15
BAB 2 TINJAUAN TEORITIS
2.1
Pengertian Transportasi Transportasi merupakan suatu proses pergerakan memindahkan manusia
atau barang dari suatu tempat ke tempat lainnya pada suatu waktu. Pergerakan manusia disebabkan oleh banyaknya aktivitas yang harus dilakukan dengan lokasi yang berbeda akibat adanya kebutuhan untuk menjalani kehidupannya sehari-hari. Untuk melakukan pergerakan, manusia mempunyai dua jenis pilihan, yaitu bergerak dengan moda transportasi (berkendaraan) atau bergerak tanpa moda transportasi (berjalan kaki). Pergerakan tanpa moda transportasi biasanya akan berjarak pendek (1-2 km), sedangkan pergerakan dengan moda transportasi biasanya berjarak sedang atau jauh (Tamin, 2000). Jenis moda transportasi yang digunakan juga sangat bervariasi, seperti mobil pribadi, taksi, bus, kereta api, sepeda motor, pesawat terbang, dan kapal laut. Apapun moda transportasinya, moda tersebut tidak akan pernah dapat bergerak jika kita tidak mempersiapkan tempat mereka bergerak seperti jalan raya, rel kereta api, bandar udara, dan pelabuhan laut, yang biasa disebut sistem prasarana transportasi. Menurut Warpani, S. (2002), jenis moda transportasi diantaranya: a. Perangkutan (moda) Darat Angkutan darat mencakup sistem perangkutan yang lebih luas, yaitu angkutan melalui pipa, kabel, rel, dan melalui jalan (raya). b. Perangkutan Air Disamping perangkutan darat, perangkutan air adalah jenis perangkutan yang termasuk tua. Perangkutan laut semakin penting bagi Indonesia karena konsep Wawasan Nusantara yang memandang pulau dan laut yang ada sebagai satu kesatuan yang utuh. c. Perangkutan Udara Sistem perangkutan udara telah berkembang dengan sangat pesat sebagai akibat kemajuan teknologi di berbagai bidang. Sekitar 60 tahun sejak
16
pesawat udara pertama berhasil diterbangkan pada tahun 1903, manusia telah berhasil berjalan-jalan di angkasa, bahkan mendarat pertama kali di bulan tahun 1969. 2.1.1
Sistem Transportasi Sistem adalah gabungan beberapa komponen atau objek yang saling
berkaitan. Dalam setiap organisasi sistem, perubahan pada satu komponen akan menyebabkan perubahan pada komponen lainnya. Sistem transportasi terdiri dari sistem pergerakan yang terjadi sebagai akibat dari adanya sistem kegiatan yang didukung oleh tersedianya jaringan transportasi (sistem jaringan), serta dipengaruhi oleh sistem kelembagaan yang ada. Sistem kegiatan merupakan perwujudan dari ruang dengan isinya, terutama manusia dengan segala kegiatannya (seperti bekerja, sekolah, belanja) yang dilakukan di suatu guna lahan (misalnya lahan perumahan, perkantoran, perdagangan). Sistem jaringan merupakan sarana dan prasarana transportasi yang dapat mendukung terjadinya pergerakan, misalnya jaringan jalan, moda transportasi (mobil, kereta api, pesawat terbang), terminal, pelabuhan, clan sebagainya. kelembagaan,
Keseluruhan seperti
sistem
peraturan,
tersebut
juga
perundangan,
terkait
dengan
kebijaksanaan,
sistem lembaga
pemerintah dan sebagainya (Kusbiantoro, 2005). Selain itu, seluruh sistem tersebut terkait juga dengan sistem lingkungan yang terwujud dari aspek ekonomi, sosial, budaya, politik, keamanan, serta teknologi.
17
Gambar 2.1 Sistem Transportasi
Sumber: Kusbiantoro, 2005.
2.1.2
Klasifikasi Fungsi Jalan Peraturan yang berlaku di Indonesia mengenai jalan, yaitu UU No. 38 tahun
2004 menjelaskan bahwa jalan menurut fungsinya dikelompokkan ke dalam jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan. 1.
Jalan arteri merupakan jalan yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna.
2.
Jalan kolektor merupakan jalan yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi.
3.
Jalan lokal merupakan jalan yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
18
4.
