BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Sejarah dan Perkembangan Pondok Pesantren Al-Falah 1. Asal-usul pesantren dan perkembangannya Agama Islam di Indonesia pertama kali dibawa oleh kaum Gujarat dari India, kemudian dengan perkembangannya agama Islam juga dibawa dari kaum Arab, Palestina,
dan Iran. Proses Islamisasi di Indonesia sangat
mempengaruhi pendidikan Islam tergantung dari pengaruh Islam di suatu tempat dan pembawanya. Pendidikan Islam yang dikembangkan oleh Sunan Giri berbeda dengan pendidikan Islam yang diajarkan oleh para Wali. Islam yang dikembangkan oleh Sunan Giri melalui sistem pondok pesantren yang banyak dijumpai di Madura, Lombok, dan Makassar, sedangkan pendidikan Islam yang diajarkan oleh Wali Songo bersifat sinkritisme dilakukan di Pulau Jawa. Pesantren sebagai pusat pendidikan pada umumnya terdapat di luar kota sebagai pusat pendidikan tradisional untuk masyarakat pedesaan. Pendiri dan pemimpin pesantren ialah Wali yang kemudian diwariskan pada Kyai. Wali dianggap memiliki kekuatan gaib dan sakti sehingga sangat dihormati. Kyai mempunyai pengetahuan yang dalam tentang agama Islam dan kekuatan magis dan ilmu kekebalan. Wali dalam bahasa Arab adalah seseorang yang dipercaya atau pelindung, namun secara umum wali adalah teman Allah atau dalam kalimat
wal yu 'll h. Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan Waliallah memiliki arti yaitu orang yang beriman dan bertakwa. “Ingatlah sesungguh wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (Yunus 10:62). Sedangkan pengertian kyai secara luas adalah orang yang memahami agama Islam secara mendalam dan telah melakukan hijrah ke Mekkah dan kemudian ia akan mendapat sebutan “Haji”. Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mempunyai sejarah yang panjang dan unik. Hal yang unik pada kehidupan pesantren akan begitu banyak memberikan variasi antara satu pesantren dengan pesantren lainnya. Meskipun demikian dalam berbagai aspek dapat ditemukan aspek kesamaankesamaan umum antara pesantren yang satu dengan yang lainnya. Fungsi utama dari pendidikan Islam pondok pesantren sebagai lembaga suatu lembaga pendidikan Islam yaitu untuk mencetak generasi muslim yang memiliki
dan
menguasai
ilmu-ilmu
agama.
Sejak
dilancarkannya
modernisasi, pendidikan pesantren diharapkan tidak hanya memelihara tradisitradisi ke-Islaman serta mencetak kader-kader ulama, akan tetapi lebih pada fungsionalisasi sebagai pusat pengembangan masyarakat. Dalam upaya fungsionalisasi, pesantren dituntut mampu mengikuti dan menguasai perkembangan melalui pembelajaran yang efektif merujuk pada program kurikulum dan sistem pendidikan yang diterapkan oleh pondok pesantren AlFalah.
Pesantren pada dasarnya adalah kombinasi yang harmonis antara budaya asli Indonesia Indegeneus Culture dengan budaya asli Timur Tengah, sehingga di samping bernuansa ke-Indonesiaan juga bernuansa ke-Islaman, akan tetapi untuk melakukan
rekontruksi intitusi pendidikan perlu
mempertimbangkan sistem pesantren dengan mempertahankan tradisi belajar kitab-kitab klasik ditunjang dengan upaya internalisasi unsur keilmuan modern. Pesantren dijadikan sebagai modal awal, sebab disamping sebagai warisan budaya Indonesia, pesantren juga menyimpan potensi kekayaaan khasanah Islam klasik yang terletak pada tradisi belajar kitab kuningnya (Mastuhu, 1994: 130). Pendidikan pada hakekatnya adalah upaya untuk memberikan bimbingan dan fasilitas dalam rangka mengembangkan potensi fitrah siswa atau santri, agar menjadi sumber daya insani yang berkualitas dan mempunyai kompetensi untuk kesempurnaan manusia yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah serta kebahagiaan di dunia dan akhirat. Suatu lembaga pendidikan akan berhasil menyelenggarakan kegiatannya jika dapat mengintegrasikan dirinya ke dalam kehidupan masyrakat yang melingkarinya. Keberhasilan ini menunjukkan adanya kecocokan nilai lembaga pendidikan bersangkutan dan masyarakatnya, setidaknya tidak saling bertentangan. Lebih dari itu suatu lembaga pendidikan akan diminati oleh anak-anak, orang tua, dan seluruh masyarakat apabila mampu memenuhi kebutuhan mereka akan kemampuan ilmu dan teknologi untuk menguasai seluruh bidang kehidupan tertentu, dan kemampuan moral keagamaan dan
moral sosial budaya untuk menempatkan diri mereka di tengah-tengah pergaulan mereka sebagai manusia (Ridlwan Nasir, 2005: 7). Dinamika sistem pendidikan pondok pesantren dimulai dari pergeseran, perubahan, dan perkembangan pesantren dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan zaman. Kualitas dari dinamika pendidikan sistem pendidikan pesantren tergantung pada kualitas dari seorang pemimpinnya yaitu kualitas seorang kyai sebagai sosial aktor, mediator, dinamisator, motivator, maupun sebagai Power (kekuatan) dengan kedalaman ilmu yang di miliki kyai dan wawasan barunya tentang pendidikan. Seorang pemimpin apabila mempunyai wawasan yang luas maka mereka akan cepat mengantisipasi masalah yang ada didalam lembaga yang ia pimpin. Seorang kyai apabila ia memiliki wawasan luas ia juga akan mengantisipasi adanya suatu pendapat yang mengatakan bahwa keluaran atau alumni pondok pesantren tidak berkualitas, maka seoarang kyai akan mengantisipasi dengan perubahan-perubahan di segala bidang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kyai yang berpegang pada kaidah dalam menjaga kontinuitas sosial, yaitu memelihara yang baik dari tradisi-tradisi lama, dan mengambil hal-hal yang lebih baik dari perubahan-perubahan baru. Kaidah inilah yang menjadikan pondok pesantren maju dan tidak kehilangan ciri khususnya. Seorang kyai yang memegang teguh kaidah, maka apabila menghadapi hal-hal baru akan segera mengevaluasi dan menyaring, apakah hal tersebut lebih baik dari tradisi lama sebagai sebagai kekhususan dari pondok pesantren atau sama. Bila ternyata nilainya sama dengan tradisi
lama, maka tradisi lama yang akan dipegang teguh, namun bila baru ternyata benar-benar lebih baik dari tradisi lama, maka hal-hal baru akan diterima. 2. Gambaran Umum Pondok Pesantren Al-Falah a. Letak Geografis Pondok Pesantren Al-Falah yang berada di bawah asuhan Bapak KH. M Ghozi Harun terletak di Desa Kauman Lor RT.03/RW. 01 Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang. Letak pondok pesantren Al-Falah sangat strategis. Desa Kauman Lor terletak disebelah utara kota Salatiga, di samping terletak didekat jalan raya, Pondok pesantren ini juga berada didekat Masjid Agung Kauman Lor, sehingga dengan mudah dijangkau dari beberapa daerah. b. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Al-Falah Nama dari pondok pesantren Al-Falah berasal dari bahasa Arab yang terdapat dalam Al-Qur’an yaitu surat Al-Falaq yang artinya bahwa Tuhan memiliki shubuh dari segala kejahatan. Maksud dari surat Al-Falaq tersebut yaitu bahwa manusia harus selalu berlindung kepada Allah karena Allah adalah maha memiliki dan maha mengetahui apa yang belum engkau ketahui. Dengan demikian maka pondok pesantren Al-Falah berharap bahwa pondok pesantren yang didirikan akan menjadi pelindung bagi masyarakat sekitar dari segala kejahatan yang dilarang oleh agama. Pondok Pesantren Al-Falah mulai didirikan pada tahun 1930. Pengasuh atau pemimpin pondok pesantren AlFalah yang pertama adalah KH. Mashadi yang mana KH. Mashadi adalah pendiri dari pondok pesantren Al-Falah.
