6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
a.Konsep Lansia 2.Batasan Lanjut Usia Ada beberapa pendapat mengenai batasan umur lanjut usia, mengutip pernyataan : a.Organisasi Kesehatan Dunia Lanjut usia meliputi usia pertengahan yakni kelompok usia 45 sampai 59 tahun, lanjut usia (Elderly) yakni antara usia 60 sampai 74 tahun, usia lanjut tua (Old) yaitu antara usia 75 sampai 90 tahun, dan usia sangat tua (very old) yaitu usia diatas 90 tahun. b.Undang – undang nomor 13 tahun 1998 Menjelaskan tentang kesejahteraan lanjut usia yang termaktub dalam BAB I pasal 1 ayat 2 yaitu bahwa “ lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas “. c.Koesoemato Setyonegoro Pengelompokan lanjut usia meliputi: Usia dewasa muda (elderly adulthood) yaitu usia 18 atau 20-25 tahun, usia dewasa penuh (middle years) atau maturitas yaitu usia 25-60 atau 65 tahun, lanjut usia (geriatric age) yaitu usia lebih dari 65 atau 70 tahun, usia 70 – 75 tahun (young old), usia 75 – 80 tahun (old), dan lebih
7
dari 80 tahun (very old) dalam Nugroho, 2000). 3.Proses Penuaan Penuaan merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari oleh setiap manusia. Walaupun proses penuaan merupakan sesuatu yang normal, akan tetapi pada kenyataannya proses ini lebih menjadi beban. Hal ini secara keseluruhan tidak bisa dipungkiri oleh beberapa orang yang merasa lebih menderita karena pengaruh penuaan ini. Proses penuaan ini mempunyai konsekuensi terhadap aspek biologis, psikologis, dan sosial (Watson, 2003). 4.Perubahan-perubahan yang terjadi pada lanjut usia a.Perubahan-perubahan fisik 1)Sel menjadi lebih sedikit jumlahnya dan lebih besar ukurannya 2)Sistem persyarafan terjadi perubahan berat otak menurun 10 – 20, lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi dan mengecilnya saraf panca indera yang menyebabkan berkurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran, menurunnya sensasi perasa dan penciuman. 3)Sistem
pendengaran
terjadi
perubahan
hilangnya
kemampuan
daya
pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi atau suara nada tinggi. 4)Sistem penglihatan terjadi perubahan hilangnya respon terhadap sinar, kornea lebih berbentuk sferis, serta hilangnya daya akomodasi. 5)Sistem kardiovaskuler terjadi perubahan elastisitas dinding aorta menurun, kemampuan jantung memompa darah menurun dan kehilangan elastisitas
8
pembuluh darah. 6)Sistem respirasi terjadi perubahan pada otot – otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, paru – paru kehilangan elastisitas. 7)Sistem Gastrointestinal terjadi perubahan kehilangan gigi, indra pengecap menurun, rasa lapar menurun, peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi. 8)Sistem genitourinaria terjadi perubahan nefron menjadi atrofi, aliran darah ke ginjal menurun, dan otot – otot vesika urinaria lemah. 9)Sistem endokrin terjadi perubahan produksi hampir semua hormon menurun seperti Adrenokortikotropin hormon (ACTH), Follicle-stimulating hormon (FSH), Thyroid-stimulsitng hormon (TSH) dan Luteinizing hormon (LH) ( Brunner & Suddarth, 2002). 10)Sistem integumen terjadi perubahan elastisitas sehingga menjadi keriput, permukaan kulit bersisik dan kasar. 11)Sistem muskuloskeletal terjadi perubahan berupa tulang makin rapuh, terjadi kifosis, persendian kaku dan atrofi serabut otot. b.Perubahan – perubahan mental meliputi perubahan dalam memori dan intellegentia quantion (IQ). c.Perubahan – perubahan psikososial meliputi pensiun, merasakan atau sadar akan kematian, perubahan dalam cara hidup dan sebagainya. Perubahan yang terjadi pada lansia, dapat menimbulkan berbagai masalah. Adapun utama pada lansia (Geriatrik Giant) Setianto (2005) yaitu:
