BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tahapan Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap yang dirancang untuk menghasilkan model keunggulan bersaing berbasis penciptaan pengetahuan koperasi susu. Ketiga tahap tersebut dimaksudkan untuk: (1) memperoleh model kontribusi aset-aset pengetahuan (2) memperoleh model penciptaan pengetahuan dan mengidentifikasi struktur model penciptaan pengetahuan pada Koperasi Susu (3) mengembangkan Sistem Pakar Knowledge Management Scorecard (KM-Scorecard). Penelitian ini diawali dengan pengumpulan data melalui survei responden. Data dianalisis menggunakan metode analisis korelasi kanonikal untuk menghasilkan model kontribusi aset-aset pengetahuan terhadap proses konversi pengetahuan pada Koperasi Susu di Indonesia. Hasil yang diperoleh dari analisis tahap pertama, diintegrasikan dengan data dari survei responden pada tahap selanjutnya. Pada tahap kedua ini dilakukan analisis Structural Equation Modeling (SEM) untuk menghasilkan model penciptaan pengetahuan pada koperasi susu. Tahap kedua ini juga menghasilkan parameter-parameter yang telah teruji untuk tahap berikutnya. Pada tahap ketiga dilakukan pengembangan model sistem pakar Knowledge Management Scorecard (KM-Scorecard) menggunakan program Matlab. Sistem Pakar ini dimaksudkan untuk mendiagnosis kinerja penerapan Manajemen Pengetahuan dalam upaya mendorong terjadinya inovasi pada Koperasi Susu di Indonesia. Diagram alir tahap penelitian ditampilkan pada Gambar 7.
44 Mulai
Survei Responden Korelasi Kanonikal
Analisis hubungan aset pengetahuan dan penciptaan pengetahuan pada koperasi susu
Model Kontribusi Aset Pengetahuan terhadap Koversi Pengetahuan Koperasi Susu
Survei Responden Structural Equation Model (SEM)
Analisis model hubungan antar variabel penciptaan pengetahuan pada koperasi susu
Model Penciptaan Pengetahuan pada Koperasi Susu
Akuisisi Pengetahuan Pakar
Pemodelan Sistem Pakar Knowledge Management Scorecard Koperasi Susu
Model KM-Scorecard Koperasi Susu
Pendapat Pakar
Validasi Pemodelan Sistem Pakar KMScorecard Koperasi Susu
Tidak Sesuai? Ya Rekomendasi dan Implementasi Kebijakan
Selesai
Gambar 7 Diagram Alir Tahap Penelitian
45 3.2 Metode Pengumpulan Data Data yang akan dikumpulkan terdiri atas kelompok data primer dan data sekunder. Data primer berupa data dan informasi pendapat peternak, karyawan koperasi dan pengurus koperasi terkait variabel-variabel penciptaan pengetahuan. Data primer juga berupa pengetahuan pakar terkait dengan desain pengukuran kinerja pengetahuan pada koperasi yang diperoleh dari para pakar. Data sekunder berupa jumlah dan produksi sapi perah, jumlah peternak dan skala usahanya, kapasitas koperasi persusuan dan lembaga penelitian dan instansi terkait dengan subyek penelitian. Pada penelitian ini, populasi yang diteliti adalah kelompok koperasi persusuan yang tergabung dalam Gabungan Koperasi Susu di Indonesia (GKSI) yang bertindak sebagi pemasok susu segar atau susu pasteurisasi bagi IPS. Saat ini terdapat 192 koperasi yang menjadi anggota GKSI yang terkonsentrasi di pulau Jawa dengan rincian Jawa Barat dan DKI Jakarta berjumlah 96 koperasi, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta berjumlah 34 koperasi dan Jawa Timur berjumlah 38 koperasi (GKSI 2005). Pengumpulan data dilakukan dengan metode studi literatur dan survei lapang. Contoh untuk survei lapang dalam penelitian ini dipilih secara sengaja (purposive) dengan mempertimbangkan lama berdiri koperasi, kapasitas produksi, jumlah anggota dan kesediaan koperasi menjadi tempat penelitian. Penelitian telah dilaksanakan pada 3 koperasi, yaitu Koperasi Susu Sinau Andandani Ekonomi (SAE) Pujon-Malang, Koperasi Susu Bogor di Bogor dan Koperasi Susu Sukamulya Kediri. Dari masing-masing koperasi ditentukan responden peternak secara acak terstratifikasi (stratified random sampling) berdasarkan skala usaha dengan indikator jumlah kepemilikan sapi laktasi. Hal ini dimaksudkan agar komponen komponen yang terlibat dalam koperasi susu terwakili pendapatnya (Singarimbun & Effendi 1995). Data yang diambil pada penelitian ini berjumlah 105 responden. Hal ini sesuai dengan saran Hair et al. (1998). Pengumpulan data primer berupa pendapat peternak, karyawan koperasi dan pengurus koperasi dilakukan di tiga koperasi primer yang merupakan anggota Gabungan Koperasi Susu di Indonesia (GKSI), dilakukan pada pertengahan Oktober 2006 sampai dengan akhir bulan Mei 2007.
46 Pengumpulan data primer berupa pendapat pakar dilakukan pada bulan April sampai dengan bulan Juni 2009. Pakar yang diwawancari meliputi para ketua koperasi, anggota koperasi yang unit usaha sapi perahnya telah berbadan hukum dan ilmuwan. 3.3 Metode Analisis Data Data hasil survei lapang dan survei pakar diolah sesuai dengan rancangan metode analisis yang telah direncanakan. Metode analisis data dalam penelitian ini adalah: 1. Metode analisis korelasi kanonikal untuk menganalisis kontribusi aset-aset pengetahuan dalam proses konversi pengetahuan organisasi yang mendorong inovasi pada Koperasi Susu di Indonesia. 2. Metode analisis Structural Equation Modeling (SEM) untuk menganalisis hubungan antar variabel penciptaan pengetahuan pada koperasi susu sebagai model konfirmatori. 3. Sistem Pakar untuk mengembangkan Sistem Knowledge Management Scorecard (KM-Scorecard) yang mendorong terjadinya inovasi pada Koperasi Susu di Indonesia. 3.4 Korelasi Kanonikal Analisis korelasi kanonikal merupakan model statistika multivariat yang memungkinkan identifikasi dan kuantifikasi hubungan antara dua himpunan variabel (Hair et al.,1998). Karena titik perhatian analisis ini adalah korelasi (hubungan) maka kedua himpunan tidak perlu dibedakan menjadi kelompok variabel tidak bebas dan variabel bebas. Pemberian label Y dan X kepada kedua variat kanonikal hanya untuk membedakan kedua himpunan variabel. Fokus analisis korelasi kanonikal terletak pada korelasi antara kombinasi linier satu set variabel dengan kombinasi linier set variabel yang lain. Langkah pertama adalah mencari kombinasi linier yang memiliki korelasi terbesar. Selanjutnya, akan dicari pasangan kombinasi linier dengan nilai korelasi terbesar di antara semua pasangan lain yang tidak berkorelasi. Proses terjadi secara berulang, hingga korelasi maksimum teridentifikasi. Pasangan kombinasi linier disebut sebagai variat kanonikal sedangkan hubungan di antara pasangan tersebut disebut korelasi kanonikal.
