20
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis dan Desain Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah survei deskriptif. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian Adapun tempat dilakukannya penelitian, terutama untuk pengambilan data, akan di lakukan pada 8 lokasi sebagai berikut : 1. SLB-C YPAC Medan 2. SLB-C Abdi Kasih Medan 3. SLB-C Taman Pendidikan Islam Medan 4. SLB-C Musdalifah Medan 5. SLB-C Al-Azhar Medan 6. SLB-C Negeri Pembina Medan 7. SLB-C Markus Medan 8. SLB-C Karya Tulus Medan
3.2.2 Waktu Penelitian Waktu penelitian berlangsung selama 2 bulan 1 minggu dimana akan terdapat kegiatan pengumpulan data yang memakan waktu selama 3 minggu yaitu 1 minggu pada bulan Desember 2014 dan 2 minggu pada bulan Januari 2015. Pengolahan dan analisis data akan berlangsung selama 2 minggu pada bulan Januari. Kegiatan berikutnya adalah penulisan laporan selama 2 minggu dan sidang skripsi pada awal Maret. Kegiatan terakhir adalah perbaikan dan penyerahan laporan yang akan berlangsung selama 1 minggu pada pertengahan bulan Maret.
Universitas Sumatera Utara
21
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian adalah seluruh anak sindrom Down usia 6-18 tahun yang bersekolah di seluruh SLB-C Kota Medan. Sampel yang digunakan adalah seluruh populasi (total sampling) pada anak sindrom Down usia 6-18 tahun di SLB-C Kota Medan. Kriteria inklusi : 1. Anak sindrom Down di SLB-C Kota Medan yang bersedia diperiksakan rongga mulutnya. 2. Diizinkan oleh orang tuanya untuk diperiksa rongga mulutnya. Kriteria eksklusi : Anak sindrom Down yang tidak mau diperiksa rongga mulutnya.
3.4 Variabel Penelitian 1. Anak sindrom Down. 2. Usia responden. 3. Jenis kelamin. 4. Maloklusi klasifikasi Angle beserta bentuk umumnya yang bisa diamati secara klinis. 5. Kebiasaan buruk.
3.5 Defenisi Operasional 1. Anak sindrom Down adalah anak tuna grahita yang didiagnosis menderita sindrom Down usia 6-18 tahun yang bersekolah di SLB-C Kota Medan. 2. Usia responden adalah usia 6-18 tahun, merupakan usia yang dihitung dari tanggal lahir sampai waktu dilakukannya penelitian. 3. Jenis kelamin responden adalah laki-laki dan perempuan. 4. Klas I Angle adalah bila cusp mesiobukal dari molar pertama permanen maksila jatuh pada groove molar pertama permanen mandibula.
Universitas Sumatera Utara
22
5. Klas II Angle adalah bila cusp mesiobukal gigi molar pertama maksila jatuh di antara cusp mesiobukal molar pertama permanen mandibula dan aspek distal premolar kedua mandibula. 6. Klas III Angle adalah cusp mesiobukal gigi molar pertama permanen maksila yang oklusinya jatuh pada interdental antara aspek distal gigi molar satu permanen mandibula dan aspek mesial gigi molar kedua permanen mandibula. 7. Gigitan silang anterior adalah ketidakharmonisan relasi labiolingual antara gigi atas dan gigi bawah pada regio gigi anterior. 8. Gigitan silang posterior adalah ketidakharmonisan relasi bukolingual antara gigi atas dan gigi bawah pada gigi posterior. 9. Gigitan terbuka anterior adalah keadaan ketika gigi-gigi insisivus tidak mengalami overlap normal secara vertikal saat gigi-gigi posterior oklusi. 10. Crowding adalah bila gigi tidak memiliki tempat yang cukup untuk berada pada lengkung rahang sehingga memiliki posisi yang berjejal. 11. Bernapas melalui mulut adalah kebiasaan bernapas melalui mulut yang dibuktikan melalui mirror test. Ketika kaca mulut diletakkan di dalam rongga mulut, maka akan timbul uap air yang membuktikan adanya ekspirasi yang terjadi melalui rongga mulut. 12. Tongue thrusting adalah kebiasaan menjulurkan atau meletakkan lidah di antara gigi geligi rahang atas dan bawah yang dibuktikan dari posisi lidah saat postur mulut berada pada istirahat fisiologis dan ketika menelan. 13. Menghisap jari adalah aktivitas memasukkan jari, baik satu maupun lebih, atau memasukkan kompeng ke dalam mulut hingga kedalaman tertentu. 14. Menggigit kuku atau jari adalah kebiasaan menggigit kuku atau jari. 15. Bruxism adalah kebiasaan menggertakkan gigi geligi terutama ketika tidur.
