjutan dari gunung berapi) dengan sifat-sifat wilayah hujan, kaya akan mata air dan sangat subur. Dibagian selatan/barat seluas lebih kurang 7% dari barat ke arah selatan dengan ketinggian semakin rendah berakhir pada daratan pantai alluvial dengan sifat tanah: wilayah hujan, banyak mata air. Dibagian tengah seluas 41% merupakan tanah datar/ngarai dengan sifat tanah cukup subur, jaringan pengairan baik dengan penduduk yang padat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
38
6. Iklim Temperatur harian rata-rata berkisar antara 26,6°C sampai 28,8° C sedang temperatur minimum 18° C dan maximum 35°C. Kelembabab udara rata-rata 74% dengan kelembaban minimum 65% dan maximum 84%. Curah hujan bervariasi antara 3 mm sampai 496 mm. Curah hujan diatas 300 mm terjadi pada bulan Januari, Pebruari, April. Curah hujan tertinggi 496 mm terjadi pada bulan Pebruari dan curah hujan terendah 3mm samapi 24 mm terjadi pada bulan Mei sampai Oktober. Curah hujan tahunan rata-rata 1855 mm.
7. Penduduk Pertambahan penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dari tahun ke tahun cukup tinggi. Menurut sensus penduduk 2010 memiliki jumlah penduduk 3.452.390 jiwa dengan proporsi 1.705.404 laki-laki dan 1.746.986 perempuan, serta memiliki kepadatan penduduk sebesar 1.084 jiwa per km2 . Angka harapan hidup penduduk Kota Yogyakarta menurut jenis kelamin, laki-laki usia 72,25 tahun dan perempuan usia 76,31 tahun. 8. Penggunaan Tanah Sultan Ground Di Yogyakarta Pemanfaatan tanah Sultan Ground digunakan untuk kepentingan rakyat. Pemberian kewenangan penggunaan tanah Sultan Ground semula mendasarkan pada hukum yang dilakukan oleh Kawedanan Penghageng Wahono Sarto Kriyo.
Pemanfaatan penggunaan hak magersari dapat
dilakukan oleh siapa pun (perorangan/instansi) yang berada di wilayah DIY melalui prosedur yang telah ditetapkan oleh Paniti Kismo. Bagi pemakai tanah Sultan Ground yang telah mempunyai surat kekancingan diberi kewajiban biaya penggunaan pinjam pakai pisungsung dan penanggalan. Pisungsung wajib dihaturkan ke keraton sekali pada saat penerbitan kekancingan dan penanggalan dibayarkan sekali setahun.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
39
b. Eksistensi Tanah Sultan Ground dalam Hukum Tanah Nasional Keberadaan perkembangannya
tanah dari
Sultan awal
Ground
historis
dan
tetap
mengacu
selanjutnya
pada
mengikuti
perkembangan hingga dewasa ini. Pengaturan sultan Ground bermula dari sebelum lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria sampai pada setelah Undang-Undang Pokok Agraria selanjutnya ditelaah menurut pengaturan pada Hukum Tanah Nasional saat ini.
1. Eksistensi Tanah Sultan Ground Sebelum Lahirnya UUPA Berdasarkan sejarah terbentuknya Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dikepalai oleh seorang sultan atau raja, maka pola penguasaan, pemilikan, dan penggunaan tanah pada mulanya terbentuk feodal yang kemudian berubah menjadi hak atas tanah secara komunal dan hak milik perseorangan. Hal ini terjadi karena segala sesuatunya berasal dan bersumber kepada pranata-pranata yang dikeluarkan oleh sultan atau raja, dengan kata lain segalanya berorientasi kepada kekuasaan sultan atau raja. Raja atau sultan adalah merupakan satu-satunya penguasa wilayah tertinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) diakui secara formal dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1955. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta hanya terdapat sejumlah 7 pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi. Undang-Undang tersebut hanya mengatur wilayah dan ibukota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan, serta aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1955 sendiri adalah perubahan dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 yang berisi penambahan kewenangan bagi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Status keistimewaan Yogyakarta tidak diatur lagi dalam undang-undang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
40
pembentukan karena telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948. Penentuan sikap penggabungan Kasultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alamanan terlihat dengan dikeluarkannya Amanat 5 September 1945 menjadi salah satu sebab dapat dipertahankannya Daerah Istimewa Yogyakarta. Amanat Paku Alamanan sama dengan isi amanat Sri Sultan, isi amanat Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah sebagai berikut: 1. Bahwa Negeri Ngajogjakarto jang bersifat Keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia 2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarto Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubungan dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintah dalam Negeri Ngajogjakarto Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya. 3. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarto Hadiningrat dengan Pemerintah Pust Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia. (Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo 2011: 61). Pendeklarasian Kasultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alamanan untuk bergabung menjadi satu kesatuan serta mempunyai kerjasama yang baik antara kedua belah pihak dalam menjalankan pemerintahan dalam daerah, merupakan salah satu faktor sehingga dapat dipertahankan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini terlihat jelas dengan dikeluarkan Amanat 30 Oktober 1945 yang secara bersama-sama dituangkan dalam satu amanat dan ditandatangani secara bersamaan oleh Sri Sultan dan Sri Paku Alam yang pada intinya berisi mengenai dasar yang diletakan adalah kedaulatan rakyat dan keadilan sosial, amanat 5 September 1945, penyerahan kekuasaan kepada Sri Sultan dan Sri Paku Alam dari rakyat, dan dibentuk Badan Pekerja sebagai Badan Legislatif. Amanat ini juga menyatakan dengan tegas menolak Komisaris Tinggi karena telah tersirat dalam Amanat 5 September 1945 bahwa Sri Sultan dan Sri Paku Alam tidak menghendaki ada perantara antara kedua belah pihak dengan Presiden Republik Indonesia (Soedarisaman Poerwokoesoemo, 1984: 24).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
41
Amanat 5 September 1945 mengartikan secara tegas tindakan yang diambil Sri Sultan dan Sri Paku Alama untuk memihak Republik Indonesia dan melepaskan genggaman penjajah. Otomatis kewenangan yang dimiliki penjajah atas fungsi pepatih dalam hapus. Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Paku Alaman berdasarkan amanat ini belum dapat disimpulkan bahwa kedua belah pihak telah merupakan satu daerah, karena baik Sri Sultan maupun Paku Alaman dalam amanat tersebut berdiri sendirisendiri, pernyataan keduanya tidak menjadi satu kesatuan. Apabila konteks amanat dinyatakan di dalam satu kesatuan pernyataan, maka keduanya telah menjadi satu. Setelah penentuan sikap ini, surat Soekarno yang telah dibuat tanggal 19 Agustus 1945 baru dikirim pada tanggal 7 September 1945, karena menunggu dikeluarkan ketentuan bahwa Yogyakarta berada di belakang Negara Republik Indonesia. Penyatuan Yogyakarta dengan Republik Indonesia merupakan masalah kesepakatan dan komitmen antara Yogyakarta dengan Pemerintah Republik Indonesia. Sri Sultan dan Sri Paku Alam berkomitmen untuk menjalankan Piagam Kedudukan yang diberikan oleh Soekarno sebagai bentuk pencapaian kesepakatan antara kedua pihak terkait. Kesepakatan untuk bergabung tersebut, maksudnya bukan Yogyakarta untuk tunduk atau pun mengalah secara politis terhadap Indonesia. Keputusan itu merupakan komitmen terhadap bangsa yang menunjukan sikap kenegarawan dari Sultan Hamengku Buwono IX (Haryadi Baskoro&Sudomo Sunaryo, 2011: 44-46). Berdasarkan surat Presiden Soekarno tersebut, jabatan patih ditiadakan, sehingga sejak saat itu seluruh kekuasaan praktis berada di satu tangan yaitu sultan atau raja. Untuk mengatur urusan pertanahan sejak tahun 1946, dikeluarkan berbagai Maklumat dan Petunjuk Jawatan Praja Derah Istimewa Yogyakarta yang mengatur hak-hak atas tanah dan segala sesuatu yang berhubungan dengan status tanah, antara lain Maklumat No. 13 tahun 1946 tentang Tanah Negri. Disamping itu, berdasarkan Lembaran Daerah Istimewa Yogyakarta No. 12 tahun 1955, maka tanah bekas emplasemen
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