47 Jenis data dalam variat kanonikal yang digunakan dalam analisis korelasi kanonikal dapat bersifat metrik maupun nonmetrik. Bentuk umum fungsi kanonikal adalah sebagai berikut: Y1 + Y2 + Y3 . . . Yq = X1 + X2 + X3 . . . Xp (metrik, nonmetrik)
(metrik, nonmetrik)
Secara umum, jika terdapat sejumlah p variabel bebas X1, X2, . . . , Xp dan q variabel tidak bebas Y1, Y2, . . . ,Yq maka banyak pasangan variat adalah minimum p dan q. Jadi hubungan linier mungkin yang terbentuk adalah: U1 = a11 X1 + a12 X2 + . . . a1p Xp U2 = a21 X1 + a22 X2 + . . . a2p Xp . . Ur = ar1 X1 + ar2 X2 + . . . arp Xp dan V1 = b11 Y1 + b12 Y2 + . . . b1q Yq V2 = b21 Y1 + b22 Y2 + . . . b2q Yq . . Vr = br1 Y1 + br2 Y2 + . . . brq Yq. di mana r adalah nilai minimum p dan q. Hubungan ini dipilih sedemikian sehingga korelasi antara U1 dan V1 menjadi korelasi maksimum; korelasi U2 dan V2 juga maksimum di antara variabel-variabel yang tidak berhubungan dengan U1 dan V1; korelasi U1, V1, U2, dan V2, dan seterusnya. Setiap pasang variabel kanonikal (U1, V1), (U2, V2), . . . , (Ur, Vr) merepresentasikan ‘dimensi’ bebas dalam hubungan antara dua himpunan variabel (X1, X2, . . . , Xp) dan (Y1, Y2, . . . ,Yq). Pasangan pertama (U1, V1) mempunyai korelasi tertinggi karenanya merupakan korelasi penting; pasangan kedua (U2, V2) mempunyai korelasi tertinggi kedua karenanya menjadi korelasi terpenting kedua; dan seterusnya. Prosedur korelasi kanonikal mencakup 6 langkah yang bersifat sekuensial yaitu: (1) penetapan set variabel tak bebas dan variabel bebas serta relasinya sesuai dengan perumusan masalah penelitian, (2) penetapan jumlah observasi dan jumlah sampel, (3) pemenuhan asumsi korelasi linier dan normalitas multivariat, (4) estimasi fungsi kanonikal dan seleksi, (5) interpretasi fungsi kanonikal dan variabel-variabel dan (6) validasi hasil. Tahap analisis kanonikal ditampilkan pada Gambar 8.
48
Masalah Penelitian Tentukan Tujuan: o o
Menentukan hubungan antar variabel Memperoleh korelasi maksimal Menjelaskan asal hubungan antar variabel
o Menspesifikasikan variabel dependen Menspesifikasikan variabel independen
Masalah Desain Penelitian Jumlah observasi per variabel Keseluruhan ukuran sampel
Asumsi-asumsi Korelasi linier Hubungan linier Kenormalan ragam
Pemilihan dan Estimasi Fungsi Kanonikal Menurunkan fungsi kanonikal Memilih fungsi untuk interpretasi Signifikansi secara statistik Besaran hubungan
Interpretasi Variabel dan Fungsi Kanonikal Berat kanonikal Bobot kanonikal Bobot silang kanonikal
Validasi Hasil Sampel berganda Analisis Sensitivitas Komposisi Ragam
Gambar 8 Tahap Analisis Korelasi Kanonikal
49 3.5 Structural Equation Modeling Structural Equation Modeling (SEM) atau Model Persamaan Struktural merupakan model yang memiliki berbagai nama, diantaranya adalah analisis struktur kovarian (covariance structure analysis), analisis variabel laten (latent variable analysis), analisis faktor konfirmatori (confirmatory factor analysis), dan sering juga disebut sebagai analisis LISREL (Linear Structural Relationship) yang juga merupakan salah satu software statistik yang banyak digunakan untuk mengolah data menjadi model SEM. Dihasilkan dari sebuah evolusi dari multiequation modeling yang dikembangkan dengan prinsip ekonometrik dan digabungkan dengan prinsip-prinsip pengukuran dalam psikologi dan sosiologi, SEM telah dimunculkan sebagai sebuah alat integral antara manajerial dan riset akademis, yang mungkin diharapkan menjadi sebuah teknik yang dapat digunakan dengan jangkauan yang luas dan diterapkan pada berbagai macam aplikasi (Hair et al. 1998). Lebih lanjut dijelaskan bahwa SEM merupakan metode analisis data untuk melihat pengaruh hubungan sebab akibat antara variabel bebas dengan variabel terikat dalam rangka mencari penjelasan dari korelasi yang teramati dengan membuat hubungan sebab akibat antar variabel. Formulasi SEM dalam bentuk persamaan adalah sebagai berikut: Y1 = X11 + X12 + X13 + . . . + X1n Y2 = X21 + X22 + X23 + . . . + X2n Y3 = X31 + X32 + X33 + . . . + X3n . . . Ym = Xm1 + Xm2 + Xm3 + . . . + Xmn (metrik) (metrik, non metrik) Lebih lanjut dijelaskan bahwa SEM ini telah digunakan di berbagai bidang studi, antara lain bidang manajemen, perilaku organisasi, pendidikan, pemasaran, psikologi, sosiologi, kesehatan, demografi, biologi dan bahkan genetika. Ada dua hal alasan ketertarikan penggunaan penggunaan SEM dalam berbagai bidang tersebut, yaitu: 1. Memberikan metode yang mudah dipahami berkenaan dengan hubungan berganda secara simultan sambil memberikan efisiensi secara statistik.