Jalan lingkungan merupakan jalan yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah. Kemudian berdasarkan lingkup wilayah pelayanannya, sistem jaringan
jalan terbagi menjadi dua, yaitu sistem jaringan jalan primer dan sekunder. Sistem jaringan jalan primer memiliki skala pelayanan jasa distribusi untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional dengan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat kegiatan. Sedangkan sistem jaringan jalan sekunder memiliki skala pelayanan jasa distribusi untuk masyarakat di dalam perkotaan. Ruas jalan yang menjadi objek studi ini termasuk ke dalam kelas jalan kolektor sekunder. Fungsi dan karakteristik jalan kolektor sekunder berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 34 tahun 2006 Pasal 11 dan Pasal 18 adalah sebagai berikut : 1. Jalan kolektor sekunder menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua atau kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga. 2. Jalan kolektor sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 (dua puluh) kilometer per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 9 (sembilan) meter. 3. Jalan kolektor sekunder mempunyai kapasitas yang lebih besar daripada volume lalu lintas harian rata-rata. 4. Pada jalan kolektor sekunder lalu lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu lintas lambat.
2.1.3
Kinerja Jaringan Jalan Ada beberapa aspek yang dapat mempengaruhi kinerja jaringan yang
biasa disebut tingkat pelayanan. Aspek-aspek penting dalam tingkat pelayanan jalan (Morlok, 1991), antara lain: waktu perjalanan (atau kecepatan), keterandalan, kenyamanan, keamanan, dan biaya. Beberapa aspek tidak dapat diukur secara kuantitatif, seperti ukuran kenyamanan atau ketegangan dalam
19
mengemudi. Oleh sebab itu, suatu ukuran yang menyeluruh dari tingkat pelayanan jalan belum dapat ditetapkan, sehingga hanya digunakan dua ukuran kuantitatif. Ukuran pertama adalah kecepatan atau waktu perialanan, dan yang kedua adalah rasio antara volume lalu-lintas terhadap kapasitas jalan.
2.1.3.1 Kecepatan Kendaraan Salah satu faktor yang berpengaruh dalam menggambarkan kualitas dari suatu ruas jalan dalam menampung arus lalu-lintas adalah kecepatan kendaraan. Kecepatan kendaraan dalam suatu ruas jalan didefinisikan sebagai kecepatan ratarata yang ditempuh kendaraan selama melalui ruas jalan tersebut. Kecepatan kendaraan ditentukan oleh adanya faktor internal dan faktor eksternal kendaraan. Faktor internal yang mempengaruhi kecepatan kendaraan adalah kondisi kendaraan, sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi yaitu volume lalulintas, komposisi kendaraan, geometrik jalan, serta faktor kegiatan samping jalan (road side activity). Dalam studi ini, kecepatan kendaraan dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: 1. Kecepatan Arus Bebas (Free Flow Speed) Kecepatan arus bebas didefinisikan sebagai kecepatan pada tingkat arus nol, yaitu kecepatan yang akan dipilih pengemudi jika mengendarai kendaraan bermotor tanpa dipengaruhi oleh kendaraan lain (volume=1). Kecepatan arus bebas ini didapat dari perhitungan matematik sesuai dengan standar dari IHCM 1997, dengan mempertimbangkan data geometrik jalan dan kondisi lingkungan jalan. Untuk menghitung kecepatan arus bebas ini digunakan persamaan sebagai berikut :
FV = (FVo + FVW) x FFVSF x FFVCS Keterangan : FV
= Kecepatan arus bebas untuk kendaraan ringan (km/jam)
FVo = Kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan (km/jam)
20
FVW = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu-lintas efektif (km/jam) FFVSF = Faktor penyesuaian kondisi hambatan samping FFVCS = Faktor penyesuaian ukuran kota
2. Kecepatan Perjalanan Yang dimaksud dengan kecepatan perjalanan adalah kecepatan rata-rata yang ditempuh oleh kendaraan selama melalui suatu ruas jalan pada waktu tertentu (Warpani, 1985). Faktor yang mempengaruhi kecepatan perjalanan adalah volume lalu lintas, komposisi kendaraan, geometri jalan, serta faktor lingkungan samping jalan. Selain itu, tiap ruas jalan juga dipengaruhi oleh guna lahan yang ada di sepanjang jalan tersebut. Penurunan kecepatan perjalanan dapat terjadi karena ada gangguan yang ditimbulkan oleh kegiatan yang ada di pinggir jalan, seperti penggunaan jalan untuk parkir, kegiatan pedagang kaki lima, dan pejalan kaki yang menggunakan sebagian badan jalan. Untuk menghitung kecepatan perjalanan digunakan persamaan matematik sebagai berikut (Warpani dalam Malvina, 2005):
Kecepatan Perjalanan = Jarak/Waktu Tempuh
2.1.3.2 Arus Lalu-lintas dan Waktu Tempuh Hubungan antara arus lalu-lintas dan waktu tempuh bukanlah merupakan fungsi yang linear. Penambahan kendaraan tertentu pada saat arus rendah akan menyebabkan perubahan waktu tempuh yang kecil jika dibandingkan dengan penambahan arus lalu-lintas pada saat arus tinggi (Black dalam Malvina, 2005). Fungsi dari arus lalu-lintas tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.2.