42
pabrik bekas krajan, kawadenan, dan lain-lain menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pemerintah Keraton merupakan
rumah
tangga
pribadi
sultan, sedangkan
pemerintahan
Kasultanan menjadi pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai daerah yang setingkat dengan propinsi. Kemudian diberlakukannya daerahdaerah swapraja pada masa Hindia Belanda yang kekuasaan Pemerintahan dibidang keagrariaan ditetapkan dalam surat perjanjian (kontrak) yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan Kepala Daerah Swapraja masing-masing. Perjanjian tersebut menyatakan untuk pemberian, penjualan atau persewaan tanah oleh pemerintah Swapraja atau Kawula swapraja kepada bangsa Indonesia harus mendapat ijin atau persetujuan terlebih dahulu dengan Pemerintah Hindia Belanda. Menurut KGPH Hadiwinata Penghageng
Wahono Sarto Kriyo
mengatakan bahwa besarnya kepercayaan rakyat kepada sultan atau raja, yang merupakan penguasa tunggal hingga seluruh tanah seisinya serta cara pengaturannya di percayakan penuh kepada sultan atau raja, semua tanah adalah kagungan dalem noto artinya milik sultan atau raja (Sultan Ground) dipakai untuk tanah keraton yang dahulu menggunakan sistem kerajaan. Tanah sebagai kagungan dalem noto atau milik raja, pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua yaitu Keprabon Dalem dan Dede Keprabon Dalem. Keprabon Dalem yaitu serangkaian persyaratan yang mutlak diperlukan bagi seorang raja di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Persyaratan tersebut dapat berwujud benda bergerak dan benda tak bergerak. Benda bergerak antara lain adalah keris atau tombak pusaka, bender pusaka, sedang benda tidak bergerak berupa alun-alun, pagelaran, siti hinggil, kraton dan lain sebagainya. Sedangkan tanah Dede Keprabon Dalem terdiri dari atas dua jenis tanah, yaitu tanah yang digunakan penduduk/lembaga dengan hak (magersari, ngindung, hak pakai, hutan, kampus dan lain-lain), dan tanah yang digunakan penduduk tanpa alas hak. Tanah tersebut diperuntukkan mendirikan rumah-rumah bagi putro sentono dalem, seperti Pangeran Adipati Anom, Pangeran Hangabehi, mendirikan rumah-rumah bagi abdi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
43
dalem seperti Pepatih Dalem di Kapatihan, Dalapan Nayoko di kenayakaan, sebagai gaji para putro sentono dalem, dan para abdi dalem, bagi desa-desa, Kademangan, Kabekelan di kelurahan, dan ragi kawulo dalem atau rakyat dengan hak anggadhuh turun temurun. Kedudukan rakyat sebagai petani penggaduh adalah sebagai penggarap dalam arti yang sebenarnya, dengan pengertian mereka tidak memiIiki hak atas tanah itu. Adapun hasil dari tanah itu atau hasil panen dibagi dua disebut dengan maru. Sebelum tahun 1918, Kantor Panitikismo mengatakan adanya suatu tatanan masyarakat yang feodalisme, rakyat sebagai lapisan masyarakat terbawah tidak memiliki hak apapun atas tanah yang ditempati dan dikerjakannya. Dalam lingkungan masyarakat banyak dipengaruhi anggapan dan keyakinan bahwa raja adalah pemimpin yang suci mengusai segala-galanya dan memiliki segalanya, bahkan dirinya dianggap sebagai salah satu yang dikuasai dan men jadi hak milik raja. Pada jaman sebelum reorganisasi, di daerah swapraja Yogyakarta dan Surakarta tanah adalah milik raja dan ia berkuasa penuh atas tanah-tanah. Sebagian dari tanah-tanah itu langsung di kuasai oleh raja, yang merupakan semacam tanah domein. Sebagian tanah lainnya, ialah tanah kejawen, atau sering juga disebat tanah gaduhan, tanah lungguh dan yang dalam istilah asing terkenal dengan tanah apanage, dipergunakan untuk menjamin kebutuhan daripada keluarga raja, atau untuk menggaji para abdi dalem. Rakyat dapat memperoleh hak milik, yaitu dengan jalan membuka tanah terhadap tanah liar atau kosong. Hak milik dalam hal ini adalah merupakan hak milik yang sifatnya lemah, seolah-olah hanyalah merupakan hak mengusahakan atau mengerjakan saja. Dengan dikeluarkannya Rijksblad kasultanan tahun 1918 No. 16 dan Rijksblad Pakualaman Tahun 1918 No. 16, maka berubahlah susunan pemerintahan yang diikuti dengan perubahan penguasaan atau pengurusan tanah, pada saat itu dikeluarkan suatu pernyataan domein verklaring untuk seluruh wilayah kerajaan. Ketentuan Pasal 1 menyatakan bahwa “Sakabehe bumi kang ora ono tanda yektine kadarbe ing liyan mawan wewenang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
44
eigendom, dadi bumi kagungane kraton ingsung Ngayogyakarta”. Dalam kata lain yaitu “Tanah yang tidak dapat dibuktikan dengan hak eigendom oleh pihak lain, adalah domein (kepunyaan) Kerajaan Yogyakarta”. Pasal ini mengandung maksud pelestarian asas di wilayah kerajaan Yogyakarta, pengertian
kata
domein
mengandung
arti
sebagai
pemilikan
dan
pengusahaan. Asas domein yang tercantum Rijksblad tersebut, selanjutnya dipakai sebagai pangkal pelaksanaan peraturan-peraturan agraria di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Tahun 1918 merupakan tonggak awal adanya desa sebagai badan hukum dan hak-hak atas tanah. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) Rijksblad Kasultanan dan Rijksblad Pakualam tersebut, yang menyatakan bahwa “Semua tanah yang terletak dalam wilayah yang telah diorganisir yang nyata-nyata dipakai rakyat, baik yang ditempati maupun yang diolah secara tetap atau tidak tetap sebagaimana tercatat dalam regester Kalurahan, di berikan kepada Kalurahan baru tersebut dengan hak anggadhuh (Iniandsch Bezitrecht). Tanah-tanah yang diberikan kepada pamong-pamong kelurahan adalah tanah-tanah yang termasuk dalam regester Kalurahan yang bersangkutan”. Sebagai dasar kewenangan sebagai kerajaan Yogyakarta untuk mengatur sendiri urusan agraria yakni dengan perjanjian atau politik kontrak yang diadakan setiap adanya penggantian kekuasaan atau pergantian raja di kerajaan Yogyakarta. 2. Eksistensi Tanah Sultan Ground Setelah Lahirnya UUPA Diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 belum dapat diberlakukan secara penuh di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menggariskan pembenahan agraria sebagai kewenangan dekosentrasi sesuai dan serupa dengan propinsi-propinsi lain. Pembenahan yang ditempuh oleh Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah mencabut semua peraturan perundang-undangan dalam bidang agraria yang telah ada untuk memberlakukan Undang-Undang Pokok
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
45
Agraria (UUPA) secara penuh di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yaitu pada tanggal 9 Mei 1984 dikeluarkanlah Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang berlaku surut sejak tanggal 1 April 1984. Kemudian dikeluarkanlah Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 1984 di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Menurut Keputusan Dalam Negeri tersebut pemberlakuan sepenuhnya UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) secara bertahap dimulai tanggal 24 September 1984. Guna memenuhi ketentuan tersebut Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berbenah diri dengan mengadakan peninjauan serta mencabut peraturan perundangan daerah dalam bidang agraria yang telah dikeluarkan, yaitu antara lain : a. Rijksblaad Kasultanan Nomor 16 dan 18 Tahun 1918; b. Rijksblaad Kasultanan Nomor 11 Tahun 1928 juncto Nomor 2 dan Rijksblaad Paku Alaman Nomor 13 Tahun 1928 juncto Nomor 1 Tahun 1931; c. Rijksblaad Kasultanan Nomor 2 Tahun 1925 dan Riksblaad Paku Alaman Nomor 25 tahun 1925; d. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1954 tentang Hak-Hak Atas Tanah di Daerah istimewa Yogyakarta (DIY); e. Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 1954 tentang pelaksanaan keputusan desa mengenai hak andarbae dari kelurahan dan hak anganggo turun temurun atas tanah dan perubahan jenis tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta, beserta aturan Perautaran Daerah Yogyakarta Nomor 3 Tahun 1956 yang merupakan perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 1954; f. Peraturan Daerah Nomor 11 tahun 1954 tentang Peralihan Hak Milik Perseorangan Turun Temurun Atas Tanah; dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
46
g.
Peraturan Daerah Nomor 12 tahun 1954 tentang Tanda Yang Sah Bagi Hak Milik Perorangan Turun Temurun Atas Tanah.