3.6 Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan, yaitu : 1. Pinset (Dentica) 2. Kaca mulut
Universitas Sumatera Utara
23
3. Kapas 4. Tisu 5. Masker 6. Sarung tangan 7. Formulir pemeriksaan maloklusi dan kebiasaan buruk 8. Senter 9. Spatula 10. Kain kasa 11. Alat tulis dan papan berjalan. Bahan yang digunakan adalah alkohol 70% dan detol.
3.7 Prosedur Penelitian 1. Peneliti memberikan surat izin penelitian dari fakultas ke sekolah-sekolah yang menjadi lokasi penelitian untuk menentukan jadwal tentang kapan baik peneliti maupun pihak sekolah bersedia meluangkan waktunya untuk dilakukan penelitian. 2. Sehari sebelum dilaksanakan penelitian, peneliti mengunjungi sekolah bersangkutan untuk memastikan kesiapan dari sekolah serta pengambilan data identitas anak sindromDown yang ada di sekolah tersebut. 3. Tiap lembaran formulir pemeriksaan diisi dengan identitas subjek penelitian yang diperoleh dari data sekunder. 4. Sesampai di lokasi, peneliti mewawancarai orang tua/wali/pengasuh siswa tentang pertanyaan yang mengandung informasi kebiasaan buruk yang dimiliki siswa. Sebelum wawancara, peneliti harus memastikan kebenaran identitas siswa serta membagikan lembar penjelasan dan lembar informed consent untuk ditandatangani oleh orang tua/wali/pengasuh. 5. Seorang peneliti melakukan pemeriksaan gigi dan mulut untuk pemeriksaan maloklusi yang dilakukan dengan mengamati gigi secara kasat mata (klinis) sedangkan seorang peneliti lainnya bertugas mencatat.Pemeriksaan ini dilakukan di tempat yang memiliki penerangan yang cukup dan anak duduk di atas bangku kelas yang sudah disiapkan sebelumnya oleh peneliti.Penggunaan kaca mulut
Universitas Sumatera Utara
24
dilakukan jika diperlukan retraksi lidah, bibir, dan pipi serta senter jika dibutuhkan tambahan cahaya untuk memperjelas objek yang diamati. 6. Kebiasaan buruk juga diamati secara klinis kecuali kebiasaan menggigit kuku atau jaridan menghisap jari. 7. Selanjutnya, dilakukan pencatatan pada formulir pemeriksaan atas hasil pengamatan yang diperoleh. 8. Alat yang sudah digunakan kemudian disterilkan. Alat selalu disterilkan dengan alkohol 70% dan sarung tangan selalu diganti setiap pergantian subjek yang diteliti. 9. Formulir pemeriksaan yang telah diisi selanjutnya dikumpulkan untuk kemudian diolah dan dianalisa oleh peneliti utama.
3.8 Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dilakukan secara komputerisasi dengan tahapan sebagai berikut : 1. Editing, peneliti
melakukan
langkah-langkah
editing data
yaitu
memeriksa kelengkapan data, memeriksa kesinambungan dan keseragaman data. 2. Data entry, peneliti memasukkan data ke dalam komputer untuk keperluan analisis. 3. Saving, proses penyimpanan data sebelum data diolah dan dianalisis. 4. Tabulasi, proses menyusun data dalam bentuk tabel, selanjutnya diolah dengan bantuan komputer. 5. Cleaning, kegiatan pengetikan kembali data yang sudah di entry untuk mengetahui ada kesalahan atau tidak. Data
dianalisis
secara
manual
dan komputerisasi.
Analisis
secara
komputerisasi akan dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excel.
