BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Organisasi sektor publik dan good governance “Organisasi adalah kumpulan orang yang memiliki kompetensi yang berbedabeda yang saling tergantung antara satu dengan lainnya, yang berusaha untuk mewujudkan kepentingan bersama mereka, dengan memanfaatkan berbagai sumber daya” (Mulyadi dan Setyawan, 2001:1). Setiap organisasi mempunyai tujuan yang spesifik yang hendak dicapai dan tujuan dari setiap organisasi sangat bervariasi tergantung kepada tipe organisasi itu sendiri. Menurut Mahsun dkk (2006:3) terdapat empat jenis tipe organisasi, yaitu: 1. Pure -Profit Organization Tujuan organisasi ini adalah menyediakan atau menjual barang dan jasa dengan tujuan utama untuk memperoleh laba sebanyak-banyaknya sehingga bisa dinikmati oleh para pemilik. Sumber pendanaan oragnisasi ini berasal dari investor swasta dan kreditor. 2. Quasi-Profit Organization
Tujuan organisasi ini adalah menyediakan atau menjual barang dan jasa dengan maksud memperoleh laba dan mencapai tujuan lainnya sebagaimana yang dikehendaki oleh para pemilik. Sumber pendanaan organisasi ini berasal dari investor swasta, investor pemerintah, kreditor dan para anggota. 3. Quasi-Non Profit Organization Tujuan organisasi ini adalah menyediakan dan menjual barang dan jasa dengan maksud untuk melayani masyarakat dan memperoleh keuntungan (surplus). Sumber pendanaan organisasi ini berasal dari investor swasta, investor pemerintah, dan kreditor. 4. Pure-Non Profit Organization Tujuan organisasi ini menyediakan dan menjual barang dan jasa dengan maksud untuk melayani dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sumber pendanaan organisasi ini berasal dari pajak, retribusi, utang obligasi, laba BUMN/BUMD, hibah, sumbangan, penjualan aset negara. Untuk lebih memudahkan dalam menentukan suatu perusahaan termasuk dalam tipe organisasi apa, Mahsun dkk (2006:4) dalam bukunya yang berjudul Akuntansi Sektor Publik juga menuliskan batasan tipe organisasi yang diilustrasikan dalam sebuah tabel 1 berikut ini Tabel 1 Tipe Organisasi Tipe Organisasi
Pure-profit organization
Quasi–profit organization
Nonprofit organization
Pure-non profit organization
Sumber Pendanaan
Berasal dari investor, kreditor Berasal dari pajak, retribusi, dan para anggota. utang, obligasi, laba BUMN/BUMD, sumbangan, penjualan aset negara. Tujuan Menyediakan atau menjual Menyediakan atau menjual Organisasi barang/jasa dengan maksud barang dan/atau jasa dengan untuk memperoleh laba maksud untuk melayani dan sehingga bisa dinikmati oleh meningkatkan kesejahteraan pemilik atau anggota. masyarakat. Sumber: Mahsun dkk, (2006:4) Kemudian menurut Robinson dalam Harun (2009:2-3) untuk mengetahui perpedaan antara sektro publik dengan sektor swasta, perlu dilakukan klarifikasi karakteristik yang meliputi keduanya. menyatakan beberapa aspek yang perlu diperhatikan untuk menilai apakah sebuah institusi dapat dikategorikan sebagai lembaga sektor publik. 1. Sumber Dana Suatu organisasi dapat dikategorikan sebuah institusi sektor publik jika seluruh atau sebagian besar pendanaa organisasinya berasal dari pemerintah.
Di
Indonesia
seluruh
departemen,
dinas,
lembaga
pemerintah, seperti: Departemen Pertahanan Kepolisian, Kesehatan, dan Kepolisian RI secara jelas merupakan sektor publik. Biasanya, kepentingan (management)
kepemilikan, dan
penentuan
akuntanbilitas
posisi
kepemimpinan
organisasi-organisai
tersebut
dipengaruhi oleh tingkat pendanaan yang disediakan oleh pemerintah. 2. Tingkat Kepemilikan Di Indonesia, perusahaan-perusahaan negara seperti PT PLN dan PT Telkom dapat membiayai sebagaian besar operasinya dari penjualan
kepada konsumen. Sehingga, untuk mengkategorikan status institusiinstitusi itu sebagai sektor publik, tidak dapat dikategorikan sebagai sumber pendanaan. Oleh karena itu, status kepemilikan dalam bentuk jumlah kepemilikan saham dapat menjadi dasar penentuan statusnya sebagai sektor publik. Dominasi kepemilikan saham pemerintah diperusahaan-perusahaan tersebut menjadikannya sebagai instaitusi sektor publik. 3. Manajemen Organisasi Biasanya, dominasi kepemilikkan saham dan penyediaan dana operasi seiring dengan tingkat pengawasanan pemerintah terhadap manajemen dan operasi sebuah organisasi. Meskipun demikian ada kalanya porsi kepemilikan saham maupun penyediaan dana operasi organisai sektor publik kurang dari liam puluh persen. Walaupun pemerintah masih memiliki kemampuan menentukan posisi-posisi strategis pada manajemen perusahaan. Jika pemerintah masih memegang kendali
pada
penentuan
jabatan-jabatan
strategis
oraganisasi,
Kepemilikan saham pemerintah pada perusahaan-perusahaan tersebut kurang dari lima puluh persen, badan usaha tersebut masih dapat dikategorikan sebagai institusi sektor publik. 4. Akuntabilitas Organisasi Jika suatu organisasi minimal atau tidak tergantung sama sekali pada sumber pembiayaan dari pemerintah, serta sahamnya sama sekali tidak dimiliki atau hanya sedikit yang dimiliki oleh pemerintah. Namun masih
wajib
secara
legal
menyampaikan
pertanggungjawaban
kepada
pemerintah atau parlemen, maka organisais itu masih dapat dikategorikan sebagai organisasi sektor publik. Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan PT Perkebunan Nusantara XII (Persero) termasuk organisasi sektor publik bertipe quasi profit organization. Dikatakan sebagai organisasi sektor publik quasi profit organisation karena mempunyai karakteristik sebagai berikut: 1. Tujuan perusahaan yaitu menyediakan atau menjual barang dan jasa dengan maksud setengah memperoleh laba dan mencapai tujuan lainnya sebagaimana yang dikehendaki oleh para pemilik. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 19 Tahun 2003 bahwa BUMN mempunyai peranan penting dalam penyelenggaraan
perekonomian
nasional
guna
mewujudkan
kesejahteraan masyarakat. Dilihat dari laporan tahunan 2010 sumber dana PT Perkebunan Nusantara XII (Persero) bermodal dasar Rp 400 miliar, total aset Rp 1,18 triliun dengan status kepemilikan organisasi perusahaan 100% milik pemerintah Republik Indonesia. Pemerintah masih memegang kendali pada penentuan jabatan-jabatan strategis oraganisasi melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). 2. Mempunyai andil besar dan sumbangan yang tak ternilai tingginya bagi pembangunan nasoinal.
