BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Kecemasan Kecemasan adalah gangguan yang disebabkan oleh konflik yang tidak di
sadari mengenai keyakinan, nilai, krisis situasional, maturasi, ancaman pada diri sendiri dan kehidupan atau kebutuhan yang tidak terpenuhi (Lumongga, 2010). Pendapat lain mendefiniskan kecemasan sebagai perasaan was-was, kuatir atau tidak nyaman, dan tidak menyenangkan, yang di ikuti oleh reaksi fisiologis seperti perubahan detak jantung dan pernapasan (Marlindawani, 2008). Menurut Dalami (2009) kecemasan adalah respon emosional terhadap penilaian individu yang subjektif, yang dipengaruhi alam bawah sadar dan tidak diketahui secara khusus penyebabnya. Kecemasan yang di alami bisa mengarah pada objek tertentu. Yang dimaksud dengan objek bisa berupa situasi. Ini biasanya mengarah pada phobia. Kecemasan juga bisa dialami meskipun objeknya tidak jelas atau tidak bisa dikenali. Jika individu tiba-tiba merasa cemas tidak begitu memahami apa yang dicemaskannya. Gejala kecemasan juga bisa beralih dari satu objek lainnya, ini yang menjadi tanda bahwa sebenarnya kecemasan terjadi karena adanya konflik dalam diri individu yang bersangkutan, bukan karena situasi riilnya (Siswanto, 2007).
9
Universitas Sumatera Utara
2.1.1. Tanda-tanda Umum Kecemasan Keluhan atau tanda dan gejala kecemasan yang ditunjukan atau dikemukakan oleh seseorang sangat bervariasi, tergantung dari beratnya kecemasan yang dirasakan oleh individu tersebut, keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh orang yang mengalami gangguan kecemasan antara lain yakni; cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung, merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut, takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang, gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan, gangguan kosentrasi dan daya ingat, keluhan-keluhan somatik misalnya rasa sakit pada otot dan tulang, pendengaran berdenging (tinitus), berdebar-berdebar, sesak nafas, gangguan pencernaan, gangguan perkemihan, sakit kepala dan lain sebagainya (Hawari, 2004) 2.1.2. Hal-hal yang Menimbulkan Kecemasan Kecemasan tidak dapat dihindari dari kehidupan individu dalam memelihara keseimbangan. Pengalaman cemas seseorang tidak sama beberapa situasi dan hubungan interpersonal. Ancaman integritas biologi meliputi gangguan terhadap kebutuhan dasar makan, minum dan kehangatan. Ancaman terhadap keselamatan diri, tidak menemukan integritas diri, tidak menemukan status dari prestise, tidak memperoleh pengakuan dari orang lain, ketidak sesuaian pandangan diri dengan lingkungan nyata (Suliswati, 2009). Gangguan atau rasa takut terhadap lingkungan penuh ancaman terhadap adanya tindakan-tindakan darurat dan komplikasi penyakit diabetes melitus yang menambah besar kecemasan (Wiramihardja, 2007). Gangguan cemas adalah
Universitas Sumatera Utara
kekhawatiran yang berlebihan dan bersifat pervasif, disertai dengan berbagai simtom somatik, yang menyebabkan gangguan signifikan dalam kehidupan sosial atau pekerjaan pada penderita atau stres yang nyata. Gangguan cemas lebih banyak terjadi pada perempuan, sekitar dua kali lebih banyak daripada laki-laki, gangguan ini biasanya timbul pada masa dewasa muda yang merupakan usia cukup matang dalam pengalaman hidup dan kematangan jiwa, meskipun dapat pula muncul pada usia yang lebih tua atau bahkan lebih muda (Widuri, 2008). 2.1.3. Tingkat Kecemasan Suliswati (2009) mengatakan cemas sangat berkaitan dengan perasaan yang tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan cemas ini tidak memiliki objek spesifik dan merupakan
pengalaman
subjektif
serta
dikomunikasikan
dalam
hubungan
interpersonal. Tingkat kecemasan mempunyai karakteristik atau manifestasi yang berbeda satu sama lain, manifestasi yang terjadi tergantung pada kematangan pribadi, pemahaman dalam menghadapi ketegangan, harga diri dan mekanisme yang digunakannya (Asmadi, 2008). Peplou dalam suliswati (2009) menggolongkan kecemasan dalam empat tingkat, yaitu : 1.
