5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Dismenore
2.1.1. Definisi Dismenore Berikut adalah beberapa pendapat mengenai dismenore : Menurut Sarwono (2011), dismenore adalah nyeri saat haid, biasanya dengan rasa kram dan terpusat di abdomen bawah.
Keluhan nyeri haid dapat terjadi
bervariasi mulai dari yang ringan sampai berat. Nyeri haid yang dimaksud adalah nyeri haid berat sampai menyebabkan perempuan tersebut datang berobat ke dokter atau mengobati dirinya sendiri dengan obat anti nyeri. Dismenore adalah nyeri kram dan sering diikuti dengan nyeri punggung bawah, mual dan muntah, sakit kepala dan diare (J.O.Schorge et.al,2008). Menurut Karim (2013), dismenore merujuk pada keseluruhan gejala-gejala nyeri yang timbul ketika menstruasi, yang dapat dibedakan menjadi dismenore primer dan sekunder. Dismenore didefinisikan oleh Stenchever (2002) dan Chudnoff (2005) sebagai sensasi nyeri yang seperti kram pada abdomen bawah sering bersamaan dengan gejala lain seperti keringat, takikardia, sakit kepala, mual, muntah, diare dan tremor. 2.1.2. Epidemiologi Dismenore Prevalensi dismenore tertinggi sering ditemui pada remaja wanita, yang diperkirakan antara 20-90% , itu juga tegantung pada metode penelitian apa yang digunakan. Sekitar 15% remaja dilaporkan mengalami dismenore berat. Di Amerika Serikat, dismenore diakui sebagai penyebab paling sering ketidakhadiran di sekolah yang dialami remaja putri.
Selain itu, juga dilakukan survey pada 113 wanita
Universitas Sumatera Utara
6
Amerika Serikat dan dinyatakan prevalensi sebanyak 29-44%, paling banyak pada usia 18-45 tahun (Karim,2013).
Sebuah studi di Swedia ditemukan prevalensi
dismenore adalah 90% pada wanita usia 19 tahun dan 67% pada wanita usia 24 tahun. Sepuluh persen dari 67% wanita usia 24 tahun itu bahkan mengalami nyeri berat hingga mengganggu aktivitas mereka (French,2005).
Pada suatu penelitian juga
ditemukan 51% wanita absen di sekolah atau pekerjaan paling tidak sekali dalam sebulan dan 8% wanita absen selama mengalami menstruasi setiap bulan. Lebih lanjut, wanita yang mengalami dismenore memperoleh nilai rendah di sekolah dan sulit
beradaptasi
di
sekolah
dibanding
wanita
yang
tidak
dismenore
(Abbaspour,2005). Klein dan Litt melaporkan prevalensi dismenore mencapai 59.7% . Dari pasien yang mengalami keluhan, 12% mendeskripsikan nyeri yang severe, 37% mengalami nyeri moderate dan 49% mengalami nyeri mild.
Dismenore
menyebabkan 14% remaja putri ketinggalan pelajaran sekolah. Selain itu, dikatakan bahwa dismenore lebih sering terjadi pada remaja ras kulit hitam dibanding ras kulit putih ( Karim,2013). 2.1.3. Klasifikasi Dismenore Karim (2013) menyebutkan bahwa dismenore dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu primer dan sekunder. 1. Dismenore Primer Dismenore primer disebut juga primary dysmenorrhea, merupakan suatu rasa
nyeri siklik menstrual tanpa kelainan patologis pada panggul, dismenore
primer biasa sering terjadi beberapa tahun pertama setelah menarche, memiliki karakteristik nyeri yang khas (J.O.Schorge,2008). Menurut Sarwono (2011), dismenore primer adalah nyeri haid tanpa ditemukan keadaan patologi pada panggul.