PT Perkebunan Nusantara XII (Persero) memberikan kontribusi pada sistem pembangunan ekonomi nasional dengan penyerapan tenaga kerja, penyedia bahan baku industri, serta penghasil devisa sektor non migas. 3. Adanya peraturan perundang-undangan yang mengakui kehadirannya. PT Perkebunan Nusantara XII (Persero) Organisasi sektor publik mempunyai peranan penting dalam masyarakat. Keberadaannya tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (PT). Pada pasal 1 yang berbunyi: “Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Persero adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang selanjutnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya”. Pemerintah memegang kendali dengan maksud untuk menghindari terjadinya alokasi dan distribusi yang terpusat. Adanya monopoli oleh pihak swasta yang dapat mengakhibatkan keuntungan yang hanya dinikmati oleh kalangan pengelola jika dalam kepemilikannya berada pada pihak swasta. Oleh karena itu sangatlah penting sumber daya alam dikelola oleh organisasi pemerintah agar perolehan laba dari pengelolaan perusahaan dapat di distribusikan kepada masyarakat meskipun tidak langsung.
Oleh karena itu, untuk perlu adanya pengelolaan
perusahaanya yang sehat. Menurut Mardiasmo (2002:18) orientasi pembangunan sektor publik adalah untuk menciptakan good governance. Good governance sering diartikan sebagai
kepemerintahan yang baik. United Nation Development Program (UNDP) merupakan
salah
satu
organisasi
internasional
yang
aktif
mendukung
implementasi dan perbaikan governance memberikan beberapa karakteristik pelaksanaan good governance, meliputi: 1. Participation. Keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif. 2. Rule of law. Kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu. 3. Tranparancy. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan. 4. Responsiveness. Lembaga-lembaga publik harus cepat dan tanggap dalam melayani stakeholder. 5. Consensus orientation. Berorientasi pada kepentingan masyarakat yang lebih luas. 6. Equity. Setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan dan keadilan. 7. Effeciency and Effectiveness. Pengelolaan sumber daya publik dilakukan secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif). 8. Accountability. Pertangungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan.
9. Strategic vision. Penyelenggaraan pemerintahan dan masyarakat harus memiliki visi yang jauh ke depan. Pendefinisian corporate governance mengalami perubahan dari tahun ke tahun dan berbicara mengenai corporate governance, seringkali persepsi masyarakat terpaku pada perusahaan publik. Hal ini bisa dimaklumi mengingat perusahaan publik adalah subyek dari kewajiban untuk men-disclosure laporan keuangannya dalam rangka memperoleh tambahan modal atau dana dari publik. Namun demikian, hendaklah pemahaman mengenai corporate governance tidak terpaku pada perusahaan publik mengingat konsep corporate governance sebenarnya meliputi segala bentuk perusahaan. Dengan melihat persepsi di atas bahwa good corporate tidak hanya sekedar kepemeintahan yang baik yang orientasinya pada perusahaan publik saja maka istilah lain yang sering digunakan para ekonom dan dunia bisnis mengenai konsep pengelolaan perusahaan yang baik adalah Good Corporate Governance (tata kelola perusahaan yang baik) yang selanjutnya disingkat dengan GCG. 2.1.2 Latar Belakang Timbulnya Good Corporate Governence Konsep
Corporate Governance
yang komprehensif mulai berkembang
sejak setelah kejadian The New York Stock Exchange Crash pada 19 Oktober 1987 dimana cukup banyak perusahaan multinasional yang tercatat di bursa efek New York, mengalami kerugian finansial yang cukup besar. Di kala itu, untuk mengantisipasi permasalahan internal perusahaan, banyak para eksekutif melakukan rekayasa keuangan yang intinya adalah bagaimana menyembunyikan
kerugian perusahaan atau memperindah penampilan kinerja manajemen dan laporan keuangan (Paradita dan Nurzaimah, 2010). Pengalaman Amerika Serikat yang harus melakukan restrukturisasi Corporate Governance sebagai akhibat market crash diatas juga dialami oleh Indonesia. Pada tahun 1997 Indonesia mengalami krisis finansial yang berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia. Hasil pengamatan sejumlah pengamat ekonomi menyimpulkan adanya kecenderungan tinggi bahwa krisis ini disebabkan oleh sebagian besar perusahaan-perusahaan di Indonesia tidak menjalankan Good Governance . Bangkrutnya perusahaan-perusahaan Indonesia adalah karena perusahaanperusahaan tersebut dimiliki dan dikontrol oleh kepemilikan keluarga atau konglomerasi yang kurang melindungi hak-hak investor lain. Menurut pengamatan La Porta dalam (Sutedi, 2011:5) negara yang tidak peduli dengan perlindungan investor adalah perusahaan yang kebanyakan menerapkan family control, sebaliknya jika negara melindungi hak-hak investor lain pasti membuka peluang orang lain sebagai pemegang perusahaan. Namun demikian, krisis ekonomi memberikan hikmah, salah satunya adalah meningkatnya concern masyarakat terhadap pentingnya penerapan konsep Good Corporate Governance. Pasca krisis 1998, Indonesia berusaha bangkit dari keterpurukan berusaha memperbaiki agar dapat melangkah maju di masa yang akan datang. Kasus-kasus pelanggaran terungkap. Salah satu kasus pelanggaran tersebut menurut Arifin (2005:3) adalah terungkapnya kasus mark-up laporan keuangan PT Kimia Farma yang overstated,