21
Gambar 2.2 Hubungan antara Arus Lalu Lintas dengan Waktu Tempuh Waktu Tempuh (jam)
Arus Lalu Lintas (smp/jam) Sumber: Black dalam Malvina, 2005.
Pada saat arus lalu lintas mendekati kapasitas jalan, waktu tempuh akan meningkat dengan pesat. Selain itu jika arus lalu-lintas mendekati kapasitas maka akan mulai terjadi kemacetan. Kemacetan ini akan terjadi apabila arus lalu lintas yang melintas pada suatu ruas jalan tertentu sangat besar sehingga jarak antara kendaraan menjadi sangat dekat dan pada akhirnya arus lalu lintas menjadi terganggu serta mulai terjadi tundaan dan bahkan sampai berhenti sama sekali.
2.1.3.3 Kapasitas Jalan Kapasitas jalan adalah jumlah lalu lintas kendaraan maksimum yang dapat ditampung pada ruas jalan selama kondisi tertentu (desain geometri, lingkungan, dan komposisi lalu-lintas) yang dapat ditentukan dalam satuan masa penumpang per jam (IHCM, 1997). Faktor-faktor yang berpengaruh dalam penentuan kapasitas jaringan jalan adalah: •
Kondisi geometri. Faktor ini meliputi faktor penyesuaian dimensi geometri jalan terhadap geometrik standar jalan kota, yaitu: tipe jalan,
22
lebar efektif lapisan keras yang termanfaatkan, lebar efektif bahu atau kerb jalan, lebar efektif median jalan; alignment jalan. •
Kondisi lalu-lintas. Faktor ini meliputi karakteristik kendaraan yang lewat, yaitu: faktor arah (perbandingan volume per arah dari jumlah dua arah arus pergerakan), gangguan samping dari badan jalan, termasuk banyaknya kendaraan umum yang berhenti di sepanjang jalan, jumlah pejalan kaki, akses keluar masuk.
•
Kondisi lingkungan. Faktor kondisi lingkungan yang berpengaruh adalah ukuran kota yang dinyatakan dalam jumlah penduduk kota. Perhitungan kapasitas jalan dibedakan antara yang memakai pembatas
median dan tidak memakai median. Untuk ruas jalan berpembatas median, kapasitas dihitung terpisah untuk setiap arah, sedangkan untuk ruas jalan tanpa pembatas median, kapasitas dihitung untuk kedua arah. Persamaan umum untuk menghitung kapasitas suatu ruas jalan menurut metode Indonesian Highway Capacity Manual (IHCM 1997) adalah sebagai berikut :
C = C0 x FCW x FCSP x FCSF x FCS Keterangan: C
= Kapasitas jalan (smp/jam)
C0
= Kapasitas dasar (smp/jam)
FCW
= Faktor penyesuaian lebar jalan
FCSP
= Faktor penyesuaian pemisahan arah (hanya untuk jalan tak terbagi)
FCSF
= Faktor penyesuaian hambatan samping
FCS
= Faktor penyesuaian ukuran kota
2.1.3.4 Rasio Volume per Kapasitas dan Tingkat Pelayanan Jalan Rasio volume per kapasitas atau volume per capacity ratio (VCR) adalah perbandingan antara volume yang melintas (satuan mobil penumpang) dengan kapasitas pada suatu ruas jalan tertentu (satuan mobil penumpang). Dari hasil perbandingan didapat suatu nilai tanpa satuan yang akan digunakan untuk menentukan tingkat pelayanan jalan yang bersangkutan.