Dismenore primer berhubungan
dengan siklus ovulasi dan disebabkan oleh kontraksi miometrium sehingga
Universitas Sumatera Utara
7
terjadi iskemia akibat adanya prostaglandin yang diproduksi oleh endometrium pada fase sekresi. Perempuan dengan dismenore primer didapatkan kadar prostaglandin lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan tanpa dismenore. Peningkatan ini terjadi lebih kurang 48 jam pertama saat haid. Hal ini sejalan dengan awal muncul dan besarnya intensitas keluhan nyeri haid. Keluhan mual,
muntah,
nyeri kepala, atau diare sering menyertai dismenore karena masuknya prostaglandin ke sirkulasi sistemik. Menurut French (2005), dismenore primer merupakan nyeri menstruasi yang pada
sering ditemui pada wanita dengan anatomi panggul yang normal,
umumnya dialami pada masa remaja. Karakteristik nyeri ini khas yaitu nyeri
pelvik seperti kram yang dimulai sesaat sebelum atau pada onset dari menstruasi dan biasanya berakhir satu sampai tiga hari setelah hari pertama haid. 2. Dismenore Sekunder Dismenore sekunder disebut juga secondary dysmenorrhea, merupakan dismenore yang sering terjadi akibat komplikasi dari endometriosis, leiomioma, PUD, adenomiosis, polip endometrial dan obstruksi anatomis.
Oleh
sebab itu, dismenore sekunder sering dikaitkan dengan keluhan ginekologis seperti dispareuni, disuria, perdarahan abnormal dan infertilitas (J.O.Schorge,2008). Menurut Sarwono (2011), dismenore sekunder adalah nyeri haid yang berhubungan dengan berbagai keadaan patologis di organ genitalia, misalnya endometriosis, adenomiosis, mioma uteri, stenosis serviks, penyakit radang panggul, perlekatan panggul atau irritable bowel syndrome. 2.1.4. Fisiologi Menstruasi Haid normal merupakan hasil akhir suatu siklus ovulasi.
Siklus ovulasi
diawali dari pertumbuhan beberapa folikel antral pada awal siklus, diikuti ovulasi dari satu folikel dominan, yang terjadi pada pertengahan siklus. Kurang lebih lebih 14
Universitas Sumatera Utara
8
hari pascaovulasi, bila tidak terjadi pembuahan akan diikuti dengan haid. Sedangkan siklus anovulasi adalah siklus haid tanpa ovulasi sebelumnya. Gonadotropin-releasing hormone (GnRH) yang disekresi hipotalamus mengontrol siklus baik pada ovarium dan uterus. GnRH merangsang dilepaskannya follicle-stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH) oleh pituitari anterior. FSH berperan dalam pertumbuhan folikel, sedangkan LH berperan dalam perkembangan dari folikel tersebut. FSH dan LH menstimulasi folikel-folikel untuk mensekresikan estrogen. Selain itu, LH juga berperan untuk merangsang theca cells dari suatu folikel yang sedang berkembang untuk mensekresi androgen. Androgen yang dihasilkan ini nantinya akan dikonversi menjadi estrogen karena adanya pengaruh dari FSH. LH akan memicu terjadinya ovulasi dan pembentukan corpus luteum, corpus luteum akan menghasilkan estrogen, progesterone, relaxin dan inhibin. Estrogen yang disekresi oleh folikel memiliki beberapa fungsi yang penting : 1. Perkembangan dari struktur reproduksi wanita dan karakteristik seks sekunder. 2. Meningkatkan anabolisme protein, termasuk pertumbuhan tulang (bekerja bersama dengan Growth Hormone). 3. Menurunkan level kolesterol darah. 4. Inhibisi pelepasan GnRH oleh hipotalamus dan sekresi LH serta FSH oleh pituitari anterior. Progesteron, disekresi oleh sel yang terdapat pada corpus luteum, bersama dengan estrogen untuk mempertahankan endometrium agar dapat terjadi implantasi jika terjadi pembuahan dan mempersiapkan kelenjar mamae untuk sekresi air susu. Relaksin diproduksi untuk menginhibisi kontraksi uterus yang berlebihan. Sedangkan, Inhibin disekresi oleh sel granulosa dan juga oleh corpus luteum setelah
Universitas Sumatera Utara
9
ovulasi, fungsinya untuk mencegah sekresi FSH dan mengurangi kadar LH (G.J.Tortora & B.Derrickson,2011).
