BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Pengertian Good Governance Ide governance dan good governance dari IMF dan World Bank ternyata mengusik perhatian para ilmuwan politik, yang mendorong mereka untuk mengolaborasi konsep governance, untuk menandai cara pandang baru pemerintah. Di sinilah lahirnya perspektif institusionalisme baru yang mulai menggeser perhatian dari government ke governance. Dulu ilmu politik hanya mengenal istilah goverment (pemerintah), sebagai badan-badan yang menjalankan pemerintahan. Sebelum tahun 1990-an, ilmu politik banyak mencurahkan perhatian pada beberapa persoalan, bagaimana pemerintah dibentuk dan berubah, bagaimana pemerintah memerintah atas rakyatnya, bagaimana menjalankan kewenangan sampai mengambil keputusan. Sedangkan
istilah
"kepemerintahan"
atau
dalam
bahasa
inggris
"governance" yaitu "the ac, fact, manner of governing", berarti: "tindakan, fakta, pola, dan kegiatan atau penyelenggaraan pemerintahan". Dengan demikian governance adalah suatu kegiatan (proses), sebagaimana diungkapkan dengan Kooiman (dalam Sedamaryanti, 2004:3) bahwa governance lebih merupakan serangkaian proses interaksi sosial politik antara pemerintahan dengan masyarakat dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan interfensi pemerintah atas kepentingan-kepentingan tersebut. Sedang oleh United Nation Development Program (UNDP) (dalam Mardiasmo, 2010:17) good governance yaitu "The exercise of political, economic, and administrative
8
9
authority to manage a nation's affair at all level's". Atau jika diartikan governance yaitu penekanan pada aspek politik (pembuatan kebijakan), ekonomi (pembuatan keputusan ekonomi), dan administratif (sistem implementasi kebijakan) dalam pengelolaan negara. Bintoro Tjokroamidjojo (dalam Sinambela, 2006:23) memandang good governance sebagai suatu bentuk manajemen pembangunan, yang juga disebut sebagai administrasi pembangunan, yang menempatkan peran pemerintah sentral yang menjadi Agen of change dari suatu masyarakat berkembang atau developing di dalam negara berkembang. Agen of change karena perubahan yang dikehendakinya, menjadi planned change (perubahan yang berencana), maka disebut juga Agent of Development. Agent of Development diartikan sebagai pendorong proses pembangunan dan perubahan masyarakat bangsa. Pemerintah mendorong melalui kebijaksanaan-kebijaksanaan dan program-program, proyekproyek, dan peran perencanaan dalam anggaran. Pengertian good governance menurut Mardiasmo (2002:24) diartikan sebagai kepemerintahan yang baik. Sementara itu, World Bank (dalam Mardiasmo,
2004:24)
mendefinisikan
good
governance
sebagai
suatu
penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta menciptakan legal and political framework bagi timbulnya aktivitas usaha. Lembaga Administrasi Negara (dalam Sedarmayanti, 2004:3) menyimpulkan bahwa wujud good governance adalah
10
penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab serta efisien dan efektif dengan menjaga "kesinergian" interaksi yg konstruktif di antara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat. Selain itu Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2000 (dalam Sedarmayanti, 2004:4) merumuskan arti good governance sebagai berikut: kepemerintahan yang mengemban akan menerapkan profesionalisme, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisien, efektifitas, supremasi hukum, dan dapat di terima oleh semua masyarakat. Menurut Sedarmayanti (2004:3) Istilah kepemerintahan yang baik (good governance) mengandung pemahaman nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan
rakyat
dalam
pencapaian
tujuan
(nasional)
kemandirian,
pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. Dan aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut.
2.2
Prinsip-prinsip Good Governance Berdasarkan pada berbagai pengertian dari good governance yang telah
diungkapkan oleh berbagai penulis dan lainnya seperti yang telah disebutkan diatas. Dan dengan bergesernya paradigma government ke arah governance, yang menekankan dalam kolaborasi dalam kesetaraan dan keseimbangan antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat madani (civil society), maka dikembangkan pandangan atau paradigma baru administrasi publik yang disebut dengan kepemerintahan yang baik (good governance).
11
Seperti disampaikan Bob Sugeng Hadiwinata (dalam Santoso, 2008:131) asumsi dasar good governance haruslah menciptakan sinergi antara sektor pemerintah (menyediakan perangkat aturan dan kebijakan), sektor bisnis (menggerakkan roda perekonomian) dan sector civil society (aktifitas-aktifitas swadaya guna mengembangkan produktifitas ekonomi, efektifitas, efisiensi). Syarat bagi terciptanya good governance yang merupakan prinsip dasar, meliputi partisipatoris, rule of law (penegakan hukum), transparansi, responsiveness (daya tanggap), konsensus, persamaan hak, efektifitas dan efisiensi, dan akuntabilitas. Good governance awalnya digunakan dalam dunia usaha (corporate) dan adanya desakan untuk menyusun sebuah konsep dalam menciptakan pengendalian yang melekat pada korporasi dan manajemen professionalnya, maka ditetapkan Good Corporate Governance. Sehingga dikenal prinsip-prinsip utama dalam governance corporate adalah: transparansi, akuntabilitas, fairness, responsibilitas, dan responsivitas (Nugroho, 2004:216). Sedarmayanti (2004:5) mengungkapkan prinsip-prinsip dasar yang melandasi perbedaan antara konsepsi pemerintahan (governance) dengan pola pemerintahan yang tradisional, adalah terletak adanya tuntunan yang dengan demikian kuat agar peranan pemerintah dikurangi dan peranan masyarakat (termasuk dunia usaha dan lembaga swadaya masyarakat atau organisasi non pemerintah) semakin di tingkatkan dan semakin terbuka aksesnya. Gambir bhatta (dalam sedamaryanti, 2004:5) mengungkapkan pula bahwa unsur utama governance yaitu: akuntabilitas (accountability), transparasi (transparency),
12
keterbukaan (openness), dan aturan hukum (rule of law) ditambah dengan kompetensi manajemen dan hak-hak azasi manusia. Selanjutnya prinsip-prinsip good governance terdapat empat unsur atau prinsip utama yang dapat memberi gambaran yang berciri kepemerintahan yang baik, yaitu sebagai berikut: 1.
Akuntabilitas: adanya kewajiban bagi aparatur pemerintah untuk bertindak selaku penanggung jawab dan penanggung gugat atas segala tindakan dan kebijakan yang di tetapkannya.
2.
Transparansi: kepemerintahan yang baik akan bersifat transparansi terhadap rakyatnya, baik ditingkat pusat maupun daerah.
3.
Keterbukaan: menghendaki terbukanya kesempatan bagi rakyat untuk mengajukan tanggapan dan kritik terhadap pemerintahan yang dinilainya tidak transparan.
4.
Aturan hukum: kepemerintahan yang baik mempunyai karakteristik berupa jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan public yang ditempuh (Sedamaryanti, 2004:7). Selanjutnya oleh Santoso (2008:131), mengungkapkan bahwa prinsip-
prinsip good governance terdiri dari: 1.
Partipasitoris, setiap pembuatan peraturan dan atau kebijakan selalu melibatkan unsur masyarakat (melalui wakil-wakilnya).
2.
Rule of law, harus ada perangkat hukum yang menindak para pelanggar, menjamin perlindungan ham, tidak memihak, berlaku pada semua warga.
13
3.
