Bab 3 Analisis Data
3.1 Analisis Haiku Pertama Haiku pertama ini adalah haiku yang ditulis oleh Sakai Hoitsu ( 酒井抱一, 17611828). Hoitsu lahir dalam lingkungan keluarga samurai kelas atas di Edo (Deal, 2007:42). Hoitsu adalah saudara dari Sakai Tadazane, yang merupakan Daimyo Himeji (Blyth, 1976:135). Dia menjadi biarawan Buddha di Nishi-Honganji pada tahun 1797 dan mempelajari berbagai aliran gaya lukisan. Hoitsu merupakan seorang seniman yang terkenal dalam seni melukis dan dalam seni haiku dia merupakan salah satu pengikut Songi (1703-1782) (Blyth, 1976:135, Deal, 2007:42). Haikunya adalah sebagai berikut:
佛とは / さくらの花に / 月夜かな Hotoke to wa / sakura no hana ni / tsukiyo kana (Blyth, 1976:135) Terjemahan: Buddha adalah bunga sakura pada malam terang bulan
Sebelum membahas keseluruhan makna di dalam haiku pertama, penulis akan menganalisis terlebih dahulu setiap kata dan klausa dalam tiap baris haiku ini.
3.1.1 Analisis Kata “Hotoke” Kanji “佛”, menurut Nelson (2005:127), dibaca dengan kata “butsu”, yang memiliki arti Buddha; Buddhisme, dan juga dibaca dengan kata “hotoke”, yang memiliki arti Buddha; orang yang pemurah;citraan / patung Buddha; atau almarhum; yang meninggal.
44
Lalu, menurut Matsuura (2005:313), kata “hotoke” memiliki arti Sang Buddha. Shinmura (2008:2468), menyatakan bahwa kata “hotoke”, yang biasanya juga ditulis dengan kanji “仏”、memiliki arti sebagai berikut: ほとけ「仏」(「仏」の転「ほと」に「け」を付したもの、また「浮屠家 」「熱気」「缶」など、語源に諸説がある)1.(仏)ァ。悟りを得た者 。仏陀。ィ。釈迦牟尼仏。 Terjemahan: Hotoke (terdiri dari fonem (hoto) dan (ke), dan berdasarkan etimologinya, memiliki beberapa asal akar kata, yaitu diantaranya (futoke), (hotoorike) dan (hotogi) 1. Buddha. a. Orang yang telah mencapai pencerahan. Sang Buddha. i. Buddha Sakyamuni. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:149), yang selanjutnya akan disingkat menjadi KBBI, kata “Buddha” memiki arti sebagai berikut: Buddha n 1.Agama yang diajarkan oleh Sidharta Gautama; 2. Orang yang telah mencapai kesempurnaan Buddhisme; 3.Penjelmaan Sidharta Gautama Berdasarkan pengertian secara umum di atas, menurut penulis, kata “Buddha” mengacu pada pendiri agama Buddha yang dikenal diseluruh dunia sebagai Sang Buddha. Menurut Stokes (2001:1), Sang Buddha sebelumnya bernama Siddharta Gautama yang tinggal di utara India hampir 2.500 tahun yang lalu. Beliau dikenal sebagai inspirasi spiritual dan pendiri aliran religius yang sekarang disebut agama Buddha. Stokes juga menyatakan bahwa Buddha sebenarnya merupakan suatu sebutan dan bukanlah sebuah nama. Kata ini berarti “Orang yang tersadarkan atau tercerahkan akan kodrat hidup dan maknanya”. Buddha merupakan sebutan yang diberikan sebagai tanda bagi pencapaian spiritual tertinggi dan kebahagiaan abadi, dan Siddharta Gautama adalah orang yang telah mencapai hal itu. Sedangkan menurut Chopra (2008:6), arti kata Budha adalah “Manusia yang telah sadar”. Hal serupa juga dikemukakan Zhao (2007:2)
45
yang menyatakan bahwa istilah Buddha mempunyai arti “Yang Telah Tercerahkan” dan “Yang Bijak”, kondisi yang telah dicapai oleh Siddharta Gautama yang kemudian menjadi Sang Buddha. Menurut Heendeniya (2004:9), penentuan tanggal terkini menempatkan Buddha dalam zaman yang sama dengan Sophocles, penulis drama dan tragedi Yunani (496-406 SM ). Orang bijak lain dari masa ini adalah Socrates, Lao Tse, Confucius, dan Mahavira. Buddha dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta Gautama, putra raja Suddhodana dan Ratu Mahamaya dari sebuah negara suku kecil di Kapilawastu, di pinggiran Nepal, India, di kaki gunung Himalaya. Ketika pangeran Siddharta masih muda, dia mempunyai kebiasaan berfikir dan merenung yang mendalam. Fenomena hidup yang penuh dengan penderitaan yang disaksikannya di luar istana membuatnya memikirkan sebuah pertanyaan yaitu bagaimana caranya menemukan kebebasan dari dunia yang penuh penderitaan dan kesedihan ini. Pada akhirnya, Siddharta melepaskan tahta kerajaan demi mencari jawaban atas hal itu (Zhao, 2007:6). Keluar dari istana, Siddharta menghabiskan enam tahun berikutnya dalam sebuah pencarian pengetahuan spiritual yang disebut pelepasan agung (Schoch, 2006:149). Takada (1997:42), menyatakan seperti di bawah ini: 釈迦は6年間に及ぶ苦行の後、苦行に見切りをつけ、今度は菩提樹の下で 瞑想に入りますが、その瞑想で、ついに真理を発見しました。そのため、 人々は「真理に目覚めた人」という意味で、釈迦のことを「ブッダ」と呼 ぶようになりました。 Terjemahan: Setelah menjalani enam tahun pertapaan ekstrim dengan penyiksaan diri, Siddharta menghentikan usaha tersebut, dan memulai kembali dengan bermeditasi di bawah pohon Bodhi. Dalam meditasi tersebut, akhirnya dia berhasil menemukan
46
kebenaran sejati. Dikarenakan hal itu, orang-orang memanggilnya “Buddha” yang memiliki arti “Orang yang telah disadarkan akan kebenaran sejati” Pencapaian Siddharta Gautama akan kebenaran sejati disebut dengan “Penerangan Sempurna”. Siddharta Gautama telah mencapai Penerangan Sempurna, menjadi “Orang Suci” pada usia tiga puluh lima tahun (Heendeniya, 2004:14). Menurut Zhao (2007:2), dikarenakan Siddharta atau Sang Buddha termasuk suku Sakya, orang-orang memberi Buddha gelar “Sakyamuni”, yang berarti “Orang Suci Suku Sakya”. Berkaitan dengan hal ini, Takada (1997:32), menyatakan seperti di bawah ini: シッダールタは、悟りを開いた後、出身部族であるシャークヤ族の聖者と いう意味で「シャークヤ。ムニ」と呼ばれました。中国ではこれを「釈迦 牟尼」と音写したのです。これが短縮されて、中国や日本では「釈迦」と 呼ばれるようになります。 Terjemahan: Setelah Siddharta mencapai penerangan sempurna, dia dikenal sebagai Sakyamuni, yang berarti “Guru Besar dari Suku Sakya”. China mengadaptasi kata ini menjadi Shakamuni. Kata ini lalu disingkat menjadi Shaka di China dan Jepang. Sejak mencapai penerangan sempurna sampai saat meninggal, Sang Buddha tidak pernah berhenti mengkhotbahkan ajaran-ajarannya. Sang Buddha mengembara dan mengungkapkan kebenaran sejati yang telah direalisasikannya sendiri kepada orangorang (Zhao, 2007:10). Menurut Takada (1997:36), dikatakan bahwa Sang Buddha meninggal pada usia delapan puluh tahun. Peringatan hari kematian Buddha diselenggarakan setiap tahun dan di Jepang sebut dengan Nehan’e ( 涅槃会 ) Di Jepang, Sang Buddha juga disebut dengan hotoke. Hal itu, menurut Takada (1997:43), dikarenakan sebagai berikut: やがて、仏教は西域を経て中国に受け入れられますが、中国の人々はこの 「ブッダ」と言葉を漢字で「仏陀」と音写しました。この言葉がそのまま
47
日本に伝わり、日本では上の1字の「仏」だけをとって、「ぶつ」とか「 ほとけ」と呼び習わすようになったのです。 Terjemahan: Lalu akhirnya ajaran Sang Buddha masuk ke Asia Barat dan diterima oleh China. Orang China mengadaptasi kata Buddha ke dalam dua karakter tulisan yaitu butsu ( 仏 ) dan da ( 陀 ). Kata dengan karakter tulisan ini diteruskan ke Jepang, dan orang Jepang hanya mengambil karakter tulisan yang pertama dalam kata tersebut, dan penyebutan katanya menjadi dibaca butsu atau hotoke. Didukung oleh penjelasan-penjelasan di atas tersebut, maka menurut penulis, kata “hotoke” di dalam haiku ini mengacu pada objek Sang Buddha, yaitu Buddha Sakyamuni, orang suci yang mendirikan agama Buddha. Penjelasan mengenai makna referensial dari kata “hotoke” dapat dilihat dari diagram berikut: Diagram 3.1.a Hubungan Antara Kata “Hotoke” Dengan Rujukannya Rujukan (Reference) Pendiri agama Buddha, Orang suci yang telah mencapai pencerahan
Kata (Symbol)
Objek (Referent)
Hotoke (Buddha)
Sang Buddha, Siddharta Gautama, Buddha Sakyamuni
3.1.2 Analisis Klausa “Sakura no Hana” Klausa ini terdiri dari dua kata yaitu “sakura” dan “hana”. Di dalam haiku pertama ini, kata “sakura” ditulis dalam huruf hiragana “さくら” dan kata “hana” ditulis dalam
48
kanji “花”. Menurut Nelson (2005:500), kata sakura berdasarkan pada tulisan kanji “ 桜 ” atau “ 櫻 ” diartikan sebagai, sakura; pohon ceri yang berbunga; bunga ceri; warna merah muda. Lalu kata “hana” yang berdasarkan pada tulisan kanji “花” diartikan sebagai bunga; kembang; wanita cantik; karangan bunga; kartu permainan bergambar bunga (Nelson, 2005:771). Berkaitan dengan hal itu, Di dalam KBBI, (1995:155), kata “bunga” diartikan sebagai bagian tumbuhan yang akan menjadi buah, biasanya elok warnanya dan harum baunya; kembang. Berdasarkan pengertian di atas, klausa “sakura no hana” apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia akan diartikan sebagai bunga dari pohon sakura. Untuk selanjutnya dalam analisis ini akan disebut dengan bunga sakura. Di dalam landasan teori yang terdapat pada bab 2, penulis telah mendapatkan beberapa konsep makna simbol bunga sakura dalam masyarakat Jepang. Dalam analisis pada sub bab 3.1.2 ini, berdasarkan konsep-konsep makna simbol bunga sakura dalam landasan teori tersebut, penulis akan menganalisis makna sakura dari haiku pertama ini. Di dalam haiku pertama ini, klausa “sakura no hana” diawali dengan klausa “hotoke to wa”, yang bila digabungkan akan menjadi kesatuan klausa “hotoke to wa sakura no hana”. Kesatuan klausa tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Buddha adalah bunga sakura”. Menurut analisis penulis, Sang Buddha merupakan figur orang yang suci seperti yang telah dinyatakan dalam sub bab sebelumnya bahwa Sang Buddha yang telah mencapai Penerangan Sempurna, merupakan “Orang Suci” (Heendeniya, 2004:14). Chopra (2008:391), menyatakan bahwa Sang Buddha adalah manusia biasa, seperti manusia lainnya, namun beliau adalah sosok yang brilian dan karismatik. Setelah ledakan yang
49
