BAB 2 TINJAUAN TEORITIS
2.1 Self Efficacy 2.1.1 Definisi Self-Efficacy Self-efficacy mengarah pada keyakinan seseorang terhadap kemampuannya dalam mengatur dan melaksanakan serangkaian tindakan dalam mencapai hasil yang ditetapkan (Bandura, 1997).
2.1.2 Sumber Self-Efficacy Keyakinan seseorang terhadap efficacy yang dimilikinya merupakan aspek utama dari pengetahuan diri yang dimilikinya. Keyakinan akan self-efficacy terbentuk dari empat prinsip utama, yaitu: enactive mastery experience, vicarious experience, verbal persuasion, phisiological and affective states (Bandura dalam Kawuryan, 2007). 1. Enactive Mastery Experience. Merupakan cara yang paling efektif dan menimbulkan keyakinan yang kuat akan efficacy. Kesuksesan akan membangun keyakinan yang kuat akan self-efficacy, sedangkan kegagalankegagalan yang dialami dapat menjatuhkannya, terutama jika kegagalan tersebut terjadi sebelum self-efficacy terbentuk dengan kuat. Kesulitan atau kegagalan memberikan kesempatan untuk belajar bagaimana mengubah kegagalan menjadi sukses dengan berdasar pada satu kemampuan untuk melatih dalam hal mengontrol setiap keadaan menjadi lebih baik (Bandura dalam Kawuryan, 2007). Besarnya keinginan seseorang untuk mengubah persepsi terhadap self-efficacy-nya berdasar pada pengalaman sangat bergantung pada beberapa faktor, antara lain pemahaman awal akan kemampuannya, persepsi terhadap tingkat kesulitan tugas, seberapa banyak usaha yang dikeluarkannya, banyaknya bantuan yang diterima, pola
sementara
dari
mengalami
kegagalan
kesuksesan
dan kesuksesan.
yang
mudah
Jika
didapat,
seseorang mereka
hanya
biasanya
mengharapkan hasil yang cepat dan dengan sangat mudah kecewa karena kegagalan. Tumbuhnya keyakinan yang kuat akan self-effcacy membutuhkan adanya pengalaman dalam mengatasi berbagai hambatan atau kesulitan yang ditemui melalui usaha-usaha yang keras. Setelah seseorang merasa yakin bahwa mereka telah memiliki segala sesuatu yang dibutuhkan untuk memperoleh kesuksesan, mereka akan berusaha menghadapi keadaan yang kurang baik
sekalipun dan cepat bangkit dari kegagalan. Dengan
menerapkan hal-hal tersebut pada saat mengalami masa-masa sulit mereka menjadi lebih kuat dalam menghadapi kondisi yang kurang baik. Berdasarkan hal ini, apabila seseorang pernah berhasil melakukan suatu pekerjaan atau tugas yang merupakan hal sulit, maka jika di masa mendatang dihadapkan pada kondisi yang kurang lebih sama seperti apa yang dialami sebelumnya, seseorang cenderung akan merasa lebih optimis menyelesaikan tugas barunya tersebut. 2. Vicarious
Experience.
