BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA TERHADAP KOHESI GRAMATIKAL
Pengantar Bab ini merupakan tinjauan pustaka yang terkait dengan masalah wacana, referensi, kohesi, dan koherensi, baik dalam linguistik secara umun maupun dalam linguistik Arab secara khusus. Seperti yang akan dijelaskan selanjutnya, dalam linguistik Arab sebenarnya sudah terdapat beberapa konsep yang terkait dengan permasalahan tersebut, hanya saja dalam linguistik Arab belum terdapat istilah yang memayungi materi pembahasan tersebut. Oleh sebab itu, peneliti akan menyesuaikan pembahasan masalah ini dengan materi pembahasan yang terdapat dalam teori kohesi, referensi, dan koherensi yang berkembang dalam linguistik umum.
2.1 Kridalaksana (1978) Kridalaksana
(1978:
38-44)
menelaah
syarat
keutuhan
wacana.
Menurutnya, aspek yang memperlihatkan keutuhan wacana dapat dibedakan atas aspek semantis, aspek leksikal, aspek gramatikal, dan aspek fonologis. Aspek semantis meliputi 1) hubungan semantis di antara bagian-bagian wacana dan 2) kesatuan latar belakang semantis. Hubungan semantis di antara bagian-bagian wacana tampak dari hubungan antarproposisi dari bagian-bagian wacana. Hubungan semantis di antara bagianbagian wacana tersebut meliputi 1) hubungan sebab-akibat, 2) hubungan alasanakibat, 3) hubungan sarana-hasil, 4) hubungan sarana-tujuan, 5) hubungan latarkesimpulan, 6) hubungan kelonggaran-hasil, 7) hubungan syarat-hasil, 8) hubungan perbandingan, 9) hubungan parafrasis, 10) hubungan aplikatif, 11) hubungan aditif yang berkaitan dengan waktu, 12) hubungan aditif yang tidak berkaitan dengan waktu, 13) hubungan identifikasi di antara bagian-bagian wacana, 14) hubungan generik-spesifik, dan 15) hubungan ibarat. Kesatuan latar belakang semantis yang menandai keutuhan wacana meliputi 1) kesatuan topik, 2) hubungan sosial para pembicara, dan 3) jenis medium penyampaian.
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
Dalam aspek leksikal, hubungan di antara bagian-bagian wacana dapat dinyatakan dengan pertalian unsur-unsur leksikal dalam bagian itu. Yang termasuk dalam aspek leksikal itu adalah 1) ekuivalensi leksikal, 2) antonim, 3) hiponim, 4) kolokasi, 5) kosokbali, 6) pengulangan, dan 7) penutup dan pembuka wacana. Dalam aspek gramatikal, unsur-unsur yang mendukung keutuhan suatu wacana meliputi 1) konjungsi, 2) elipsis, 3) paralelisme, dan 4) bentuk penyulih dengan anaforis dan kataforis yang berupa pronomina persona ketiga dan proverba, yakni kata yang mengacu kepada perbuatan, keadaan, hal, atau isi dari bagian wacana.
2.2 Dardjowidjojo (1986) Dardjowidjojo (1986: 94) di dalam penelitiannya tentang wacana menyatakan bahwa suatu rentetan kalimat dapat membentuk suatu pengertian jika rentetan kalimat itu serasi dan terpadu. Untuk memadukannya diperlukan benang pengikat. Benang pengikat itu diwujudkan dalam 1) penyebutan sebelumnya, 2) sifat verba, 3) peranan verba bantu, 4) proposisi positif, 5) praanggapan, dan 6) konjungsi. Dalam tulisannya, Dardjowidjojo tidak membedakan secara tegas benang pengikat gramatikal dan benang pengikat leksikal.
2.3 Samsuri (1987) Pada tahun 1987, Samsuri menulis “Analisis Wacana”. Dalam tulisannya, Samsuri mengatakan bahwa hubungan kohesi terbentuk jika penafsiran suatu unsur dalam ujaran bergantung pada penafsiran makna ujaran yang lain. Suatu ujaran tidak dapat ditafsirkan maknanya secara efektif tanpa mengacu kepada unsur atau ujaran yang lain. Lebih lanjut, Samsuri membagi berbagai hubungan kohesi wacana menjadi lima, yaitu 1) hubungan sebab-akibat, 2) hubungan referensi dengan pronomina persona dan demonstrativa, 3) konjungsi, 4) hubungan leksikal, seperti hiponimi, hubungan bagian-utuhan, hubungan kolokasi, dan 5) hubungan struktural lanjutan, seperti substitusi, perbandingan, dan pengulangan sintaksis. Di samping itu, juga dibedakan pengertian antara referensi dan inferensi kewacanaan.
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
2.4 Sugono (1995) Sugono (1995) menelaah wacana dari segi pelesapan (delesi), khususnya pelesapan subjek. Dalam tulisannya, Sugono mengatakan bahwa telaah pelesapan subjek merupakan telaah kohesi (cohesion), telaah perpautan antarkalimat dalam wacana dan telaah perpautan antarklausa dalam kalimat. Menurutnya, kohesi yang dinyatakan melalui tata bahasa disebut kohesi gramatikal, sedangkan yang dinyatakan melalui kosakata disebut kohesi leksikal. Kohesi gramatikal meliputi pengacuan (reference), elipsis, penyulihan (substitution), sedangkan kohesi leksikal meliputi penyebutan ulang, sinonimi, dan kolokasi. Konjungsi berada di antara gramatikal dan leksikal (berdasarkan konsep Halliday dan Hasan, 1976). Secara ringkas dikatakan bahwa kohesi dapat diwujudkan, antara lain, melalui a) pelesapan (deletion), b) pemakaian pronomina, c) penyulihan (substitution), dan d) penyebutan ulang, dan e) pemakaian konjungsi.
2.5 Rustono (1999) Di dalam tulisannya yang berjudul “Realisasi Konsep Anafora dan Katafora dalam Bahasa Indonesia”, Rustono (1999: 1-12) mengatakan bahwa konsep anafora dan katafora dapat ditemukan di dalam bahasa Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya penggunaan bentuk-bentuk sebagai peranti yang merujuk silang anteseden yang telah disebutkan atau yang disebutkan kemudian. Peranti-peranti anafora dan katafora di dalam bahasa Indonesia, menurut Rustono ada tujuh macam, di antaranya: (a) Kata ganti persona Kata ganti persona adalah kata ganti yang menyatakan orang. Di dalam bahasa Indonesia kata ganti persona dibedakan menjadi tiga, yaitu kata ganti persona pertama (pembicara), kata ganti persona kedua (mitra bicara), dan kata ganti persona ketiga (orang yang dibicarakan). Ketiga kata ganti persona itu dapat menjadi peranti anafora dan katafora. (b) Klitik Klitik yaitu bentuk terikat yang secara fonologis tidak mempunyai tekanan sendiri dan yang tidak dapat dianggap morfem terikat karena mengisi gatra pada tingkat frasa atau klausa, tetapi tidak mempunyai ciri-
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
ciri kata karena tidak dapat berlaku sebagai bentuk bebas (Kridalaksana dalam Rustono, 1999: 6). Bentuk “ku-, -ku, kau-, -mu, dan –nya” adalah contoh klitik di dalam bahasa Indonesia. Klitik dibedakan menjadi dua, proklitik dan enklitik. Proklitik adalah klitik yang melekat pada awal kata, sedangkan enklitik melekat pada akhir sebuah kata. Baik proklitik maupun enklitik dapat berperan sebagai peranti anafora dan katafora. (c) Nomina Nomina adalah kata yang mengacu pada manusia, binatang, dan konsep atau pengertian (Alwi et al dalam Rustono, 1999: 7). (d) Demonstrativa Demonstrativa adalah kata yang dipakai untuk merujuk atau menandai secara khusus orang atau benda (Kridalaksana dalam Rustono, 1999: 8). Di dalam bahasa Indonesia, kata ini dan itu termasuk ke dalam demontrativa. (e) Keterangan waktu Keterangan waktu adalah keterangan yang memberikan informasi mengenai saat terjadinya suatu peristiwa (Alwi et al dalam Rustono, 1999: 8). Bentuk-bentuk yang dapat mengisi keterangan waktu adalah kata tunggal, frasa nominal, dan frasa preposisional. Umumnya keterangan waktu diletakkan di bagian belakang kalimat, tetapi dapat pula terletak di tengah atau di awal kalimat. (f) Keterangan tempat Keterangan tempat adalah keterangan yang menunjukkan tempat terjadinya peristiwa atau keadaan (Alwi et al dalam Rustono, 1999: 9). Bentuk
yang
dapat
mengisi
keterangan
tempat
hanyalah
frasa
preposisional. Preposisi yang biasa digunakan adalah di, ke, dari, sampai, dan pada. Setelah preposisi itu terdapat kata yang memiliki ciri tempat seperti sana, sini, situ, mana sehingga frasa preposisional yang berfungsi keterangan tempat itu berwujud di sana, di situ, ke sana, ke situ, ke sini, dan sebagainya. (g) Keterangan cara
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
Keterangan cara adalah keterangan yang menyatakan jalannya suatu peristiwa berlangsung (Alwi et al dalam Rustono, 1999: 10). Kata tunggal dan frasa preposisional adalah dua bentuk yang dapat mengisi keterangan cara. Kata tunggal yang menyatakan cara antara lain seenaknya, semaunya, secepatnya, sebaliknya, dan sebagainya. Frasa preposisional yang biasanya menyatakan cara terdiri atas preposisi dengan, secara, atau tanpa dan ajektivanya. Selanjutnya Rustono juga mengatakan bahwa hubungan yang ada antara ketujuh peranti ini dan anteseden yang dirujuk silang meliputi dua macam hubungan, yaitu hubungan anaforis dan hubungan kataforis.