dikenal sebagai pencerahan, beliau berubah menjadi sosok yang lain, seseorang yang sangat tidak manusia. Beliau adalah jiwa yang suci murni, intisari atau kebijaksanaan utama dan bukan lagi manusia biasa. Dalam ajaran agama Buddha pun disebutkan bahwa sifat hakikat Kebuddhaan yaitu terdiri dari dua, yaitu kesucian dan pengajaran (Griffiths, 1994:75). Menurut Potter (1999:232), ada sebuah sutra dalam ajaran agama Buddha yang berjudul Varnarhavarna atau Catuhsataka, dimana sutra ini ditujukan kepada Sang Buddha. Dalam sutra ini dikatakan bahwa Buddha tidak bisa dibandingkan dengan apapun, lebih berharga dari segala perhiasan apapun, guru dunia ini, memiliki kesucian yang sempurna, semua tindakannya adalah suci, mata dan terang dunia, guru dari segala guru tanpa guru, kata-kata Buddha adalah suci dan sebagainya. Dari berbagai pernyataan diatas maka dapat penulis simpulkan bahwa Sang Buddha memiliki konsep kesucian dimana Buddha sendiri adalah suci, begitu juga dengan ajarannya. Bunga sakura, yang didalam haiku ini menjadi pengibaratan Sang Buddha, juga memiliki konsep makna sebagai simbol kesucian, yang telah dijelaskan sebelumnya di dalam landasan teori pada bab 2. Danandjaja (1997:320) menyatakan bahwa bunga sakura yang mekar di musim semi bagi masyarakat Jepang melambangkan kesucian. Berkaitan dengan hal ini, Chevalier (1996:418), menyatakan seperti di bawah ini: 満開のサクラは日本では非常に愛好される自然の光景の1つである。確か にそれは純粋状態における美のこのうえなく感動的な発現の1つなのでは あるが、日本の観賞用のサクラは実をつけないからといって、それがなん の意味も持たない無償の唯美主義的世界にだけ属すると思ってはならない 。(桜)の花は純粋さのシンボルである。 Terjemahan: Sakura yang mekar penuh berbunga sangat dicintai oleh masyarakat Jepang sebagai salah satu pemandangan alam di Jepang. Sudah pasti, hal itu bukan hanya dikarenakan kondisi yang suci yang terkandung dalam keindahannya saja, disamping pemunculan atau pengekspresian yang sarat dengan emosi dan
50
perasaan. Meski dikatakan bahwa buah dari sakura ornamental Jepang tidak bisa digunakan, bukan berarti di dunia ini bunga sakura tidak memiliki makna apapun selain hanya konsep aestetik yang tidak berarti apa-apa. Bunga sakura merupakan simbol kesucian. Menurut analisis penulis, di dalam kesatuan klausa “hotoke to wa sakura no hana” yang berarti “Buddha adalah bunga sakura”, merupakan suatu majas metafora yang mengibaratkan Sang Buddha dengan bunga sakura. Didukung oleh pernyataanpernyataan di atas yang menjelaskan mengenai konsep kesucian Sang Buddha serta konsep makna simbol bunga sakura yang berkaitan dengan kesucian, menurut penulis, Sang Buddha dan bunga sakura memiliki persamaan dimana keduanya mempunyai konsep simbol kesucian. Berdasarkan hal tersebut, maka menurut penulis, klausa “sakura no hana” di dalam haiku ini memiliki arti sebagai lambang kesucian. Penjelasan mengenai makna referensial dari klausa “sakura no hana” dapat dilihat dari diagram berikut: Diagram 3.1.b Hubungan Antara Klausa “Sakura no Hana” Dengan Rujukannya Rujukan (Reference) Kesucian
Kata (Symbol)
Objek (Referent)
Sakura no hana (Bunga sakura)
Bunga dari pohon sakura di malam musim semi ketika bulan bersinar
51
3.1.3 Analisis Frase “Tsukiyo” Frase ini terdiri dari dua kata yang ditulis dengan dua kanji, yaitu kanji “tsuki” dan kanji “yo”. Menurut Nelson, (2005:489), kata “tsuki” yang berdasarkan pada tulisan kanji “月” diartikan sebagai bulan. Lalu kata “yo” yang berdasarkan pada tulisan kanji “夜” diartikan sebagai malam; petang; (waktu) malam; dimalam hari (Nelson, 2005:115). Di dalam KBBI, (1995:621), kata “malam” diartikan sebagai waktu setelah matahari terbenam hingga matahari terbit. Selain itu, kata “bulan” menurut KBBI, (1995:152), diartikan sebagai benda langit yang mengitari bumi, bersinar pada malam hari karena pantulan sinar matahari Kedua kanji ini, kanji “月” dan “夜”, apabila digabungkan akan menjadi frase “月夜” yang dibaca “tsukiyo”. Shinmura (2008:1776), menyatakan bahwa kata “tsukiyo” memiliki arti sebagai berikut: つきーよ「月夜」(古くはツクヨ)月の照らす夜。月の明らかな夜。また 、月あるいは月の光。「つくよ」とも。 Terjemahan: Tsuki-yo (pada zaman dahulu disebut tsukuyo), malam terang bulan, malam dimana bulan bersinar terang. Bulan atau cahaya bulan. Bersama terang bulan. Lalu menurut Nelson (2005:489), frase “tsukiyo” diartikan sebagai malam terang bulan. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka frase “tsukiyo” apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia akan menjadi “malam terang bulan” yang mengacu kepada objek sinar rembulan yang menerangi kegelapan malam. Di dalam haiku pertama ini, melalui analisis struktur puisi berdasarkan lapis ketiga, objek yang ditemukan pada haiku ini adalah hotoke (Sang Buddha), oleh karena itu,
52
dengan memperhatikan hubungan antara objek “hotoke” dan frase “tsukiyo”, maka menurut penulis, frase “tsukiyo” di dalam haiku ini yang berarti malam terang bulan, merupakan sebuah pemetaforaan dari pencerahan Sang Buddha. Menurut Zhao (2007:9), dalam agama Buddha, Pencerahan atau Penerangan Sempurna memiliki arti berhasil mengatasi segala keinginan dan kotoran batin yang menimbulkan penderitaan hingga tuntas, dan memperoleh kebijaksanaan-kebijaksanaan sempurna serta mencapai Kebudhaan, Pencerahan tertinggi yang telah dicapai oleh Siddharta Gautama yang kemudian menjadi Sang Buddha. Pengertian pencerahan, atau yang dalam bahasa Jepangnya disebut Satori, dinyatakan oleh Takada (1997:50) sebagai berikut: 「悟り」とは古代インドの「ボーディ」という言葉の意訳で、ボーディは 「菩提」と音写されます。だから、「悟り」と「菩提」は同じ意味です。 宇宙や人間の構造-道理を身をもって知ることといえるでしょう Terjemahan: Pencerahan (satori), adalah terjemahan dari kata India Kuno, Bodhi, dan di Jepang diadaptasi juga menjadi Bodai. Oleh karena itu, kata satori dan bodai memiliki arti yang sama. Satori adalah pemahaman sempurna dari segala unsur dan kebenaran dari alam semesta dan manusia. Dari pernyataan di atas, penulis beranggapan bahwa pencerahan atau satori adalah pencapaian akan kebenaran sejati (shinri, 真理) dan pembebasan akan penderitaan diri. Menurut Reginald (2004:123), kesucian yang sempurna dicapai apabila seseorang telah mencapai Kebudhaan dan dalam hal ini Sang Buddha telah mencapai kesucian yang sempurna lewat pencerahannya. Di dalam agama Buddha, pencerahan juga dapat disebut sebagai Nirwana. Nirwana merupakan pengakhiran sebab dan akibat dari penderitaan. Ketika seluruh kondisi yang tidak murni dan kotor telah dicabut seluruhnya, ketidaktahuan dilenyapkan oleh kebijaksanaan murni dan dengan demikian, kebenaran
53
tertinggi dari realitas yang diterangi kebijaksanaan murni mewujud pada seluruh fenomena (Zhao, 2007:55-56). Mengenai nirwana, yang dalam bahasa Jepang disebut Nehan ( 涅槃 ) dan pencerahan, Takada (1997:48), menjelaskan sebagai berikut: 一般に、悟りと涅槃はほとんど同じ意味を考えられていますが、ほんとう はその両方を身につけてこそ真の悟りといえるでしょう。 Terjemahan: Secara umum, pencerahan dan nirwana memiliki arti yang sama. Sesungguhnya keduanya dapat dikatakan sebagai kesadaran diri akan kebenaran sejati.
Tetsugen (1630-1682) menyatakan bahwa kata Buddha dan nirwana diasosiasikan dengan kata pencerahan (Baroni, 2006:70). Lalu Mookerjee (1997:239), menyatakan bahwa karakteristik nirwana adalah kekekalan, kebahagiaan, kebebasan, dan kesucian. Nirwana adalah pencapaian kesucian tertinggi, kesempurnaan dan kebahagiaan. Sebelum Sang Buddha mendapat pencerahan, ketika dia masih berstatus pangeran Siddharta Gautama, dia sangat miris dan selalu mencari jawaban akan sebuah pertanyaan bagaimana cara melepaskan diri dari penderitaan hidup, karena semua manusia tidak terkecuali, tidak ada yang tidak mengalami penderitaan. Meskipun dia hidup dalam kemewahan sebagai pangeran, tetapi hal itu tidak membuatnya bahagia dan berhenti memikirkan jawaban atas pertanyaan tersebut. Takada (1997:26-28), memaparkan seperti di bawah ini: カピラ城で親子3世代の家族が幸せに暮らしていたのですが、シッダール タはそのような世間的な幸せに満足できませんでした。人間はなぜ苦悩を 背負って生きなければならないのかと思い悩み、その悩みや苦しみを解決 する道を模索するようになっていたのです。 ある日、彼は東の門から城を出ました。その時、彼は、老いさらばえた体
54
を杖でやっと支えて歩く老人を目にしました。彼はだれしもがこのように 老いなければならない運命を思い、暗い思いに沈みました。 またある日、南の門から城を出ると、今度は苦痛にもだえる病人と出会い ました。そして、やはり、万人がいつかは病苦と闘わなければならないこ とを思って心を痛めました。 次にシッダールタが西の門から城を出た時、人々が泣いて死者にとりすが っていました。彼はこの時も、あらゆる人が死を避けることができないこ とを知って唇をかんだのです。彼は城の門外に、老-病-死 という人間の根源的な苦を見たのです。 最後に北の門から城を出た時、彼は今度は一人の修行者を目にしました。 その修行者は堂々として美しく、-点の迷いも見ありません。それを見た 時、彼は世間を離れて修行を積み、真理を求めることの中にしか苦をを離 れる道がないことを直観しました。ある夜、彼は家をでたのです。 Terjemahan: Tiga generasi ini hidup dengan bahagia di istana Kapilawastu, tetapi Siddharta merasa tidak puas dengan segala kebahagiaan duniawi tersebut. Mengapa manusia harus hidup dengan menanggung segala penderitaan, adalah pertanyaan yang selalu ada dipikirannya dan dia sangat memikirkan hal itu, dan dia ingin sekali menemukan jalan pemecahan dari hal itu. Pada suatu hari, dia meninggalkan istananya melalui gerbang timur. Saat itu, dia melihat orang tua dengan tubuh yang renta berjalan sambil menopang tubuhnya dengan tongkat. Memikirkan akan takdir semua manusia yang pasti akan menjadi tua, dia pun tenggelam dalam pikiran yang muram. Lalu,pada hari lainnya, ketika dia meninggalkan istananya melalui gerbang selatan, kali ini dia bertemu dengan orang yang mengalami penderitaan karena rasa sakit. Hati Sidharta dipenuhi rasa sakit karena dia memikirkan bahwa setiap orang pasti dalam suatu saat harus berjuang merasakan rasa sakit. Berikutnya, pada saat Siddharta meninggalkan istananya melalui gerbang barat, dia menyaksikan orang-orang menangis karena kematian seseorang. Pada saat itu Siddharta menggigit bibirnya menyadari bahwa tidak akan ada orang yang bisa luput dari kematian. Di luar istana, dia melihat bahwa menjadi tua, sakit, dan mati adalah penderitaan yang mengakar dalam kehidupan manusia. Pada akhirnya, ketika dia meninggalkan istananya melalui gerbang utara, kali ini dia melihat seorang pertapa. Pertapa itu terlihat agung dan tidak ada setitikpun keresahan terlihat darinya. Pada saat melihat itu, dia merasa bahwa tidak ada jalan lain untuk mendapatkan kebenaran sejati dalam melepaskan diri dari penderitaan selain memasuki kehidupan pertapa dan meninggalkan keduniawian. Pada suatu malam, dia pun meninggalkan istananya.