50 2. Kemampuannya untuk mengakses hubungan secara komprehensif dan memberikan transisi dari analisis eksplanatori ke analisis konfirmatori. Transisi ini sesuai dengan semakin besarnya upaya dalam semua bidang studi menuju pengembangan ke suatu pandangan yang sistematis dan holistik terhadap pemecahan masalah. Upaya demikian ini memerlukan kemampuan menguji suatu seri hubungan yang terdiri atas suatu model berskala besar, melibatkan puluhan bahkan ratusan variabel dengan puluhan persamaan, suatu set prinsip mendasar atau teori secara keseluruhan. Teknik SEM dapat dibedakan berdasarkan dua karakteristik, yaitu: (1) estimasi hubungan dependensi berganda dan saling terkait dan (2) kemampuan untuk menggambarkan konsep tak teramati dalam hubungan-hubungan tersebut dan memperhitungkan pengukuran kesalahan dalam proses estimasi (Hair et al. 1998). Teknik SEM memiliki tiga karakteristik, yaitu: (1) melakukan estimasi untuk serangkaian persamaan regresi berganda yang terpisah tetapi saling bergantung, (2) merepresentasikan keterhubungan konsep-konsep tidak teramati (unobserved concept) dan mengkoreksi kesalahan pengukuran (measurement error) dalam proses estimasi tersebut, dan (3) mendefinisikan keterkaitan sejumlah variabel dalam sebuah model tunggal (Hair et al. 2006). Dengan menggunakan SEM, peneliti dapat mendefinisikan variabel dependen dalam suatu persamaan dapat menjadi variabel independen dalam persamaan lain. Di samping itu, SEM juga memiliki kemampuan untuk memasukkan variabel laten ke dalam analisis. Variabel laten adalah konsep yang dihipotesiskan dan tidak teramati, yang hanya dapat diestimasikan oleh variabel yang teramati dan terukur. Variabel teramati yang diperoleh dari responden disebut sebagai variabel manifes atau variabel indikator. Terdapat tiga alternatif strategi pengembangan model yang disarankan oleh Hair et al. (2006), yaitu: 1) Confirmatory modeling strategy, yaitu strategi pemodelan yang bertujuan menguji tingkat signifikansi model tunggal. Jika model yang diusulkan dapat diterima atau sesuai dengan kriteria tertentu, peneliti tidak melakukan
51 pembuktian model yang diusulkan tersebut, melainkan hanya mengkonfirmasi sebagai salah satu model dari beberapa model dapat diterima. 2) Competing model strategy, yaitu strategi pemodelan yang bertujuan mengevaluasi beberapa model alternatif yang diusulkan peneliti berdasarkan kajian teoritis yang telah dilakukan. Masing-masing model alternatif merepresentasikan hipotesis hubungan struktural yang
cukup berbeda.
Selanjutnya, masing-masing model diidentifikasi berdasarkan uji-uji yang ditentukan dan dievaluasi sesuai dengan kerangka konseptual yang dibangun. 3) Model development strategy, yaitu strategi pemodelan yang bertujuan untuk memperbaiki suatu model dasar melalui modifikasi model pengukuran atau model struktural atau kedua-duanya yang diistilahkan sebagai respesifikasi model. Pengembangan model SEM dengan menggunakan strategi ini, teori diposisikan sebagai titik awal untuk pengembangan model yang memiliki justifikasi secara teoritis dan didukung data empirik. Tahapan penting yang dilakukan dalam mengembangkan SEM menurut Hair et al. (2006), meliputi: (1)
mendefinisikan konstruk-konstruk secara
individual, (2) mengembangkan keseluruhan model pengukuran, (3) mendesain penelitian untuk memperoleh hasil secara empiris (4) melakukan validasi model pengukuran, (5) melakukan spesifikasi model struktural, (6) melakukan validasi model pengukuran. Tahap pertama, yaitu mendefinisikan konstruk-konstruk individual yang terlibat dalam model yang dikembangkan berdasarkan teori-teori yang dipilih. Konstruk/variabel laten merupakan konsep yang memiliki pijakan teoritis yang cukup untuk menjelaskan berbagai bentuk hubungan. Konstruk/variabel laten dalam SEM dikelompokkan menjadi dua, yaitu konstruk eksogen dan konstruk endogen. Konstruk eksogen memiliki kedudukan seperti variabel independen dalam persamaan regresi. Konstruk/variabel eksogen digunakan untuk memprediksi satu atau beberapa konstruk/variabel lain namun tidak diprediksi oleh konstruk/variabel lain dalam model. Kontruk/variabel endogen
adalah
konstruk
yang
diprediksi
oleh
satu
atau
beberapa
konstruk/variabel lain. Kontruk endogen dapat memprediksi satu atau beberapa konstruk endogen lainnya. Tahap ini, peneliti juga menetapkan operasionalisasi
52 konstruk dengan memilih skala pengukuran yang digunakan untuk masing-masing konstruk tersebut. Tahap kedua, yaitu mengembangkan dan menspesifikasi model pengukuran. Pada tahap ini, peneliti mengidentifikasi setiap konstruk/ variabel laten yang tergabung dalam model dan menentukan variabel-variabel indikator dari masingmasing konstruk tersebut. Variabel-variabel indikator inilah yang nantinya akan menghubungkan variabel-variabel laten dengan data lapangan. Pada dasarnya model pengukuran memuat informasi mengenai operasionalisasi variabel-variabel teoritis. Model pengukuran terdiri atas dua macam persamaan, yaitu persamaan variabel laten eksogen dan persamaan variabel laten endogen yang dinotasikan sebagai berikut: Yn = y + n Xn = x + n Di mana:
Yn = indikator ke-n dari variabel laten endogen
y n
= koefisien model pengukuran konstruk y = peubah laten endogen = kesalahan pengukuran untuk y
Xn = indikator ke-n dari variabel laten eksogen
x
= koefisien model pengukuran konstruk x
n
= kesalahan pengukuran untuk x
= peubah laten eksogen
Tahap ketiga, yaitu merancang penelitian untuk memperoleh hasil secara empiris. Dengan basis model yang spesifik, peneliti harus menentukan beberapa hal yang terkait dengan rancangan penelitian, antaral lain: tipe data yang dianalisis, pengaruh missing data dan ukuran contoh yang diambil. Tahap keempat, yaitu validasi model pengukuran. Validasi model dilakukan dengan beberapa kriteria Good-of-fit (GOF) yang mengindikasikan derajat kesesuaian antara model yang dihipotesiskan dan data yang diperoleh. Secara umum, GOF dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: 1) Absolute fit measures (kecocokan absolut), yang hanya mengkaji model secara keseluruhan (model struktural dan model pengukuran secara bersama-sama), tanpa penyesuaian derajat ‘overfitting’ yang mungkin
53 terjadi. Kriteria yang dapat digunakan adalah nilai: chi-square (x2) = diharapkan kecil atau signifikansi (p) > 0,05, degree of freedom (DF) = diharapkan kecil, Goodness of Fit Index (GFI) = semakin besar semakin baik/tidak ada batasan nilai, Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) < 0.08, Root Mean Square Residual (RMSR) = tidak ada batasan nilai. 2) Incremental fit measures (kecocokan inkremental), yang membandingkan model yang diusulkan dengan model lain yang ditetapkan peneliti. Kriteria yang dapat digunakan adalah nilai: Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) direkomendasikan ≥ 0,90, Normed Fit Index (NFI) semakin tinggi semakin baik/direkomendasikan
