11
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Keraton Yogyakarta menginginkan seluruh tanah Sultan Ground dapat berstatus hak milik, yang diatur dalam sebuah undang-undang sehingga akan lebih memiliki kepastian hukum formal. Sampai saat ini, status tanah Sultan Ground dinilai tidak pasti. SG merupakan tanah adat dimana tanah tersebut peninggalan leluhur yang dimiliki lembaga Kraton. Sedangkan menurut Hamengkubuwono X (2007) yang disebut Sultan Ground (SG) adalah tanah-tanah raja dan keluarga Keraton, situs, magersari1 dan tanah kosong serta garapan kosong. Tanah SG adalah tanah yang bukan milik perseorangan atau desa. Sampai sekarang masih ada tanah-tanah milik Keraton yang dikuasai oleh PT Kereta Api Indonesia, yaitu tanah yang dipinjam negara dan swasta, yakni perusahaan kereta api Belanda selama 50 tahun, yang kemudian dikelola PT Kereta Api Indonesia. Pengageng Kawedanan Ageng Wahono Sarto Kriyo Keraton Yogyakarta KGPH Hadiwinoto menjelaskan tentang Sultan Ground (SG) di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, mengungkapkan pengaturan status SG menjadi hak milik diserahkan kepada pemerintah pusat. Namun, menurut dia,
1
Tanah Kraton yang digarap oleh masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta
12
akan lebih baik jika hal tersebut ikut dimasukkan dalam RUU Keistimewaan DIY2. Pakar hukum agraria dari Fakultas Hukum UGM mengungkapkan, status tanah Keraton sebaiknya diatur secara jelas3. Dalam hukum pertanahan nasional, tanah Keraton, baik SG, tidak diatur secara pasti dan tegas. Pemerintah sampai saat ini bersikap mendua tentang SG. Secara yuridis formal, berdasarkan UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA), SG dianggap tidak ada. Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari Swapraja atau bekas Swapraja yang masih ada, pada waktu mulai berlakunya Undangundang ini hapus dan beralih kepada Negara4. Kalau melihat diktum itu, berarti tanah Keraton beralih kepada negara atau menjadi tanah Negara. Meski demikian, SG memang secara nyata ada dan diakui pemerintah. Ini terlihat saat pemerintah membutuhkan tanah untuk keperluan negara, maka pemerintah selalu memohon izin kepada Keraton. Kalau itu tanah negara, kenapa harus minta izin Keraton. Ini kan berarti mendua. Kejelasan status SG agar diakui secara yuridis formal, ada tiga opsi yang bisa dipilih Keraton. Pertama adalah status hak milik. Pilihan ini paling cocok karena hubungan Keraton dengan SG memang adalah hak pribadi sesuai dengan isi Perjanjian Giyanti. Selain itu, sudah ada pengakuan dari masyarakat. 2
Kompas, tanggal 29 Mei 2007 Maria Soemardjono (2007), dalam www.tanahkoe.tripod.com 4 Diktum keempat UUPA huruf A 3
13
Pilihan kedua adalah hak pengelolaan. Namun, Maria mengingatkan agar Keraton tidak memilih status hak pengelolaan. Ini karena hak pengelolaan adalah aturan yang salah kaprah. Hak pengelolaan tidak diatur dalam UUPA. Hak pengelolaan juga berarti tanah itu berstatus milik negara. Pilihan ketiga adalah hak ulayat. Meskipun hak ulayat diatur dalam UUPA, pihak Keraton tidak memilih status hak ulayat sebab melalui hak ulayat Keraton hanya bisa memberikan tanah dalam jangka waktu tertentu kepada pihak lain atau tidak bisa selamanya. Ini berarti Keraton tidak mempunyai hak untuk memberikan tanahnya kepada rakyat sebagai hak milik. Disamping itu, pernyataan Sri Sultan HB X tentang Sultan Ground (SG) sungguh mengagetkan. Tanah tersebut selama ini tidak memiliki alas hak yang kuat, tak ada sertifikatnya. Karena itu Sultan meminta kepada pemerintah pusat untuk memberi kepastian hukum atas tanah tersebut dan mengusulkan agar status SG dimasukkan dalam RUU Keistimewaan5. Tanah Sultan atau Sultan Ground banyak tersebar di Bantul. Luasnya mencapai ribuan hektar. Kebanyakan digunakan untuk tempat tinggal dengan status magersari. Tanah-tanah itu tidak memiliki sertifikat, melainkan surat kekancingan6 yang dikeluarkan Kraton. Tentu dengan konsekuensi siap pindah apabila tanah yang ditempati diminta Kraton. Selama ini, meski menempati tanah SG. Kecuali mereka yang telah memiliki surat kekancingan, tiap tahun harus membayar pajak ke Kraton.