Munculnya pondok pesantren Al-Falah tidak terlepas dari kondisi objektif masyarakat sekitarnya. Kondisi masyarakat pada saat itu masih minim sekali dengan beragam aktivitas religius. Sebaliknya masyarakat sangat akrab dengan kebiasaan-kebiasaan buruk sehingga mendorong seorang dermawan yang bernama Mbah Durokhim untuk mendirikan pondok pesantren sebagai lembaga
keagamaan
untuk
tempat
berlangsungnya
kegiatan-kegiatan
keagamaan. Mbah Durokhim mewakafkan sebagian tanahnya untuk didirikan pondok pesantren, kemudian Mbah Durokhim mencari seorang kyai yang pada akhirnya mbah durokhim bertemu dengan KH. Mashadi yang mana KH Mashadi ini berasal dari Kota Salatiga tepatnya di Desa Pulutan Salatiga. KH Mashadi kemudian menerima permintaan mbah durokhim untuk menjadi seorang kyai di Desa Kauman Lor, KH Mashadi diminta oleh Mbah Durokhim untuk memilih tanah yang layak untuk dijadikan pondok pesantren. KH Mashadi memilih tanah di tengah-tengah perkampungan masyarakat dan jaraknya tidak terlalu jauh dari jalan raya Salatiga-Bringin. Ini diharapkan agar pondok pesantren Al-Falah mudah dijangkau oleh masyarakat sekitar dan masyarakat luas. Berdirinya pondok pesantren Al-Falah ini merupakan bukti perhatian masyarakat yang masih minim dengan aktivitas religius tersebut. Dan tujuan utama didirikannya pondok pesantren Al-Falah yaitu untuk mengembangkan agama Islam di Desa Kauman Lor yang mana kondisi masyarakatnya pada masa itu masih minim sekali pemahamannya tentang agama terutama agama Islam.
Pada awalnya KH. Mashadi mengadakan pengajian rutin setiap hari Selasa dan Minggu di Masjid Agung Kauman Lor yang dihadiri oleh masyarakat Kauman Lor serta masyarakat luar. Kegiatan lain seperti pelajaran nahwu, shorof, mriti, jurumiah yang diselenggarakan masih sederhana di lingkungan masjid sekitar, sehingga terkesan natural dan belum terbentuk semacam lembaga pendidikan keagamaan yang formal. Fasilitas dan prasarana yang tersedia sangat terbatas contohnya pengajaran masih dilakukan di dalam masjid dan belum ada ruangan untuk sekolah Madrasah diniyyah. Namun dengan berbagai kesederhanaan ini tidak menghambat proses pendidikan dan pengajaran sebagai nadi dan misi utama pesantren. Dalam perkembangannya kegiatan tersebut berkembang menjadi sebuah pondok pesantren Al-Falah. B. Perkembangan Pondok Pesantren Al-Falah dari Masa Perintisan sampai Pada Masa Pembaharuan. a. Masa Perintisan Pada masa perintisan ini dimulai dari tahun 1930 ini merupakan masamasa pembibitan dan penanaman dasar-dasar berdirinya sebuah wadah pendidikan dalam bentuk pendidikan dalam bentuk pesantren. Pemimpin yang pertama mendirikan lembaga pendidikan ini adalah KH Mashadi yang berasal dari Salatiga. Pada masa perintisan ini KH Mashadi dibantu masyarakat sekitar untuk mendirikan lembaga pendidikan keagamaan. KH Mashadi menyadari bahwa di desa Kauman Lor pada saat itu masih sangat minim sekali pengetahuan tentang agama Islam. Masyarakat di desa Kauman Lor sangat menerima kedatangan KH Mashadi di desa mereka untuk menyebarkan
agama Islam di desa tersebut, maka pada tahun 1930 didirikanlah pondok pesantren yang diberi nama pondok pesantren Al-Falah. KH. Mashadi dalam menyebarkan agama Islam di Desa Kauman Lor juga di dampingi seorang istri yang bernama Nyai Nafsiah selain itu juga para putra putri KH. Mashadi juga mendukung ayahnya dalam menyebarkan agama Islam di Desa Kauman Lor. Di desa itulah kemudian mulai dirintis pengajian-pengajian
yang
bersifat umum, sorongan, bandongan maupun klasikal. Pengajian umum biasanya diselenggarakan seminggu dua kali yaitu pada hari selasa dan hari minggu. Dan setiap subuh biasanya dilakukan pengajian sistem sorongan dan klasikal dengan materi Al Qur’an. Selain itu, pada siang hari berlangsung pembelajaran tentang Kodriah Nagsobandiah, Fikih, Akhlak dan Tasawuf. Pada masa KH Mashadi pondok pesantren Al-Falah yang mengajar semua materi pelajaran hanya diajarkan oleh KH Mashadi sendiri tanpa di bantu oleh orang lain. Pada masa KH. Mashadi banyak orang yang datang di pondok pesantren Al-Falah untuk memahami agama Islam. Pada masa selanjutnya dengan kondisi KH Mashadi yang tidak sekuat dulu, kemudian pondok pesantren di serahkan oleh KH Masrur yang dibantu oleh KH Abdul Rozak dan KH Jupri yang berasal dari Salatiga. Kepengurusan pondok pesantren Al-Falah di serahkan kepada KH. Masrur dan KH. Abdul Rozak pada tahun 1980 dikarenakan putra dari KH. Mashadi meninggal dunia pada usia yang masih muda sehingga KH. Mashadi memberi kepercayaan kepada KH. Masrur dan KH. Abdul Rozak untuk memimpin pondok pesantren Al-Falah, KH Masrur
dan KH Abdul Rozak sendiri adalah teman dari KH Mashadi sehingga KH. Mashadi mempercayakan Pondok pesantren Al-Falah untuk diasuh oleh mereka. Pada masa kepengurusan KH. Masrur pondok pesantren Al-Falah mengalami kemajuan selain pondok pesantren KH. Masrur mendirikan Madrasah Diniyyah dan taman pendidikan Al Qur’an yang di beri nama Madrasah Diniyyah Faalahiyyah, selain mendirikan Madrasah Diniyyah dan taman pendidikan Al Qur’an KH. Masrur juga mendirikan Panti Asuhan ARRI’AYAH. Pada dasarnya kedua lembaga tersebut berpacu pada pondok pesantren Al-Falah. Sistem pelajaran yang diajarkan oleh KH. Masrur dan KH Abdul Rozak prinsipnya masih sama dengan yang diajarkan oleh KH. Mashadi namun yang membedakan adalah sistem Madrasah Diniyyah dan panti asuhan sehingga menjadikan pondok pesantren lebih di kenal oleh masyarakat luas. Pada masa kepengurusan KH Masrur dan KH Abdul Rozak pembelajarannya lebih diutamakan pada sistem akhlak dan tingkah laku para santri, yang mana pelajaran akhlak sangat penting untuk pedoman hidup dalam bermasyarakat. Pondok pesantren pada masa pengasuhan KH. Masrur dan KH. Abdul Rozak mengalami kemajuan sehingga menjadikan banyak orang yang ingin menimba ilmu agama di pondok pesantren Al-Falah, selain itu KH. Masrur Dan KH. Abdul Rozak dan dibantu oleh KH. Jupri merenovasi masjid yang berada disekitar pondok pesantren karena tidak cukup untuk menampung jama’ah sehingga diperlukan perenovasian agar mampu menampung jama’ah.