≥
0,90,
Non-Normed
Fit
Index
(NNFI)
direkomendasikan ≥ 0,90, Comparative Fit Index (CFI) = semakin tinggi semakin baik, Incremental Fit Index (IFI) = semakin tinggi semakin baik, Relative Fit Index (RFI) = semakin tinggi semakin baik. 3) Parsimonious fit measures (kecocokan parsimoni), yang menyesuaikan ukuran kecocokan untuk menghasilkan perbandingan antarmodel dengan membedakan jumlah koefisien yang diperhitungkan, yang bertujuan untuk menentukan jumlah kecocokan yang diperoleh masing-masing koefisien yang diperhitungkan. Kriteria yang dapat digunakan adalah nilai: Parsimonious Normed Fit Index (PNFI) = semakin tinggi semakin baik, dan
Parsimonious Goodness of Fit Index (PGFI) = semakin tinggi
semakin baik. Dalam SEM, tidak satupun pengukuran yang bersifat mutlak. Pada akhirnya peneliti yang memutuskan apakah pengukuran dapat diterima. Evaluasi model yang diusulkan perlu dilakukan terhadap sejumlah pengukuran dari setiap kelompok. Tahap kelima, yaitu menspesifikasi model struktural. Spesifikasi model struktural dilakukan dengan menentukan hubungan antara satu konstruk dengan konstruk lainnya berdasarkan teori-teori yang sudah dikembangkan cukup mapan atau teori baru yang dikembangkan sendiri oleh peneliti, yang pembuktiannya memerlukan pengujian empirik. Pengujian empirik menggunakan teknik SEM, tidak untuk membentuk sebuah teori kausalitas, tetapi digunakan untuk menguji
54 kausalitas yang sudah ada teorinya. Pada tahap ini, hipotesis untuk masing-masing hubungan antar konstruk ditentukan. Tahap keenam, yaitu validasi model struktural. Dengan menentukan tingkat signifikasi tertentu, maka setiap koefisien yang diestimasi dapat diuji signifikansi statistiknya untuk hubungan kausal yang telah dihipotesiskan. Kriteria yang digunakan adalah tingkat signifikansi > 0,05 dengan nilai t pada koefisien persamaan struktural > 1,96. Setelah model dapat diterima, maka dilakukan kajian korespondensi model terhadap teori yang diajukan. Dalam SEM, keluaran paling akhir yang diharapkan selalu merupakan kajian serangkaian hubungan. Penggunaan SEM bukan sekedar untuk menguji model secara empiris, melainkan juga memberikan alternatif respesifikasi modelnya. Tahapan pengembangan model SEM secara skematis ditampilkan pada Gambar 9.
55
Mendefinisikan Konstruk Individual
Mengembangkan dan Menspesifikasi Model Pengukuran
Merancang Penelitian untuk Memperoleh Hasil Secara Empirik
Validasi Model Pengukuran
Tidak Model Pengukuan Valid? Ya Menspesifikasi Model Struktural
Validasi Model Struktural
Tidak
Model Struktural Valid?
Ya Kesimpulan dan Rekomendasi
Gambar 9 Tahapan Pengembangan Structural Equation Modeling
56 3.5.1 Pengujian Kecocokan Model SEM Pengujian kecocokan model adalah pengujian tingkat kecocokan antara data dengan model, validitas dan reliabilitas model pengukuran dan signifikansi koefisien-koefisien dari model struktural. Pengujian terhadap tingkat kecocokan data dengan model dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu: kecocokan keseluruhan model (Overall model fit), kecocokan model pengukuran (measurement model fit) faktor laten dengan indikator-indikatornya dan kecocokan model struktural (structural model fit) yang menjelaskan hubungan antar peubah laten (Hair et al., 1998). Tahap pertama dari uji kecocokan ini ditujukan untuk mengevaluasi secara umum derajat kecocokan atau Goodness of Fit (GOF) antara data dengan model. Menilai GOF suatu SEM secara menyeluruh tidak dapat dilakukan secara langsung seperti pada teknik multivariat yang lain, karena SEM tidak mempunyai uji statistik terbaik yang dapat menjelaskan kekuatan prediksi model. Sebagai gantinya, para peneliti telah mengembangkan beberapa ukuran GOF atau Goodness of Fit Indices (GOFI) yang dapat digunakan secara bersama-sama atau kombinasi. Keadaan ini menyebabkan tahap uji kecocokan menyeluruh merupakan langkah yang banyak mengundang perdebatan dan kontroversi. Namun Bollen dan Long (1993) melihat adanya konsensus di antara para peneliti, antara lain adalah sebagai berikut: 1) Petunjuk terbaik dalam menilai kecocokan model adalah teori substantif yang kuat. Jika model hanya menunjukkan atau mewakili teori substantif yang tidak kuat, meskipun model mempunyai kecocokan yang sangat baik, agak sulit bagi kita untuk menilai model tersebut. 2) Tidak satupun dari ukuran-ukuran GOF atau GOF Indices (GOFI) secara ekslusif dapat digunakan sabagai dasar evaluasi kecocokan keseluruhan model. Penggunaan ukuran secara kombinasi yang disebutkan sebelumnya dapat dimanfaatkan untuk menilai kecocokan model dari 3 sudut pandang, yaitu overall fit (kecocokan keseluruhan), comparative fit to base model (kecocokan komparatif terhadap model dasar) dan model parsimony (parsimoni model). Berdasarkan hal
57 ini, Hair et al. (1998) kemudian mengelompokkan GOFI yang ada menjadi 3 bagian, yaitu absolute fit measures (ukuran kecocokan absolut), incremental fit measures (ukuran kecocokan inkremental) dan parsimonious fit measures (ukuran kecocokan parsimoni). Ukuran Kecocokan Absolut Ukuran kecocokan absolut menentukan derajat prediksi model keseluruhan dengan melakukan pengukuran kecocokan matriks input observasi atau aktual (peragam atau korelasi) dengan prediksi model yang diajukan (Hair et al. 1998). Ukuran kecocokan absolut yang biasanya digunakan untuk mengevaluasi SEM adalah: 1) Khi-kuadrat ( 2) Uji
2
untuk menguji seberapa dekat kecocokan antara matrik kovarian
contoh dengan matrik kovarian model. Peneliti berusaha memperoleh nilai
2
yang kecil yang menghasilkan level signifikansi yang besar atau sama dengan 0,05 (p≥0,05). Hal ini menandakan bahwa hipotesis nol diterima dan matrik input yang diprediksi dengan yang sebenarnya (aktual) tidak berbeda secara statistik. Meskipun demikian, jika
2
besar dan level signifikansi lebih kecil dari 0,05
(p<0,05) yang berarti hipotesis nol ditolak, kita tidak serta merta menyatakan bahwa matrik input yang diprediksi tidak sama dengan matrik input sebenarnya. Masih perlu diteliti lebih lanjut, seberapa besar tingkat ketidakcocokan tersebut. Jika ketidakcocokan tersebut kecil, yang berarti tingkat kecocokannya cukup besar, kita masih bisa menyatakan bahwa matrik input yang diprediksi mempunyai tingkat kecocokan yang baik dengan matrik input yang sebenarnya. Oleh karena itu, Joreskog dan Sorbom (1989) mengatakan bahwa
2
seharusnya
lebih diperlakukan sebagai ukuran goodness of fit atau badness of fit karena nilai 2
yang besar menunjukkan kecocokan yang tidak baik (bad fit), sedangkan nilai
2
yang kecil menunjukkan good fit (kecocokan yang baik).
