BAB 3 METODOLOGI
Kerangka kerja yang digunakan oleh tim penulis adalah dengan mengkombinasikan beberapa metode yang masuk dalam kategori praktek terbaik untuk melakukan pengurangan jumlah persediaan barang secara signifikan dalam rangka
mencapai
performance kelas dunia. Adapun beberapa praktek terbaik yang akan diterapkan oleh tim penulis dalam rangka memberikan rekomendasi kepada Janssen Cilag Indonesia sehubungan dengan permasalahan yang dihadapinya adalah:
3.1
Analisis Klasifikasi ABC (Gaspersz, 1998, 271) Sistem persediaan yang baik harus dapat menspesifikasi waktu yang tepat untuk melakukan pemesanan terhadap satu jenis barang dan jumlah barang yang harus dipesan. Untuk persediaan yang melibatkan banyak jenis barang, maka analisis klasifikasi ABC dapat dimanfaatkan untuk mempermudah pengontrolan terhadap jumlah persediaan. Klasifikasi ABC merupakan klasifikasi dari suatu kelompok barang dengan susunan menurun berdasarkan biaya penggunaan barang itu untuk satu periode waktu (harga satu unit barang dikalikan volume penggunaan dari barang itu selama periode tertentu). Periode yang umum digunakan oleh sebagian besar perusahaan adalah satu tahun. Pada dasarnya terdapat sejumlah faktor yang menentukan tingkat kepentingan suatu barang, yaitu: (Gaspersz, 1998, 273)
1. Nilai total uang dari barang; 2. Biaya satu unit barang; 3. Kelangkaan atau tingkat kesulitan untuk memperoleh barang; 4. Ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan untuk memproduksi barang itu; 5. Panjang dan variasi dari waktu tunggu (lead time) barang; 6. Ruang yang dibutuhkan untuk menyimpan barang itu; 7. Resiko penyerobotan atau pencurian barang itu; 8. Biaya kekosongan barang; dan 9. Kepekaan barang terhadap perubahan desain. Teknik klasifikasi ABC ini mengikuti prinsip dalam hukum Pareto yaitu sekitar 80% dari nilai total barang berasal dari 20% barang. Langkah-langkah yang harus dilakukan untuk dapat mengelompokkan barang-barang yang ada ke dalam golongan A, B atau C, antara lain: (Gaspersz, 1998, 274) 1. Tentukan volume penggunaan barang dalam satu periode waktu dari setiap barang yang ingin diklasifikasikan ("V"). 2. Kalikan V dengan biaya satu unit barang ("C") guna memperoleh nilai total biaya penggunaan dalam satu periode waktu untuk setiap barang itu ("Ctotal"). 3. Jumlahkan Ctotal itu guna memperoleh nilai total biaya penggunaan secara keseluruhan ("Cagregat"). 4. Bagi Ctotal dengan Cagregat untuk menentukan persentase nilai total biaya penggunaan untuk setiap barang itu ("% Ctotal"). 5. Susun barang-barang itu berdasarkan urutan % Ctotal dari yang terbesar sampai yang terkecil.
6. Klasifikasikan barang-barang itu ke dalam golongan A, B atau C dengan kriteria 20% teratas dari urutan barang tersebut diklasifikasikan ke dalam golongan A, 30% berikutnya diklasifikasikan ke dalam golongan B, dan 50% terakhir diklasifikasikan ke dalam golongan C.
3.2
Peramalan (Forecasting) Dalam rangka mendapatkan jumlah produksi yang akurat maka perlu dilakukan peramalan yang tepat atas barang-barang yang termasuk dalam golongan A dan B tersebut di atas. Hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam manajemen permintaan adalah dilarang memprediksi angka-angka yang dapat diketahui melalui suatu perencanaan/perhitungan. Dalam industri manufaktur dikenal ada dua jenis permintaan, yaitu permintaan bebas dan permintaan tidak bebas. Permintaan bebas didefinisikan sebagai permintaan terhadap barang yang bebas atau tidak terkait langsung dengan struktur BoM untuk suatu barang jadi atau jenis barang tertentu. Sedangkan permintaan tidak bebas didefinisikan sebagai permintaan terhadap barang yang tidak bebas atau terkait langsung dengan struktur BoM untuk suatu barang jadi atau untuk jenis barang tertentu. Untuk mengetahui jumlah barang yang tergolong ke dalam permintaan tidak bebas maka perusahaan harus melakukan perencanaan/perhitungan. Sedangkan untuk barang-barang yang tergolong ke dalam permintaan bebas maka dapat diketahui dengan melakukan peramalan.