55
Fenomena hidup yang penuh dengan penderitaan yang disaksikannya di luar istana membuatnya memikirkan sebuah pertanyaan yaitu bagaimana caranya menemukan kebebasan dari dunia yang penuh penderitaan dan kesedihan ini. Pada akhirnya Siddharta melepaskan tahta kerajaan demi mencari jawaban atas hal itu (Zhao, 2007:6). Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, penulis beranggapan bahwa kondisi Siddharta sebelum mencapai pencerahan adalah dia senantiasa bergumul dalam kebingungan dan ketidaktahuan akan jawaban dari pertanyaan yang selalu dipikirkannya dan menimbulkan kesedihan dalam hatinya, yaitu bagaimana agar manusia dapat melepaskan diri dari penderitaan. Bahkan setelah dia keluar dari istana dan menjalani pertapaan ekstrim dengan harapan akan menemukan apa yang dicarinya pun, dia tetap tidak berhasil menemukan jawabannya. Dia tetap berada dalam kondisi sebelumnya. Hal ini dipaparkan oleh Shoan et al. (2007: 231-232), di bawah ini: Dalam sebuah hutan dekat desa Sena di distrik Uruwela, yang terletak dikaki pegunungan Himalaya, Siddharta berusaha mencapai pencerahan melalui tapa secara ekstrim. Dalam kitab-kitab suci Buddhis, dicatat bahwa mereka yang ada disekitarnya terheran-heran melihat kekerasan praktek-praktek yang dilakukannya, dan pada suatu saat percaya bahwa ia telah mati karenanya. Ada lima orang pertapa, khususnya yang berkumpul di sekelilingnya dengan harapan bahwa kebenaran yang mungkin ditemukan pertapa Gautama, akan diuraikan kepada mereka. Tetapi penyangkalan diri selama enam tahun yang panjang itu tidak menghasilkan pencerahan. Ia menyerah dengan praktek-prakteknya yang keras dan menghentikan puasanya yang panjang. Kelima petapa itu sama sekali terkejut dan kecewa, serta meninggalkannya dengan kemuakan. Menurut analisis penulis, kondisi Sang Buddha sebelum mencapai pencerahan, dimana dia diliputi dengan ketidaktahuan, kesedihan dan penderitaan, di dalam haiku pertama ini dimetaforakan sebagai keadaan malam. Menurut Chodjim (2005:255), malam adalah simbol kegelapan. Pada hakikatnya manusia di dunia ini hidup dalam kegelapan. Disebut dalam kegelapan karena sebagian besar manusia tidak mengetahui kemana arah yang dituju dalam hidup ini. Menurut analisis penulis, kondisi ini sama 56
seperti keadaan Sang Buddha sebelum mendapatkan pencerahan. Dia berada dalam ketidaktahuan dan kebingungan akan arah hidupnya, dimanakah dia bisa mendapatkan jawaban atas apa yang dicari olehnya. Malam diasosiasikan dengan kegelapan dan kegelapan diidentikan dengan warna hitam. Dalam bahasa warna, hitam merupakan warna tinta cetak yang merupakan lawan dari warna putih dan merupakan bagian paling gelap dari gradasi warna. Simbol hitam melambangkan kesedihan, kedukaan atau kehidupan yang suram (Djodjosuroto, 2007:475). Menurut analisis penulis, beberapa arti dari simbol hitam di atas dapat merujuk pada kondisi Sang Buddha sebelum mendapatkan pencerahan, yaitu hati Buddha yang dipenuhi kesedihan dan kedukaan karena dia tidak bisa menemukan apa jalan keluar untuk mengakhiri penderitaan yang dialami oleh setiap umat manusia. Dikatakan bahwa setelah meninggalkan tapa ekstrim yang tidak menghasilkan jawaban apapun atas apa yang dicarinya, Siddharta pergi ke kota Gaya (sekitar 200 kilometer tenggara Benares), tidak seberapa jauh dari desa Sena. Dia duduk pada posisi teratai di bawah sebuah pohon ara poplar, dan mulai memasuki meditasi amat khusuk (Shoan et al, 2007:231-232). Das (2002:65), memaparkan seperti di bawah ini: Pada malam terakhir sebelum pencerahannya, ia dihadapkan pada kegelapan dalam bentuk Mara, dewa besar kegelapan, yang sering dipandang sebagai perwujudan maut. Nama Mara itu sendiri diartikan sebagai kehancuran. Untuk mengacau pencarian Buddha akan pencerahan, Mara datang dengan membawa pasukan siluman; seperti dia, para siluman itu mewakili kegelapan. Tetapi semua itu sia-sia karena Buddha tidak takut pada kegelapan. Akhirnya, Mara memanggil anak perempuannya yang paling jelita dan memerintahkannya untuk merayu Buddha, tetapi Buddha adalah penguasa atas nafsu-nafsunya sendiri; ia tidak perlu membuktikan apapun juga, ia telah menggarap tuntas keterikatan-keterikatan egonya.Ketika Buddha tanpa perasaan menatap anak perempuan Mara, si gadis berubah kembali menjadi siluman. Malam yang diasosiasikan dengan kegelapan juga memiliki arti simbol kejahatan dan keburukan (Gunawan, 2005:34). Menurut analisis penulis, hal ini juga merupakan 57
kondisi Buddha sebelum mendapatkan pencerahan, yaitu pada malam dimana saat-saat sebelum pencerahannya, ketika dia sedang bermeditasi dengan khusuk, kegelapan itu sendiri dihadapkan pada Buddha dalam wujud dewa kegelapan dan para siluman yang jahat. Pada malam yang sama, dimana Buddha telah melewati cobaan para iblis, akhirnya Sang Buddha mendapatkan pencerahan, jawaban kebenaran sejati atas apa yang selama ini dicari olehnya, dan dia pun mencapai Kebuddhaan. Menurut tradisi, itu terjadi di bulan purnama Vaisakha, antara bulan April dan Mei, menurut kalender matahari. Usianya tiga puluh lima tahun saat itu (Shoan, et al., 2007:231-232). Kemudian Schoch (2006:152) juga menyatakan bahwa Sang Buddha mencapai pencerahan pada malam yang dibalut cahaya bulan pada musim semi. Terlepas dari fakta bahwa berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas diketahui bahwa Sang Buddha mencapai pencerahan pada bulan purnama, menurut Das (2002:69) bulan purnama di langit gelap adalah simbol dari pencerahan. Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, menurut analisis penulis, di dalam kegelapan malam, dengan adanya sinar bulan yang menerangi maka malam itu tidaklah lagi menjadi gelap. Begitu juga dengan kondisi Buddha setelah mencapai pencerahan, segala kesedihan akibat ketidaktahuannya akan jawaban dari pertanyaan yang selalu dipikirkannya tentang bagaimana kehidupan manusia dapat terbebas dari penderitaan, telah sirna ketika akhirnya dia mendapatkan pencerahan sempurna. Berdasarkan analisis penulis yang telah dipaparkan dalam sub bab ini, maka menurut penulis, frase “tsukiyo” yang mengacu pada objek sinar rembulan yang menerangi kegelapan malam dalam haiku pertama ini merupakan pengibaratan dari pencerahan
58
Sang Buddha. Penjelasan mengenai makna referensial dari frase “tsukiyo” dapat dilihat dari diagram berikut:
Diagram 3.1.c Hubungan Antara Frase “Tsukiyo” Dengan Rujukannya Rujukan (Reference) -Pencapaian pencerahan -Pencerahan Sang Buddha
Kata (Symbol)
Objek (Referent)
Tsukiyo (Malam terang bulan)
Sinar rembulan yang menerangi kegelapan malam
3.1.4 Analisis Makna Keseluruhan dari Haiku Pertama Haiku pertama ini berbunyi: 佛とはさくらの花に月夜かな Hotoke to wa sakura no hana ni tsukiyo kana (Blyth, 1976:135) Terjemahan: Buddha adalah bunga sakura pada malam terang bulan
Di dalam haiku pertama ini, kata “kana” dalam klausa “tsukiyo kana” yang ditulis dengan huruf hiragana “かな” merupakan suatu kireji (pemberhentian atau jeda kata) yang terdapat pada akhir haiku, yang dapat diartikan sebagai “betapa!”, “alangkah”, atau
59
“oh!”. Tetapi kata “kana” umumnya juga bisa tidak diterjemahkan, dikarenakan kireji ini juga bisa tidak memiliki arti atau makna apapun (nothing in particular) (Gill, 2007:19). Oleh karena itu, untuk tujuan kesesuaian, penulis memutuskan untuk tidak menerjemahkan kata “kana” dalam analisis haiku pertama ini. Berdasarkan keseluruhan analisis dalam sub bab 3.1.1, 3.1.2, dan 3,1,3, maka menurut penulis, objek keseluruhan dari haiku pertama ini adalah Sang Buddha yang diumpamakan bagai bunga sakura dalam terang cahaya bulan. Sang Buddha bagaikan bunga sakura di malam hari yang dapat terlihat oleh karena terang cahaya bulan. Hal tersebut merujuk kepada makna referensial secara keseluruhan dari haiku pertama ini yaitu, kesucian Sang Buddha yang telah mendapatkan pencerahan sempurna. Nirwana adalah pencapaian kesucian tertinggi dalam agama Buddha (Mookerjee, 1997:239). Sang Buddha telah mencapai kesucian tertinggi dimana itu merupakan hal yang dicapai oleh karena pencapaian pencerahan sempurna (nirwana). Penjelasan mengenai makna referensial secara keseluruhan dapat dilihat dari diagram berikut:
Diagram 3.1.d Segitiga Ogden & Richards Pembuktian Hubungan Makna Secara Keseluruhan Pada Haiku Pertama Rujukan (Reference) Kesucian Sang Buddha yang telah mendapat pencerahan (Mencapai nirwana)
Kata (Symbol)
Objek (Referent)
60
佛とはさくらの花に月夜かな Hotoke to wa sakura no hana ni tsukiyo kana (Buddha adalah bunga sakura pada malam terang bulan)
Buddha yang diumpamakan bagai bunga sakura dalam malam yang disinari cahaya bulan
3.2 Analisis Haiku Kedua Haiku kedua ini adalah haiku yang ditulis oleh Kawai Chigetsu ( 河合智月, 16341708 ). Chigetsu merupakan salah satu penulis haiku tradisional wanita yang ternama (Weidner, 1990:225). Chigetsu mengadopsi adik laki-lakinya, Otokuni ( 乙州 ), sebagai anak, dan bersama-sama dengan Otokuni, Chigetsu menjadi murid Matsuo Basho (16441694) serta mempelajari seni haiku dari Basho (Bowers, 1996:41). Chigetsu juga piawai dalam seni melukis (Blyth, 1976:207). Setelah suaminya meninggal, Chigetsu menjadi biarawati Buddha sehingga dia juga dipanggil dengan “Chigetsu-Ni” ( 智月尼 ) yang berarti “Biksuni Chigetsu”(Weidner, 1990:225; Bowers, 1996:41). Sebuah lukisan dari Yoga Buson (1716-1784) yang berjudul “Portrait of Chigetsu” yang ditemukan pada 1799, melukiskan sosok Biksuni Chigetsu yang sedang memandang ke bawah sambil mendengarkan suara serangga di akhir musim panas, sesuai dengan isi haiku yang juga ditulis oleh Buson dalam lukisan tersebut (Addiss et al., 1995:46-47). Mengenai Chigetsu, Masaoka Shiki (1867-1902) mengatakan bahwa “Chigetsu sesuci bunga teratai” (Blyth, 1976:207). Haikunya adalah sebagai berikut:
山櫻 / 散るや小川の / 水車 Yama-zakura / chiru ya ogawa no / mizuguruma (Blyth, 1976:208) Terjemahan: Sakura gunung berguguran ke kincir air di sungai kecil 61
Sebelum membahas keseluruhan makna di dalam haiku kedua, penulis akan menganalisis terlebih dahulu setiap kata dan klausa dalam tiap baris haiku ini.
3.2.1 Analisis Klausa “Yama-zakura Chiru” Frase “yama-zakura” yang terdapat dalam haiku kedua ini, ditulis dengan kanji “山” yang dibaca “yama”, memiliki arti gunung (Nelson, 2005:346), dan kanji “櫻” (bisa juga ditulis dengan “桜”), yang dibaca “sakura”, diartikan sebagai sakura; pohon ceri yang berbunga; bunga ceri (Nelson, 2005:500). Apabila kedua kanji ini digabung akan dibaca “yama-zakura”, dengan perubahan pelafalan “sakura” menjadi “zakura”, dan menurut Nelson (2005:347), diartikan sebagai pohon ceri liar; prunus serrulata. Lalu menurut Shinmura (2007:2693), frase “yama-zakura” memiliki arti sebagai berikut: やまーざくら「山桜」1.山に咲く桜。2.バラ科の高木。関東以南の山 地に自生するサクラ。 Terjemahan: Yama-zakura 1. Sakura yang mekar di gunung. 2. Pepohonan tinggi dari familia sejenis mawar. Bunga sakura yang berhabitat di pegunungan sebelah selatan daerah Kantou.