2.6 Alwi et al. (2000) Alwi et al. (2000) dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia menyatakan bahwa kohesi merupakan keserasian hubungan antara unsur yang satu dan unsur yang lain dalam wacana sehingga tercipta pengertian yang apik dan koheren. Suatu wacana dikatakan kohesif apabila hubungan antara unsur yang satu dan unsur lainnya dalam wacana tersebut serasi sehingga tercipta suatu pengertian yang apik dan koheren. Pada bagian itu disebutkan bahwa salah satu unsur kohesi adalah hubungan sebab-akibat, apik antarklausa maupun antarkalimat. Hubungan sebab-akibat tersebut ditandai oleh konjungsi karena dan sebab. Pada bagian tersebut juga disebutkan bahwa kohesi dapat dinyatakan dengan hubungan unsurunsur yang menyatakan pertentangan yang dinyatakan dengan konjungsi tetapi, pengutamaan dinyatakan dengan konjungsi kecuali, konsesif dinyatakan dengan konjungsi walaupun dan meskipun, dan tujuan yang dinyatakan dengan konjungsi agar atau supaya. Walaupun tidak secara tegas dinyatakan, buku Alwi et al. (2000) tersebut juga menyinggung adanya referensi, baik yang bersifat anaforis maupun kataforis, baik yang berupa pronomina persona maupun pronomina demonstrativa. Di samping itu, buku Alwi et al. (2000) juga menyinggung masalah elipsis yang juga termasuk unsur pembentuk kohesi dan koherensi wacana. Kalau dicermati, dalam keseluruhan buku itu sebenarnya terdapat beberapa jenis hubungan kohesi wacana yang diuraikan secara terpisah-pisah. Hubungan
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
tersebut, antara lain, adalah a) hubungan sebab-akibat, b) hubungan pertentangan, c) hubungan kelebihan, d) hubungan perkecualian, e) hubungan konsesif, f) hubungan tujuan, g) perulangan, h) penggantian unsur leksikal yang maknanya berbeda dengan makna kata yang diacu, i) penggantian bentuk yang tidak mengacu ke acuan yang sama, tetapi ke kumpulan yang sama, j) hubungan metaforis, k) elipsis, l) hiponimi, m) bagian keutuhan, dan n) referensi/pengacuan.
2.7 Chodijah (2006) Chodijah (2006: 7) dalam skripsinya meneliti tentang keutuhan teks iklan dalam media cetak berbahasa Arab melalui kohesi gramatikal. Sebagai sumber datanya, Chodijah mengambil beberapa majalah serta booklet berbahasa Arab. Dari hasil penelitiannya itu, Chodijah menyimpulkan bahwa sebagian besar iklaniklan tersebut menggunakan referensi endofora, yaitu berjumlah 163 buah referensi. Sedangkan untuk referensi eksofora berjumlah 144 buah referensi. Selanjutnya sebagian besar iklan tersebut menggunakan dami:r atau pronomina sebagai alat referensinya, yaitu sebanyak 239 buah, referensi demonstrativa 56 buah, dan referensi perbandingan sebanyak 12 buah. Sedangkan untuk arah acuannya, didapati lebih banyak menggunakan anafora, yaitu sebanyak 144 buah dibandingkan dengan katafora, yang berjumlah 19 buah. Kemudian Chodijah juga menemukan bahwa iklan dalam media cetak Arab, khususnya majalah, pada umumnya menggunakan pronomina-pronomina sebagai berikut: pronomina persona pertama jamak
ﳓﻦ
/nahnu/ ‘kami’, yang ditujukan
pada puhak produsen produk atau pengiklan, pronomina persona pertama tunggal
ﺃﻧﺎ
/?ana/ ‘saya atau aku’ diacukan pada seseorang yang telah menggunakan
produk yang diiklankan serta berperan sebagai pihak pemberi saran untuk menggunakan produk yang sama, pronomina persona kedua tunggal ‘kamu’ (maskulin), jamak
ﺃﻧﺘﻢ
ﺃﻧﺖ/?anta/
ﺃﻧﺖ/?anti/ ‘kamu’ (feminin), serta pronomina persona kedua
/?antum/ ‘anda atau kamu’ (maskulin) adalah pihak addressee,
pronomina ketiga tunggal ﻫﻮ/huwa/ ‘dia’ (maskulin) dan ﻫﻲ/hiya/ ‘dia’ (feminin) mengacu pada produk yang diiklankan.
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
2.8 Subuki (2008) Subuki (2008: 277-280), dalam tesisnya yang berjudul Kohesi dan Koherensi dalam Surat Al-Baqarah mengkaji masalah kohesi dan koherensi melalui tiga konsep pendekatan, yaitu melalui teori kohesi dan koherensi, balaghah, dan’ulu:m Al-Quran. Dalam tesisnya ini, Subuki mengemukakan bahwa perwujudan kohesi di dalam surat Al-Baqarah meliputi dua hal: 1. Berdasarkan bentuk yang digunakannya. Berdasarkan bentuk yang digunakan, kohesi di dalam surat AlBaqarah diwujudkan melalui delapan peranti, yaitu referensi, substitusi, elipsis, penggantian leksikal, pemilihan stilistis, persesuaian kala, kohesi leksikal, dan konjungsi. 2. Berdasarkan asal (nature) hubungan kohesi, kohesi dikaitkan dalam tiga hal: a. kohesi yang didasarkan atas keterkaitan referensi (relatedness of reference) diwujudkan melalui referensi, substitusi, elipsis, penggantian leksikal, sebagian dari kohesi leksikal, dan persesuaian kala, jenis, dan jumlah. b. Kohesi yang didasarkan atas keterkaitan bentuk (relatedness of form) diwujudkan melalui elipsis, penggantian leksikal, pemilihan stilistis, dan kohesi leksikal. c. Kohesi atas dasar keterkaitan semantik (semantic connection) diwujudkan melalui konjungsi. Sementara itu, dalam ilmu balaghah, menurut Subuki, peranti kohesi berhubungan dengan beberapa bidang pembahasan: (1) ‘ilm al-ma’a:ni:, terkait dengan fungsi pemanfaatan pronomina (dami:r) dan demonstrativa (isyarah), ijaz dan itnab, wasl dan fasl, dan al-qasr dan al-ikhtisas; (2) ‘ilm al-bayan; dan (3) ‘ilm al-badi:. Sedangkan dalam ’ulu:m Al-Quran, hal ini terkait dengan bidang pembahasan dami:r secara khusus, taqdim dan ta’khir, peranti pemarkah ‘am dan takhsis, dan juga dengan hal lainnya yang merupakan bagian dari balaghah. Selanjutnya Subuki mengemukakan bahwa terdapat tiga kecenderungan hubungan antara perwujudan peranti kohesi dengan koherensi:
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
1. Koherensi dalam surat Al-Baqarah sebagaian besar dicapai bukan melalui perwujudan satu peranti kohesi saja, melainkan oleh beberapa peranti kohesi sekaligus, baik berdasarkan bentuk yang digunakannya maupun berdasarkan asal hubungan kohesifnya. 2. Koherensi
kadangkala
tetap
terjaga
meskipun
tidak
terdapat
perwujudan peranti kohesi. 3. Kadangkala
perwujudan
kohesi
sama
sekali
tidak
dapat
memperlihatkan koherensi antarbagian dalam teks, dan, oleh sebab itu, tidak dibutuhkan dalam proses pemahaman teks. Sedangkan dalam hal kaitannya fungsi peranti kohesi dalam pemahaman teks, Subuki mengatakan bahwa kadang peranti kohesi dalam teks berguna dalam pemahaman, sebab peranti tersebut kadang mampu menunjukkan maksud penutur, misalnya untuk memuliakan, merendahkan, menunjukkan urutan dan tingkatan, membatasi dan membatalkan informasi, mempertentangkan, mempermudah pemahaman, mempertegas, menjaga intensitas penutur, dan menghindari kesalahpahaman. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemahaman kadang bergantung kepada peranti kohesi atau, dengan lain perkataan, peranti kohesi kadang juga dibutuhkan dalam pemahaman teks.
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
BAB 3 KERANGKA TEORI Pengantar Bab ini mengemukakan teori-teori yang akan digunakan sebagai dasar analisis alat kohesi gramatikal, khususnya untuk jenis referensi, yang digunakan sebagai salah satu cara menjaga keutuhan wacana dalam cerpen yang berjudul
ﻭﺭﺩﺓ ﺍﳍﺎﱐ/wardah al-ha:ni:/ ‘Wardah Hani’ karya Kahlil Gibran. Teori-teori yang dibahas di dalam bagian ini adalah teori-teori tentang wacana dan teks, kohesi, referensi, dan koherensi. 3.1 Wacana dan Teks Dari asal usul katanya, kata wacana berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari kata vacana yang berarti ‘bacaan’. Kata vacana itu, masuk ke dalam bahasa Jawa Kuno menjadi wacana (wacana) dan selanjutnya masuk ke dalam bahasa Jawa Baru menjadi wacana yang berarti ‘bicara, ucapan’. Kata wacana di dalam bahasa Jawa Baru diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi wacana yang berarti ‘komunikasi verbal, percakapan’ (Wedhawati dkk., 2001: 595-596). Wacana merupakan satuan bahasa yang paling besar yang digunakan dalam komunikasi. Satuan bahasa di bawahnya secara berturut-turut adalah kalimat, frasa, kata, dan bunyi. Secara berurutan, rangkaian bunyi membentuk kata. Rangkaian kata membentuk frasa, dan rangkaian frasa membentuk kalimat. Akhirnya rangkaian kalimat membentuk wacana (semuanya ini bisa lisan bisa tulis) (Arifin dan Rani, 2000: 3). Menurut HG Tarigan (1987:27) wacana adalah satuan bahasa yang paling lengkap, lebih tinggi dari klausa dan kalimat, memiliki kohesi dan koherensi yang baik, mempunyai awal dan akhir yang jelas, berkesinambungan, dan dapat disampaikan secara lisan atau tertulis. Jadi, suatu kalimat atau rangkaian kalimat, misalnya, dapat disebut sebagai wacana atau bukan wacana tergantung pada keutuhan unsur-unsur makna dan konteks yang melingkupinya. Sementara itu, di dalam Kamus Linguistik, Kridalaksana (1993: 231) memadankan wacana dengan discourse, dan didefinisikan sebagai satuan bahasa terlengkap; dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
terbesar. Wacana direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat, frasa atau kata yang membawa amanat lengkap. Sebagai sebuah disiplin ilmu dalam ilmu bahasa, wacana dapat dikaji keberadaannya. Ilmu yang mengkaji tentang wacana dinamakan analisis wacana. Stubbs (dalam Arifin dan Rani, 2000: 8) mengatakan bahwa analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk tulis maupun lisan. Penggunaan bahasa secara alamiah ini berarti penggunaan bahasa seperti dalam komunikasi sehari-hari. Stubbs menjelaskan bahwa analisis wacana menekankan penggunaan bahasa dalam konteks sosial, khususnya dalam interaksi antarpenutur. Senada dengan itu, J.D. Parera (2004: 219) mengungkapkan bahwa analisis wacana adalah satu penjelasan
tentang
bagaimana
kalimat-kalimat
dihubung-hubungkan
dan
memberikan satu kerangka acuan yang terpahami tentang pelbagai jenis wacana, memberikan penjelasan tentang runtun kelogisan, pengelolaan wacana, dan karakteristik stilistik sebuah wacana. Untuk menjelaskan pendapatnya itu, Parera memberikan dua contoh teks. Bandingkan dua teks di bawah ini. A. Sukamandi
desa
membosankan.
yang
cantik.