Cemas Ringan Kecemasan ringan, pada kecemasan ringan ini ketegangan yang dialami
sehari-hari dan menyebabkan pasien menjadi waspada dan lapangan persepsi meningkat. Pada tingkat kecemasan ringan ini dapat motivasi dan menghasilkan kreativitas. Manifestasi fisiologisnya yaitu sesekali nafas pendek, berdebar-debar, nadi dan tekanan darah naik, gejala ringan pada lambung dan muka berkerut serta
Universitas Sumatera Utara
tangan gemetar. Manifestasi kognitifnya berupa mampu menerima rangsangan yang kompleks, konsentrasi pada masalah dan menyelesaikan masalah secara efektif, sedangkan manifestasi perilaku dan emosi yang muncul adalah tidak dapat duduk tenang, gerakan halus pada tangan, suara kadang meninggi dan menggunakan mekanisme koping yang minimal. Menurut Lumongga (2010) gejala kecemasan ringan secara fisik yang timbul berupa sesak napas, nadi dan tekanan darah naik, gangguan ringan pada lambung, mulut berkerut, bibir gemetar dan sedangkan gejala secara psikologis berupa persepsi meluas, masih dapat menerima stimulus yang komplek, mampu berkonsentrasi, mampu menyelesaikan masalah, gelisah, tremor dan suara terkadang tinggi. Cemas ringan atau cemas yang normal yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari dan menyebabkan waspada pada dan meningkatkan persepsinya terhadap penyakit gagal ginjal kronik dangan komplikasi dan lama perawatanya. 2.
Cemas Sedang Kecemasan sedang memungkinkan individu lebih memusatkan pada hal yang
penting pada saat itu dan mengesampingkan yang lain sehingga individu mengalami perhatian yang selektif yang lebih terarah. Manifestasi fisiologisnya berupa : nafas pendek, berdebar-debar, nadi dan tekanan darah naik, mulut kering, anoreksia, diare atau konstipasi, gelisah dan muka berkerut serta tangan gemetar. Manifestasi kognitif yang muncul adalah lapangan persepsi menyempit, rangsangan luar tidak mampu diterima dan berfokus pada apa yang menjadi perhatiannya, sedangkan manifestasi perilaku dan emosi yang muncul adalah gerakan tersentak, bicara mudah lelah, susah
Universitas Sumatera Utara
tidur, perasaan tidak aman, mudah tersinggung, banyak pertimbangan dan mudah lupa. Gejala fisik yang timbul pada kecemasan sedang berupa sering nafas pendek, nadi dan tekanan darah meningkat, mulut kering, anoreksia, diare, konstipasi, dan gejala psikologis yang timbul seperti persepsi menyempit, tidak mampu menerima rangsangan, berfokus pada apa yang menjadi perhatiannya, gerakan tersentak, meremasi tangan, bicara banyak dan cepat, insomnia, perasaan tak aman dan gelisah (Pieter, 2010). 3.
Cemas Berat Kecemasan berat, lapangan persepsi menjadi sangat sempit. Individu tidak
mampu berfikir berat lagi, sehingga membutuhkan banyak pengarahan, cenderung memikirkan hal kecil saja dan mengabaikan yang lain. Manifestasi fisiologis yang muncul antara lain nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, berkeringat dan sakit kepala, penglihatan kabur, tegang, rasa tertekan, nyeri dada, tidak mampu menyelesaikan masalah, perlu pengarahan yang berulang, tidak mampu membuat keputusan dan butuh bantuan. Manifestasi perilaku dan emosi yang muncul adalah: konsep diri terancam, disorientasi, bingung dan kemungkinan halusinasi. Menurut Lumongga (2010) gejala cemas berat yang timbul berupa nafas pendek, tekanan darah dan nadi naik, berkeringat, sakit kepala, penglihatan kabur, dan ketegangan, sedangan gejala psikologis yang timbul lapangan persepsi sangat sempit, tidak mampu menyelesaikan masalah, perasaan terancam, verbalisasi cepat.
Universitas Sumatera Utara
Penyakit diabetes mellitus dipersepsikan sebagai ancaman dalam kehidupan karena kebutuhan untuk bertahan yang tidak terpenuhi. 4.
Panik Panik pada tahap ini lapangan persepsi sudah terganggu, sehingga individu
tidak mampu mengendalikan diri dan tidak dapat melakukan apa-apa walaupun sudah diberi tuntunan. Manifestasi fisiologis yang muncul berupa : nafas pendek, rasa tercekik, palpitasi dan sakit dada, pucat, hipertensi dan kordinasi motorik rendah. Manifestasi kognitif berupa lapangan pandang persepsi menyempit dan tidak berfikir logis, sedangkan manifestasi perilaku dan emosi yang muncul adalah mengamuk, marah, ketakutan, berteriak, dan kehilangan kendali. Menurut Lumongga (2010) gejala fisik yang timbul seperti nafas pendek, tekanan darah dan nadi naik, aktivitas motorik meningkat, ketegangan, sedangkan gejala psikologis yang timbul lapangan persepsi sangat menyempit, hilangnya rasional, tidak dapat melakukan aktivitas, perasaan tidak enak dan terancam semangkin meningkat, menurunnya hubungan dengan orang lain dan tidak dapat kendalikan diri. 2.1.4. Respon Kecemasan Kecemasan menggambarkan keadaan khawatir, gelisah, takut, tidak tentram dan disertai berbagai keluhan fisik yang dapat terjadi dalam kondisi situasi kehidupan dan berbagai gangguan kesehatan (Dalami, 2009). Kecemasan atau ketakutan adalah bahagian dari kehidupan manusia, kecemasan ini terjadi karena individu tidak mampu
Universitas Sumatera Utara
mengadakan penyesuaian diri terhadap diri sendiri didalam lingkungan pada umumnya (Sundari dalam Lumongga, 2010). Beberapa respon individu yaitu dalam tingkatan rentang respon kecemasan respon adaptif, dan respon maladaptif yaitu respon adaptif respon yang wajar sedangkan respon maladaptif respon yang tidak wajar. Respon tingkat kecemasan terbagi atas antisipasi, ringan, sedang, Berat dan Panik ( Suliswati, 2009).