Ada sembilan langkah yang harus diperhatikan untuk menjamin efektivitas dan efisiensi dari suatu sistem peramalan dalam manajemen permintaan, yaitu: (Gaspersz, 1998, 74-75) 1. Menentukan tujuan dilakukannya peramalan. 2. Memilih barang yang akan diramalkan (barang yang termasuk dalam permintaan bebas). 3. Menentukan jangka waktu pelaksanaan peramalan (jangka pendek, jangka menengah, atau jangka panjang). 4. Memilih model-model peramalan yang akan diterapkan. 5. Mencari data-data yang dibutuhkan untuk melakukan peramalan. 6. Memvalidasi model peramalan yang telah dipilih. 7. Melaksanakan peramalan. 8. Mengimplementasikan hasil-hasil dari peramalan. 9. Memantau keandalan hasil peramalan. Tujuan
utama
perusahaan
melakukan
peramalan
dalam
manajemen
permintaan adalah untuk meramalkan jumlah permintaan dari barang-barang yang termasuk dalam permintaan bebas di masa yang akan datang. Selanjutnya, dengan mengkombinasikan hasil peramalan dengan pelayanan pesanan (order service) yang bersifat pasti, maka dapat diketahui total permintaan dari suatu produk sehingga mempermudah dilakukannya manajemen produksi dan pengelolan persediaan.
Perencanaan produksi dan persediaan, termasuk kapasitas dan sumber daya lainnya yang dibutuhkan dalam suatu industri manufaktur, seharusnya dilakukan dengan mengacu pada data total permintaan produk di masa yang akan datang. Model peramalan terhadap permintaan yang akan digunakan oleh tim penulis untuk menentukan tingkat permintaan dari produk-produk yang tergolong dalam kategori produk dengan permintaan bebas di Janssen Cilag Indonesia ialah model pemulusan eksponensial dengan mempertimbangkan kecenderungan (Exponential Smoothing with Trend Adjustment/ESTA). Rumus untuk model ESTA ini adalah: (Taylor, 2002, 643-647) AFt+1 = Ft+1 + Tt+1 Ft+1 = αDt + (1 - α)Ft Tt+1 = β(Ft+1 – Ft) + (1 - β)Tt
Ft+1
= nilai ramalan untuk periode sesudah t
Tt+1
= koreksi trend untuk periode sesudah t
α
= konstanta pemulus untuk nilai ramalan
Dt
= nilai permintaan untuk periode t
Ft
= nilai ramalan untuk periode t
β
= konstanta pemulus untuk trend
Tt
= nilai trend untuk periode t Kelebihan dari model peramalan ESTA ini dibandingkan dengan model
peramalan terhadap permintaan yang lain, adalah (Gaspersz, 1998, 112):
1. Apabila kesalahan pada nilai ramalan adalah positif (nilai aktual permintaan lebih tinggi daripada nilai ramalan) maka model ini secara otomatis akan meningkatkan nilai ramalan; dan 2. Apabila kesalahan pada nilai ramalan adalah negatif (nilai aktual permintaan lebih rendah daripada nilai ramalan) maka model ini akan secara otomatis menurunkan nilai ramalan. Model ini dapat memenuhi kebutuhan peramalan dalam manajemen permintaan di Janssen Cilag Indonesia mengingat pola historis dari data aktual permintaan bergejolak atau tidak stabil dari waktu ke waktu sehingga diperlukan penyesuaian dengan kecenderungan yang terjadi di lapangan.