Sungai-sungai
Perjalanan
jernih
airnya.
ke
sana
agak
Rumah-rumah
berpagar bunga. Orang-orang bersifat periang. Kendaraan ke Sukamandi tidak banyak. Hawanya sejuk. Jalannya buruk. Desa itu jauh dari jalan raya (Parera, 2004: 219). Rasanya sulit bagi kita memahami teks (A) di atas. Teks (A) di atas hanya merupakan himpunan kalimat-kalimat yang belum/tidak berhubungan. Agar teks (A) itu dapat dipahami, maka teks itu akan dikelola dan ditata agar runtun pikiran teks itu terlihat kelogisannya. B. Perjalanan ke desa Sukamandi mungkin agak membosankan. Desa itu jauh dari jalan raya. Jalan ke sana buruk dan kendaraan tidak banyak. Walaupun demikian, sungai-sungai yang jernih airnya, rumah-rumah yang berpagar bunga, hawa yang sejuk, dan orang-
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
orang yang bersifat periang dapat mengurangi kebosanan itu. Sukamandi memang desa yang cantik (Parera, 2004: 219). Dalam teks (B) telah muncul hubungan yang runtun dan logis antarkalimat, sehingga bila kita nilai, teks (B) lebih mudah dipahami dibandingkan dengan teks (A). Di dalam pemakaiannya, wacana dapat dikelompokkan menjadi beberapa macam. Sebagai contoh, Djajasudarma (1994:6) mengelompokkan wacana menjadi: a. Berdasarkan eksistensi (realitas) wacana Wacana ini dibedakan menjadi dua, yaitu wacana verbal dan nonverbal. b. Berdasarkan pemaparan wacana Wacana ini dibedakan menjadi lima, yaitu wacana prosedural, hartatori, ekspositori, naratif, dan deskriptif. c. Berdasarkan jenis pemakaian wacana Wacana ini dibedakan menjadi tiga, yaitu wacana monolog, dialog, dan polilog. d. Berdasarkan media komunikasi wacana Wacana ini dibedakan menjadi tiga, yaitu wacana lisan, tulis, dan wacana lisan yang dituliskan. Setelah pemaparan di atas mengenai wacana, lalu apakah yang dinamakan teks?. Teks, menurut Guy Cook (dalam Eriyanto, 2001: 9) adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik gambar, efek suara, citra, dan sebagainya. Sementara itu Brinker (dalam Nainggolan, 1998: 1) mengatakan, teks adalah serangkaian lambang-lambang bahasa yang koheren atau yang membentuk kesatuan gagasan dan secara keseluruhan mengandung fungsi komunikatif tertentu. Sedangkan Brown dan Yule (dalam Choiriyah, 2006: 14) mengatakan, teks merupakan rekaman verbal tindak komunikasi. Sebagai bentuk rekaman
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
verbal tersebut, teks terdiri atas teks tertulis yang diartikan sebagai rekaman cetak; dan teks lisan yang diartikan rekaman pita tindak komunikasi yang meliputi halhal yang terjadi pada sebuah tuturan. Ada beberapa pandangan yang berbeda mengenai wacana dan teks. Pandangan pertama beranggapan bahwa wacana dan teks itu berbeda. Malmkjaer (1990: 461) yang mengutip pendapat Hoey (1983: 1) mengatakan bahwa teks merupakan bahasa tulis (written), sedangkan wacana merupakan bahasa lisan (spoken) (Crystal, 1987: 116 ; Coulthard, 1998: 3 ; Richards dan Schmidt, 2002: 161). Jadi dari uraian itu tampak bahwa teks dan wacana berbeda. Wacana memfokuskan pada bahasa lisan, sedangkan teks memfokuskan pada bahasa tulis. Hoed (1994) membedakan pengertian wacana dari teks berdasarkan pandangan de Saussure (1915) yang membedakan langue dan parole. Di katakannya oleh Hoed bahwa wacana adalah bangun teoritis abstrak yang maknanya dikaji dalam kaitannya dengan konteks dan situasi komunikasi. Yang dimaksud konteks adalah unsur bahasa yang dirujuk oleh suatu ujaran, sedangkan situasi adalah unsur nonbahasa yang dirujuk oleh suatu ujaran. Dengan demikian wacana ada dalam tataran langue, sedangkan teks adalah realisasi sebuah wacana dan ada pada tataran parole. Senada dengan pendapat di atas, Leech (1979: 209) menggunakan istilah discourse/wacana sebagai suatu interaksi antara pembicara dengan pendengar, yang bentuknya ditentukan oleh maksud dan tujuan sosialnya, sedangkan teks merupakan bentuk komunikasi lisan atau tulisan dengan pesan tertentu di dalamnya.
Dari
batasan
yang
diberikannya,
Leech
cenderung
melihat
discourse/wacana sebagai bentuk komunikasi lisan, sedangkan teks dapat berbentuk lisan atau tulisan. Pandangan Leech ini hampir senada dengan pendapat Widdowson yang juga membedakan teks dengan discourse/wacana. Menurut Widdowson, teks adalah seperangkat kalimat yang terjalin satu sama lain, sedangkan discourse/ wacana adalah seperangkat kalimat yang digunakan untuk tujuan komunikatif dalam interaksi sosial (Widdowson, 1979: 90). Sementara itu pandangan yang kedua beranggapan bahwa wacana dan teks itu pada dasarnya sama. Menurut Teun Van Dijk (dalam Lubis, 1993: 21), teks sama dengan discourse, yaitu
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
kesatuan dari beberapa kalimat satu dengan yang lain yang terikat dengan erat. Senada dengan Dijk, Halliday dan Hasan (1976: 1) menyebut wacana text (teks). Disebutkannya bahwa sebuah teks adalah kumpulan sejumlah unsur bahasa, baik lisan maupun tulisan, yang secara semantik merupakan satu kesatuan bentuk dan makna. Teks adalah bahasa yang berfungsi, yaitu bahasa yang sedang melakukan tugas tertentu dalam konteks situasi tertentu (Halliday dan Hasan, 1992: 13). Halliday dan Hasan tidak membedakan konsep teks dan wacana secara tajam. Memang, dikatakannya bahwa wacana cenderung panjang, sedangkan teks dapat singkat, seperti pada tanda “Pintu darurat”.
3.2 Kohesi Kohesi menurut Samsuri (1987: 68) adalah keserasian hubungan struktural lahir antara ujaran yang satu dengan yang lain. Sementara itu Sumarlam, dkk (2003: 23) mendefinisikan kohesi sebagai pertautan bentuk. Sedangkan Halliday dan Hasan (1976: 4) menjelaskan bahwa kohesi adalah suatu konsep semantik yang mengacu kepada hubungan makna yang ada dalam suatu wacana yang ditandai dengan penggunaan alat-alat kohesi seperti substitusi, konjungsi, dan lain-lain. Kohesi dapat terjadi saat unsur dalam sebuah teks saling berkaitan (berhubungan), saling menjelaskan satu sama lain, dan mengacu pada hal yang sama sehingga memungkinkan suatu wacana menjadi terpadu dalam suatu kesatuan gagasan. (Halliday dan Hasan, 1976: 10). Perhatikan contoh di bawah ini “Wash and core six cooking apples. Put them into a fireproof dish” (Halliday dan Hasan, 1976: 2). Interpretasi makna them pada kalimat kedua hanya dapat dilakukan dengan mengaitkannya dengan kalimat pertama. Berdasarkan hubungan kedua kalimat tersebut diketahui bahwa them pada kalimat kedua mengacu kepada six cooking apples. Kohesi sangat diperlukan di dalam sebuah wacana atau teks, karena dengan kohesi, sebuah wacana atau teks akan dengan mudah dipahami oleh pembaca. Ada beberapa cara untuk membuat teks atau wacana memiliki kohesi. Moeliono (dalam Suladi, dkk, 2000: 14) mengajukan tiga metode untuk mencapai kohesi (perpautan bentuk), yaitu a) kata atau frasa peralihan, b) pengulangan kata
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
yang penting, dan c) pengacuan dengan kata ganti. Namun demikian, ternyata kohesi saja tidaklah cukup untuk membuat suatu wacana atau teks dapat dipahami dengan baik. Oleh sebab itu dibutuhkan satu unsur tambahan lagi, yaitu koherensi, agar sebuah wacana atau teks tersebut dapat dipahami dengan baik oleh pembaca. Mengenai kohesi, Halliday dan Hasan (1976) mengklasifikasi kohesi secara garis besar berdasarkan dua hal. Pertama, berdasarkan pilihan bentuk yang digunakan, kohesi dapat diklasifikasikan ke dalam dua bagian: (1)
kohesi gramatikal, yaitu hubungan yang kohesif yang dicapai dengan penggunaan elemen dan aturan gramatikal, meliputi referensi, substitusi, elipsis, dan konjungsi.
(2) kohesi leksikal, yaitu efek kohesif yang dicapai melalui pemilihan kata, meliputi reiterasi dan kolokasi. Kedua, berdasarkan asal (nature) hubungannya, kohesi diklasifikasikan lebih jauh berdasarkan tiga hal, yaitu: (1) keterkaitan bentuk (2) keterkaitan referensi (3) keterkaitan semantik
3.3 Referensi Referensi dalam pandangan lama adalah hubungan antara kata dan bendanya. Misalnya kata kursi mengacu pada benda yang berfungsi sebagai tempat duduk, berkaki empat, terbuat dari kayu, besi, atau bambu dan seterusnya (Pranowo, 2002: 77). Sementara itu Nunan dalam bukunya yang berjudul Introduction Discourse Analysis (1993: 123) menjelaskan bahwa referensi adalah “Those cohesive devices in a text that can only be interpreted with reference either to some other part of the text or to the world experienced by the sender or receiver of the text”. Referensi adalah alat kohesi dalam sebuah teks yang hanya bisa ditafsirkan maknanya dengan menunjuk kembali pada bagian teks yang lain atau pada dunia yang dialami oleh pengirim atau penerima pesan dalam teks. Halliday dan Hasan (1976) membagi referensi menjadi dua jenis, yaitu eksofora dan endofora.
