BAB III METODOLOGI DAN KERANGKA BERFIKIR
A. Bentuk dan Strategi Penelitian Berdasarkan masalah yang dikaji dalam penelitian ini, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode Historis atau metode sejarah. Metode historis adalah proses menguji dan menganalisa secara historis rekaman peninggalan masa lampau (Gottschlak, 1975:32). Metode sejarah terdiri dari empat tahap, yaitu heuristik, verifikasi (kritik), interpretasi, dan historiografi. 1.
Heuristik Heuristik adalah kegiatan mengumpulkan jejak peristiwa sejarah atau dengan kata lain kegiatan mencari sumber sejarah. Menurut Nugroho Notosusanto (1971:18) heuristik adalah proses atau usaha untuk mendapatkan dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang ada hubungannya dengan permasalahan yang akan diteliti, berupa jejak-jejak masa lampau yang dapat berupa kejadian, benda peninggalan masa lampau dan bahasa tulisan. Penelitian diawali dengan mengumpulkan sumber-sumber sejarah berupa data yang berhubungan dengan tema penulisan. Sumber-sumber penulisan yang terkait dengan permasalahan yang penulis dapatkan adalah sumber primer dan sumber sekunder. Sember primer tertulis yang penulis dapatkan berupa arsip dari Museum Mandala Bakti Semarang berisi daftar nama kompi ex. Karesidenan
22
Kedu dan peta Jawa Tengah pasca agresi II Belanda. Dan sember primer lisan berupa wawancara dengan pelaku sejarah yang mengalami sendiri peristiwa di Temanggung yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini yaitu dengan Letda. Inf (Purn) Mundjiat Harmoatmodjo, Bambang Poernomo, Letda Randim. Sember sekunder tertulis berasal dari tulisan S. Hadi Gintong, berupa pengalaman pribadi menjadi anggota TP Temanggung. 2.
Kritik Kritik sumber merupakan tahap penilaian atau pengujian terhadap bahan-bahan sumber yang telah penulis peroleh dari sudut pandang kebenarannya (Wiyono, 1990:2). Kritik merupakan cara untuk menilai sumber atau bahan yang memberikan informasi dapat dipercaya atau tidak, apakah dokumen atau bahan itu dapat dipertanggungjawabkan keasliannya atau keautentikannya atau tidak. Tujuan utama kritik sumber adalah untuk menyeleksi data sehingga diperoleh fakta. Menurut Dudung Abdurrahman (1999:58) kritik sumber ini meliputi: a.
Kritik Ekstern Kritik ekstern meliputi apakah data itu otentik, yaitu keakuratan sumber, bukan tiruan, turunan, palsu, kesemuanya dilakukan dengan meneliti segi-segi fisik dari sumber yang ditemukan. Bila sumber tersebut adalah sumber dokumen tertulis maka harus diteliti bahan yang dipakai (kertas), tinta, bahasa (ejaan), huruf, tahun terbit, yang menerbitkan, dll.
23
b.
Kritik Intern Kritik intern adalah kritik yang berkaitan dengan isi pernyataan yang disampaikan oleh sejarah. Kritik intern menilai kesahihan data dalam sumber (kredibilitas). Kredibilitas berarti mencari asal muasal sumber berasal karena kesaksian sumber dalam sejarah adalah faktor terpenting dalam menentukan sahih atau tidaknya bukti atau fakta.
3.