Yama-zakura adalah salah satu dari jenis varietas sakura. Yama-zakura tumbuh secara liar di atas pegunungan sebelah selatan dari pulau Honshu tengah. Pohon sakura dari varietas ini tingginya dapat mencapai 20-25 meter (66 sampai dengan 82 kaki). Daunnya mempunyai pinggiran bergerigi, dan warna bunganya mulai dari merah muda sampai berwarna keputihan (Danandjaja, 1997:318). Dari pengertian-pengertian di atas, maka penulis beranggapan bahwa kata “yama-zakura” di dalam haiku kedua ini
62
mengacu pada dua arti yang memiliki nuansa yang sama, yaitu sejenis varietas sakura yang tumbuh di daerah pegunungan, atau bunga sakura yang mekar di gunung. Dalam sub bab 3.2.1 ini, penulis akan menganalisis klausa “yama-zakura chiru” yang terdapat dalam haiku kedua dan berdasarkan beberapa konsep tentang makna simbol bunga sakura bagi masyarakat Jepang yang terdapat dalam landasan teori pada bab 2, penulis akan menganalisis makna sakura dari haiku kedua ini. Seperti yang sudah dipaparkan di atas, frase “yama-zakura” mengacu kepada bunga sakura yang mekar di gunung, sedangkan kata “chiru” di dalam klausa ini, ditulis dengan kanji “散る”, memiliki arti jatuh; menyebar; gugur; berguguran (Nelson, 2005:459). Berdasarkan pengertian tersebut, maka klausa “yama-zakura chiru” apabila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia akan menjadi “Sakura gunung yang berguguran”. Menurut Aikawa (1997:332), bunga sakura yang mekar merupakan lambang kebahagiaan dan harapan baru, begitu juga menurut Chevalier (1996:418), yang menyatakan bahwa bunga sakura yang mekar merupakan lambang kebahagiaan dan musim semi. Bunga sakura yang mekar memperlihatkan kepada kita suatu fase awal dari kehidupan. Tetapi sebaliknya, bunga sakura yang gugur, bagi orang Jepang melambangkan kematian (Aikawa, 1997:332). Begitu juga menurut Keene (2000:33), yang menyatakan bahwa bagi para penyair, jasad seseorang dan sakura yang gugur memiliki makna yang sama. Keduanya mengacu pada ketidakabadian. Oleh karena sakura dan kematian mempunyai makna esensial yang sama, maka dalam puisi-puisi Jepang, akan lebih berseni dan elegan dengan menyebut tentang sakura dibandingkan tentang kematian.
63
Mengenai sakura sebagai lambang kematian dalam masyarakat Jepang, Chevalier (1996:419), menyatakan seperti di bawah ini: かよわく短命で、すぐに風に散っていくサクラの花は、日本ではまた死ぬ, そして人生のはかなさを象徴する。 Terjemahan: Bunga sakura yang jatuh berguguran oleh angin, begitu rapuh dan hidupnya berjangka waktu pendek. Oleh karena itu, di Jepang, sakura melambangkan kematian, serta kehidupan yang hanya sesaat ini. Menurut Takahashi dalam Sari (2007:65), dalam legenda cerita dewa Kiki (Kojiki dan Nihongi), muncullah tokoh bernama Konohana Sakuya Hime yang disebut-sebut sebagai Sakura. Konohana Sakuya Hime adalah putri dari Ooyamatsumi no Kami, istri Ninigi no Mikoto, ibu dari Honosusori no Mikoto dan Hikohohode Mikoto. Pada waktu Ninigi menghendaki Sakuya Hime karena kecantikannya, Ooyamatsumi menghadiahkan Sakuya Hime beserta kakak perempuannya, Iwanaga Hime yang buruk rupa. Sayangnya Ninigi hanya menghendaki Sakuya Hime dan mengembalikan Iwanaga Hime. Padahal Ooyamatsumi mengirimkan keduanya karena mempunyai alasan tersendiri. Karena Iwanaga Hime berumur panjang, maka Ooyamatsumi ingin agar keturunan Ninigi berparas cakap dan berumur panjang. Akan tetapi, karena Ninigi sudah menolak Iwanaga Hime, maka keturunannya, yaitu manusia, mempunyai jiwa yang rapuh dan kosong ‘moroku hakanai’ seperti umur bunga sakura yang pendek. Dari pernyataan-pernyataan di atas, maka dapat dikatakan bahwa bagi masyarakat Jepang, bunga sakura yang berguguran juga merupakan lambang dari kematian. Berkaitan dengan hal ini, penulis akan memaparkan sedikit penjelasan mengenai kematian. Menurut Sanjivaputta (1999:II-1), kematian merupakan kebalikan dari
64
kehidupan. Definisi kematian secara umum dinyatakan oleh Sanjivaputta (1999:II-1) seperti di bawah ini: Kematian adalah kondisi terhentinya pernafasan (cessation of breathing). Tanpa adanya pernafasan tak ada pula kehidupan. Melalui pernafasan, mahluk hidup di dunia ini memperoleh oksigen yang dibutuhkan oleh seluruh organ dan sel tubuh. Bila tidak mendapatkan oksigen yang dipompakan dari paru-paru, jantung akan berhenti berdetak yang berakibat pada terhentinya peredaran darah pada tubuh. Apabila jantung dan paru-paru berhenti bekerja (cardio pulmonary malfunction), otak yang berfungsi sebagai pusat pengaturan saraf (neurological function) akan mengalami kerusakan karena kekurangan oksigen. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, kerusakan ini berakibat fatal bagi keberlangsungan organisme dalam tubuh mahluk hidup, yaitu kematian. Sedangkan menurut Yagi dalam Burhan (2006:9), di Jepang, kematian atau “死” (shi), dianggap sebagai keadaan setelah “魂” (tamashii) roh atau jiwa, berpisah dengan “肉体”(nikutai) atau raga. Hal yang berhubungan dengan kematian juga dapat dilihat pada kata “yama” yang memiliki arti gunung, pada frase “yama-zakura”. Menurut Gaskell (2003:515), gunung memiliki arti makna simbol beraspek negatif yang merupakan simbol ego manusia, seperti kebanggaan, ambisi, kesombongan, ketamakan, hasrat untuk menguasai sesama, dan sebagainya. Dengan gugurnya bunga sakura gunung tersebut, yang merupakan lambang dari kematian, maka hal itu mengacu pada suatu penggambaran dimana kondisi ego-ego manusia seperti yang sudah disebutkan di atas, akan sirna. Dengan kematian, ego manusia seperti ambisi, kesombongan, ketamakan, hasrat untuk berkuasa tersebut akan berakhir dikarenakan terhentinya kehidupan (berakhirnya nyawa). Berdasarkan analisis pada sub bab 3.2.1 ini, maka menurut penulis, klausa “yamazakura chiru” di dalam haiku kedua ini memiliki arti sebagai lambang kematian. Penjelasan mengenai makna referensial dari klausa “yama-zakura chiru” dapat dilihat dari diagram berikut: 65
Diagram 3.2.a Hubungan Antara Klausa “Yama-zakura Chiru ” Dengan Rujukannya Rujukan (Reference) Kematian
Kata (Symbol)
Objek (Referent)
Yama-zakura chiru (Sakura gunung berguguran)
Bunga sakura yang mekar digunung, jatuh berguguran
3.2.2 Analisis Klausa “Ogawa no Mizuguruma” Klausa ini terdiri dari frase “ogawa” dan frase “mizuguruma”. Di dalam haiku ini, frase “ogawa” ditulis dengan kanji “小” yang dibaca “o”, yang menurut Nelson (2003:331), memiliki arti kecil. Sedangkan kanji “川” yang dibaca “kawa”, yang di sini mengalami perubahan pelafalan menjadi “gawa”, memiliki arti sungai (Nelson, 2003:351). Apabila digabung, kedua kanji ini akan menjadi frase “ogawa” ( 小川 ) yang berarti sungai kecil; anak sungai; selokan (Nelson, 2003:331). Frase kedua dalam klausa ini adalah “mizuguruma”. Dalam haiku ini frase “mizuguruma” ditulis dengan kanji “水” yang dibaca “mizu”, yang menurut Nelson (2003:532), memiliki arti air. Sedangkan kanji “車” yang dibaca “kuruma”, yang di sini mengalami perubahan pelafalan menjadi “guruma”, memiliki arti roda; kendaraan; 66
kereta (Nelson, 2003:864). Apabila digabung, kedua kanji ini akan menjadi frase “mizuguruma” (水車) yang di dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai kincir air (Nelson, 2003:533). Dari pengertian di atas, maka menurut penulis, apabila kedua frase tersebut digabungkan, maka akan menjadi klausa “ogawa no mizuguruma” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “kincir air di sungai kecil”, dan mengacu kepada objek kincir air yang terdapat di sebuah sungai kecil. Menurut Shinmura (2008:2553), kata “mizuguruma” yang merupakan objek dari klausa ini memiliki arti sebagai berikut: みずーぐるま「水車」水力を利用して車を回し、機械を動かして、米など を搗く装置。 Terjemahan: Mizuguruma: Kincir air: Sebuah sistem roda yang berputar dengan menggunakan tenaga air, yang berfungsi untuk menjalankan alat penggiling padi dan sebagainya. Sedangkan dalam KBBI, (1995:503), kata “kincir air” memiliki arti sebagai berikut: Kincir air: 1. Roda yang diputarkan dengan pertolongan air untuk menjalankan mesin. 2. Roda bertangguk untuk mengangkat air dari bandar (sungai) yang akan dialirkan ke sawah dan sebagainya. Menurut Lewis (1997:50), kincir air adalah sebuah alat yang merubah energi aliran air ke dalam bentuk energi yang lebih bermanfaat, dimana dalam proses ini juga disebut dengan “tenaga air”. Pada abad pertengahan, kincir air digunakan di berbagai negara sebagai alat yang sangat penting dalam pertanian. Umumnya, kincir air digunakan sebagai penggerak alat penggiling gandum dan padi. Kincir air terdiri dari roda besar (yang terbuat dari kayu atau logam), dengan ruas-ruas yang terdapat di dalam roda besar tersebut. Roda ini akan berputar oleh karena aliran air sungai. Selain untuk menggerakan alat penggiling, Kincir air sudah digunakan untuk keperluan irigasi sejak tahun 600SM
67