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
(1) Referensi eksofora atau referensi situasional adalah pengacuan terhadap antiseden yang terdapat di luar bahasa (ekstratekstual), seperti manusia, hewan, alam sekitar pada umumnya, atau suatu peristiwa. Contoh For he’s jelly good fellow And so say all of us (Halliday dan Hasan, 1976: 32). Contoh di atas adalah referensi eksofora, karena dalam teks tersebut (berbentuk lagu) tidak dijelaskan siapa yang diacu oleh he. He berubah-ubah tergantung situasi pada saat lagu tersebut dinyanyikan. Jadi, contoh tersebut adalah referensi eksofora yang terikat dengan konteks situasi. (2) Referensi endofora atau referensi tekstual adalah pengacuan terhadap anteseden yang terdapat di dalam teks (intratekstual). Pengacuan dan yang diacu adalah koreferensial (Arifin dan Rani, 2000: 82). Dalam kedua jenis referensi tersebut, referen atau acuan harus dapat diidentifikasi. Contoh (a) Nauval hari ini tidak masuk sekolah. (b) Ia ikut ibunya pergi ke Surabaya (Arifin dan Rani, 2000: 84). Contoh di atas merupakan referensi endofora. Hal ini ditunjukkan oleh kata Ia pada kalimat (b) mengacu pada anteseden yang berada di dalam teks, yaitu kata Nauval pada kalimat (a). Di dalam analisis wacana, Arifin dan Rani (2000: 82-83) menganggap referensi itu sebagai tindak tanduk si penutur. Dengan kata lain, referensi dari sebuah kalimat sebenarnya ditentukan oleh si penutur. Mitra tutur hanya dapat menduga apa yang yang direferensikan oleh si penutur. Dugaan mitra tutur ini terkadang benar dan terkadang salah. Contoh Yang merah yang aku senangi! (Arifin dan Rani, 2000: 28).
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
apa yang dimaksud dengan yang merah pada tuturan ini hanya dapat ditafsirkan dengan melihat tuturan sebelumnya, misalnya Baju warna apa yang kamu sukai?, sehingga jelaslah bahwa yang dimaksud dengan yang merah adalah baju. Akan tetapi jika ada kalimat: Ton, di lemari ada celana, kemeja, rok, dan jilbab. Itu boleh kamu pakai (Arifin dan Rani, 2000: 28). Jelaslah bahwa maksud itu dalam kalimat tersebut adalah celana dan kemeja, dan bukan rok dan jilbab karena dari pengetahuan tentang dunia bahwa Tono sebagai laki-laki tidak mungkin memakai busana rok dan jilbab. Jadi, di samping hubungan antarkalimat, pengetahuan ‘tentang dunia’ ini pun juga menentukan referensi itu sekaligus menentukan makna tuturan. Halliday dan Hasan membagi alat kohesi referensi menjadi tiga jenis, yaitu:
3.3.1 Referensi Persona Referensi persona adalah penunjukan kembali fungsi atau peran dalam situasi ujaran dengan menggunakan kategori persona (Halliday dan Hasan, 1976: 37). Referensi persona diekspresikan melalui pronomina dan determinator (pewatas). Hal ini digunakan untuk mengidentifikasi orang dan objek yang disebutkan dalam suatu titik dalam teks (Nunan, 1993: 23). Pronomina dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah dama:?iru/(jm)
ﺍﻟﻀﻤﲑ
ﺍﻟﻀﻤﺎﺋﺮ
/al-
/al-dami:r/ (tg), yaitu pronomina yang digunakan untuk
menyebut pembicara, lawan bicara, dan yang dibicarakan.(Ghalayini, 1973: 116). Dalam prakteknya, Bawani (1987: 62) mengatakan, dami:r (pronomina persona) itu bukan sekedar untuk menggantikan nama orang atau jenis manusia saja, melainkan juga untuk jenis hewan, tumbuh-tumbuhan, bahkan benda-benda lain pada umumnya. Adapun ketentuannya sama saja, yakni dengan menyesuaikan jenis mudzakkar (maskulin) maupun muannatsnya (feminin), demikian pula mengenai mufrod (tunggal), mutsanna (dual) atau jamaknya. Sebagai contoh:
ﺍﳌﺴﺠﺪ/al-masjidu/ ‘masjid’, dami:rnya adalah pronomina persona ketiga tunggal
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
maskulin
ﻫﻮ
/huwa/ ‘dia’, sedang
ﺍﳌﺪﺭﺳﺔ
/al-madrasatu/ ‘sekolah’, dami:rnya
adalah pronomina persona ketiga tunggal feminin ﻫﻲ/hiya/ ‘dia’. Melihat penjelasan di atas mengenai dami:r (pronomina persona), bagaimana jika ada dua benda atau lebih campuran antara jenis mudzakkar (maskulin) dan muannats (feminin)?. Dalam hal ini, maka dami:rnya mengikuti ketentuan jenis mudzakkar (maskulin). Sebagai contoh kata ﻭﻋﺎﺋﺸﺔ ‘a:isyatu/ ‘Ali dan Aisyah’, dami:rnya adalah
ﳘﺎ
/huma/,
ﻋﻠﻲ/’aliyyu wa sedangkan ﺍﳌﺴﻠﻤﻮﻥ
ﻭﺍﳌﺴﻠﻤﺎﺕ/al-muslimu:na wa al-muslima:tu/ ‘beberapa lelaki muslim dan beberapa wanita muslim’, dami:rnya adalah ﻫﻢ/hum/ dan bukan ﻫﻦ/hunna/, demikian seterusnya. Dami:r yang nyata wujudnya (ba:riz) terbagi menjadi dua jenis, yaitu
ﺍﻟﻀﻤﲑ ﺍﳌﻨﻔﺼﻞ
/al-dami:r al-munfasil/ dan
ﺍﻟﻀﻤﲑ ﺍﳌﺘﺼﻞ
/al-dami:r al-muttasil/
(‘Aqil, 1992: 53). Berikut ini penjelasannya: a. Pronomina persona independen atau
ﺍﻟﻀﻤﲑ ﺍﳌﻨﻔﺼﻞ/al-dami:r al-munfasil/,
yaitu pronomina berupa morfem-morfem bebas yang ditulis sebagai satu kata terpisah. Pronomina persona independen itu dapat menduduki kasus nominatif (marfu) jika kata ganti tersebut berfungsi sebagai subyek, selain itu dapat pula menduduki kasus akusatif (mansub) jika kata ganti tersebut berfungsi sebagai obyek langsung. Contoh (1)
ﳓﻦ ﻧﻌﺮﻑ ﺍﻟﻮﺍﺟﺐ /nahnu na’rifu al-wa:jiba/ ‘Kami mengetahui tugas’
(2)
ﺎﻙﻣﺎ ﺃﻛﺮﻡ ﺍﳌﻌﻠﹼﻢ ﺇﻻﹼ ﺇﻳ /ma: ?akrama al-mu’allimu ?illa ?iyya:ka/ ‘Guru hanya menghormati kamu’ (‘Alī al-Jārim dan Amin, tt).
Dalam contoh (1)
ﳓﻦ/nahnu/ ‘kami’ adalah pronomina persona pertama
jamak independen baik maskulin maupun feminin, yang berkasus nominatif, sedangkan dalam contoh (2)
ﻳﺎﻙﺇ
/?iyya:ka/ ‘kamu’ adalah
pronomina persona kedua tunggal maskulin independen, yang berkasus akusatif.
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
Sebagai gambarannya, perhatikan tabel dibawah ini: Jumlah
Tunggal
Dual
Jamak
Persona M1F1
?ana:
mأ
nahnu
tm
M2
?anta
mأ
?antuma:
umأ
antum
mأ
F2
?anti
mأ
?antuma:
umأ
antunna
ّmأ
M3
huwa
ه
huma:
uه
hum
ه
F3
hiya
ه
huma:
uه
hunna
ّه
Tabel 3.1 Pronomina Persona Independen berkasus nominatif (Holes, 2005: 145)
Jumlah
Tunggal
Dual
Jamak
Persona M1F1
?iyya:ya
إ
ّي
M2
?iyya:ka
إ
ّك
?iyya:kuma: uإ
ّآ
?iyya:kum
F2
?iyya:ki
ّ
إ
?iyya:kuma: uإ
ّآ
?iyya:kunna ّإ
ّآ
M3
?iyya:hu
ّ
إ
?iyya:huma: uإ
ّه
?iyya:hum
F3
?iyya:ha:
?iyya:huma: uإ
ّه
?iyya:hunna ّإ
ّه
إ
ّه
?iyya:na: mّ
إ إ
ّآ
إ
ّه
Tabel 3. 2 Pronomina Persona Independen berkasus akusatif (‘Aqil, 1992: 59-60)
b. Pronomina persona dependen atau
ﺍﻟﻀﻤﲑ ﺍﳌﺘﺼﻞ
/al-dami:r al-muttasil/,
yaitu dami:r (pronomina) yang terikat (Bawani, 1987: 126-127). Dikatakan demikian karena dami:r tersebut harus selalu dirangkaikan atau dihubungkan dengan kata yang lain sebelumnya. Jadi, dami:r al-muttasil itu tidak dapat berdiri sendiri, karena harus terikat dengan kata yang mendahuluinya. Oleh karena itu, dami:r al-muttasil selalu berada di bagian belakang suatu kata. Dami:r al-muttasil adakalanya dapat terikat dengan isim (kata benda), fi’il (kata kerja), dan bahkan bisa pula dengan harf (partikel). Melihat bentuknya, Nasr (1967) membagi dami:r al-muttasil
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
menjadi dua, yaitu dami:r al-muttasil tunggal dan dami:r al-muttasil ganda. Dami:r al-muttasil tunggal dapat terjadi jika hanya satu dami:r almuttasil yang terikat pada kata lain, seperti: (3)
ﲰﻌﺖ /sami’tu/ ‘Saya telah mendengar’ (Nasr, 1967).