Interpretasi Data atau sumber sejarah yang dikritik menghasilkan fakta yang digunakan dalam penulisan sejarah. Namun sejarah itu sendiri bukan merupakan kumpulan dari fakta-fakta, parade tokoh, kronologis peristiwa, atau deskripsi belaka yang apabila dibaca akan terasa kering dan kurang bermakna. Fakta sejarah harus diinterpretasikan. Interpretasi atau penafsiran sejarah disebut juga dengan analisa sejarah. Analisis sejarah bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari berbagai sumber. Jadi interpretasi adalah cara untuk mendapatkan makna dan keterkaitan antar fakta. Penulis melakukan interpretasi dengan menyeleksi, menyusun, mengurangi tekanan, dan menempatkan fakta dalam urutan kausal sehingga dapat merekonstruksi suatu peristiwa. Dengan demikian tidak hanya pertanyaan apa, siapa, dimana dan bilamana yang perlu dijawab, tetapi juga menjawab pertanyaan mengapa dan apa jadinya. Dalam menginterpretasikan sejarah yang kompleks, penulis meminjam pendekatan dari ilmu bantu lain (pendekatan multidimensional) untuk mempertajam analisis. Ketika melakukan
24
interpretasi, penulis berusaha menekan subjektifitas, dan sedapat mungkin membuat tulisan yang objektif. 4.
Historiografi Tahap
historiografi
merupakan
langkah
terakhir
dalam
metodologi atau prosedur penelitian historis. Historiografi merupakan karya sejarah dari hasil penelitian, dipaparkan dengan bahasa ilmiah dengan seni yang khas menjelaskan apa yang ditemukan beserta argumentasinya
secara
sistematis.
Tujuan
historiografi
adalah
merangkaikan kata-kata menjadi kisah sejarah (Nugroho Notosusanto, 1971:12).
Interpretasi
yang
dilakukan
terhadap
fakta
sejarah
menghasilkan suatu cerita atau kisah sejarah. Serangkaian kisah sejarah tersebut disajikan dalam suatu penulisan atau historiografi. Historiografi merupakan kegiatan menyampaikan hasil sintesa fakta-fakta yang diperoleh dalam bentuk kisah sejarah. Dalam hal ini disajikan dalam bentuk skripsi yang diatur dalam Bab per Bab secara kronologis, dengan tema dan topik yang jelas dan mudah dipahami. B. Jenis Penelitian Jenis penelitian Perjuangan Rakyat Temanggung Melawan Militer Belanda pada Masa Agresi Militer Belanda II 1948-1950 ini menekankan pada masalah proses, maka bentuk penelitian yang tepat adalah penelitian deskriptif naratif yang bertujuan untuk memberikan gambaran secara jelas dan memberikan kesimpulan analisa yang mendalam pada persoalan yang dikaji.
25
C. Sumber Data Dalam penelitian ini ada tiga sumber data yang dimanfaatkan yaitu dokumen/arsip, pustaka, dan informan (narasumber). D. Teknik Pengumpulan Data Dalam melaksanakan penelitian, penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu: 1.
Studi dokumen/arsip Dalam hal ini peneliti mencari dan mempelajari sumber berupa arsip penting yang diperoleh di Museum Mandala Bakti Semarang berupa daftar nama kompi ex. Karesidenan Kedu dan peta Jawa Tengah pasca Agresi Militer Belanda II.
2.
Studi kepustakaan Yang dimaksud dengan studi kepustakaan adalah mempelajari pustaka atau buku baik yang disediakan oleh perpustakaan resmi maupun pribadi. Untuk keperluan ini peneliti memperluas perbendaharaan data dengan cara membaca buku-buku umum dan buku-buku yang dikeluarkan oleh instansi. Dalam hal ini, peneliti mencari sumber buku di perpustakaan UKSW, perpustakaan Museum Mandala Bakti Semarang, dan koleksi pribadi.
3.