Transparency, adanya ruang kebebasan untuk memperoleh informasi publik bagi warga yang membutuhkan (diatur oleh undang-undang). Ada ketegasan antara rahasia negara dengan informasi negara yang terbuka untuk publik.
4.
Responsiveness, lembaga publik harus mampu merespon kebutuhan masyarakat, terutama yang berkaitan dengan "basic need" (kebutuhan dasar) dan HAM (hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial, dan hak budaya).
5.
Consensus, jika ada perbedaan kepentingan yang mendasar di dalam masyarakat, penyelesaian harus mengutamakan cara dialog atau musyawarah menjadi consensus.
6.
Persamaan hak, pemerintahan harus menjamin bahwa semua pihak, tanpa terkecuali, dilibatkan di dalam proses politik, tanpa ada satu pihak pun yang dikesampingkan.
7.
Efektifitas dan efisiensi, pemerintah harus efektif dan efisien dalam memproduksi
output
berupa aturan, kebijakan, pengelolaan keuangan
negara, dll. 8.
Akuntabilitas, suatu perwujudan kewajiban dari suatu instansi pemerintahan untuk mempertanggung jawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misinya. Prinsip-prinsip good governance yang telah tertulis diatas tidak jauh
berbeda dengan prinsip-prinsip good governance yang diungkapkan oleh UNDP (dalam Mardiasmo, 2002:24) yaitu:
14
a)
Partisipasi (Participation) Setiap warga negara mempunyai suara dalam formulasi keputusan, baik secara langsung maupun intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara secara berpartisipasi secara konstruktif
b) Penerapan hukum (Fairness) Rerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak azasi manusia. c)
Transparansi (Transparency) Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor.
d) Responsivitas (Responsiveness) Lembaga-lembaga dan proses-proses kelembagaan harus mencoba untuk melayani setiap stakeholders. e)
Orientasi (Consensus Orientation) Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur.
f)
Keadilan (Equity) Semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan untuk meningkatkan ataupun menjaga kesejahteraan mereka dan terlibat di dalam pemerintahan.
15
g) Efektivitas (Effectivness) Proses-proses dan lembaga-lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin. h) Akuntabilitas (Accountability) Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat sipil (civil society) bertanggungjawab kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi i)
Strategi visi (Strategic vision) Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh kedepan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini. Keseluruhan karakteristik atau prinsip-prinsip good governance adalah
saling memperkuat dan saling terkait serta tidak bisa berdiri sendiri. Maka apabila penerapan good governance atau kepemerintahan yang baik dalam organisasi kepemerintahan sudah dapat dilaksanakan sesuai dengan apa yang sudah seharusnya, maka secara otomatis hal tersebut akan memudahkan pelaksanaan kegiatan disegala bidang.
16
2.3
Perbedaan Good Governance dan Good Corporate Governance Antara good governance dan good corporate governance perusahaan
(good corporate governance) tentunya sama-sama memiliki tujuan untuk menjadi lebih baikkan nilai setiap entitas maupun bisnis maupun non-bisnis atau instansi organisasi kepemerintahan, namun dalam penerapannya tentunya keduanya memiliki perbedaan. Good governance adalah sebuah bentuk ideal mekanisme, praktik dan tata cara pemerintah dalam mengatur dan memecahkan masalah-masalah publik. Inilah bentuk pemerintahan yang paling diidam-idamkan oleh setiap bangsa dan negara. Sedangkan menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (2006) Good Corporate Governance (GCG) adalah salah satu pilar dari sistem ekonomi pasar. Ia berkaitan erat dengan kepercayaan baik terhadap perusahaan yang melaksanakannya maupun terhadap iklim usaha di suatu negara. Konsep dasar penerimaan good governance pada perusahaan (corporate) didasarkan atas 5 (lima) aspek dasar, yaitu: (i) the right of shareholders; (ii) the equitable of shareholders; (iii) the hole of stakeholders; (iv) disclosure and transparency; (v) the responsibilities of the board. Dalam pelaksanaannya 5 (lima) aspek dasar good governance tadi dijadikan 6 (enam) prinsip good governance, yaitu: (1) fairness (keadilan); (2) transparency (keterbukaan); (3) accountability
(tanggungjawab
dan
wewenang);
(4)
responsibility
(pertanggungjawaban); (5) disclosure (keterbukaan informasi); (6) independency (kemandirian) (patriadi, 2004:76).
17
Corporate governance sangat penting untuk
membentuk perilaku
korporasi, termasuk respons perusahaan terhadap berbagai tekanan pasar, investasi baru dan peluang untuk tumbuh dalam pasar yang sangat dinamis. Kunci terciptanya good governance dalam perusahaan adalah fungsi secara efektif organisasi perusahaan yang terjamin kualitas dan integritasnya sehingga dapat mencapai
tujuan
perusahaan
sekaligus
memenuhi kepentingan seluruh
shareholders dan stakeholder. Tujuan good governance yang sebenarnya menurut Sedamaryanti (2004:6) adalah mendorong terwujudnya demokrasi melalui reformasi terutama dalam bidang pemerintahan. Sedangkan tujuan utama dari good corporate governance menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (2006) adalah meningkatkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder yang lain Prinsip-prinsip good
governance menurut UNDP seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, jika dikonfersikan terhadap prinsip-prinsip good governance perusahaan (good corporate governance) menurut Patriadi (2004:82) akan digambarkan dalam tabel berikut ini:
18
Tabel 1 10 Prinsip Good Governance Pada Instansi Pemerintahan Pengertian Tata Pemerintahan yang Baik, Tata Pamong yang Baik NO.
PRINSIP
PENJELASAN
KONVERSI KEPADA 5 PRINSIP GCG (T-A-R-I-F)
1
Partisipasi
Mendorong setiap warganegara untuk menggunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses (1) Transapansi pengambilan keputusan yang menyangkut (Transparency) kepentingan publik
2
Penegakan Hukum
Mewujudkan adanya law enforcement yang adil (3) tanpa terkecuali (equal treatment) yang menjunjung Pertanggungjawaban HAM dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (Responsibility)
3
Transparansi
Menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan infornasi dan menjamin kemudahan untuk mendapatkan informasi
4
Kesetaraan
5 6
Memberikan peluang yang sama kepada setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan Daya Tanggap Meningkatkan kepekaan para penyelenggara pemerintahan terhadap aspirasi masyarakat tanpa pengecualian Wawasan ke Membangun berdasarkan visi dan strategi yang jelas dan mengikutsertakan partisipasi masyarakat dalam Depan proses pembangunan
( 5) Kewajaran (Fairness) (3) Pertanggungjawaban (Responsibility) (6) Wawasan (Visioner)
7
Akuntabilitas
8
Meningkatkan upaya pengawasan terhadap (2) Akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan (Accountability) yang melibatkan masyarakat Efektifitas dan Menjamin terselenggaranya pelayanan kepada (2) Akuntabilitas masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang (Accountability) Efesiensi tersedia secara optimal dan bertanggung jawab
9
Meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat luas
(1) Transparansi (Transparency)
(2) Akuntabilitas (Accountability)
Pengawasan
1Profesionalism 0e
Meningkatkan kemampuan dan moral (4 ) Independensi penyelenggaraan pemerintahan agar mampu (independency) menyediakan pelayanan yang mudah, cepat, tepat, dan kompetitif Sumber: UN-DP, Depdagri, APEKSI, ADEKSI,APKASI, 2002 (dalam Patriadi,2004:82)
19
Prinsip-prinsip good corporate governance menurut komite Komite Nasional Kebijakan Governance (2006) adalah : (1) Transparansi (Transparency), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengembangkan informasi materiil dan relevan. (2) Akuntabilitas (Accountability), yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organisasi sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. (3) Pertanggungjawaban (Responsibility), yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. (4) Independensi (Independency), yaitu suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara professional tanpa benturan kepentingan dan hubungan atau tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. (5) Kewajaran (Fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hakhak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan perundangundangan.
