JURNAL BERAJA NITI ISSN : 2337-4608 Volume 2 Nomor 10 (2013) http://e-journal.fhunmul.ac.id/index.php/beraja © Copyright 2013
EKSISTENSI TANAH GRAND SULTAN DI WILAYAH KERAJAAN GUNUNG TABUR DALAM SUDUT PANDANG HUKUM ADAT Herbarina1 (
[email protected]) La Sina2 (
[email protected])
Abstrak HERBARINA S., 2013, EKSISTENSI TANAH GRAND SULTAN DI WILAYAH KERAJAAN GUNUNG TABUR DALAM SUDUT PANDANG HUKUM ADAT dibawah bimbingan Bapak Dr. La Sina, S.H.,M.Hum sebagai Pembimbing I, Bapak Hairan, S.H, M.H sebagai Pembimbing II. Adapun permasalahan mengetahui Bagaimana eksistensi tanah Grand Sultan di Wilayah Kerajaan Gunung Tabur dalam sudut pandang Hukum Adat dan Apakah upaya yang dilakukan pihak Kerajaan Gunung Tabur dalam mempertahankan eksistensi tanah Grand Sultan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa Eksistensi Tanah Grand Sultan pada kenyataannya tetap ada di Kecamatan Gunung Tabur, dan tanah tersebut masih dimanfaatkan serta dikelola dengan baik oleh pihak kerajaan maupun para pewaris-pewaris kerajaan sesuai dengan kebutuhan masing-masing dan tanpa adanya campur tangan pihak ketiga dan Para Sultan Kerajaan Gunung Tabur, masih menganggap tanah peninggalan kerajaan sebagai tanah mereka, tetap dipertahankan sebagai tanah Grand Sultan yang khusus digunakan untuk menyokong ekonomi keluarga sehari-hari dan mempertahankan kekerabatan. Mereka menghendaki agar tetap dipertahankan tanah-tanah mereka, dan berharap pada aturan yang jelas mengenai pemanfaatannya. Akan tetapi selama ini dari dulu sampai sekarang tanah tersebut tetap diakui keberadaannya oleh Pemerintah Kabupaten Berau. Kata kunci : Tanah Grand Sultan, Eksistensi Kerajaan Gunung Tabur, Berau
1 2
Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 10
Pendahuluan Eksistensi hak ulayat di Indonesia (Pengakuan, Penghormatan, dan Perlindungannya),
perlu
dijabarkan
sebagaimana
yang
disebutkan
dalam
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen II, III, IV, dalam hal perubahan Pasal 18 dan penambahan Pasal 18 a dan 18 b serta Pasal 28 i ayat 3.3 Dalam kaitannya dengan kesejahteraan seluruh masyarakat, ada tanah tertentu yang tidak dimiliki oleh siapapun. Tanah ini disebut dengan tanah ulayat. Tanah ulayat merupakan tanah milik masyarakat desa tertentu yang merupakan milik bersama dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama. Tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat, karena merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meski bagaimanapun akan tetap
dalam
keadaan
semula.