2.2.
Dukungan Sosial Menurut Sarwono (2007), dukungan adalah suatu upaya yang diberikan
kepada orang lain, baik moril maupun materil untuk memotivasi orang tersebut dalam melaksanakan kegiatan. Sistem dukungan untuk mempromosikan perubahan perilaku ada 3, yaitu : (1) dukungan material adalah menyediakan fasilitas latihan, (2) dukungan informasi adalah untuk memberikan contoh nyata keberhasilan seseorang dalam melaksanakan diet dan latihan, dan (3) dukungan emosional atau semangat adalah memberi pujian atas keberhasilan proses latihan. Menurut Friedman dalam Sarwono (2007), dukungan sosial adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit. Anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Dampak positif dari dukungan sosial keluarga adalah meningkatkan penyesuaian diri seseorang terhadap kejadian-kejadian dalam kehidupan.
Universitas Sumatera Utara
2.2.1. Dimensi Dukungan Sosial Menurut Sarafino (2006) menyatakan bahwa dukungan sosial mengacu pada memberikan kenyamanan pada orang lain, merawatnya atau menghargainya. Dukungan sosial dapat berupa pemberian infomasi, bantuan tingkah laku, ataupun materi yang didapat dari hubungan sosial akrab yang dapat membuat individu merasa diperhatikan, bernilai, dan dicintai. Bentuk dukungan sosial menurut Sarafino (2006) yaitu : a.
Dukungan Informasional Dukungan informasional didefinisikan sebagai suatu bentuk bantuan dalam wujud pemberian informasi tertentu. Informasi yang disampaikan tergantung dari kebutuhan seseorang. Dukungan informasional dapat bermanfaat untuk menanggulangi persoalan yang dihadapi keluarga, meliputi pemberian nasehat, ide-ide dan informasi yang dibutuhkan. Keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan diseminator (penyebar) informasi tentang dunia. Menjelaskan tentang
pemberian
saran,
sugesti,
informasi
yang
dapat
digunakan
mengungkapkan suatu masalah. Manfaat dari dukungan ini adalah dapat menekan munculnya suatu stressor karena informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi. b.
Dukungan Penilaian Dukungan penilaian merupakan bentuk penghargaan yang diberikan seseorang kepada orang lain sesuai dengan kondisinya. Peran keluarga ketika memberikan
Universitas Sumatera Utara
dukungan penilaian adalah keluarga bertindak sistem pembimbing umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan validator indentitas anggota keluarga diantaranya memberikan support, penghargaan, perhatian. c.
Dukungan Instrumental Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit, diantaranya: kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan dan minum, istirahat, terhindarnya penderita dari kelelahan. Tujuan bantuan instrumental adalah mempermudah seseorang menjalankan aktifitasnya. Aktifitas yang dimaksud adalah aktifitas yang berkaitan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi atau menolong secara langsung masalah yang dihadapi sehingga bentuk dukungan istrumental ini dapat langsung dirasakan oleh pihak yang ditolong.
d.
Dukungan Emosional Dukungan emosional berupa dukungan simpatik dan empati, cinta, kepercayaan dan penghargaan. Dengan dukungan ini mendorong keluarganya untuk mengkomunikasikan segala kesulitan pribadi Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Aspek-aspek dari dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2. Sumber-sumber Dukungan Sosial Sumber-sumber dukungan sosial menurut Kahn & Antonoucci dalam Minkler (2002) terbagi menjadi 3 kategori, yaitu : a. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu yang selalu ada sepanjang hidupnya, yang selalu bersama dan mendukungnya. Misalnya keluarga dekat, pasangan (suami/istri) atau teman-teman dekat. b. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sedikit berperan dalam hidupnya dan cenderung berubah sesuai dengan waktu. Sumber ini meliputi teman kerja, tetangga, sanak keluarga dan sepergaulan. c. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sangat jarang memberi dukungan sosial dan memiliki peran yang sangat cepat berubah. Sumber dukungan yang dimaksud meliuputi supervisor, tenaga ahli/profesional dan keluarga jauh. 2.2.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Dukungan Sosial Sarafino (2006) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi apakah seseorang akan menerima Dukungan sosial keluarga atau tidak. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah : a.