Dengan
dicabutnya
peraturan-peraturan
daerah
tersebut,
mengakibatkan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria (Agung Murhandjanto, 1999: 40-41). Keberadaan tanah-tanah Kasultanan (Sultan Ground) dalam sistem hukum mendapat pengakuan. Pengakuan tersebut bukan hanya karena norma-norma dalam Rijksblad dan kelembagaan pendukungnya (Paniti Kismo) masih ada dan fungsional, dalam Keppres Nomor 33 Tahun 1984 juncto Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 66 Tahun 1984 tidak menuntut pemberlakuan UUPA sepenuhnya secara otomatis terhadap semua kelompok tanah. Dalam Kepmendagri tersebut dinyatakan “karena masih terdapat hal-hal yang memerlukan penelitian dan pengkajian lebih lanjut agar pelaksanaan pemberlakuan tersebut berdaya guna dan berhasil guna, maka pelaksanaan pemberlakuan itu dilaksankan secara bertahap”. Hubungan Kasultanan (Sultan Ground) sebagai pihak yang mempunyai kewenangan atas tanah-tanahnya dengan warga masyarakat yang menggunakan sebagian dari tanah-tanah tersebut berlangsung secara tertib berdasarkan hubungan hukum yang jelas seperti magersari atau persewaan atau bentuk hubungan kerja sama lainnya. Dengan kata lain, sampai saat sekarang Kasultanan (Sultan Ground) tetap menjalankan peranannya sebagai pihak yang berwenang atas tanah-tanahnya tetap berlangsung dan tidak pernah terputus yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan hukum tersebut. Tanah-tanah Kasultanan (Sultan Ground) di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta baik sebelum dan sesudah berlakunya UUPA berbeda dengan daerah bekas swapraja lainnya. Kasultanan (Sultan Ground) hingga saat ini masih diakui eksistensinya dan keberadaanya baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Hal-hal yang menjadi acuan dan dasar dari eksistensi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
47
tanah-tanah keraton di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah sebagai berikut : 1. 2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Rijksblad Kasultanan Yogyakarat Nomor 16 tahun 1918 dan Rijksblad Pakualaman Nomor 18 Tahun 1918; Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang memberikan kewenangan kepada pemerintah DIY untuk mengatur rumah tangganya sendiri termasuk menyangkut urusan keagrariaan (Pasal 4 ayat (4)) dan selanjutnya dikeluarkan Peraturan Daerah Nomor 5, 10, 11, dan 12 Tahun 1954.; Tambahan Lembaran Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 28 Tahun 1956 alinea III menyatakan “sebagian besar dari tanah diberikan kepada kalurahan denga hak andarbe, diberikan kepada rakyat dengan hak anganggo turun temurun. Sedangkan ada sebagian kecil dari tanah-tanah yang dikuasai oleh Kasultanan (Sultan Ground) dan Pakualam Ground (PAG)”. Hal ini menunjukkan bahwa tanah-tanah Kasultanan (Sultan Ground) dan Pakualam Ground masih tetap dipertahankan; Surat Gubernur DIY Nomor K1/1.5/849/80 tanggal 24 Maret 1980 perihal permohonan Status tanah Sultan Ground oleh KHP Wahono Sarto Kriyo; Makalah tentang Pelaksanaan UUPA di Propinsi DIY oleh Kepala Direktirat Agraria, setahun setelah diberlakukannya UUPA di DIY pada tanggal 14 September 1985, menegaskan bahwa pemberlakuan UUPA di Propinsi DIY Kasultanan (Sultan Ground) dan Pakualam Ground tidak hapus dan beralih menjadi tanah negara; Peraturan Daerah Kotamadya Yogyakarta Nomor 5 Tahun 1991 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kotamadya, ditentukan bahwa setiap peruntukkan lahan di wilayah Kotamadya Yogyakarta harus sesuai dengan Peraturan Daerah ini dan mendapat ijin dari Kepala Daerah serta adanya rekomendasi dari KHP Wahono Sarti Kriyo yaitu oleh Paniti Kismo Keraton Yogyakarta; Peraturan Daerah Kotamadya Yogyakarta Nomor 5 Tahun 1988 tentang Ijin Membangun Bangun-bangunan dan Ijin Penggunaan Bangun-bangunan, bahwa permohonan IMBB yang diantaranya harus melampirkan salinan surat bukti hak atas tanah/sertifikat tanah dan surat persetujuan pemilik tanah/bangun-bangunan apabila tanah/bangun-bangunan bukan milik sendiri harus sesuai dengan Peraturan Daerah ini dan mendapat ijin dari Kepala Daerah serta adanya rekomendasi dari KHP Wahono Sarti Kriyo yaitu oleh Paniti Kismo Keraton Yogyakarta; Peraturan daerah Kotamadya Yogyakarta Nomor 9 Tahun 1977 tentang Ijin Tempat Usaha juncto Surat Keputusan Walikotamadya Yogyakarta Nomor 137/KD/1988 tentang Tata Cara Pemberian Ijin Tempat Usaha.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
48
9.
Surat Kepala BPN Pusat Nomor 570.34-2493 tanggal 21 Oktober 2003, yang pada intinya menyatakan bahwa terhadap hak atas tanah Kasultanan dan Puro Pakualaman oleh pihak ketiga, apabila tanah yang dimohonkan tersebut adalah tanah Kasultanan dan Puro Pakualaman, maka perlu melampirkan surat pernyataan bahwa tanah yang dimohon adalah tanah Kasultanan atau tanah Pakualaman. Kemudian dalam buku tanah dan sertifikat hak atas tanahnya, dicatat bahwa tanah tersebut diterbitkan di atas tanah Kasultanan atau Pakualaman. 10. Meskipun Pemerintah Keraton Yogyakarta sudah berintegrasi dengan Pemerintah Republik Indonesia Tahun 1945, namun pada kenyataannya sampai saat ini pengaruh dan wibawa keraton masih sangat terasa dimasyarakat, di lingkungan birokrasi pemerintahan daerah dan swasta. Pengakuan terhadap eksistensi tanah-tanah keraton yang ada di DIY masih dipegang teguh oleh masyarakat Yogyakarta yang sampai saat ini masih mengakui bahwa tanah keraton yang mereka tempati adalah Kagungan Dalem. Ketaatan masyarakat dan mereka yang menggunakan fasilitas tanah/bangunan keraton dapat dilihat dari secara rutin mereka membayar uang penanggalan dan pisungsung (uang sewa) atas fasilitas yang telah diberikan keraton tersebut. (Hendro Prabowo : 64-66). Menurut Penghageng Kawedanan Hageng Wahono Sarto Kriyo Keraton Yogyakarta, KGPH Hadiwinoto, keberadaan Sultan Ground di Yogyakarta merupakan satu-satunya di Indonesia sehingga merupakan asset sosial dan ekonomi yang harus dijaga dan dipertahankan tetapi hingga kini tidak memiliki kepastian hukum. Aturan hukum keraton Kasultanan Yogyakarta, sejak dahulu tidak mengatur secara khusus mengenai tanah Sultan Ground. Hukum tanah diatur bersama-sama, baik dengan tanah kas desa, tanah penduduk, maupun tanah keraton itu sendiri. Tanah keraton sebagai tanah yang belum diberikan haknya kepada penduduk maupun kepada pemerintah
desa kerena masih merupakan milik keraton.
Berpedoman pada Pasal 33 UUD 1945 maka tanah Sultan Ground tetap dipergunakan
untuk
sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat
terutama
masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta dengan keraton sebagai pemilik tanah tersebut menjadi perantara/fasilitator sehingga siapapun yang akan menggunakannya harus meminta ijin kepada pihak keraton. Selama ini pemberian hak atas tanah di atas tanah Keraton kepada pihak ketiga melalui
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
49
ijin yang diterbitkan oleh pihak Keraton Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarto Kriyo dan Paniti Kismo. Sertifikat tanah tidak pernah ada dengan status kepemilikan yang ada hanya dibuktikan dengan Surat Kekancingan yang dikeluarkan Keraton. Selain itu, tanah adat tersebut juga tidak dijamin dalam UUPA walaupun secara nyata diakui pemerintah. Sehingga status tanah yang hanya dibuktikan dengan surat keraton (kekancingan) memiliki kelemahan. Kelemahan tersebut adalah karena keraton bukan sebuah badan hukum yang dalam hukum positif Indonesia berhak untuk menerbitkan alat bukti kepemilikan atas tanah. Walaupun pihak keraton mengizinkan masyarakat dengan mengeluarkan surat magersari untuk memanfaatkan tanah tersebut, tetapi tidak bisa menjadi hak milik. 3.