2.4 Good Governance di Indonesia Menurut hasil riset Booz-Allen & Hamilton (dalam Suryanto, 2002:9), menunjukkan bahwa Indonesia pada tahun 1999 menduduki posisi paling parah dalam indeks good governance, indeks korupsi dan indeks efisiensi peradilan
20
dibandingkan dengan beberapa negara di Asia Tenggara lainnya. Besarnya indeks good governance Indonesia hanya sebesar 2,88 di bawah Singapura (8,93), Malaysia (7,72), Thailand (4,49), dan Filipina (3,47). Indeks ini menunjukkan bahwa semakin rendah angka indeks maka tingkat good governance semakin rendah, dan sebaliknya (lihat tabel 2). Tabel 2 Good Governance di Asia Tenggara 1999 Indeks Efisiensi Peradilan
Indeks Korupsi
Indeks Good Governance
Malaysia
9,00
7,38
7,72
Good Governance
Singapura
10,00
8,22
8,93
Good Governance
Thailand Filiphina Indonesia
3,25 4,75 2,50
5,18 7,92 2,15
4,89 3,47 2,88
Fair Governance Fair Governance Poor Governance
Negara
Kategori Kualitas Governance
Sumber: Booz-Allen & Hamilton (dalam Suryanto, 2002:9) Senada dengan
penelitian Booz-Allen & Hamiiton (dalam Suryanto,
2002:10), Political and Economic Risk Consultancy (PERC), sebuah lembaga yang berpusat di Hongkong melakukan survei terhadap pelaku bisnis asing (expatriats), menyimpulkan bahwa birokrasi Indonesia termasuk terburuk dan belum mengalami perbaikan berarti dibandingkan keadaan di tahun 1999, meskipun lebih baik dibandingkan keadaan Cina, Vietnam, dan India. Di tahun 2000, Indonesia memperoleh skor 8,0 atau tak bergerak dari skor pada tahun 1999, dari kisaran skor yang dimungkinkan, yakni nol untuk terbaik dan 10 untuk terburuk. Skor 8,0 atau jauh di bawah rata-rata ini diperoleh dari pengalaman dan persepsi expatriats yang menjadi responden. Antara lain, menurut mereka, masih banyak pejabat tinggi pemerintah Indonesia yang
21
memanfaatkan posisi mereka untuk memperkaya baik diri sendiri maupun orangorang terdekat (Suryanto, 2002:10). Syakrani (2008:57) menyebutkan ada banyak faktor yang mempengaruhi terwujudnya good governance. Faktor-faktor tersebut ada yang dapat menunjang terwujudnya good governance tapi ada juga yang menghambat terwujudnya good governance. Faktor-faktor tersebut antara lain: 1.
Faktor Pendukung a) Masyarakat suatu negara menghormati hukum. b) Aparat pemerintahan yang bersih, bermoral dan proaktif mewujudkan partisipasi serta check and balances. c) Amandemen UUD 1945 sebagai contoh pada pasal 28F, mengatur kewajiban pemerintahan untuk memberi informasi (penunjang prinsip good governance yaitu transparansi)
2.
Faktor Penghambat a) Masih kurangnya pemahaman masyarakat dan aparatur pemerintah mengenai good governance sehingga hanya menjadi slogan dan hanya menjadi wacana belaka. b) Kualitas SDM untuk mewujudkan good governance yang kurang. c) Penegakan dan pelaksanaan aturan hukum yang bertujuan untuk mewujudkan good governance yang belum terlaksana secara maksimal.
Abad 21 menghadapkan lingkungan strategis nasional dan internasional yang berbeda dengan tantangan strategis yang dihadapi pada Abad 20. Di akhir
22
Abad 20 dan
dalam dekade-dekade awal Abad 21, Indonesia menghadapi
tantangan-tantangan berat di segala bidang, krisis multi dimensi, ancaman desintegrasi, dan keterpurukan ekonomi. Indikator-indikator pembangunan menunjukkan bahwa posisi Indonesia berada dalam kelompok terendah dalam peta kemajuan pembangunan bangsa-bangsa, baik
dilihat dari
indeks
pembangunan manusia, ketahanan ekonomi, struktur industri, perkembangan pertanian, sistem hukum dan peradilan, penyelenggaraan good governance baik pada sektor publik maupun bisnis. Dalam mewujudkan good governance di Indonesia salah satunya adalah dengan melakukan reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi bukan hanya pada perombakan struktur organisasi saja, melainkan juga pada perubahan dan perbaikan kopetensi SDM (Sumber Daya Manusia) secara menyeluruh yang perlu dijabarkan secara konsisten dan proporsional. Hal ini tentu memerlukan waktu yang tidak singkat, tetapi harus dilakukan secara konsisten dan terus menerus terutama pada pemenuhan kompetensi SDM yang berkualitas dan sadar hukum. Hal inilah yang perlu dilakukan pemerintah Indonesia dalam mewujudkan good governance. Adapun langkah-langkah menurut Syakrani (2008:63) dalam menciptakan pemerintahan yang baik (good governance) adalah sebagai berikut: a)
Penataan Organisasi dan Tata Kerja. Penataan organisasi pemerintah baik pusat maupun daerah didasarkan pada visi, misi, sasaran, strategi, agenda, kebijakan, program, dan kinerja kegiatan yang terencana, dan diarahkan pada terbangunnya sosok birokrasi yang ramping, desentralistik, efisien, efektif,
23
bertanggungjawab, terbuka, dan aksesif, serta terjalin dengan jelas satu sama lain sebagai satu kesatuan birokrasi nasional dalam satuan Negara Republik Indonesia (SANKRI), dikembangkan terarah pada penerapan pelayanan prima yang efektif, dan mendorong peningkatan produktivitas kegiatan pelayanan aparatur dan masyarakat. b) Pemantapan
Sistem
Manajemen.