yaitu adanya penggelembungan laba bersih tahunan senilai Rp 32,668 miliar (karena laporan keuangan yang seharusnya Rp 99,594 miliar ditulis Rp 132 miliar). Kasus ini melibatkan sebuah Kantor Akuntan Publik (KAP) yang menjadi auditor perusahaan tersebut ke pengadilan, meskipun KAP tersebut yang berinisiatif memberikan laporan adanya overstated. Dalam kasus ini terjadi pelanggaran terhadap prinsip pengungkapan yang akurat (accurate disclosure) dan transparansi (transparency) yang akibatnya sangat merugikan para investor, karena laba yang overstated ini telah dijadikan dasar transaksi oleh para investor untuk berbisnis. Tidak hanya terjadi di dalam negeri, namun skandal keuangan terjadi di negara maju juga, seperti di Amerika Serikat (AS) dengan adanya kasus Enron. Sejak tahun 2000, Enron adalah sebuah perusahaan yang established dengan pertumbuhan finansial yang pesat sehingga Enron menjadi salah satu dari 10 perusahaan terbesar di AS. Skandal mulai terungkap ketika awal tahun 2002, perhitungan atas total revenue Enron di tahun 2000 yang dinyatakan berjumlah 100,8 miliar US dolar (USD), dihitung kembali oleh Petroleum Finance Company (PFC) menjadi hanya 9 miliar USD. Ketika kebangkrutan mulai terjadi, harga saham Enron dengan cepat turun. Hal ini menjadikan Enron pailit, kurangnya kepercayaan atas informasi keuangan, rusaknya citra profesi akuntan di Amerika, dan hilangnya ratusan juta dolar uang yang diinvestasikan di Enron serta hilangnya pekerjaan atas ribuan karyawan. Kasus-kasus dan pelanggaran di atas berkaitan erat dengan fenomena terpisahnya kepemilikan perusahaan dengan pengelolaan khususnya pada
perusahaan besar yang modern atau lebih dikenal dengan teori agensi, yang akan diuraikan lebih lanjut pada teori-teori yang berkaitan dengan GCG. Adanya kegagalan pengelolaan perusahaan-perusahaan bersakla besar di Indonesia, skandal-skandal keuangan dan krisis ekonomi di berbagai negara akhirnya Good Corporate Governance (GCG) menjadi isu penting yang menarik perhatian para pelaku bisnis di Indonesia. Bedasarkan survei yang dilakukan pada tahun 2001, sebuah kelompok studi Corporate Governance yang melakukan studi pemeringkatan nilai-nilai Corporate Governance diberbagai negara Asia. Indonesia menduduki peringkat 10 dari 11 negara lokasi studi. Indonesia rendah dalam hal discipline, accountability, dan social awareness (Moeljono, 2006:31). Perubahan perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan lemahnya penerapan GCG. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah bagaimanapun juga perubahan memiliki resiko kegagalan. Penelitian MCKinsey tahun 1999 dalam (Sutedi, 2011) menunjukkan bahwa 70% perubahan gagal karena masalah organisasi, yang paling besar adalah karena arah perubahan atau kebijakan yang tidak jelas, sehingga tidak bisa meyakinkan orang untuk keluar dari sarang kenyamanan yang sudah ditempatinya. Masalah kedua adalah perilaku khusus para pemipin yang tidak mendukung terjadinya perubahan dengan mengemukakan bahwa perubahan hanyalah slogan belaka. Masalah terakhir, adalah organisasi kehabisan energi untuk melanjutkan perubahan hingga tutup usaha. Perubahan memerlukan sumber daya dan infrastruktur bahkan membutuhkan biaya. Catatan terhadap risiko kegagalan perubahan sebaiknya tidak menyurutkan tekad untuk melakukan perubahan, sebaliknya menjadi tantangan untuk
menyiapkan perubahan dengan lebih baik. Melakukan perubahan menjadi momentum yang tepat untuk menerapkan GCG di perusahaan. Penerapan sistem tata kelola perusahaan yang baik menuntut dibangunnya dan dijalankannya prinsip-prinsip tata kelola perusahaan dalam proses manjerial perusahaan. Dengan mengenal prinsip-prinsip yang berlaku secara universal diharapkan perusahaan dapat hidup secara berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi para pemilik perusahaan. Dalam kerangka uraian inilah menjadi penting adanya prakarsa Masyarakat dan Pemerintah Indonesia membentuk lembaga-lembaga yang membantu pengembangan konsep
Good Corporate Governance, seperti KNKG, The
Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG), dan Forum For Corporate Governance In Indonesia (FCGI). 2.1.3 Teori yang terkait dengan Good Corporate Governance Menurut Kaihatu (2006) ada dua Teori utama yang terkait dengan Corporate Governance yaitu Teori Kepercayaan (stewardship theory) dan Teori Agensi (Agency theory). Masing-masing akan dijelaskan dibagian berikut. 2.1.3.1 Teori Kepercayaan (Stewardship Theory) Stewardship theory dibangun di atas asumsi filosofis mengenai sifat manusia yakni bahwa manusia pada hakekatnya dapat dipercaya, mampu bertindak dengan penuh tanggung jawab, memiliki integritas dan kejujuran terhadap pihak lain. Inilah yang tersirat dalam hubungan fidusia yang dikehendaki para pemegang saham. Dengan kata lain, stewardship theory memandang manajemen sebagai
dapat dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan publik maupun stakeholders. 2.1.3.2 Teori Keagenan (Agency Theory) Agency theory yang dikembangkan oleh Michael Johnson, memandang bahwa manajemen perusahaan sebagai agents bagi para pemegang saham, akan bertindak dengan penuh kesadaran bagi kepentingannya sendiri, bukan sebagai pihak yang arif dan bijaksana serta adil terhadap pemegang saham. Dalam teori ini dimaksudkan agar pemilik perusahaan memperoleh keuntungan maksimal dengan biaya yang efisien dengan dikelolanya perusahaan oleh tenaga-tenaga profesional yang bekerja demi kepentingan perusahaan. pemilik dalam hal ini hanya bertindak sebagai pengawas saja dimana mereka harus bisa memastikan pihak manjemen telah mengelola perusahaan dengan baik, untuk itu pemilik memberikan insentif bagi manajemen. Semakin besar perusahaan yang dikelola diharapkan memperoleh laba yang semakin besar pula dan semakin besar juga insentif yang diberikan kepada agent. Banyak sisi positif seperti tersebut di atas, namun juga terdapat sisi negatif dari pemisahan antara pemilik dan manajemen. Menurut Jensen dan Meckling dalam (Ujiyantho dan Bambang, 2007:5) teori agensi mendasarkan hubungan kontrak antara pemilik/pemegang saham dan manajemen/manajer. Hubungan antara pemilik dan manajer pada hakekatnya sukar tercipta karena adanya kepentingan yang saling bertentangan (Conflict of Interest). Konflik kepentingan ini terjadi ketika agen tidak berbuat sesuai dengan kepentingan principal, sehingga memicu biaya keagenan (Agency cost) yaitu biaya yang harus