(Challoner, 1997:12). Sebuah kincir air mempunyai baling-baling yang disebut sudu, ketika air dialirkan dan mengenai sudu, sudu akan memutar kincir berputar. Pada awal ditemukan, kincir air digunakan untuk menggerakkan mesin penggiling. Pada zaman sekarang ini, kincir air dapat digunakan untuk menghasilkan listrik (Sulaiman, 2004:100). Di dalam haiku kedua ini, klausa yang mendahului klausa “ogawa no mizuguruma” adalah klausa “yama-zakura chiru” yang menurut analisis penulis pada sub bab 3.2.1, memiliki makna referensial yang melambangkan kematian. Oleh karena itu, melalui analisis struktur puisi berdasarkan hubungan makna antar klausa, maka menurut penulis, klausa “ogawa no mizuguruma” di dalam haiku ini merupakan suatu majas metafora yang membandingkan antara kincir air dengan roda samsara, sebuah konsep tentang siklus kelahiran kembali setelah kematian (juga disebut dengan tumimbal lahir) yang terus berulang-ulang, dimana konsep ini terdapat dalam ajaran agama Buddha (Piyadassi, 2003:112). Mengenai samsara, yang di dalam bahasa Jepang disebut Rinne (輪廻, roda kehidupan), Chevalier (1996:439-440), menyatakan sebagai berikut: サンサーラ:輪廻:サンスクリットの用語から(ともに流れるの意味)で 、誕生と死の周期や、現象の変転を示す。 Terjemahan: Samsara: Roda Kehidupan: Dari bahasa Sansekerta (yang secara harafiah berarti mengalir), merupakan fenomena perputaran siklus kelahiran dan kematian. Menurut Wallace (2003:92), samsara adalah siklus dari eksistensi kehidupan. Lalu menurut Muljana (2005:143), samsara adalah rangkaian kelahiran dan kematian. Walls (2007:151) juga menyatakan bahwa samsara merupakan siklus perputaran kelahiran dan
68
kematian dalam alam semesta. Berikutnya Stokes (2001:40) menyatakan bahwa samsara (pengembaraan) merupakan roda untuk terus menerus mengalami kehidupan dan kematian. Menurut Piyadassi (2003:124), samsara merupakan lingkaran kehidupan, sedangkan Dhammananda (2005:43), menyatakan tentang beberapa definisi dari samsara sebagai roda kehidupan, putaran kelahiran, silih bergantinya kelahiran dan kematian yang terus-menerus, arus kehidupan yang terus menerus, serta pengembaraan hidup yang tak henti-hentinya di dalam samudra kelahiran dan kematian. Agama Buddha mempercayai kehidupan manusia senantiasa berulang seperti roda yang tiada permulaan dan pengakhiran, yaitu setiap manusia yang mati pasti akan dilahirkan kembali. Kehidupan tidak pernah terhenti dengan kematian dan senantiasa berkitar dari masa ke masa. Manusia akan dilahirkan kembali mengikuti perbuatannya pada masa lalu. Sekiranya pada kehidupan yang lalu dia banyak melakukan kebaikan, seseorang tersebut akan dilahirkan kembali ke dalam keadaan yang lebih baik, sebaliknya apabila banyak melakukan kejahatan maka akan dilahirkan kembali dalam keadaan yang lebih rendah, seperti alam hewan, dan sebagainya. Konsep inilah yang disebut doktrin samsara, kehidupan dan kematian senantiasa berputar ibarat roda. Samsara bermakna putaran atau kitaran yang berterusan (Rahman, 2005:42). Menurut Sanjivaputta (1999:II-5), definisi kematian dalam agama Buddha tidak hanya sekedar ditentukan dari unsur-unsur jasmaniah. Ketidakberfungsian organ-organ tubuh hanya merupakan gejala atau pertanda atau akibat yang tampak dari kematian. Faktor terpenting yang menentukan kematian ialah unsur-unsur batiniah suatu mahluk hidup. Seseorang dapat dikatakan mati apabila kesadaran ajal telah muncul dalam dirinya. Begitu muncul sesaat, kesadaran ajal akan langsung padam. Kepadaman kesadaran ajal merupakan penghabisan, dan pada unsur-unsur jasmaniah, kematian 69
ditandai dengan terputusnya kemampuan hidup. Inilah definisi dari kematian menurut pandangan agama Buddha. Batin atau energi mental tubuh, tidak lenyap oleh kematian melainkan terus mengalami perubahan dan akan tersusun serta terbentuk kembali dalam keadaan yang baru. Hal inilah yang disebut kelahiran kembali. Proses karma adalah energi dari kehidupan sekarang yang mempengaruhi kehidupan selanjutnya, berturut-turut tanpa akhir (Piyadassi, 2003:183). Dhammananda (2005:98) juga menyatakan bahwa kelahiran kembali terjadi karena ketika badan jasmani ini tak mampu lagi berfungsi, energi tidak mati bersamanya, namun terus mengambil bentuk atau wujud yang lain, yang disebut dengan kehidupan lain. Kekuatan karma dapat mewujudkan dirinya sendiri dalam bentuk manusia, hewan, dan sebagainya. Kekuatan ini (nafsu, keinginan, hasrat, kehausan untuk hidup) tidak akan berakhir dengan tak berfungsinya tubuh, tapi terus mewujud dalam bentuk lain dengan persekutuan energi semesta yang ada yang menghasilkan kelahiran kembali (tumimbal lahir). Di sini penulis tidak menggunakan kata reinkarnasi melainkan proses kelahiran kembali. Hal itu dikarenakan kata reinkarnasi dan kelahiran kembali ternyata memiliki makna yang berbeda, meski hampir mendekati. Piyadassi (2003:114), menyatakan bahwa reinkarnasi, kata yang lebih terkenal di Barat, mempunyai arti mengisi kembali badan jasmani dengan satuan batin, atau perpindahan jiwa abadi dari satu badan jasmani ke badan jasmani yang lain (penitisan). Kata reinkarnasi kurang sesuai untuk menyampaikan konsep dari agama Buddha, yang tidak mengenal kesatuan rohani yang tak berubah. Dalam ajaran agama Buddha tidak ada diri atau roh yang kekal. Kata yang umum dan lebih mendekati yang digunakan dalam ajaran agama Buddha adalah 70
kelahiran kembali atau tumimbal lahir (rebirth). Bagaimanapun, kata kelahiran kembali tidak menyiratkan arti bahwa terdapat sesuatu yang kekal yang setelah kematian menempati badan jasmani lagi, seperti makna yang disiratkan oleh kata reinkarnasi. Istilah kelahiran kembali, didalam naskah Buddhis berbahasa Pali adalah Punabbhava yang berarti tumimbal lahir (pembaharuan kembali eksistensi) (Piyadassi 2003:115). Buddha mengatakan bahwa sesuai dengan karmanya manusia akan bertumimbal lahir dan dalam tumimbal lahirnya manusia akan menerima akibat dari perbuatannya sendiri. Semua mahluk adalah ahli waris dari perbuatannya sendiri. (Wijayamukti, 2006:237). Karma di dalam bahasa Pali berarti perbuatan. Karma merupakan hukum moral yang menimbulkan akibat yang menentukan nasib setiap mahluk hidup dan menyebabkan kelahiran kembali (Piyadassi, 2003:117). Lalu menurut Takada (1997:66), karma yang di dalam bahasa Jepang disebut dengan Inga ( 因果 ), dijelaskan seperti di bawah ini: 「因果」とは原因と結果という意味で、ある原因があれば、必ず、なんら かの結果を招くし、ある結果はなんらかの原因があったから生じていると いう考え方です。 Terjemahan: Inga, memiliki arti sebab dan akibat, yaitu pemikiran bahwa apabila ada suatu sebab, maka pasti akan membawa suatu akibat, begitu pula suatu akibat, yang ada dikarenakan adanya suatu sebab. Dhammananda (2005:22) juga menyatakan bahwa hukum karma merupakan hukum sebab dan akibat, aksi dan reaksi yang merupakan hukum alam. Tidak ada hubungannya dengan gagasan mengenai penghakiman, ganjaran imbalan atau penjatuhan hukuman. Setiap mahluk adalah pemilik yang bertanggung jawab atas perbuatan atau karmanya sendiri. Ia adalah ahli waris dari karmanya sendiri, lahir dari karmanya sendiri, berhubungan dengan karmanya sendiri, terlindung oleh karmanya sendiri. Apa saja yang
71
diperbuatnya, baik atau buruk, begitu pula yang diwarisinya (Wijayamukti, 2006:193). Berhubungan dengan kelahiran kembali sesuai karma yang diperbuat ketika hidup, Takada (1997:164), menyatakan seperti di bawah ini: 仏教の発祥の地インドでは、今でも、あらゆる生き物は死んでもまた生ま れ変わり、何度も生死を繰り返すと信じられています。仏教もこの考え方 を取り入れ、私たちは次の6つの世界に生まれ変わるとしました。すなわ ち、地獄界(道)、餓鬼界(道)、阿修羅界(道)、畜生界(道)、人界 (道)、天界(道)の6つです。この6つの世界を「六道」と呼んでいま す。すべての生あるものは、生前の行いによって、死ぬと、この6つ世界 のいずれかに生まれ変わります。これを「輪廻転生」とか「六道輪廻」と 呼びます。しかし、これらの世界はいずれも苦しみの世界だといわれてい ます。喜びと快楽に満ちた天人の世界でさえ、老死を免れ得ない苦の世界 なのです。 Terjemahan: Di India dimana ajaran Buddha berasal, sampai saat ini dipercaya bahwa semua mahluk hidup akan mati dan terlahir kembali, dan proses ini akan terus berulang. Ajaran Budha mengambil konsep pemikiran ini, dimana kita akan terlahir kembali kedalam enam alam, yaitu, alam neraka, alam roh kelaparan, alam para dewa, alam binatang, alam manusia, dan alam surga. keenam alam ini disebut dengan “Enam Jalan”. Semua mahluk hidup, setelah mati akan terlahir kembali disalah satu alam, tergantung dari perbuatan mereka ketika hidup. Hal ini disebut dengan “Siklus Kelahiran Kembali”atau “Kelahiran Kembali kedalam Enam Jalan”. Tetapi, yang manapun dari keenam alam ini merupakan alam penderitaan. Sekalipun dialam surga yang penuh kebahagiaan dan kesenangan, tetap saja alam penderitaan, karena akan tetap mengalami ketuaan dan kematian. Indrahartanto (2008:100) memaparkan bahwa kelahiran kembali ke dalam enam alam seperti yang telah disebutkan di atas, masing-masing memiliki penyebab karma sebagai berikut: 1. Alam surga, merupakan tempat terlahirnya kembali roh yang semasa hidupnya memiliki karma baik dengan perbuatan terpuji dan dermawan, namun dianggap masih belum mencapai pencerahan hakiki.