Wawancara (interview) Wawancara bertujuan untuk memahami realita obyek yang diteliti agar lebih cermat dan untuk mengisi kekurangan data dari sumber tertulis. Berdasarkan uraian tersebut maka wawancara dilakukan kepada
26
pejuang veteran yang masih hidup sebagai saksi sejarah dan orang-orang yang mengetahui peristiwa Agresi Militer Belanda II di Temanggung. Wawancara dilakukan secara mendalam sifatnya lentur dan terbuka, tidak ketat dan tidak dalam suasana formal. Terbuka berarti mengikuti selera informan, tetapi menuntut kemampuan khusus bagi peneliti di dalam pengumpulan data. E. Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini teknis analisis data yang digunakan adalah teknis analisis historis. Teknis analisis historis merupakan analisis yang mengutamakan pada ketajaman dalam melakukan intepretasi sejarah. Intepretasi dilakukan karena fakta-fakta tidak dapat berbicara sendiri, fakta mempunyai sifat yang kompleks sehingga fakta tidak dapat dimengerti atau dilukiskan oleh fakta itu sendiri (Sartono Kartodirjo, 1992:63). Penulisan sejarah yang dapat dipercaya memerlukan analisis data sejarah yang obyektif, sehingga unsur-unsur subjektif dalam menganalisis data sejarah perlu dikurangi. Dalam proses analisis data selalu diperhatikan unsur-unsur yang relevan dan sumber data sejarah apakah unsur tersebut kredibel. Suatu unsur tersebut kredibel apabila unsur tersebut paling dekat dengan peristiwa yang benar-benar terjadi. Unsur tersebut diketahui kredibel berdasarkan penyelidikan kritis terhadap sumber data sejarah yang ada (Louis Gottschalk, 1986:95). Adapun langkah-langkah yang penulis lakukan dalam kegiatan menganalisis data adalah dengan melakukan pengumpulan data yang kemudian diklasifikasikan sesuai tema permasalahan. Dalam menganalisis
27
sebuah sumber diperlukan adanya kritik intern dan kritik ekstern untuk menentukan kredibilitas dan otentitas sumber yang didapatkan. Langkah ini berguna untuk mengetahui sumber yang benar-benar diperlukan dan relevan dengan permasalahan yang diteliti. Data yang telah dikumpulkan tersebut kemudian diseleksi atau dibandingkan satu dengan yang lainnya sehingga diperoleh fakta sejarah yang benar-benar relevan. Langkah selanjutnya adalah merangkaikan fakta tersebut menjadi sebuah karya yang menyeluruh.
28
F. Kerangka Pemikiran
Temanggung Setelah Perjanjian Renville
Persiapan Melawan Agresi Militer Belanda II
Agresi Militer Belanda II
Pendudukan Belanda di Temanggung
Temanggung dibumihanguskan
Serangan Belanda di Temanggung
Perjuangan Rakyat Temanggung
Konsolidasi Angkatan Perang
Perang Gerilya di Temanggung
Tragedi Kali Progo
Temanggung Kembali ke NKRI
Gambar 1. Skema Kerangka Berfikir Keterangan Beberapa bulan setelah ditandatanganinya perjanjian Renville pada 17 Januari 1948, penyimpangan kembali dilakukan oleh pihak Belanda dengan melakukan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948. Dalam Agresi Militer II, Belanda berhasil menduduki Yogyakarta yang pada waktu itu menjadi ibukota RI.