Dengan
meningkatnya
dinamika
masyarakat dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa, pengembangan
sistem
manajemen
pemerintahan
diprioritaskan
pada
revitalisasi pelaksanaan fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan dan pelayanan publik yang kondusif, transparan, dan akuntabel, disertai dukungan sistem informatika yang sudah terarah pada pengembangan e-government. Peran birokrasi lebih difokuskan sebagai agen pembaharuan, bagi tumbuh dan berkembangnya swakarsa dan swadaya serta meningkatnya kompetensi masyarakat dan dunia usaha. Dengan demikian, dunia usaha dan masyarakat dapat menjadi bagian dari masyarakat yang terus belajar (Learning community). c)
Peningkatan Kompetensi SDM Aparatur. Mengantisipasi tantangan global, pembinaan sumber daya manusia aparatur negara perlu mengacu pada standar kompetensi internasional (world class). Sosok aparatur masa depan penampilannya harus profesional sekaligus taat hukum, rasional, inovatif, memiliki integritas yang tinggi serta menjunjung tinggi etika administrasi publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Peningkatan
24
profesionalisme aparatur harus ditunjang dengan integritas yang tinggi, dengan mengupayakan terlembagakannya karakteristik sebagai berikut: a) Mempunyai komitmen yang tinggi terhadap perjuangan mencapai cita-cita dan tujuan bernegara, b) Memiliki kompetensi yang dipersyaratkan dalam mengemban tugas pengelolaan pelayanan dan kebijakan publik, c) Berkemampuan melaksanakan tugas dengan terampil, kreatif, dan inovatif, d) Disiplin dalam bekerja berdasarkan sifat dan etika profesional, e) Memiliki daya tanggap dan sikap bertanggung gugat (akuntabilitas), f) Memiliki derajat otonomi yang penuh rasa tanggung jawab dalam membuat dan melaksanakan berbagai keputusan sesuai kewenangan, dan g) Memaksimalkan efisiensi, kualitas, dan produktivitas. 4) Desentralisasi merupakan wujud nyata pelaksanaan otonomi daerah dalam SANKRI. Perbedaan perkembangan antar daerah mempunyai implikasi yang berbeda pada macam dan integritas peranan pemerintah, namun pada umumnya masyarakat dan dunia usaha memerlukan (a) desentralisasi dalam pemberian perizinan, dan efisiensi pelayanan birokrasi bagi kegiatan-kegiatan dunia usaha di bidang sosial ekonomi, (b) penyesuaian kebijakan pajak dan perkreditan yang lebih nyata bagi pembangunan di kawasan-kawasan tertinggal, dan sistem perimbangan keuangan pusat dan daerah yang sesuai dengan kontribusi dan potensi pembangunan daerah, serta (c) ketersediaan dan kemudahan mendapatkan informasi mengenai potensi dan peluang bisnis
25
di daerah dan di wilayah lainnya kepada daerah di dalam upaya peningkatan pembangunan daerah 5) Tegaknya hukum yang berkeadilan merupakan jasa pemerintahan yang terasa
teramat
penyelenggaraan
sulit
diwujudkan,
pemerintahan
namun
dan
mutlak
diperlukan
pembangunan,
justru
dalam
ditengah
kemajemukan, berbagai ketidak pastian perkembangan lingkungan, dan menajamnya persaingan, peningkatan dan efisiensi nasional membutuhkan penyesuaian kebijakan dan perangkat perundang-undangan, namun tidak berarti harus mengabaikan kepastian hukum. Adanya kepatian hukum merupakan
indikator
professionalism
dan
syarat
bagi
kredibilitas
pemerintahan, sebab bersifat vital dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, serta dalam pengembangan hubungan internasional. Tegaknya kepastian hukum juga mensyaratkan kecermatan dalam penyusunan berbagai kebijakan pembangunan. Sebab berbagai kebijakan publik tersebut pada akhirnya harus dituangkan dalam sistem perundang-undangan untuk memiliki kekuatan hukum, dan harus mengandung kepastian hukum. Namun demikian, pelaksanaan reformasi birokrasi masih dihadapi oleh berbagai permasalahan dan tantangan. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain menurut Syakrani (2008:82) adalah masih tingginya pelanggaran disiplin dan lemahnya sistem pengawasan baik internal, eksternal maupun pengawasan masyarakat dan sistem pertanggung jawaban publik yang berakibat masih tingginya tingkat penyalahgunaan kewenangan, rendahnya kinerja sumber daya
26
manusia aparatur, belum memadainya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan yang berakibat pada rendahnya mutu pelayanan publik.
2.5 Efektifitas Kerja Efektifitas berasal dari bahasa inggris "effective" yang berarti berhasil ditaati, mengesahkan, mujarab dan mujur. Dari sederet arti diatas, yang paling tepat adalah berhasil dengan baik. Jika seseorang dapat bekerja dengan baik maka ia dapat dikatakan bekerja dengan efektif. Widjaja (1993:32) mengemukakan: "Efektifitas adalah hasil membuat keputusan yang mengarahkan, melakukan sesuatu dengan benar, yang membantu memenuhi misi suatu perusahaan atau pencapaian tujuan". Selanjutnya oleh John Suprihanto et al. (2003:15) efektifitas diartikan sebagai prestasi (performance) individu, kelompok, dan organisasi. Semakin berprestasi seseorang, kelompok, ataupun organisasi, semakin menunjukkan efektifitasnya. Untuk melihat efektifitas kerja, pada umumnya dipakai empat macam pertimbangan, yaitu pertimbangan ekonomi, pertimbangan fisiologi, pertimbangan psikologi dan pertimbangan sosial. Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa efektifitas merupakan suatu keadaan yang menunjukkan keberhasilan kerja yg ditetapkan. Efektifitas kerja adalah penyelesaian pekerjaan tepat waktu sesuai yang telah diharapkan, artinya pelaksanaan suatu tugas ditandai baik atau tidak sangat tergantung pada penyelesaian tugas tersebut, bagaimana cara melaksanakannya, dan berapa biaya yang dikeluarkan untuk itu. Hal ini lebih menekankan pada
27
penyelesaian tugas yang telah ditentukan sebelumnya. Sarwoto (1990:126) mengistilahkan efektifitas dengan "berhasil guna", yaitu pelayanan yang baik corak dan mutunya dan benar-benar sesuai dengan kebutuhan dalam pencapaian tujuan organisasi. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa efektifitas kerja berhubungan dengan hasil yang telah ditentukan sebelumnya. Satu hal yang perlu digaris bawahi adalah efektifitas kerja tidak dapat dipisahkan dengan efisiensi kerja. Efisiensi kerja berhubungan dengan biaya, tenaga, mutu dan pemikiran. Jadi efekktifitas kerja adalah kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat dalam mencapai suatu tujuan tertentu atau efektifitas kerja juga dapat diartikan dengan hasil guna penekannya pada efeknya, atau hasil perlu memperdulikan pengorbanan yang perlu diberikan oleh hasil tersebut. Jadi efektifitas kerja dalam organisasi merupakan usaha untuk mencapai prestasi yang maksimal dengan menggunakan sumber daya yang masih tersedia dalam waktu yang relatif singkat tanpa menunggu keseimbangan tujuan alat dan tenaga serta waktu. Apa yang dimaksud efektifitas kerja dipertegas Siagian (1996:19) yaitu "penyelesaian pekerjaan tepat pada waktu yang ditentukan, artinya apabila pelaksanaan tugas dinilai baik atau tidak adalah sangat tergantung pada bilamana tugas tersebut diselesaikan dan bukan terutama menjawab tentang bagaimana melaksanakan serta berapa biaya yang dikeluarkan untuk pekerjaan tersebut". Dari definisi diatas dapatlah kiranya diinterpretasikan bahwa efektifitas kerja mengandung arti tentang penekanan pada segi waktu yang dibutuhkan untuk
28
menyelesaikan suatu pekerjaan, dimana semakin cepat pekerjaan itu terselesaikan dengan baik sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan, maka akan semakin baik pula efektifitas kerja yang dicapai. Demikian pula sebaliknya dengan semakin lamanya pekerjaan tersebut terselesaikan, maka semakin jauh pula pekerjaan tersebut dari keefektifannya. Menurut Handoko (1999:62) pegawai mampu mencapai
efektifitas
kerja
apabila
pegawai
menunjukkan
kemampuan
mengakumulasikan pemilihan tujuan yang dilaksanakan dengan peralatan yang akan dipergunakan untuk melaksanakan tujuan tersebut sehingga pekerjaan tersebut terselenggara sebagaimana yang diharapkan. Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pemilihan alternatif yang tepat sangat menentukan tingkat efektifitas kerja yang sangat tinggi dan tentunya akan sangat berhubungan besar terhadap kualitas dari hasil pekerjaanpekerjaan itu sendiri.