ditanggung pemegang saham akhibat pendelegasian wewenangnya kepada manjemen. Selain itu pertentangan dan tarik menarik kepentingan antara prinsipal dan agen dapat menimbulkan permasalahan yang dalam Agency Theory dikenal sebagai Asymmetric Information (AI) yaitu informasi yang tidak seimbang yang disebabkan karena adanya distribusi informasi yang tidak sama antara prinsipal dan agen. Dalam hal ini prinsipal seharusnya memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam mengukur tingkat hasil yang diperoleh dari usaha agen, namun ternyata informasi tentang ukuran keberhasilan yang diperoleh oleh prinsipal tidak seluruhnya disajikan oleh agen. Akibatnya informasi yang diperoleh prinsipal kurang lengkap sehingga tetap tidak dapat menjelaskan kinerja agen yang sesungguhnya dalam mengelola kekayaan prinsipal yang telah dipercayakan kepada agen. 2.1.4 Definisi Good Corporate Governance Istilah Good Corporate Governance pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury Committee pada tahun 1992 yang menggunakan istilah tersebut pada laporan mereka (Cadbury Report). Menurut Cadbury Committee pengertian GCG adalah seperangkat aturan yang merumuskan hubungan antara para pemegang saham, manajer, kreditor, pemerintah, karyawan, dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya baik internal maupun eksternal sehubungan dengan hakhak dan tanggung jawab mereka (Paradita dan Nurzaimah, 2010).
Pendefinisian Good Corporate Governance mengalami perubahan dari tahun ke tahun ke tahun. Definisi tentang Good Corporate Governance dari beberapa pihak antara lain adalah: Sutedi (2011), mendefinisikan Good Corporate Governance sebagai: “Suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ perusahaan (Pemegang Saham/Pemilik Modal, Komisaris/Dewan Pengawas dan Direksi) untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya, berlandaskan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai etika”. Selanjutnya menurut Corporate Governance Perception Index (2008) suatu badan riset dan pemeringkatan penerapan konsep GCG pada perusahaan publik dan BUMN di Indonesia mendefinisikan Good Corporate Governance sebagai: “Struktur, sistem, dan proses yang digunakan oleh organ-organ perusahaan sebagai upaya untuk memberikan nilai tambah perusahaan secara berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang berlaku”. Sistem adalah prosedur formal dan informal yang mendukung struktur dan strategi operasional dalam suatu perusahaan sedangkan proses adalah kegiatan mengarahkan dan mengelola bisnis yang direncanakan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan, menyelaraskan perilaku perusahaan dengan ekspektasi dari masyarakat, serta mempertahankan akuntabilitas perusahaan kepada pemegang saham. Sementara itu struktur adalah (a) susunan atau rangka dasar manajemen perusahaan yang didasarkan pada pendistribusian hak-hak dan tanggung jawab di antara organ perusahaan (dewan komisaris, direksi dan RUPS/ pemegang saham)
dan stakeholders lainnya, dan (b) aturan-aturan maupun prosedur-prosedur untuk pengambilan keputusan dalam hubungan perusahaan. Menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (2001) mendefinisikan Good Corporate Governance yaitu: “Seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antar pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya sehubungan dengan hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan”. Kemudian World Bank mendefinisikan Good Corporate Governance (GCG) sebagai kumpulan hukum, peraturan, dan kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi, yang dapat mendorong kinerja sumber-sumber perusahaan untuk berfungsi secara efisien guna menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan (Effendi, 2009:2). Sedangkan Corporate Governance
menurut Surat Keputusan Menteri
Badan Usaha Milik Negara No.117/M-MBU/2002 tanggal 1 Agustus 2002 tentang pelaksanaan GCG bagi perusahaan-perusahaan milik negara. Good Corporate Governance adalah: “Suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika”. Surat Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara No.117/M-MBU/2002 di atas dinyatakan tidak berlaku lagi sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. PER- 01/MBU/2011 pada bulan agustus
2011 tentang penerapan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara. Dalam peraturan Menteri tersebut mendefinisikan Organ adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Komisaris dan Direksi untuk Perusahaan Perseroan (Persero), dan Stakeholders berdasarkan peraturan perundang-undangan yaitu karyawan, pelanggan, pemasok dan kreditur serta masyarakat sekitar tempat usaha BUMN. Dari berbagai macam definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Good Corporate Governance merupakan suatu sistem dan struktur yang mengarahkan, mengelola, dan mengawasi pengendalian perusahaan secara adil dan beretika untuk meningkatkan kemakmuran perusahaan denagn cara meningkatkan nilai perusahaan serta merupakan suatu bentuk pertanggungjawaban kepada pemegang saham
(Shareholders)
maupun
pemegang
kepentingan
atas
perusahaan
(Stakeholders). 2.1.5 Prinsip-prinsip dasar Good Corporate Governance Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. PER01/MBU/2011 pada bulan Agustus 2011 tentang penerapan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara. terdapat lima prinsip dasar Good Corporate Governance, yaitu: 1.
Transparansi, yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan.
2.
Kemandirian, yaitu suatu keadaan di mana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
3.
Akuntabilitas,
yaitu
kejelasan
fungsi,
pelaksanaan
dan
pertanggungjawaban Organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. 4.
Pertanggungjawaban, yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
5.