3.3
Perencanaan Kebutuhan Material (Material Requirement Planning/MRP) MRP adalah metode penjadwalan yang diterapkan dalam rangka melakukan perencanaan pemesanan barang dan perencanaan manufaktur yang akan diajukan untuk analisis lanjutan sehubungan dengan ketersediaan kapasitas dan keseimbangan menggunakan perencanaan kebutuhan kapasitas. Metode MRP merupakan metode perencanaan dan pengendalian yang dilakukan terhadap pesanan dan persediaan untuk barang-barang yang permintaannya bersifat tidak bebas, seperti bahan baku, subassemblies, dan assemblies (persediaan manufaktur). Sistem MRP akan mengindentifikasi jenis barang yang harus dipesan, jumlah barang yang harus dipesan dan waktu yang tepat untuk melakukan pemesanan
barang itu. Proses MRP ini dapat dijalankan dengan baik apabila terdapat lima sumber informasi utama yaitu: (Gaspersz, 1998, 177-179) 1. Master Production Schedule (MPS) merupakan suatu pernyataan definitif tentang produk akhir yang harus direncanakan oleh perusahaan untuk diproduksi, saat produk itu harus diproduksi, jumlah yang dibutuhkan, dan saat produk dibutuhkan. 2. BoM merupakan daftar dari seluruh material dan subassemblies, serta kuantitas dari masing-masing material tersebut yang dibutuhkan untuk memproduksi satu unit produk atau parent assembly. MRP menggunakan BoM sebagai dasar untuk menghitung jumlah setiap material yang dibutuhkan untuk satu periode waktu. 3. Item Master merupakan suatu dokumen yang berisi informasi tentang status material, subassemblies, dan produk-produk, di mana informasi tersebut akan menunjukkan jumlah barang yang tersimpan di gudang, jumlah barang yang dialokasikan, waktu tunggu yang direncanakan, ukuran lot, kriteria ukuran lot, jumlah barang pengaman, toleransi untuk scrap, dan berbagai informasi penting lainnya yang berkaitan dengan suatu barang. 4. Pesanan-pesanan yang berisi informasi sehubungan dengan jumlah dari masing-masing barang yang akan diterima oleh perusahaan, di mana itu akan dapat meningkatkan jumlah barang yang tersedia di masa depan. Sistem MRP pada umumnya menggunakan dua jenis pesanan yaitu released orders dan planned orders. Released orders merupakan pesanan-pesanan yang secara resmi telah dilakukan oleh perusahaan baik ke pabrik maupun ke pemasok
external. Planned orders merupakan pesanan-pesanan yang secara resmi belum dilakukan oleh perusahaan. Dalam hal ini, pabrik belum diminta untuk membuat barang pesanan dan/atau pemasok external belum diminta untuk mengirimkan barang pesanan, sehingga belum ada konsekuensi apapun. Planned order receipts dapat berubah menjadi scheduled receipts hanya apabila ada tindakan yang sah dari pihak perencana material. 5. Kebutuhan-kebutuhan yang akan memberikan informasi tentang jumlah dari masing-masing barang yang dibutuhkan oleh perusahaan. Ada beberapa istilah yang harus dipahami terlebih dahulu agar dapat menerapkan proses MRP dengan baik, yaitu: (Gaspersz, 1998, 180-183) 1. Waktu tunggu yaitu jangka waktu yang dibutuhkan oleh perusahaan yang dimulai sejak sistem MRP menyarankan perusahan untuk melakukan suatu pemesanan barang sampai barang yang dipesan itu siap untuk digunakan. 2. On hand merupakan jumlah seluruh barang yang secara fisik tersedia di gudang. 3. Ukuran lot merupakan jumlah pemesanan yang harus dilakukan untuk suatu barang tertentu. Selain itu, sistem MRP juga akan menginformasikan tentang teknik pengukuran lot yang diterapkan. 4. Barang pengaman adalah jumlah barang yang harus tersedia dalam rangka mengatasi fluktuasi pada permintaan dan/atau penawaran. 5. Jangka waktu perencanaan adalah total waktu di masa depan yang tercakup dalam perencanaan. Total jangka waktu perencanaan tersebut paling sedikit
sama dengan total waktu tunggu kumulatif dari sekumpulan barang yang terlibat dalam proses manufaktur. 6. Gross requirements merupakan total dari seluruh kebutuhan akan suatu barang, termasuk kebutuhan akan barang yang berfungsi sebagai antisipasi, untuk setiap periode waktu. 7. Projected on hand merupakan Projected Available Balance (PAB) di mana planned orders tidak termasuk dalam PAB tersebut. Projected on hand dapat diketahui dengan menggunakan rumus sebagai berikut: (Gaspersz, 1998, 181) Projected on hand = on-hand pada awal periode + SR - GR SR = scheduled receipts GR = gross requirements 8. Projected available merupakan jumlah barang yang diharapkan tersimpan di dalam persediaan pada akhir suatu periode, di mana jumlah tersebut cukup untuk digunakan pada periode selanjutnya. Projected available dapat diketahui dengan menggunakan rumus sebagai berikut: (Gaspersz, 1998, 182) Projected available = on hand pada awal periode + SRt + PORt – GRt SRt