23
Tingkat pelayanan jalan adalah suatu ukuran yang digunakan untuk mengetahui kualitas suatu ruas jalan tertentu dalam melayani arus lalu-lintas yang melewatinya. Salah satu unsur utama yang menyatakan tingkat pelayanan adalah waktu tempuh, biaya perjalanan (tarif dan bahan bakar), juga hal lain seperti kenyamanan, dan keamanan penumpang. Tingkat pelayanan jalan dilihat dari perbandingan antara volume lalu-lintas dengan kapasitas jalan serta kecepatan lalu-lintas pada ruas jalan tersebut. Tingkat pelayanan jalan ditentukan dalam skala interval yang terdiri dari 6 tingkatan (Morlok, 1991), yaitu A, B, C, D, E, dan F. Tingkat pelayanan A merupakan tingkatan yang paling baik. Semakin tinggi volume lalu lintas pada ruas jalan tertentu, tingkat pelayanan jalannya akan semakin menurun. Standar pembagian tingkat pelayanan jalan dapat dilihat pada Tabel II.1. Hubungan secara umum antara kecepatan, tingkat pelayanan jalan, dan rasio volume terhadap kapasitas jalan dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Tabel II. 1 Standar Tingkat Pelayanan Jalan
Sumber: Morlok, 1991.
24
Gambar 2.3 Tingkat Pelayanan Jalan
Sumber: Morlok, 1991.
2.1.4
Pengelolaan Lalu Lintas Salah satu cara menangani persoalan lalu lintas dalam jangka waktu
pendek yaitu dengan pengelolaan lalu-lintas (traffic management). Pengelolaan lalu lintas meliputi kegiatan perencanaan, pengaturan, pengawasan, dan pengendalian lalu lintas. Upaya mengelola lalu lintas pada dasarnya adalah upaya mengoptimalkan kapasitas jaringan jalan untuk menampung volume lalu lintas yang ada dan atau diperkirakan akan terjadi. Persoalan utama yang terjadi adalah kapasitas jaringan jalan sudah mendekati kejenuhan atau malah sudah terlampaui, artinya kapasitas lebih kecil dari volume lalu lintas. Volume lalu lintas yang lebih besar dari kapasitas dapat menyebabkan terjadinya kemacetan, kesemrawutan, dan kecelakaan. Akibat turunannya adalah meningkatnya biaya angkutan karena pemborosan bahan bakar, tingginya tingkat kerusakan kendaraan, pemborosan waktu perjalanan, meningkatnya pencemaran lingkungan, meningkatnya ketegangan masyarakat, dan lain-lain. Semua itu merupakan kerugian publik yang sebagian dapat diterjemahkan dalam satuan uang dan harus dibayar oleh masyarakat. Sebagian lagi tidak dapat atau sulit dinilai dalam satuan uang, namun tetap menjadi beban masyarakat.
25
Pemecahan
persoalan
lalu
lintas
yang
bersumber
dari
ketidakseimbangan antara volume dengan kapasitas dapat ditempuh dengan tiga cara : 1.
Menambah kapasitas dengan membangun jaringan jalan baru atau melebarkan jalan yang sudah ada. Cara ini tidak mungkin dilakukan terus-menerus sesuai dengan kebutuhan. Pelebaran jalan ada batasnya, karena pada batas tertentu akan berhadapan dengan masalah ekonomi, sosial, dan budaya yang sangat berat, kecuali dengan pengorbanan yang sangat besar.
2.
Mengurangi volume lalu lintas dengan mengurangi banyaknya kendaraan yang melalui jalan tertentu. Cara ini hanya efektif untuk sementara, apalagi jumlah kepemilikan kendaraan selalu tidak bisa diimbangi dengan laju pembangunan jalan.
3.
Penggabungan cara 1 dan 2 melalui berbagai kebijakan lalu lintas yang tertuang dalam rekayasa clan peraturan perundang-undangan tentang perlalulintasan.