Kewajaran, yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundangundangan yang berlaku. Dalam pelaksanaan prinsip-prinsip di atas dalam perusahaan adalah
penting bagi perusahaan untuk melakukan pentahapan yang cermat berdasarkan analisis atas situasi dan kondisi perusahaan, dan tingkat kesiapannya, sehingga penerapan GCG dapat berjalan lancar dan mendapatkan dukungan dari seluruh unsur di dalam perusahaan. Pada umumnya perusahaan-perusahaan yang telah berhasil dalam menerapkan GCG menggunakan pentahapan berikut (Kaihatu, 2006). 1. Tahap Persiapan 1. Awareness Building
Awareness building merupakan langkah awal untuk membangun kesadaran mengenai arti penting GCG dan komitmen bersama dalam penerapannya. Upaya ini dapat dilakukan dengan meminta bantuan tenaga ahli independen dari luar perusahaan. Bentuk kegiatan dapat dilakukan melalui seminar, lokakarya, dan diskusi kelompok. 2. GCG Assessment GCG Assessment merupakan upaya untuk mengukur atau lebih tepatnya memetakan kondisi perusahaan dalam penetapan GCG saat ini. Langkah ini perlu guna memastikan titik awal level penerapan GCG dan untuk mengidentifikasi
langkah-langkah
yang
tepat
guna
mempersiapkan
infrastruktur dan struktur perusahaan yang kondusif bagi penerapan GCG secara efektif. Dengan kata lain, GCG assessment dibutuhkan untuk mengidentifikasi aspek-aspek apa yang perlu mendapatkan perhatian terlebih dahulu, dan langkah-langkah apa yang dapat diambil untuk mewujudkannya. 3. GCG Manual Building. GCG Manual Building, adalah langkah berikut setelah GCG assessment dilakukan. Berdasarkan hasil pemetaan tingkat kesiapan perusahaan dan upaya identifikasi prioritas penerapannya, penyusunan manual atau pedoman implementasi GCG dapat disusun. Penyusunan manual dapat dilakukan dengan bantuan tenaga ahli independen dari luar perusahaan. Manual ini dapat dibedakan antara manual untuk organ-organ perusahaan dan manual untuk keseluruhan anggota perusahaan, mencakup berbagai aspek meliputi kebijakan GCG perusahaan, pedoman GCG bagi organ-organ perusahaan, pedoman
perilaku, audit commitee charter, kebijakan disclosure dan transparansi, kebijakan dan kerangka manajemen risiko, roadmap implementasi. 2. Tahap Implementasi Setelah perusahaan memiliki GCG manual, langkah selanjutnya adalah memulai implementasi di perusahaan. Tahap ini terdiri atas 3 langkah utama yakni:
1. Sosialisasi Sosialisasi diperlukan untuk memperkenalkan kepada seluruh perusahaan berbagai aspek yang terkait dengan implementasi GCG khususnya mengenai pedoman penerapan GCG. Upaya sosialisasi perlu dilakukan dengan suatu tim khusus yang dibentuk untuk itu, langsung berada di bawah pengawasan Direktur utama atau salah satu Direktur yang ditunjuk sebagai GCG champion di perusahaan. 2. Implementasi Implementasi yaitu kegiatan yang dilakukan sejalan dengan pedoman GCG yang ada, berdasar roadmap yang telah disusun. Implementasi harus bersifat top down approach yang melibatkan Dewan Komisaris dan Direksi perusahaan. Implementasi hendaknya mencakup pula upaya manajemen perubahan (change management) guna mengawal proses perubahan yang ditimbulkan oleh implementasi GCG. 3. Internalisasi
Internalisasi yaitu tahap jangka panjang dalam implementasi. Internalisasi mencakup upaya-upaya untuk memperkenalkan GCG di dalam seluruh proses bisnis perusahaan kerja, dan berbagai peraturan perusahaan. Dengan upaya ini dapat dipastikan bahwa penerapan GCG bukan sekedar dipermukaan atau sekedar suatu kepatuhan yang bersifat superficial, tetapi benar-benar tercermin dalam seluruh aktivitas perusahaaan.
3. Tahap Evaluasi Tahap evaluasi adalah tahap yang perlu dilakukan secara teratur dari waktu ke waktu untuk mengukur sejauh mana efektivitas penerapan GCG telah dilakukan dengan meminta pihak independen melakukan audit implementasi dan scoring atas praktik GCG yang ada. Terdapat banyak perusahaan konsultan yang dapat memberikan jasa audit yang demikian, dan di Indonesia ada beberapa perusahaan yang melakukan scoring. Evaluasi dalam bentuk assessment, audit atau scoring juga dapat dilakukan secara mandatory misalnya seperti yang diterapkan di lingkungan BUMD. Evaluasi dapat membantu perusahaan memetakan kembali kondisi dan situasi serta capaian perusahaan dalam implementasi GCG sehingga dapat mengupayakan perbaikan-perbaikan yang perlu berdasarkan rekomendasi yang diberikan. 2.1.7 Struktur Good Corporate Governance Struktur governance, dapat diartikan sebagai suatu kerangka dalam organisasi untuk menerapkan berbagai prinsip governance sehingga prinsip tersebut dapat
dibagi, dijalankan serta dikendalikan. Secara spesifik, struktur governance harus didesain untuk mendukung jalannya aktivitas organisasi secara bertanggungjawab dan terkendali. Menurut Syakhroza (2005:17), struktur corporate governance yang biasanya digunakan, yaitu: a.
Struktur Corporate Governance Single-Board System
(Anglo-Saxon
Model) Struktur governance akan terdiri dari RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), Board of Directors (representasi dari para pemegang saham/pemilik), serta Executive managers (manajemen yang akan menjalankan aktivitas). Model Anglo-Saxon ini disebut dengan Singleboard system yaitu struktur CG yang tidak memisahkan keanggotaan Dewan Komisaris dan dewan Direksi. Dalam sistem ini anggota Dewan Komisaris juga merangkap anggota Dewan Direksi dan kedua Dewan ini disebut sebagai board of directors. Perusahaan-perusahaan di Inggris dan Amerika serta negara-negara lain umumnya berbasis single-board system yang dipengaruhi langsung oleh model Anglo-Saxon. Gambar 1 di bawah ini adalah skema yang menunjukkan struktur single-board system. Gambar 1. Struktur Corporate Governance Single-Board System (Anglo-Saxon Model) General Meeting of Shareholders (RUPS)
o
(RUPS) Board of Directors (Dewan Direksi)
Executive Managers (Manajer Eksekutif)
Sumber : Syakhroza (2005:17). b.