Siklus haid pada wanita umumnya antara 24-36 hari. Fase-fasenya terbagi empat antara lain : Fase menstrual yang terjadi 5 hari pertama dari suatu siklus. Pada ovarium, fase ini adalah fase ketika terjadi perkembangan folikel primordial menjadi folikel sekunder sedangkan di uterus terjadi peluruhan 50-150 ml yang berupa darah, jaringan serta mukus. Peluruhan ini terjadi karena penurunan kadar progesteron dan estrogen yang memicu sekresi prostaglandin sehingga menyebabkan arteriol uterus menjadi
vasokonstriksi.
Fase pre-ovulatori merupakan waktu antara hari terakhir menstruasi dengan ovulasi. Fase ini terjadi pada hari ke-6 hingga hari ke-13. Di ovarium, folikel sekunder mulai
mensekresikan estrogen dan inhibin. Pada hari ke-6, folikel
sekunder akan menyebabkan folikel lainnya menjadi folikel dominan. Sedangkan pada uterus, estrogen yang
dibebaskan ke dalam darah oleh folikel ovarium
menstimulasi regenerasi dari endometrium sehingga ketebalan endometrium menjadi lebih kurang 4 - 10 mm. Fase preovulatori juga disebut juga fase proliferatif karena endometrium
sedang
berproliferasi.
Fase ovulasi merupakan fase rupturnya folikel matur (Graafian) dan dilepaskannya oosit sekunder ke rongga pelvik, pada umumnya terjadi pada hari ke14. Fase post-ovulatori terjadi antara ovulasi dengan onset dari menstruasi berikutnya. Fase ini terjadi pada hari ke-15 sampai hari ke-28. Di ovarium, folikel matur mengalami degenerasi menjadi corpus Hemorrhagicum. Sel Theca internal dengan sel granulosa akan ditransformasi menjadi corpus luteum karena pengaruh LH. Fase ini disebut juga dengan fase luteal. Pada uterus, progesteron dan esterogen
Universitas Sumatera Utara
10
yang dihasilkan oleh corpus luteum menyebabkan perkembangan kelenjar endometrial, vaskularisasi dari endometrium dan penebalan endometrium. Fase ini disebut juga dengan fase sekretori.
Apabila tidak terjadi fertilisasi, maka kadar
hormon akan turun karena degenerasi corpus
luteum
(G.J.Tortora
&
B.Derrickson,2011).
2.1.5. Gangguan Menstruasi Gangguan haid pada masa reproduksi (Sarwono,2011) : 1. Gangguan lama dan jumlah darah haid : hipermenorea (menoragia) dan hipomenorea. 2. Gangguan siklus haid : polimenorea, oligomenorea, amenorea. 3. Gangguan perdarahan di luar siklus haid : menometroragia. 4. Gangguan lain yang berhubungan dengan haid : dismenore dan sindroma pra-haid. Dismenore primer disebabkan oleh kontraksi miometrium sehingga terjadi iskemia akibat adanya prostaglandin yang diproduksi oleh endometrium fase sekresi. Molekul yang berperan pada dismenore primer adalah prostaglandin F2α, yang selalu menstimulasi kontraksi uterus, sedangkan prostaglandin E menghambat kontraksi uterus. Terdapat peningkatan kadar prostaglandin di endometrium saat perubahan dari fase proliferasi ke fase sekresi ( Sarwono, 2011). Menurut Karim (2013), dismenore sekunder paling sering disebabkan oleh : 1. Uterin Leiomioma Merupakan tumor jinak yang sering ditemukan di otot uterus yang merupakan
penyebab tersering dari dismenore sekunder. Tumor ini dapat terus
membesar
karena adanya estrogen. Selain menimbulkan rasa nyeri, juga dapat
menimbulkan menoragia
dan perut kembung. Komplikasi dapat terjadi anemia
dan infertilitas.