2.1.4.1 Rekayasa Lalu Lintas Upaya pengendalian lalu lintas tidak cukup hanya diatur melalui peraturan perundang-undangan, tetapi perlu dibarengi dengan upaya di bidang kerekayasaan lalu lintas. Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan lalu lintas di jalan, dilakukan rekayasa lalu lintas yang meliputi perencanaan, pembangunan, dan pemeliharaan jalan; serta perencanaan, pengadaan, pemasangan, dan pemeliharaan rambu-rambu, marka jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas, dan alat pengendali serta pengaman pemakai jalan. 1. Jaringan jalan Dalam penataan jaringan jalan, agar tersusun sistem jaringan yang baik, harus diperhatikan hierarki jaringan. Hierarki jaringan jalan akan menuntun pada susunan sistem pelayanan jasa angkutan jalan yang kemudian menjadi sistem sirkulasi lalu lintas di jalan. Tidak kalah pentingnya adalah lingkungan di sepanjang jalur jalan. Lingkungan
26
yang tertata dengan baik selain dapat menambah kenyamanan bagi pengguna jalan, juga mempunyai peranan penting dalam menaikkan tingkat keamanan berlalu-lintas. 2. Persimpangan Persimpangan jalan adalah sumber konflik lalu lintas. Satu perempatan jalan sebidang menghasilkan 16 titik konflik. Oleh karena itu, upaya memperlancar arus lalu lintas adalah dengan “meniadakan” titik konflik, misalnya dengan membangun pulau lalu lintas atau bundaran, memasang lampu lalu lintas yang mengatur giliran gerak kendaraan, menerapkan arus searah, atau menerapkan “larangan belok kanan”. 3. Pulau lalu lintas Bangunan kelengkapan jalan berupa pulau lalu lintas adalah upaya “memaksa” untuk mengarahkan dan memisahkan arus lalu lintas. Pulau lalu lintas biasanya dibangun pada persimpangan sebidang, dan kadang-kadang
dilengkapi
dengan
bundaran
di
tengah-tengah
persimpangan. 4. Trotoar Berdasarkan peraturan perundang-undangan, fungsi utama trotoar adalar fasilitas bagi pejalan demi kemanan dan kenyamanan. Dengan demikian berlaku ketentuan bahwa trotoar merupakan jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum yang berarti bahwa pada prinsipnya trotoar “tidak dibenarkan” digunakan bagi kegiatan lain, misalnya berdagang. Meskipun demikian, demi kenyamanan para pejalan, di tempat-tempat tertentu dapat diizinkan keberadaan pedagang kaki lima (PKL).
2.1.4.2 Perlengkapan Jalan Pengaturan lalu-lintas meliputi kegiatan penetapan kebijakan lalu-lintas pada jaringan atau ruas jalan tertentu. Wujud pengaturan ini dapat bersifat langsung dilakukan oleh petugas polisi lalu lintas atau dengan alat perlengkapan jalan berupa pulau lalu lintas, rambu lalu lintas, lampu (isyarat) lalu lintas.
27
1. Rambu lalu-lintas Rambu lalu-lintas dapat terdiri dari beberapa jenis, yaitu yang bersifat perintah, larangan, peringatan, anjuran, dan petunjuk. 2. Marka jalan Marka jalan adalah tanda berupa garis, gambar, anak panah, dan lambing pada permukaan jalan yang berfungsi mengarahkan lalu lintas dan membatasi daerah kepentingan lalu-lintas. Posisi marka jalan adalah melintang dan membujur 3. Lampu lalu-lintas Alat pemberi isyarat lalu lintas berfungsi untuk mengatur lalu lintas kendaraan dan atau pejalan. Alat ini terdiri dari lampu tiga warna untuk mengatur kendaraan, lampu dua warna untuk mengatur kendaraan dan atau pejalan, serta lampu satu warna untuk memberi peringatan bahaya kepada pengguna jalan.
Secara keseluruhan beberapa rangkaian tindakan yang umumnya dilakukan dalam pengelolaan lalu lintas dapat dikelompokkan pada usahausaha sebagai berikut (LPP-ITB dalam Malvina, 2005): 1.
Tindakan untuk meningkatkan daya guna ruang jalan (road space), meliputi: a. Pengaturan sistem lalu lintas satu arah b. Pemasangan lampu lalu lintas (traffic light) c. Kanalisasi lalu lintas (pulau lalu lintas, rambu lalu lintas) d. Pemisahan jalur lambat dengan jalur cepat e. Penyediaan fasilitas untuk pejalan kaki (side walk, foothpath) dan kaki lima f. Pengaturan lalu lintas menerus, regional dengan lalu lintas lokal g. Penataan tempat bongkar muat barang h. Penataan lokasi pedagang kaki lima
28
i. Pengecualian berlakunya tanda-tanda lalu lintas tertentu bagi kendaraan umum dan penataan tempat pemberhentian angkutan umum dan pangkalan 2. Tindakan mengurangi arus lalu lintas pada jam jam puncak, meliputi: a. Penataan jadwal waktu kerja atau sekolah b. Kebijaksanaan pengenaan biaya parkir yang lebih tinggi pada jamjam puncak c. Pembatasan parkir dan bongkar muat pada jam-jam puncak 3.