Struktur Governance Model Dual-Board System (Continental Europe Model). Model Continental Europe struktur governance terdiri dari RUPS, Dewan Komisaris, Dewan Direktur, dan Manajer Eksekutif (manajemen). Struktur semacam ini disebut Two-board system, yaitu struktur CG yang dengan tegas memisahkan keanggotaan dewan, yakni antara keanggotaan Dewan Komisaris sebagai pengawas dan Dewan Direksi sebagai eksekutif perusahaan. Gambar 2 di bawah ini adalah skema yang menunjukkan struktur Corporate Governance model Continental Europe (Dual –Board System). Gambar 2 Struktur Governance Model Dual-Board System (Continental Europe Model)
General Meeting Of Shareholders (RUPS)
o Board of Commisioners (RUPS) (Dewan Komisaris)
Board of Directors (Dewan Direksi) Management
Sumber : Syakhroza (2005:18).
Management
o system, RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) Dalam model two-board
merupakan struktur tertinggi yang mengangkat dan memberhentikan (RUPS)
Dewan Komisaris yang mewakili para pemegang saham untuk melakukan kontrol terhadap manajemen. Dewan Komisaris membawahi langsung Dewan Direksi dan mempunyai kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan Dewan Direksi. serta melakukan tugas pengawasan terhadap kegiatan direksi dalam menjalankan perusahaan. Posisi Dewan Komisaris dalam model ini relatif kuat terhadap Direksi sehingga fungsi pengendalian/kontrol terhadap kegiatan manajemen dapat berjalan dengan efektif. Perusahaan-perusahaan di Indonesia pada umumnya berbasis two-board system atau two-tier board system seperti kebanyakan perusahaan di Eropa (model Continental Europe). Hanya ada perbedaan dalam kedudukan Dewan Komisaris yang tidak langsung membawahi Dewan Direksi.
Dengan adanya struktur yang demikian, maka baik dewan komisaris maupun dewan direksi bertanggungjawab terhadap RUPS (kedudukannya sejajar). Posisi yang sejajar antara Dewan Komisaris dan Dewan Direksi (manajemen) pada perusahaan–perusahaan di Indonesia, mengakibatkan kedudukan dewan komisaris di Indonesia tidak sekuat seperti Dewan Komisaris di Continental Europe karena Dewan Komisaris tidak berwenang mengangkat dan memberhentikan dewan Direksi. Dewan Direksi tidak harus bertanggungjawab terhadap Dewan Komisaris. Bila ditinjau dari perspektif good governance, kedududukan yang sejajar ini dapat mengakibatkan pelaksanaan fungsi pengendalian (control) berjalan kurang efektif karena bisa saja Dewan Komisaris dianggap oleh Dewan Direksi sebagai partner kerja, bukan sebagai pengawas kerja dewan Direksi. Hal ini bisa menjadi salah satu hambatan untuk melaksanakan GCG pada perusahaanperusahaan di Indonesia. Gambar 3 di bawah ini menunjukan struktur CG di Indonesia. Gambar 3 Struktur Corporate Governance di Indonesia (Dual-Board System)
General Meeting of Shareholders (RUPS)
o (RUPS) o
Board Of Commissioners (Dewan Komisaris)
Board Of Direcertors (Dewan Direksi)
(RUPS) o
(RUPS)
Management
Sumber : Syakhroza (2005:19).
2.1.7 Pedoman pelaksanaan Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Setiap perusahaan harus memastikan bahwa asas GCG diterapkan dalam setiap aspek bisnis. Adapun pedoman praktis penerapan prinsip-prinsip GCG di Indonesia termasuk bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menurut KNKG 2006, yaitu: 1. Transparansi (Transparancy) Prinsip Dasar Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya. Pedoman Pokok Pelaksanaan Transparansi
a. Perusahaan harus menyediakan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh pemangku kepentingan sesuai dengan haknya. b. Informasi yang harus diungkapkan meliputi, tetapi tidak terbatas pada, visi, misi, sasaran usaha dan strategi perusahaan, kondisi keuangan, susunan dan kompensasi pengurus, pemegang saham pengendali, kepemilikan saham oleh anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris beserta anggota keluarganya dalam perusahaan dan perusahaan lainnya yang memiliki benturan kepentingan, sistem manajemen risiko, sistem pengawasan dan pengendalian internal, sistem dan pelaksanaan GCG serta tingkat kepatuhannya, dan kejadian penting yang dapat mempengaruhi kondisi perusahaan. c. Prinsip keterbukaan yang dianut oleh perusahaan tidak mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, rahasia jabatan, dan hak-hak pribadi. Kebijakan perusahaan harus tertulis dan secara proporsional dikomunikasikan kepada pemangku kepentingan. 2.
Akuntabilitas (Accountability)
Prinsip Dasar Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas
merupakan
prasyarat
yang
diperlukan
untuk
mencapai
kinerja
yang
berkesinambungan. Pedoman Pokok Pelaksanaan Akuntabilitas a. Perusahaan harus menetapkan rincian tugas dan tanggung jawab masingmasing organ perusahaan dan semua karyawan secara jelas dan selaras dengan visi, misi, sasaran usaha dan strategi perusahaan. b.
Perusahaan harus meyakini bahwa semua organ perusahaan dan semua karyawan mempunyai kemampuan sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan perannya dalam pelaksanaan GCG.
c. Perusahaan harus memastikan adanya sistem pengendalian internal yang efektif dalam pengelolaan perusahaan. d.
Perusahaan harus memiliki ukuran kinerja untuk semua jajaran perusahaan yang konsisten dengan nilai-nilai perusahaan, sasaran utama dan strategi perusahaan, serta memiliki sistem penghargaan dan sanksi (reward and punishment system).
e. Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, setiap organ perusahaan dan semua karyawan harus berpegang pada etika bisnis dan pedoman perilaku (code of conduct) yang telah disepakati. 3.