Eksistensi Tanah Sultan Ground dalam Hukum Tanah Nasional Dalam UUPA telah menegakkan kebhinekaan hukum di bidang
pertanahan dan menciptakan hukum tanah nasional yang tunggal pada hukum Adat. UUPA juga mengunifikasi hak-hak penguasaan atas tanah maupun hak-hak atas tanah maupun hak-hak jaminan atas tanah. Pernyataan hukum adat dapat dijumpai dalam UUPA pada
Konsiderans UUPA,
Penjelasan Umum angka III (1), Pasal 5, Penjelasan Pasal 5, Penjelasan Pasal 16, Pasal 56, dan secara tidak langsung juga terdapat pada Pasal 58 UUPA. Hukum Adat yang melekat pada masyarakat Hukum Adat tidak hanya diartikan sebagai hukum positif yakni sebagai rangkaian normanorma hukum. Namun apabila ditinjau lebih lanjut maka hukum adat disusun dalam satu tatanan atau sistem, dengan lembaga-lembaga hukum yang senantiasa berubah dan diperlukan dalam memenuhi kebutuhan konkrit masyarakat-masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Dan hal tersebut sangat tergantung pada situasi dan keadaan masyarakat hukum adat yang bersangkutan (Boedi Harsono, 2003: 176-180) Tanah Sultan Ground diakui secara hukum adat oleh masyarakat setempat. Hukum adat dalam konsiderans UUPA yang diakui sebagai dasar,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
50
ternyata
tidak
berfungsi
sebagaimana
yang
diharapkan.
Padahal
pemberlakuan UUPA ditujukan untuk meniadakan dualisme yang selama ini terjadi. Seperti halnya dalam masalah gadai, gadai yang seyogyanya dalam masyarakat hukum adat dilakukan di hadapan Kepala Desa (das solen), namun sekarang (das sein) telah diganti oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sumber utama Hukum Adat yang diberlakukan sebagai Hukum Tanah nasional adalah berupa konsepsi, asas, dan lembaga hukumnya. Konsepsi mendasar sebagaimana Pasal (1) ayat (2) ialah komunalistik dan religious, sedangkan asasnya meliputi asas religiusitas, asas kebangsaan, asas demokrasi, asas kemasyarakatan, asas pemerataan dan keadilan sosial, asas pemeliharaan tanah, asas pemisahan horizontal. Hukum Tanah Nasional adalah Hukum Adat yang termaktub dalam Pasal 5 UUPA dinyatakan bahwa : “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini (maksudnya: UUPA) dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.” Pasal tersebut menunjukan fungsi Hukum Adat sebagai sumber utama dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional. Maka jika sesuatu soal dalam Hukum Tanah tertulis belum lengkap maka berlakulah Hukum Adat setempat. Tanah Sultan Ground dapat diatur berdasarkan hak ulayat yang ada dalam hukum adat. Hukum Adat sudah semestinya untuk tidak bertentangan dengan kepentingan nasional negara. Hukum tanah nasional itu, berdasarkan atas hukum adat tanah, yang bersifaat nasional, bukan hukum adat yang bersifat kedaerahan atau regional. Artinya, untuk menciptakan hukum tanah nasional, maka hukum adat yang ada di seluruh penjuru nusantara, dicarikan format atau bentuk yang umum dan berlaku bagi seluruh persekutuan adat. Tidak boleh bertentangan dengan sosialisme Indonesia perlu kesadaran hukum masyarakatlah yang merupakan pedoman.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
51
Peraturan perundang-undangan bisa mengenyampingkan hukum adat yang berlaku asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan yang lebih tinggi. Sehingga perlu adanya penegasan mengenai pengaturan untuk menjadi patokan terhadap tanah Sultan Ground. Salah satu hal yang dapat menjamin kepastian hukum tanah Sultan Ground adalah dengan melakukan pensertifikatan tanah adat. Berdasarkan Pasal 19 UUPA 1960 menyatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di Seluruh Wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dengan dilakukannya pendaftaran tanah, maka status haknya akan beridentitas yang jelas. Pensertifikatan tanah mempunyai tendensi pengaruh positif terhadap pelestarian tanah yaitu : a. Adanya jaminan kepastian hukum bagi pemilik tanah ulayat sebagaimana dimaksudkan di dalam Undang-Undang Pokok Agraria. b. Meningkatkan ketertiban dalam bidang keagrarian. Dengan adanya hukum adat maka dikenal juga hak ulayat atas tanah masyarakat hukum adat yang cakupannya sangat luas meliputi semua tanah yang ada di wilayah masyarakat hukum adat. Sedangkan yang dimaksud dengan hak ulayat ialah seluruh wilayah dan tanah termasuk segala sesuatu yanga ada di atasnya, di dalam tanah maupun air dikuasai oleh masyarakat hukum adat yang mempunyai hak dan wewenang untuk menguasai, mengatur persediaan, peruntukkan penggunaan tanah yang ada dan di dalam wilayah kekuasaanya (Mohammad Hatta: 20). Pemberian hak ulayat terhadap tanah keraton (Sultan Ground) sedikit banyak dapat memberikan titik terang terhadap permasalahan yang ada. Hak ulayat jelas sekali diakui dalam UUPA, dengan syarat mengenai eksistensinya dan sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Yang menjadi kriteria eksistensi hak ulayat dapat diakui ialah tidak ada, sehingga pelemahan Tanah Ulayat di berbagai daerah sangatlah sulit. Sedangkan UUPA tidak mendelegasikan pengaturan mengenai Hak Ulayat dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
52
membiarkan pengaturannya tetap berlaku menurut hukum adat setempat. Kemudian pada prakteknya sangat sukar untuk menetukan atau mencari tanah yang masih Tanah Ulayat. Pengaturan hak ulayat dalam UUPA termaktub dalam Pasal 3 UUPA yang berbunyi : “Dengan mengingat ketentuan-etentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasar atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undangundang dan peraturan yang lebih tinggi.” Sebagaimana diketahui hak ulayat
pada hukum adat
dalam
pertumbuhannya tidak terlepas dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalistis dan masyarakat swapraja yang feodal termasuk tanah Sultan Ground. Kedudukan swapraja dalam NKRI untuk saat ini termaktub dalam pada ketentuan-ketentuan konversi ke empat yang berbunyi : A. Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari Swapraja atau bekas swapraja yang masih ada pada waktu berlakunya Undangundang ini (UUPA) hapus dan beralih kepada Negara. B. Hal-hal yang bersangkutan dengan ketentuan huruf A di atas diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Sebagaimana maksud dalam Diktum keempat huruf A UndangUndang Pokok Agraria (UUPA) diatas adalah selain dompin swapraja dan bekas swapraja yang dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menjadi hapus dan beralih kepada negara, juga tanah-tanah yang benar-benar dimiliki oleh swapraja, yaitu baik yang diusahakam dengan cara persewaan bagi hasil dan lain sebagainya ataupun diperuntukkan tanah jabatan dan lain-lainnya. Hal lain yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adanya ketentuan-ketentuan yang dikonversi dengan kata lain adanya penegasan terhadap aturan lama mengenai status hak tanah yang selaras pada hukum tanah Nasional. Status hak tanah yang dikonversi antara lain : a. Konversi Hak Eigendom
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
53
Di dalam konversi itu mengenai hak eigendom atas tanah mulai tanggal 24 September 1960 akan menjadi hak milik bila si pemilik itu memenuhi persyaratan seperti tersebut dalam Pasal 21 UUPA. Sedangkan hak pigendom kepunyaan Pemerintah Negara Asing untuk kediaman kepala perwakilan dan gedung-gedung kedutaan sejak tanggal 24 September 1960 di konversi menjadi hak pakai dan berlangsung selama tanahnya itu dipergunakan (Pasal 1 Ketentuan-Ketentuan Konversi UUPA). Lebih lanjut untuk mengetahui ketentuan-ketentuan eigendom ada pada Pasal I dan II ketentuan-ketentuan konversi UUPA. b. Konversi mengenai Hak Erfpacht Hak erfpacht dalam ketentuan-ketentuan konversi UUPA ada dua macam yaitu hak erfpacht besar dan hak erfpacht kecil. Hak erfpacht besar yaitu untuk perusahaan kebun besar yag mulai sejak tanggal 24 September 1960 di konversi menjadi Hak Guna Usaha selama waktu sisanya tetapi selama-lamanya 20 tahun (Pasal III Ketentuan-Ketentuan Konversi juncto Pasal 28 ayat 1 UUPA). Sedangakan hak erfpacht kecil sejak tanggal 24 Sepetember 1960 dihapus. Dan selanjutnya diselesaikan berdasarkan ketentuan yang diadakan oleh menteri Agraria. c. Konversi Hak Opstal Adapun hak-hak Opstal mulai sejak berlakunya UUPA, di konversi menjadi Hak Guna Banguanan selama sisa waktunya selamalamanya 20 tahun (Pasal V Ketentuan juncto Pasal 35 ayat 1 UUPA). d. Konversi Hak Grant (Anggaduh) Hak-hak atas tanah seperti hak grant, anggaduh atau lungguh mulai sejak tanggal 24 September 1960 di konversi menjadi hak pakai, yang memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana yang dipunyai oleh pemegang haknya (Pasal VI Ketentuan-Ketentuan Konversi juncto Pasal 41 ayat (1) UUPA).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