Universitas Sumatera Utara
11
2. Pelvic Inflammatory Disease Merupakan infeksi yang terjadi pada uterus dan tuba falopi, infeksi ini terjadi
setelah
Penyebab
menstruasi, jika kronik dapat menyebabkan dismenore.
yang paling
sering adalah Chlamydia trachomatis dan Neisserria
gonorrhoea. Diagnosanya
meliputi tiga kriteria mayor yaitu sakit perut,
nyeri adneksa dan keras pada daerah serviks, serta harus meliputi 1 kriteria minor seperti
demam, vaginal discharge,
leukositosis, gram-negative stain dan sel
darah putih pada vaginal smear. 3. Abses tubo-ovarian merupakan infeksi dan sekuele dari PID 4. Ruptur kista ovarium dan hemorargik 5. Endometriosis Merupakan adanya jaringan mirip endometrium yang ditemukan di luar uterus,
paling sering pada ovarium.
Gejala yang timbul adalah dispareuni,
nyeri panggul dan nyeri punggung. 6. Adenomiosis Merupakan suatu kelainan dimana ditemukan kelenjar adrenal pada miometrium, diagnosa sangat sulit untuk ditegakkan. 2.1.6. Faktor Resiko Dismenore Beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan dismenore primer berupa usia yang sangat muda ketika menarke (<12 tahun), nulliparity, perdarahan menstruasi yang berlebihan dan lama berhenti, merokok, konsumsi alkohol, adanya riwayat dismenore pada keluarga, obesitas. Adapun faktor resiko yang turut berkontribusi dalam timbulnya dismenore sekunder adalah leiomiomata (fibroid), pelvic inflammatory disease, abses tuboovarian, endometriosis, adenomiosis ( Karim,2013).
Universitas Sumatera Utara
12
2.1.7. Gejala Dismenore Dismenore primer dapat menimbulkan gejala-gejala seperti kram pada perut, ketidaknyamanan / kegelisahan satu atau dua hari sebelum menstruasi, diare, mual dan muntah, pusing, nyeri kepala bahkan pingsan. Dismenore sekunder memiliki gejala yang
sesuai dengan apa yang menyebabkannya, jika pasien tersebut
mengalami endometriosis, maka akan timbul gejala berupa nyeri yang lebih berat selama menstruasi dan nyeri tersebut menetap serta bisa ditemukan tidak hanya di bagian uterus. Jika etiologinya merupakan PID, maka dapat timbul gejala nyeri tekan pada palpasi serta massa adneksa yang teraba.
Fibroid uterus gejalanya berupa
perubahan aliran menstruasi, nyeri kram dan polip teraba. Prolaps uteri gejalanya berupa nyeri punggung serta dispareuni (Morgan&Hamilton,2009). 2.1.8. Patofisiologi Dismenore Penelitian membuktikan bahwa dismenore primer disebabkan karena adanya prostaglandin F2α, yang merupakan stimulan miometrium poten dan vasokonstriktor pada endometrium. Kadar prostaglandin yang meningkat selalu ditemui pada wanita yang mengalami dismenore dan tentu saja berkaitan erat dengan derajat nyeri yang ditimbulkan.
Peningkatan kadar ini dapat mencapai 3 kali dimulai dari fase
proliferatif hingga fase luteal, dan bahkan makin bertambah ketika menstruasi. Peningkatan kadar prostaglandin inilah yang meningkatkan tonus miometrium dan kontraksi uterus yang berlebihan. Adapun hormon yang dihasilkan pituitari posterior yaitu vasopresin yang terlibat dalam penurunan aliran menstrual dan terjadinya dismenore. Selain itu, diperkirakan faktor psikis dan pola tidur turut berpengaruh dengan timbulnya dismenore tetapi mekanisme terjadinya dan pengaruhnya dengan dismenore belum jelas dan masih dipelajari (Karim,2013). Peningkatan kadar prostaglandin juga ditemui pada dismenore sekunder, tetapi harus ditemui adanya kelainan patologis pada panggul yang jelas untuk menegakkan diagnosa dismenore sekunder.
Universitas Sumatera Utara
13
Faktor yang ditemukan dalam patogenesis dismenore sekunder adalah endometriosis, pelvic inflammatory disease, kista dan tumor ovarium, adenomiosis, fibroid, polip uteri, adanya kelainan kongenital, pemasangan intrauterine device, transverse vaginal septum, pelvic congestion syndrome dan allen-masters syndrome (Karim,2013). 2.1.9. Diagnosa Secara ringkas, menurut Karim (2013), anamnese yang perlu ditanyakan kepada pasien dengan keluhan dismenore adalah sebagai berikut : 1. Usia menarke. 2. Frekuensi menstruasi tiap bulan, durasi menstruasi, banyak darah yang keluar. 3. Onset, durasi, ciri khas, dan derajat nyeri yang dirasakan. 4. Adanya faktor eksternal yang menyebabkan nyeri 5. Pengaruh terhadap aktivitas sehari-hari. 6. Adanya riwayat keluarga.