2) Scaled Non-Centrality Parameter (SNCP) SNCP merupakan pengembangan dari NCP dengan memperhitungkan ukuran sampel seprti di bawah ini (McDonald & Marsh 1990): SNCP = ( 2 – df) / n n = ukuran sampel
58 3) Good-of-Fit Index (GFI) Pada awalnya GFI diusulkan oleh Joreskog dan Sorbom (1984) untuk estimasi dengan ML dn ULS, kemudian digeneralisir ke metode estimasi yang lain oleh Tanaka dan Huba (1985). GFI dapat diklasifikasikan sebagai ukuran kecocokan absolut, karena pada dasarnya GFI membandingkan model yang dihipotesiskan dengan tidak ada model sama sekali ( (0)). Rumus dari GFI adalah sebagai berikut: ^
GFI = 1 -
F F0
Dimana : ^
F = Nilai minimum dari F untuk model yang dihipotesiskan F = Nilai minimum dari F, ketika tidak ada model yang dihipotesiskan 0
Nilai GFI berkisar antara 0 (poor fit) sampai dengan 1 (perfect fit), dan nilai GFI ≥ 0.90 merupakan good fit (kecocokan yang baik), sedangkan 0.80 ≤ GFI < 0.90 disebut sebagai marginal fit. 4) Root Mean Square Residual (RMR) RMR mewakili nilai rerata residual yang diperoleh dengan mencocokkan matrik varian-kovarian dari model yang dihipotesiskan dengan matrik variankovarian dari data sampel. Residual-residual ini adalah relatif terhadap ukuran dari varian-kovarian teramati, sehingga sukar diinterpretasikan. Oleh karena itu residual-residual ini paling baik diinterpretasikan dalam metrik dari metrik korelasi (Hu & Bentler 1995) Standardized RMR mewakili nilai rerata seluruh standardized residuals, dan mempunyai rentang dari 0 ke 1. Model mempunyai kecocokan yang baik (good fit) akan mempunyai niai standardized RMR lebih kecil dari 0,05. 5) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) Indeks ini pertama kali diusulakan oleh Steiger dan Lind (1980) dan dewasa ini merupakan salah satu indeks yang informatif dalam SEM. Rumus perhitungan RMSEA adalah sebagai berikut :
59 ^
RMSEA = ^
Dimana:
F df
^
F 0 = Max { F
- df/(n-1), 0}
Nilai RMSEA ≤ 0.05 menandakan close fit , sedangkan 0.05 < RMSEA ≤ 0.08 menunjukkan good fit (Brown & Cudeck 1993). McCallum (1996) mengelaborasi lebih jauh berkaitan dengan cut point ini dengan menambahkan bahwa nilai RMSEA antara 0.08 sampai 0.10 menunjukkan mediocre (marginal) fit, serta nilai RMSEA > 0.10 menunjukkan poor fit. 6) Expected Cross-Validation Index (ECVI) ECVI diusulkan sebagai sarana untuk menilai, dalam sampel tunggal, likelihood bahwa model divalidasi silang (cross-validated) dengan sampel-sampel dengan ukuran yang sama dari populasi yang sama (Browne dan Cudeck, 1989). ECVI digunakan untuk perbandingan model dan semakin kecil nilai ECVI sebuah model semakin baik tingkat kecocokannya. Nilai ECVI dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: ^
ECVI = F + Dimana: n = ukuran sampel q = jumlah parameter
2q n 1
yang diestimasi.