2.6 Pengukuran Efektifitas Kerja Pada dasarnya efektifitas kerja dimaksudkan untuk mengukur hasil pekerjaan yang dicapai sesuai dengan rencana, sesuai dengan kebijaksanaan atau dengan kata lain mencapai tujuan, maka hal itu dikatakan efektif. Nilai efektifitas pada dasarnya ditentukan oleh tercapainya tujuan organisasi serta faktor kesesuaian dalam melaksanakan tugas atau pekerjaannya. Jadi efektifitas kerja pada tiap-tiap organisasi
akan
berbeda-beda
antara organisasi satu dengan
organisasi yang lainnya, tergantung pada jenis dan sifat dari organisasi yang
29
bersangkutan. Menurut Campel (dalam Steers, 1998:45) untuk mengukur efektifitas kerja, ada beberapa variabel yang biasanya dipergunakan, yaitu: 1.
Kesiagaan Penilaian menyeluruh sehubungan dengan kemungkinan bahwa organisasi mampu menyelesaikan sebuah tugas khusus jika diminta.
2.
Kemangkiran Frekuensi kejadian-kejadian pekerja bolos dari pekerjaan pada saat jam kerja.
3.
Motivasi Kecenderungan
seseorang individu
melibatkan
diri
dalam
kegiatan
berarahkan sasaran dalam pekerjaan. Ini bukanlah perasaan senang yang relatif terhadap hasil berbagai pekerjaan sebagaimana halnya kepuasan, tetapi lebih merupakan perasaan sedia atau rela bekerja untuk mencapai tujuan pekerjaan. 4.
Kepuasan Kerja Tingkat kesenangan yang dirasakan seseorang atas peran pekerjaannya dalam organisasi. Tingkat rasa puas individu bahwa mereka merasa dihargai karena pekerjaan mereka.
5.
Beban Pekerjaan Beban pekerjaan yang diberikan pimpinan kepada bawahan sesuai dengan kemampuan seseorang dan sesuai dengan jumlah kelompok mereka.
30
6.
Waktu Menyelesaikan Tugas Waktu merupakan salah satu pengukuran efektifitas kerja yang sangat penting sebab dapat dilihat apakah waktu yang digunakan suatu organisasi sudah dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh setiap anggota berorganisasi. Keberhasilan
organisasi
dalam
mencapai
tujuannya
tidak
dapat
melepaskan diri perlunya pembagian kerja yang tepat supaya setiap pegawai bisa melaksanakan tugas-tugasnya secara efektif. Pengukuran efektifitas kerja yang penulis lakukan didasarkan atas banyaknya tugas yang dipikul dan jumlah pegawai yang melaksanakan tugas tersebut, sehingga dari kedua hal tersebut dapat disusun sesuai dengan kebutuhan perusahaan atau organisasi sehingga menghasilkan efektifitas kerja sebagaimana diharapkan. Pengukuran efektifitas kerja berdasarkan banyaknya tugas yang dipikul dan jumlah pegawai yang melaksanakan tugas tersebut dapat berarti bahwa bila tugas dibebankan kepada pegawai sedikit, sementara jumlah pegawai yang melaksanakan tugas tersebut lebih banyak, maka akan terjadi banyak pegawai yang menganggur sehingga menjadi tidak efektif. Sebaliknya jika tugas yang dibebankan banyak sedangkan banyak pegawai yang melaksanakannya terbatas, maka akan terjadi penumpukan pekerjaan dimana hal ini akan mengakibatkan banyaknya pekerjaan yang tidak dapat diselesaikan atau tertunda sehingga terjadi ketidak efektifan.
31
2.7
Pelaksanaan Prinsip-Prinsip Good Governance terhadap Efektifitas Kerja Penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik
menurut paradigma good governance, dalam prosesnya tidak hanya dilakukan oleh pemerintah daerah berdasarkan pendekatan rule goverment (legalitas), atau hanya untuk kepentingan pemerintah daerah. Paradigma good governance, mengedepankan proses dan prosedur, dimana dalam proses persiapan, perencanaan,
perumusan
dan
penyusunan
suatu
kebijakan
senantiasa
mengedepankan kebersamaan dan dilakukan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan (Sinambela, 2006:5) Menurut Basri (2008) good governance merupakan prinsip pengelolaan perusahaan yang bertujuan untuk mendorong kinerja perusahaan serta memberikan nilai ekonomis bagi pemegang saham maupun masyarakat secara umum. Prinsip ini diperlukan sebagai upaya untuk meraih kembali kepercayaan investor dan kreditur, memenuhi tuntutan global, meminimalkan kerugian dan biaya pencegahan atas penyalahgunaan wewenang oleh pengelola, meminimalkan cost of capital, meningkatkan nilai saham perusahaan serta mengangkat citra perusahaan. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik, pada dasarnya menuntut keterlibatan seluruh komponen pemangku kepentingan, baik di lingkungan birokrasi maupun di lingkungan masyarakat. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik, adalah pemerintah dekat dengan masyarakat dan dalam memberikan pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Esensi kepemerintahan
32
yang baik (good governance) dicirikan dengan terselenggaranya pelayanan publik yang baik, hal ini sejalan dengan esensi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang ditujukan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah mengatur dan mengurus masyarakat setempat, dan meningkatkan pelayanan publik dengan cara meningkatkan efektifitas kerja aparatur pemerintah (Sinambela, 2006:8). Basri (2008) menuliskan penerapan good governance pada kantor dinas membawa konsekuensi berbagai hubungan antara good governance dengan kinerja internalnya. Nilai-nilai dan etika profesi menjadi dasar penerapan good governance sebagai motivasi perilaku profesional yang efektif, jika dibentuk melalui pembiasaan-pembiasaan yang terkandung pada suatu budaya organisasi. Keberhasilan implementasi good governance banyak ditentukan oleh itikad baik ataupun
komitmen
anggota
organisasi
untuk
sungguh-sungguh
mengimplementasikannya. Komitmen organisasional menunjukkan suatu daya dari seseorang dalam mengidentifikasikan keterlibatannya dalam suatu bagian organisasi, menurut Mowday, et al. (dalam Sinambela, 2006:10) komitmen organisasional dibangun atas dasar kepercayaan pekerja atas nilai-nilai organisasi, kerelaan pekerja membantu mewujudkan tujuan organisasi dan loyalitas untuk tetap menjadi anggota organisasi. Oleh karena itu, komitmen organisasi akan menimbulkan rasa ikut memiliki (sense of belonging) bagi pekerja terhadap organisasi. Jika pekerja merasa jiwanya terikat dengan nilai-nilai organisasional yang ada maka dia akan merasa senang dalam bekerja, sehingga kinerjanya dapat meningkat.