Universitas Sumatera Utara
25
BAB 4 HASIL PENELITIAN
4.1Karakteristik Responden Tabel 1. Distribusi karakteristik responden anak sindrom Down di SLB-C Kota Medan Karakterisik Responden Jumlah (n) Persentase (%) Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Usia 6-11 Tahun (fase gigi bercampur) 12-18 Tahun (fase gigi permanen) Nama Sekolah SLB-C YPAC SLB-C Abdi Kasih SLB-C Taman Pendidikan Islam SLB-C Musdalifah SLB-C Al-Azhar SLB-C Negri Pembina SLB-C Markus SLB-C Karya Tulus Total
50 32
60,97 39,03
36 46
43,9 56,1
21 12 10 7 4 12 6 10 82
25,61 14,63 12,25 8,53 4,88 14,63 7,22 12,25 100
Sampel dalam penelitian ini berjumlah 82 anak sindrom Down usia 6-18 tahun di SLB-C Kota Medan. Berdasarkan jenis kelamin, subjek penelitian ini terdiri atas 50 anak laki-laki (60,97%) dan 32 anak perempuan (39,03%). Berdasarkan usia subjek penelitian, maka terlebih dahulu dilakukan pembagian rentang usia berdasarkan fase pertumbuhan gigi dimana anak yang sedang dalam fase gigi bercampur yakni 6-11 tahun berjumlah 36 anak (43,9%) dan anak yang sedang dalam fase usia gigi permanen berjumlah 46 anak (56,1%). Sampel penelitian yang berjumlah 82 ini tersebar di 8 SLB-C yang ada di Kota Medan. Anak sindrom Down di SLB-C YPAC yang menjadi sampel penelitian
Universitas Sumatera Utara
26
berjumlah 21 anak (25,61%), di SLB-C Abdi Kasih berjumlah 12 anak (14,63%), di SLB-C Taman Pendidikan Islam 10 anak (12,25%), di SLB-C Musdalifah 7 anak (8,53%), di SLB-C Al-Azhar 4 anak (4,88%), di SLB-C Negri Pembina 12 anak (14,63%), di SLB-C Markus 6 anak (7,22%), dan di SLB-C Karya Tulus 10 anak (12,25%) (Tabel 1).
4.2 Distribusi Maloklusi Menurut Klasifikasi Angle Pada Anak Sindrom Down Usia 6-18 Tahun di SLB-C Kota Medan Sebelum dilakukan pemeriksaan hubungan molar pada sampel, peneliti terlebih dahulu melihat keberadaan gigi M1 pada ronga mulut sampel.Melalui pengamatan tersebut, diperoleh 13 anak belum memiliki gigi M1 yang sudah erupsi hingga mencapai dataran oklusal atau sudah tidak lagi memiliki gigi M1 (missing), sehingga relasi hubungan molar pada anak tersebut tidak dapat ditentukan. Melalui pengamatan pada 69 sampel anak sindrom Down yang gigi M1 sudah erupsi hingga mencapai dataran oklusal, diperoleh 18 anak laki-laki (21,95%) dan 8 anak perempuan (9,76%) dengan total 26 anak (31,71%) memiliki hubungan molar Klas I. Pada 2 anak laki-laki (2,44%) dan 1 anak perempuan (1,23%) dengan total 3 anak (3,66%) didapati memiliki hubungan molar Klas II. Hubungan molar Klas III didapati pada 22 anak laki-laki (26,83%) dan 18 anak perempuan (21,95%) dengan total 40 anak (48,78%) (Tabel 2).
Tabel 2.Distribusi maloklusi klasifikasi Angle pada anak sindrom Down berdasarkan jenis kelaminusia 6-18 tahun di SLB-C Kota Medan Jenis Kelamin Total Maloklusi Laki-laki Perempuan (%) Jumlah (%) Jumlah (%) Klasifikasi Angle Jumlah (n) (n) (n) Klas I 18 21,95 8 9,76 26 31,71 Klas II 2 2,44 1 1,23 3 3,66 Klas III 22 26,83 18 21,95 40 48,78
Universitas Sumatera Utara
27
4.3 Distribusi Bentuk Maloklusi Pada Anak Sindrom Down Usia 6-18 Tahun di SLB-C Kota Medan Anak sindrom Down juga memiliki berbagai bentuk maloklusi. Pada penelitian ini, ada 4 bentuk maloklusi yang diamati, di antaranya:gigitan terbuka anterior, gigitan silang anterior, gigitan silang posterior, dan crowding. Berdasarkan hasil pengamatan pada 82 sampel, terdapat 19 anak (23,17%) yaitu 12 anak laki-laki (14,63%) dan 7 anak perempuan (8,54%) yang memilikigigitan terbuka anterior. Selanjutnya, didapati 35 anak (42,68%) dengan detail 20 anak laki-laki (24,39%) dan 15 anak perempuan (18,29%) memiliki gigitan silang anterior. Gigitan silangposterior didapati pada 18 anak (21,95%), yaitu 12 anak laki-laki (14,63%) dan 6 anak perempuan (7,32%), dan crowding didapati pada 32 anak (39,02%), yaitu pada 19 anak laki-laki (23,17%) dan 13 anak perempuan (15,85%)(Tabel 2).