Faktor dari penerima dukungan (recipient) Seseorang tidak akan menerima dukungan sosial dari orang lain jika ia tidak suka bersosial, tidak suka menolong orang lain, dan tidak ingin orang lain tahu bahwa ia membutuhkan bantuan. Beberapa orang terkadang tidak cukup asertif untuk memahami bahwa ia sebenarnya membutuhkan bantuan dari orang lain, atau
Universitas Sumatera Utara
merasa bahwa ia seharusnya mandiri dan tidak mengganggu orang lain, atau merasa tidak nyaman saat orang lain menolongnya, atau tidak tahu kepada siapa dia harus meminta pertolongan. b.
Faktor dari pemberi dukungan (providers) Seseorang terkadang tidak memberikan dukungan sosial kepada orang lain ketika ia sendiri tidak memiliki sumberdaya untuk menolong orang lain, atau tengah menghadapi stres, harus menolong dirinya sendiri, atau kurang sensitif terhadap sekitarnya sehingga tidak menyadari bahwa orang lain membutuhkan dukungan darinya. Menurut Friedman (1998), faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan sosial keluarga lainnya adalah kelas sosial ekonomi orang tua. Kelas sosial ekonomi disini meliputi tingkat pendapatan atau pekerjaan orang tua dan tingkat pendidikan orang tua. Dalam keluarga kelas menengah, suatu hubungan lebih demokratis dan adil mungkin ada, sementara dalam keluarga kelas bawah, hubungan yang ada lebih otoritas atau otokrasi. Selain itu orang tua dengan kelas sosial menengah mempunyai tingkat dukungan, efeksi dan keterlibatan yang lebih tinggi dari pada orang tua dengan kelas sosial bawah.
2.3.
Gagal Ginjal Kronik Gagal ginjal kronik adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan
fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan irreversible. Hal ini terjadi apabila laju filtrasi glomerular (LFG) kurang dari 50 ml/menit. Gagal ginjal
Universitas Sumatera Utara
kronik sesuai dengan tahapannya dapat berkurang, ringan, sedang atau berat. Gagal ginjal tahap akhir (end stage renal failure) adalah stadium gagal ginjal yang dapat mengakibatkan kematian kecuali jika dilakukan terapi pengganti (Suhardjono, 2003). Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patalogis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60ml/menit/1,73m2 (National Kidney Foundation Kidney Disease Outcomes Quality Initiative, 2009). 2.3.1. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik Klasifikasi gagal ginjal kronik dapat dilihat berdasarkan sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsinya yaitu berkurang, ringan, sedang dan tahap akhir (Suhardjono, 2003). Ada beberapa klasifikasi dari gagal ginjal kronik yang dipublikasikan oleh National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI). Klasifikasi tersebut diantaranya adalah : a.
Tahap pertama (stage 1) Merupakan tahap dimana telah terjadi kerusakan ginjal dengan peningkatan LFG (>90 mL/min/1.73 m2 ) atau LFG normal.
b.
Tahap kedua (stage 2) Reduksi LFG mulai berkurang sedikit (kategori mild) yaitu 60-89 mL/min/1.73 m2.
c.
Tahap ketiga (stage 3)
Universitas Sumatera Utara
Reduksi LFG telah lebih banyak berkurang (kategori moderate) yaitu 30-59 mL/min/1.73. d.
Tahap keempat (stage 4) Reduksi LFG sangat banyak berkurang yaitu 15-29 mL/min/1.73.
e.
Tahap kelima (stage 5) Telah terjadi gagal ginjal dengan LFG yaitu <15 mL/min/1.73. (National Kidney Foundation Kidney Disease Outcomes Quality Initiative, 2009).
2.3.2. Etiologi Gagal Ginjal Kronik Penyebab penyakit gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu penyakit diabetik, penyakit ginjal non diabetik dan penyakit ginjal transplan. Pada ginjal diabetik dapat disebabkan oleh diabetes tipe 1 dan 2. penyebab pada penyakit ginjal non diabetik adalah penyakit glomerulus (penyakit autoimun, infeksi sistemik, neoplasia), penyakit vaskuler (penyakit pembuluh darah besar, hipertensi dan mikroangiopati) penyakit tubulointerstisial (infeksi saluran kemih, batu obstruksi dan toksisitas obat) dan penyakit kistik (penyakit ginjal polikistik) (Noor, 2006). Menurut Susalit (Suhardjono, 2003) pada penyakit ginjal transplan dapat disebabkan oleh rejeksi kronik, toksisitas obat, penyakit rekuren dan glomerulopati transplant. Krause (2009) menambahkan bahwa penyebab dari gagal ginjal kronik sangat beragam. Pengetahuan akan penyebab yang mendasari penyakit penting diketahui karena akan menjadi dasar dalam pilihan pengobatan yang diberikan. Penyebab gagal ginjal tersebut diantaranya meliputi :
Universitas Sumatera Utara
a.