33
Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya sebagai salah satu unsur pelaksana tekhnis pemerintah daerah di bidang tata kelola kebersihan dan pertamanan. Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya dipimpin oleh Kepala Dinas yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Walikota Kota Surabaya melalui Sekretaris Daerah Kota Surabaya. Dalam melayani masyarakat, aparatur Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya dituntut untuk melaksanakan tugas dengan baik, yakni efektifitas kerjanya harus tinggi. Tercapainya efektifitas kerja bukan saja ditentukan dari banyaknya jumlah pegawai, akan tetapi juga dapat dihubungkan oleh faktor lain, seperti pengelolaan organisasi, pengendalian yang baik yang disebut good governance. Pengelolaan dan pengendalian yang baik dari suatu organisasi publik menyangkut pencapaian tujuan organisasi secara bersama-sama, yaitu untuk menciptakan suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab sejalan dengan prinsip demokrasi, efisiensi, pencegahan korupsi baik secara politik maupun secara administratif. Dengan pengertian lain good governance adalah proses penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, transparan, akuntabel oleh organisasi-organisasi pemerintah seperti organisasi publik pemerintah Kota Surabaya yang mencakup kepemimpinan, struktur organisasi dan sumber daya manusianya. Meningkatnya kualitas pelayanan publik, dengan cara meningkatkan efektifitas kerja para aparatur daerah, sangat dihubungi oleh kepedulian dan komitmen pimpinan atau top manajer dan aparat penyelenggara pemerintahan
34
untuk menyelenggarakan kepemerintahan yang baik. Perubahan signifikan pelayanan publik, akan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan berhubungan terhadap meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah daerah (Sinambela, 2006:11) Tidak kalah pentingnya, pelayanan publik yang baik akan memiliki hubungan untuk menurunkan atau mempersempit terjadinya KKN dan pungli yang dewasa ini telah merebak disemua lini ranah pelayanan publik, serta dapat menghilangkan diskriminasi dalam pemberian pelayanan. Dalam kontek pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat, perbaikan atau peningkatan pelayanan publik yang dilakukan pada jalur yang benar, memiliki nilai strategis dan bermanfaat bagi peningkatan dan pengembangan investasi dan mendorong kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat luas (masyarakat dan swasta). Paradigma good governance menurut Basri (2008), dewasa ini merasuk di dalam pikiran sebagian besar stakeholder pemerintahan di pusat dan di daerah, dan menumbuhkan semangat pemerintahan daerah untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja
manajemen pemerintahan daerah, guna meningkatkan
kualitas pelayanan publik. Banyak
pemerintah daerah yang telah mengambil
langkah-langkah positif didalam menetapkan kebijakan
peningkatan kualitas
pelayanan publik berdasarkan prinsip-prinsip good governance. Paradigma good governance menjadi relevan dan menjiwai kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah yang diarahkan untuk meningkatkan kinerja manajemen pemerintahan, mengubah sikap mental, perilaku aparat
35
penyelenggara pelayanan serta membangun kepedulian dan komitmen pimpinan daerah dan aparatnya untuk memperbaiki dan meningkatkan pelayanan publik yang berkualitas
Berdasarkan uraian diatas disebutkan bahwa apabila
pemimpin organisasi publik, struktur organisasi dan sumber daya manusianya baik, maka akan tercipta prinsip good governance yang berhubungan terhadap efektifitas kerja pegawai dari organisasi itu sendiri. Dengan demikian jelaslah pelaksanaan prinsip-prinsip good governance
akan
berhubungan
terhadap
efektifitas kerja pegawai.
2.8 Reward And Punishment dalam Pelaksanaan Good Governance Reward dan punishment merupakan dua bentuk metode dalam memotivasi seseorang untuk melakukan kebaikan dan meningkatkan prestasinya. Kedua metode ini sudah cukup lama dikenal dalam dunia kerja. Reward artinya ganjaran, hadiah, penghargaan atau imbalan. Dalam konsep manajemen, reward merupakan salah satu alat untuk peningkatan motivasi para pegawai. Metode ini bisa mengasosiasikan perbuatan dan kelakuan seseorang dengan perasaan bahagia, senang, dan biasanya akan membuat mereka melakukan suatu perbuatan yang baik secara berulang-ulang. Selain motivasi, reward juga bertujuan agar seseorang menjadi giat lagi usahanya untuk memperbaiki atau meningkatkan prestasi yang telah dapat dicapainya. Sementara punishment diartikan sebagai hukuman atau sanksi. Jika reward merupakan bentuk reinforcement yang positif, maka punishment sebagai bentuk reinforcement yang negatif, tetapi kalau diberikan secara tepat dan bijak bisa menjadi alat motivasi (Handoko, 1999:106). Tujuan
36
dari metode ini adalah menimbulkan rasa tidak senang pada seseorang supaya mereka jangan membuat sesuatu yang jahat. Pada dasarnya keduanya sama-sama dibutuhkan dalam memotivasi seseorang, termasuk memotivasi para pegawai dalam meningkatkan kinerjanya. Keduanya merupakan reaksi dari seorang pimpinan terhadap kinerja dan produktivitas yang telah ditunjukkan oleh bawahannya, hukuman untuk perbuatan jahat dan ganjaran untuk perbuatan baik. Melihat dari fungsinya itu, seolah keduanya berlawanan, tetapi pada hakekatnya sama-sama bertujuan agar seseorang menjadi lebih baik, termasuk dalam memotivasi para pegawai dalam bekerja. Dari penerapan reward and punishment tersebut diatas menunjukkan adanya kelemahan birokrasi yang akan menyebabkan rendahnya kualitas kinerja aparatur dan menggambarkan rendahnya kompetensi SDM. Sistem reward and punishment ditegakkan dengan "tebang pilih" yang dalam artian pemberian penghargaan dan hukuman tidak dilaksanakan secara menyeluruh, serta variabelvariabel unsur penilaian tidak objektif. Untuk itu perlu adanya rencana reformasi birokrasi untuk merombak bagian yang selama ini dinilai lemah. Setidaknya enam langkah strategis yang diungkapkan oleh Bambang (2006) dengan reformasi birokrasi perlu ditindak lanjuti secara cermat, yaitu: (1) Melalui upaya-upaya meningkatkan law enforcement, dengan membentuk lembaga-lembaga yang bertugas melakukan pemantauan, pengawasan, dan evaluasi kinerja yang dilakukan secara bertahap, konsisten, dan berkelanjutan.
37
(2) Hubungan kerja yang jelas sebagai alat ukur kinerja lembaga. Untuk itu diperlukan tindakan konkrit untuk mempertegas institusi yang bertanggung jawab dalam menyusun norma, standar dan prosedur kerja mengelola informasi, me-review, menganalisa, merumuskan dan menetapkan indikator kinerja, mensosialisasikan SOP itu sendiri, dan peningkatan kompetensi SDM dan penerapan reward dan punishment yang konsisten. (3) Terdapat perbedaan tajam antara penghargaan atas profesionalisme antara yang terjadi di pemerintahan dengan di swasta dibandingkan yang terjadi dikalangan swasta. Untuk itu perlu adanya regulasi standart kinerja professional, memperkuat kelembagaan kepegawaian dalam pembinaan professionalitas yang sesuai standar hidup layak serta penegakan reward dan punishment. (4) Meningkatkan disiplin SDM aparatur yang masih rendah dengan perubahan perilaku yang mendasar. Hal itu terjadi melalui revitalisasi pembinaan kepegawaian dan proses pembelajaran dengan membangun komitmen kuat dalam mengemban tugas sebagai PNS, disertai pengembangan system reward dan punishment yang tepat dan efektif. (5) Perubahan dalam membangun pola perilaku aparatur yang berorientasi pada pelayanan, membangun kemitraan antara pemerintah dan masyarakat yang dilayani dalam penyelenggaraan pelayanan serta membangun organisasi pemerintah berdasarkan pada kepercayaan dan mengembangkan sistem yang berorientasi pada kepuasan pelanggan.