= scheduled receipts
PORt
= planned order receipts
GRt
= gross requirements
9. Net requirements merupakan jumlah kekurangan material yang diramalkan akan terjadi pada periode saat ini, sehingga perusahaan harus mengambil tindakan melalui perhitungan planned order receipts untuk menghindari
kekurangan material tersebut. Formula net requirements adalah sebagai berikut: (Gaspersz, 1998, 183) Net requirement = GR + A + SS – SR – PAt-1 GR
= gross requirements
A
= alocation/alocated items
SS
= safety stock
SR
= scheduled receipts
PAt-1
= projected available pada akhir periode sebelumnya
Alocation adalah jumlah material yang secara khusus dialokasikan untuk keperluan produksi spesifik di masa yang akan datang tetapi material tersebut belum digunakan.
3.4
Jumlah
Pemesanan
Ekonomis
(Economic
Order
Quantity/EOQ) EOQ adalah jumlah barang yang harus dipesan oleh perusahaan pada satu waktu tertentu dalam rangka meminimalisasi biaya persediaan tahunan. Jika pembelian barang dilakukan dalam jumlah yang besar dan pada waktu yang tidak tentu, maka biaya penyimpanan atas persediaan tersebut akan besar. Sebaliknya, jika pembelian dilakukan dalam jumlah yang kecil dan pada waktu yang tertentu, maka biaya pemesanan yang menjadi besar. Oleh karena itu, guna menentukan jumlah yang optimum atas barang yang harus dipesan pada waktu tertentu maka perusahaan dapat melakukannya dengan menyeimbangkan dua faktor utama, yaitu: (Hammer, et. all., 1994, 217-218)
1. Biaya penyimpanan barang Nilai ini umumnya dinyatakan dengan persentase dari rata-rata investasi yang dilakukan oleh perusahaan terhadap persediaannya. Apabila persediaan yang tersimpan di gudang tidak cukup untuk memenuhi permintaan pasar maka perusahaan harus mengeluarkan biaya tambahan di mana biaya semacam ini sulit untuk ditentukan. Biaya ini harus dipertimbangkan oleh perusahaan dalam menentukan jumlah barang yang harus dipesan dan saat yang tepat untuk melakukan pemesanan. 2. Biaya pemesanan barang Biaya pemesanan barang mencakup antara lain biaya yang dibutuhkan untuk mempersiapkan formulir permintaan pembelian, formulir pemesanan barang, dan laporan penerimaan, biaya yang dibutuhkan untuk membongkar pesanan yang tiba di perusahaan, dan biaya komunikasi. Walaupun hanya biaya variabel yang berkaitan dengan EOQ dan penghitungan titik pemesanan kembali, pengurangan terhadap biaya persediaan yang tetap pun perlu dilakukan. Biaya persediaan yang tetap seperti biaya ruang penyimpanan dapat dikurangi dengan menerapkan sistem JIT. Biaya tahunan untuk menyimpan persediaan bervariasi antara 10%-35% dari rata-rata investasi pada persediaan. Rumus EOQ ini adalah sebagai berikut: (Hammer, Carter, Usry, 1994, 218) EOQ = √ {(2 x RU x CO) ÷ (CU x CC)} EOQ =
jumlah pemesanan ekonomis
RU
jumlah barang yang dibutuhkan untuk satu periode
=
CO
=
biaya untuk satu kali pemesanan
CU
=
biaya untuk satu barang
CC
=
persentase biaya penyimpanan
Hasil dari perhitungan melalui rumus di atas adalah jumlah barang yang harus dipesan dalam rangka membuat jumlah biaya pemesanan tahunan sama dengan jumlah biaya penyimpanan tahunan. Potongan terhadap harga pembelian dapat diberikan apabila pemesanan dilakukan dalam jumlah yang besar. Ini akan membuat biaya untuk satu barang menjadi lebih rendah. Membeli dalam jumlah yang besar juga mempengaruhi tingkat keseringan pemesanan dan akhirnya akan mempengaruhi jumlah biaya pemesanan. Hal ini akan menghasilkan investasi dalam jumlah yang besar pada persediaan, yang secara keseluruhan akan mempengaruhi penghitungan EOQ. Dengan mendapatkan potongan harga, maka biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan untuk satu barang menjadi tidak tetap karena akan dipengaruhi oleh seberapa besar tingkat potongan harga tersebut diberikan. Oleh karena itu, tujuan dari penghitungan EOQ adalah mengidentifikasikan jumlah pemesanan yang akan meminimalisasi tidak hanya jumlah biaya pemesanan dan jumlah biaya penyimpanan tetapi juga jumlah biaya-biaya lainnya yang mungkin timbul ditambah jumlah biaya untuk satu barang.