Bahkan
tanah
terkadang
menjadi
lebih
menguntungkan jika dipandang dari segi ekonomis karena sifat tanah yang tidak menyusut. Di dalam hukum adat, masyarakat hukum sebagai kesatuan dengan tanah yang didudukinya memiliki hubungan yang erat sekali yaitu hubungan yang bersumber pada pandangan yang bersifat religio-magis. Hubungan yang erat dan bersifat religio-magis ini, menyebabkan masyarakat hukum memperoleh hak untuk menguasai tanah tersebut, memanfaatkan tanah tersebut, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup diatas tanah tersebut, juga berburu terhadap binatang-binatang yang hidup di tanah tersebut. Masyarakat yang berada di wilayah Kabupaten Berau merupakan masyarakat asli Kalimantan Timur. Di daerah tersebut terdapat kerajaan Gunung
3
2
UUD 1945
Eksistensi Tanah Grand Sultan (Herbarina) Tabur. Kerajaan Berau adalah sebuah kerajaan yang muncul pada era sebelum Islam masuk ke wilayah Kalimantan Timur atau yang dulu masih termasuk dalam wilayah bagian Kalimantan Utara. Pendirian kerajaan yang diperkirakan sudah ada sejak abad ke-15 masehi ini dipelopori oleh orang-orang Melayu yang datang dari kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang, Sumatera Selatan. Pada pemerintahan Sultan Muhammad Hasanuddin (1731-1767) dan Sultan Zainal Abidin (1779-1800), Islam menjadi agama mayoritas penduduk Berau. Gelar “Sultan” yang disandang raja (sebagai pengganti “Aji”) merupakan penanda bahwa Islam menjadi agama resmi kerajaan. Perseteruan yang terjadi di antara dua dinasti tidak bisa lagi damaikan. Pada 1800, Kerajaan Berau dibagi untuk dua keturunan. Keturunan Aji Pangeran Dipati, dengan pewaris tahta Sultan Gazi Mahyudi, memperoleh wilayah di sebelah utara Sungai Berau, serta wilayah kiri dan kanan Sungai Segah, sementara keturunan Aji Pangeran Tua, dengan pewaris tahta Raja Alam bergelar Sultan Alimuddin, mendapat wilayah di sebelah selatan Sungai Berau, serta di wilayah kiri dan kanan Sungai Kelay. Sultan Gazi Mahyudi kemudian mendirikan Kesultanan Gunung Tabur, sementara Raja Alam mendirikan Kesultanan Sambaliung. Raja Alam dicatat oleh sejarah sebagai pemimpin yang gigih melawan Belanda, hingga akhirnya dia diasingkan ke Makassar, Sulawesi Selatan, karena
perlawanannya.
Akibat
konflik internal,
Kerajaan Berau akhirnya
mengalami keruntuhan wilayah kekuasaan. Berau terbagi menjadi dua kerajaan baru, yaitu Kesultanan Sambaliung dan Kesultanan Gunung Tabur.
3
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 10
Daerah yang dulu berada dibawah kekuasaan kerajaan Berau sekarang menjadi wilayah administratif Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur. 4 Tanah yang terdapat di Kerajaan Gunung Tabur merupakan tanah kerajaan yang sampai
sekarang
eksistensinya
tetap
dipertahankan
sehubungan
dengan
diakuinya hukum adat pada UUPA. Sampai sekarang tanah kerajaan Gunung Tabur tetap diakui oleh pemerintah setempat, akan tetapi masih sering muncul pertentangan atau perselisihan hukum mengenai tanah kerajaan tersebut. Selain diatur oleh hukum adat, tanah juga diatur oleh hukum nasional, hal inilah yang sering menimbulkan kerancuan bagi kerajaan Gunung Tabur tentang eksistensi tanah kerajaan tersebut. Sesuai dengan latar belakang yang telah penulis sampaikan di atas, maka oleh karena itu penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai permasalahan tersebut ke dalam sebuah skripsi yang berjudul : EKSISTENSI TANAH GRAND SULTAN DI WILAYAH KERAJAAN GUNUNG TABUR DALAM SUDUT PANDANG HUKUM ADAT. Rumusan Masalah 1.
Bagaimana eksistensi tanah Grand Sultan di Wilayah Kerajaan Gunung Tabur dalam sudut pandang Hukum Adat?
2.
Apakah upaya yang dilakukan pihak Kerajaan Gunung Tabur dalam mempertahankan eksistensi tanah Grand Sultan ?
Tujuan Penelitian 1.
Untuk mengetahui dan menganalisa eksistensi tanah Grand Sultan di wilayah Kerajaan Gunung Tabur dalam sudut pandang hukum adat. 4
4
H. Aji Rahmatsyah, 2009, Sejarah Raja-raja Berau,Bongkar, Samarinda, Hlm 1-2
Eksistensi Tanah Grand Sultan (Herbarina) 2.