Pada masa membangun masjid masyarakat Kauman Lor sangat membantu baik dari segi materi maupun non materi selain itu masyarakat juga sangat antusias dalam pembangunan masjid karena masjid tersebut adalah satusatunya masjid yang ada di desa Kauman Lor. Perkembangan pondok pesantren pada masa pengasuhan KH. Masrur dan KH. Abdul Rozak yang juga dibantu oleh KH. Jupri sangat mengalami kemajuan namun karena keadaan mereka yang tidak sekuat dahulu kemudian kepengurusan pondok pesantren diberikan pada KH. Naf’an, KH. Abdul Jalil dan KH. Ghozi Harun pada tahun 2001. Kepengurusan pondok pesantren Al-Falah sampai sekarang masih diasuh oleh ketiga kyai tersebut, namun kepengurusan pondok pesantren diasuh oleh KH. Ghozi Harun. Pada masa kepengasuhan ketiga kyai tersebut pondok pesantren juga mengalami kemajuan yang pesat yang mana banyak santri-santrinya datang dari berbagai daerah bahkan ada yang berasal dari luar pulau Jawa. Kepemimpinan yang diterapkan oleh ketiga kyai tersebut menjadikan pondok pesantren Al-Falah menjadi satu-satunya lembaga non-formal di bidang pendidikan dalam hal keagamaan yang mendapat banyak dukungan dari masyarakat luas, bahkan setiap ada acara keagamaan pondok pesantren Al-Falah menjadi satu-satunya pondok pesantren yang dipercaya untuk menjadi tuan rumah. Sistem pendidikan yang diterapkan oleh ketiga pengasuh pondok pesantren hampir sama namun yang membedakan dalam materi pembelajarannya. Materi pembelajarannya yang di tambah adalah Hadist, Nahwuf Salammusibyan, Syaraf, Tafsir Al Qur’an, Jurumiah, Mriti,
Mutamimmah, Alfiah, selain kegiatan belajar mengajar yang dilakukan didalam kelas ada juga kegiatan yang dilakukan di luar kelas seperti kegiatan Akhirusannah dan kegiatan Jum’at sore yang mana santri-santri ikut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut (KH. Ghozi Harun, 09-08-2010). Proses belajar mengajar biasanya selain di dalam kelas juga dilakukan di Masjid. Pengajian umum yang dilaksanakan dipondok pesantren Al-Falah dilaksanakan setiap malam sabtu. Pengajian umum selain diikuti oleh masyarakat sekitar masjid juga diikuti oleh masyarakat yang berasal dari luar desa Kauman Lor. Dan kegiatan belajar Tafsir Al Qur’an biasanya dilakukan setiap habis shalat subuh. Di pondok pesantren Al-Falah selain ilmu agama Islam juga diajarkan ketrampilan. Kegiatan belajar ketrampilan tangan biasanya diajarkan setiap hari Jum’at. Ketrampilan yang diajarkan antara lain ketrampilan menjahit dan ketrampilan dalam bidang mekanik motor. Ketrampilan yang diajarkan di luar kegiatan yang ada di dalam pondok pesantren diharapkan dapat membantu para santri-santrinya untuk terjun ke dalam masyarakat, Sehingga dengan adanya kegiatan yang dilakukan di luar kegiatan pondok pesantren banyak para santri-santrinya diminta bantuannya seperti membuatkan baju seragam anak sekolah TPA yang ada di sekitar desa Kauman Lor. Dengan hasil yang dicapai para santri menjadikan bekal mereka untuk terjun kedalam masyarakat maupun untuk terjun kedunia kerja yang memerlukan tantangan yang cukup keras sehingga dengan keahlian yang dimiliki oleh para santri akan menjadi jawaban dari tantangan tersebut (KH. Ghozi Harun, 09-08-2010)..
Dalam melaksanakan kegiatan di luar pondok pesantren biasanya para santri sangat antusias dalam mengikuti pelajaran jahit menjahit bahkan para santrinya sangat memperhatikan praktek yang diajarkan oleh guru privat. Dalam melaksanakan kegiatan tersebut jika ada salah satu santri yang terlambat biasanya santri tersebut di hukum, biasanya hukumannya adalah menghafal ayat-ayat Al Qur’an. Untuk memberi tanda masuk dalam pelajaran tambahan digunakan tanda bel sehingga para santri dapat mengetahui bahwa kegiatan belajar menjahit sudah dimulai. Dan selain kegiatan belajar menjahit ada juga pelajaran mekanik motor yang mana gurunya juga berasal dari luar pondok pesantren. Pelaksanaannya dilakukan setelah selesai kegiatan ketrampilan
menjahit.
Pelajaran
non-formal
ketrampilan
menjahit
dilaksanakan setiap hari Jum’at. Pondok pesantren Al-Falah menyelenggarakan kegiatan non-formal karena pondok ingin menyiapkan para santri setelah lulus dari pondok mereka memiliki ketrampilan. Maka dengan ketrampilan yang dimiliki nantinya akan menjadi bekal untuk masa depan. Selain itu pondok pesantren Al-Falah menyelenggarakan kegiatan non-formal tentunya untuk menarik perhatian masyarakat terhadap pondok pesantren Al-Falah. Selain itu,orang tua santri mempercayakan anak-anak mereka di pondok pesantren. Materi yang diajarkan pada kegiatan ketrampilan menjahit antara lain membuat pola dasar, membuat legan badan dan lengan belakang, membuat rok dan jenis-jenis rok, membuat celana pendek, dan membuat baju kebaya dan jas mini. Dan materi mekanik motor antara lain pengetahuan umum dan
motor bakar dan jenis bahan bakar, Dasar-dasar kontruksi motor bakar, sistem-sistem yang terpenting dalam motor bakar, memahami mesin yaitu kepala silinder dan klep-klep, silinder dan piston, kopling dan memindahan transmissi, alternator, kopling stater dan penegang rantai mesin dan poros engkol, transmissi dan kick stater, selain pelajaran tentang mesin juga diajarkan tentang alat ukar. Kegiatan pendidikan mekanik motor diikuti dari berbagai daerah yang ada disekitar pondok pesantren Al-Falah. Peserta yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan mekanik motor antara lain para santri yang ada di pondok pesantren dan yang berasal dari masyarakat biasa. Kegiatan yang direncakan oleh pondok pesantren Al-Falah ini mendapat dukungan dari masyarakat luas. Dengan bukti bahwa kegiatan mekanik motor tersebut diikuti oleh masyarakat luas, selain pelajaran mekanik motor pelajaran tentang ketrampilan menjahit juga mendapat respon dari masyarakat luas yang mana kegiatan tersebut juga diikuti dari berbagai kalangan masyarakat. Peserta ketrampilan menjahit selain khusus untuk para santri pondok pesantren juga diikuti oleh pemuda dan ibu rumah tangga yang berada di sekitar pondok pesantren. Dengan adanya kegiatan-kegiatan diluar pondok pesantren mengakibatkan pondok pesantren Al-Falah lebih dikenal oleh masyarakat luas. Pondok pesantren Al-Falah dalam asuhan ketiga kyai yaitu KH. Masrur, KH. Naf’an, KH. Ghozi Harun sudah mengalami renovasi fisik bangunan sekolah dan masjid. Pada bangunan masjidnya sudah beberapa kali dilakukan renovasi pertama dilakukan pada masa kepengasuhan KH Masrur yaitu pada
tahun 1986 sampai tahun 1990 dan yang kedua pada masa KH Naf’an yaitu pada tahun 2008 dan yang terakhir pada mas KH Ghozi Harun pada tahun 2012. Dalam proses renovasi masjid dan pondok pesantren biaya pembangunan ditanggung oleh masyarakat kauman lor dan dari donaturdonatur setempat, sedangkan dalam proses pengerjaannya masyarakat sekitar dibantu oleh tukang bangunan sehingga pembangunan masjid dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Dengan demikian maka peran masyarakat sangat penting dalam perkembangan pondok pesantren Al-Falah. C. Struktur Organisasi Kepengurusan Pondok Pesantren Al-Falah Pada masa kepengasuhan KH Masrur pada tahun 1980 struktur keorganisasian belum tertulis, namun berdasarkan pada kesadaran masingmasing orang. Untuk mengetahui siapa pengasuh yang paling tinggi berdasarkan pada pesan Kyai terdahulu. Sekarang struktur keorganisasian lebih mudah dipahami dan cara kerjanya juga berdasarkan pada bagian apa yang mereka jabat saat ini. Sebelum dijelaskan struktur organisasi kepengurusannya, maka terlebih dahulu akan dijelaskan tentang dasar dan tujuan pondok pesantren ini merupakan beberapa kriteria secara eksplisit oleh para sesepuh pondok pesantren Al-Falah kepada penerus-penerusnya. a. Dasar-dasar yang ditetapkan oleh pondok pesantren Al-Falah Pondok pesantren Al-Falah berdiri berazazkan Pancasila dan undangundang dasar 1945. Dan selain itu pondok pesantren Al-Falah didirikan yaitu untuk mewujudkan manusia yang sejati yang berdasarkan pada ajaran Islam. b. Tujuan yang ditetapkan oleh pondok pesantren Al-Falah