Pengelolaan sistem perpakiran, meliputi peraturan perpakiran (tempat parkir khusus, taman parkir dan sebagainya)
4.
Peningkatan pelayanan umum, meliputi : a. Penataan lokasi perhentian (shelter) b. Penataan terminal c. Peningkatan keamanan d. Pengaturan rute (lintasan) e. Integrasi antar pelayanan berbagai angkutan umum f. Kebijaksanaan tarif angkutan umum
2.2
Bangkitan dan Tarikan Pergerakan Menurut Tamin (2000) bangkitan pergerakan dalah tahapan pemodelan
yang memperkirakan jumlah pergerakan yang berasal dari satu zona guna lahan ke zona lahan lainnya. Bangkitan lalu lintas mencakup dua hal, yaitu: a. Lalu lintas yang meninggalkan suatu lokasi b. Lalu lintas yang menuju atau tiba ke suatu lokasi Hasil keluaran dari perhitungan bangkitan dan tarikan lalu lintas berupa jumlah kendaraan, orang, atau angkutan barang per satuan waktu, misalnya kendaraan/jam. Menurut Tamin (2000), bangkitan dan tarikan lalu lintas tersebut tergantung pada dua aspek tata guna lahan, yaitu: a. Jenis tata guna lahan, dimana jenis tata guna lahan yang berbeda (permukiman, pendidikan, dan komersial) mempunyai ciri bangkitan lalu lintas yang berbeda.
29
b. Jumlah aktivitas (intesitas) pada tata guna lahan tersebut, dimana bangkitan pergerakan bukan saja beragam jenis tata guna lahan, tetapi juga tingkat aktivitasnya. Semakin tinggi intensitas penggunaan lahan, maka semakin tinggi pergerakan arus lalu lintas yang dihasilkannya.
2.3
Karakteristik Pergerakan Penduduk Pergerakan lalu-lintas di suatu kawasan timbul akibat adanya berbagai
faktor penyebab seperti adanya daya tarik kawasan karena memiliki berbagai jenis kegiatan dengan intensitas yang tinggi. Menurut Kurt Librand dalam Roulina H. (1998), faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya pergerakan lalu lintas dalam suatu kawasan, yaitu: a. Penduduk yang tinggal di dalam kawasan tersebut Di dalam suatu kawasan, khususnya kawasan Jalan Cihampelas selain terdapat pemusatan berbagai kegiatan perdagangan dan jasa, juga terdapat berbagai kawasan permukiman penduduk dengan kepadatan yang relatif tinggi. Dengan terdapatnya permukiman penduduk di sekitar kawasan Jalan Cihampelas, maka terjadilah pergerakan lalu lintas penduduk untuk tujuan pemenuhan kebutuhan di dalam maupun di luar kawasan Jalan Cihampelas. b. Penduduk yang bekerja di kawasan tersebut Kawasan Jalan Cihampelas merupakan salah satu pusat kegiatan perdagangan dan jasa, maka timbul pergerakan penduduk baik yang berasal dari permukiman sekitar maupun dari luar kawasan yang menuju ke Jalan Cihampelas untuk bekerja. c. Penduduk yang datang sebagai pengunjung kawasan tersebut Adanya kegiatan perdagangan dan jasa di sepanjang Jalan Cihampelas merupakan tarikan bagi penduduk Kota Bandung sehingga menimbulkan arus pergerakan di kawasan ini. Tujuan pergerakan penduduk di kawasan ini secara umum dapat digolongkan ke dalam tujuan: -
Berbelanja
-
Rekreasi
30
-
Bisnis dan komunikasi
-
Sosial dan budaya
d. Pergerakan lalu lintas yang timbul sebagai akibat kedudukan kawasan tersebut dalam sistem jaringan jalan utama kota Kawasan Jalan Cihampelas terletak di lokasi yang sangat strategis yang menghubungkan daerah Bandung bagian Utara dengan pusat kota dan bahkan bagian selatan Kota Bandung. Oleh karena itu arus pergerakan yang timbul di kawasan ini pun tidak hanya sekedar para penduduk yang terlibat dengan kegiatan-kegiatan yang ada di Jalan Cihampelas, tetapi juga yang hanya menjadikan Jalan Cihampelas ini sebagai jalur utama mereka menuju ke bagian lain Kota Bandung.