Dismenore primer dapat dibedakan dari dismenore sekunder dengan ciri berikut (Karim,2013) : 1. Onset terjadi lebih kurang enam bulan setelah menarke. 2. Durasi 48-72 jam. 3. Nyeri kram dan menyerupai nyeri ingin partus. 4. Nyeri pada bagian bawah abdomen dan menjalar ke belakang bahkan ke bagian paha dalam. 5. Tidak ada keluhan yang berkaitan dengan kelainan panggul.
Dismenore sekunder memiliki ciri khas berikut (Karim,2013) : 1. Onset pada usia 20-30 tahun tanpa adanya keluhan di awal menarke. 2. Perdarahan berlebihan dan iregular.
Universitas Sumatera Utara
14
3. Kelainan patologis panggul ketika pemeriksaan fisik. 4. Infertilitas 5. Dispareuni. 6. Vaginal discharge.
Selain anamnese, perlu dilakukan pemeriksaan fisik secara lengkap, terutama untuk dewasa muda yang baru menstruasi. Pemeriksaan dapat berupa (Karim,2013) : 1. Inspeksi pada genitalia eksterna, untuk melihat apakah ada rash, pembengkakan dan perubahan warna kulit. 2. Inspeksi apakah ada vaginal discharge, darah ataupun benda asing. 3. Inspeksi pada serviks, apakah ada massa atau benda asing. 4. Pemeriksaan palpasi bimanual, apakah ada nyeri tekan atau adanya massa pada pelvik. 2.1.10. Penatalaksanaan 2.1.10.1. Farmakologi Obat antiinflamasi nonsteroid / NSAID NSAID adalah terapi awal yang sering digunakan untuk dismenore. NSAID mempunyai efek analgetika yang secara langsung menghambat sintesis prostaglandin dan menekan jumlah darah haid yang keluar.
Seperti
diketahui sintesis prostaglandin diatur oleh dua isoform siklooksigenase (COX) yang berbeda, yaitu COX-1 dan COX-2.
Sebagian besar NSAID
bekerja menghambat COX-2 (Sarwono,2011). Pil Kontrasepsi Kombinasi Bekerja dengan cara mencegah ovulasi dan pertumbuhan jaringan endometrium sehingga
mengurangi
prostaglandin serta kram uterus.
jumlah
darah
haid
dan
sekresi
Penggunaan pil kontrasepsi kombinasi
Universitas Sumatera Utara
15
sangat efektif untuk mengatasi dismenore dan sekaligus akan membuat siklus haid teratur. Progestin dapat juga
dipakai untuk pengobatan
misalnya medroksi progesteron asetat (MPA) 5 mg atau
dismenore,
didrogestron 2x10
mg mulai haid hari ke-5 sampai 25. Bila penggunaan obat tersebut mengatasi nyeri haid sebaiknya dipertimbangkan
gagal
untuk mencari penyebab
dismenore sekunder ( Sarwono,2011). Gonadotropin-Releasing Hormone Agonists dan Androgen Efek penurunan estrogen yang dimilik obat ini menyebabkan atrofi dari endometrium dan penurunan kadar prostaglandin (J.O.Schorge,2008). 2.1.10.2. Non-Farmakologi Pembedahan Histerektomi sangat efektif dalam mengobati dismenore, tetapi dapat menyebabkan gangguan pada fertilitas seseorang di masa yang akan datang (J.O.Schorge,2008). Pengobatan alternatif 1. Peningkatan masukan makanan seperti serat, kalsium, sayur-sayuran,buahbuahan. 2. Mengurangi konsumsi seperti kafein, garam dan gula yang berlebihan. 3. Berhenti merokok dan konsumsi alkohol. 4. Mengkonsumsi suplemen tambahan seperti multi-vitamin yang banyak mengandung magnesium, vitamin E dan vitamin B6 serta tingkatkan konsumsi fish-oil. Magnesium dikatakan memiliki efek vasodilatasi dan menghambat sintesis dari prostaglandin sehingga dapat mengurangi keluhan nyeri pasien dismenore (J.O.Schorge,2008).