Tabel 3. Distribusi prevalensi bentuk maloklusi pada anak sindrom Down berdasarkan jenis kelaminusia 6-18 tahun di SLB-C Kota Medan Laki-laki Perempuan Total Bentuk Maloklusi Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%) (n) (n) (n) Gigitan terbuka anterior 12 14,63 7 8,54 19 23,17 Gigitan silang anterior 20 24,39 15 18,29 35 42,68 Gigitan silang posterior 12 14,63 6 7,32 18 21,95 Crowding 19 23,17 13 15,85 32 39,02
Universitas Sumatera Utara
28
4.4 Distribusi Kebiasaan Buruk Pada Anak Sindrom Down Usia 6-18 Tahun di SLB-C Kota Medan Setiap anak, termasuk anak sindrom Down, memiliki kebiasaan buruk yang beragam. Pada penelitian ini, terdapat 5 jenis kebiasaan buruk yang diamati pada anak sindrom Down usia 6-18 tahun di SLB-C Kota Medan antara lain: bernapas melalui mulut, tongue thrusting, menggigit kuku atau jari, menghisap jari, dan bruxism. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara mengenai kebiasaan buruk yang dialami oleh anak sindrom Down, terdapat 21 anak laki-laki (25,61%) dan 12 anak perempuan (14,63%) dengan total 33 anak (40,24%) memiliki kebiasaan bernapas melalui mulut. Kebiasaan tongue thrusting dimiliki oleh 20 anak laki-laki (24,39%) dan 14 anak perempuan (17,07%) dengan total 34 anak (41,46%). Kebiasaan menggigit kuku atau jari dimiliki oleh 13 sampel anak laki-laki (15,85%) dan 5 anak perempuan (6,1%) dengan total 18 anak (21,95%). Kebiasaan menghisap jari dimiliki oleh 20 anak laki-laki (24,39%) dan 10 anak perempuan (12,19%) dengan total 30 anak (36,58%). Kebiasaan terakhir yang diteliti adalah bruxism dengan hasil 23 anak laki-laki (28,05%) dan 8 anak perempuan (9,76%) dengan total 31 anak (37,8%) didapati memiliki kebiasaan ini (Tabel 4).
Tabel 4. Distribusi prevalensi kebiasaan buruk pada anak sindrom Down berdasarkan jenis kelaminusia 6-18 tahun di SLB-C Kota Medan Laki-laki Perempuan Total Jenis Kebiasaan Buruk Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%) (n) (n) (n) Bernapas melalui mulut 21 25,61 12 14,63 33 40,24 Tongue thrusting 20 24,39 14 17,07 34 41,46 Menggigit kuku atau jari 13 15,85 5 6,1 18 21,95 Menghisap jari 20 24,39 10 12,19 30 36,58 Bruxism 23 28,05 8 9,76 31 37,8
Universitas Sumatera Utara
29
BAB 5 PEMBAHASAN
Salah satu manifestasi oral pada jaringan keras yang sering ditemukan pada anak sindromDown adalah maloklusi. Maloklusi dapat didefinisikan sebagai deviasi oklusi yang keluar dari kaedah oklusi ideal yang menimbulkan penyimpangan baik secara estetik maupun fungsi.Maloklusi dapat disebabkan oleh banyak faktor salah satunya genetik, dan dapat diperparah oleh adanya kebiasaan buruk. Keadaan ini jika dibiarkan dapat mempengaruhi sistem pengunyahan, fonetik, oral hygiene, dan estetis.17-19 Pada penelitian ini, sampel diperoleh dari data sekunder di tiap sekolah yang menyatakan seorang anak memiliki sindrom Down sehingga diperoleh sampel sebanyak 82 anak berusia 6-18 tahun yang memiliki sindrom Down dan bersedia diperiksakan rongga mulutnya. Hasil penelitian ini diperoleh melalui wawancara terhadap orang tua/wali untuk memperoleh data mengenai kebiasaan buruk yang dimiliki anakdan pemeriksaan klinis terhadap rongga mulut anakuntuk mengetahui adanya maloklusi dan beberapa jenis kebiasaan buruk yang dimilikinya. Berdasarkan hasil pengamatan klinis, diperoleh hasil prevalensi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle pada anak sindrom Down usia 6-18 tahun di SLB-C Kota Medan yang paling tinggi adalah Klas III sebesar 48,78%, diikuti oleh Klas I 31,71%, dan yang paling sedikit adalah Klas II sebesar 3,66%. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Bauer dkk di Amerika Serikat yang memperoleh hasil Klas III sebanyak 56,7%, Klas I sebanyak 23,3%, dan Klas II sebanyak 10%.Hal tersebut mendukung pernyataan tentang anak sindrom Downyang memiliki defisiensi pembentukan maksila yang tidak seiring dengan pertumbuhan mandibula sehingga sering ditemukan mandibula yang prognatik.1,2,8,24 Namun,adanya perbedaan prevalensi antara penelitian ini dengan penelitian Bauer dkk terjadi kemungkinan akibatperbedaan ras antarresponden pada kedua penelitian ini.Pada penelitian Bauer dkk kemungkinan banyak melibatkan ras kaukasian. Menurut literatur, ras kaukasian memiliki profil wajah yang lebih
Universitas Sumatera Utara
30
condong prognatik dibandingkan ras mongoloid sehingga lebih berpotensi memiliki hubungan Klas III dibandingkan sampel pada penelitian ini.25 Anak sindromDown memiliki berbagai bentuk maloklusi dalam rongga mulutnya. Penelitian ini melibatkan pengamatan terhadap 4 bentuk maloklusi antara laingigitan terbuka anterior, gigitan silang anterior, gigitan silang posterior, dan crowding. Pada penelitian ini,gigitan silang anterior merupakan bentuk maloklusi yang paling banyak ditemukan pada anak sindrom Down yaitu sebanyak 42,68%. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Oliveira dkk yang juga menemukan gigitan silang anterior sebagai bentuk maloklusi paling tinggi pada anak sindrom Downdengan persentase 33%. Keadaan ini bisa terjadi akibat proklinasi gigi-gigi mandibula yang umum ditemukan pada anak sindrom Down. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, anak sindrom Down umumnya memiliki hubungan rahang Klas III, hal ini juga dapat membuat posisi gigi mandibula lebih protrusif sehingga terbentuklah gigitan silang anterior pada anak sindrom Down.8 Bentuk maloklusi paling umum dijumpai pada anak sindrom Down setelah gigitan silang anterior adalah crowding yaitu sebanyak 39,02%. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mestrovic dkk yang menempatkan crowding sebagai bentuk maloklusi tertinggi kedua pada anak sindrom Down. Akan tetapi, hasil jauh lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mestrovic dkk, dimana pada penelitian tersebut hanya sebesar 17% karena berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, tingginya crowding ini diakibatkan oleh banyak di antara sampel yang memiliki gigi persistensi dan orang tuanya tidak berani membawa anaknya ke dokter gigi untuk mengatasi hal tersebut. Selain itu, beberapa anak sindromDown pada penelitian ini juga banyak ditemukan memiliki ukuran rahang yang kecil tanpa diiringi oleh pertumbuhan gigi permanen yang mengalami anomali dental seperti mikrodonsia, peg shape, hipodonsia, dll. Keadaan-keadaan tersebut mengakibatkan posisi gigi berjejal.6,16,17 Bentuk maloklusi lainnya yang dialami anak sindrom Down pada penelitian ini adalah gigitan terbuka anterior dan gigitan silang posterior masing-masing 23,17% dan 21,95%. Salah satu penelitianOliveira dkkmemiliki angka prevalensi yang mendekati dengan hasil penelitian ini yaitu sebesar 21% untuk gigitan terbuka
Universitas Sumatera Utara
31