54
e. Konversi Hak Gogolan, Pakulen (Sanggan) Konversi hak gogolan, pakulen (sanggan) mulai sejak tanggal 24 September 1960 di konversi menjadi dua macam, tergantung sifat dari pada hak-hak tersebut. Hak pakulen (sanggan) yang bersifat tetap dikonversi menjadi hak milik dan yang tidak tetap menjadi hak pakai (Pasal VII ayat 1 dan 2 Ketentuan-Ketentuan Konversi juncto Pasal 20 ayat 1 dan Pasa 41 ayat 1 UUPA). Mengacu pada ketentuan konversi Pasal VI mengenai hak grant yang berkaitan pada tanah Sultan Ground di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Hak grant berasal dari swapraja yaitu merupakan hak atas tanah atas pemberian hak raja-raja kepada bangsa asing salah satu jenis hak Grant Sultan atau Sultan Grant adalah hak untuk mengusahakan tanah, yang diberikan oleh Sultan kepada Kawula. Terdapat permasalahan yang berkaitan dengan keberadaan Sultan Ground adalah adanya perbedaan persepsi mengenai keberadaan Sultan Ground itu sendiri. Tanah sultan atau Sultan Ground yang bebas dalam arti tidak sedang digunakan, tidak serta merta dapat diakui sebagai tanah negara. Status tanah Sultan Ground di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sampai saat ini belum mengalami perubahan. Dalam Diktum keempat huruf A telah ada penegasan, bahwa sejak Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
berlaku hak-hak dan
wewenang atas bumi dan air dari swapraja atau bekas swapraja yang masih ada menjadi hapus dan kembali kepada negara, tetapi penegasan dalam Diktum keempat huruf B yaitu pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah tetapi sampai saat ini belum ada, karena dalam perkembangannya UUPA masih belum cukup untuk mengatur keberadaan Sultan Ground di DIY sehingga kepastian hukumnya menjadi tidak jelas. Hal ini membawa konsekuensi bagi pengaturan Sultan Ground tidak bisa menggunakan peraturan pertanahan sesuai hukum positif. Secara Yuridis, landasan hukum yang memayungi tanah Sultan sebelumnya, yakni Rijksblad Keraton Kasultanan Yogyakarta Nomor 16 Tahun 1918 yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
55
dikeluarkan Sultan Hamengku Buwono. Selain itu, juga tertuang dalam Lembaran Negara 1960-104 yaitu : “Mengenai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950, khususnya Pasal 4 ayat (4), yang menentukan bahwa urusan agraria yang merupakan urusan rumah tangga Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang dikerjakannya sebelum dibentuk menurut Undang-Undang tersebut dilanjutkan sehingga ada ketetapan lain dengan undang-undang. Dapat dilihat juga dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1954 tentang Hak Atas Tanah. Sehubungan dengan itu hingga tanggal 1 April 1984 di Daerah Istimewa tersebut masih berlangsung dualisme di bidang Hukum Tanah. Dengan Keppres Nomor 33 tahun 1984 UUPA dinyatakan berlaku penuh di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mulai tanggal 1 April 1984.” Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan sepenuhnya UUPA di DIY baru berlaku efektif pada tanggal 24 September 1984. Guna penyeragaman pelayanan urusan pertanahan di DIY dan tindak lanjut Keppres Nomor 33 tahun 1984 tersebut, maka dikeluarkan peraturan : 1. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 1984 Tentang Pelaksanaan Pemberlakuan Sepenuhnya UUPA di DIY. 2. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 Tahun 1984 Tentang Pemebentukan Kantor Agraria Kotamadya Yogyakarta, Kabupaten: Bantul, Kulon Progo, Gunung Kidul, dan Sleman. 3. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 68 Tahun 1984 Tentang tentang Pemberlakuan PMDN Nomor 6 Tahun 72 Tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah di DIY. 4. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 69 Tahun 1984 Tentang Penegasan Konversi Dan Pendaftaran Hak Atas Tanah Milik Perseorangan berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 1954 di DIY. Dapat dijelaskan bahwa sejak dikeluarkannya Keppres Nomor 33 tahun 1984, tanah-tanah hak milik perseorangan sebagaimana diatur dalam Peraturan daerah Nomor 5 tahun 1954 sudah dapat diberlakukan UndangUndang Pokok agraria (UUPA) seperti tanah-tanah yang sebelumnya diatur menurut hukum barat, sedangkan untuk tanah-tanah Sultan Ground tetap terintegrasi dalam yuridiksi Undang-Undang Pokok agraria (UUPA) (Suyitno, 2009: 27-29).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
56
Perombakan peraturan yang harus dilakukan di Daerah Istimewa harus segera dilakukan dengan mengacu pada teori Max Weber yang menjelaskan bahwa gejala hukum yang ada di masyarakat harus diselidiki sejarah historis dan empiris. Untuk itu perlu adanya peraturan yang tegas tanpa menghilangkan status tanah Sultan Ground yang ada di daerah Istimewa Yogyakarta. Disamping selama ini belum ada ketentuan yang mengatur tanah Sultan Ground sebagai tanah hak milik adat juga tidak dapat dikonversi dengan hak-hak atas tanah sebagaimana diatur dalam UndangUndang Pokok agraria (UUPA), mengingat Kasultanan (Sultan Ground) tidak termasuk subyek hak yang dapat mempunyai hak atas tanah. Untuk dapat sebagai subyek hak atas tanah Kasultanan (Sultan Ground) perlu ditetapkan atau ditunjuk oleh pemerintah atau dengan undang-undang, sehingga tidak dapat menyimpangi ketentuan yang diatur dalam UndangUndang Pokok agraria. Berpatok pada hal tersebut, maka perlu segera diambil tindakan terkait pemberian kewenangan urusan pertanahan kepada Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta yang dapat meliputi : 1. Pelaksanaan hak menguasai negara atas tanah dapat dikuasakan kepada Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sehingga dapat mengatur atau mengatur sendiri berdasarkan Peraturan Daerah dan tetap dalam koridor atau ruang lingkup tatanan hukum pertanahan nasional; 2. Ditetapkannya keberadaan tanah-tanah pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu tanah-tanah di wilayah DIY yang secra nyata belum atau tidak lagi dibebani dengan suatu hak atas tanah sebagaimana diatur dalam UUPA maupun tidak termasuk tanah-tanah Sultan Ground. Tanah
Pemerintah
daerah
Istimewa
Yogyakarta
menunjukkan
kewenangan dalam mengatur dan mengurus secara otonomi maupun sebagai pemilik tanah, yang merupakan aset pemerintah daerah yang diperoleh atau dibiayai dari anggaran maupun keuangan Pemerintah Daerah;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
57
3. Ditetapkannya dan dibentuk lembaga maupun aparat Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta untuk menyelenggarakan dan melaksankan urusan pertanahan di Daerah Istimewa Yogyakarta; 4. Ditetapkannya tanah Sultan Ground sebagai tanah hukum adat yang mempunyai hak ulayat sehingga dapat diterbitkan sertifikat hak milik terhadap tanah Sultan Ground sesuai dengan peraturan dalam UUPA; 5. Ditetapkannya Kasultanan Yogyakarta sebagai subyek hak atas tanah (subyek hak milik berasal dari hak milik adat yang masih diakui keberadaanya menurut UUPA), sehingga tanah Sultan Ground dapat dikonversi menjadi hak milik atas tanah sebagaimana diatur menurut ketentuan UUPA. Dengan demikian, selanjutnya pengaturan pemanfaatan tanah Sultan Ground dapat dilakukan bersama antara Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan pihak Kasultanan Yogyakarta (keraton). Sehingga tercipta pemerintahan chek dan balance dapat transparansi tidak tumpang tindih dengan hukum positif yang berlaku saat ini.
C. Pengelolaan Tanah Sultan Ground Berdasarkan Kebijakan Pertanahan Nasional Secara hukum
adat tanah-tanah di Yogyakarta adalah hak Sultan,
sedangkan rakyat hanya mempunyai hak pakai secara berkesinambungan. Rakyat tidak dapat menjual tanahnya kepada pihak lain, tanah yang dimiliki dengan hak pakai terlebih dahulu harus dikembalikan kepada Sultan. Untuk pengawasan terhadap tanah yang sangat luas itu, sultan menyerahkan kepada kerabatnya dan para pegawai (priyayi) yang ditunjuk oleh Sultan. Dengan demikian, tanah yang luas di Yogyakarta itu sebagian dikuasakan kepada kerabat Sultan dan para pegawainya (abdi dalem). Sedangkan tanah yang dikuasakan kepada mereka disebut tanah kepatuhan atau tanah lungguh. Atas tanah lungguh (apanage) itu para abdi dalem dapat memungut pajak sebagai penghasilan mereka.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
58
Para abdi dalem dan pembantunya memiliki kekuasaan yang besar atas tanah yang dikuasakan kepada mereka, sedangkan rakyat tidak memilki hak atas tanah
itu.