Untuk mengetahui dan menganalisa upaya yang dilakukan pihak kerajaan Gunung Tabur dalam mempertahankan eksistensi tanah Grand Sultan.
Pembahasan 1. Eksistensi Tanah Grand Sultan di Wilayah Kerajaan Gunung Tabur Dalam Sudut Pandang Hukum Adat Terjadinya perubahan terhadap eksistensi hak-hak keagrariaan adat dalam politik hukum agraria, jika pada zaman Hindia Belanda dikenal Hak Domain negara berdasarkan domain vorklaring. Dengan hak semacam ini negara bertindak dalam lapangan hukum perdata, memiliki sama dengan dengan halnya karena pandangan yang individual-liberal. Dengan konsep kepemilikan ini, negara dengan kelebihannya sebagai badan hukum publik dapat bertindak leluasa karena milik adalah hak yang bersifat mutlak, tertinggi, dan tak dapat diganggu gugat. Pada masa ini keberadaan hak-hak keagrariaan adat hampir tidak diperhitungkan sama sekali. Sedangkan sekarang kita mengenal hak menguasai negara yang dikatakan diangkat oleh negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi dari hak menguasai yang terdapat pada masyarakat hukum adat. Dengan konsep ini negara adalah manifestasi kekuasaan seluruh rakyat, sehingga negara itu, dari, oleh dan untuk rakyat. Ditegaskan bahwa hak-hak keagrariaan adat diakui keberadaannya. Hukum yang berlaku atas sumber-sumber keagrariaan adalah hukum adat. Dengan acuan kepada hukum adat ini diharapkan politik hukum agraria kita dapat sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat.
5
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 10
Praktek pendesakan hak-hak keagrariaan adat atau hak-hak asli masyarakat demi kepentingan ekonomi penguasa ini memang banyak terjadi di negara-negara berkembang yang lambat laun akan menghilangkan akses publik atas hak-hak tersebut dan dalam kepustakaan yang dikenal dengan Tragedy of
the commons yang dikemukakan oleh Garret Hardin. Perbedaan antara tanah adat dan tanah Grand Sultan menurut penulis: 1.
Tanah adat adalah tanah yang pada masyarakat hukum adat merupakan wewenang atau kekuasaan mengurus dan mengatur tanah tersebut dengan seisinya dengan daya laku kedalam maupun keluar.5
2.
Tanah ulayat menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Negara Agraria (PMNA) / Kepala Badan Pertanahan Nasional (Ka.BPN) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Tanah Ulayat adalah tanah hak kepunyaan bersama dari suatu masyarakat hukum adat.6
3.
Tanah Grand Sultan adalah tanah yang dikuasai dan dikelola oleh kerajaan yang masih memiliki eksistensi dan dipergunakan sesuai dengan peruntukannya, selama tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang ada.7
5
www.tanahadat.com Oloan Sitorus, 2004 Perbandingan Hukum Tanah, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia; Yogyakarta, hlm 21 7 Hasil wawancara pada Kerajaan Gunung Tabur, Pemangku Adat, Sultan ke IX Kerajaan Gunung Tabur 6
6
Eksistensi Tanah Grand Sultan (Herbarina) Dalam hal ini, tanah adat dan tanah Grand sultan hampir sama dan diakui oleh Negara yang membedakan adalah tanah adat untuk masyarakat adat sedangkan tanah Grand Sultan untuk para keturunan kerajaan. Tanah Grand Sultan yang terdapat di Gunung Tabur dimanfaatkan oleh para kesultanan, adapun sub Etnis yang berada di Kerajaan Gunung Tabur adalah Berau Banua. Tanah Grand Sultan di Kerajaan Gunung Tabur memiliki luas adalah 10.120 Hektar yang terbagi dari Lati sampai ke Kecamatan Segah. Tanah tersebut yang berawal dari kerajaan setelah diproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus Tahun 1945 sampai sekarang tanah tersebut tidak pernah ada yang diserahkan kepihak lain maupun ke Negara. Perkembangan politik hukum agraria di Indonesia dan dibeberapa negara menjelaskan bahwa hukum itu tidak berdiri sendiri, terlepas dari masyarakat karena hukum adalah salah satu dari subsistem sosial menurut teori fungsional strukturnya, sistem sosial terdiri dari: 1.