Pondok pesantren Al-Falah didirikan berdasarkan tujuan untuk meningkatkan keimanan, kecerdasan dan ketrampilan dan kesejahteraan umat Islam berdasarkan Al Qur’an dan Al Hadist. Struktur organisasi pada masa sekarang lebih mendetail dalam setiap pembagian tugasnya. Struktur organisasi pesantren sangat penting dalam rangka mengantarkan kemajuan organisasi. Pesantren berperan untuk membantu dalam rangka pembelajaran perilaku keorganisasian yang berkaitan dengan memotifasi kreativitas. Maka dengan demikian sruktur keorganisasian mempunyai peran yang yang cukup penting dalam memajukan pondok pesantren. Selain itu organisasi adalah wadah dalam membentuk dan mempelajari kepemimpinan dan bagaimana menjadi seorang pemimpin. Organisasi merupakan
sarana
belajar,
bagaimana
berpikir,
bertindak,
dan
mengembangkan potensi diri, baik hard skill maupun soft skill. Pada pondok pesantren yang menganut sistem asrama, otoritas lebih merata, artinya beberapa keputusan didelegasikan atau dipercayakan ke beberapa unit. Seperti kegiatan-kegiatan santri di dalam asrama atau pondok. Kegiatan-kegiatan santri dalam pondok dikoordinir dalam satuan organisasi santri. Organisasi santri ini sengaja dibentuk oleh Pesantren sebagai media pembelajaran, pendidikan dan pelatihan santri dalam usaha untuk memiliki jiwa kepemimpinan. Dari berbagai kegiatan organisasi santri secara tidak langsung akan belajar makna demokrasi dan politik agar nantinya siap bila sudah harus terjun ke masyarakat. Biasanya dalam organisasi ini juga dimulai dari proses pemilihan ketua, para calon ketua diminta untuk memberikan visi dan misi
apabila mereka terpilih nanti. Sama halnya pada pemilihan capres dan cawapres yang yang ada di Indonesia. Dan apabila salah satu calon ketua tersebut telah terpilih biasanya mereka membentuk kebijakan-kebijakan baru yang harus ditaati oleh para anggota-anggotanya (KH. Ghozi Harun, 28-072012). Tantangan untuk menjadi seorang pemimpin organisasi santri adalah diberinya kesempatan oleh Pesantren untuk memompa kepemimpinan yang mana segala peraturan yang telah disepakati dalam pembahasan program kerja harus bisa ditegakkan tidak hanya pada teman-temannya saja yang diurus namun juga pada diri mereka sendiri dan teman-teman sepengurusan. Beragamnya problem yang mewarnai masa kepengurusan menjadikan mereka dewasa dalam berpikir dan mengasah jiwa kepemimpinan. Kepengurusan yang mereka jalankan selama 24 jam, sehingga memungkinkan bagi mereka untuk belajar bagaimana mengatur waktu untuk santri yang diurus dengan mengurus diri sendiri, karena mereka sendiri statusnya juga sebagai seorang santri. Tentunya untuk menjadi seorang pemimpin pada suatu organisasi akan menjadikan pengalaman bagi pemimpin tersebut juga bagi teman-teman yang lain. Untuk kepengurusan pondok pesantren tentnya berbeda dengan organisasi yang dijalankan para santri. Strukutur organisasi yang dijalankan pondok pesantren menjadi tanggung jawab para kyai dan pengasuh pondok pesantren tersebut. Dibawah dijelaskan struktur keorganisasian yang di jalankan di pondok pesantren Al-Falah
Struktur Organisasi
1. 2.
Pelindung Kepala Desa Ta’mir Masjid
Ketua KH M Ghozi H.R
Sekretaris M Maksum
Bendahara Umi Nasiroh
Seksi
Humas Sumadi
Usaha Dana Choirul Anam
Pembangunan Solikhin
Pendidikan Munir
(Sumber: Akta notaris Ahmad Dimyati, SH NO 181. Kauman Lor, RT 03/RW 01, kecamatan Pabelan-Kabupaten Semarang). D. Sistem Pendidikan yang diterapkan di Pondok Pesantren Al-Falah Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren adalah sistem bandongan atau seringkali juga disebut weton, sistem pengajaran ini mulai dipergunakan di pondok pesantren Al-Falah pada tahun 1980. Metode bandongan atau weton yaitu metode pembelajaran yang mana guru membacakan, kemudian murid mendengar dan mencatat. Dalam sistem ini sekelompok murid (antara 5 sampai 50) mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Seorang murid memperhatikan bukunya sendirisendiri dan membuat catatan-catatan tentang kata-kata yang sulit untuk
mereka pahami. Metode bandongan adalah kyai menggunakan daerah setempat, kyai membaca, menerjemahkan, menerangkan, kalimat demi kalimat kitab yang dipelajarinya, santri secara cermat mengikuti penjelasan yang diberikan oleh kyai dengan memberikan catatan-catatan tertentu pada kitabnya masing-masing dengan kode-kode tertentu sehingga kitabnya disebut kitab jenggot karena banyaknya catatan yang menyerupai jenggot seorang kyai. Dengan metode pengajaran bandongan ini lama belajar santri tidak tergantung lamanya tahun belajar tetapi berpatokan kepada waktu kapan murid tersebut menamatkan kitabnya yang telah ditetapkan oleh pondok atau oleh santri itu sendiri, bisa saja santri menargetkan agar iaselesai dalam waktu satu bulan namun ada juga yang nenargetkan selesai dalam waktu dua sampai tiga bulan kedepan. Selain menggunakan metode bandongan pondok pesantren Al-Falah juga menggunakan metode sorongan. Pengertian metode sorongan yaitu sorongan berasal kata sorog yang berarti bahwa menyodorkan. Metode sorongan berarti bahwa santri menghadap kyai atau ustadz pengajarnya satu persatu dan menyodorkan kitab untuk dibaca dan atau dikaji bersama dengan kyai atau ustadz tersebut. Metode sorogan itu sendiri merupakan kegiatan pembelajaran bagi para santri yang lebih menitik beratkan pada pengembangan kemampuan perseorangan (individual), di bawah bimbingan seorang ustadz atau kyai (Ridlwan Nasir, 2005:20). Dalam metode ini santri bebas mengikuti pelajaran karena tidak biasanya seorang kyai tidak mengabsen santrinya satu persatu. Kyai sendiri mungkin
tidak mengetahui siapa santri-santri yang tidak mengikuti pelajaran terutama jika jumlah mereka puluhan atau ratusan, sehingga seorang kyai tidak sempat untuk mengabsen para santrinya. Namun dalam setiap kegiatan pembelajaran yang menggunakan sistem bandongan tentunya para santri menyadari bahwa pembelajaran yang diterapkan di pondok pesantren sangat penting. Metodologi pengajaran yang dikenal dengan nama sorogan, wetonan, dan khataman semuanya menampilkan liberalisasi dalam proses pembelajaran. Santri bebas untuk mengikuti pengajian atau tidak, dimana pelajaran tidak diatur dalam silabus yang terprogram, melainkan berpegang pada bab-bab yang tercantum didalam kitab-kitab yang diajarkan oleh kyai. Kitab-kitab Islam klasik yang lebih popular dengan sebutan kitab kuning. Kitab-kitab ini ditulis oleh ulama-ulama Islam pada zaman pertengahan. Kepintaran dan kemahiran seorang santri diukur dari kemampuannya membaca, serta mensyarahkan (menjelaskan) isi kitab-kitab tersebut. Untuk tahu membaca sebuah kitab dengan benar, seorang santri dituntut untuk mahir dalam ilmu-ilmu bantu, seperti nahwu Salammusibyan, syaraf, Jurumiah, Mriti dan lain sebagainya (KH.Ghozi Harun, 04-08-2012). Ada beberapa hal yang penting yang perlu diperhatikan dalam mengikuti proses pembelajaran kitab di pesantren, yang menyangkut interaksi antara kyai-santri dan sumber belajar, antara lain sebagai berikut: a. Kyai sebagai seorang guru dipatuhi secara mutlak, dihormati termasuk anggota keluarganya, dan kadang dianggap memiliki kekuatan gaib yang dapat memberikan berkah.