72
2. Alam manusia, merupakan tempat berseminya karma. Dialam ini terdapat dua kesempatan memilih, apakah untuk mencapai pencerahan atau kesengsaraan. 3. Alam hewan, atau alam binatang, merupakan alam yang penuh kebodohan dan diatur oleh hukum rimba. Merupakan tempat terlahirnya kembali roh-roh yang semasa hidupnya melakukan karma yang sangat buruk, seperti bersikap ateis, melakukan tindakan kriminal biadab, berkelakuan seperti binatang yang tidak peduli adab susila. 4. Alam neraka, merupakan alam kesengsaraan, tempat terlahirnya kembali para roh sebagai ganjaran atas perbuatan jahat yang dilakukan pada kelahiran sebelumnya.Kehidupan di neraka tidaklah kekal. Dengan habisnya karma buruk, penghuni neraka kemudian dapat terlahir dialam lain. (Wijayamukti, 2006:266) 5. Alam hantu kelaparan, merupakan alam yang dihuni oleh roh yang disiksa dengan rasa lapar dan haus berkepanjangan. Hal ini disebabkan oleh ketamakan, mementingkan diri sendiri dan tidak mau berbagi kepada orang yang tidak mampu. 6. Alam para dewa, atau alam asura, merupakan alam yang dihuni oleh roh-roh super namun mereka selalu termotivasi oleh rasa iri dan dengki. Roh yang terlahir kembali dialam ini adalah para spiritualis (tokoh agama, pendeta, rahib, biarawan dan sebagainya) yang tidak bisa menahan kebencian dan kedengkian sehingga terhalang untuk masuk alam surga, namun pengabdian mereka kepada keagamaan ketika hidup mampu mencegah mereka memasuki alam neraka. Menurut Wijayamukti (2006:268), Nichiren (1222-1282) di dalam Kanjin no Honzonsho menjelaskan keenam alam tempat terlahirnya kembali jiwa dengan perumpamaan sebagai berikut: 73
Bila kita mengamati wajah seseorang pada waktu berlainan, kita mendapatkan bahwa orang itu terkadang penuh kegembiraan, terkadang marah, dan terkadang tenang. Kadang kala keserakahan muncul di wajah orang tersebut, kadang kala kebodohan dan sekali waktu kejahatan. Kejahatan adalah alam neraka, keserakahan adalah alam kelaparan, kebodohan adalah alam hewan atau binatang, kemarahan adalah alam para dewa, ketenangan adalah alam manusia, dan kegembiraan adalah alam surga. Dalam ajaran Buddha, dikatakan bahwa jiwa-jiwa akan terus mengalami siklus perputaran kelahiran dan kematian yang tanpa akhir ini sepanjang masa, mengembara dari satu alam ke alam lain. Cara untuk mengakhiri siklus perputaran roda samsara adalah hanya dengan mencapai pencerahan sempurna atau nirwana (nirwana sudah dijelaskan pada sub bab 3.1.3), karena apabila berhasil mencapai nirwana, itu berarti telah bebas dari penderitaan secara total, karena penderitaan melekat pada eksistensi manusia dan makluk yang mengalami kelahiran kembali (Wijayamukti, 2006:247). Buddha mengajarkan bahwa kegelapan batin akan menghasilkan nafsu. Nafsu yang tak kunjung padam adalah penyebab kelahiran kembali. Jika nafsu telah padam maka proses kelahiran kembali akan terhenti. Pemadaman seluruh nafsu adalah pencapaian batin tertinggi yang disebut nirwana (Dhammananda 2005:98). Didukung oleh penjelasan-penjelasan di atas, maka menurut analisis penulis, klausa “ogawa no mizuguruma” di dalam haiku kedua ini merupakan suatu majas metafora yang membandingkan antara kincir air dengan roda samsara. Kedua hal ini memiliki persamaan-persamaan, dimana melihat dari simbol bentuk, siklus samsara yang disebut sebagai roda samsara atau roda kehidupan, dapat dimetaforakan dengan bentuk kincir air yang merupakan sebuah objek benda berbentuk roda. Sebagai pendukung dan pembuktian dari analisis penulis, dapat dilihat dalam Indrahartanto (2008:99), di mana terpapar gambar simbol roda kehidupan (samsara) yang bentuknya sangat mirip sekali dengan bentuk kincir air. Terdapat persamaan bentuk, yaitu sama-sama berbentuk roda, 74
dengan ruas-ruas yang membagi ruang bagian dalam roda. Lambang roda kehidupan (samsara) yang menyerupai bentuk kincir air tersebut, terbagi ke dalam enam bidang utama, yang masing-masing mewakili satu alam kelahiran kembali. Selanjutnya persamaan juga terletak pada sistem kerja, yakni kincir air berputar oleh karena arus aliran sungai. Selagi masih ada arus aliran sungai, maka roda kincir air akan terus menerus berputar tanpa henti pula. Persamaan dalam hal ini dapat kita lihat di dalam klausa “ogawa no mizuguruma” pada frase “ogawa” yang diartikan sebagai sungai kecil. Menurut penulis, sungai di dalam klausa ini merupakan pemetaforaan dari kehidupan. Menurut Chen (1995:45), dalam ajaran Buddha sungai merupakan lambang dari kehidupan. Dikatakan bahwa aliran sungai adalah seperti kehidupan yang terus mengalir. Lalu Wijayamukti (2006:186) menyatakan bahwa suatu keberadaan atau hidup mengikuti perjalanan waktu, ibarat sebuah sungai yang mengalir, kehidupan selalu mengalir tanpa henti. Selagi ada kehidupan, pasti akan ada kematian, dan semua mahluk hidup yang mati pasti akan mengalami perputaran siklus samsara dimana dia akan dilahirkan kembali, kembali mati dan kembali dilahirkan berulang-ulang. Siklus samsara akan terus berulang selagi masih ada kehidupan. Sama seperti kincir air yang akan terus berputar selagi masih ada aliran arus sungai. Berdasarkan analisis penulis yang telah dipaparkan di atas, maka menurut penulis, klausa “ogawa no mizuguruma” dalam haiku ini merupakan suatu majas metafora di mana objek kincir air (yang terdapat di sebuah sungai kecil) merupakan pengibaratan dari roda samsara (siklus kelahiran kembali setelah kematian yang terus berulang-ulang) yang terdapat dalam konsep ajaran agama Buddha. Penjelasan mengenai makna referensial dari klausa “ogawa no mizuguruma” dapat dilihat dari diagram berikut:
75
Diagram 3.2.b Hubungan Antara Klausa “Ogawa no Mizuguruma” Dengan Rujukannya Rujukan (Reference) -Roda Kehidupan -Siklus samsara yang terus berputar -Proses kelahiran kembali (tumimbal lahir)
Kata (Symbol)
Objek (Referent)
Ogawa no mizuguruma (Kincir air di sungai kecil)
Kincir air di sungai kecil yang terus-menerus berputar oleh aliran arus sungai
3.2.3 Analisis Makna Keseluruhan dari Haiku Kedua Haiku kedua ini berbunyi: 山櫻 散るや小川の 水車 Yama-zakura chiru ya ogawa no mizuguruma (Blyth, 1976:208) Terjemahan: Sakura gunung berguguran ke kincir air di sungai kecil
Di dalam haiku kedua ini, kata “ya” dalam klausa “yama-zakura chiru ya” yang ditulis dengan huruf hiragana “や”, merupakan suatu kireji yang terdapat ditengahtengah haiku sebagai jeda (pause). Kata “ya” umumnya diterjemahkan sebagai tanda seru ( ! ), atau tanda baca lainnya seperti “ , ” dan “ ; ”, tetapi kata “ya” biasanya juga
76
dapat untuk tidak diterjemahkan (Gill, 2007:19). Oleh karena itu, untuk tujuan kesesuaian, penulis memutuskan untuk tidak menerjemahkan kata “ya” menjadi tanda baca apapun, dalam analisis haiku kedua ini. Berdasarkan keseluruhan analisis dalam sub bab 3.2.1 dan 3.2.2, maka menurut penulis, objek keseluruhan dari haiku kedua ini adalah bunga sakura yang mekar di gunung, berguguran jatuh mengalir ke kincir air yang terus-menerus berputar di sebuah sungai kecil. Hal tersebut merujuk kepada makna referensial secara keseluruhan dari haiku kedua ini yaitu, setelah kematian maka akan ada proses kelahiran kembali, yang di dalam ajaran agama Buddha konsep ini disebut dengan siklus samsara yang terus berulang. Hidup tidak hanya sekali. Siklus kelahiran dan kematian akan terus berulang. Kematian bukanlah akhir, karena seketika itu juga akan berlanjut dengan kelahiran kembali. Melalui lahir dan mati dari alam yang satu ke alam yang lain, ataupun kembali ke alam yang sama, para mahluk terus menjalani lingkaran tumimbal lahir (kelahiran kembali). Penjelasan mengenai makna referensial secara keseluruhan dapat dilihat dari diagram berikut: Diagram 3.2.c Segitiga Ogden & Richards Pembuktian Hubungan Makna Secara Keseluruhan Pada Haiku Kedua Rujukan (Reference) Setelah kematian akan ada kelahiran kembali (Siklus samsara yang terus berulang)
Kata (Symbol)
Objek (Referent)
77
山櫻 散るや小川の 水車 Yama-zakura chiru ya ogawa no mizuguruma (Sakura gunung berguguran ke kincir air di sungai kecil)
Bunga sakura yang mekar di gunung berguguran jatuh, mengalir ke kincir air yang terus menerus berputar di sebuah sungai kecil
3.3 Analisis Haiku Ketiga Haiku ketiga ini adalah haiku yang ditulis oleh Rooka ( 浪化 , 1672-1703). Nama kecilnya adalah Shoumaru (正丸). Rooka adalah anak Takunyo (琢如), kepala biara Higashi Honganji dari sekte aliran Buddha Shin. Rooka juga merupakan seorang biarawan. Dia bertemu dengan Matsuo Basho (1644-1694) dan kemudian menjadi salah seorang murid Basho. Dia sangat mengidolakan dan menghormati Basho. Ketika Basho meninggal, dia menerima sedikit rambut Basho sebagai kenang-kenangan, lalu dia juga yang membangun makam Basho dan pertapaan yang disebut kurokami an (黒髪庵) untuk mengenang Basho (Blyth, 1976:195). Haikunya adalah sebagai berikut: 水鳥の / 群にわけゆく / 櫻かな Mizutori no / mure ni wakeyuku / sakura kana (Blyth, 1976:196) Terjemahan: Kawanan unggas air memencar, oh bunga sakura! Sebelum membahas keseluruhan makna di dalam haiku ketiga, penulis akan menganalisis terlebih dahulu setiap kata dan klausa dalam tiap baris haiku ini.
3.3.1 Analisis Klausa “Mizutori no Mure ni Wakeyuku” Klausa dalam haiku ketiga ini ini terdiri dari frase “mizutori”, kata “mure”, dan frase “wakeyuku”. Frase “mizutori” ditulis dengan kanji “水” yang dibaca “mizu”, menurut
78
Nelson (2005:532), memiliki arti air, dan kanji “鳥” yang dibaca “tori”, diartikan sebagai burung; unggas (Nelson, 2005:985). Apabila kedua kanji ini digabung akan dibaca “mizutori”, yang menurut Nelson (2005:534), diartikan sebagai unggas air.
Selanjutnya kata “mure” dalam klausa ini ditulis dengan kanji “群” yang dibaca “gun” atau “mure” (群れ), yang memiliki arti; kelompok; orang banyak; geng; kumpulan; kawanan; rombongan (Nelson, 2005:724). Menurut Shinmura (2008:2609), kata “mure” dijelaskan sebagai; kumpulan, rombongan, kawanan, dan kelompok. Lalu menurut KBBI, (1995:455), mengartikan kawanan sebagai sekumpulan orang; sekumpulan binatang yang sejenis; sekumpulan binatang yang berkawan; sekelompok manusia. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka apabila frase “mizutori” digabungkan dengan kata “mure” dengan partikel “no” di antaranya maka akan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “kawanan unggas air”. Menurut Shinmura (2008:2544), definisi mizutori atau unggas air dijelaskan seperti di bawah ini: みずーとり「水鳥」水辺に生息する鳥。「浮き」「鴨」などにかかる。 Terjemahan: Unggas air. Unggas yang hidup dan berhabitat di tepi perairan. Berhubungan dengan kata-kata seperti (mengapung) dan (bebek). Sedangkan menurut KBBI, (1995:1104), kata unggas air dijelaskan sebagai unggas yang senang hidup di air, seperti bebek dan mentok. Sebenarnya unggas air juga biasa disebut burung air (Mangunjaya, 2006:224; Feldman, 2007:172; Soetrisno, 2002:6), tetapi mengikuti Nelson (2005:534), yang mengartikan mizutori ke dalam bahasa
79
Indonesia sebagai unggas air, maka penulis memutuskan untuk seterusnya memakai kata unggas air di dalam analisis haiku ketiga ini. Menurut LeMaster (1996:6), unggas air (waterfowl) diidentifikasi sebagai “species of ducks, geese, and swans” dan hal serupa juga diungkapkan oleh Smith (2000:2). Duck di dalam bahasa Jepang yaitu “kamo” dengan tulisan kanji “鴨” (Haig, 1997:196), swan yaitu “hakuchou” dengan tulisan kanji “白鳥” (Haig, 1997:763), serta goose yaitu “gan” atau disebut juga “kari” dengan tulisan kanji “雁”atau “鴈” (Haig, 1997:172). Lalu, apabila diartikan ke dalam bahasa Indonesia, menurut Echols (2000:201), duck adalah bebek atau itik sedangkan swan menurut Echols (2000:572), adalah angsa. Akan tetapi menurut Echols (2000:276), goose diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia juga sebagai angsa), sama seperti terjemahan swan dan dalam KBBI (1995:266), secara umum di masyarakat Indonesia malah kadang-kadang ditujukan kepada unggas air sejenis bebek yang disebut dengan mentok atau entok (itik manila; itik serati) Sebenarnya nama goose menunjuk pada sejenis angsa liar yang terbang bermigrasi ke selatan ketika musim dingin (Dalby, 2007:20). Dikarenakan mereka bermigrasi ketika musim dingin, maka dapat dipastikan bahwa hewan ini hidup di negara yang memiliki empat musim, misalnya Eropa dan Jepang tentunya. Negara Indonesia merupakan negara tropis yang hanya memiliki dua musim, oleh karena itu, di Indonesia memang tidak angsa yang bermigrasi keselatan pada saat musim dingin, dan menurut penulis, hal ini kemungkinan merupakan salah satu sebab utama mengapa terjemahan bahasa Indonesia untuk goose disamakan dengan terjemahan untuk swan, yaitu angsa. Hal ini terlihat juga dari pernyataan Soetrisno (2002:6), di dalam buku berbahasa Indonesia yang hanya memaparkan bahwa secara umum yang termasuk unggas air adalah bebek
80
(itik) dan angsa. Oleh karena alasan-alasan di atas, untuk lebih memperjelas, maka penulis akan menerjemahkan goose sebagai angsa liar untuk membedakannya dari swan (angsa), didalam analisis ini.