Mereka hanya
diizinkan untuk
menggunakan
dan
menempatinya, sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh penguasa tanah. Sebagai tanah apanage tidak ada ketentuan jangka waktu pemakaian. Selama rakyat yang memakai tanah itu tidak dapat memenuhi kewajiban yang dibebankan kepadanya mereka dibiarkan memakai tanah yang telah ditentukan. Akan tetapi, apabila rakyat tidak dapat memenuhi kewajiban yang dibebankan, maka hak pakai atas tanah dicabut untuk diberikan kepada yang menginginkan memakai tanah itu dengan syarat bersedia memenuhi kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan oleh abdi dalem. Pada umumnya tanah-tanah apanage para bangsawan membawahi seorang kepala district (lurah) untuk mengurus atau menarik pajak. Tanah di Yogyakarta yang langsung dikuasai oleh sultan disebut tanah sultan ground yang digunakan untuk mendirikan rumah-rumah abdi dalem, keluarga sultan dan digunakan penduduk Yogyakarta sebagi hak pakai turun temurun atau hak magersari (Nur Aini, 2001: 109-110). Kekuasaan
sultan
atas
tanah-tanah
di
wilayah
kekuasaannya
memungkinkan sultan mengatur sistem pemilikan dan penggunaan tanah sesuai dengan kedudukan dan fungsinya, diantaranya tanah keraton (Sultan Ground), tanah yang digunakan untuk kepentingan umum, dan tanah yang diberikan kepada penduduk. Pengaturan hak milik tanah kasultanan Yogyakarta
diwujudkan dalam undang-undang, adat kebiasaan, praktik-
praktik yang mengatur hak dan kewajiban, serta hubungan orang dengan tanah. Dengan penguasaan seperti ini seharusnya tanah Sultan Ground dapat diberi status langsung sebagai hak milik sultan / raja yang dimiliki secara utuh dan dapat dibuktikan dengan bukti otentik. Sehingga perlu adanya persertifikatan tanah yang jelas yang diberikan negara kepada sultan. Pada awal abad XX sultan memilki tanah yang sangat luas dan sekaligus memiliki kekuasaan yang besar atas tanah-tanah di Yogyakarta. Pada waktu itu, sultan dianggap sebagai penguasa dan pemilik atas tanah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
59
yang dapat mengatur sistem penggunaan tanah kekuasaannya. Oleh karena itu, sultan telah mengatur sistem penggunaan tanah di wilayah ibukota Yogyakarta sesuai dengan kedudukan dan fungsinya sebagai berikut : a. b. c. d. e. f.
g.
h. i.
Tanah yang dipakai sendiri oleh sultan yaitu keraton; Tanah-tanah yang oleh sultan diserahkan dengan cuma-cuma untuk dipakai sebagai sarana prasarana di Yogyakarta; Tanah-tanah dengan eigendom atau opstal yang diberikan kepada orang-orang Tioghoa dan Belanda; Tanah yang diserahkan untuk dipakai pegawai-pegawai sultan yang dikelola secara berkelompok yang disebut tanah golongan; Tanah yang diserahkan kepada kerabat/sentana sultan dengan status hak pakai yang disebut tanah kasentanan; Tanah-tanah pekarangan bupati yang semula termasuk tanah golongan, tetapi lambat laun dilepaskan dari ikatan golongan dan menjadi tanah pekarangan dari pegawai-pegawai tinggi lainnya; Tanah-tanah pekarangan dan perkebunan terletak di luar pusat kota yang diberikan dengan hak pakai kepada pepatih dalem yang disebut kebonan dan tanh kepentingan umum; Tanah-tanah pekarangan rakyat jelata, termasuk tanah yang ada di bawah kekuasaan sultan. Sawah-sawah yang diurus oleh bekel yang disebut dengan tanah maosan (Notoyudo, 1975: 10-12).
Berdasarkan Rijksblad Nomor 2 Tahun 1931, pencabutan hak atas tanah sultan yang telah diberikan kepada penduduk dapat dilakukan berdasarkan peraturan pencabutan tanah. Pelaksanaan pencabutan tanah itu tidak dapat dilakukan secara sewenang-sewenang, tetapi harus memilki alasan-alasan yang kuat dan didasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Akan tetapi, sultan dapat mencabut hak kepemilikan tanah penduduk tanpa didasarkan pada peraturan-peraturan yang berlaku karena sultan mempunyai kekuasaan yang besar atas tanah-tanah tersebut. Pencabutan hak kepemilikan tanah penduduk dapat dilaksanakan karena tanah akan diperlukan
untuk
kepentingan masyarakat dan untuk disewakan kepada yayasan atau orangorang non-pribumi untuk tempat tinggal. Salah satu pengelolaan tanah keraton (Sultan Ground) adalah dimanfaatkan untuk tempat tinggal rakyat Yogyakarta dengan status magersari. Rakyat boleh memanfaatkan tanah, dengan kesadaran penuh bahwa status tanah itu adalah milik keraton. Tanah keraton sangat luas dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
60
meliputi tanah-tanah di banyak kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Tanah keraton yang merupakan tanah milik Kesultanan Yogyakarta (Sultan Ground) saat ini tidak dimiliki oleh perseorangan dan tidak bersertifikat yang ada hanyalah surat keterangan dari Keraton (Surat Kekancingan). Namun, terdapat tanah keraton yang bersertifikat hak milik karena demi menjaga aset kesultanan. Untuk memperoleh izin dalam hal menyewa atau memakai tanah keraton (magersari), terlebih dahulu harus meminta izin kepada Paniti Kismo. Paniti Kismo merupakan lembaga adat yang mengurusi pertanahan keraton yang meliputi pengaturan dan perizinan yang memiliki struktur organisasi yang tertata apik hingga tingkat desa. Tanda bukti izin tersebut adalah dikeluarkannya Surat Kekancingan Magersari yang di dalamnya memuat klausul bahwa pemegang magersari dilarang mendirikan bangunan permanen, tanah magersari tidak bisa diperjual belikan, dan bersedia mengembalikan tanah bila sewaktu-waktu diminta. Namun, perizinan dan syarat administrasi tetap tunduk pada aturan pemerintah setempat dalam hal ini Pemerintah Kabupaten walaupun untuk magersari tidak dimungkinkan mendapatkan sertifikat atas tanah tersebut. Paniti Kismo memiliki otoritas mengelola pemanfaatan tanah keraton untuk berbagai kepentingan dan kesejahteraan rakyat Yogyakarta. Tetapi sampai sekarang, belum ada peraturan yang menjelaskan secara rinci substansi pengelolaan tanah yang menyatakan, Kasultanan sebagai bagian dari Parardhya mempunyai hak milik atas tanah keraton atau Sultan Ground. Pengelolaan dan pemanfaatan Sultan Ground ditujukan untuk sebesarbesarnya kepentingan pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kepentingan publik demi kesejahteraan rakyat. Keberadaan tanah milik keraton tidak akan terusik karena tanah kasultanan bukan tanah milik pemerintah. Sultan Ground telah digunakan atau ditempati oleh rakyat, di antaranya untuk mendirikan rumah tinggal, gedung sekolah, dan perkantoran, tetapi tidak bisa mengambil alih hak kepemilikan tanah tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
61
(http://www.antaranews.com/berita/1291877753/yogyakarta-dalam-ancamankisruh-pengelolaan-tanah). Untuk tanah keraton yang telah bersertifikat hak milik, tentu saja menurut Hukum Agraria yang berlaku, permohonan hak atas tanah tersebut tunduk pada ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) serta ketentuan lain yang meliputi ketentuan administratif. Hal ini menandakan Hukum yang berlaku mengenai tanah di Daerah Istimewa Yogayakarta (DIY) masih bersifat dualisme. Di samping itu, terdapat tanah-tanah yang telah bersertifikat dan dimiliki oleh perseorangan. Tanah tersebut merupakan tanah yang pada kenyataannya tidak dapat diganggu gugat oleh pihak keraton karena telah ada alas hak yang sah. Jika pihak lain ingin menguasai tanah tersebut, tidak perlu izin penggunaan lahan seperti magarsari kepada Paniti Kismo. Namun jika ingin mendirikan bangunan, harus memenuhi persyaratan untuk mendapatkan Izin Mendirikan Bangun Bangunan (IMBB) dan harus ada persetujuan dari Penghageng Wahono Sarto Kriyo untuk kawasan Kraton maupun
tanah
milik
Keraton.