Universitas Sumatera Utara
16
2.1.11. Prognosis Menurut Karim (2013), dengan penggunaan NSAID, prognosis dismenore sangat baik. Akan tetapi, prognosis dari dismenore sekunder bervariasi tergantung etiologi dari dismenore itu sendiri.
Apabila diagnosa dari etiologi dismenore
sekunder tidak tepat, maka dapat menyebabkan peningkatan morbiditas pasien. Walaupun dismenore tidak mengancam nyawa, dismenore dapat mengganggu aktivitas dan produktivitas seseorang. menstruasi
dan
dismenore,
Pemahaman remaja yang terbatas tentang
mengakibatkan
kebanyakan
remaja
menggunakan cara yang tidak tepat untuk mengatasi dismenore.
perempuan Penanganan
dismenore pada remaja sering dilakukan sendiri, hanya sebagian kecil yang datang berkonsultasi pada tenaga kesehatan untuk mengatasi keluhan yang dialaminya. 2.2.
Olahraga Olahraga diperkirakan memiliki peranan penting dalam penatalaksanaan dari
nyeri dismenore. Berikut adalah uraian tentang olahraga secara singkat. 2.2.1. Jenis-Jenis Olahraga Triangto (2005) membagi olahraga menjadi dua yaitu aerobik dan anaerobik. a. Olahraga aerobik Merupakan olahraga yang membutuhkan oksigen sebagai sumber paling penting bagi tubuh untuk bergerak. Definisinya adalah olahraga yang sifatnya ringan dan tidak terlalu berat, gerakan yang dilakukan sama dan secara berulang, waktu yang dibutuhkan juga sangat lama. Contohnya adalah jalan cepat, jogging, lari cepat, renang dan sepeda jarak jauh. b. Olahraga anaerobik Merupakan olahraga yang membutuhkan asam laktat sebagai sumber energi. Olahraga ini dilakukan dengan intensitas yang berat, gerakannya tidak selalu berulang, dan waktunya pendek.
Tujuan dari olahraga anaerobik adalah untuk
Universitas Sumatera Utara
17
meningkatkan penampilan fisik dan menguatkan otot tubuh.
Contohnya adalah
angkat besi, binaragawan, lari dan sepeda jarak pendek / sprint.
2.2.2. Manfaat Olahraga Menurut Tjokronegoro (2004), olahraga memiliki berbagai manfaat sebagai berikut : 1. Peningkatan efisiensi kerja paru 2. Peningkatan efisiensi kerja jantung pengaruh langsung dari olahraga adalah jantung semakin kuat dan dapat memompa darah lebih banyak. 3. Peningkatan jumlah dan ukuran pembuluh darah yang menyalurkan darah ke seluruh tubuh. 4. Peningkatan volume darah ke seluruh tubuh. 5. Peningkatan ketegangan otot-otot dan pembuluh darah, yang seringkali bisa menurunkan tekanan darah tinggi. 6. Mengubah tubuh yang berlemak menjadi tubuh yang tegap. 7. Peningkatan konsumsi oksigen maksimal. Dalam hal ini, terjadi peningkatan kondisi tubuh secara menyeluruh terutama pada organ-organ penting seperti paru-paru, jantung, pembuluh darah dan keseluruhan jaringan tubuh, sehingga daya tahan tubuh juga akan semakin meningkat. 8. Menambah kepercayaan pada diri sendiri.
2.2.3. Kriteria Kegiatan Latihan Menurut Dariyo (2003), tercakup tiga kriteria kegiatan latihan sebagai berikut: 1. Latihan ringan Merupakan kegiatan latihan untuk orang awam dan bagi yang jarang berolahraga. Yang tergolong latihan ringan adalah berjalan lambat, bersepeda,
Universitas Sumatera Utara
18
berenang, bermain golf, bowling, memancing dan merawat rumah atau berkebun. 2. Latihan cukup Merupakan latihan bagi orang awam ( bukan atlet ) yang sering melakukan kegiatan olahraga ( misalnya seminggu 1-3 kali ), dilakukan sesuai proporsi seseorang.