Self-efficacy
juga
mendapat
pengaruh
dari
pengalaman orang lain. Dampak dari moddelling pada perceived self-efficacy merupakan pengaruh yang kuat, dengan mempesepsikan kesamaan dengan model atau orang yang menjadi contoh (Bandura dalam Kawuryan, 2007). Sebagai contoh, individu mengamati orang lain yang memiliki kompetensi yang sama dengannya berhasil melakukan suatu tugas atau pekerjaan, maka hal tersebut dapat meningkatkan self-efficacy individu. 3. Social Persuassion. Merupakan salah satu cara untuk memperkuat keyakinan seseorang bahwa mereka memiliki sesuatu untuk meraih kesuksesan. Individu yang diyakinkan secara verbal bahwa ia memiliki kemampuan untuk dapat menguasai suatu tugas, akan mengeluarkan usaha yang lebih besar daripada katika ia merasa tidak yakin dan memikirkan kekurangannya ketika
muncul kesulitan-kesulitan (Bandura dalam Kawuryan, 2007). Tindakantindakan yang sifatnya persuasi dalam mempersepsikan efficacy diri yang dimiliki , membuat individu berusaha dengan cukup keras untuk memperoleh kesuksesan mereka serta mengembangkan keahliannya dan sense of personal efficacy. Peningkatan keyakinan diri yang tidak realistis terhadap kompetansi pribadi dengan cepat dapat terlihat dengan adanya hasil yang mengecewakan dari usaha seseorang akan tetapi orang-orang yang telah dipersuasi bahwa ia tidak memiliki kemampuan cenderung untuk menghindari aktivitas yang sifatnya menantang yang akan menggali potensi yang dimiliki dan dengan cepat menyerah pada saat menemui kesulitan , yang pada akhirnya hanya akan mengurangi self-efficacy orang tersebut. 4. Phisiological and Affetive State.
Dalam menilai kemampuannya indeividu
percaya bahwa informasi somatis akan diperoleh melalui kondisi fisiologis dan emosinya. Kondisi mood juga memberikan efek pada penilaian seseorang pada self-efficacy. Fisiologis sebagai indikator dari efficacy memiliki peranan terutama dalam fungsi kesehatan dan aktivitas yang membutuhkan stamina dan kekuatan (Bandura dalm Kawuryan, 2007).. Untuk memodifikasi self-efficacy
dengan informasi yang didapat melalui
kondisi fisiologis dan emosionalnya tersebut, individu dapat meningkatkan kondisi fisiknya dengan mengurangi tingkat stress atau mengubah cara individu dalam mengintepretasi kondisi dirinya tersebut. 2.1.3 Dimensi Self Efficacy Dimensi dalam self-efficacy menurut Adisamito (2007) ada tiga, yaitu tingkat (level), kekuatan (strength), dan generalisasi (generality). Dimensi dalan selfefficacy merupakan suatu komponen yang sangat penting dalam mengidentifikasi atau mengenali keyakinan diri (self efficacy). a. Tingkat (level)
Tingkat dari self-efficacy mengacu pada tingkat kesulitan tugas yang diyakini seseorang akan dapat dicapai. Tingkat keyakinan diri ini akan mempengaruhi pemilihan aktivitas, jumlah usaha, serta ketahanan atlet dalam menghadapi dan menyelesaikan tugas yang dijalaninya. Misalnya atlet mempunya tingkat keyakinan diri yang akan memilih memfokuskan, dan menyelesaikan latihannya pada apa yang menjadi kekurangannya walaupun tingkat kesulitannya tinggi. Tingkat keyakinan diri yang tinggi seorang atlet dapat terlihat dari pemilihan aktivitas latihan dan lamanya latihan yang dilakukannya, baik dalam menghadapi kejuaraan ataupun latihan rutin sehari-hari. Seorang atlet yang akan menghadapi kejuaraan kelas dunia dengan lawan tanding berskala internasional akan melakukan latihan yang lebih keras dan intensif agar tampil prima dan dapat memenangkan pertandingan. Dengan kata lain, seseorang yang mempunyao tingkat keyakinan diri yang tinggi akan mampu menghadapi situasi kompetitif dengan antusias dan percaya diri (Adisasmito, 2007). b. Kekuatan (strength) Kekuatan pada keyakinan diri mengacu pada tingkat keyakoina atlet dalam meraih kesuksesan setiap tugas. Walaupun tugas yang dihadapi amat berat atau sulit, ia akan tetap yakin dapat menyelesaikan tugas itu dengan baik. Atlet dengan kekuatan keyakinan diri tinggi akan tetap bertahan dengan keyakinan akan kempuannya yang sudah dimiliki sebelumnya. Akibatnya merekan dapat selalu menghadapi dan mengatasi masalah dan halangan apa pun yang muncul. Kekuatan
pada
keyakinan
diri
dapat
mendorong
seorang
atlet
untuk
menggunakan teknik dan taktik tertentu dalam menghadapi lawannya. Atlet yang mempunya permainainan menyerang akan menggunakan senjata ampuhnya untuk mematahkan lawan, seperti melakukan smash yang mematikan atau melakukan serangan dengan berbagai variasi. Atlet tersebut memiliki keyakinan kuat untuk menguasai dan memenangkan pertandingan dengan teknik pukulan yang dimilikinya (Adisasmito, 2007).
