BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Self Efficacy
2.1.1 Definisi self efficacy Self-efficacy mengarah pada keyakinan seseorang terhadap kemampuannya dalam mengatur dan melaksanakan serangkaian tindakan dalam mencapai hasil yang ditetapkan (Bandura, 1997).
2.1.2 Aspek-aspek self efficacy Menurut Bandura (1997) terdapat tiga aspek dari self efficacy pada diri manusia, yaitu: a. Tingkatan (level) Adanya perbedaan self efficacy yang dihayati oleh masing-masing individu mungkin dikarenakan perbedaan tuntutan yang dihadapi. Tuntutan tugas merepresentasikan bermacam-macam tingkat kesulitan atau kesukaran untuk mencapai performansi optimal. Jika halangan untuk mencapai tuntutan itu sedikit, maka aktivitas lebih mudah untuk dilakukan, sehingga kemudian individu akan memiliki self efficacy yang tinggi. b. Keadaan umum (Generality) Individu mungkin akan menilai diri merasa yakin melalui bermacam-macam aktivitas atau hanya dalam daerah fungsi tertentu. Keadaan umum bervariasi dalam jumlah dari dimensi yang berbeda-beda, diantaranya tingkat kesamaan aktivitas, perasaan dimana kemampuan ditunjukan (tingkah laku, kognitif, afektif), ciri kualitatif situasi, dan karakteristik individu menuju kepada siapa perilaku itu ditujukan. Pengukuran berhubungan dengan daerah aktivitas dan konteks situasi yang menampakan pola
tingkat generality yang paling mendasar berkisar tentang apa yang individu susun pada kehidupan mereka. c. Kekuatan (Strength) Pengalaman memiliki pengaruh terhadap self efficacy yang diyakini seseorang. Pengalaman yang lemah akan melemahkan keyakinannya pula. Individu yang memiliki keyakinan kuat terhadap kemampuan mereka akan teguh dalam berusaha untuk mengenyampingkan kesulitan yang dihadapi. Berdasarkan hal-hal di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tiga aspek self efficacy yaitu level (tingkat kesulitan tugas), generality (keadaan umum suatu tugas), dan strength (kekuatan atau keyakinan seseorang dalam menyelesaikan tugas). 1.1.3 Faktor-faktor self efficacy Keyakinan seseorang terhadap efficacy yang dimilikinya merupakan aspek utama dari pengetahuan diri yang dimilikinya. Keyakinan akan self-efficacy terbentuk dari empat prinsip utama, yaitu: enactive mastery experience, vicarious experience, verbal persuasion, phisiological and affective states (Bandura, 1997). 1. Pengalaman keberhasilan (enactive mastery experience), berdasarkan pengalaman individu secara langsung. Individu yang pernah memperoleh suatu prestasi, akan terdorong meningkatkan keyakinan dan penilaian terhadap self efficacy-nya. Pengalaman keberhasilan dan pencapaian prestasi individu ini meningkatkan ketekunan dan kegigihan dalam berusaha mengatasi kesulitan, sehingga dapat mengurangi kegagalan. 2. Pengalaman orang lain (vicarious experience). Pengamatan terhadap perilaku dan pengalaman orang lain merupakan sumber bagi proses belajar individu tersebut. self efficacy individu akan dapat meningkat, terutama jika ia merasa memiliki kemampuan yang setara atau bahkan merasa lebih baik dari pada orang yang menjadi subjek
belajarnya. Ia akan mempunyai kecenderungan merasa mampu melakukan hal yang sama. Meningkatkan self efficacy individu ini akan dapat meningkatkan motivasi untuk mencapai suatu prestasi. Peningkatan self efficacy ini akan menjadi efektif jika subjek yang menjadi model tersebut mempunyai banyak kesamaan karakteristik antara individu tersebut dengan model, kesamaan tingkat kesulitan tugas, kesamaan situasi dan kondisi, serta keanekaragaman yang dicapai oleh model 3. Persuasi verbal (verbal persuasion), yaitu individu yang mendapat bujukan atau sugesti untuk percaya bahwa ia akan dapat mengatasi masalah-masalah yang akan dihadapinya. Persuasi verbal ini dapat mengarahkan individu untuk berusaha lebih gigih dalam mencapai tujuan serta kesuksesannya. 4. Keadaan fisiologis dan psikologis (phisiological and affective states), situasi yang menekan kondisi emosional dapat mempengaruhi self efficacy. Gejolak emosi, goncangan, kegelisahaan yang mendalam dan keadaan fisiologis yang lemah yang dialami individu akan dirasakan sebagai suatu isyarat akan terjadi peristiwa yang tidak diinginkan, maka situasi yang menekan dan mengancam akan cenderung dihindari. 2.2 Goal Orientation