3.5
Titik Pemesanan Kembali (Reorder Point) Titik pemesanan kembali berhubungan dengan dua hal yaitu penggunaan barang selama waktu tunggu yang dibutuhkan untuk melakukan satu kali
pemesanan dan jumlah barang yang harus tersedia di tempat penyimpanan dalam rangka mencegah terjadinya kekosongan barang. Titik pemesanan kembali ini dapat diketahui dengan menggunakan rumus sebagai berikut: (Hammer, et. all., 1994, 222) I + QD = LTQ + SSQ I
=
barang yang masih tersimpan di gudang
QD
=
jumlah barang yang telah dipesan
LTQ
=
jumlah barang yang dibutuhkan selama waktu tunggu
SSQ
=
jumlah barang yang dibutuhkan untuk mencegah terjadinya kekosongan barang
Dalam metode ini, setiap pusat distribusi pada tingkat yang lebih rendah akan meramalkan jumlah permintaan pasar terhadap satu jenis produk. Mereka akan melakukan pemesanan barang ke pusat distribusi pada tingkat yang lebih tinggi apabila jumlah barang yang tersimpan di pusat distribusi yang lebih rendah tersebut telah mencapai titik pemesanan kembali. Pada dasarnya, metode ini merupakan suatu teknik mengisi kembali persediaan apabila jumlah barang yang tersimpan ditambah jumlah barang yang sedang dalam pemesanan berada di bawah titik pemesanan kembali.
3.6
Tingkat Pelayanan (Service Level) Salah satu cara untuk menentukan jumlah persediaan yang harus ada di tempat penyimpanan guna mencegah terjadinya kekosongan barang adalah dengan menentukan tingkat pelayanan. Tingkat pelayanan adalah besarnya kemungkinan
bahwa jumlah persediaan yang tersimpan di gudang selama waktu tunggu dapat memenuhi permintaan pasar. Dengan demikian, tingkat pelayanan ini sangat berkaitan erat dengan titik pemesanan kembali. Terdapat tiga pendekatan untuk mengetahui titik pemesanan kembali yang akan memenuhi tingkat pelayanan, yaitu: 1. Titik pemesanan kembali dengan jumlah permintaan yang tidak tentu (Taylor, 2002, 721) Dengan menggunakan metode ini, titik pemesanan kembali yang akan memenuhi tingkat pelayanan dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: __
R = dL + Zσd√L __
d
=
rata-rata jumlah permintaan harian terhadap barang
L
=
waktu tunggu
σd
=
deviasi standar dari permintaan harian
Z
=
angka
deviasi
standar
sehubungan
dengan
kemungkinan tingkat pelayanan Zσd√L
=
jumlah barang pengaman
2. Titik pemesanan kembali dengan waktu tunggu yang tidak tentu (Taylor, 2002, 723) Dalam hal jumlah permintaan terhadap barang adalah tetap dan waktu tunggu yang bervariasi, maka rumus yang dapat digunakan untuk menentukan titik pemesanan kembali yang akan memenuhi tingkat pelayanan tertentu adalah sebagai berikut:
__
R = dL + ZdσL d
=
jumlah permintaan harian terhadap barang
L
=
rata-rata waktu tunggu
σL
=
deviasi standar dari waktu tunggu
dσL
=
deviasi standar dari permintaan selama waktu
_
tunggu ZdσL
=
jumlah barang pengaman
3. Titik pemesanan kembali dengan jumlah permintaan dan waktu tunggu yang tidak tentu (Taylor, 2002, 724) Dengan menggunakan metode ini, maka rumus yang dapat digunakan untuk menentukan titik pemesanan kembali yang akan memenuhi tingkat pelayanan tertentu adalah sebagai berikut: __