Dalam contoh (3), dapat dilihat hanya ada sebuah pronomina persona pertama tunggal baik maskulin maupun feminin dependen, yaitu
…|ﺕ/
…tu/ yang terikat pada verba. Sedangkan disebut dami:r al-muttasil ganda jika terdapat dua dami:r atau lebih sekaligus yang terikat pada kata lain, seperti: (4)
ﺿﺮﺑﺘﻪ /dharabtuhu/ ‘Saya telah memukulnya’ (Nasr, 1967).
Dalam contoh (4), terdapat dua pronomina persona dependen, yaitu …| ﺕ /…tu/ sebagai pronomina persona pertama tunggal baik maskulin maupun feminin dependen dan
ﻩ
|… /…hu/ sebagai pronomina persona ketiga
tunggal maskulin dependen, yang terikat pada sebuah verba sekaligus. Dami:r al-muttasil ini dapat menduduki kasus nominatif (marfu), akusatif (mansub), dan genitif (majrur), seperti: (5)
ﺭﺃﻳﺖ ﺍﻟﻘﻄﺮ /ra?aitu al-qithara/ ‘Saya melihat kereta’
(6)
ﺍﻟﻐﻼﻣﺎﻥ ﻳﻨﻈﺮﺍﻥ ﺃﺑﺎﳘﺎ /al-gula:ma:ni yandzura:ni ?aba:huma:/ ‘Dua anak kecil sedang menanti ayahnya’ (Anam, 2000: 139)
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
(7)
ﻳﺬﻫﺐ ﺃﲪﺪ ﻣﻌﻲ /yadzhabu ?ahmadu ma’iy/ ‘Ahmad sedang pergi denganku’
Pada contoh (5) terdapat pronomina persona pertama tunggal baik maskulin maupun feminin dependen
ﺕ
/tu/ ‘saya’ yang berkasus
nominatif. Sementara itu, pada contoh (6), terdapat pronomina persona ketiga dual baik maskulin maupun feminin dependen
ﳘﺎ
/huma:/ ‘mereka
berdua’ yang berkasus akusatif. Sedangkan pada contoh (7), terdapat pronomina persona pertama tunggal baik maskulin maupun feminin dependen ﻱ/iy/ ‘-ku’ yang berkasus genitif. Pronomina jenis ini digambarkan sebagai berikut:
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
Tabel 3.3 Bentuk-Bentuk Pronomina Persona Dependen Berkasus Nominatif Jenis Maskulin Feminin sا
qّ¡آusا
¢m£usا
/al-jinsu/
/al-mudzakkaru/
/al-mu?annatsu/
Orang
Pertama
Kedua
/al-syakhsu/
/almutakall imu/
/almukha:th abu/
ّ¦§usا
¥usا
¤¥sا Jumlah
Ketig a /alga:?i bu/
Pertama
Kedua
Ketiga
/almutakalli matu/
/almukha:tha batu/
/alga:?ib atu/
ªuّ¦§usا
ªr«¥usا
ªr¨©sا
/tu/
/ti/
-
ُ…ت
ِ…ت
-
u...
...
/tuma:/
/ta:/
¨©sا
دxsا /al-‘adadu/ Tungga l
V Md
/tu/
/ta/
-
ُ…ت
َ…ت
V Md
-
u...
ا. ..
/tuma:/
/a:/
V Md
m
....
وُا.....
m ....
ّ ...
ن....
/na:/
/tum/
/u:/
/na:/
/tuna/
/na/
دqusا /almufrad u/ Dual ّ¬usا /almutsan na:/ Jamak ®u sا /aljam’u/
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
Tabel 3.4 Bentuk-Bentuk Pronomina Persona Dependen Berkasus Akusatif Jenis Maskulin Feminin sا
qّ¡آusا
¢m£usا
/aljinsu/
/al-mudzakkaru/
/al-mu?annatsu/
Orang
Pertama
/alsyakhsu/
/almutakalli mu/
¤¥sا Jumlah
ّ¦§usا
Kedua
Ketig a
Pertama
/al/almukha:tha /almutakallim ga:?ib bu/ atu/ u/ ¥usا ªuّ¦§usا ¨©sا
Kedua
Ketiga
/almukha:thab atu/
/alga:?iba tu/
ªr«¥usا
ªr¨©sا
دxsا /al‘adadu/ Tunggal دqusا
m...
ك...
...
m ...
ك...
ه...
/almufradu /
/ni:/
/ka/
/hu/
/ni:/
/ki/
/ha:/
_
u آ...
u ه...
_
u آ...
u ه...
/kuma:/
/huma :/
/kuma:/
/huma:/
Dual ّ¬usا /almutsann a:/ Jamak ®u sا
m
آ...
ه...
m ...
ّ آ...
ّه
/aljam’u/
/na:/
/kum/
/hum/
/na:/
/kunna/
/hunna/
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
Tabel 3.5 Bentuk-Bentuk Pronomina Persona Dependen Berkasus Genitif Jenis Maskulin Feminin sا
qّ¡آusا
¢m£usا
/aljinsu/
/al-mudzakkaru/
/al-mu?annatsu/
Orang
Pertama
/alsyakhsu/
/almutakalli mu/
¤¥sا
ّ¦§usا
Jumlah
Kedua
Ketig a
Pertama
/al/almukha:tha /almutakallim ga:?ib bu/ atu/ u/ ¥usا ªuّ¦§usا ¨©sا
Kedua
Ketiga
/almukha:thab atu/
/alga:?iba tu/
ªr«¥usا
ªr¨©sا
دxsا /al‘adadu/ Tunggal دqusا
ْ ي...
ك...
...
ْي...
ك...
ه...
/almufradu /
/iy/
/ka/
/hu/
/iy/
/ki/
/ha:/
-
u آ...
u ه...
-
u آ...
u ه...
/kuma:/
/huma :/
/kuma:/
/huma:/
Dual ّ¬usا /almutsann a:/ Jamak ®u sا
m
آ...
ه...
m ...
ّ آ...
ّه
/aljam’u/
/na:/
/kum/
/hum/
/na:/
/kunna/
/hunna/
Catatan: Bentuk ْ ى/iy/, ُ /hu/, َu ُه/huma:/, ْ ُه/hum/, n ُه/hunna/, jika bertemu dengan partikel /fi:/, ¦° /’ala:/, dan s إ/?ila:/ maka berubah menjadi n ى/ya/, ِ /hi/, َu ِه/hima:/, ْ ِه/him/, n ِه/hinna/
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
Selain kedua dami:r di atas tadi, di dalam bahasa Arab juga dikenal dami:r yang tersembunyi, yang dinamakan
ﺍﻟﻀﻤﲑ ﺍﳌﺴﺘﺘﺮ/al-damir al-mustatir/ atau kata
ganti yang tidak tampak (Bawani, 1987: 136). Dikatakan demikian karena, dami:r mustatir ini wujudnya melekat pada verba, sehingga tidak nampak jelas seperti
ﺿﺮﺏ/dharaba/ ‘memukul’, mengandung dami:r mustatir yang kalau diwujudkan ialah ﻫﻮ/huwa/ , kata ﺿﺮﺑﺎ /dharaba:/ mengandung dami:r mustatil ﳘﺎ/huma:/, kata ﺿﺮﺑﻮﺍ/dharabu:/ mengandung dami:r mustatir ﻫﻢ/hum/. dami:r muttasil dan dami:r munfasil. Misalnya kata
Alat referensi persona yang digunakan menurut pembagian yang dilakukan Halliday dan Hasan (1976) sebagai berikut: A. Pronomina Persona (Personal Pronoun) Pronomina persona merupakan bentuk pronomina yang menunjuk kepada orang atau benda. Bentuk pronomina ini terdiri atas pronomina yang mengacu kepada kelompok partisipan (speech roles/speaker – addressee), yaitu orang-orang yang terlibat langsung dalam proses komunikasi, dan pronomina persona yang mengacu kepada kelompok di luar partisipan (other roles/other than participants), yaitu orang-orang atau obyek yang tidak terlibat langsung dalam proses komunikasi. Kelompok yang terakhir ini disebut juga kelompok yang dibicarakan (being narrated) oleh kelompok partisipan (Halliday dan Hasan 1976, 43-50). Bentuk pronomina persona yang dipakai untuk menunjuk kepada kelompok pertama, dalam bahasa Inggris adalah I, you, we, me, dan us, sedangkan untuk menunjuk kepada kelompok kedua, pronomina persona yang dipakai adalah he, she, they, it, one, him, her, dan them. Contoh: A. My husband and I are leaving. We have seen quite enough of this unpleasantness (Halliday dan Hasan, 1976: 50). B. John has moved to a new house. He had it built last year (Halliday dan Hasan, 1976: 54). Contoh (A) merupakan referensi endofora. Hal ini ditunjukkan oleh kata we, pada contoh (A), mengacu pada kata my husband dan I. Sedangkan
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
pada contoh (B) merupakan referensi endofora, hal ini ditunjukkan oleh kata it, pada contoh (B), mengacu pada kata house. Sementara itu dalam bahasa Arab, pronomina persona disebut alSyakhsu. Di bawah ini klasifikasi pronomina persona menurut Ghalayini (1973: 116) : a. Persona pertama (al-mutakallim): bertindak sebagai pembicara. b. Persona kedua (al-mukha:tab): bertindak sebagai lawan bicara. c. Persona ketiga (al-ga:?ib): merupakan yang dibicarakan. B. Pronomina Posesif (Possesive Pronoun) Pronomina posesif adalah pronomina persona penanda milik yang dapat berdiri sendiri. Dalam bahasa Inggris, misalnya mine, my, yours, his, her, ours, dan theirs. Dalam bahasa Arab tidak terdapat pronomina posesif yang berdiri sendiri sebagai sebuah bentuk tunggal. Namun, pronomina posesif dalam bahasa Arab dapat dibentuk melalui konstruksi
ﺍﻹﺿﺎﻓﺔ
/al-?ida:fah/. Dalam
konstruksi ini, pronomina diimbuhkan sebagai klitika pada nomina, dan ia disebut sebagai frasa nominal yang bermakna posesif (Holes, 1995: 166-167). Pronomina posesif juga dapat dibentuk dari struktur yang diawali oleh preposisi tertentu yang secara semantis memiliki makna kepemilikan seperti ﻝ /li:/,
ﻟﺪﻯ
/lada:/, dan
ﻋﻨﺪﻯ
/’indi:/. Konstruksi seperti ini menjadi frasa
preposisional posesif. Pronomina posesif dalam kedua bentuk ini selalu berkasus genitif. Contoh
ﻋﻨﺪﻱ ﺩﻳﻨﺎﺭ ﻭﺍﺣﺪ /’indi: di:na:ran wa:hidan/ ‘saya memiliki satu dinar’ (Wher, 1980: 648). Contoh di atas terdapat pemakaian pronomina posesif, yaitu /’indi:/ ‘saya memiliki’, yang mengacu pada
ﺩﻳﻨﺎﺭ ﻭﺍﺣﺪ
ﻋﻨﺪﻱ
/di:na:ran wa:hidan/
‘satu dinar’.