29
Pasukan TNI kemudian menyingkir ke pedalaman untuk menyusun kekuatan. Sesuai dengan Perintah Siasat Nomor 1 Tahun 1948, yang disiarkan melalui RRI, Panglima Besar Sudirman memerintahkan seluruh Angkatan Perang menjalankan Perang Rakyat Semesta. Strategi pertahanan diubah yang semula sistem Linier menjadi sistem Wehrkreise, dilengkapi dengan taktik perang gerilya. Sesuai perintah Markas Besar Angkatan Perang RI (APRI), sebelum Belanda datang, taktik bumi hangus harus dilakukan untuk menghambat pergerakan pasukan Belanda. Senin, 20 Desember 1948, aksi bumi hangus Temanggung dilaksanakan. Di kota Temanggung terdapat 28 bangunan yang dibumihanguskan. Tanggal 21 Desember 1948 pasukan Belanda melancarkan serangan besar-besaran terhadap kota Temanggung. Pasukan Belanda datang dari dua arah menembus kota dari dua arah. Pertama dari Sumowono melalui Ngoho, Kaloran, ke Temanggung. Pasukan ini merupakan bagian dari pasukan Brigade T. Kedua, dalam jumlah yang jauh lebih besar, dari Brigade W, datang dari Magelang melalui Secang dan tembus ke Temanggung Sehari kemudian, tanggal 22 Desember 1948 pukul 10.00 WIB, mereka berhasil masuk ke kota Temanggung yang hanya tinggal reruntuhan. Setelah rendezvous di Temanggung, satuan Brigade T bergerak ke Yogyakarta memperkuat induk pasukannya. Temanggung dijaga oleh Vossen Brigade (VBrigade/Anjing NICA) dibantu serdadu kulit putih Koninglijke Landmacht (KL) hasil wajib militer di Belanda. Pasukan Belanda ini dipimpin oleh Mayor A. Van
30
Zanten (Mei 1947-Juli 1949). Sebagian anggota pasukannya yang berjumlah sekitar 900 personil adalah orang Indonesia. Tidak ada birokrasi sipil yang bisa difungsikan untuk melegitimasikan pendudukan Belanda di Temanggung. Para tokoh birokrasi menolak bekerjasama dengan tentara pendudukan dan memilih menyingkir ke pedalaman hingga akhirnya membentuk pemerintahan darurat di pedesaan. Di dalam kota, tersebar beberapa anggota Tentara Pelajar yang sengaja tinggal untuk memata-matai gerakan pasukan Belanda. Setelah mundur dari Kota Temanggung, Pasukan TNI dan pejuang segera melakukan konsolidasi. Konsolidasi pertama menghasilkan 4 keputusan. Pertama, membantu struktur komando/organisasi. Kedua, membagi wilayah dan tanggung Jawab. Ketiga, membentuk pasukan mobil, dan keempat melakukan serangan mendadak, penghadangan patroli Belanda, sabotase dan melakukan pengacauan di daerah yang diduduki Belanda. Pertempuran terjadi di Temanggung, sepanjang bulan Februari, Maret dan April 1949. Selain itu penghadangan di jalan raya terhadap lalu lintas musuh tidak putus-putusnya dilakukan oleh pasukan gerilya. Aksi ini sangat melelahkan pasukan Belanda. Pasukan TNI dan pejuang Temanggung secara gencar menyerang garis perhubungan, garis logistik, pos, dan patroli Belanda. Bantuan yang diberikan penduduk berupa makanan, intelijen, petunjuk-petunjuk jalan, kurir, pasukan territorial “pager desa”, dan early warning system (sistem peringatan dini) apabila ada gerakan pasukan Belanda. Bantuan-bantuan itu memungkinkan pasukan gerilya semakin mengembangkan inisiatif. Rintangan-
31
rintangan di jalan pendekat yang dipasang rakyat semakin berat dan semakin sempurna dan terutama taktik gerilya TNI semakin canggih Upaya Belanda untuk mengamankan kedudukannya di Temanggung dilakukan dengan menangkap siapa saja yang dicurigai. Para pejuang dari TNI, kelaskaran dan Tentara Pelajar, bahkan rakyat biasa yang tertangkap dipenjarakan di markas Inlichtingen Veiligheids Groep (IVG/Badan Penyelidik Pemerintah Militer Belanda). Jika tahanan merupakan orang-orang yang dianggap berbahaya bagi Belanda, mereka akan dibawa ke jembatan Kali Progo untuk dieksekusi mati. Jumlah korban mencapai ribuan orang. Perundingan kembali dilakukan oleh pihak RI dan Belanda. Perundingan terakhir antara RI dan Belanda adalah Konferensi Meja Bundar di Den Haag 23 Agustus-2 November 1949. Perundingan menyetujui penyerahan kedaulatan Indonesia. Pada tanggal 10 November 1949, pasukan Belanda meninggalkan Kota Temanggung.
32