Tingkah laku organisasi dengan fungsi adaptasi melalui penyesuaian dan transformasi seperti ekonomi;
2.
Sistem kepribadian dengan fungsi pencapaian tujuan melalui tujuan sistem dan mobilisasi misalnya politik
3.
Sistem sosial dengan fungsi integrasi melalui
kendali komponen
masyarakat termasuk hukum 4.
Sistem budaya dengan fungsi laten, pemeliharaan pola melalui norma dan nilai misalnya kepercayaan.8
8
www.politikhukumagraria.com 2 Mei 2013
7
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 10
Dengan menyimak perubahan politik hukum agraria tersebut yang menjadi karena sudut pandang dan kepentingan penguasa yang berbeda dapat dikatakan bahwa hal ini sesuai
dalam perjuangan kompleks antara sejumlah
besar kelompok dan lembaga. Anggotanya akan mempunyai kepentingan subjektif yang bertentangan dan nilai-nilai lain yang mereka dapat dan pertahankan, kadang secara pribadi namun biasanya lewat lembaga. Dengan demikian hukum itu meleleh ditangan penggunanya sehingga tergantung kepada pandangan dan kepentingan para pihak dalam hal politik hukum adalah para pembuat kebijakan negara atau penguasa. Sebagai suatu sistem, selayaknya pola politik hukum agraria Indonesia lebih mengacu kepada tatanan hukum responsif. Yang berfungsi sebagai fasilitator tanggap terhadap kepentingan dan aspirasi sosial karena itu harus fungsional, pragmatis, bertujuan dan rasional. Dengan demikian pemikirannya purposif yang bertujuan atau berorientasi kebijakan dengan keadilan yang prosedural dan subtansif. Mengacu kepada cita negara hukum Indonesia fungsi primer hukum yang ada dalam pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus terwujud: 1.
Perlindungan masyarakat baik dari pemerintah, sesama maupun di luar.
2.
Keadilan
dengan
menjaga
dan
melindungi
nilai-nilai
keyakinan
masyarakat. 3.
Pembangunan dengan sarana penentu arah, tujuan, pelaksanaan serta pengendaliannya.9
9
8
www.maulis.com tgl 15 Mei 2013
Eksistensi Tanah Grand Sultan (Herbarina) Politik hukum agraria Indonesia itu hendaklah realistis, etis, religius dalam arti bahwa politik hukum agraria Indonesia itu memperhatikan realita yang ada, terdapat dasar etika di dalamnya serat memperhatikan kaidah religi yang ada. Masalah jaminan kepastian hukum kepemilikan hak atas tanah. Meskipun secara normatif pemerintah telah mengeluarkan ketentuan tentang pendaftaran tanah yang diatur dalam Pasal 19 UUPA dan ditindak lanjuti dengan Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, namun dalam kenyataannya masalah ini tetap bagi Kerajaan Gunung Tabur tidak menjadi fokus perhatian utama, karena masih menganggap bahwa tanah tersebut adalah milik kerajaan. Lahir dua pemikiran terhadap segala persoalan terkait dengan hak milik atas tanah. Sebagaimana diuraikan di atas bahwa hal tersebut timbul tidak hanya akibat dari kekeliruan pemerintah Kabupaten Berau dalam penerapan kebijakan tetapi juga tidak lepas dari peran serta masyarakat Kabupaten Berau yang tampak berupaya untuk berontak atau melepaskan diri dari kebijakan hukum pemerintahan yang bersangkutan. Oleh karena itu segala permasalahan tersebut perlu dianalisis lebih cermat baik terhadap pihak pelaksana kebijakan, yang seringkali menyelewengkan amanat dari pembuat kebijakan maupun terhadap masyarakat luas yang juga berperan serta memperuncing segala permasalahan yang terjadi berkaitan dengan hak milik ini. Pembuktian terhadap keberadaan atau eksistensi Kerajaan Gunung Tabur yang membuktikan bahwa adanya kehidupan masyarakat adat melalui situs-situs peninggalan sejarah mereka antara lain adalah :
9
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 10
1.