_
_
R = dL + Z√(σ2dL + σ2Ld2) __ _ _
_ d
=
rata-rata jumlah permintaan harian
L
=
rata-rata waktu tunggu
_ _ 2 √(σ dL + σ2Ld2)
=
deviasi standar dari permintaan selama
_
waktu tunggu _ _ Z√(σ2dL + σ2Ld2) =
jumlah barang pengaman
3.7
Rasio Kualitas Persediaan (Inventory Quality Ratio/IQR) Sebelum perusahaan dapat menentukan nilai IQR, maka perusahaan harus membagi persediaan yang dimilikinya ke dalam tiga kelompok barang, yaitu: (Gossard, 2001, 1) 1. Kelompok barang yang memiliki kemungkinan akan dibutuhkan di masa yang akan datang; 2. Kelompok barang yang tidak memiliki kemungkinan akan dibutuhkan di masa yang akan datang tetapi barang ini pernah dibutuhkan di masa yang lalu; dan 3. Kelompok barang yang tidak termasuk kelompok barang pada nomor 2 maupun nomor 3 di atas. IQR adalah nilai perbandingan antara volume persediaan yang aktif dengan volume persediaan secara keseluruhan. Dalam situasi yang sempurna, IQR perusahaan adalah 100%. Berdasarkan aturan 4-12-24 minggu untuk barangbarang yang terdapat dalam golongan A, B, dan C, kebanyakan perusahaan memiliki nilai IQR berkisar antara 30% sampai dengan 45%. Artinya, hampir 60% dari volume persediaan perusahaan itu termasuk dalam barang-barang yang lambat atau bahkan tidak bergerak dan barang-barang yang excess. Persentase persediaan barang yang lambat atau tidak bergerak tersebut umumnya sebanyak 10% sedangkan persentase persediaan barang yang excess dapat mencapai 30% sampai dengan 50% dari volume persediaan secara keseluruhan. Untuk memonitor kinerja persediaan di suatu perusahaan pada satu periode waktu tertentu, maka logika IQR ini dapat dimanfaatkan sebagai fasilitator guna
mengetahui tingkat keaktifan dari barang-barang persediaan yang dimiliki oleh perusahaan. Logika IQR akan mengidentifikasikan persediaan barang yang excess berdasarkan aturan yang telah ditentukan oleh perencana persediaan. Persediaan barang yang excess, bagi kebanyakan perusahaan, umumnya merupakan bagian terbesar dari volume persediaan suatu perusahaan (mencapai 50%) dan ini merupakan kesempatan terbaik untuk dapat mengurangi volume persediaan. Beberapa alasan yang mendukung hal tersebut adalah: (Gossard, 2001, 2) 1. Mengurangi persediaan barang yang excess akan mengurangi jumlah investasi pada persediaan dan akan meningkatkan return on assets. 2. Mengurangi persediaan barang yang excess akan meningkatkan arus kas dengan menunda pembelian barang sampai persediaan barang yang excess digunakan dan pengisian kembali benar-benar dibutuhkan. 3. Semakin sedikit persediaan barang yang excess yang dimiliki oleh perusahaan maka semakin sedikit pula persediaan barang yang lambat bergerak dan memperkecil kemungkinan write-offs di masa depan. Rumus yang digunakan untuk menentukan nilai IQR ini adalah: (Gossard, 2001, 7) IQR = Active Inventory Dollars Total Inventory Dollars
3.8
Flowchart Dari Metodologi INVENTORY CLASSIFICATION WITH ABC METHOD
REORDER POINT
DEMAND FORECASTING MRP
INVENTORY BALANCE INVENTORY QUALITY RATIO Bagan 2. Flowchart of Methodology