anterior dan hasil gigitan silang posterior yang juga sangat mendekati hasil penelitian ini yaitu sebesar 21,5%. Bentuk maloklusi ini dipengaruhi oleh pola pertumbuhan skeletal dan berbagai kebiasaan buruk yang dimiliki anak. Selain itu, kebiasaan buruk seperti tongue thrusting, menghisap jari, menggigit kuku atau jari, dan bernapas melalui mulut sangat berperan dalam merubah posisi gigi sehingga terbentuk berbagai jenis maloklusi tersebut.26,27 Anak sindrom Down juga memiliki berbagai jenis kebiasaan buruk. Pada penelitian ini, peneliti melakukan wawancara dan pengamatan terhadap 5 jenis kebiasaan buruk antara lain bernapas melalui mulut, tongue thrusting, menggigit kuku atau jari, menghisap jari, dan bruxism. Penelitian ini memperoleh hasiltongue thrusting sebagai kebiasaan buruk yang paling banyak dimiliki oleh anak sindrom Down yaitu sebesar 41,46%. Hasil inisesuai dengan prevalensi yang dimiliki oleh anak sindrom Down di Chennai pada tahun 2008yaitu 41,2%. Prevalensi ini tergolong cukup tinggi kemungkinan disebabkan oleh kondisi anak sindrom Down yang memiliki lidah yang protrusif ditambah kondisi hipotonus yang mereka alami sehingga sulitnya mengontrol gerakan lidah di dalam rongga mulut mereka. 2,24 Kebiasaan buruk berikutnya adalah bernapas melalui mulut dengan prevalensi 40,24%. Sebenarnya ini merupakan angka yang sangat berbeda dengan hasil penelitian Oliveira dkkyang hanya memperoleh hasil sebesar 9% disebabkan oleh pada penelitian di Brazil tersebut, mayoritas sampel pernah menjalani operasi tonsil dan adenoid akibat obstruksi saluran nafas atas sehingga menghasilkan prevalensi bernapas melalui mulut yang rendah. Namun, Hannequin dkk memperoleh prevalensi bernapas melalui mulut yang juga cukup tinggi pada anak sindrom Down sebesar 64,2%. Perbedaan tersebut dimungkinkan oleh perbedaan distribusi usia sampel yang terlibat kedua penelitian ini. Ini membuktikan bahwa anak sindromDown tersebut belum sepenuhnya mampu mengubah postur mulutnya sehingga bisa mengarahkan mereka kembali ke kebiasaan bernapas melalui mulut. Anak sindrom Down banyak yang sering bernapas melalui mulut salah satunya dikarenakan pertumbuhan sepertiga wajahnya yang lebih pendek sehingga memiliki saluran pernapasan dari hidung yang lebih sempit.2,8,28
Universitas Sumatera Utara
32
Bruxism merupakan salah satu kebiasaan buruk yang dilaporkan cukup sering dialami oleh anak sindromDown. Pada penelitian ini, bruxism pada anak sindrom Down sebesar 37,8%. Hasil pada penelitian ini mendekati dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bauer dkk dengan persentase 33,3%.Menurut Miamoto dkk, prevalensi bruxism pada anak sindromDownbisa sangat bervariatif mulai dari 3-90%. Hal ini disebabkan oleh etiologi bruxism yang belum pasti, masih berupa faktor risiko mulai dari genetik, psikologis, neurologis, faktor sistemik, dan keadaan sosial.Hipotonus yang mengarah pada ketidakstabilan otot dan rahang serta kondisi sistemik juga turut berperan dalam memicu tingginya prevalensi bruxism ini. Selain itu, anak sindrom Down sering dikucilkan atau dianggap orang “lain” di beberapa tempat atau suatu kelompok masyarakat tertentu dan terkadang dalam keluarga, hal ini merupakan salah satu predisposisi dari segi keadaan sosial yang memicu stres sehingga timbulnya kebiasaan buruk ini.1,23 Menghisap jari dan menggigit kuku atau jari merupakan jenis kebiasaan yang bisa dialami siapa saja.Kebiasaan buruk tersebut dimasukkan dalam penelitian ini karena merupakan jenis kebiasaan buruk parafungsional yang sering memberikan dampak cukup signifikan terhadap terbentuknya maloklusi. Pada penelitian ini, diperoleh hasil prevalensi menghisap jari dan menggigit kuku atau jari sebesar 36,58% dan 21,95%. Oliveira dkk memperoleh hasil 17% untuk menghisap jari dan 42% untuk kebiasaan menggigit kuku atau jari. 8Oleh karena kebiasaan ini bukan merupakan kebiasaan khas pada anak sindrom Down atau kelainan mental lainnya, maka tidak ada rentang angka prevalensi yang pasti.Berbagai kebiasaan