Keraton Kerajaan Gunung Tabur
2.
Makam Raja-raja Kerajaan Gunung Tabur
3.
Koplah (Semacam Penutup Kepala Raja)
4.
Senjata Perang Seperti Meriam
5.
Dan beberapa benda-benda pusaka kerajaan Peninggalan-peninggalan sejarah tersebut sudah cukup membuktikan
bahwa Kerajaan Gunung Tabur dan masyarakat adat yang ada telah lama berada dilahan tersebut namun hingga saat ini kepastian hukum tentang keberadan dan hak ulayat masyarakat adat kerajaan gunung tabur belum juga diberlakukan oleh pemerintah. 2. Upaya
yang
dilakukan
pihak
Kerajaan
Gunung
Tabur
dalam
mempertahankan eksistensi tanah Grand Sultan Kerajaan Gunung Tabur yang di Kabupaten berau adalah sebuah kerajaan yang memiliki historis tentang terbentuknya Kabupaten Berau. Dari kerajaan yang sudah turun-temurun, mereka masih menganggap tanah mereka adalah wilayah yang telah mereka tetapkan dan diakui itu oleh kesultanan. Hak perlindungan hukum atas tanah yang dimiliki oleh kerajaan Gunung Tabur adalah Surat Keterangan yang menyatakan tanah tersebut adalah tanah Grand Sultan. Secara sosiologis empiris keberadaan kerajaan Gunung Tabur tak terbantahkan, mereka ada pada saat awal mula berdirinya Kabupaten Berau. Mereka memiliki otoritas wilayah berupa tanah dan air serta kekayaan alam yang kaya akan penghidupan. Terdapat pengaturan dalam sebuah tatanan bagi hidup berperilaku, baik bagi pribadi, kelompok, bahkan masyarakat yang ada di luar tentang pemanfaatan
10
Eksistensi Tanah Grand Sultan (Herbarina) kekayaan yang berada dalam wilayah yang diakui sebagai milik turun-temurun. Mereka memiliki sistem hidup dalam sebuah naungan hukum. Data lapangan menyebutkan bahwa Raja Keraton Gunung Tabur mempunyai wewenang tentang keberadaan tanahnya. Dalam perkembangan yang ada ternyata keberadaan tanah kerajaan Gunung Tabur mengalami reformasi bahkan revolusi yang berakibat terjadinya berbagai permasalahan yang ada. Jika disikapi bahwa akar permasalahan ini berawal dari adanya kekuatan yang tidak seimbang, melebihi kekuatan yang ada pada kerajaan, sedangkan sisi lain terdapatnya imperium swasta dan Negara nasional yang diperkuat oleh identitas politik yang dilengkapi dengan kekuasaan lembaga yang mendukungnya. Kenyataan yang telah ada dilingkungan sekitar memerlukan perhatian banyak orang. Perhatian ini tidak hanya terbatas pada pemahaman atas apa yang terjadi, melainkan juga perlu mendapat tempat dalam berbagai kajian ilmiah untuk mencari titik terang dan mencari solusi yang tepat. Semenjak berbagai wilayah kerajaan dinyatakan berada dalam sebuah kedaulatan Negara dengan berbagai konsekuensi yang ada telah membawa perubahan dan permasalahan ditingkat lokal serta nasional. Adapun upaya dari kerajaan Gunung Tabur untuk mempertahankan tanah Grand Sultan tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Dengan
adanya
eksistensi
kerajaan
yang
masih
utuh,
kerjaan
menganggap tanah yang ada masih berlaku sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. 2.