38
(6) Perlunya standar pelayanan yang jelas, meliputi prosedur, jangka waktu dan kalau perlu biaya yang jelas, guna mendorong terciptanya lembaga pelayanan yang standart dan teratur. Dengan membangun sistem standarisasi pelayanan mulai dari input, proses, output pelayanan yang selanjutnya dituangkan dalam SOP (Standart Operasional Prosedur) yang transparan. Dalam proses penataan birokrasi menjadi efektif lagi menyenangkan, hendaklah pemerintah dengan tegas memperhatikan dan menata sistem reward dan punishment. Hal ini harus diimplementasikan sampai level bawah pemerintahan. Dengan begitu, diharapkan kualitas birokrasi meningkat, begitu pula kinerja aparat birokrasi dalam dunia kerja semakin bermutu. Reward yang diberikan pun harus secara adil dan bijak. Jika tidak, reward malah menimbulkan rasa cemburu dan "persaingan yang tidak sehat", serta memicu rasa sombong bagi pegawai yang memperolehnya. Tidak pula membuat seseorang terlena dalam pujian dan hadiah yang diberikan sehingga membuatnya lupa diri. Oleh karena itu, prinsip keadilan sangat dibutuhkan dalam pemberian reward. Sebaliknya, jika punishment memang harus diberlakukan, maka laksanakanlah dengan cara yang bijak lagi mendidik, tidak boleh sewenang-wenang, tidak pula menimbulkan rasa kebencian yang berlebihan sehingga merusak tali silaturrahim. Dalam proses penataan birokrasi, hendaknya punishment yang diberikan kepada pegawai yang melanggar aturan telah disosialisasikan sebelumnya. Dan sebaliknya sanksi itu sama-sama
disepakati,
sehingga
mendorong
si
mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan ikhlas.
terhukum
untuk
bisa
39
Selanjutnya hukuman yang diberikan bukanlah dengan kekerasan, tetapi diberikan dengan ketegasan. Jika hukuman dilakukan dengan kekerasan, maka hukuman tidak lagi memotivasi seseorang berbuat baik, melainkan membuatnya merasa takut dan benci sehingga bisa menimbulkan pemberontakan batin. Di sinilah dibutuhkan skill dari para pimpinan atau si pemberi punishment sehingga tujuan yang diinginkan dapat tercapai secara efektif.
2.9 Penelitian terdahulu Adapun penelitian terdahulu yang dapat memberikan sumbangan teori bagi penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Putri Yenny (2012) meneliti “Penerapan Prinsip-Prinsip Good Governance dalam pelaksanaan Pelayanan Publik di Kantor Camat Samarinda Utara Kota Samarinda”. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan: (1) bahwa penerapan penerapan prinsip – prinsip Good Governance di dalam pelaksanaan pelayanan publik di Kantor Kecamatan Samarinda Utara masih terdapat kesenjangan yakni pada kejelasan penyelesaian pelayanan, transparansi mengenai biaya pelayanan, sikap ramah tamah pegawai dalam pelayanan dan ketidakadilan aparatur dalam pelayanan; (2) Akuntabilitas pelayanan publik oleh Kantor Camat Samarinda Utara secara vertical dapat dikatakan baik dengan laporan akuntabilitas instansi Pemerintah (LAKIP), sementara akuntabilitas secara horizontal (kepada masyarakat ) masih kurang baik ini terlihat dari ketepatan penyelesaian dalam pelayananya kepada publik; (3) Transparansi Pelayanan di Kantor Camat Samarinda utara masih kurang baik, ini terlihat dari kurangnya transparansi mengenai biaya pengurusan dokumen tanah
40
baik itu akte jual beli maupun pelepasan hak. Namun dalam hal prosedur sudah transparan; (4) Keterbukaan Pelayanan di Kantor Camat Samarinda utara masih kurang baik sikap aparat belum sepenuhnya dirasakan masyarakat, terutama berhubungan dengan keramah tamahanya; (5) Aturan Hukum Pelayanan di Kantor Camat Samarinda utara masih kurang baik, ini dirasakan bagi sebagian masyarakat dalam hal ketidakadilan aparat dalam melayani masyarakat. mereka melihat ada sebagian masyarakat lain dapat menyelesaikannya lebih cepat karena adanya hubungan kekerabatan atau pertemanan dengan pegawai Kantor Camat. Perbedaan yang ada antara penelitian sekarang dengan penelitian terdahulu adalah: 1.
Penelitian yang dilakukan oleh Putri Yenny untuk mengetahui penerapan prinsip–prinsip Good Governance di dalam pelaksanaan pelayanan publik. Sedangkan penelitian yang sekarang bertujuan untuk mengetahui secara terinci satu per satu penerapan prinsip-prinsip Good Governance untuk penilaian efektivitas kerja pegawai.
2.
Obyek penelitian yang dilakukan oleh Putri Yenny adalah Kantor Camat Samarinda Utara Kota Samarinda. Sedangkan penelitian sekarang dilakukan di Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya.
Sedangkan persamaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang sekarang diantaranya: Penelitian yang dilakukan Putri Yenny dan peneliti menggunakan landasan teori yang hampir sama yaitu membahas mengenai Good Governance. Mengenai faktor apa saja yang menghambat dan mendukung penerapan prinsip – prinsip
41
Good Governance. Penelitian yang dilakukan oleh Putri Yenny dan peneliti menggunakan pendekatan penelitian yang sama yaitu pendekatan kualitatif yang bersifat diskriptif, dengan menggambarkan secara sistematis fakta secara faktual dan cermat. Penelitian kedua dilakukan oleh Prima Yuda (2012) meneliti “Pengaruh Pelaksanaan Good Governance dan Pengendalian Intern Terhadap Kinerja Organisasi (Survey Pada Dinas Daerah Kota Tasikmalaya)”. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan: (1) Dinas Daerah Kota Tasikmalaya pada umumnya telah melaksanakan good governance dan pengendalian intern dengan baik. Hal ini terlihat dari nilai total jawaban responden mengenai pelaksanaan good governance dengan kategori sangat baik dan pengendalian intern dengan kategori baik. Artinya
ruang lingkup
pelaksanaan
good
governance
yang
mencakup
akuntabilitas, transparansi dan partisipasi masyarakat serta hal yang mencakup dari pengendalian intern yaitu lingkungan pengendalian, penilaian resiko, aktivitas pengendalian, informasi dan komunikasi, dan monitoring itu telah dilaksanakan dengan baik; (2) Dinas Daerah Kota Tasikmalaya telah menjalankan kinerjanya dengan baik. Terlihat dari nilai total jawaban responden mengenai kinerja organisasi dengan menunjukan kategori baik. Dengan demikian kinerja organisasi pada Dinas Daerah Kota Tasikmalaya yang dilihat dari cakupan produktivitas, kualitas layanan, dan responsivitas mencapai hasil yang baik; (3) good governance memiliki hubungan dengan pengendalian intern. Artinya semakin baik
pelaksanaan good governance dilakukan maka semakin baik pula
pengendalian intern pada Dinas Daerah Kota Tasikmalaya, maupun sebaliknya;
42
(4) Berdasarkan uji hipotesis dengan taraf signifikansi sebesar 5% dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan good governance dan pengendalian intern secara parsial berpengaruh signifikan terhadap kinerja organisasi pada Dinas Daerah Kota Tasikmalaya; (5) Pengujian secara simultan menunjukan bahwa, pelaksanaan good governance dan pengendalian intern secara simultan berpengaruh signifikan terhadap kinerja organisasi. Artinya apabila pelaksanaan good governance dan pengendalian intern dilaksanakan secara bersamaan dengan baik, maka kinerja organisasi pada Daerah Kota Tasikmalaya akan meningkat. Perbedaan yang ada antara penelitian terdahulu dengan penelitian sekarang adalah: 1.