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
3.3.2 Referensi Demonstrativa Referensi demonstrativa adalah referensi yang mengacu suatu tempat dalam skala jarak. Pada dasarnya ia merupakan suatu bentuk penunjukan lokasi secara verbal. Pembicara mengidentifikasi acuan dengan menempatkannya pada skala tertentu (Halliday dan Hasan, 1976: 57). Nunan (1993: 23) mengutip Halliday dan Hasan mengatakan bahwa referensi demonstrativa diekspresikan oleh determinator dan adverbia. Kedua hal tersebut dapat mewakili satu kata tunggal, frasa, bahkan teks yang panjangnya terdiri dari beberapa paragraf atau halaman. Pronomina demonstrativa adalah demonstrativa yang digunakan untuk menggantikan nomina (Kridalaksana, 1993: 179). Lyons (1979) berpendapat bahwa dalam pronomina demonstrativa terdapat komponen ketentuan, yaitu yang ini dan yang itu seperti halnya dalam pronomina persona. Dalam pronomina ini terdapat pula komponen berjarak dan tidak berjarak yang menunjukkan sesuatu yang dekat maupun yang jauh (Arifin dan Rani, 2000: 86).
ﺃﲰﺎﺀ ﺃﲰﺎﺀ ﺍﻹﺷﺎﺭﺓ
Dalam bahasa Arab, pronomina demonstrativa diistilahkan dengan
ﺍﻹﺷﺎﺭﺓ
/?asma:?-u al-?isya:rat-i/. Menurut Ghalayini (1973: 128),
/?asma:?-u al-?isya:rat-i/ adalah kata yang digunakan untuk menunjuk hal tertentu melalui penunjukan secara inderawi dengan menggunakan tangan atau sejenisnya jika hal yang ditunjuk atau diacu hadir, maupun dengan menggunakan isyarat secara maknawi jika acuan bersifat abstrak. Seperti halnya pronomina persona, pronomina demonstrativa bahasa Arab mengenal jenis dan jumlah. Perhatikan tabel berikut: Jumlah
Tunggal
Penunjuk Dekat
Penunjuk Jauh
Maskulin
Feminin
Maskulin
Feminin
ذا
ذي
ذاك
¦
/dza/
/dzi:/
/dza:ka/
/tilka/
ه¡ا
ه¡ي
sذ
/ha:dza:/
/ha:dzi:/
/dza:lika/
¡ه
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
/ha:dzihi:/
Dual
Jamak
ذان – ذ
w – ن
– ذmذا
w – m
/dzaini-dza:ni/
/taini –ta:ni/
¡ه¡ان – ه
wهن – ه
/dzainikadza:nika/
/tainikata:nika/
/ha:dzainiha:dza:ni/
/ha:tainiha:ta:ni/ ء±أو
²sأو
/?u:la:?i/
/?u:la?ika/
ء±£ه /ha?ula:?i/ ه
هك
/huna:/
/huna:ka/ sه
Petunjuk
/huna:lika/
tempat
هه
ّ³
/ha:huna:/
/tsamma/ ªّu³ /tsammah/
Tabel 3.6. Pronomina Demonstrativa (Dayyab, 2004: 194-195)
Referensi demonstrativa menurut Halliday dan Hasan dibagi ke dalam tiga jenis: A. Referensi Demonstrativa Netral Referensi demonstrativa netral adalah referensi yang digunakan untuk menunjuk nomina (persona atau non persona) yang telah dinyatakan sebelumnya untuk menunjuk kehadiran nomina tersebut. Referensi ini di dalam bahasa Inggris ditandai dengan penggunaan the (Halliday dan Hasan, 1976: 70-72). Referensi jenis ini ada yang bersifat endoforis dengan fungsi anaforis atau kataforis, dan ada pula yang bersifat eksoforis. Contoh
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
Last year we went to Devon for a holliday. The holliday we had there was the best we’ve ever had (Halliday dan Hasan, 1976: 73). Contoh di atas berfungsi anaforis ataupun kataforis karena the holliday di sini selain mengacu kepada a holliday yang telah disebutkan, juga mengacu kepada the best we’ve ever had. Mengenai referensi demonstrativa netral the, Halliday dan Hasan mengemukakan empat penggunaan, yaitu: (a) The digunakan pada situasi tertentu, seperti pada “Don’t go, the train’s coming”. The bersifat eksoforis karena dalam hal ini pembicara dan pendengar sama-sama telah mengetahui benda yang dimaksud. Kata benda yang dimaksud tersebut telah takrif (definite). (b) The digunakan dengan benda-benda tertentu. Dalam hal ini telah menjadi bagian dari kesepakatan masyarakat pemakai bahasa Inggris untuk menyebut benda yang bersangkutan dengan the. Contohnya adalah the sun, the moon. The di sini juga bersifat eksoforis. (c) Penggunaan the yang bersifat endoforis dengan fungsi kataforis tampak pada contoh berikut: the ascent of Mount Everest, the party in power. (d) Penggunaan the yang bersifat endoforis dengan fungsi anaforis seperti pada: A man came up to a policeman and asked him a question. The policeman didn’t understand the question, so he asked the man to repeat it (Swan, 1980: 69). Sementara ini di dalam bahasa Arab, jenis referensi ini ditandai dengan penggunaan
ﺍﻝ
/al/, yang pada dasarnya memiliki makna yang
sama dengan ‘the’. Contoh
ﻓﺄﻛﺮﻣﺖ ﺍﻟﻀﻴﻒ. ﺟﺎﺀﱐ ﺿﻴﻒ /ja;ani: dhayfun fa?akramtu adh-dhayfa/ ‘Seorang tamu mengunjungiku. Aku lalu memuliakan tamu tersebut’ (Ghalayini, 1973: 150).
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
Pada contoh di atas terdapat pemakaian
ﺿﻴﻒ
ﺍﻝ/al/ yang melekat pada
/dhayfun/ ‘tamu’ dan berfungsi sebagai referensi demonstrativa
netral. Pemakaian ﺍﻝ/al/ tersebut digunakan untuk menyebut kembali ﺿﻴﻒ /dhayfun/ yang telah disebutkan sebelumnya dalam ujaran. B. Referensi Demonstrativa Selektif Referensi
demonstrativa
selektif
dipakai
dengan
mempertimbangkan skala jauh-dekat dari penyapa dan juga berdasarkan tunggal atau jamak. Pada umumnya referensi demonstrativa selektif bersifat endoforis dengan fungsi anaforis ataupun kataforis. Berikut contoh-contoh kalimat: a. Referensi demonstratif selektif bersifat endoforis dengan fungsi anaforis: A: “I’ve ordered two turkeys, a leg of lamb, some cooked ham and tounge, and two pound of minced beef.” B: “whatever are you going to do with all that food?” (Halliday dan Hasan, 1976: 62). Pada contoh di atas, demonstratif that diikuti oleh sebuah nomina (food). Hal ini berarti bahwa makna that tersebut identik dengan benda yang mengikutinya. Maka dari itu that bersama-sama dengan food mengacu kepada two turkey, a leg of lamb, some cooked ham and tounge, and two pounds of minced beef. b. Referensi demonstratif selektif yang bersifat endoforis dengan fungsi kataforis: This is what worries me: I can’t get any reliable information (Halliday dan Hasan, 1976: 70). Pada contoh (b) terlihat pemakaian kata demonstratif, yaitu this. Kata this mengacu pada anteseden I can’t get any reliable information, yang berada di sebelah kanan. Referensi demonstratif juga dapat mengacu kepada teks yang diperluas (extended) (Halliday dan Hasan, 1976: 66). Dalam kalimat they
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
broke a chinese vase and damaged two chandeliers. That was all very careless. That di sini tidak lagi hanya mengacu kepada broke a chinese vase, tetapi juga mengacu kepada damaged two chandeliers. Oleh sebab itu, that dikatakan mengacu kepada teks yang diperluas. Di dalam bahasa Arab, penggunaan referensi demonstrativa selektif ini dibagi menjadi tiga pembagian yang sistematis:
ﻫﺬﻩ/hadzihi/ ‘ini’, ﻫﺬﺍﻥ /hadza:ni/ ‘ini(m)’, ﻫﺎﺗﺎﻥ/ha:ta:ni/ ‘ini (f)’, ﻫﺆﻻﺀ/ha?ula:?i/ ‘itu’; dan ‘tidak dekat’ yaitu: ﺫﻟﻚ/dzalika/ ‘itu’, ﺗﻠﻚ/tilka/ ‘itu’, ﺫﺍﻧﻚ/dza:nika/ ‘itu’, ﺗﺎﻧﻚ/ta:nika/ ‘itu’, ﺃﻭﻟﺌﻚ/?u:la:?i/ ‘itu’. (1) antara ‘dekat’, yaitu:
ﻫﺬﺍ
/hadza:/ ‘ini’,
Contoh (a)
ﻫﺬﺍ ﻛﺘﺎﺏ /hadza: kita:bun/ ‘ini sebuah kitab’
(b)
ﺗﻠﻚ ﻣﺴﻄﺮﺓ /tilka mistharatun/ ‘itu sebuah penggaris’ (Anam, 2000: 8).