Ukuran Kecocokan Inkremental Ukuran kecocokan inkremental membandingkan model yang diusulkan dengan model dasar (baseline model) yang sering disebut sebagai null model atau independence model. Tucker-Lewis Index / Non Normed Fit Index (TLI / NNFI) TLI (Tucker & Lewis 1973) pertama kali diusulkan sebagai sarana untuk mengevaluasi analisis faktor yang kemudian dipeluas untuk SEM. TLI juga dikenal sebagai Non Normed Fit Index (NNFI) diperoleh dengan rumus:
60 (
2
i/
dfi) – (
TLI = ( Keterangan:
2
i/
2
h/
dfh)
dfi) – 1
2
= chi square dari null / independence model = chi square dari model yang dihipotesiskan dfi = degree of freedom dari null model dfh = degree of freedom dari model yang dihipotesiskan i 2 h
Nilai TLI berkisar antara 0 sampai 1.0, dengan nilai TLI ≥ 0.90 menunjukkan good fit dan 0.80 ≤ TLI < 0.90 adalah marginal fit. Incremental Fit Index (IFI) Selain RFI, Bollen (1989) juga mengusulkan IFI, yang nilainya diperoleh dari: IFI = (nFi – nFh) / (nFi – dfh) Nilai IFI akan berkisar dari 0 sampai 1. Nilai IFI ≥ 0.90 menunjukkan good fit, sedangkan 0.80 ≤ IFI < 0.90 sering disebut sebagai marginal fit. Comparative Fit Index ( CFI) Bentler (1990) menambah perbendaharaan kecocokan inkremental melalui CFI, yang nilainya dapat dihitung dengan rumus: CFI = 1 – ( l1 / l2 ) Dimana: l1 = max (lh,0) dan l2 = max (lh,li,0) lk = [(n-1) Fh-df] dan li = [(n-1)Fi-df]
Nilai CFI akan berkisar dari 0 sampai 1. Nilai CFI ≥ 0.90 menunjukkan good fit, sedangkan 0.80 ≤ CFI < 0.90 sering disebut sebagai marginal fit. Ukuran Kecocokan Parsimoni Model dengan parameter relatif sedikit (dan degree of freedom relatif banyak) sering dikenal dengan model yang mempunyai parsimoni atau kehematan tinggi. Sedangkan model dengan banyak parameter (dan degree fo freedom sedikit) dapat dikatakan model yang kompleks dan kurang parsimoni. Ukuran kecocokan parsimoni mengaitkan GOF model dengan jumlah parameter yang diestimasi, yakni yang diperlukan untuk mencapai kecocokan pada tingkat tersebut. Dalam hal ini, parsimoni dapat didefinisikan sebagai
61 memperoleh degree of fit (derajat kecocokan) setinggi-tingginya untuk setiap degree of freedom. Dengan demikian, parsimoni yang tinggi lebih baik. Parsimonious Normed Fit Index (PNFI) PNFI merupakan modifikasi dari NFI. PNFI memperhitungkan banyaknya degree of freedom (Derajat bebas) untuk mencapai suatu tingkat kecocokan. PNFI didefinisikan sebagai berikut (James, Mulaik & Brett 1982) PNFI = (dfh / dfi) x NFI Dimana : df h = derajat bebas dari model yang dihipotesiskan dfi = derajat bebas dari independence / null model
Nilai PNFI yang lebih tingi yang lebih baik. Penggunaan PNFi terutama untuk perbandingan dua atau lebih model yang mempunyai derajat bebas berbeda. PNFI digunakan untuk membandingkan model-model alternatif, dan tidak ada rekomendasi tingkat kecocokan yang dapat diterima. Meskipun demikian ketika membandingkan dua model, perbedaan nilai PNFI sebesar 0,06 sampai 0,09 menandakan perbedaan model yang cukup besar (Hair et al. 1998). Parsimonious Goodness of Fit (PGFI) Berbeda dengan AGFI yang memodifikasi GFI berdasarkan derajat bebas, PGFI berdasarkan parsimoni dari model yang diestimasi. PGFI melakukan penyesuaian terhadap GFI dengan cara sebagai berikut (Mulaik et al. 1989): PGFI = (dfh / df0) x GFI Nilai PGFI berkisar antara 0 sampai 1, dengan nilai yang lebih tinggi menunjukkan model parsimoni yang lebih baik. Consistent Akaike Information Criterion (CAIC) Bozdogan (1987) menyatakan bahwa AIC memberikan penalti hanya berkaitan dengan derajat bebas dan tidak berkaitan dengan ukuran sampel. Oleh karena itu ia mengusulkan CAIC yang mengikut sertakan ukuran sampel sebagai berikut: CAIC = Di mana: n = jumlah observasi
2
+ (1 + ln n)* q
62 3.6 Sistem Pakar Sistem pakar (expert system) atau sistem berbasis pengetahuan kecerdasan merupakan salah satu bagian kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang memungkinkan komputer dapat berpikir dan mengambil kesimpulan dari sekumpulan aturan (aturan biasa atau meta). Dalam proses tersebut seorang pengguna dapat berkomunikasi secara interaktif dengan komputer untuk memecahkan suatu persoalan atau seolah-olah pengguna berhadapan dengan seorang ahli dengan masalah tersebut (Marimin 2009). Lebih lanjut dikemukakan bahwa sistem pakar merupakan salah satu alternatif terbaik untuk menyelesaikan persoalan dengan menggunakan komputer yang didukung oleh teknik kecerdasan buatan terutama untuk pemecahan persoalan yang kompleks dan belum memiliki algoritma. Penerapan sistem pakar untuk memecahkan persoalan yang bersifat analitis (interpretasi dan diagnostik, sintesis) dan integrasi yang sesuai dengan konsep sistem informasi dengan penerapan data dasar (modelisasi konseptual, konsepsi fisik, restrukturisasi data dan administrasi dokumen). Konsep dasar dari suatu sistem pakar mengandung beberapa unsur/elemen, yaitu keahlian, ahli, pengalihan keahlian, inferensi, aturan dan kemampuan menjelaskan. Keahlian merupakan suatu penguasaan pengetahuan di bidang tertentu yang didapatkan dari pelatihan, membaca atau pengalaman yang memungkinkan para ahli dapat mengambil keputusan lebih cepat dan lebih baik dari seorang yang bukan ahli (Turban 1993). Contoh bentuk-bentuk pengetahuan yang merupakan keahlian antara lain:
fakta-fakta pada lingkup permasalahan tertentu.
teori-teori pada lingkup permasalahan tertentu.
prosedur-prosedur dan aturan-aturan (heuristik) berkaitan dengan lingkup permasalahan tertentu.
strategi-strategi global untuk menyelesaikan masalah.
meta-knowledge (pengetahuan tentang pengetahuan).
Sistem Pakar mempunyai kemampuan diantaranya adalah: (1) menjawab berbagai pertanyaan yang menyangkut bidang keahliannya, (2) bila diperlukan dapat menyajikan asumsi dan alur penalaran yang digunakan untuk sampai ke
63 jawaban yang dikehendaki, (3) menambah fakta kaidah dan alur penalaran yang sahih yang baru ke dalam otaknya. Selanjutnya ada banyak keuntungan bila menggunakan sistem pakar, diantaranya adalah:
Menjadikan pengetahuan dan nasihat lebih mudah didapat.
Meningkatkan output dan produktivitas.
Menyimpan kemampuan dan keahlian pakar.
Meningkatkan
penyelesaian
masalah
-
menerusi
paduan
pakar,
penerangan, sistem pakar khas.
Meningkatkan reliabilitas.
Memberikan respons (jawaban) yang cepat.
Merupakan panduan yang intelligence (cerdas).
Dapat bekerja dengan informasi yang kurang lengkap dan mengandung ketidakpastian.
Intelligence database (basis data cerdas), bahwa sistem pakar dapat digunakan untuk mengakses basis data dengan cara yang cerdas.
Ada beberapa keunggulan sistem pakar, diantaranya dapat:
Menghimpun data dalam jumlah yang sangat besar.
Menyimpan data tersebut untuk jangka waktu yang panjang dalam suatu bentuk tertentu.
Mengerjakan perhitungan secara cepat dan tepat dan tanpa jemu mencari kembali data yang tersimpan dengan kecepatan tinggi.