Responsibilitas (Responsibility)
Prinsip Dasar Perusahaan
harus
mematuhi
peraturan
perundang-undangan
serta
melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga
dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen. Pedoman Pokok Pelaksanaan Responsibilitas a. Organ perusahaan harus berpegang pada prinsip kehati-hatian dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, anggaran dasar dan peraturan perusahaan (bylaws). b. Perusahaan harus melaksanakan tanggung jawab sosial dengan antara lain peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan yang memadai. 4. Independensi (Independency) Prinsip Dasar Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independent sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. Pedoman Pokok Pelaksanaan prinsip Independensi a. Masing-masing organ perusahaan harus menghindari terjadinya dominasi oleh pihak manapun, tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu, bebas dari benturan kepentingan dan dari segala pengaruh atau tekanan, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara obyektif. b. Masing-masing organ perusahaan harus melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundangundangan, tidak saling mendominasi dan atau melempar tanggung jawab
antara satu dengan yang lain sehingga terwujud sistem pengendalian internal yang efektif. 5. Kesetaraan dan Kewajaran (Fairness) Prinsip Dasar Dalam
melaksanakan
kegiatannya,
perusahaan
harus
senantiasa
memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kesetaraan dan kewajaran. Pedoman Pokok Pelaksanaan Kesetaraan a. Perusahaan harus memberikan kesempatan kepada pemangku kepentingan untuk
memberikan
masukan
dan
menyampaikan
pendapat
bagi
kepentingan perusahaan serta membuka akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip transparansi dalam lingkup kedudukan masing-masing. b. Perusahaan harus memberikan perlakuan yang setara dan wajar kepada pemangku kepentingan sesuai dengan manfaat dan kontribusi yang diberikan kepada perusahaan. c. Perusahaan harus memberikan kesempatan yang sama dalam penerimaan karyawan, berkarir dan melaksanakan tugasnya secara profesional tanpa membedakan suku, agama, ras, jender, dan kondisi fisik. 2.1.8 Kendala umum penerapan Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Secara umum GCG dapat diartikan sebagai tata kelola perusahaan yang baik guna memberikan nilai tambah perusahaan dan memberikan manfaat kepada
pemegang saham, yang dilaksanakan dengan prinsip dasar transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban dan kewajaran. Dalam konteks Kementrian BUMN, governance yang kini berlaku cenderung menyatukan kegiatan birokrasi dengan kegiatan korporasi penyelenggaraan BUMN. Praktek governance semacam ini, ritme daur ulang penyelenggara mengikuti siklus pergantian politik yang berlangsung lima tahun sekali, sesuai dengan pergantian menteri negara pengurus BUMN, pemegang wewenang dalam lembaga Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Sebagai akhibatnya, pengelolaan BUMN berjalan lurus dengan pasang surut partai pemenang pemilu. Maka, akan selalu terjadi pergantian pengurus BUMN seiring dengan naik jatuhnya kekuasaan sebuah partai pasca pemilu. Jajaran direktur dan komisaris BUMN, dengan demikian, tidak imun dari pengaruh partai-partai politik terutama yang sedang berkuasa (Zarkasyi, 2008:162). Kemudian masalah lain, penengakkan hukum yang terkesan lemah dan lambat, padahal ketentuan-ketentuan mengenai Good Corporate Governance sudah terdapat dalam UU Perseroan Terbatas. Kementrian Badan Usaha Milik Negara mengungkapkan beberapa hambatan dan permasalahan GCG di BUMN, antara lain: 1. Kurangnya kesadaran atas manfaat GCG bagi stakeholders korporasi, dilaksanakan sekadar formalitas, upaya menghapus praktik KKN belum maksimal, dan Dewan Direksi, Komisaris dan RUPS belum memiliki komitmen untuk melaksanakan GCG.
2. Pada BUMN umumnya BUMN yang belum go public, Komite yang terbentuk baru Komite Audit. Itupun kurang optimal. Mereka hanya bekerja paruh waktu, bahkan sering kali hanya datang sekali sebulan. Waktu
yang
dialokasikan
untuk
perusahaan
umumnya
terbatas,
kompensasinya masih relatif rendah. 3. Sistem Pengawasan Internal perusahaan kecenderungannya tidak berjalan optitmal. Standard Operational Procedure (SOP) sering dilanggar, akibatnya sering terjadi kasus-kasus penyimpangan. Satuan Pengawasan Internal
(SPI)
kurang
diberdayakan.
Kualitas
SDM
rendah.
(http://www.bumn.go.id/16433/publikasi/berita/implementasi-gcg-dibumn-masih-hadapi-banyak-kendala). Kendala umum lainnya adalah manajemen diberi kewenangan terbatas dan terlalu kuat orama politik dalam penempatan direksi, sehingga menyulitkan pengambilan keputisan yang objektif, serta manajemen diberikan insentif yang kurang sehingga kinerjanya terbatas. Adapun artikel tahun 2009 yang berjudul Implementasi Good Corporate Governance di Sektor Swasta, BUMN dan BUMD diterbitkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan kelemahan implementasi GCG pada BUMN, adalah implementasi dalam pembentukan komite-komite fungsional di bawah Komisaris masih lemah. Sebagian perusahaan BUMN hanya memiliki Komite Audit, sedangkan komite-komite lainnya seperti Komite Nominasi dan Remunerasi serta Komite Manajemen Risiko, Komite Asuransi, Komite Kepatuhan, Komite Eksekutif, dan Komite GCG, masih banyak yang belum
memilikinya. Kedua, kurangnya sosialisasi mengenai code of conduct kepada pihak eksternal seperti pelanggan, pemasok dan perusahaan asuransi. Ketiga, belum adanya kerjasama dengan penegak hukum dalam mengembangkan sistem pencegahan korupsi (http://www.kpk.go.id). Dalam studi yang berjudul Corporate Governance and finance in East Asia: A Study of Indonesia, yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB) dalam (Moeljono, 2006:33) menyatakan kelemahan utama corporate governance di Indonesia, adalah: Pertama, para dewan direktur dalam banyak kasus telah gagal berfungsi sebagai komite pengawas atas nama para pemilik. Kedua, pengawasan dan pendisiplinan oleh kreditor cenderung lemah, dan longgarnya supervisi pemerintah dan regulasi sektor keuangan. Ketiga, rendahnya standar transparansi dan pengungkapan dari suatu masalah menyulitkan pengawasan dan pengendalian oleh pemilik modal. 2.1.9
Manfaat penerapan Good Corporate Governance bagi Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. PER-01/MBU/2011 pada bulan Agustus 2011 tentang penerapan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara. Penerapan Good Corporate Governance pada BUMN, bertujuan untuk : 1. Mengoptimalkan nilai BUMN agar perusahaan memiliki daya saing yang kuat, baik secara nasional maupun internasional, sehingga mampu
mempertahankan keberadaannya dan hidup berkelanjutan untuk mencapai maksud dan tujuan BUMN. 2. Mendorong pengelolaan BUMN secara profesional, efisien dan efektif, serta memberdayakan fungsi dan meningkatkan Organ Persero/Organ Perum. 3. Mendorong agar Organ Persero/Organ Perum dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta kesadaran akan adanya tanggung jawab sosial BUMN terhadap stakeholders maupun kelestarian lingkungan di sekitar BUMN. 4. Meningkatkan kontribusi BUMN dalam perekonomian nasional. 5. Meningkatkan iklim yang kondusif bagi perkembangan investasi nasional. Menurut Effendi (2009:65) manfaat yang dapat diperoleh dari penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance di BUMN, adalah sebagai berikut: a. Peningkatan
kinerja
perusahaan
melalui
terciptanya
proses
pengambilan keputusan yang baik b. Peningkatan efisiensi operasional perusahaan c. Peningkatan pelayanan kepada pemangku kepentingan d. Kemudahan untk memperoleh dana pembiayaan yang lebih nurah dan tidak kaku (karena faktor kepercayaan), yang pada akhirnya akan meningkatkan nilai perusahaan (corporate value) e. Peningkatan minat investor untuk membeli saham perusahaan yang bersangkutan, apabila perusahaan tersebut telah go public.