9
a.Gangguan otak besar (Sindroma serebral) adalah kumpulan gejala yang terjadi akibat perubahan dari aliran darah otak. Pada lansia, terjadi pengecilan otak besar yang dalam batas tertentu masih dianggap normal. Aliran darah otak orang dewasa kurang lebih 50 cc/100 grm/menit. Apabila aliran kurang dari separuhnya, maka akan menimbulkan gejalagejala gangguan otak besar. Ganguan sirkulasi ini dapat disebabkan karena
hipertensi/darah
tinggi,
mengerasnya
pembuluh
darah,
penyempitan akibat proses pengerasan pembuluh yang dipercepat dengan tingginya kolesterol darah (atheroskerosis), kencing manis, merokok dan darah tinggi. b.Bingung (Konfius) adalah suatu akibat gangguan menyeluruh pada fungsi pangertian (kognisi) meliputi derajat kesadaran, kewaspadaan dan terganggunya proses berfikir. Bingung tersebut meliputi bingung waktu, tempat dan orang yang merupakan istilah lain gagal otak akut. Gangguan memori dapat berupa gangguan jangka pendek, maupun jangka panjang. Ada gangguan angan-angan misalnya melihat sesuatu yang tidak ada (halusinasi) atau salah penglihatan. Ada enam ciri dari konfius antara lain derajat kesadaran yang menurun, gangguan cipta (persepsi), terganggunya siklus bangun tidur yaitu sulit tidur (insomnia); Aktifitas fisik bisa meningkat atau menurun, bingung, belajar materi baru.
gangguan memori, tidak mampu
10
c.Gangguan saraf mandiri pada lanjut usia yang perlu diperhatikan adalah terjadinya perubahan aliran listrik saraf ke pusat mandiri yang mengakibatkan tekanan darah rendah (hipotensi) pada posisi tegak, gangguan-gangguan pengaturan seperti pada pengaturan suhu, gerak kandung kemih, saluran makanan di leher dan usus besar. d.Inkontinentia urin yaitu, sering berkemih tanpa disadari oleh lansia. Inkontinentia akut antara lain disebabkan oleh DRIP (D: delirium, kesadaran kurang; R: retriksi mobilitas, retensi; I: infeksi, inflamasi, impaksi
feces; P: pharmasi/obat-obatan, poliuri). Inkontinensia alvi,
sering buang air besar/defekasi tanpa disadari. Peristiwa ini tidak menyenangkan, tetapi tidak terelakkan. Diantara penderita inkontinensia urin 35% menderita inkontinensia alvi sehingga mekanismenya dianggap sama. Feses bisa berupa cair atau belum berbentuk bahkan dapat merembes dipakaian atau tempat tidur. Keluarnya feses yang sudah berbentuk dapat terjadi sekali atau dua kali per hari. Hal ini dapat disebabkan hilangnya refleks anal/anus dan disertai lemahnya otot-otot seran lintang yang melingkari anus. Sering ini merupakan gejala awal penyakit saluran cerna bawah, bahkan sangat mungkin disembuhkan apabila diobati pada waktu dini. e.Jatuh yaitu suatu kejadian yang menyebabkan seseorang mendadak terbaring atau terduduk dilantai atau tempat yang lebih rendah dengan atau
11
tanpa kehilangan kesadaran atau luka dan merupakan salah satu masalah utama lansia (Reuben, 1996). f.Penyakit tulang dan patah tulang menjadi salah satu sindroma geriatrik, dalam arti angka kejadian dan akibatnya pada lansia cukup bermakna. Hal ini sejalan dengan bertambahnya usia, maka terjadi peningkatan hilangnya massa tulang deengan kejadian patah tulang berbanding lurus/linier. Tingkat hilang tulang ini sekitar 0,5-1% per tahun dari berat tulang pada wanita paska menopause dan pria > 80 tahun. Sepanjang hidup tulang mengalami