Lebih lanjut Turban (1993) menjelaskan beberapa keunggulan sistem pakar dibandingkan dengan sistem konvensional. Pada Tabel 4 berikut disajikan perbandingan tersebut.
64 Tabel 4 Perbandingan Sistem Konvensional dan Sistem Pakar Sistem Konvensional Informasi dan pemrosesan umumnya digabung dalam satu program sekuensial
Sistem Pakar Basis pengetahuan dari mekanisme pemrosesan (inferensi)
Program tidak pernah salah (kecuali pemrogramnya yang salah)
Program bisa saja melakukan kesalahan
Tidak menjelaskan mengapa input dibutuhkan atau bagaimana hasil yang diperoleh
Penjelasan (explanation) merupakan bagian dari sistem pakar
Membutuhkan semua input data
Tidak harus membutuhkan semua input data/fakta
Perubahan pada program merepotkan
Perubahan pada kaidah dapat dilakukan dengan mudah
Sistem bekerja jika sudah lengkap
Sistem dapat bekerja hanya dengan kaidah yang sedikit
Eksekusi secara algoritmik (step-bystep)
Eksekusi dilakukan secara heuristik dan logis
Manipulasi efektif pada database yang besar
Manipulasi efektif pada basis pengetahuan yang besar
Efisiensi adalah tujuan utama
Efektivitas adalah tujuan utama
Data kuantitatif
Data kualitatif
Representasi dalam numerik
Representasi pengetahuan dalam simbolik
Menangkap, menambah dan mendistribusi data numerik atau informasi
Menangkap, menambah, dan mendistribusi pertimbangan (judgement) dan pengetahuan
Sumber: Turban (1993)
Selain keuntungan-keuntungan di atas, sistem pakar seperti halnya sistem lainnya, juga memiliki kelemahan, diantaranya adalah:
Masalah dalam mendapatkan pengetahuan di mana pengetahuan tidak selalu bisa didapatkan dengan mudah, karena kadangkala pakar dari masalah yang kita buat tidak ada, dan kalaupun ada kadang-kadang pendekatan yang dimiliki oleh pakar berbeda-beda.
Untuk membuat suatu sistem pakar yang benar-benar berkualitas tinggi sangatlah sulit dan memerlukan biaya yang sangat besar utnuk pengembangan dan pemeliharaannya.
Boleh jadi sistem tak dapat membuat keputusan.
65
Sistem pakar tidaklah 100 persen menguntungkan, walaupun seorang tetap tidak sempurna atau tidak selalu benar. Oleh karena itu perlu diuji ulang secara teliti sebelum digunakan. Dalam hal ini peran manusia tetap merupakan faktor dominan.
Sistem pakar terdiri atas dua bagian utama, yaitu bagian pengembangan dan konsultasi. Bagian pengembangan sistem pakar digunakan oleh penyusunnya untuk memasukkan pengetahuan dasar ke dalam lingkungan sistem informasi, sedangkan bagian konsultasi digunakan oleh pemakai untuk mendapatkan pengetahuan ahli serta saran, nasehat maupun justifikasi. Pada prinsipnya sistem pakar tersusun dari beberapa komponen yang mencakup: (1) fasilitas akuisisi pengetahuan, (2) sistem berbasis pengetahuan (knowledge based system), (3) mesin inferensi (inference engine), (4) fasilitas untuk penjelasan dan justifikasi, dan (5) penghubung antara pengguna dan sistem pakar (user interface). Tiap bagian mempunyai hubungan yang erat dengan bagian lainnya (Marimin 2009). Keterkaitan antar komponen tersebut disajikan pada Gambar 10.
pengguna
- nasehat - justifikasi - konsultasi
Penghubung pakar
Sistem berbasis pengetahuan
- fakta - aturan - model - fakta Akuisisi pengetahuan
Mekanisme Inferensi - fakta
- aturan
Dangkal Mendalam
- aturan
- model
Statis Dinamis
- model
Strategi Penalaran
Fasilitas penjelasan
Gambar 10 Struktur Dasar Sistem Pakar (Marimin 2009)
Strategi pengendalian
66 Karakteristik Sistem Pakar menurut Waterman (1986) yang dikutip Marimin (2009) adalah:
Domain persoalan terbatas
Memiliki kemampuan memberikan penalaran
Memiliki kemampuan mengolah data yang mengandung ketidakpastian
Memisahkan mekanisme inferensi dengan basis pengetahuan
Dirancang untuk dikembangkan secara bertahap (modular)
Keluarannya bersifat anjuran
Basis pengetahuan didasarkan pada kaidah
3.6.1 Tahapan Pembentukan Sistem Pakar Tahapan pembentukan sistem pakar dimulai dengan tahapan identifikasi masalah yang dikaji serta tugas spesifik yang akan ditangani. Proses selanjutnya meliputi: mencari sumber pengetahuan, akuisisi pengetahuan, representasi pengetahuan, pengembangan mesin inferensi, implementasi dan pengujian (Gambar 11). Mulai
Identifikasi masalah
Mencari Sumber Pengetahuan
Akuisisi Pengetahuan
Representasi Pengetahuan
Pengembangan Mesin Inferensi
Implementasi
Pengujian
Tidak
Mewakili Human Expert?