(http://www.slemankab.
go.id/index.php?hal=detail_berita.php&id=958). Pengakuan terhadap tanah Sultan Ground selama ini dapat dilihat adanya pengajuan permohonan izin atau palilah dari kasultanan, yang selanjutnya dikabulkan akan dikenakan kewajiban yang sangat ringan yang hanya dimaksudkan sebagai bentuk pengakuan terhadap bentuk kasultanan. Besarnya mengingat lokasi, luas penggunaanya, serta kondisi pemohon, dengan alas hak yaitu : a.
Hak Guna Bangunan (HGB) Adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah Sultan Ground dengan jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang.
b.
Hak Pakai (HP) Adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dai tanah Sultan Ground yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukn
dalam perjanjian
antara
commit to user
kasultanan
dengan
yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
62
berkepentingan dengan jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang. c.
Hak Ngindung Adalah hak yang diberikan kepada yang berkepentingan atau yang menempati/menggunakan tanah Sultan Ground dengan membuat suatu perjanjian antara kasultanan dengan membuat suatu perjanjian antara kasultanan dengan yang berkepentingan dengan jangka waktu yang disetujui bersama.
d.
Hak Magersari Adalah hak yang diberikan kepada yang berkepentingan sebagai penghuni tanah kasultanan dan yang antara penghuni tanah tersebut ada ikatan/terdapat ikatan historis dan diberikan hanya kepada Warga Negara Indonesia (WNI) pribumi dengan jangka waktu selama mereka menghuni.
Proses pemberian wewenang atau hak dilakukan atas permohonan yang berkepentingan dengan mengadakan perjanjian antara yang berkepentingan dengan pihak kasultanan. Khusus untuk pemberian hak guna bangunan (HGB) atau Hak Pakai (HP) di atas tanah Sultan Ground, mendasarkan perjanjian di atas dan selanjutnya diproses oleh Kantor Pertanahan untuk diterbitkan sertifikatnya. Sedangkan tanah Sultan Ground yang dilaksanakan oleh pemerintah dapat diberikan hak Pinjam Pakai (HPP) di atas tanah Sultan Ground atas nama instansi pemerintah yang bersangkutan, untuk jangka waktu selama tanah tersebut dipergunakan (Suyitno, 2009: 34-36). Hak-hak tersebut adalah penggunaan tanah di atas tanah Sultan Ground, yang ternyata pelaksanaanya selama ini tidak bertentangan dengan ketentuanketentuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang sudah diberlakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pemberian kewenangan penggunaan tanah Sultan Ground semula mendasarkan pada hukum selanjutnya telah disesuaikan dengan ketentuan hukum tanah nasional (UUPA) yang juga dilakukan oleh Kawedanan Penghageng Wahono Sarto Kriyo. Pemanfaatan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
63
penggunaan
hak
magersari
dapat
dilakukan
oleh
siapa
pun
(perorangan/instansi) yang berada di wilayah DIY melalui prosedur yang telah ditetapkan oleh Paniti Kismo. Bagi pemakai tanah Sultan Ground yang telah mempunyai surat kekancingan diberi kewajiban biaya penggunaan pinjam pakai pisungsung dan penanggalan. Pisungsung wajib dihaturkan ke keraton sekali pada saat penerbitan kekancingan dan penanggalan dibayarkan sekali setahun. Besarnya pisungsung dan penanggalan ditetapkan oleh keraton berdasarkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). Mulai tanggal 1 Nopember 2005 Panitikismo menetapkan tarif baru penanggalan magersari yang dapat dihitung dengan cara : a.
Untuk luasan tanah kurang dari 150 m2, besar penanggalan setiap tahun adalah 1 % x luas tanah x NJOP bumi 10
b. Untuk luasan tanah lebih dari 150 m2, besar penanggalan setiap tahun adalah 1,50 % x luas tanah x NJOP bumi 10 Persyaratan permohonan baru hak ngindung (magersari) Sultan Ground adalah sebagai berikut : a) Mengajukan Surat Permohonan Magersari ditujukan kepada KGHP (Kanjeng Gusti haryo Pangeran) Hadiwinoto Penghageng Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarto Kriyo Keraton Yogyakarta; b) Surat Keterangan dari lurah setempat/di lokasi tersebut yang menyatakan tanah tersebut adalah tanah keraton (Sultan Ground) c) Apabila perseorangan melampirkan fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP); d) Apabila instansi melampirkan susunan pengurus dan penanggung jawab. Hak magersari yang telah disetujui umumnya berlaku sampai 10 tahun dan dapat diperpanjang lagi. Permohonan perpanjangan hak magersari dapat dilakukan dengan persyaratan :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
64
a)
Mengajukan Surat Permohonan Magersari ditujukan kepada KGHP (Kanjeng Gusti haryo Pangeran) Hadiwinoto Penghageng Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarto Kriyo Keraton Yogyakarta; b) Fotocopy Surat Magersari Lama beserta gambar peta; c) Surat bukti pembayaran penanggalan; d) Surat pemberitahuan pajak tahunan PBB (NJOP SPPT); e) Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP); dan f) Foto hitam putih/berwarna 4x6 sebanyak 3 lembar. Tanah Sultan Ground yang telah mempunyai hak magersari bisa dialihkan kepada orang lain dengan seijin keraton melalui Paniti Kismo. Ada dua macam peralihan hak yaitu liyeran dan lintiran. Liyeran yaitu peralihan hak atas tanah Sultan Ground yang diberikan kepada orang lain atau dijual. Permohonan liyeran dapat dilakukan dengan syarat : a)
b) c) d) e) f) g) h)
Mengajukan Surat Permohonan Magersari ditujukan kepada KGHP (Kanjeng Gusti haryo Pangeran) Hadiwinoto Penghageng Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarto Kriyo Keraton Yogyakarta; Surat kerelaan dari ahli waris yang diketahuii RT/RW setempat; Fotocopy surat magersari lama beserta gambar peta; Surat bukti pembayaran penanggalan; Kwitansi Liyeran; Surat pemberitahuan pajak tahunan PBB (NJOP SPPT); Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP); dan Foto hitam putih/berwarna 4x6 sebanyak 3 lembar.
Sedangkan lintiran yaitu peralihan hak atas tanah Sultan Ground yang diberikan kepada ahli warisnya. Permohonan lintiran dapat dilakukan dengan syarat : a)
b) c) d) e) f) g) h)
Mengajukan Surat Permohonan Magersari ditujukan kepada KGHP (Kanjeng Gusti haryo Pangeran) Hadiwinoto Penghageng Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarto Kriyo Keraton Yogyakarta; Fotocopy surat magesari beserta gambar peta; Fotocopy kwitansi penanggalan terakhir; Surat kerelaan ahli waris diketahui RT/RW setempat; Surat kematian; Surat pemberitahuan pajak tahunan PBB (NJOP SPPT); Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP); dan Foto hitam putih/berwarna 4x6 sebanyak 3 lembar.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
65
Sampai saat ini Pemerintah Propinsi DIY belum mengambil kebijakan yang jelas mengenai status tanah bekas swapraja. Meskipun, menurut Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 Tentang Pembentukan daerah Istimewa Yogyakarta ditentukan bahwa : “Segala milik baik berupa barang tetap maupun berupa tidak tetap dan perusahaan-perusahaan Daerah Istimewa Yogyakarta sebelum dibentuknya menurut undang-undang ini, menjadi milik Daerah Istimewa Yogyakarta, yang selanjutnya dapat menyerahkan sesuatunya kepada daerah-daerah bawahannya.” Menindaklanjuti kebijakan tersebut maka pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) melakukan pendataan tanah Sultan Ground sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1987/1988 sebagaimana tersebut di atas, melalui inventarisasi dan pengukuran tanah swapraja. Tetapi karena inventarisasi dan pengukuran hanya dapat menyajikan data sepotong-sepotong, maka diadakan pendataan yang serentak dan menyeluruh. Hingga kini belum ada pendataan resmi
berapa
luas
Sultan
Ground
sebenarnya,
meski
selama
ini
pengelolaannya dilakukan oleh desa. Berdasarkan pengolahan data dari desa/ kelurahan se-Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tanah swapraja yang ada di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) seluas 3.675 Ha, dengan perincian sebagai berikut : Tabel I : Luas Wilayah No.
Kabupaten / Kotamadya
1. 2. 3. 4. 5.