b. Diperoleh tidaknya ilmu itu bukan semata-mata karena ketajaman akal, ketetapan metode mencarinya, dan kesungguhan dalam berusaha, melainkan juga bergantung pada kesucian jiwa, restu, dan berkah dari seorang kyai serta upaya ritual keagamaan seperti puasa, doa, dan riadhah. c. Kitab adalah guru yang paling sabar dan tidak pernah marah. Karena itu, kitab harus dihormati dan dihargai atas jasanya yang telah banyak memambah ilmu pengetahuan kepada para santri. d. Transmisi lisan para kyai adalah penting. Meskipun santri mampu menelaah kitab-kitabnya sendiri, namun hal yang demikian ini belum disebut mengaji Al Qur’an. Dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran kitab-kitab kuning yaitu AlQur’an Hadist, nahwu, shorof, jurumiah, dan mriti yang menggunakan sistem bandongan biasanya dilakukan hal-hal seperti berikut ini: a. Seorang kyai menciptakan komunikasi yang baik dengan santrinya. b. Memperhatikan situasi dan kondisi apakah santrinya sudah siap untuk mengikuti kegiatan pembelajaran apa belum. c. Setelah menyelesaikan pembacaan pada batasan tertentu, seorang kyai atau ustadz memberi kesempatan kepada para santrinya untuk menanyakan hal-hal yang belum jelas atau belum dipahami. Jawaban dilakukan langsung oleh kyai atau ustadz atau memberi kesempatan terlebih dahulu kepada para santri yang lain yang bisa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh teman mereka.
d. Sebagai penutupnya terkadang seorang kyai atau ustadz menyebutkan kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditarik dari kegiatan pembelajaran yang telah berlangsung (Baidlowi, 06-08-2012). Dalam
penerapan
pembelajaran
dengan
menggunakan
metode
bandongan biasanya santri membentuk lingkaran atau membentuk setengah lingkaran, namun kadang juga berjejer lurus dan berbanjar kebelakang menghadap berlawanan arah dengan kyai. Dari berbagai macam bentuk ini yang jelas para santri dalam pengajiannya mengelilingi secara berkerumun dengan duduk bersila menghadap kyai. Pembelajaran terhadap kitab-kitab klasik dipandang penting karena dapat menjadikan santri menguasai dua materi sekaligus. Pertama, bahasa Arab yang merupakan bahasa kitab itu sendiri. Kedua, pemahaman atau penguasaan muatan dari kitab tersebut. Dengan demikian, seorang santri yang telah menyelesaikan pendidikannya di pesantren diharapkan mampu memahami isi kitab secara baik, sekaligus dapat menerapkan bahasa kitab tersebut menjadi bahasa kesehariannya (Armai Arief, 2002: 20). Sistem evaluasi dengan menggunakan metode bandongan yaitu seorang kyai atau ustad menilai terhadap berbagai aspek yang ada pada dalam diri santri, baik aspek pengetahuan terhadap penguasaan materi kitab itu atau perilaku yang mesti ditunjukkan dari pengkajian materi kitab, ataupun ketrampilan tertentu yang diajarkan dalam kitab tersebut (Muhammad Ma’sum, 05-08-2012).
a. Aspek pengetahuan (kognitif) dilakukan dengan menilai kemampuan santri dalam membaca, menterjemahkan dan menjelaskan makna atau isi yang terdapat dalam kitab-kitab kuning. b. Aspek sikap (afektif) dapat dinilai dari sikap dan kepribadian santri dalam kehidupan keseharian dan cara santri tersebut bersosialisasi dengan lingkungan yang ada disekitar mereka. c. Aspek keterampilan (skill) yang dikuasai oleh para santri dapat dilihat melalui praktek kehidupan sehari-hari ataupun dalam bidang fiqh, misalnya dapat dilakukan dengan praktek atau demonstrasi yang dilakukan oleh para santri pada halaqah tersebut. Armai Arief menjelaskan pada umumnya pesantren yang belum mencangkok sistem pendidikan modern belum mengenal sistem penilaian (evaluasi). Kenaikan tingkat cukup ditandai dengan bergantinya kitab yang dipelajari. Santri sendiri yang mengukur dan menilai, apakah ia cukup menguasai bahan yang lalu dan mampu untuk mengikuti pengajian kitab berikutnya. Masa belajar tidak ditentukan sehingga memberikan kelonggaran pada santri untuk meninggalkan pesantren setelah merasa puas terhadap ilmu yang telah diperolehnya dan merasa siap terjun di masyarakat, dan kalau santri belum puas, tidak salah baginya untuk pindah pesantren lain dalam rangka mendalami ilmunya (Armai Arief, 2002: 21). Pada penerapan metode bandongan ada kelebihan dan kekurangan diantaranya adalah :
a. Kekurangan metode bandongan 1) Metode ini dianggap lamban dan tradisional, karena dalam menyampaikan materi sering diulang-ulang. 2) Guru lebih kreatif dari pada siswa karena proses belajarnya berlangsung satu jalur (monolog). 3) Dialog antara guru dan murid tidak banyak terjadi sehingga murid cepat bosan. 4) Metode bandongan ini kurang efektif bagi murid yang pintar karena materi yang disampaikan sering diulang-ulang sehingga terhalang kemajuannya. b. Kelebihan metode bandongan 1) Lebih cepat dan praktis untuk mengajar santri yang jumlahnya sangat banyak. 2) Lebih efektif bagi murid yang telah mengikuti system sorogan secara intensif. 3) Materi yang diajarkan sering diulang-ulang sehinnga memudahkan anak untuk memahami. 4) Sangat efisien dalam mengajarkan ketelitian memahami kalimat yang sulit untuk dipelajari dan dimengerti. Pendidikan tradisional di pesantren salah satunya meliputi pemberian pengajaran dengan struktur, metode, dan literatur tradisional. Pemberian pengajaran tradisional ini dapat berupa pendidikan formal disekolah atau madrasah dengan jenjang pendidikan yang bertingkat-tingkat, maupun pemberian pengajaran dengan sistem pengajaran dalam bentuk pengajian weton dan sorogan. Ciri utama dari pengajian tradisional ini adalah cara pemberian pengajarannya, yang ditekankan pada penangkapan harfiah atas
suatu kitab tertentu. Dalam prakteknya selalu berorientasi pada pemompaan materi tanpa melalui kontrol tujuan yang tegas. Zamakhsyari Dhofier menyebut metode sorogan sebagai cara belajar secara individual antara santri dan kyai, yang kemudian terjadi interaksi saling mengenal di antara keduanya. Metode ini disebut metode sorogan karena santri atau peserta didik menghadap kyai atau ustad pengajarnyaa secara satu persatu dan menyodorkan kitab untuk dibaca dan atau dikaji bersama dengan kyai atau ustadz tersebut. Lebih lanjut Zamakhsyari Dhofier menyebutkan metode sorogan sebagai cara belajar secara individual antara santri dan kyai, yang kemudian terjadi interaksi saling mengenal diantara keduanya. Dan secara spesifik Dhofier menambahkan bahwa metode ini diberikan dalam pengajian kepada santri-santri yang telah menguasai pembacaan Al Qur’an atau sebagai pembelajaran dasar kepada santri-santri baru yang masih membutuhkan bimbingan individual sebelum mengikuti pengajian kitab di pesantren (Zamakhsyari Dhofier, 1994: 21). Sebagai
model
pendidikan
dasar
Zamakhsyari
Dhofier
juga