Penyebab dengan frekuensi paling tinggi pada usia dewasa serta anak-anak adalah glomerulonefritis dan nefritis interstitial.
b.
Infeksi kronik dari traktus urinarius (menjadi penyebab pada semua golongan usia).
c.
Gagal ginjal kronik dapat pula dialami anak-anak yang menderita kelainan kongenital seperti hidronefrosis kronik yang mengakibatkan bendungan pada aliran air kemih atau air kemih mengalir kembali dari kandung kemih.
d.
Adanya kelainan kongenital pada ginjal.
e.
Nefropati herediter.
f.
Nefropati diabetes dan hipertensi umumnya menjadi penyebab pada usia dewasa.
g.
Penyakit polisistik, kelainan pembuluh darah ginjal dan nefropati analgesik tergolong penyebab yang sering pula.
h.
Pada beberapa daerah, gangguan ginjal terkait dengan HIV menjadi penyebab yang lebih sering.
i.
Penyakit yang tertentu seperti glomerulonefritis pada penderita transplantasi ginjal. Tindakan dialisis merupakan pilihan yang tepat pada kondisi ini.
j.
Keadaan yang berkaitan dengan individu yang mendapat obat imunosupresif ringan sampai sedang karena menjalani transplantasi ginjal. Obat imunosupresif selama periode atau masa transisi setelah transplantasi ginjal yang diberikan untuk mencegah penolakan tubuh terhadap organ ginjal yang dicangkokkan menyebabkan pasien beresiko menderita infeksi, termasuk infeksi virus seperti herpes zoster.
Universitas Sumatera Utara
2.3.3. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik Penurunan fungsi ginjal yang progresif tetap berlangsung terus meskipun penyakit primernya telah diatasi atau telah terkontrol. Hal ini menunjukkan adanya mekanisme adaptasi sekunder yang sangat berperan pada kerusakan yang sedang berlangsung pada penyakit ginjal kronik. Bukti lain yang menguatkan adanya mekanisme tersebut adalah adanya gambaran histologik ginjal yang sama pada penyakit ginjal kronik yang disebabkan oleh penyakit primer apapun. Perubahan dan adaptasi nefron yang tersisa setelah kerusakan ginjal yang awal akan menyebabkan pembentukan jaringan ikat dan kerusakan nefron yang lebih lanjut. Demikian seterusnya keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan gagal ginjal terminal (Noer, 2006). 2.3.4. Manifestasi Klinik Gagal Ginjal Kronik Gejala awal gagal ginjal kronik tidak jelas dan sering diabaikan. Gejala umum berupa letargi, malaise, dan kelemahan sering tertutup dan dianggap sebagai gejala penyakit primer. Pada tahap lebih lanjut penderita merasa gatal, mual, muntah dan gangguan pencernaan lainnya. Makin lanjut progresif gagal ginjal kronik makin menonjol keluhan dan gejala uremik organ non ginjal lain (Suwitra, 2006). Gejala dan tanda yang dapat ditemukan pada pasien yang mengalami gagal ginjal kronik menurut Sukandar (2006) terdiri atas : a.
Hematologik Anemia normokrom, gangguan fungsi trombosit, trombositopenia, gangguan lekosit.
Universitas Sumatera Utara
b.
Gastrointestinal 1. Anoreksia, nausea, dan vomitus, yang berhubungan dengan gangguan metabolisme protein didalam usus, terbentuknya zat-zat toksik akibat metabolisme bakteri usus seperti ammonia dan motil guanidin, serta sembabnya mukosa usus. 2. Fektor uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur diubah oleh bakteri dimulut menjadi amonia sehingga napas berbau ammonia. Akibat yang lain adalah timbulnya stomatitis dan parotitis. 3. Cegukan (hiccup) sebabnya yang pasti belum diketahui. 4. Gastritis erosif, Ulkus peptikus, dan colitis uremik.
c.
Syaraf dan otot 1. Miopati 2. Kelemahan dan hipertrofi otot-otot terutama otot-otot ekstrimitas proksimal. 3. Ensefalopati metabolic, lemah, tidak biasa tidur, gangguan konsentrasi, tremor, asteriksis, mioklonus, kejang 4. Burning feet syndrome, rasa semutan dan seperti terbakar, terutama ditelapak kaki. 5. Restless leg syndrome, Pasien merasa pegal pada kakinya sehingga selalu digerakkan.
d.