5
Kedaulatan Rakyat, Tanggal 25 September 2007 Surat kuasa yang dikeluarkan oleh Kraton kepada masyarakat Daerah Yogyakarta untuk menggunakan tanah Kraton. 6
14
Di wilayah Bantul banyak tanah SG, baik di Pantai Selatan maupun di daerah pegunungan. Salah satunya di Kecamatan Imogiri. Hamparan luas daerah pegunungan merupakan SG yang dimanfaatkan warga maupun untuk kepentingan umum. Seperti di Desa Selopamioro Imogiri, terdapat tak kurang 500 hektar SG. Selain dimanfaatkan untuk pertanian dan penghijauan, sebagian tanah SG juga digunakan untuk lokasi Sekolah Polisi Negara (SPN) yang luasnya 26 hektar. Ada lagi yang digunakan untuk bangunan sekolah, pemakaman dan Masjid. Hingga kini belum ada pendataan resmi berapa luas SG sebenarnya, meski selama ini pengelolaannya dilakukan oleh desa. Kendati demikian tak ada pajak yang harus dibayar atau menarik retribusi dari pengguna SG. Artinya, tanah itu bisa dimanfaatkan oleh masyarakat maupun instansi dengan izin desa. Namun statusnya hanya hak pakai atau menumpang. Sehingga jika sewaktu-waktu akan digunakan oleh pihak Kraton, tentunya tak perlu ada tarik ulur. Selain tak ditarik retribusi atau sewa, pihak desa sebagai pengelola SG juga tidak memberikan kontribusi kepada Kraton. Tak ada pasok glondhong pengarem-arem7 dari desa untuk Kraton. SG, selain bermanfaat bagi pertanian dan penghijauan, juga memberi kontribusi bagi masyarakat. Sebab bisa ditanami aneka jenis pohon seperti jati, mahoni dan sebagainya. Sedangkan untuk kepentingan SPN, berakses positif bagi masyarakat di wilayahnya.
7
Uang yang diberikan oleh masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta kepada Kraton sebagai ungkapan rasa terima kasih sudah menggunakan tanah Kraton.
15
Setidaknya akses jalan baru yang dibangun menuju lokasi SPN memberi kemudahan masyarakat menuju jalan raya. Di Desa Karangtengah Imogiri, luas SG mencapai 58,5 hektar yang semuanya dimanfaatkan atas perintah Ngarsa Dalem. Pemanfaatannya untuk lokasi transmigrasi lokal seluas 25 hektar termasuk tanah garapan (pertanian), untuk agro wisata sutra alam 15 hektar, penanaman tanaman langka 2 hektar dan sisanya untuk pertanian masyarakat sekitar8. Selain untuk rumah, jatah petak SG di translok juga digunakan untuk pekarangan dengan aneka tanaman sayur mayur. Masyarakat merasa beruntung menempati SG, karena tidak ada pungutan atau pajak tiap tahunnya sehingga masyarakat merasa tenang. Rumah itu akan ditempati selamanya, bahkan secara turun temurun kepada anak cucu. Kesadaran untuk mengurus kekancingan ini muncul pasca gempa bumi ketika pemerintah akan membagikan bantuan rehabilitasi dan rekonstruksi bagi rumah rusak berat, karena salah satu syaratnya adalah harus ada kejelasan mengenai alas hak tanah. Warga secara kolektif mengajukan ke Kraton dengan disertai surat permohonan, C1, KTP dan gambar lokasi. Namun hingga sekarang belum ada kejelasan kapan kekancingan akan diberikan.
B. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
8
Dokumentasi Dinas Pertanahan DIY, 2007
16
1. Bagaimana status hukum Sultan Ground (SG) yang dipakai masyarakat Bantul berdasarkan UUPA? 2. Bagimana prosedur memperoleh hak pakai Sultan Ground (SG) di Bantul?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui status hukum Sultan Ground (SG) yang dipakai masyarakat Yogyakarta berdasarkan UUPA. 2. Untuk mengetahui prosedur memperoleh hak pakai Sultan Ground (SG).
D. Manfaat Penelitian Manfaat dalam penelitian ini adalah: 1.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi bagi pembaca untuk mengetahui hak dan kewajiban penghuni Sultan Ground (SG).
2.
Dengan diketahuinya prosedur memperoleh hak pakai Sultan Ground (SG), maka dikemudian hari masyarakat dapat mengajukan kepada Keraton untuk menggunakan (hak pakai) tanah kraton.
E. Metode Penelitian 1.
Teknik dan Alat Pengumpul Data a. Studi Kepustakaan 1) Bahan Hukum Primer
17
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yaitu UU No 5 Tahun 1960 dan peraturan-peraturan terkait. 2) Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, misalnya buku – buku ilmu pengetahuan, hasil penelitian hukum, hasil karya ilmiah. 3) Bahan Hukum Tersier Bahan hukum ini memberikan petunjuk dan penjelas bagi bahan
hukum
primer
(sekunder),
berupa
kamus
dan
ensiklopedia. b. Studi Lapangan Studi lapangan ini digunakan untuk memperoleh informasi dan data-data yang terkait dan relevan dengan subyek penelitian.
2.
Analisis Data Data yang penulis dapatkan baik hasil penelitian kepustakaan maupun studi lapangan, kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode yuridis kualitatif yaitu menjelaskan atau menerangkan segala sesuatu yang diperoleh dari teori maupun hasil penelitian kepustakaan sehingga dapat ditemukan kebenaran yang konkrit dan jelas secara ilmiah.