menambahkan bahwa santri sebagai peserta didik harus mematangkan diri pada tingkat sorogan sebelum dapat mengikuti pendidikan tingkat selanjutnya di pesantren. Hal ini menurut Dhofier, karena hanya santri-santri yang telah menguasai metode sorogan sajalah yang dapat memetik keuntungan dari pelaksanaan metode bandongan dan wetonan. Sebagaimana diketahui, bahwa mayoritas pembelajaran di pesantren adalah menggunakan kitab-kitab berbahasa Arab sebagai referensinya. Dan melalui metode sorogan seorang
santri dapat belajar memahami bahasa Arab lebih mendalam (Zamakhsyari Dhofier, 1994: 22). Walaupun metode sorongan dianggap lebih rumit dalam penerapannya, namun metode sorongan lebih efektif daripada metode-metode pembelajaran yang lain yang digunakan di pondok pesantren. Dengan cara santri menghadap kyai atau ustad secara individual untuk menerima pelajaran secara langsung, sehingga kemampuan santri dapat terkontrol oleh ustadz dan kyai yang mengajarnya. Maka dengan metode ini kyai dan ustad dapat mengawasi, menilai, dan membimbing secara maksimal kemampuan para santrinya dalam menguasai pelajaran, atau sebagai pendidikan dasar di pesantren, untuk menguasai bahasa Arab yang menjadi bahasa kitab. Kelebihan-kelebihan dari metode sorongan adalah: 1) Ada interaksi yang terjadi antara kyai dengan santrinya. 2) Santri sebagai peserta didik lebih dapat dibimbing dan diarahkan dalam pembelajarannya, baik dari segi bahasa maupun pemahaman isi kitab. 3) Dapat dikontrol, dievaluasi dan diketahui perkembangan dan kemampuan diri santri. 4) Ada komunikasi yang efektif antara santri dan pengajarnya. Namun selain ada kelebihan yang dimiliki oleh metode sorongan tetapi juga ada kekurangan dalam menggunakan metode sorongan yaitu tidak tumbuhnya budaya tanya jawab atau dialog dan perdebatan, sehingga timbul budaya anti kritik terhadap kesalahan yang diperbuat oleh pengajar pada saat memberikan keterangan atau jawaban. Dan mungkin inilah yang menyebabkan
sebagian orang atau tenaga pendidik tidak memanfaatkan metode ini sebagai metode pembelajaran yang resmi. Teknik pembelajaran dengan menggunakan metode sorongan
yaitu
pembelajaran atau pengajian dengan metode sorogan biasanya diselenggarakan pada ruang tertentu yang disitu tersedia empat duduk untuk ustadz dan kyai sebagai pengajar, dan didepannya tersedia juga bangku atau meja kecil untuk meletakkan kitab bagi santri yang menghadap. Sementara itu, santri yang lainnya duduk agak menjauh sambil mendengarkan apa yang disampaikan atau melihat peristiwa apa saja yang terjadi pada saat temannya maju menghadap dan menyorogkan kitabnya kepada ustadz atau kyai sebagai bahan perbandingan baginya pada saat gilirannya tiba. Namun secara teknis pembelajaran dengan menggunakan metode sorongan yaitu dengan cara sebagai berikut: 1) Seorang santri yang mendapat giliran menyorongkan kitabnya menghadap langsung secara tatap muka kepada ustad atau kyai yang mengampu pelajaran kitab tersebut. Kemudian kitab yang menjadi media sorogan diletakan diatas meja atau bangku kecil yang ada diantara mereka berdua. 2) Ustad atau kyai tersebut membacakan teks dalam kitab dengan huruf Arab yang dipelajari baik sambil melihat (bin nadhor) maupun secara hafalan (bilghoib), kemudian memberikan arti atau makna kata per kata dengan bahasa yang mudah dipahami dan dimengerti oleh santrinya. 3) Santri dengan tekun mendengarkan apa yang dibacakan ustad atau kyainya dan mencocokannya dengan kitab yang dibawanya. Selain mendengarkan dan menyimak, santri terkadang juga melakukan catatan-catatan seperlunya seperti
mencatat kosakata yang kurang dimengerti dan di terjemahkan dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh mereka sendiri. Maka dengan demikian bahwa penggunaan metode pembelajaran yang diterapkan di pondok pesantren hampir sama dengan metode pembelajaran yang diterapkan di sekolah-sekolah pada umumnya. Penggunaan metode bandongan dan metode sorongan yang diterapka di pondok pesantren AlFalah pada dasarnya kedua metode tersebut sangat efektif diterapkan pada proses kegiatan belajar mengajar. Karena metode Bandongan dan metode sorongan itu sendiri sudah diterapkan sejak pondok pesantren Al-Falah berdiri hingga sekarang kedua metode tersebut masih digunakan (Nurkholis Madjid, 1997: 12). Di pondok pesantren Al-Falah metode bandongan dan metode sorongan juga diterapkan di madrasah diniyyah dan taman pendidikan Al-Qur’an. Madrasah diniyyah dan taman pendidikan Al-Qur’an yang menerapkan sistem bandongan ini sangat efektif bila diterapkan dalam proses kegiatan belajar mengajar karena pada sistem bandongan ini guru menjelaskan dan kemudian santrinya mendengarkan dan mencatat, karena biasanya santri-santri yang ada di madrasah diniyyah ini masih memeprlukan penjelasan dari ustad atau kyai. E. Sistem pendidikan Formal yang ada di pondok pesantren Al-Falah 1. Madrasah Diniyyah Madrasah Diniyyah adalah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran secara klasikal yang bertujuan untuk memberi tambahan pengetahuan agama Islam kepada pelajar-pelajar yang merasa
kurang menerima pelajaran agama Islam di sekolahannya. Seiring perubahan zaman, madrasah diniyyah yang dulunya hanya sebagai pendidikan non formal yang diasuh oleh para kyai dan masyarakat di desa, kini menjadi pendidikan yang formal. Dengan perubahan tersebut berubah pula status kelembagaannya, yang dulunya dari jalur luar sekolah yang dikelola penuh oleh masyarakat menjadi sekolah dibawah pembinaan Departemen Agama. Secara harfiah madrasah diartikan sebagai tempat belajar para pelajar atau tempat untuk memberikan pelajaran. Kata madrasah juga ditemukan dalam bahasa Arab Hebrew atau aramy yang berati membaca dan belajar atau tempat duduk untuk belajar. Dari kedua bahasa tersebut, kata madrasah mempunyai arti yang sama yaitu tempat belajar. jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata madrasah memiliki arti sekolah karena pada mulanya kata sekolah itu sendiri bukan berasal dari bahasa Indonesia, melainkan dari bahasa asing, yaitu school. Sedangkan madrasah diniyyah dilihat dari stuktur bahasa Arab berasal dari dua kata madrasah dan al-din. Kata madrasah dijadikan nama tempat dari asal kata darosa yang berarti belajar. Jadi madrasah mempunyai makna arti belajar, sedangkan al-din dimaknai dengan makna keagamaan. Dari dua stuktur kata yang dijadikan satu tersebut, maka madrasah diniyyah berarti tempat belajar masalah keagamaan, dalam hal ini agama Islam. Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa madrasah diniyyah adalah lembaga pendidikan Islam yang memberi pendidikan dan pengajaran agama Islam untuk memenuhi hasrat masyarakat tentang pendidikan agama Islam.