Ya Selesai
Gambar 11 Tahap Pembentukan Sistem Pakar (Marimin 2009)
67
1. Identifikasi Masalah Proses identifikasi masalah merupakan hal kritis di dalam pembentukan sistem pakar karena pakar dan pemakai sebagai manusia mempunyai kecenderungan subyektif dalam mendiagnosis suatu kegagalan. Di samping itu pemilihan bidang permasalahan di dalam kasus sistem yang besar membutuhkan suatu studi kelayakan yang formal yang mencakup kebutuhan yang mendesak, justifikasi serta kelayakan pengembangan (Marimin 2009). Maguire (1988) yang dirujuk Marimin (2009) mengemukakan bahwa pada tahap identifikasi masalah perlu dipertimbangkan hal seperti jenis penerapan baru (terminologi, pengembangan alat, arsitektur sistem dan interface pemakai) untuk pemakai umum dan sistem perorangan; pengembangan sistem pakar yang sesuai dengan model pengetahuan pakar; desain yang erat kaitannya dengan versi data sistem pakar (mesin inferensi) yang akan dikembangkan dan keterpaduan sistem (volume data komunikasi dan memori yang diperlukan serta beban pengolahan) dengan lingkungan produksi yang dimiliki pengguna. 2. Akuisisi Pengetahuan Akuisisi pengetahuan merupakan akumulasi, transfer dan transformasi keahlian dalam menyelesaikan masalah dari sumber pengetahuan ke dalam program pengetahuan. Pada tahap ini Knowledge Engineers (KEs)
berusaha
menyerap pengetahuan untuk selanjutnya ditransfer ke dalam basis pengetahuan. Pengetahuan diperoleh dari pakar, dilengkapi dengan basis data, buku, laporan penelitian dan pengalaman pengguna (Turban 1993). Hasil akuisisi pengetahuan sangat menentukan bentuk struktur data pada basis pengetahuan. Dalam pembentukan sistem pakar akuisisi pengetahuan merupakan proses yang cukup sulit karena tidak terstrukturnya metode yang diterangkan oleh pakar kepada KEs (Marimin 2009). 3. Representasi Pengetahuan Representasi pengetahuan merupakan kombinasi sistem didasarkan pada dua elemen, yaitu struktur data dan penafsiran prosedur untuk digunakan pengetahuan dalam menyimpan struktur data. Representasi pengetahuan bertujuan mengembangkan suatu struktur yang membantu proses pengkodean pengetahuan
68 menjadi suatu program sedemikian rupa sehingga dapat menunjukkan suatu perilaku kecerdasan (Turban 1993). Carrico et al. (1989) yang dirujuk Turban (1993) mengemukakan bahwa teknik representasi pengetahuan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu teknik analisis dan teknik pengkodean. Teknik analisis representasi pengetahuan terdiri atas: jaringan semantik, tabel keputusan dan pohon keputusan. Teknik ini memberikan pandangan pictorial domain pengetahuan dan dapat dikodifikasi ke dalam sistem denagn fasilitas strukturisasi tambahan. Teknik ini sangat baik digunakan dalam rangka menentukan cakupan pengetahuan pada tahap awal pengumpulan pengetahuan. Teknik pengkodean meliputi: aturan-aturan produksi, frames dan demons, digunakan untuk menstransformasi diagram pictorial dari pengetahuan menjadi kode kerja pada sistem pengetahuan yang dilaksanakan dengan bantuan alat atau bahasa pemrograman tertentu. 4. Pengembangan Mesin Inferensi Mekanisme inferensi merupakan komponen terpenting dari Sistem Pakar. Teknik mekanisme inferensi adalah prosedur yang dapat digunakan untuk mendapatkan penelusuran dan pengendali bagi prosess mengemukakan pendapat. Dalam mekanisme inferensi terjadi suatu proses untuk memanipulasi dan mengarahkan kaidah, model dan fakta yang disimpan pada basis pengetahuan dalam mencapai solusi atau kesimpulan (Eriyatno 1999). Penyusunan mesin inferensi dimulai dengan perumusan proses penalaran dan kemungkinan modifikasinya. Proses penalaran ini akan berjalan efektif dan efisien apabila dikendalikan dengan baik. Oleh karena itu pemilihan strategi pengendalian perlu mempertimbangkan berbagai faktor termasuk kemudahan dalam implementasinya. Disamping itu pemeriksaan rekonsistensi sistem dan kebenaran dari aturan-aturan, parameter-parameter, peubah-peubah dan proses penalaran yang diterapkan mulai dilaksanakan (Marimin 2009). 5. Implementasi Pada tahap implementasi dilakukan penerjemahan hasil perumusan (bentuk algoritme dan interpretasi garfik) ke dalam komputer sesuai dengan perangkat pengembang yang digunakan. Pemilihan perangkat lunak didasarkan atas kesesuaian karakteristik permasalahan yang dikaji (Marimin 2009).
69 6. Pengujian Pengujian dilakukan agar sistem pakar yang diperoleh dapat mewakili human expert. Dalam hal ini pengujian tidak selalu harus mencakup seluruh permasalahan yang ditangani, tetapi dapat dilakukan secara modular atau menurut bidang keahlian (Marimin 2009). 3.7 Sistem Pakar Knowledege Management Scorecard Pengambilan contoh untuk survei pakar dilakukan dengan teknik non random purpose sampling karena contoh dipilih berdasarkan pertimbanganpertimbangan tertentu (Singarimbun & Effendi 1995). Survei ini berorientasi terhadap akuisisi pengetahuan atas domain keahlian tertentu dari pakar yang dilibatkan. Pengetahuan yang diakuisisi dari para pakar distrukturisasi dan dikelola dalam basis pengetahuan yang digunakan dalam pemilihan strategi keunggulan bersaing agroindustri susu. Parameter penentu yang telah diuji pada tahap sebelumnya, direpresentasikan dalam bentuk label yang diolah melalui mekanisme infensia menggunakan rule based scenario. Sistem Pakar akan menghasilkan output strategi keunggulan bersaing. Tahapan desain sistem pakar keunggulan bersaing koperasi susu disajikan pada Gambar 12. Hasil akuisisi pengetahuan dari pakar dan penelusuran pustaka disusun menjadi bentuk formal sehingga dapat diolah komputer. Hubungan antara data dan informasi direpresentasikan secara logis dengan kaidah IF – THEN (JIKAMAKA) atau IF –THEN – ELSE. Menurut Arhami (2005), bentuk dasar metode representasi pengetahuan berbasis kaidah adalah: IF
THEN atau IF THEN atau IF THEN atau IF <evidence> THEN . Dengan demikian sebuah kaidah (rules) basis pengetahuan terdiri atas dua bagian, yaitu bagian IF (jika) yang menyatakan kondisi, antiseden atau evidence yang harus dipenuhi, serta THEN (maka) yang menyatakan konklusi, konsekuen atau hipotesis yang dapat diambil bila bagian IF terpenuhi. Strategi penalaran yang digunakan mengikuti metode modus ponens atau hypothetical syllogism atau sistem penalaran pasti. Dalam modus ponens, sebuah kaidah bernilai benar dalam bagian IF maka bagian THEN pasti bernilai benar.
70 Mekanisme penalaran menggunakan gabungan metode forward chaining dan backward
chaining
secara
bersama-sama
sehingga
mampu
membentuk
pembuktian yang lengkap. Tahap desain Sistem Pakar KM-Scorecard koperasi susu ditampilkan pada Gambar 12. SISTEM PAKAR KNOWLEDEGE MANAGEMENT SCORECARD KOPERASI SUSU
Penentuan Sasaran Strategis masing-masing Perspektif
Penentuan Key Performance Indicators (KPI)
Perancangan Sistem Pakar untuk Menentukan Nilai/Scorecard Koperasi Susu
Penentuan strategi representasi pengetahuan dan penalaran
Mekanisme Inferensi dengan Fuzzy Inference System
Pengujian Model
Tidak Mewakili Pakar?
Ya Model KM-Scorecard Koperasi Susu
Gambar 12 Tahap Desain Sistem Pakar Knowledge Management Scorecard Koperasi Susu di Indonesia