Kulit 1. Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat penimbunan urokrom. Gatal-gatal dengan eksoriasi akibat toksin uremik dan pengendapan kalsium dipori-pori kulit.
Universitas Sumatera Utara
2. Echymosis akibat gangguan hematologis. 3. Urea frost, akibat kristalisasi urea yang ada pada keringat. 4. Bekas garukan karena gatal. e.
Kardiovaskuler 1. Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau akibat peningkatan aktivitas sistem renin-angiotensi-aldosteron. 2. Nyeri dada dan sesak nafas, akibat perikarditis, efusi perikardial, penyakit jantung koroner akibat aterosklerosis yang timbul dini, dan gagal jantung akibat penimbunan cairan dan hipertensi. 3. Gangguan irama jantung akibat aterosklerosis dini, gangguan elektrolit dan kalsifikasi metastastatik. 4. Edema akibat penimbunan cairan.
f.
Endokrin Gangguan toleransi glukosa, gangguan metabolisme lemak, gangguan seksual, libido, fertilitas dan ereksi menurun pada laki-laki, gangguan metabolisme vitamin D.
g.
Gangguan Sistem Lain 1. Tulang
:
Osteodistrofi
renal,
yaitu
osteomalasia,
osteitis
fibrosa,
osteosklerosis, dan kalsifikasi metastatik. 2. Asidosis metabolic akibat penimbunan asam organik sebagai hasil metabolisme. 3. Elektrolit : hiperfosfatermia, hiperkalemia, hipokalsemia.
Universitas Sumatera Utara
2.3.5. Perjalanan Klinik Gagal Ginjal Kronik Menurut Pace (2007), perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi 3 stadium, yaitu stadium pertama, stadium kedua, dan stadium ketiga atau akhir. a.
Stadium pertama Stadium pertama ini dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar nitrogen urea daerah normal dan penderita asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal dapat di ketahui dengan tes pemekatan kemih yang lama atau dengan tes glomerulus filtrasi yang teliti
b.
Stadium kedua Stadium kedua disebut insufisiensi ginjal, dimana lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak. Pada stadium ini kadar kreatinin serum juga mulai meningkat melebihi kadar normal, gejala-gejala nokturia dan poliuria mulai timbul.
c.
Stadium ketiga atau stadium akhir Stadium ini disebut gagal ginjal stadium akhir atau uremia, timbul apabila sekitar 90% dari massa nefron telah hancur atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh. Kreatinin serum dan kadar nitrogen urea darah akan meningkat dengan sangat menyolok sebagai respon terhadap glomerulus filtrasi yang mengalami penurunan.
Universitas Sumatera Utara
2.3.6. Komplikasi Gagal Ginjal Kronik Bila ginjal tidak berfungsi sebagai salah satu alat pengeluaran (ekskresi), maka sisa metabolisme yang tidak dikeluarkan tubuh akan menjadi racun bagi tubuh sendiri dan mengakibatkan hipertensi, anemia, asidosis, ostedistrofi ginjal, hiperurisemia dan neuropati parifer. Pada sebagian kecil kasus (10%), hipertensi mungkin tergantung renin dan refrakter terhadap kontrol volume natrium ataupun dengan anti hipertensi ringan. Bila K+ serum mencapai kadar sekitar 7 mEq/l, dapat terjadi aritmia yang serius dan juga henti jantung. Hiperkalemia makin diperberat lagi oleh hipokalsemia, hiponatremia, dan asidosis metabolik kronik yang ringan pada penderita uremia biasanya akan menjadi stabil pada kadar bikarbonat plasma 16 sampai 20 mEq/l. Anemia berupa penurunan sekresi eritropoeitin oleh ginjal yang sakit maka pengobatan yang ideal adalah penggantian hormon ini. Pada hiperurisemia kadar asam urat yang meninggi maka dihambat biosintesis yang dihasilkan oleh tubuh dan neuropati perifer biasanya simtomatik tidak timbul sampai gagal ginjal mencapai tahap akhir (Noer, 2006). 2.3.7. Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronik Penatalaksanaan konservatif gagal ginjal kronik lebih bermanfaat bila penurunan faal ginjal masih ringan, yaitu dengan memperlambat progresif gagal ginjal, mencegah kerusakan lebih lanjut, pengelolaan uremia dan komplikasinya, kalsium dan fosfor untuk mencegah terjadinya hiperparatiroidisme sekunder, kadar fosfor serum harus dikendalikan dengan diet rendah fosfor dan hiperurisemia (Suhardjono, 2003).
Universitas Sumatera Utara
2.4.