Dengan meninjau secara pertumbuhan dan banyaknya aktifitas yang diselenggarakan madrasah diniyyah, maka dapat disimpulkan ciri-ciri madrasah diniyyah adalah sebagai berikut: 1) Madrasah diniyyah merupakan pelengkap dari pendidikan formal sekolah umum. 2) Madrasah diniyyah tidak dibagi atas jenjang atau kelas-kelas secara ketat. 3) Madrasah diniyyah dalam materinya bersifat praktis dan khusus. 4) Madrasah diniyyah waktunya relatif singkat, dan para santrinya tidak harus sama. 5) Madrasah diniyyah mempunyai metode pengajaran yang bermacam-macam. Sistem pendidikan madrasah diniyyah yang ada di pondok pesantren AlFalah merupakan pelengkap bagi pondok pesantren tersebut, karena pada dasarnya madrasah diniyyah didirikan oleh KH. Masrur dan KH. Abdul Rozak pada tahun 1980 dan disahkan oleh Departemen Agama pada tahun 1991. Madrasah Diniyyah memiliki tujuan yaitu untuk memenuhi kebutuhan para santrinya tentang pengetahuan agama. Madrasah diniyyah adalah bagian terpadu dari sistem pendidikan nasional yang diselenggarakan pada jalur pendidikan luar sekolah untuk memenuhi hasrat masyarakat tentang pendidikan agama. Madrasah Diniyah termasuk kelompok pendidikan keagamaan jalur luar sekolah yang dilembagakan dan bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menguasai pengetahuan agama Islam, yang di bantu oleh menteri agama.
Sebagai bagian dari pendidikan luar sekolah, Madrasah Diniyyah bertujuan untuk: 1) Melayani para pelajar untuk belajar dan berkembang sedini mungkin dan sepanjang hayatnya guna meningkatkan martabat dan mutu kehidupannya. 2) Membina para pelajar agar memiliki pengetahuan, ketrampilan dan sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah atau melanjutkan ketingkat atau jenjang yang lebih tinggi. 3) Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah umum. Untuk menumbuh kembangkan ciri-ciri madrasah sebagai satuan pendidikan yang bernapaskan Islam, maka tujuan madrasah diniyyah dilengkapi dengan “memberikan bekal kemampuan dasar dan ketrampilan dibidang agama Islam untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi muslim, anggota masyarakat dan warga Negara”. Dalam program pengajarannya ada bebarapa bidang studi yang diajarkan seperti Qur’an Hadits, Aqidah Akhlak, Fiqih, Bahasa Arab, dan Praktek Ibadah. Dalam pelajaran Qur’an-Hadits santri diarahkan kepada pemahaman dan penghayatan santri tentang isi yang terkandung dalam Qur’an dan Hadits. Pada pelajaran aqidah akhlak berfungsi untuk memberikan pengetahuan dan bimbingan kepada santri agar meneladani kepribadian nabi Muhammad SAW, sebagai Rasul dan hamba Allah, meyakini dan menjadikan Rukun Iman sebagai pedoman berhubungan dengan Tuhannya, sesama manusia dengan alam sekitar, Mata pelajaran Fiqih diarahkan untuk mendorong, membimbing,
mengembangkan dan membina santri untuk mengetahui, memahami dan menghayati syariat Islam. Bahasa Arab sangat penting untuk menunjang pemahaman santri terhadap ajaran agama Islam, dan mengembangkan ilmu pengetahuan Islam dan hubungan antar bangsa dengan pendekatan yang komunikatif. Dan praktek ibadah bertujuan melaksanakan ibadah dan syariat agama Islam supaya menjadi pedoman dalam hidupnya. Kurikulum yang ada di Madrasah Diniyyah pada dasarnya bersifat fleksibel dan akomodatif. Oleh karena itu, pengembangannya dapat dilakukan oleh Departemen Agama Pusat Kantor Wilayat atau Depag Propinsi dan Kantor Departemen Agama Kabupaten atau Kotamadya atau oleh pengelola kegiatan
pendidikan
itu
sendiri.
Prinsip
pokoknya
yaitu
untuk
mengembangkan kurikulum tersebut dan tidak menyalahi aturan perundangundangan yang berlaku tentang pendidikan secara umum dan peraturan pemerintah serta keputusan Menteri Agama dan kebijakan lainnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan madrasah diniyyah. Pada dasarnya pendidikan madrasah diniyyah hampir sama dengan pendidikan
formal,
namun
yang
membedakan
adalah
bahwa
mata
pelajarannya lebih kepada ilmu agama Islam yang mendalam seperti pelajaran Qur’an Hadits, Aqidah Akhlak, Fiqih, Ilmu Tajwid, Tauhid, Qiro’ah, Tarih, dan nahwu. Pelaksanaan sekolah madrasah diniyyah di pondok pesantren AlFalah biasanya di laksanakan hari senin sampai hari jum’at dan setiap sabtu malam dilaksanakan pengajian umum yang diikuti oleh masyarakat sekitar pondok pesantren Al-Falah (KH Ghozi Harun,09-08-2012).
2. Taman pendidikan Al Qur’an (TPA) Pada Tahun 1980 Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) mulai diperkenalkan di dalam lingkungan pondok pesantren pada tahun 1980. Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) adalah unit pendidikan non-formal dalam bidang keagamaan yang berbasis komunitas muslim yang menjadikan Al-Qur’an sebagai materi utamanya, dan diselenggararakan dalam suasana yang Indah, Bersih, Rapi, Nyaman, dan Menyenangkan sebagai cerminan nilai simbolis dan filosofis dari kata TAMAN yang dipergunakan. Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) bertujuan menyiapkan terbentuknya generasi Qur’ani, yaitu generasi yang memiliki komitmen terhadap Al-Qur’an sebagai sumber perilaku, pijakan hidup dan rujukan segala urusannya. Hal ini ditandai dengan kecintaan yang mendalam terhadap Al-Qur’an, mampu dan rajin membacanya, terus menerus mempelajari isi kandungannya, dan memiliki kemauan yang kuat untuk mengamalkannya secara ikhlas dalam kehidupan sehari-hari (Ridlwan Nasir, 2005: 165). Pendidikan di Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) lebih menekankan pada dimensi akhlak meskipun tidak pula menampikkan dimensi intelektual. Peserta didik atau santriwan-santriwati Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) akan
mendapatkan
pendampingan
yang
lebih
intensif
dibandingkan
pendidikan formal di sekolah. Hal ini diharapkan dapat menumbuhkan rasa nyaman dalam belajar sehingga materi yang disampaikan lebih mudah dipahami, lebih jauh lagi agar lebih mudah diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sistem pembelajaran ini pun telah diadopsi di sekolah-
sekolah Islam terpadu yang mulai banyak berdiri dan berkembang pendidikan yang berbasis Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA). Pelaksanaan Taman Pendidikan (TPA) di pondok pesantren Al-Falah dilaksanakan setiap senin sore sampai Jum’at sore. Dan kegiatan rutin yang sering dilakukan oleh para santri adalah kegiatan Jum’at sore yang mana kegiatan Jum’at sore adalah kegiatan yang dilakukan di makam sesepuh pondok pesantren Al-Falah. Kegiatan tersebut diantaranya adalah ziarah kubur dan membersihkan makam para sesepuh pondok pesantren. Dalam kegiatan ziarah kubur tersebut pengasuh pondok pesantren memimpin doa dan para santrinya menirukan apa yang dibacakan oleh kyai atau ustad tersebut. Para santri tersebut sangat antusias mengikuti kegiatan jumat sore tersebut, karena kegiatan tersebut adalah kegiatan rutin yang sudah terjadi secara turuntemurun. Pelajaran yang diajarkan di Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) yang ada di pondok pesantren Al-Falah antara lain: Tadarus Al-Qur’an, Ilmu Tajwid, Hafalan Jus Amma, menulis huruf Al-Qur’an, tarih, Tauhid, Doa, Ibadah. Selain itu juga diajarkan tentang materi Qiro’ah, khot atau kaligrafi, dan kedisiplinan atau akhlak. Materi-materi tersebut adalah materi yang penting untuk diajarkan pada santrinya sehingga dapat menjadi bekal nantinya bila sudah keluar dari pondok pesantren. Santri-santri yang mengikuti sekolah Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) biasanya adalah dari panti asuhan arri’ayah yang mana panti asuhan tersebut juga berada dalam lingkup pondok pesantren, yang mana pada masa