Diatur sesuai dengan wilayahnya.
11
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 10
3.
Seluruh tanah yang ada dikelola sendiri oleh pihak kerajaan tanpa ada campur tangan pihak ketiga. contohnya ada beberapa yang ditanami karet dan buah-buahan.
4.
Tanah tersebut, diberi fortal, diberi tanda, diberi batas, dijaga dan diawasi.10
Dari 4 hal yang disampaikan sebagai hasil wawancara, dapat penulis uraikan sebagai berikut: 1.
Dalam hal eksistensi kerajaan Gunung Tabur yaitu masih adanya peninggalan-peninggalan
dijaman
kerajaan
yang
didedikasikan
di
museum Batiwakkal diantaranya rumah tinggal Ibu Putri, lambang kerajaan, tahta dan pusaka, foto-foto tua, koleksi meriam, koleksi keramik dan alat-alat makan, dan alat pembantu kelahiran. 2.
Dalam hal pengaturan wilayah, tanah Grand Sultan di Kerajaan Gunung Tabur memiliki luas adalah ±10.120 Hektar yang terbagi dari Kampung Lati Kecamatan Gunung Tabur sampai ke Kecamatan Segah. Kesultanan Gunung Tabur secara umum bangunan istana masih bisa dinikmati peninggalan sejarahnya. Letak istana ini berhadapan dengan istana Sambaliung. Istana Gunung Tabur terletak di tepi Sungai Segah dan bersebrangan sungai dengan istana Sambaliung yang terletak di tepi Sungai Kelai. Di Kerajaan Gunung Tabur terdapat museum Batiwakkal, yang bisa dijangkau dalam waktu sekitar 20 menit melalui jembatan
10 Hasil wawancara pada Kerajaan Gunung Tabur, Pemangku Adat, Sultan ke IX Kerajaan Gunung Tabur pada tanggal 16 April 2013
12
Eksistensi Tanah Grand Sultan (Herbarina) Segah atau 3 menit jika menggunakan Ketinting. Wilayah kekuasaan Kerajaan Gunung Tabur meliputi daerah yang kini dikenal dengan nama Kecamatan Gunung Tabur. 3.
Dalam hal pengelolaan tanah, seluruh tanah yang dimiliki oleh Kerajaan Gunung Tabur dikelola oleh pihak Kerajaan sendiri dan pewaris ataupun keturunan dari Raja-raja. Tanah tersebut digunakan sesuai dengan kebutuhan
masing-masing
tanpa
mengikutsertakan
pihak
yang
mempunyai kepentingan atau disebut pihak ketiga. 4.
Dalam hal tanah, pihak Kerajaan maupun pewaris Kerajaan selalu memelihara dan menjaga tanah wilayah Kerajaan sesuai dengan peruntukannya. Oleh karena itu, wilayah Kerajaan Gunung Tabur yang wilayahnya terdiri
dari daratan dan sungai masih tetap terjaga, tetapi eksistensinya terhadap tanah adat telah terjadi
pelemahan dalam sistem hukum yang terjadi di Indonesia.
Karena Kerajaan Gunung Tabur menyatakan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada pidato Presiden tanggal 17 Agustus Tahun 1960. Sedangkan tanah adat secara konstitusi mendapat tempat yang luar biasa dalam hukum kita. Mengingat ketentuan pada Pasal 18 b ayat 2 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat selain prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang”.