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Prima Yuda tidak menjelaskan apa saja yang menjadi kendala-kedala dalam implementasi Good Governance sedangkan penelitian yang sekarang dilakukan menjelaskan secara rinci kendala-kendala atau faktor penghambat dalam penerapan prinsip-prinsip Good Governance.
2. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Prima Yuda dilakukan di Dinas
Daerah Kota Tasikmalaya. Sedangkan penelitian yang sekarang dilakukan di Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya. Sedangkan persamaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang sekarang diantaranya : Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Prima Yuda dan oleh peneliti yang sekarang menggunakan landasan teori yang hampir sama yaitu mengenai
43
Good Governance, dan memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mengetahui Pelaksanaan Good Governance dalam obyek masing-masing. Penelitian ketiga dilakukan oleh Saleh et al. (2011) meneliti “PrinsipPrinsip Good Governance Dalam Penempatan Aparatur Dalam Jabatan Struktural Disekretariat Daerah Kabupaten Pohwatu”. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan: (1) bahwa penerapan prinsip partisipasi (Participatory), aturan hukum (Rule of Law), transparansi (Transparancy), responsif (Responsive) berorientasi kesepakatan (Consensus orientation), kesetaraan (Equity), efektif dan efisien, akuntabilitas (Accountability) dan visi strategis (Strategic Vision) dalam kebijakan penempatan aparatur pada jabatan struktural di Kabupaten Pohuwato, adalah tidak optimal; (2) Pemerintah Daerah, khususnya BAPERJAKAT dan PPK konsisten melaksanakan prinsip partisipasi (Participatory), aturan hukum (Rule of Law),
transparansi
(Transparancy),
responsif
(Responsive)
berorientasi
kesepakatan (Consensus orientation), kesetaraan (Equity), efektif dan efisien, akuntabilitas (Accountability) dan visi strategis (Strategic Vision) dalam kebijakan penempatan aparatur pada jabatan structural, serta meminimalisir penggunaan pendekatan politik; (3) Faktor-faktor pendukung internal adalah kebijakan internal Pemda, jumlah SDM aparatur, formasi jabatan, eksistensi BAPERJAKAT dan PPK, komitmen pimpinan daerah. Faktor-faktor pendukung eksternal : kebijakan peraturan perundang-undangan, eksistensi Inspektorat Provinsi, adanya tuntutan kualitas pelayanan publik; (4) Faktor-faktor penghambat internal adalah perubahan kepemimpinan, belum adanya Lembaga Uji Kompetensi, Uji kompetensi belum dilaksanakan, keterbatasan SDM yang berkualitas, kompetensi
44
SDM, motivasi, inkonsistensi, konflik kepentingan, iklim organisasi, dan Kepemimpinan; (5) Faktor-faktor penghambat eksternal adalah intervensi, kurangnya peran lembaga independen, sistem pendiklatan, kondisi sosial budaya masyarakat. Perbedaan yang ada antara penelitian terdahulu dengan penelitian sekarang adalah: 1.
Penelitian yang dilakukan oleh Gretty Syatriani Saleh menjelaskan dan menganalisis penerapan prinsip-prinsip good governance pada penempatan aparatur dalam jabatan structural. Sedangkan penelitian yang sekarang dilakukan untuk Menelaah bagaimana penerapan prinsip-prinsip Good Governance Guna mengetahui bagaimana efektifitas kerja pegawai.
2.
Penelitian yang dilakukan oleh Gretty Syatriani Saleh dilakukan di Sekretariat Daerah Kabupaten Pohwatu. Sedangkan penelitian yang sekarang dilakukan di Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya.
Sedangkan persamaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang sekarang diantaranya: Penelitian yang dilakukan Gretty Syatriani Saleh dengan peneliti memiliki landasan teori yang hampir sama yaitu mengenai penerapan prinsip-prinsip Good Governance.
Penelitian ini dengan penelitian Gretty Syatriani Saleh
menggunakan pendekatan penelitian yang sama yaitu pendekatan kualitatif yang bersifat diskriptif, dengan menggambarkan secara sistematis fakta secara faktual dan cermat.
45
Penelitian keempat dilakukan oleh Galih Rachmandy (2012) meneliti “Analisa Penerapan Prinsip Good Coorporate Governance (GCG) Pada PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk.”. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan: (1) secara umum penerapan prinsip good corporate governance yang meliputi keterbukaan, akuntabilitas, pertanggungjawaban, independensi dan kewajaran dilaksanakan dengan cukup baik perusahaan memberikan contoh tentang bagaimana penerapan dari masing-masing prinsip tersebut.
Perbedaan yang ada antara penelitian sekarang dengan penelitian terdahulu adalah: 1.
Penelitian yang dilakukan oleh Galih Rachmandy hanya mempunyai satu tujuan saja yaitu untuk mengetahui sejauh mana penerapan prinsip Good Corporate Governance. Sedangkan penelitian yang sekarang dilakukan untuk mengetahui penerapan prinsip-prinsip Good Governance,untuk mengetahui bagaimana efektifitas kerja pegawai, dan mengetahui kendala-kendala atau faktor yang menghambat dan mendukung dalam implementasi Good Governance.
2.
Obyek penelitian yang dilakukan Galih Rachmandy adalah PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Sedangkan obyek penelitian yang sekarang dilakukan di Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya.
46
Sedangkan persamaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang sekarang diantaranya: Penelitian yang dilakukan Galih Rachmandy dengan peneliti memiliki landasan teori yang hampir sama yaitu membahas mengenai Good Governance, Penelitian ini dengan penelitian Galih Rachmandy menggunakan pendekatan penelitian yang sama yaitu pendekatan kualitatif yang bersifat diskriptif, dengan menggambarkan secara sistematis fakta secara faktual dan cermat.
2.10 Rerangka Berfikir Rerangka berfikir menurut Sugiono (2003:49) merupakan sintesa tentang hubungan antar variabel yang disusun dari berbagai teori yang telah dideskripsikan. Berikut adalah proses rerangka berfikir dalam penelitian ini.
47
Dinas DUJJJJ Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya Instansi/ Organisasi Pemerintah
Good Governance
Efektifitas Kerja
Menurut UNDP: a) b) c) d) e) f) g) h) i)
Partisipasi (Participation) Penerapan Hukum (Fairness) Transparansi (Transparency) Responsivitas (Responsiveness) Orientasi (ConsensusOreintation) Keadilan (Equity) Efektivitas (Effectivness) Akuntabilitas (Accountability) Strategi Visi (Strategic vision)
Menurut Campel (dalam Steers, 1998:45): 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kesiagaan Kemangkiran Motivasi Kepuasan Kerja Beban Pekerjaan Waktu menyelesaikan tugas
Kepemerintahan yang baik
Berhasil dengan baik
Jika ingin menjadi sebuah pemerintahan yang baik, maka harus bekerja dengan efektif
Prinsip-prinsip Good Governance Memiliki Pengaruh Terhadap Kenaikan Efektifitas Kerja Pegawai di Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya hhhhhhhhhhhh
Gambar 1 Proses Rerangka Berfikir