Contoh latihan ini seperti jogging, bersepeda, berenang, tenis
meja, memancing dan mengecat rumah 3. Latihan berat Bagi seorang atlet, sudah sewajarnya kalau ia memiliki taraf latihan olahraga
yang intensif dan cenderung keras karena tujuannya mencapai
prestasi. Contoh
latihan berat seperti latihan enam kali seminggu,
berjalan setiap hari, bersepeda
cepat 4 kali seminggu, latihan pancat
tebing, memancing dan memindahkan furniture tubuh dan lain-lain. Berbagai kuesioner dapat digunakan untuk mengklasifikasikan derajat olahraga menurut frekuensinya, sebagai contohnya adalah kuesioner yang dikembangkan oleh Gaston Godin Ph.D. dan Dr. Roy Shepard yang lebih sering disebut sebagai The GodinShephard LeisureTime Physical Activity Questionnaire. Kuesioner tersebut akan digunakan pada penelitian ini dan dibahas lebih dalam pada bab 3. 2.3.
Olahraga dan Dismenore Menurut Abbaspour (2005), wanita yang teratur berolahraga dapat
mengurangi prevalensi dismenore. Hal ini dikarenakan mungkin efek hormonal yang berhubungan dengan olahraga pada permukaan uterus, atau peningkatan kadar endorfin yang bersirkulasi, endorfin merupakan suatu substansi yang diproduksi oleh otak yang diakibatkan dicapainya ambang nyeri seseorang. Menurut Tjokronegoro (2004) dan Rager (1999), seseorang yang rutin berolahraga, maka ia dapat menyediakan oksigen hampir dua kali lipat per menit sehingga oksigen tersampaikan ke pembuluh darah yang vasokonstriksi di uterus.
Universitas Sumatera Utara
19
Jantung yang memompa darah semakin banyak juga turut berperan serta dalam menyediakan oksigen yang menurunkan rasa nyeri pasien dismenore. Lebih lanjut, olahraga penting untuk remaja putri yang menderita dismenore karena latihan yang rutin dan teratur dapat meningkatkan pelepasan endorfin ( penghilang nyeri alami ) ke dalam sirkulasi darah yang kemudian menurunkan rasa nyeri. Teori lain yang meneliti mengenai hubungan olahraga dengan psikososial seseorang juga menghasilkan beberapa temuan. Olahraga yang rutin diteliti dapat mempengaruhi mood, stress dan respon seseorang terhadap stress yang dihadapi, selfesteem serta juga dikaitkan dengan gangguan menstruasi yang cenderung lebih berkurang.
Menurut Wells (2014), olahraga dapat mengurangi lemak tubuh
seseorang yang nantinya berpengaruh dalam berkurangnya produksi estrogen dari body fat. Akan tetapi, hal tersebut tidak terlalu menjelaskan nyeri yang dialami pasien dismenore. Wells
juga berpendapat bahwa peningkatan kadar endorfin
yang sangat tinggi pada pasien yang rutin berolahraga terjadi bahkan sebelum menstruasi, itulah yang menjadi faktor mengapa orang yang olahraga lebih jarang mengalami dismenore dan mereka yang berolahraga rutin juga memiliki kadar endorfin
yang
lebih
stabil.
Menurut Maruf et.al (2013), penelitiannya tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan antara olahraga dengan dismenore. Teori yang ditemukan adalah olahraga yang rutin dapat mengubah proses biokimiawi pada sistem imun tubuh yang juga belum diketahui dengan jelas prosesnya. Berkurangnya tingkat stres juga berperan dalam berkurangnya rasa nyeri pada dismenore primer yang dialami pasien. Mekanisme yang lain menurut Maruf adalah meningkatnya metabolisme tubuh karena meningkatnya aliran darah yang lancar ke daerah pelvik yang berperan dalam mengurangi rasa kurang nyaman yang dialami pasien dismenore.
Universitas Sumatera Utara