Yogyakarta Bantul Kulon Progo Gunung Kidul Sleman Jumlah Sumber : BPN Propinsi DIY
Luas 80 1.670 1.038 581 306 3.675
Ha Ha Ha Ha Ha Ha
Berdasarkan data yang telah ada telah dilaksanakan pengukuran tanah Sultan Ground dan Pakualam Ground dari tahun 1993/1994 sampai dengan tahun 2002 adalah sebagai berikut :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
66
Tabel II : Jumlah Tanah No.
Tahun
Kabupaten
Luas
1.
1993/1994
Kulon Progo Bantul
334,6928 Ha 143,2514 Ha
2.
1994/1995
Kulon Progo
133,1500 Ha
Bantul
184,6250 Ha
3.
1995/1996
Bantul
112,9150 Ha
4.
1996/1997
Bantul
102,4334 Ha
5.
1997/1998
Bantul
61,5796 Ha
6.
1999/2000
Sleman
64,5868 Ha
7.
2000
Bantul
43,1524 Ha
8.
2001
Kulon Progo
9.
2002
Bantul
520,9957 Ha 46,5800 Ha
Jumlah
1.816,6149 Ha
Sumber : Biro Tata Pemerintahan Propinsi DIY
Dilihat dari kedua tabel tersebut maka dapat dihitung jumlah tanah Sultan Ground maupun Pakualam Ground dengan hasil sebagai berikut : Jumlah tanah total
: 3.675,0000 Ha
= 100 %
Jumlah yang sudah mempunyai status
: 1.816,6149 Ha
= 49,93 %
Jumlah yang belum mempunyai status : 1.858,3851 Ha
= 50,57 %
Penghambat dalam pelaksanaan pendataan tanah terdapat faktor penghambat Sultan Ground antara lain adalah : 1.
Adanya penggabungan kelurahan sekitar tahun 1948, sehingga desa hasil gabungan kesulitan mengumpulkan bekas buku-buku administrasi pertanahan. Hal ini menyulitkan pengisian data.
2.
Terdapat beberapa desa yang Buku Daftar Letter A hilang sehingga kesulitan dalam mengisi data tanah swapraja.
3.
Peta desa / kelurahan lama tidak seluruhnya dapat ditemukan jikalau masih ada pun bentuknya telah usang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
67
4.
Teradapat beberapa desa yang tidak lengkap dalam mengisi perincian penggunaan tanah swaparaja, sehingga menyulitkan akurasi data antara jumlah dengan perincian penggunaanya.
5.
Jumlah tanah swapraja di luar perkiraan sehingga kesulitan pembuatan buku hasil pendataan.
6.
Tanah Sultan Ground dan tanah Paku Alam tersebar luas dan tidak merata di seluruh DIY. Polemik pengelolaan tanah Sultan Ground mendapat perhatian besar
dari Pemerintah Pusat yang akhirnya menindaklanjutinya berdasarkan surat dari Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 570.34-2493 yang ditujukan kepada Kepala Kanwil BPN Propinsi DIY, yang tembusannya disampaikan kepada Gubernur DIY, Kepala kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di Propinsi DI, Keraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman, yang isinya adalah menyampaikan hal-hal sebagai berikut : 1.
Bahwa yang menjadi permasalahan adalah status hukum hak atas tanah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat / Puro Pakulaman, terletak di wilayah Propinsi DIY.
2.
Bahwa terhadap permasalahan dimaksud, sebelum berlakunya UUPA di DIY (1984) telah dilaksanakan pegadministrasikan berupa tanda bukti hak atas tanah oleh Direktorat Agraria Propinsi DIY atas pemakaian atau penggunaan
oleh
pihak
ketiga
terhadap
tanah
Kasultanan/Puro
Pakualaman dan hal tersebut tidak menimbulkan masalah sampai dengan saat ini. 3.
Bahwa terhadap permohonan hak atas tanah Kasultanan dan Puro Pakualaman oleh pihak ketiga, sambil menunggu tentang status tanah Kasultanan / Puro Pakualaman Yogyakarta oleh Presiden, hendaknya diambil sikap sebagai berikut : a. Membentuk team peniliti terhadap permohonan hak atas tanah yang diajukan oleh pihak ketiga yang terdiri dari KantorPertanahan setempat dan Kasultanan / Puro Pakualaman, apabila benar tanah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
68
yang dimohon adalah tanah Kasultanan/Puro Pakualaman, pemohon perlu melampirkan surat pernyataan yang berisi bahwa tanah yang dimohon adalah tanah Kasultanan/Puro Pakulaman dan bersedia mentaati ketentuan yang berlaku. b. Dalam buku tanah dan sertifikat hak atas tanahnya, dicatat bahwa tanah tersebut diterbitkan diatas tanah Kasultanan/Puro Pakualaman. Tanah-tanah hak milik Keraton Kasultanan Yogyakarta (Sultan Ground) yang selama ini belum pernah dilepaskan, masih menjadi hak milik atau merupakan domein bebas dari Kasultanan Yogyakarta, yang hingga kini belum terjangkau oleh ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Hal ini juga diperkuat lagi dengan telah ditetapkannya keberadan Keraton Kasultanan Yogyakarta yang diakui sebagai cagar budaya yang didasarkan atas historis, sosiologis dan yuridis yang harus dijaga dan dipelihara keberadaan dan pendukungnya. Untuk itu, perlu adanya penetapan Keraton Kasultanan Yogyakarta sebagai subyek hukum yang nantinya dapat diterbitkan dalam Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta. Mengingat Undang-Undang Nomor 3 athun 1950 sudah tidak relevan lagi dengan peraturan perundang-undangan. Sehingga tanah Sultan Ground yang sudah secara yuridis menjadi hak milik keraton dapat dibebani hak guna bangunan atau hak pakai sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Dalam hal ini, keraton dapat memberikan ijin penggunaan tanah atau dengan bentuk perjanjian antara pihak keraton dengan warga masyarakat yang
memerlukan,
sedangkan
yang
menyelenggarakan
administrai
pertanahannya, termasuk pendaftarannya dilakukan Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sehingga tercapai adanya kepastian hukum yang sangat penting baik bagi warga masyarakat yang memerlukan pihak keraton maupun Pemerintah Propinsi daerah Istimewa Yogyakarta.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP
A. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1.
Eksistensi tanah Sultan Ground dalam hukum tanah nasional secara tegas belum eksis walaupun dalam hukum adat tanah Sultan Ground eksistensinya masih diakui oleh masyarakat. Namun, tanah Sultan Ground dalam hukum positif belum ada pengaturannya karena belum diakomodir dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 secara detail. Mengingat belum adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur tanah Sultan Ground sebagaimana tercantum dalam Diktum ke empat huruf B.
2.
Pengelolaan tanah Sultan Ground di Daerah Istimewa Yogyakarta dikelola oleh pihak keraton (Paniti Kismo) berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950. Pemberian hak atas tanah Sultan Ground dibuktikan dengan
Surat Kekancingan yang
diterbitkan oleh
pihak
Keraton
Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarto Kriyo dan Paniti Kismo. Namun, tanah Sultan Ground tersebut tidak dijamin dalam UUPA walaupun secara nyata diakui pemerintah. Sehingga status tanah yang hanya dibuktikan dengan surat keraton (kekancingan) memiliki kelemahan. Kelemahan tersebut adalah karena keraton bukan sebuah badan hukum dalam hukum positif Indonesia berhak untuk menerbitkan alat bukti kepemilikan atas tanah. Guna menindaklanjuti hal tersebut berdasarkan hukum tanah nasional saat ini, maka seharusnya segera membentuk Undang-Undang Keistimewaan yang baru untuk menegaskan status Keraton Yogyakarta sebagai subyek hukum. Tujuannya agar polemik dualisme yang ada segera berakhir dan tercipta kepastian hukum di Daerah Istimewa Yogyakarta. 69to user commit
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
70
B. SARAN Adapun saran-saran yang dapat disampaikan antara lain adalah : 1.
Pemerintah Pusat diharapkan segera menerbitkan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam diktum keempat huruf B Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, agar dualisme pengaturan dalam bidang agraria di Propinsi DIY segera berakhir dan tidak berkepanjangan.
2.
Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden Republik Indonesia harus segera membentuk Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dengan menetapkannya keberadaan Keraton Yogyakarta sebagai subyek hukum terkait pengelolaan tanah Sultan Ground selama ini. Mengingat dalam kenyataannya kedudukan Keraton Yogyakarta masih disegani oleh masyarakat Yogyakarta dan guna memperjelas kewenangan istimewa yang dimiliki Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dalam rangka penghormatan terhadap sejarah serta perwujudan sebagian besar keinginan warga Yogyakarta.
commit to user