buruk tersebut sepertitongue thrusting, menggigit kuku, dan menghisap jari dapat memberikan gaya atau tekanan secara kontinyu sehingga perlahan mampu memberikan dorongan bagi gigi geligi sehingga berubah posisinya menjadi lebih protrusif.17 Teori ini mendukung hasil pada penelitian ini yang menunjukkan tingginya prevalensi kebiasaan buruk tersebut dan tingginya prevalensi maloklusi. Berdasarkan jenis kelamin, secara umum baik maloklusi maupun kebiasaan buruk lebih tinggi dimiliki oleh anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.Hal ini bisa dipengaruhi oleh jumlah sampel anak laki-laki lebih banyak dari sampel anak
Universitas Sumatera Utara
33
perempuan dan tingginya kebiasaan buruk yang lebih banyak dimiliki oleh anak lakilaki dibandingkan anak perempuan. Dapat disimpulkan bahwa anak sindrom Down memiliki prevalensi maloklusi dan kebiasaan buruk yang cukup tinggi. Maloklusi dan kebiasaan buruk merupakan 2 hal yang tidak dapat dipisahkan dimana kebiasaan buruk merupakan etiologi serta predisposisi terjadinya maloklusi.Dalam hal ini, sangat diharapkan peran orang tua dalam meminimalisir kebiasaan buruk agar terminimalisirnya maloklusi sehingga dapat meningkatkan kesehatan rongga mulut dan kepercayaan diri anak secara optimal.
Universitas Sumatera Utara
34
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan 1. Pada penelitian ini, diperoleh prevalensi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle pada anak sindrom Down di SLB-C Kota Medan yang paling tinggi adalah Klas III dengan hasil 48,78%, diikuti Klas I sebesar 31,71%, dan yang paling rendah adalah Klas II dengan persentase 3,66%. 2. Bentuk maloklusi paling banyak dimiliki oleh anak sindrom Down usia 618 tahun di SLB-C Kota Medan adalah gigitan silang anterior dengan prevalensi sebanyak 42,68%, diikuti oleh crowding 39,02%, gigitan terbuka anterior sebanyak 23,17%, dan gigitan silang posterior 21,95%. 3. Jenis kebiasaan buruk paling tinggi yang dimiliki anak sindrom Down usia 6-18 tahun di SLB-C Kota Medan adalah tongue thrusting dengan prevalensi sebesar 41,46%, diikuti oleh bernapas melalui mulut 40,24%, bruxism 37,8%, menghisap jari 36,58%, dan menggigit kuku atau jari sebanyak 21,95%. 4. Berdasarkan jenis kelamin, pada penelitian ini anak laki-laki memiliki persentase yang lebih besar dibandingkan anak perempuan baik pada maloklusi maupun kebiasaan buruk.
6.2 Saran 1. Perlu dilakukan edukasi terhadap orang tua/wali mengenai dampak kebiasaan buruk yang mempengaruhi kesehatan rongga mulut, seluruh tubuh, dan mental anak secara keseluruhan baik secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya kebiasaan bernapas melalui mulut selain berdampak pada maloklusi juga berdampak pada kesehatan saluran pernafasan anak. 2. Selain kebiasaan buruk, perlu juga bagi orang tua/wali untuk mengetahui dampak maloklusi terhadap fungsi pengunyahan, fonetik, dan estetis pada anak yang nantinya akan berpengaruh terhadap kesehatan rongga mulut, misalnya karies dan penyakit periodontal, kesehatan secara umum, dan kepercayaan diri anak.
Universitas Sumatera Utara
35
3. Orang tua/wali dan pihak sekolah diharapkan mampu mendampingi anak dalam mengurangi kebiasaan buruk agar maloklusi dapat diminimalisir. 4. Penyuluhan atau kegiatan sosial yang sering diadakan oleh instansi pemerintah atau instansi pendidikan, hendaknya juga melibatkan topik tentang menghilangkan kebiasaan buruk, yang hubungannya ke maloklusi, sebagai salah satu topik yang dapat disampaikan kepada orang tua/wali/pengasuh dan anak usia sekolah.
Universitas Sumatera Utara