2.2.1 Pengertian Goal Orientation Goal orientation yaitu merupakan pola keyakinan yang mengarahkan pada cara yang berbeda dalam pendekatan, penggunaan, dan respon terhadap achievement situation (Pitrich & Schunk dalam Dedy & Wahyu, 2007). Goal orientation merefleksikan standar individu dalam mencapai keberhasilan. Sedangkan menurut Vande Walle (dalam Dedy & Wahyu, 2007) goal orientation merupakan konstruk yang menggambarkan bagaimana individu merespon, memberikan reaksi dan menginterpretasikan situasi untuk mencapai suatu prestasi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa goal orientation adalah bagaimana individu menanggapi situasi yang ada. Seitjs et al (dalam Dedy & Wahyu, 2007) menyatakan bahwa goal orientation berfokus pada kemampuan (ability). Goal orientation biasanya berorientasi pada tugas-tugas yang kompleks yang berfokus pada pengetahuan (knowledge) dan keahlian (skill). 2.2.2 Jenis Goal Orientation Goal orientation memprediksi dan menjelaskan tidak hanya apa yang dipilih oleh individu tetapi juga bagaimana tugas-tugas itu dijalankan yang berkaitan lebih pada pengetahuan atau kemampuan daripada usaha atau ketekunan semata-mata. Goal orientation sendiri mempunyai hubungan yang konsisten dan langsung dengan sejumlah outcome seperti self efficacy, feedback seeking, learning, dan performance (Bell & Kozlowski dalam Deddy & Wahyu, 2007). Terdapat beberapa tokoh yang membagi goal orientation kedalam beberapa jenis, yaitu : Walle (2001) membagi goal orientation menjadi tiga jenis yaitu learning goal orientation, performance-proving goal orientation, dan performance-avoiding goal orientation. learning goal orientation adalah keinginan mengembangkan diri dengan mempelajari skill baru, menguasai situasi baru, dan memperbaiki kompetensi diri. Performance-proving goal orientation adalah keinginan menunjukkan kompetensi dan menghindari penilaian negatif dari orang lain, dan Performance-avoiding goal orientation adalah keinginan individu menghindari situasi yang bisa menyangkal kompetensinya dan menghindari penilaian negatif dari orang lain. Sedangkan menurut VandeWalle (dalam Deddy, 2007) adanya sedikit perbedaan penjelasan mengenai goal orientation, yaitu performance goal orientation dibagi kedalam prove goal orientation yang berfokus pada penunjukkan satu kompetensi dan pencapaian judgment orang lain, dan avoid goal
orientation yang berfokus pada menunjukkan inkompetensi dan menggunakan negative judgment dari orang lain (Seijts et al dalam Dedy, 2007). Dengan performance-prove goal orientation, individu yang percaya bahwa ability adalah atribut yang
fixed dan sulit
dikembangkan, dan bukan malleable. Peningkatan usaha dianggap sebagai low ability. Sementara itu, performance-avoid goal orientation berhubungan dengan content goals yang menghidari evaluasi negatif. Seijts et al (dalam Deddy, 2007) juga membagi goal orientation menjadi dua jenis goal orientation, yaitu performance dan learning goal orientation. Performance goal orientation memfokuskan pada penyusunan superioritas melebihi orang lain. Individu yang memiliki performance goal orientation berfokus pada hasil akhir, mempunyai keprihatinan terhadap kegagalan, dan berfokus pada konsekuensi dari kinerja yang buruk, terutama mencela orang lain. Bila mungkin, mereka memilih tugas yang memungkinkannya menunjukkan kompetensi dengan mengorbankan pembelajarannya pada sesuatu yang baru. Learning/mastery goal orientation memfokuskan pada pengembangan kompetensi, mendapatkan keahlian, dan mengerjakan yang terbaik, Sementara itu, individu yang memiliki learning goal orientation mencari tugas-tugas yang menantang yang memberikan kepadanya kesempatan untuk mengembangkan kompetansinya. Bagi mereka, kesalahan adalah sesuatu yang biasa dan merupakan bagian dari proses belajar. Hasil yang dicapai adalah meningkatnya self efficacy (Dedy, 2007). 2.2.3 Aspek-Aspek Goal Orientation Menurut Ames dan Archer (1988) terdapat delapan aspek goal orientation, yaitu : a. Pengertian keberhasilan Yang dimaksud keberhasilan di sini adalah bagaimana pandangan individu terhadap suatu keberhasilan dan apa yang dimaksud dengan keberhasilan tersebut baginya. b. Hal yang dianggap bernilai
Aspek ini berkaitan dengan proses yang ditempuh yang dianggap penting dalam aktivitas yang dilakukan. c. Yang menjadi alasan suatu kepuasan Aspek ini berkaitan dengan apa yang menjadi kepuasan bagi individu dalam melakukan suatu aktivitas. d. Pandangan terhadap orientasi figur otoritas Guru bisa berarti figur yang memiliki kredibilitas dan otoritas untuk mengarahkan dan memberikan masukan bagi individu. e. Pandangan terhadap kesalahan atau kegagalan Aspek ini berkaitan dengan bagaimana individu memandang suatu kesalahan atau kegagalan dalam aktivitas yang dilakukannya. f. Fokus perhatian Aspek ini berkaitan dengan apa yang menjadi perhatian utama individu dalam melakukan suatu aktivitas. g. Alasan untuk berusaha Aspek ini berkaitan dengan hal-hal yang mendorong untuk melakukan usaha yang lebih besar. h. Kriteria evaluasi Aspek ini berkaitan dengan hal yang menjadi patokan bagi individu untuk mengevaluasi diri.
2.3 Self Efficacy & Goal Orientation Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Randan yang menguji ada tidaknya hubungan secara empirik antara self efficacy dengan goal orientation pada guru sekolah minggu, dengan hasil analisis yaitu, dimana self efficacy berhubungan dengan goal orientation mereka
saat mengerjakan tugas yang mempunyai tujuan tertentu sehingga
mereka dapat melaksanakan tugas dengan baik dan mencapai hasil seperti yang diharapkan sesuai dengan tujuan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara self efficacy dengan goal orientation. Ini dapat diartikan bahwa tinggi atau rendah self efficacy berhubungan dengan tinggi atau rendahnya goal orientation (Randan A, 2007).
2.4 Kerangka berpikir Pada penelitian ini subjek yang digunakan yaitu mahasiswa Jurusan Psikologi Bina Nusantara yang sedang menjalani skripsi. Peneliti menemukan fenomena bahwa terdapat mahasiswa yang ekstensi skripsi di setiap tahunnya. Ekstensi skripsi yaitu mahasiswa yang mengambil perpanjangan waktu di semester berikutnya untuk menyelesaikan tugas skripsi. Fenomena ini didapatkan dari hasil wawacara terhadap beberapa responden (dapat dilihat pada lampiran 9, 10 dan 11), dimana responden tersebut mengalami hambatan yang berbedabeda. Seperti, sulitnya mencari teori yang sesuai untuk digunakan, sulitnya mendapatkan buku yang akan digunakan, komunikasi yang kurang baik dan kurang intensif terhadap dosen pembimbing dan jurnal yang digunakan kurang sesuai dengan kondisi responden. Dengan adanya hambatan-hambatan tersebut responden yang pada awalnya memiliki keyakinan untuk dapat menyelesaikan skripsinya dengan tepat waktu menjadi menurun. Hal ini tentunya melibatkan hubungan antara self efficacy dengan goal orientation pada mahasiswa tersebut dalam menyelesaikan skripsinya. Untuk lebih jelasnya maka penulis menggunakan kerangka berpikir yang digambarkan secara skematis seperti gambar dibawah ini. ( Gambar 2.1).
Gambar 2.1 Skema kerangka berpikir hubungan antara self efficacy dengan goal orientation.