Menurut Wobeser (1997:2), unggas air merupakan anggota dari famili Anatidae, yang secara umum diklasifikasikan ke dalam jenis-jenis bebek (itik), angsa, dan angsa liar. Ciri-ciri unggas air termasuk pada kaki yang berselaput, anakan yang langsung dapat berenang di air sesaat setelah menetas, dan pada umumnya berparuh lurus dan datar. Unggas yang memiliki ciri-ciri seperti di atas maka dapat diklasifikasikan sebagai unggas air. Menurut Batt (1992:xiii), unggas air pertama kali muncul pada periode awal zaman cenozoic, sekitar lima puluh juta tahun yang lalu. Unggas air berhabitat di lingkungan akuatik, pada umumnya perairan air tawar seperti sungai dan danau, dan ada juga yang hidup di perairan laut. Salah satu karakteristik unggas air adalah sistem berpasangan monogami (monogamous mating systems) dan melakukan pengasuhan terhadap anakan (parental care). Unggas air biasanya mempunyai sistem berpasangan monogami secara permanen (Batt, 1992:xiv). Hal ini didukung pula oleh Kear (2005:114) yang menjelaskan bahwa secara umum sistem berpasangan bebek adalah monogami, begitu juga dengan angsa. Hal yang sama terjadi pada angsa liar, yang juga memiliki sistem berpasangan monogami, dimana pada umumnya unggas air tersebut hidup bersama satu pasangan permanen (Carboneras, 1992:536). Sistem pengasuhan anakan (parental care) pada unggas air dimanifestasikan dalam berbagai bentuk. Secara umum, sepasang induk dan pejantan berkerja sama dalam proses pengeraman telur (Batt, 1992:xiii). Anakan yang baru menetas tidak lama 81
kemudian akan segera dapat berenang dan mereka akan dipandu dari sarang ke air oleh induk dan pejantan. Umumnya induk dan pejantan unggas air kedua-duanya akan bersama-sama membesarkan anakan mereka. Kebanyakan anakan unggas air akan langsung mampu mencari makan sendiri (self feeding), tetapi pada beberapa jenis unggas air, anakan akan diberi makan langsung oleh induknya. Hidup secara mengelompok merupakan karakter dasar dari unggas air. Pada beberapa jenis, unggas air membangun koloni sarang, dimana sarang-sarang yang dibangun berkelompok ini dapat menghindari ancaman predator di lingkungan mereka. Lokasi sarang biasanya berdekatan dengan air (Batt, 1992:xiv). Pada haiku ketiga ini, klausa “mizutori no mure” yang diartikan sebagai kawanan unggas air, mengacu kepada objek sekawanan unggas air, yang berdasarkan penjelasan diatas, dapat kita ketahui bahwa hidup berkelompok memang merupakan suatu karakteristik dari unggas air. Lalu selanjutnya, frase yang terletak setelah klausa “mizutori no mure” adalah frase “wakeyuku”. Frase “wakeyuku” adalah sebuah kata kerja (動詞) yang terbentuk sebagai hasil penggabungan beberapa morfem isi, yang disebut dengan fukugoudoushi ( 複合動詞 , kata majemuk) (Sutedi, 2003:46). Frase “wakeyuku” ini terdiri dari kata “wake” yang ditulis dalam huruf hiragana “わけ” berdasarkan kanji “別ける”, yang menurut Nelson (2005:198), memiliki arti berpisah, bubar, tercerai berai, berpencar, dan kata “yuku / iku” yang ditulis dalam huruf hiragana “ゆく” berdasarkan kanji “ 行く”, menurut Nelson (2005:801), memiliki arti pergi. Berkaitan dengan hal ini, menurut Shinmura (2008:2722), pelafalan kata “yuku” untuk membaca kanji “ 行く” dipakai sejak jaman Nara dan Heian dan sampai sekarang masih eksis dan dipakai bersama-sama pelafalan kata “iku”. Berdasarkan pengertian diatas dan
82
hubungannya dengan klausa yang mengawalinya, (“kawanan unggas air”), maka menurut penulis, terjemahan dalam bahasa Indonesia yang paling tepat untuk frase “wakeyuku” adalah “memencar”. Didalam KBBI, (1995:746), kata “memencar” dari kata dasar “pencar” memiliki arti; berserakan kemana-mana; tidak berkumpul atau berkelompok; bercerai-berai. Berdasarkan hal tersebut maka keseluruhan klausa “Mizutori no mure ni wakeyuku” diterjemahkan menjadi “Kawanan unggas air memencar” yang mengacu kepada objek sebuah fenomena atau kejadian dimana ada sekawanan unggas air yang memencar terpisah. Menurut analisis penulis, klausa “mizutori no mure ni wakeyuku” merupakan sebuah majas metafora dimana fenomena memencarnya kawanan unggas air didalam haiku ini mengibaratkan perpisahan dengan orang-orang yang dikasihi. Dalam penjelasan tentang unggas air di atas, kita mengetahui bahwa hidup berkelompok merupakan suatu karakteristik dari unggas air. Unggas air sering berkelompok di darat maupun ketika sedang berenang di air. Pada angsa liar, ketika mereka bermigrasi ke selatan ketika musim dingin, mereka terbang mengelompok dengan membentuk formasi yang disebut wedge atau skein. Dalam perjalanan ini, karena terbang berkelompok, kecepatan terbang mereka tujuh puluh satu persen lebih cepat dibandingkan bila terbang sendiri. Apabila dalam perjalanan ada yang terluka, maka mereka akan saling menopang anggota yang terluka tersebut (Carboneras 1992:536). Hal serupa juga diungkapkan Dalby (2007:20) yang menjelaskan bahwa angsa liar bermigrasi dalam unit keluarga, dimana pejantan terbang di depan sebagai pemimpin, indukan terbang di bagian belakang, serta anakan diantaranya. Ketika mereka turun ke air untuk beristirahat dan mencari makan, indukan yang akan mengambil alih memimpin
83
keluarga ketika berenang. Unggas air juga hidup berpasangan secara permanen dan melakukan sistem pengasuhan anakan (parential care). Karakter-karakter dari unggas air ini memiliki kesamaan dengan karakter manusia sebagai mahluk sosialis yang juga hidup secara berkelompok. Zuhri (2007:44) menyatakan bahwa manusia adalah mahluk sosial yang tidak akan sanggup hidup sendiri, tetapi selalu bergantung pada sesama. Pada dasarnya tidak ada seorang manusia pun yang tidak melakukan proses sosialisasi dalam hidupnya. Manusia hidup dari dan dalam kelompok masyarakat. Shils dalam Waluya (2007:66), memaparkan bahwa sosialisasi merupakan sebuah proses sepanjang umur yang perlu dilalui oleh satu individu untuk menjadi seorang anggota dalam kelompok masyarakatnya melalui pembelajaran kebudayaan dari kelompok masyarakat tersebut. Menurut Russon (2003:61), interaksi antar manusia dalam kelompok dimasyarakat secara umum terbagi atas tiga hubungan mendasar, yaitu, hubungan keluarga, hubungan berpasangan, dan hubungan persahabatan atau pertemanan. Secara umum, yang dimaksud dengan keluarga adalah sekelompok manusia (bisa juga hewan, dimana orang dewasa melakukan pengasuhan kepada anak-anak) dengan relasi pertalian darah. Dalam ikatan keluarga biasanya antar anggota keluarga saling memperhatikan dan saling mengasihi. Lalu yang dimaksud dengan hubungan berpasangan (human mating) adalah sebuah proses dimana seseorang terikat dalam hubungan dengan seorang lawan jenis dalam intensitas hubungan yang intim berjangka panjang atau pernikahan. Berikutnya, yang dimaksud dengan persahabatan atau pertemanan adalah hubungan kerjasama dan saling mendukung antara dua atau lebih entitas sosial. Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa ketiga interaksi sosial antar kelompok ini juga merupakan karakteristik
84
dari unggas air (sistem berpasangan permanen, pengasuhan anakan dan hidup dalam kelompok) meskipun pada hewan tidak ada emosi didalamnya. Ketiga hubungan yang mendasar dalam interaksi antar manusia ini merupakan bentuk hubungan dengan orang-orang dekat yang mengelilingi kita dalam kehidupan seharihari, yaitu orang tua, sanak saudara, pasangan dan sahabat. Orang-orang ini dapat disebut dengan orang-orang terkasih (Ristiandi, 1991:78). Frankel (2006:164), juga menyatakan bahwa yang disebut orang-orang terkasih adalah pasangan, anggota keluarga, dan teman, yang didalam haiku ini diibaratkan dengan kawanan unggas air. Frase “wakeyuku” yang diterjemahkan memencar, adalah pengibaratan dari sebuah fenomena perpisahan, karena kawanan unggas air yang tadinya bersama-sama dalam suatu kelompok tiba-tiba memencar. Keseluruhan klausa ini akan mengacu kepada suatu gambaran kejadian memencarnya kawanan unggas air tersebut. Meskipun kemungkinan kawanan unggas air itu hanya memencar sesaat untuk kemudian bersatu kembali tetapi dalam analisis ini penulis beranggapan bahwa penggambaran objek dari klausa ini dititik beratkan hanya kepada suatu momen pemencaran kawanan unggas air itu saja tanpa perlu mempedulikan keadaan selanjutnya setelah momen pemencaran tersebut. Berdasarkan analisis penulis yang telah dipaparkan diatas, maka menurut penulis, klausa “Mizutori no mure ni wakeyuku” merupakan sebuah majas metafora dimana fenomena memencarnya kawanan unggas air didalam haiku ini merupakan pengibaratan dari perpisahan dengan orang-orang yang dikasihi. Penjelasan mengenai makna referensial dari klausa “Mizutori no mure ni wakeyuku” dapat dilihat dari diagram berikut:
85
Diagram 3.3.a Hubungan Antara Klausa “Mizutori no mure ni wakeyuku” Dengan Rujukannya Rujukan (Reference) Perpisahan dengan orang-orang yang dikasihi
Kata (Symbol)
Objek (Referent)
Mizutori no mure ni wakeyuku (Kawanan unggas air memencar)
Kawanan unggas air (jenisnya bisa berupa bebek / itik, angsa, angsa liar) yang memencar terpisah
3.3.2 Analisis Kata “Sakura” Kata “sakura” yang terdapat dalam haiku ketiga ini, ditulis dengan kanji “櫻” (bisa juga ditulis dengan “桜”), yang dibaca “sakura”, diartikan sebagai sakura; pohon ceri yang berbunga; bunga ceri (Nelson, 2005:500). Di dalam analisis haiku ketiga ini, kata “sakura” akan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi bunga sakura. Dalam sub bab 3.2.1 ini, penulis akan menganalisis kata “sakura” yang terdapat dalam haiku ketiga dan berdasarkan beberapa konsep tentang makna simbol bunga sakura bagi masyarakat Jepang yang terdapat dalam landasan teori pada bab 2, penulis akan menganalisis makna sakura dari haiku ketiga ini. Di dalam haiku ini, kata “sakura” diawali dengan klausa “Mizutori no mure ni wakeyuku” yang diterjemahkan menjadi “kawanan unggas air memencar” dan
86