Hemodialisa Hemodialisa didefinisikan sebagai pergerakan larutan dan air dari darah
pasien melewati membran semipermiabel (alat dialisa) ke dalam dialisa. Alat dialisa juga dapat digunakan untuk memindahkan sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang besar dari air plasma (dengan perbandingan sedikit larutan) membrans (Tisher & Wilcox, 2005). Menurut Le Mone (1996) hemodialisa menggunakan prinsip dari difusi dan ultrafltrasi untuk membersihkan elektrolit dari produk tak berguna dan kelebihan cairan tubuh. Darah akan diambil dari tubuh melalui jalan masuk vaskular dan memompa ke membran dari selulosa asetat dan zat yang sama. Pengeluaran kira-kira sama dengan komposisi seperti ekstra cairan selular normal. Dialisa menghangatkan suhu tubuh dan melewati sepanjang ukuran dari membran lain. Semua larutan molekul lebih kecil dari sel darah, plasma dan protein mampu bergerak bebas di membran melalui difusi. 2.4.1. Tujuan Hemodialisa Tujuan dari hemodialisa adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah pasien ke dializer tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan ketubuh pasien. Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisa yaitu difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. Sebagai terapi pengganti, kegiatan hemodialisa mempunyai tujuan : 1.
Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan asam urat
Universitas Sumatera Utara
2.
Membuang kelebihan air.
3.
Mempertahankan atau mengembalikan system buffer tubuh.
4.
Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
5.
Memperbaiki status kesehatan penderita (Rahardjo, 2009).
2.4.2. Proses Hemodialisa Proses hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium terminal (end stage renal desase) yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi permanen (Smeltzer, 2008). Proses dialisa menyebabkan pengeluaran cairan dan menjaga kehilangan elektroit dan produk kimiawi. Menurut Raharjo (2009), hemodialisa dilakukan dengan mengalirkan darah pasien ke dalam tabung dialiser yang memiliki dua kompartemen semipermeabel. Kompartemen ini akan dialirkan oleh cairan dialysis yang bebas pirogen, berisi larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa metanolisme nitrogen, pada proses dialysis, terjadi perpindahan cairan dari kompartemen hidrostatistik negatif pada kompartgemen cairan dialisa. Dalam kegiatan hemodialisa terjadi 3 proses utama seperti berikut : 1.
Proses Difusi yaitu berpindahnya bahan terlarut karena perbedaan kadar di dalam darah dan di dalam dialisat. Semakin tinggi perbedaan kadar dalam darah maka semakin banyak bahan yang dipindahkan ke dalam dialisat.
Universitas Sumatera Utara
2.
Proses Ultrafiltrasi yaitu proses berpindahnya air dan bahan terlarut karena perbedaan tekanan hidrostatis dalam darah dan dialisat.
3.
Proses Osmosis yaitu proses berpindahnya air karena tenaga kimia, yaitu perbedaan osmolaritas darah dan dialisat (Rahardjo, 2009).
2.4.3. Indikasi dan Komplikasi Hemodialisa Pada umumya indikasi dari hemodialisa pada gagal ginjal kronis adalah laju filtrasi glomerulus ( LFG ) sudah kurang dari 5 mL/menit, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai bila dijumpai salah satu dari hal tersebut dibawah : 1.
Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
2.
K serum > 6 mEq/L
3.
Ureum darah > 200 mg
4.
pH darah < 7,1
5.
Anuria berkepanjangan ( > 5 hari )
6.
Fluid overloaded (Suhardjono, 2003). Menurut Clarkson (2006), walaupun hemodialisa sangat penting untuk
menggantikan fungsi ginjal yang rusak tetapi hemodialisa juga dapat menyebabkan komplikasi umum berupa hipertensi (20-30% dari dialisis), kram otot (5-20% dari dialisis), mual dan muntah (5-15% dari dialisis), sakit kepala (5% dari dialisis), nyeri dada (2-5% dialisis), sakit tulang belakang (2- 5% dari dialisis), rasa gatal (5% dari dialisis) dan demam pada anak-anak (<1% dari dialisis). Sedangkan komplikasi serius yang paling sering terjadi adalah sindrom disequilibrium, arrhythmia, tamponade jantung, perdarahan intrakaranial, hemolisis dan emboli paru.
Universitas Sumatera Utara
2.5.
Kepatuhan Kepatuhan berasal dari kata dasar patuh, yang berarti disiplin dan taat.
Menurut Sacket dalam Niven (2002) kepatuhan adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan. Menurut Green dalam Notoatmodjo (2003) kepatuhan adalah merupakan suatu perubahan perilaku dari perilaku yang tidak mentaati peraturan ke perilaku yang mentaati peraturan. Kepatuhan menurut Trostle dalam Ahmadi (2004), adalah tingkat perilaku penderita dalam mengambil suatu tindakan pengobatan, misalnya dalam menentukan kebiasaan hidup sehat dan ketetapan berobat. Dalam pengobatan, seseorang dikatakan tidak patuh apabila orang tersebut melalaikan kewajibannya berobat, sehingga dapat mengakibatkan terhalangnya kesembuhan. 2.5.1. Tipe Kepatuhan Menurut Cramer dalam Hawari (2003) kepatuhan penderita dapat dibedakan menjadi: 1. Kepatuhan penuh (Total Compliance) Pada keadaan ini penderita tidak hanya berobat secara teratur sesuai batas waktu yang ditetapkan melainkan juga patuh memakai obat secara teratur sesuai petunjuk. 2. Penderita yang sama sekali tidak patuh (Non Compliance) Yaitu penderita yang putus berobat atau tidak menggunakan obat sama sekali.