Suatu penelitian oleh McKinsey & Company memberi indikasi bahwa para manajer dana Asia akan membayar 26-30% lebih untuk saham-saham perusahaan dengan corporate governance yang baik ketimbang untuk saham-saham perusahaan dengan corporate governance-nya yang meragukan (Sutedi, 2011:4) . Hal ini menunjukkan bahwa negara-negara dan perusahaan-perusahaan yang mempunyai corporate governance yang baik akan mempunyai akses yang lebih baik terhadap sumber dana internasional. Kondisi yang seperti ini akan memudahkan bagi BUMN memperoleh pinjaman dana untuk meningkatkan kinerja usahanya. Sistem corporate governance yang baik memeberikan perlindungan efektif kepada para investor dan pihak kreditor, sehingga mereka dapat meyakinkan dirinya akan memperoleh tingkat pengembalian yang tinggi. Bisa ditarik kesimpulan dengan menerapakan Good Corporate Governance dalam sebuah perusahaan maka akan dapat menciptakan lingkungan yang kondusif terhadap pertumbuhan sektor usaha yang efisien dan berkesinambungan. 2.2
Rerangka Pemikiran Dari tinjauan teori yang telah diungkapkan di atas, maka penelitian ini akan diawali dengan rerangka berfikir yang akan ditampilkan pada gambar 4 sebagai berikut:
Gambar 4 Rerangka pemikiran Pedoman Good Corporate Governance (GCG) berdasarkan Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. PER01/MBU/2011.
Pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG) pada Perusahaan PT Perkebunan Nusantara XII (Persero) Surabaya
Evaluasi prinsip-prinsip GCG dengan indikator Aspek Hak dan Tanggung Jawab Pemegang Saham/RUPS, Kebijakan GCG, Penerapan Good Corporate Governance bagi Komisaris, Komite Komisaris, Direksi, Sistem Pengendalian Intern (SPI), Sekretaris Perusahaan, Pengungkapan Informasi (Disclosure), Komitmen.
Hasil Analisis
Indikator aspek GCG yang sudah diterapakan dan sudah diperbaiki
Simpulan
Indikator aspek GCG yang Belum diterapakan dan memerlukan perbaikan
Saran perbaikan
Berdasarkan rerangka pemikiran diatas, dapat dijelaskan dalam skripsi ini, penulis memiliki konsep pemikiran yang dijabarkan sebagai berikut: 1. Melakukan proses evaluasi terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) pada PT Perusahaan Nusantara XII (Persero) Surabaya apakah sudah menerapkan konsep GCG berdasarkan Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. PER01/MBU/2011 dengan indikator: 1) Aspek Hak dan Tanggung Pemegang Saham/RUPS. 2) Aspek Penerapan Good Corporate Governance bagi Komisaris. 3) Aspek Penerapan Good Corporate Governance bagi Komite Komisaris. 4) Aspek Penerapan Good Corporate Governance bagi Direksi. 5) Aspek Penerapan Good Corporate Governance bagi SPI 6) Aspek Penerapan Good Corporate Governance bagi Sekretaris Perusahaan. 7) Aspek Pengungkapan Informasi (Disclosure), 8) Aspek Komitmen. 2. Data-data score capaian hasil dari assessment penerapan GCG yang telah dilakukan oleh perusahaan akan mencerminkan bagaimana penerapan GCG yang dilakukan oleh PT Perkebunan Nusantara (Persero), Surabaya. 3. Hasil analisis dari capaian nilai tersebut kemudian dilakukan analisis indikator apa saja yang sudah diterapkan pada perusahaan, kemudian
dilakukan juga identifikasi aspek GCG mana yang sudah diperbaiki oleh perusahaan kemudian ditarik kesimpulan. Sebaliknya jika; 4.
Hasil analisis terhadap indikator penilaian GCG masih belum dilakukan perbaikan maka akan dicarikan solusi perbaikannya. Namun, Jika ada indikator GCG yang belum diterapkan oleh perusahaan maka perlu dilakukan identifikasi aspek-aspek apa sajakah itu dan menemukan penyebabnya.
2.3 Proposisi Dari uraian latar belakang tentang pelaksanaan Good Corporate Governance, maka dapat dinyatakan suatu proposisi dalam Tabel 2, sebagai berikut : Tabel 2 Proposisi Penelitian Rumusan Masalah Bagaimana penerapan Good Corporate Governance pada PT Perkebunan Nusantara XII (Persero) Surabaya?
Proposisi
Pertanyaan Protokol
PT Perkebunan
Bagaimana PT
Nusantara XII (Persero)
Perkebunan Nusantara
Surabaya menerapkan
XII (Persero) Surabaya
Good Corporate
menerapakan Good
Governance dengan
Corporate Governance?
baik sesuai peraturan yang ada dan nilai-nilai etika yang berlaku.