Contoh (a) terdapat pemakaian pronomina demonstrativa
ﻫﺬﺍ/hadza:/
‘ini’, yang digunakan untuk menunjuk orang atau benda yang berjarak dekat. Sedangkan contoh (b) terdapat demonstrativa
pemakaian pronomina
ﺗﻠﻚ/tilka/ ‘itu’, yang digunakan untuk menunjuk orang
atau benda yang berjarak jauh. (2) antara ‘tunggal’, yaitu: ﺗﻠﻚ/tilka/ ‘itu’,
ﺫﻟﻚ/dzalika/ ‘itu’, ﻫﺬﻩ /hadzihi/ ‘ini’, ﻫﺬﺍ/hadza:/ ‘ini’ ; dual, yaitu: ﻫﺬﺍﻥ/hadza:ni/ ‘ini’, ﺗﺎﻧﻚ /ta:nika/ ‘itu’, ﺫﺍﻧﻚ/dza:nika/ ‘itu’, ﻫﺎﺗﺎﻥ/ha:ta:ni/ ‘ini’ ; serta jamak, yaitu: ﻫﺆﻻﺀ/ha?ula:?i/ ‘itu’. Contoh (c)
ﺫﻟﻚ ﻛﺘﺎﺏ /dzalika kita:bun/ ‘itu sebuah kitab’
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
(d)
ﺗﺎﻧﻚ ﺷﺠﺮﺗﺎﻥ /ta:nika syajarata:ni/ ‘itu dua buah pohon’
(e)
ﻫﺆﻻﺀ ﺭﺟﺎﻝ /ha?ula:?i rija:lun/ ‘ini adalah para lelaki’ (Anam, 2000: 8).
Pada contoh (c), terlihat pemakaian pronomina demonstrativa
ﺫﻟﻚ
/dzalika/ ‘itu’, yang digunakan untuk menunjuk suatu benda tunggal ( ﻛﺘﺎﺏ/kita:bun/ ‘sebuah buku’). Sementara itu pada contoh (d),
ﺗﺎﻧﻚ/ta:nika/ ‘itu’, yang dual ( ﺷﺠﺮﺗﺎﻥ/syajarata:ni/
terlihat pemakaian pronomina demonstrativa digunakan untuk menunjuk suatu benda
‘dua buah pohon’). Sedangkan pada contoh (e), terdapat pemakaian pronomina demonstrativa ﻫﺆﻻﺀ/ha?ula:?i/ ‘itu’, yang digunakan untuk menunjuk banyak orang ( ﺭﺟﺎﻝ/rija:lun/ ‘para lelaki’). (3) antara pewatas atau modifikator dan inti. Kata tunjuk sebagai modifikator ditandai dengan penggunaan adjektiva demonstrativa sementara kata tunjuk sebagai inti ditandai dengan pronomina demonstrativa.
Modifikator
adalah
unsur
yang
membatasi,
memperluas, atau menyifatkan suatu induk dalam frase (Kridalaksana, 1993: 139). Contoh (f)
ﻫﺬﺍ ﻛﺘﺎﺏ /hadza: kita:bun/ ‘ini sebuah buku’ (Anam, 2000: 8).
(g)
ﻫﺬﺍ ﺍﳌﺴﺠﺪ ﻛﺒﲑ /hadza: al-masjidu kabi:run/ ‘masjid ini besar’ (Anam, 2000: 21).
Contoh (f) merupakan contoh penggunaan pronomina demonstrativa yang berfungsi sebagai inti, sedangkan contoh (g) merupakan contoh
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
penggunaan
pronomina
demonstrativa
yang
berfungsi
sebagai
modifikator. C. Referensi Demonstrativa Adverbia Referensi demonstrativa adverbial mengacu pada lokasi suatu proses dalam ruang dan waktu dalam situasi komunikasi. Seringkali demonstrativa adverbia mengacu pada teks yang lebih panjang dan bukan bermakna tempat melainkan ‘anggapan’. Referensi ini menggunakan kata yang menunjukkan keterangan tempat seperti dalam bahasa Arab ه /huna:/ dan هك/huna:ka/ dan keterangan waktu seperti مws ا/al-yawm-a/. Contoh
ﺃﻛﺘﺐ ﺍﻟﺪﺭﺱ ﻫﻨﺎ /?aktubu ad-darsa huna:/ ‘saya menulis pelajaran di sini’ (Anam, 2000: 149). Contoh di atas, terdapat penggunaan pronomina demonstrativa adverbia, yaitu
ﻫﻨﺎ
/huna:/ ‘di sini’. Kata
ﻫﻨﺎ
/huna:/ ‘di sini’ pada kalimat di atas,
mengacu secara eksoforis pada seorang pelajar yang sedang mengerjakan tugas di buku. 3.3.3 Referensi Komparatif Referensi komparatif (perbandingan) merupakan salah satu jenis kohesi gramatikal yang bersifat membandingkan dua hal atau lebih yang mempunyai kemiripan atau kesamaan dari segi bentuk/wujud, sikap, sifat, watak, perilaku, dan sebagainya (Sumarlam, 2003: 27). Di dalam bahasa Indonesia, kata-kata yang digunakan untuk membandingkan misalnya seperti, bagai, bagaikan, sama, persis, identik, serupa, segitu rupa, selain, berbeda, dan sebagainya. Sebagai contoh, perhatikan teks dibawah ini yang mengandung pronomina komparatif. (a) Sudah dua tahun Ali ditinggal mati Sumiati. (b) Sekarang dia mendapat pacar baru. (c) Mirip benar wajahnya dengan Sumiati, gadis yang pernah dicintainya itu (Arifin dan Rani, 2000: 88).
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
Kata mirip pada kalimat (c) adalah pronomina komparatif dari Sumiati, gadis yang pernah dicintainya. Referensi komparatif dibagi menjadi dua jenis: a. Referensi Perbandingan Umum Referensi menyangkut
perbandingan kesamaan
umum
(identity),
adalah
perbandingan
kemiripan
(similarity),
yang dan
perbedaan (difference) (Halliday dan Hasan, 1976: 77). Alat-alat yang digunakan adalah apa yang disebut adjectives of comparison, dalam bahasa Inggris misalnya same, identical (untuk kesamaan), such, similar (untuk menunjukkan kemiripan), other, different (untuk menunjukkan perbedaan), dan adverbs of comparison, misalnya identically (untuk menunjukkan kesamaan), similarly, likewise (untuk menunjukkan kemiripan), differently, otherwise (untuk menunjukkan perbedaan). Contoh: The other squirrels hunted up and down the nut bushes; but Nutkin gathered robin’s pincushions off a briar bush, and stuck them full of pine needle pins (Halliday dan Hasan, 1976: 78). Contoh di atas merupakan referensi perbandingan umum yang menunjukkan perbedaan. Hal ini dapat terlihat dengan penggunaan kata other yang mengacu pada nutkin.
Gerald Middleton was a man of mildly but persistently depressive temperament. Such men are not at their best at breakfast (Halliday dan Hasan, 1976: 79). Contoh di atas merupakan referensi perbandingan umum yang menunjukkan kemiripan. Hal ini dapat terlihat dengan penggunaan kata such yang mengacu pada mildly but persistently depressive temperament. Bentuk Referensi ini ada yang bersifat endoforis dengan fungsi anaforis ataupun kataforis, dan ada pula yang bersifat eksoforis.
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
Contoh: A. We have received exactly the same report as was submitted two months ago (Halliday dan Hasan, 1976: 78). B. Would you prefer the other seats? (Halliday dan Hasan, 1976: 79). Contoh (A) berfungsi kataforis karena kata same merujuk pada anteseden was submitted two months ago, yang berada di sebelah kanannya. Sedangkan Contoh (B) bersifat eksoforis karena other seats mengacu kepada other than those you see here. Dalam bahasa Arab, referensi perbandingan umum menggunakan adjektiva dan adverbia yang menyatakan kesamaan atau perbedaan seperti ﺷﺒﻪ/syibhu/ ‘sama/serupa’,
ﻙ
/ka/ ‘seperti’,
ﻣﺜﻞ
/mitslu/
‘sama/serupa’.
ﺔ ﻣﺜﻞ ﺃﺟﻨﱯﻳﺘﻜﻠﹼﻢ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴ
/yatakallamu al-‘arabiyyata mitsla ?ajanabiyyin/
‘Dia berbicara bahasa Arab seperti bicara orang asing’ (Abboud, 1983: 563). Pada contoh di atas terdapat kata
ﻣﺜﻞ
/mitsla/ ‘seperti’ yang berfungsi
sebagai referensi perbandingan umum. Dalam hal ini, ‘seperti’ mengacu kepada ﺔﺍﻟﻌﺮﺑﻴ
ﻣﺜﻞ
/mitsla/
ﻳﺘﻜﻠﹼﻢ/yatakallamu al-‘arabiyyata/ ‘dia
berbicara bahasa Arab’.
ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺑﻼ ﻋﻤﻞ ﻛﺎﻟﺸﺠﺮ ﺑﻼ ﲦﺮ
/al-‘ilmu bila: ‘amalin ka-lsyajari bila: tsamarin/
‘Ilmu tanpa amal seperti pohon yang tidak berbuah’ (Muhammad, 1982: 225). Contoh di atas merupakan referensi perbandingan umum. Hal ini
ﻙ/ka/ ‘seperti’. ﻙ/ka/ pada kalimat tersebut mengacu pada ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺑﻼ ﻋﻤﻞ/alditandai dengan pemakaian alat referensi perbandingan, yaitu
‘ilmu bila: ‘amalin/ ‘ilmu tanpa amalan’.
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
b. Referensi Perbandingan Khusus Referensi perbandingan khusus didasarkan pada perbandingan kuantitas atau kualitas. Di dalam bahasa Inggris, untuk menunjukkan suatu teks yang mengandung perbandingan kuantitas digunakan numeratif seperti more dan many, sedangkan untuk menunjukkan perbandingan kualitas digunakan adjektiva perbandingan atau adverbia perbandingan. Contoh There are more things in heaven and earth, Horatio, than are dreamt of in your philosophy (Halliday dan Hasan, 1976: 82). Perbandingan dalam kalimat tersebut bersifat kuantitatif dan juga berfungsi kataforis karena kata more merujuk pada anteseden (the things that) are dreamt of in your philosophy, yang berada di sebelah kanannya. Apparently Brown resigned, when his proposal was rejected. -
I wish he could have acted less precipitately (Halliday dan Hasan, 1976: 83).