Universitas Sumatera Utara
2.5.2. Strategi Meningkatkan Kepatuhan Menurut Smet dalam Hawari (2003) berbagai strategi telah dicoba untuk meningkatkan kepatuhan adalah : 1. Dukungan profesional kesehatan Dukungan profesional kesehatan sangat diperlukan untuk meningkatkan kepatuhan, contoh yang paling sederhana dalam hal dukungan tersebut adalah dengan adanya teknik komunikasi. Komunikasi memegang peranan penting karena komunikasi yang baik diberikan oleh professional kesehatan baik dokter/ perawat dapat menanamkan ketaatan bagi pasien. 2. Dukungan sosial/keluarga Dukungan sosial yang dimaksud adalah keluarga. Para profesional kesehatan yang dapat meyakinkan keluarga pasien untuk menunjang peningkatan kesehatan pasien maka ketidakpatuhan dapat dikurangi. 3. Perilaku sehat Modifikasi perilaku sehat sangat diperlukan. Modifikasi gaya hidup dan kontrol secara teratur atau minum obat sangat perlu bagi pasien. 4. Pemberian informasi Pemberian informasi yang jelas pada pasien dan keluarga mengenai penyakit yang dideritanya serta cara pengobatannya.
Universitas Sumatera Utara
2.6.
Landasan Teori Perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh mahluk hidup, baik yang diamati
secara langsung atau tidak langsung. Perilaku manusia dapat dilihat dari 3 aspek yaitu: aspek fisik, psikis dan sosial yang secara terinci merupakan refleksi dari berbagai gejolak kejiwaan seperti pengetahuan, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya, yang ditentukan dan dipengaruhi oleh faktor pengalaman, keyakinan, sarana fisik dan sosial budaya masyarakat. Bahkan kegiatan internal seperti berpikir, berpersepsi dan emosi juga merupakan perilaku manusia (Notoatmodjo, 2010). Sejalan dengan batasan perilaku menurut Skinner maka Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan. Upaya kesehatan yang dilakukan untuk mewujudkan kesehatan seseorang diselenggarakan dengan empat macam pendekatan yaitu pemeliharaan dan peningkatan kesehatan (promotive), pencegahan penyakit (preventive), penyembuhan penyakit (curative) dan pemulihan kesehatan (rehabilitative). Respon atau reaksi manusia dibedakan menjadi dua kelompok yaitu yang bersifat pasif dan bersifat aktif. Bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan sikap), bersifat aktif (tindakan yang nyata atau practice). Perilaku terhadap pelayanan kesehatan adalah respon seseorang terhadap pelayanan kesehatan baik pelayanan kesehatan yang modern maupun pelayanan kesehatan yang tradisional. Perilaku ini menyangkut respon terhadap fasilitas pelayanan, cara pelayanan, petugas kesehatan, dan obat-obatannya, yang terwujud dalam pengetahuan, persepsi, sikap dan pengguna fasilitas, petugas, dan
Universitas Sumatera Utara
obat-obatan. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam dan dari luar individu itu sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain ; susunan saraf pusat, persepsi, motivasi, emosi, proses belajar, lingkungan dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010). Pada pasien yang menjalani hemodialisa merupakan faktor yang berasal dari individu itu sendiri adalah hal yang dialami oleh seseorang yang menderita penyakit seperti kecemasan. Kecemasan adalah gangguan alam perasaan yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan. Menurut Hawari (2008) adapun tingkat kecemasan adalah ringan, sedang, berat dan panik. Selain yang berasal dari individu itu sendiri, faktor lainnya berasal dari keluarga pasien yang menjalani hemodialisa dan petugas kesehatan. Dukungan keluarga dan petugas kesehatan ini disebut dukungan sosial yang meliputi : a. Dukungan informasional b. Dukungan penilaian c. Dukungan instrumental d. Dukungan emosional
2.7.
Kerangka Konsep Berdasarkan kerangka teori tersebut, maka penulis dapat merumuskan
kerangka konsep penelitian serta variabel-variabel yang akan diteliti, seperti pada gambar berikut :
Universitas Sumatera Utara
Kecemasan Kepatuhan Menjalankan Hemodialisa Dukungan Sosial a. Dukungan informasional b. Dukungan penilaian c. Dukungan instrumental d. Dukungan emosional Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara