BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (Notoatmodjo, 2005). Faktor – faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah : a. Usia Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. Kategori umur menurut Depkes RI (2009): 1. Masa balita
= 0 – 5 tahun
2. Masa kanak-kanak
= 5 – 11 tahun
3. Masa remaja awal
= 12 – 16 tahun
4. Masa remaja akhir
= 17 – 25 tahun
5. Masa dewasa awal
= 26 – 35 tahun
6. Masa dewasa akhir
= 36 – 45 tahun
7. Masa lansia awal
= 46 – 55 tahun
8. Masa lansia akhir
= 56 – 65 tahun
9. Masa manula
= 65 – sampai atas
4
5
b. Jenis kelamin Responden berjenis kelamin perempuan lebih banyak melakukan pengobatan sendiri secara rasional (Kristina dkk, 2008). c. Pendidikan Pendidikan dapat berkaitan dengan menyerap dan menerima informasi khususnya kesehatan serta kemampuan berperan serta dalam pembangunan kesehatan. Pendidikan dapat menambah wawasan atau pengetahuan seseorang. Secara umum, seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas sehingga lebih mudah menyerap dan menerima informasi, serta dapat ikut berperan aktif dalam
mengatasi
masalah
kesehatan
dirinya
dan
keluarganya
(Notoatmodjo, 2005). d. Pekerjaan Pekerjaan merupakan faktor yang mempengaruhi pengetahuan. Ditinjau dari jenis pekerjaan yang sering berinteraksi dengan orang lain lebih banyak pengetahuannya bila dibandingkan dengan orang tanpa ada interaksi dengan orang lain. Beberapa faktor sosiodemografi diketahui dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan dan rasionalitas penggunaan obat dalam swamedikasi, yaitu tingkat pendidikan, umur, jenis kelamin, dan pekerjaan seseorang (Kristina dkk, 2008). 2. Swamedikasi (Self Medication) Upaya masyarakat untuk mengobati dirinya sendiri dikenal dengan istilah
self
medication
atau
swamedikasi.
Swamedikasi
dalam
6
penatalaksanaannya jika dilakukan dengan benar dapat berkontribusi tinggi bagi pemerintah dalam pemeliharaan kesehatan secara nasional namun, jika tidak dilakukan dengan benar justru dapat menyebabkan tidak sembuhnya penyakit, munculnya penyakit baru dan medication error (Depkes RI, 2006). Swamedikasi memberikan keuntungan antara lain lebih mudah, cepat, tidak membebani sistem pelayanan kesahatan dan dapat dilakukan oleh diri sendiri. Menurut WHO, swamedikasi yang bertanggung jawab dapat mencegah dan mengobati penyakit-penyakit ringan yang tidak memerlukan konsultasi medis, serta menyediakan alternatif yang murah untuk pengobatan penyakit-penyakit umum. Bagi konsumen obat, pengobatan sendiri dapat memberi keuntungan antara lain menghemat biaya dan waktu ke dokter, serta dapat segera beraktifitas kembali (Anief, 2007). Beberapa faktor yang berperan pada perilaku pengobatan sendiri antara lain adalah persepsi tentang sakit, ketersediaan obat yang dijual bebas, serta ketersediaan informasi yang benar mengenai penggunaan obat tersebut (Sukasediati, 2000). Pelaku swamedikasi dalam ”mendiagnosis” penyakitnya, harus mampu: a. Mengetahui jenis obat yang diperlukan b. Mengetahui kegunaan dari tiap obat, sehingga dapat mengevaluasi sendiri perkembangan rasa sakitnya c. Menggunakan obat secara benar (cara, aturan, lama pemakaian) dan mengetahui batas kapan mereka harus menghentikan swamedikasi yang kemudian segera minta pertolongan petugas kesehatan
7
d. Mengetahui efek samping obat yang digunakan sehingga dapat memperkirakan
tentang
suatu
keluhan
yang timbul
kemudian,
merupakan suatu penyakit baru atau efek samping obat e. Mengetahui siapa yang tidak boleh menggunakan obat tersebut, terkait dengan kondisi seseorang (Suryawati, 1997). 3. Selesma (Common Cold) a) Definisi Selesma adalah iritasi atau peradangan selaput lendir hidung akibat infeksi dari suatu virus. Selaput lendir yang meradang memproduksi banyak lendir sehingga hidung menjadi tersumbat dan sulit bernafas. Tandanya di antaranya pilek, mata mengeluarkan banyak air, kepala pusing
dan
seringkali
demam
ringan.
Lendir
yang
terbentuk
mengakibatkan batuk dan bersin. Virus yang menyebabkan adalah rhinovirus, dalam bahasa yunani rhino adalah hidung dan virus adalah jasad renik terkecil dengan ukuran 0,02 – 0,3 mikron jauh lebih kecil dari bakteri biasa (Tjay dan Raharja, 2007). b) Etiologi Terdapat lebih dari 200 virus penyebab common cold dan yang tersering adalah Rhinovirus (khususnya pada dewasa). Penyebab lain selain rhinovirus antara lain respiratory sincitial virus, coronaviruses, virus influenza, virus parainfluenza, adenovirus, echovirus, dan virus coxsackie. Proses transmisinya dapat melalui inokulasi mukosa hidung
8
dengan virus yang berada pada benda hidup (tangan) atau benda mati (gagang pintu dan telepon) (Berardi, 2004). Rhinovirus menjadi penyebab utama dari terjadinya kasus-kasus flu (common cold) dengan persentase 30-40%. Rhinovirus merupakan subgrup family yang paling besar, terdiri dari 89 serotipe yang telah diidentifikasi dengan reaksi netralisasi memakai antiserum spesifik. Rhinovirus merupakan organisme mikroskopis yang menyerang sel-sel mukus pada hidung, merusak fungsi normal mereka serta memperbanyak diri di sana. Virus tersebut dapat bermutasi dan hingga saat ini ada sekitar 250 strain atau jenis rhinovirus. Selain virus, batuk dan pilek dan demam juga disebabkan oleh bakteri (Aden, 2010). c) Patofisiologi Rhinovirus mengikat molekul intraseluler 1 reseptor yang melekat pada sel-sel ephitelial pernapasan di hidung dan nasofaring sehingga dapat bereplikasi dan menyebar. Sel yang terinfeksi melepaskan chemokine “sinyal bahaya” dan sitokin yang mengaktifkan mediator inflamasi dan refleks neurogenik, sehingga ada tambahan mediator inflamasi, vasodilatasi, transudasi plasma, sekresi kelenjar, stimulasi saraf nyeri, refleks bersin dan batuk. Rhinovirus berada dalam nasofaring selama 16 sampai 18 hari setelah infeksi awal. Infeksi virus berakhir dengan antibodi penetral (sekretori imunoglobulin A atau serum imunoglobulin G) masuk ke dalam mukosa sampai akhir replikasi virus (Berardi, 2004).
9
d) Tanda dan Gejala Adapun gejala penyakit common cold yaitu : 1. Gejala mulai timbul dalam waktu 1-3 hari setelah terinfeksi. 2. Biasanya gejala awal berupa rasa tidak enak di hidung atau tenggorokan. 3. Penderita mulai bersin-bersin, hidung meler dan merasa sakit ringan. 4. Biasanya tidak timbul demam, tetapi demam yang ringan bisa muncul pada saat terjadinya gejala. 5. Hidung mengeluarkan cairan yang encer dan jernih dan pada hari-hari pertama jumlahnya sangat banyak sehingga mengganggu penderita. 6. Selanjutnya sekret hidung menjadi lebih kental, berwarna kuning-hijau dan jumlahnya tidak terlalu banyak. 7. Gejala biasanya akan menghilang dalam waktu 4-10 hari, meskipun batuk dengan atau tanpa dahak seringkali berlangsung sampai minggu kedua. Gejala yang umum adalah batuk, sakit tenggorokan, pilek, hidung tersumbat, dan bersin, kadang-kadang disertai dengan mata merah, nyeri otot, kelelahan, sakit kepala, kelemahan otot, menggigil tak terkendali, kehilangan nafsu makan, dan kelelahan ekstrim jarang. Demam lebih sering merupakan gejala influenza, virus lain atas infeksi saluran pernapasan yang gejalanya luas tumpang tindih dengan dingin, tapi lebih parah. Gejala mungkin lebih parah pada bayi dan anak-anak (karena sistem
10
kekebalan tubuh mereka tidak sepenuhnya berkembang) serta orang tua (karena sistem kekebalan tubuh mereka sering menjadi lemah). Gejala yang timbul biasanya diawali dengan nyeri atau gatal tenggorokan, diikuti mampet dan meler pada hari kedua dan ketiga, dan selanjutnya dapat timbul batuk. Gejala ini biasanya menetap selama sekitar satu minggu, 10% bisa berlangsung sampai dua minggu (Pujiarto, 2014). e) Pencegahan Virus penyebab selesma atau commond cold sangat mudah menyebar, baik melalui kontak langsung maupun lewat udara atau cairan tubuh. Untuk menghindarkan diri dari penyakit commond cold ini, secara umum yang perlu diperhatikan dan dilakukan setiap harinya, antara lain: 1. Menjaga kebersihan perorangan seperti sering mencuci tangan, menutup mulut ketika batuk dan bersin, dan membuang ludah / dahak dari mulut dan ingus hidung dengan cara yang bersih dan tidak sembarangan. 2. Bila memungkinkan, hindari jangan sampai berjejal di satu ruangan, misalnya ruang keluarga, atau tempat tidur. Ruangan harus memiliki ventilasi yang cukup lega. 3. Berpola hidup sehat, hindari minum alkohol, stres, istirahat cukup. 4. Mencuci tangan dengan sabun sebelum dan sesudah makan. 5. Bila akan menyentuh/menggendong bayi, cucilah tangan dahulu. 6. Makan makanan yang bersih, higienis, sehat, gizi-nutrisi seimbang. Idealnya empat sehat lima sempurna.
11
7. Memperhatikan dan menjaga kebersihan dan sanitasi lingkungan. 8. Konsultasi dengan tenaga kesehatan terkait obat-obatan, jamu, herbal, atau suplemen yang digunakan untuk mengatasi common cold. 9. Hindari merokok di dalam rumah, apalagi dimana ada banyak anakanak. Paparan asap rokok adalah suatu penyebab utama penyakit infeksi pernafasan dan peningkatan risiko infeksi paru-paru pada orang dewasa dan anak-anak. Perokok maupun yang terhirup asap rokok memiliki resiko yang lebih besar dalam memperoleh penyakit common cold (Hidayati, 2011). f) Terapi Selesma 1. Terapi Non Farmakologi Flu sendiri merupakan suatu penyakit self-limiting, yang bila tidak terjadi komplikasi dengan penyakit lain, maka setelah 4-7 hari penyakit akan sembuh sendiri. Karena itu tindakan yang dianjurkan untuk meringankan gejala flu tanpa pengobatan meliputi antara lain : a. Beristirahat 2-3 hari, mengurangi kegiatan fisik berlebihan b. Meningkatkan gizi makanan. Makanan dengan kalori dan protein yang tinggi akan menambah daya tahan tahan tubuh. Makan buahbuahan segar yang banyak mengandung vitamin c. Banyak minum air, teh, sari buah akan mengurangi rasa kering di tenggorokan, mengencerkan dahak dan membantu menurunkan demam
12
d. Sering-sering berkumur dengan air garam untuk mengurangi rasa nyeri di tenggorokan (BPOM, 2006). 2. Terapi Farmakologi Selesma
juga
sembuh
spontan
melalui
pengobatan
simptomatis dengan analgetik, obat batuk dan tetes hidung/ telinga (Tjay & Rahardja, 2007). Obat bebas dan obat bebas terbatas adalah obat yang dapat diperjual belikan secara bebas tanpa resep dokter untuk mengobati jenis penyakit yang pengobatannya dapat diterapkan sendiri oleh masyarakat, sedangkan pengertian obat itu sendiri adalah suatu zat yang digunakan untuk diagnosa, pengobatan melunakkan, penyembuhan atau pencegahan penyakit pada manusia atau hewan (Anief, 2007). 4. Kuesioner a. Pengertian kuesioner Kuesioner adalah sejumlah pernyataan tertulis yang digunakan untuk memperoleh infomasi dari responden dalam arti laporan pribadinya atau hal-hal yang ia ketahui (Arikunto, 2002). b. Tipe Kuesioner Terdapat 3 tipe kuesioner yaitu terstruktur, semi terstruktur dan tidak terstruktur. Perbedaan 3 tipe kuesioner tersebut yaitu: 1. Terstruktur Dalam wawancara terstruktur, kuesioner memuat secara tepat semua pertanyaan dan urut-urutan penyampaian pertanyaan. Sebagian
13
besar pertanyaan mempunyai jawaban yang sudah ditentukan sebelumnya, dan hanya sedikit ruang gerak bagi responden untuk menyimpang
dari
jawaban-jawaban
tersebut.
Kuesioner
dan
wawancara terstruktur adalah dasar dari survai kuantitatif yang luas. 2. Semi terstruktur Tipe wawancara ini menggunakan kuesioner yang memuat gabungan pertanyaaan yang sudah ditentukan dan responden bebas memberikan jawabannya. Dalam tiap wanwancara, penyampaian pertanyaan dilakukan dengan cara yang sama dan mungkin saja ada ratusan wawancara dalam satu survei. Kuesioner setengah terstruktur lebih luwes dibandingkan dengan yang terstruktur. Disini mungkin ada penyelidikan lebih lanjut untuk mendapatkan alasan dari suatu jawaban. 3. Tidak terstruktur Dalam tipe wawancara informal, atau wawancara mendalam ini periset menggunakan sebuah daftar pertanyaan, bukan kuesioner formal dengan pilihan jawaban yang sudah tersedia. Ada banyak banyak kebebasan bagi pewancara dan cara penyampaian pertanyaan yang berbeda akan dipilih selama proses wawancara itu sendiri. c. Cara Merancang Kuesioner (Hendri, 2009) 1. Tetapkan informasi yang ingin diketahui 2. Tentukan jenis kuesioner dan metode administrasinya 3. Tentukan isi dari masing-masing pertanyaan
14
4. Tentukan banyak respon atas setiap pertanyaan 5. Tentukan kata-kata yang digunakan untuk setiap pertanyaan 6. Tentukan urutan pertanyaan 7. Tentukan karakteristik fisik kuesioner 8. Uji kembali langkah 1 sampai 7 dan lakukan perubahan jika perlu 9. Lakukan uji awal atas kuesioner dan lakukan perubahan jika perlu d. Uji Validitas Kuesioner Uji validitas berarti menguji tepat tidaknya suatu instrumen memiliki ketepatan dalam mengukur hal yang ingin diukur. Dengan aplikasi SPSS kita dapat melakukan uji validitas dengan mudah. Ada dua teknik yang biasa digunakan untuk uji validitas yaitu menggunakan korelasi bivariat Pearson (Product Moment Pearson) dan Corrected ItemTotal Correlation (Raharjo, 2013). Untuk menguji valid tidaknya instrumen yang digunakan, pada dasarnya digunakan korelasi Pearson. Cara analisisnya dengan cara menghitung koefisien korelasi antara masing-masing nilai pada nomor pertanyaan dengan nilai total dari nomor pertanyaan tersebut (Rahayu, 2005). Hasil koefisien korelasi selanjutnya dibandingkan dengan r tabel, jika r hitung > dari r tabel, maka nomor pertanyaan tersebut valid (Priyatno, 2011). e. Uji Reliabilitas Kuesioner Uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui konsistensi alat ukur, sehingga dapat diandalkan dan tetap konsisten jika pengukuran
15
dilakukan secara berulang. Ada beberapa metode pengujian reliabilitas sebuah instrumen, diantaranya adalah Cronbach’s Alpha, metode tes ulang, formula belah dua dari Spearman Brown, formula Flanagan, Metode Formula KR-20, KR-21, dan metode Anova Hoyt (Raharjo, 2013). f. Skala Pengukuran Instrumen penelitian digunakan untuk melakukan pengukuran dengan tujuan menghasilkan data yang akurat, maka setiap instrument harus mempunyai skala pengukuran untuk mempermudah pengukurannya. Skala pengukuran dibagi menjadi beberapa macam skala (Sugiyono, 2010) yaitu skala likert, guttman, differensial, dan rating scale. 1. Skala Likert, digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau kelompok tentang fenomena atau gejala sosial yang terjadi. Persepsi tersebut kemudian diungkapkan dalam bentuk skala misalnya, sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. 2. Skala Guttman, digunakan untuk mendapat jawaban yang tegas yaitu ya-tidak, benar-salah, pernah-tidak pernah, atau positif-negatif. Selain dapat dibuat dalam bentuk pilihan ganda, juga dapat dibuat checklist, jawaban dapat dibuat skor tinggi satu dan skor rendah nol. 3. Skala Differensial, digunakan untuk mengatur sikap perbedaan simantik. Data yang diperoleh biasanya data interval untuk mengukur sikap seseorang atau kelompok. 4. Rating Scale, merupakan pengukuran terhadap data mentah yang berupa angka kemudian ditafsirkan dalam pengertian kualitatif.
16
5. Desa Pilang Berdasarkan data survey pendahuluan yang telah dilakukan di kantor kelurahan Desa Pilang, Desa Pilang dipimpin oleh Kepala Desa dengan didampingi oleh 11 orang pamong desa serta didukung oleh 3 daerah kebayanan dan 8 dukuh dengan jumlah Rukun Tetangga sekitar 37. Jumlah penduduk Desa Pilang yang terdata di kantor pemerintahan desa sebanyak 4.762 jiwa terhimpun dalam 1448 KK, yang terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 2.389 jiwa dan perempuan sebanyak 2373 jiwa. Desa Pilang terbagi dalam 8 Dukuh, yakni Jati sebanyak 880 jiwa, Pilang utara sebanyak 668 jiwa, Pilang tengah sebanyak 537 jiwa, Pilang selatan sebanyak 574 jiwa, Wirorejan sebanyak 569 jiwa, Jantran sebanyak 775 jiwa, Bejingan sebanyak 286 jiwa, dan Klembon sebanyak 473 jiwa. B. Kerangka Pemikiran Berdasarkan tinjauan kepustakaan yang ada, maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah banyaknya masyarakat yang mengeluhkan gejala selesma pada musim yang tidak menentu serta angka kejadian selesma di Desa Pilang menduduki peringkat pertama dari kategori penyakit ringan yang terdata di puskesmas, maka tindakan yang dapat dipilih masyarakat salah satunya adalah swamedikasi. Swamedikasi menjadi alternatif untuk menjangkau pengobatan, namun pada prakteknya kesalahan dalam swamedikasi masih terjadi, terutama pada ketidaktepatan obat dan dosis obat. Hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan resiko pada kesehatan. Maka perlu dilakukan penelitian mengenai pengetahuan swamedikasi pada penyakit selesma di Desa Pilang.
17
C. Keterangan Empirik Pada
Penelitian
Gambaran
Pengetahuan
Masyarakat
Dalam
Swamedikasi Demam Di RT. 11 Desa Jangkang Kecamatan Pasak Talawang Kabupaten Kapuas (Huda, 2014), diperoleh hasil penelitian diperoleh bahwa berdasarkan karakteristik umur bahwa semakin tinggi tingkat umur maka pengetahuan masyarakat tersebut mengenai swamedikasi demam semakin baik pula. Berdasarkan karakteristik jenis kelamin bahwa perempuan lebih mengetahui mengenai swamedikasi demam dibandingkan laki-laki. Berdasarkan karakteristik pendidikan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin baik pula pengetahuan masyarakat dalam swamedikasi demam tersebut. Berdasarkan karakteristik pekerjaan bahwa masyarakat yang bekerja dan memiliki tingkat pekerjaan yang tinggi maka pengetahuan mengenai swamedikasi demam juga semakin baik.