Perbandingan tersebut bersifat kualitatif dan berfungsi anaforis karena kata less merujuk pada anteseden resigned, yang terletak di sebelah kirinya. Untuk menyatakan perbandingan dalam bahasa Arab digunakan pola
ﺃﻓﻌﻞ
preposisi
/?af’alu/. Objek yang diperbandingkan ditandai dengan
ﻣﻦ
perbandingan
/min/ dan diterjemahkan menjadi ‘daripada’. Pola ini
selalu
dalam
bentuk
indefinit
serta
tidak
menunjukkan kesesuaian dalam jenis maupun jumlah, seperti:
ﺃﻗﺮﺏ, ﺃﲪﻞ, ﺃﻗﺪﻡ. contoh: ﺗﻌﻠﹼﻤﻨﺎ ﺃﻛﺜﺮ ﻣﻨﻜﻢ
/ta’allamna: ?aktsaru minkum/ ‘Kami belajar lebih banyak daripada kamu’ (Abboud, 1983: 342).
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
Contoh di atas adalah referensi perbandingan khusus yang bersifat kuantitatif dan berfungsi anaforis karena kata
ﺃﻛﺜﺮ ﻣﻦ
/?aksaru min/
‘lebih banyak dari’ mengacu pada ﺗﻌﻠﹼﻤﻨﺎ/ta’allamna:/ ‘kami belajar’. 3.3.4 Arah Acuan Berdasarkan arah acuan, referensi dibedakan menjadi dua macam yaitu anafora dan katafora. (1) Referensi anafora adalah salah satu kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain yang mendahuluinya, atau mengacu pada anteseden di sebelah kiri, atau mengacu pada unsur yang telah disebutkan terdahulu. Contoh Bu Mastuti belum mendapat pekerjaan, padahal dia memperoleh ijazah sarjananya dua tahun lalu (Alwi, et.al., 2000: 43). Contoh di atas merupakan referensi anafora karena terdapat pemakaian pronomina seperti dia yang merujuk pada anteseden Bu Mastuti yang berada di sebelah kirinya. (2) Referensi katafora adalah salah satu kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain yang mengikutinya, atau mengacu pada anteseden di sebelah kanan, atau mengacu pada unsur yang baru disebutkan kemudian (Indiyastini, 2006: 39). Contoh Setelah dia masuk, langsung Tony memeluk adiknya (Alwi, et.al., 2000: 43). Contoh di atas merupakan referensi katafora karena pada kalimat di atas terdapat pemakaian pronomina seperti dia yang merujuk pada anteseden Tony yang berada di sebelah kanannya.
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
3.4 Koherensi Koherensi adalah kepaduan hubungan maknawi antara bagian-bagian dalam wacana (Arifin dan Rani, 2000: 73). Wahab (1990: 60) menyatakan bahwa koherensi ialah suatu keadaan yang menunjukkan bahwa kalimat-kalimat yang berurutan dalam suatu wacana dianggap mempunyai kaitan satu sama lain, walaupun tidak ada tanda-tanda linguistik yang tampak. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya (tentang kohesi) bahwa sebuah wacana atau teks yang baik adalah yang memiliki hubungan kohesif dan koheren. Akan tetapi pada kenyataannya, dalam pemakaian bahasa sehari-hari, sering kita jumpai pemakaian bahasa di dalam sebuah teks atau wacana, yang hanya menggunakan satu unsur saja (kohesi saja atau koherensi saja), namun masih dapat kita pahami maksud teks atau wacana tersebut. Perhatikan contoh berikut ini: a. Listrik mempunyai banyak kegunaan. Orangtuaku berlangganan listrik dari PLN. Baru-baru ini tarif pemakaian listrik naik 25%, sehingga banyak masyarakat yang mengeluh. Akibatnya, banyak pelanggan listrik yang melakukan penghematan. Jumlah peralatan yang mennggunakan listrik sekarang meningkat. Alat yang banyak menyedot listrik adalah AC atau alat penyejuk udara. Di kantor-kantor sekarang penggunaan alat penyejuk udara itu sudah biasa saja, bukan barang mewah (Arifin dan Rani, 2000: 73). Contoh (a) di atas dapat dikatakan kohesif, karena menggunakan alat kohesi pengulangan, misalnya listrik yang diulang beberapa kali. Namun, paragraf tersebut tidak padu (tidak memiliki koherensi). Paragraf tersebut dapat digolongkan paragraf yang jelek, sebab bagian-bagian paragraf itu tidak mempunyai kepaduan hubungan maknawi. Bandingkan dengan paragraf yang padu di bawah ini. b. (1) Bahasa sehari-hari merupakan bahasa yang dipakai dalam pergaulan dan percakapan sehari-hari. (2) Pada umumnya bentuk bahasa yang dipakai sederhana dan singkat. (3) Kata-kata yang
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
digunakan pun tidak banyak jumlah dan ragamnya. (4) Katakata yang dipakai hanyalah kata-kata yang lazim dan umum dalam pergaulan sehari-hari, misalnya kata bilang, bikin, ngapain, ngerjain. (5) Kata itu hanya cocok dipakai dalam percakapan. (6) Sering juga kata-kata yang digunakan itu menyimpang dari pola kaidah yang benar, misalnya dibikin betul (dibetulkan), ngeliatin (melihat), belum liat (belum melihat). (7) Bahkan, lafalnya pun sering menyimpang, misalnya malem hari (malam hari), dapet (dapat), mas’alah (masalah) (Arifin dan Rani, 2000: 74). Bagian-bagian pada wacana (b) saling mempunyai kaitan secara maknawi, misalnya kalimat (2) merupakan penjelasan rinci kalimat (1). Wacana itu termasuk wacana yang padu, karena hampir setiap bagian kalimat berhubungan padu secara maknawi dengan bagian lain. Selain itu, wacana itu juga kohesif. Ada beberapa kata yang diulang (bahasa pada kalimat 1 dan 2 dan kata-kata pada kalimat 3, 4, dan 6) dan ada juga penggunaan penanda transisi yang menunjukkan hubungan kohesif (juga pada kalimat 6 dan bahkan pada kalimat 7). Jadi, wacana selain harus kohesif juga harus padu. Selain hal di atas, ada wacana yang mempunyai koherensi baik, tetapi tidak tampak hubungan kohesifnya. Contoh c. A: Ada telepon. B: Aku sedang mandi. A: Beres. (Arifin dan Rani, 2000: 74) Contoh wacana (c) yang berupa penggalan percakapan dapat dipahami. Dalam percakapan itu ada lompatan ide, tetapi lompatan itu tidak terasa (karena didukung oleh konteks). Pada penggalan percakapan itu, ide yang telah diketahui secara bersama (antara pembicara dan pendengar) tidak disebutkan lagi. Kalau penggalan percakapan itu direkonstruksi kira-kira menjadi berikut ini.
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
c1. A: Telepon berdering dan telah di angkat oleh A. A memberitahukan pada B bahwa ada seseorang mencari B. B: B tidak dapat menerima telepon karena dia sedang mandi. (B menyuruh secara tidak langsung untuk memberitahu pada penelepon bahwa B sedang mandi). A: A memahami alasan B. (Arifin dan Rani, 2000: 75) Dengan demikian tampak bahwa penggalan wacana percakapan (c) mempunyai koherensi yang baik. Namun, jika diperhatikan secara teliti, percakapan itu tidak mempunyai hubungan kohesif. Pada penggalan percakapan itu tidak terdapat alat kohesi yang menghubungkan antarbagian dalam percakapan itu. Sebaliknya, pada penggalan percakapan itu terdapat penghilangan bagianbagian yang dirasa sudah diketahui mitra tuturnya. Jadi jelas bahwa ada wacana yang mempunyai koherensi, tetapi tidak mempunyai hubungan kohesi. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk membuat sebuah wacana atau teks memiliki koherensi, misalnya menurut Rentel (dalam Arifin dan Rani, 2000: 75-78), koherensi dapat tercipta melalui kohesi. Menurutnya kohesi itu berfungsi untuk menghubungkan bagian-bagian teks sehingga sangat penting untuk menginterpretasikan sebuah teks dan membantu memahami makna ujaran atau kalimat. Selanjutnya koherensi dapat diciptakan dengan menggunakan bentuk-bentuk yang mempunyai hubungan parataksis dan hipotaksis. Hubungan parataksis itu dapat diciptakan dengan menggunakan pernyataan atau gagasan yang sejajar dan subordinatif, sedangkan hubungan hipotaktsis dapat diciptakan dengan mengungkapkan kondisional dan penambahan/kelanjutan. Koherensi wacana juga dapat dibentuk dengan menyusun ide-ide secara runtun, logis, dan tidak keluar dari topik pembicaraan. Menyusun ide secara runtun berarti menata ide-ide secara teratur, tidak melompat-lompat, sedangkan penyusunan secara logis berarti ide-ide itu disusun dengan cara yang dapat diterima oleh akal, misalnya ide disusun dari yang dekat ke yang jauh, dari yang dikenal ke yang belum dikenal, dari kanan ke kiri (sebaliknya). Penyusunan ide
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009
yang tidak keluar dari topik pembicaraan berarti ide-ide yang dipilih tidak menyimpang atau masih dalam ruang lingkup topik yang sedang dibicarakan. Sementara itu, ada juga pendapat lain yang menerangkan cara mencapai koherensi, seperti yang diungkapkan oleh Kramer. Kramer, dkk (1995: 89-93) mengungkapkan ada empat cara untuk mencapai koherensi, yakni (1) adanya frasa dan kata kunci yang diulang, (2) struktur gramatikal yang paralel. Maksudnya yakni memberikan penekanan adanya hubungan antarkalimat dan ide utama dalam paragraf (3) pemarkah transisional, (4) informasi lama mengawali informasi baru. Adapun yang dimaksud dengan informasi lama adalah informasi yang diasumsikan sudah pernah dibicarakan atau dimengerti oleh pembaca atau pendengar, sedangkan informasi baru merupakan informasi yang diasumsikan belum dibicarakan atau belum diketahui. Dari uraian tersebut tampak bahwa koherensi sangat penting di dalam wacana. Dengan perkataan lain (1) koherensi wacana dapat terjadi tanpa adanya pemarkah kohesi dan (2) koherensi wacana dapat pula terjadi dengan memanfaatkan pemarkah kohesi, menggunakan bentuk-bentuk yang mempunyai hubungan parataksis dan hipotaksis, dan sebagainya.
Universitas Indonesia Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009