didirkan panti asuhan tersebut juga bersamaan dengan didirikannya madrasah diniyyah dan taman pendidikan Al-Qur’an. Tujuan didirikan pondok pesantren Al-Falah adalah bertujuan untuk menciptakan kader-kader penerus bangsa yang berdasarkan ajaran Islam dan ajaran yang ada di pondok pesantren tersebut. Selain berasal dari anak panti asuhan arri’ayah santri dari Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) juga berasal dari masyarakat sekitar pondok pesantren. Dengan revitalisasi, rekonstruksi dan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) akan mampu memberikan sumbangsihnya demi perbaikan karakter generasi masa depan bangsa menuju yang lebih baik. Begitu pula dengan Taman Pendidikan AlQur’an (TPQ) yang ada di pondok pesantren Al-Falah yang tujuannya untuk menciptakan masyarakat atau generasi muda yang lebih Islami (KH. Ghozi Harun, 18-08-2012). F. Sistem Pedidikan Non Formal yang ada di Pondok Pesantren Al-Falah 1. Ketrampilan Menjahit Kegiatan ketrampilan menjahit ini dimulai sejak tahun 2006, yang mana kegiatan menjahit ini diikuti dari berbagai kalangan. Baik santri yang ada di pondok pesantren itu sendiri maupun orang yang ada di sekitar pondok pesantren yang mengikuti kegiatan ketrampilan menjahit. Yang diajarakan pada ketrampilan menjahit dimulai dari pengenalan dari berbagai jenis tusuk, diataranya adalah: tusuk jelujur, tusuk tikam jejak, tusuk tangkai, tusuk rantai,
tusuk flanel, tusuk feston, tusuk silang, tusuk pipih, teknik melekatkan benang dan teknik melekatkan kain perca (Modul Pelajaran). Selain diajarkan tentang jenis-jenis tusuk, kegiatan ketrampilan menjahit juga diajarkan membuat pola dasar dalam membuat baju, membuat pola lengan, membuat pola rok, celana pendek, dan celana panjang, membuat baju kebaya dan membuat baju seragam atau baju kemeja. Dalam mengikuti kegiatan Ketrampilan menjahit para peserta sangat memperhatikan guru yang mengajarkan, sehingga pada saat praktek membuat pola dasar mereka dapat memahami dan menirukan seperti yang di contohkan oleh guru. Kegiatan ketrampilan menjahit ini menjadi tujuan pokok selain tujuan untuk keagamaan. Ketrampilan menjahit ini merupakan titik perubahan yang ada di pondok pesantren Al-Falah yang mana kegiatan ketrampilan menjahit ini menjadi agenda yang ada di pondok pesantren Al-Falah. Pengasuh pondok pesantren Al-Falah memasukkan kegiatan ketrampilan menjahit ini menjadi agenda pelajaran yang pokok, karena kyai ingin mengajarkan bekal untuk hidup para santrinya selain ilmu agama juga ketrampilan yang telah diajarkan selama mereka berada di pondok pesantren. Hasil dari ketrampilan menjahit yang dimiliki oleh para santri ini menjadikan pondok pesantren Al-Falah lebih dikenal masyarakat luar. Dengan pencapaian yang maksimal tersebut menjadikan santri di minta untuk membuatkan seragam sekolah bagi Taman pendidikan Al-Qur’an (TPQ) dari desa lain. Ini merupakan nilai tambah yang dimiliki oleh pondok pesantren Al-Falah, sehingga pondok pesantren Al-Falah
tidak dipandang sebelah mata lagi oleh masyarakat luas ((KH. Ghozi Harun, 18-08-2012). . 2. Ketrampilan Mekanik sepeda motor Ketrampilan mekanik sepeda motor ini juga merupakan ketrampilan yang diterapkan pada pondok pesantren Al-Falah. Kegiatan ketrampilan mekanik motor dimulai dari tahun 2006 yang mana kegiatan ini juga di ikuti dari berbagai kalangan baik dari lingkungan pondok pesantren maupun dari lingkungan luar pondok pesantren. Kegiatan ketrampilan mekanik motor ini diajarkan pada setiap hari jum’at karena pada hari jum’at adalah hari libur pondok sehingga para santri sangat antusias dengan kegiatan yang dilakukan. Pelajaran yang diajarkan adalah pengetahuan umum dan motor bakar, jenis-jenis motor bakar, jenis oli mesin, tindakan pencegahan dalam penanganan minyak rem, cara kerjs mesin, dasar-dasar kontruksi motor bakar, sistem-sistem yang terpenting dalam motor bakar, perletakan dan pergerakan katup. Dalam pembelajaran ketrampilan menjahit ini para santri sangat bersemangat dalam mengikuti pelajaran ketrampilan mekanik motor, terutama para santriwan yang tertarik untuk mempelajari lebih mendalam dunia otomotif (Modul Pelajaran). Ketrampilan ini juga menjadi salah satu tujuan pokok yang diagendakan oleh pondok pesantren Al-Falah karena dengan kegiatan yang dilakukan di luar kegiatan pondok ini akan merangsang pikiran para santri untuk berkembang dan menciptakan sesuatu yang baru. Sehingga dengan keahlian yang mereka miliki tentunya para santri akan siap untuk terjun ke dalam
lingkungan masyarakat. Tujuan utama dalam kegiatan ketrampilan mekanik motor adalah supaya para santri tahu jenis-jenis mesin yang ada di dalam sepeda motor dan para santri tahu bagaimana caranya memperbaiki sepeda motor yang rusak jadi seperti sebelumnya. Maka apabila ada salah satu wali siswa yang motornya rusak di harapkan anak didik pondak tahu bagaimana cara memperbaikinya ((KH. Ghozi Harun, 18-08-2012). . 3. Panti Asuhan Panti Asuhan Arri’ayah ini pertama kali didirikan oleh KH. Masrur pada tahun1980, KH Masrur mendirikan panti asuhan ini diharapkan anak-anak yang tidak memiliki orang tua tetapi mereka tetap memahami ajaran agama Islam. Panti asuhan ini berdiri di lingkungan pondok pesantren Al-Falah dan berada di yayasan Al-Falah. Keberadaan panti asuhan sebagai lembaga sosial yang bergerak dalam bidang sosial dan pendidikan, terutama agama Islam, dalam perannya juga ikut mencerdaskan kehidupan bangsa yang telah diakui oleh masyarakat. Panti asuhan Arri’ayah ini sangat mendapat dukungan dari masyarakat, bahkan dari para ulama-ulama luar sangat mendukung dengan sistem panti asuhan tersebut. Panti asuhan ini selain bergerak dalam bidnag sosial juga sebagai pusat pendidikan agama yang didukung oleh lembaga pendidikan formal yang dekat dan terjangkau. Baik dari tingkat Sekolah Dasar (MI Miftahul Najihin Kauman Lor), MTs Tarqiyatul Himmah Kauman Lor. Panti asuhan arri’ayah juga memilik tujuan yaitu terbentuknya anak yang sholeh, berdedikasi dan memiliki ketrampilan serta dapat bermanfaat bagi
masyarakat sekitar pondok pesantren. Selain itu tujuan didirkan panti asuhan oleh KH Masrur yaitu ingin menampung anak untuk dididik dan di bekali ilmu agama dan akhlak. Anak-anak panti asuhan ini juga diajarkan ketrampilan tangan dan diajarkan ilmu agama Islam. Diharapkan nanti apabila anak-anak tersebut sudah dewasa dan terjun ke dalam lingkungan masyarakat mereka dapat berfungsi bagi masyarakat luas bukannya hanya bagi masyarakat Kauman Lor saja tetapi berguna bagi masyarakat luas (Umi Shobihah, 09-082012). Sistem pendidikan yang digunakan dalam pondok pesantren sangat bermanfaat bagi para santriwan dan santriwati. Dengan metode pembelajaran bandongan dan sorongan ini maka dapat mencetak para santri-santri yang berkualitas baik dari segi ilmu agamanya maupun dari segi ilmu ketrampilan tangan yang diajarkan selama belajar di pondok pesantren dan akan menjadi bekal untuk para santri apabila sudah terjun kedalam masyarakat. Dengan sistem pendidikan yang diterapkan oleh pondok pesantren Al-Falah yang dimulai dari berdirinya Madrasah Diniyyah, Taman Pendidikan Al-Qur’an dan Panti Asuhan, selanjutnya pondok pesantren Al-Falah menerapkan sistem pendidikan non-formal yang mana kegiatan tersebut mulai diperkenalkan pada tahun 2010.