merupakan pengibaratan dari makna referensial “perpisahan dengan orang-orang yang dikasihi”. Oleh karena itu, melalui analisis struktur puisi berdasarkan hubungan makna antar kata dan klausa, maka menurut penulis, kata “sakura” didalam haiku ketiga ini memiliki arti sebagai lambang ketidakkekalan. Berkaitan dengan hal ini, Khoon (1995:142), menjelaskan bahwa berdasarkan pada pengaruh ajaran agama Buddha di Jepang, orang-orang memetaforakan sakura sebagai kehidupan yang sementara, ketidakkekalan. Begitu juga seperti yang dinyatakan oleh Matsuda (2001:12), di bawah ini: 「花」といえば、日本では桜のことです。桜の季節がめぐってくると、人 々はさまざまな思いを桜によせます。その短い開花時期やはなびらの散る 様子から、人の世の無常と輪廻を思い、桜におのれの心を託し、歌を詠み ます。 Terjemahan: Bila menyebut ‘bunga’ bagi orang Jepang adalah sakura. Ketika musim sakura tiba, orang-orang memiliki bermacam-macam pemikiran yang berkaitan dengan sakura. Karena masa berbunga yang sangat singkat dan keadaan saat kelopak bunga berguguran, sakura mengingatkan akan ketidakkekalan hidup manusia dan siklus kehidupan yang terus berputar. Perasaan yang diwakilkan oleh sakura, sering dituangkan kedalam puisi. Bunga sakura yang indah dan dicintai masyarakat Jepang hanya dapat berbunga pada waktu musim semi, dan membutuhkan waktu sekitar enam sampai delapan minggu untuk mencapai kondisi mekar sempurna, tapi hanya dalam waktu di bawah satu minggu bahkan beberapa hari saja, bunganya akan berguguran, sehingga dengan kata lain, bunga sakura memiliki umur yang sangat singkat. Dalam jangka waktu beberapa hari yang singkat ketika bunga sakura mekar sempurna pada puncak keindahannya itu adalah masa bagi orang Jepang untuk melakukan kebiasaan yang disebut Hanami, yaitu orangorang berkumpul dan berpesta, serta bersukaria di bawah pohon sakura sambil
87
menikmati keindahan bunga sakura (Kimura, 1991:249). Tetapi, karena umurnya yang pendek, ketika bunga sakura yang indah gugur maka akan menimbulkan rasa sangat disayangkan karena keindahan bunga sakura yang membawa suasana pesta dan sukacita itu tidak dapat bertahan selamanya, tapi harus berlalu seiring dengan gugurnya bunga sakura. Oleh karena itu, sakura melambangkan ketidakkekalan (Matsuda, 2001:12). Menurut Piyadassi (2003:103) ketidakkekalan yang dalam ajaran agama Buddha disebut Annica, merupakan inti dari ajaran agama Buddha. Fakta mengenai ketidakkekalan berarti realitas bahwa segala sesuatu tidak pernah dalam keadaan tetap melainkan seluruhnya dinamis. Bahkan ilmu pengetahuan modern pun menyadari bahwa hal ini merupakan sifat dunia yang utama tanpa adanya pengecualian. Perubahan atau ketidakkekalan adalah sifat yang terpenting dari semua fenomena kehidupan. Kita tidak dapat mengatakan bahwa, segala sesuatu, apapun itu, hidup atau mati, keadaan, abstrak atau berbentuk, organik atau anorganik, adalah abadi. Bahkan sementara kita sedang membicarakannya, perubahan itu sendiri sedang berlangsung. Mengenai konsep ketidakkekalan yang dalam bahasa Jepang disebut mujou ( 無常 ), Takada (1997:60), menyatakan seperti di bawah ini: あらゆるものは「生滅変化する」(生まれ、変化し、死ぬ)、という、仏 教の基本認識の日1つです。これを「諸行無常」ともいいます。絶対不変 で、永遠に存続するものなどはありえないといっているのです。私たちの 体を見ても、瞬間瞬間に多くの細胞が死滅し、同時に多くの細胞が生まれ て新陳代謝を繰り返しています。そして、やがて私たちの固体は死に至り ます。無限に見える大宇宙ですらも常に変化し、いつかは滅するでしょう 。 Terjemahan: Semua yang ada didunia ini lahir, mengalami perubahan, dan mati merupakan salah satu konsep yang mendasar dari ajaran agama Buddha. Hal ini juga disebut dengan ‘shogyoumujou’ (tak ada yang abadi). Dikatakan bahwa tidak mungkin ada sesuatu yang keberadaannya abadi dan sama sekali tidak berubah. Bila melihat
88
tubuh kita pun, setiap saat sel-sel tubuh dalam jumlah banyak mati, dan pada saat yang sama sel-sel tubuh yang baru akan lahir menggantikannya. Metabolisme ini akan terus berulang, dan pada akhirnya kita sebagai individu akan sampai pada kematian. Bahkan jagat raya yang terlihat tak berbatas ini pun selalu berubah, dan bukankah pada suatu saat akan musnah. Piyadassi (2003:102) Menyatakan bahwa dalam ajaran agama Buddha ada sebuah sutra yang disebut Mahaparinibbana Sutta, yang menyatakan bahwa “segala sesuatu yang terbentuk tidaklah kekal, timbul dan tenggelam sifatnya”. Semua pertemuan berakhir dengan perpisahan dan semua kehidupan berahir dengan kematian. Dalam semesta yang misterius ini manusia hidup, mencintai dan tertawa, namun ketika kesedihan dan kesengsaraan datang, maka seluruh dunia akan tampak menggambarkan penderitaan (Piyadassi 2003:452). Wijayamukti (2006:134), menyatakan bahwa dalam ajaran Buddha, diajarkan bahwa perubahan-perubahan menimbulkan duka. Suatu perasaan bahagia itu tidak kekal, cepat atau lambat akan berubah, dan perubahan itu menimbulkan duka. Menurut penulis, ketidakkekalan yang dilambangkan dengan bunga sakura dalam haiku ini memiliki hubungan dengan makna referensial klausa “Mizutori no mure ni wakeyuku” yang merupakan pengibaratan dari perpisahan dengan orang-orang yang dikasihi. Menurut Vajiramedhi (2008:77), sifat dasar kehidupan yang tidak kekal adalah setiap orang pasti harus berpisah dengan semua yang dicintainya. Apapun yang kita cintai, senangi, dan miliki suatu saat akan terpisah. Siapapun yang menemani dan ada bersamasama dengan kita pada saat ini suatu saat nanti juga pasti akan berpisah dengan kita (Vajiramedhi 2008:72). Perpisahan merupakan hal yang biasa terjadi dalam kehidupan. Walaupun bukan disebabkan kematian, manusia pasti akan menghadapi berbagai perpisahan, berpisah dari orang tua, keluarga, maupun teman-teman. Meskipun ada yang 89
memang harus berpisah dikarenakan berbagai alasan tertentu, umumnya, tidak ada orang yang mau berpisah dari orang-orang yang dikasihinya. Tak ada seorang pun yang ingin berpisah dengan orang yang dicintai ataupun sebaliknya. Namun hal ini akan terjadi secara pasti dan tidak bisa dihindari. Apakah kita yang meninggalkannya atau dia yang meninggalkan kita, dalam kehidupan ataupun oleh kematian, serta dalam kondisi baik ataupun buruk (Vajiramedhi 2008:71). Manusia tidak ingin menghadapi perpisahan, kehilangan, dan kematian, tapi kenyataannya hal-hal tersebut merupakan sifat dasar dari segala sesuatu yang muncul dan lenyap (ketidakkekalan) (Vajiramedhi 2008:vii). Setiap orang pasti akan mengalami perpisahan dari siapapun atau apapun yang mereka cintai seiring berjalannya waktu. Tidak ada yang dapat menghindari perpisahan, hal ini merupakan salah satu dari prinsip sifat kehidupan dan merupakan sifat alami dari kehidupan yang tidak dapat dihindari oleh siapapun (Vajiramedhi 2008:35). Dalam penjelasan diatas, dijelaskan bahwa dalam ajaran agama Buddha, perpisahan adalah merupakan bagian dari ketidakkekalan. Hal ini mengacu kepada makna yang sama dari keseluruhan makna objek dalam haiku ketiga ini. Dalam haiku ini terdapat dua objek, yaitu kawanan unggas air yang memencar dan bunga sakura. Menurut penulis, kedua objek dalam haiku ini berada dalam suatu kesatuan latar cerita secara keseluruhan, dimana objek kawanan burung air yang memencar tersebut berada dilokasi yang sama dengan objek bunga sakura, yang menurut penulis adalah di tepi perairan sungai. Hal ini dikarenakan menurut Danandjaja (1997:318), di Jepang, selain di taman-taman, umumnya sakura ditanam di sepanjang tepi sungai-sungai yang merupakan habitat bagi unggas air (Batt (1992:xiii). Ketika melihat fenomena kawanan unggas air yang memencar, yang mengibaratkan perpisahan dengan orang-orang yang dikasihi, maka dengan melihat bunga sakura yang mekar didekatnya kita akan diingatkan bahwa segala 90
sesuatu di dunia ini tidak kekal, bunga sakura yang mekar dan indah itu tidak bisa selamanya indah, karena semuanya di muka bumi ini terus berubah. Hanya dalam beberapa hari, dalam waktu yang sangat singkat, bunga sakura itu akan berguguran dan wujud keindahannya akan hilang. Tidak ada yang bisa selamanya kekal tidak berubah. Sama halnya dengan perpisahan dengan orang-orang terkasih yang merupakan hal yang pasti terjadi dalam hidup manusia. Hal ini juga didukung dengan penyimbolan unggas air dalam haiku ini. Menurut Chevalier (1996:260), bebek (terutama bebek mandarin atau oshidori), sebagai salah satu jenis unggas air merupakan simbol dari keharmonisan serta janji setia suami istri. Begitu juga dengan angsa yang juga merupakan lambang dari kesetiaan suami istri (Chevalier, 1996:268). Tetapi meskipun saling setia, saling mencintai dan selalu bersama-sama, pada akhirnya nanti pasti akan dipisahkan juga oleh kematian. Perpisahan merupakan bagian dari ketidakkekalan dan semua bentuk kehidupan adalah tidak kekal (Wijayamukti 2006:112). Berdasarkan analisis penulis yang telah dipaparkan diatas, maka menurut penulis, kata sakura di dalam haiku ini memiliki arti sebagai lambang ketidakkekalan. Penjelasan mengenai makna referensial dari kata “sakura” dapat dilihat dari diagram berikut: Diagram 3.3.b Hubungan Antara Kata “Sakura” Dengan Rujukannya Rujukan (Reference) Ketidakkekalan
Kata (Symbol)
Objek (Referent)
91
Bunga sakura yang sedang bermekaran di tepi sungai
Sakura (Bunga sakura)
3.3.3 Analisis Makna Keseluruhan dari Haiku Ketiga Haiku ketiga ini berbunyi: 水鳥の群にわけゆく櫻かな Mizutori no mure ni wakeyuku sakura kana (Blyth, 1976:196) Terjemahan: Kawanan unggas air memencar, oh bunga sakura!
Di dalam haiku pertama ini, kata “kana” dalam frase “sakura kana” yang ditulis dengan huruf hiragana “かな” merupakan suatu kireji (pemberhentian atau jeda kata) yang terdapat pada akhir haiku, yang dapat diartikan sebagai “betapa!”, “alangkah”, atau “oh!” (Gill, 2007:19). Berdasarkan hal itu, untuk tujuan kesesuaian bunyi dan dikarenakan menurut penulis kata “oh!” merupakan terjemahan yang paling tepat, maka dalam analisis bab 3 ini penulis memutuskan untuk menerjemahkan kata “kana” menjadi kata “oh!” di depan kata “bunga sakura”, yang apabila secara keseluruhan frase “sakura kana” ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “oh bunga sakura!” dengan tanda baca ( , ) yang dibubuhkan di antara klausa sebelumnya dan frase “sakura kana” Berdasarkan keseluruhan analisis dalam sub bab 3.3.1 dan 3.3.2, maka menurut penulis, objek keseluruhan dari haiku ketiga ini adalah kawanan unggas air yang memencar di dekat bunga sakura yang sedang bermekaran di tepi sungai. Hal tersebut merujuk kepada makna referensial secara keseluruhan dari haiku ketiga ini yaitu, adanya perpisahan dengan orang-orang yang dikasihi adalah merupakan suatu bagian dari ketidakkekalan. Dalam agama Buddha mengajarkan bahwa setiap orang pasti akan 92
mengalami perpisahan dari siapapun atau apapun yang mereka cintai seiring berjalannya waktu. Tidak ada yang bisa menghindari perpisahan, hal ini merupakan sifat alami dari kehidupan yang tidak dapat dihindari oleh siapapun. Apabila suatu hari nanti kita berpisah dengan orang-orang yang dikasihi maka kita harus menerimanya. Terjadinya sebuah perpisahan adalah sesuatu yang wajar dan merupakan kondisi alami dari ketidakkekalan (Vajiramedhi, 2008:35,74). Penjelasan mengenai makna referensial secara keseluruhan dapat dilihat dari diagram berikut: Diagram 3.3.c Segitiga Ogden & Richards Pembuktian Hubungan Makna Secara Keseluruhan Pada Haiku Ketiga Rujukan (Reference) Adanya perpisahan dengan orang-orang yang dikasihi adalah merupakan suatu bagian dari ketidakkekalan
Kata (Symbol)
Objek (Referent)
水鳥の群にわけゆく櫻かな Mizutori no mure ni wakeyuku sakura kana (Kawanan unggas air memencar, oh bunga sakura!)
Kawanan unggas air yang memencar di dekat bunga sakura yang sedang bermekaran di tepi sungai
93