13
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 10
Disini perlu diketahui bahwa pengakuan masyarakat adat dan tanah adat diakui secara pasti oleh konstitusi. Hak tersebut perlu penulis sampaikan karena tanah adat jelas berbeda dengan tanah Grand Sultan. Pada fakta yang lain tanah Grand Sultan Kerajaan Gunung Tabur tetap diakui keberadaannya. Terbukti apabila berkaitan dengan penggunaan tanah Kerajaan Gunung Tabur harus memiliki ijin pada kerajaan yang bersangkutan seperti kehutanan. Penutup A. Kesimpulan 1. Tanah Grand Sultan adalah tanah yang dikuasai dan dikelola oleh kerajaan yang masih memiliki eksistensi dan dipergunakan sesuai dengan peruntukannya, selama tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang ada. Eksistensi Tanah Grand Sultan pada kenyataannya tetap ada di Kecamatan Gunung Tabur, dan tanah tersebut masih dimanfaatkan serta dikelola dengan baik oleh pihak kerajaan maupun para pewaris-pewaris kerajaan sesuai dengan kebutuhan masing-masing dan tanpa adanya campur tangan pihak ketiga. 2. Tanah Ulayat adalah tanah hak kepunyaan bersama dari suatu masyarakat hukum adat, tanah ulayat berhubungan dengan tanah Grand Sultan karena tanah Grand juga merupakan hak kepunyaan dari para Sultan Kerajaan Gunung Tabur. Para Sultan Kerajaan Gunung Tabur, masih menganggap tanah peninggalan kerajaan sebagai tanah mereka, tetap dipertahankan sebagai tanah Grand Sultan yang khusus digunakan untuk menyokong ekonomi keluarga sehari-hari dan mempertahankan kekerabatan. Mereka menghendaki agar tetap dipertahankan tanah-tanah 14
Eksistensi Tanah Grand Sultan (Herbarina) mereka, dan berharap pada aturan yang jelas mengenai pemanfaatannya. Akan tetapi selama ini dari dulu sampai sekarang tanah tersebut tetap diakui keberadaannya oleh Pemerintah Kabupaten Berau.
B. Saran-saran 1. Agar eksistensi tanah Kerajaan Gunung Tabur diperjelas, sehingga menimbulkan kekuatan hukum dalam pemanfaatannya, perlu segera dilakukan hubungan antara pejabat setempat dengan pihak kerajaan mengenai tanah Grand Sultan di Kerajaan Gunung Tabur. 2. Oleh karena tanah Kerajaan Gunung Tabur masih tetap diakui oleh pemerintah Daerah
Kabupaten Berau. Untuk melindungi kepentingan
bagi pihak Kerajaan sebagai pewaris tanah Kerajaan, maka diharapkan Pemerintah Pusat dan Daerah serta instansi terkait khususnya Badan Pertanahan
Nasional
dapat
segera
merumuskan
suatu
peraturan
perundang-undangan tertulis yang jelas mengenai tanah-tanah Grand Sultan demi kepastian hukum.
Daftar Pustaka A.
Literatur A.P Parlindungan, 1999, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar maju; Bandung. Boedi, Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, isi dan Pelaksanaannya , Djambatan; Jakarta. Happy, Warsito, 1999, Bhineka Tunggal Ika Dalam Hukum Agraria Indonesia, Semarang. Muhammad, Abdul Kadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Aditya Citra Bakti; Bandung. 15
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 10
Nasution, Bahdar Johan, 2008, Metode Penelitian Hukum, Mandar Maju; Bandung. Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cet.2, Kancana, Jakarta. Rahmatsyah, H. Aji, 2009, Sejarah Raja-raja Berau,Bongkar; Samarinda. Sitorus, Oloan, 2004 Perbandingan Hukum Tanah, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia; Yogyakarta. Sumarjono, Maria S.W, 2007, Kebijakan Pertanahan, Buku Kompas; Jakarta. Supriadi, 2008, Hukum Agraria , PT. Sinar Grafika; Jakarta. B.
Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Undang-undang Dasar Tahun 1945 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043) Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3696)
C.
16
Literatur Lainnya www.sukirman.com www.tanahadat.com www.politikhukumagraria.com www.maulis.com