c. Generalisasi (genereality) Generalisasi pada self-efficacy adalah keyakinan atlet terhadap beberapa kemampuan tertentu yang dapat diraih dengan sukses diberbagai situasi. Generalisasi pada keyakinan diri menunjukkan tingkat kesempurnaan keyakinan diri yang tidak dibatasi pdengan situasi-situasi tertentu saja. Beberapa atlet percaya bahwa mereka hanya mampu menghasilkan perilaku tertentu dalam keadaan tertentu. Namun, ada juga atlet yang mempu beradaptasi dengan kondisi yagn bagaimanapun bentuknya. Pada kondisi inilah atlet bisa dikatakan memiliki generalisasi keyakinan diri. Jadi, dalam konndisi di bawah tekanan, ketegangan yang tinggi, kondisi lapangan yang tidak mengenakkan, atau suhu udar yang tidak sesuai, seorang atlet akan tetap yakin pada kemapuannya dan dapat mengeluarkan semua kemapuan yang dimilikinya (Adisasmito, 2007). 2.2 Sasaran (Goal) Locke dan Laham
dalam Williams (2010) mengatakan sasaran sebagai
sebuah tujuan dari tindakan yang
definisikan sebagai pencapaian standar
kecakapan tertentu pada sebuah tugas, dan dibatasi oleh waktu.. Martens dan Burtons, masih dalam Williams (2010), telah membuat perbedaan antara, outcome goals, yang merupakan standar kinerja yang berfokus pada hasil kontes antara lawan atau tim, dan performance goals, yang berfokus pada perbaikan yang relatif terhadap kinerja masa lalu individu. 2.3 Self Efficacy & Performance Bandura, Feltz, Short, Sullivan, Treasure, Monson & Lox dalam Williams (2010) berpendapat bahwa keyakinan keberhasilan kita memediasi pola-pola pikir berikutnya, respon afektif, dan tindakan, bahwa self efficacy berhubungan positif dengan pola motivasi yang positif. Secara umum, penelitian bidang olahraga telah menunjukkan bahwa self efficacy adalah prediktor positif perolehan keterampilan motorik, pelaksanaan, dan kinerja olahraga kompetitif.
Self-efficacy tinggi tidak selalu diartikan ke dalam kemenangan. Hal tersebut meningkatkan probabilitas, bagaimanapun, bahwa atlet akan melakukannya dengan baik dalam hal aspek kinerja dalam diri atau kontrol pribadinya yang dapat berkontribusi pada kemenangan (Williams, 2010). Dalam aktivitas olah raga, banyak studi yang telah menunjukan hubungan yang signifikan antara tingkat efficacy dan kinerja olahraga (Warnick & Warnick dalam Ortega, Olmedilla, Baranada, Gomez, 2009).
2.4 Kerangka Berfikir Self-efficacy yang merupakan keyakinan akan kemampuan pada diri seorang individu dalam melaksanakan serangkaian tugas dan tanggung jawab. Sedangkan outcome goals, merupakan standar kinerja yang berfokus pada hasil bertanding. Seorang atlet bulu tangkis yang memiliki keyakinan tinggi pada kemampuannya, diharapkan memiliki hasil yang tinggi pula pada hasil pertandingan atau kejuaraan yang diikutinya, begitu juga sebaliknya. Karena itu hubungan antara keduanya akan terlihat ketika hasil kedua variabel tersebut dikorelasikan.