perusakan
(dilaksanakan
oleh
sel-sel
osteoklas)
dan
pembentukan (dilaksanakan oleh sel-sel osteoblas) yang berjalan bersamasama, sehingga tulang dapat membentuk modelnya sesuai dengan pertumbuhan badan (proses remodelling). Oleh karena itu dapat dimengerti bahwa proses remodelling ini akan sangat cepat pada usia remaja (growth sport). g.Dekubitus dapat terjadi pada setiap umur hal tersebut merupakan masalah khusus pada lanjut usia dan erat kaitannya dengan imobilitas. Dekubitus adalah kerusakan atau kematian kulit sampai jaringan dibawahnya, bahkan menembus otot sampai mengenai tulang, akibat adanya penekanan pada suatu area secara terus menerus sehingga mengakibatkan gangguan sirkulasi darah setempat. Seseorang yang tidak imobil atau bisa alih posisi dapat berbaring berminggu-minggu tanpa terjadi dekubitus karena dapat
12
berganti posisi beberapa kali dalam satu jam. Pergantian posisi ini walaupun hanya bergeser, sudah cukup untuk mengganti bagian tubuh yang kontak dengan alas tempat tidur. b.Faktor – faktor yang Mempengaruhi Jatuh pada Lanjut Usia Kejadian jatuh dapat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti usia, jenis kelamin, penyakit, dan stabilitas badan. Stabilitas badan dapat dipengaruhi oleh beberapa hal (Darmojo, 2004) yaitu: 1. Sistem Sensorik Sistem sensorik yang berperan adalah visus (tajam penglihatan), sedangkan sistem pendengaran yang terkait adalah fungsi vestibuler dan propioseptif. Semua gangguan atau perubahan pada mata akan menimbulkan gangguan penglihatan. Begitu juga dengan semua penyakit telinga akan menimbulkan gangguan pendengaran, misalnya Vertigo tipe perifer sering terjadi pada lansia yang diduga karena adanya perubahan fungsi vestibuler akibat proses menua. Neuropati perifer dan penyakit degeneratif leher akan mengganggu fungsi propioseptif (Tinetti, 1992). 2. Sistem Saraf Pusat (SSP) Sistem Syaraf Pusat akan memberikan respon motorik untuk mengantisipasi input sensorik. Penyakit SSP seperti stroke, parkinson, dan normotensif hidrocephalus sering diderita oleh lansia dan menyebabkan gangguan fungsi SSP sehingga berespon tidak baik terhadap input sensorik
13
(Tinetti, 1992). 3. Sistem Muskuloskeletal Faktor ini disebutkan oleh beberapa peneliti merupakan faktor yang benar-benar murni milik lansia yang berperan besar terhadap terjadinya jatuh. Gangguan sistem muskuloskeletal menyebabkan gangguan berjalan dan ini berhubungan dengan proses menua yang fisiologis maupun penyakit tertentu. Faktor penyebab jatuh pada lansia dapat dibagi dalam 2 golongan besar (Darmojo, 2004 dikutip dari Kane, 1994), yaitu: a.Faktor Intrinsik 1)Sistem Saraf Pusat (SSP) Stroke adalah sindrome klinis yang awal tiimbulnya mendadak, cepat, berupa defisit neurologis fokal dan atau global yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian , dan disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik (Kapita Selekta Kedokteran, 2000). Stroke dan Trancient Iskemia Attack (TIA) yang mengakibatkan hemiparese sering menyebabkan jatuh pada lansia. Insufisiensi arteri vertebral juga menyebabkan syncope dan jatuh. Syncope adalah suatu keadaan dimana terdapat kelemahan menyeluruh pada otot-otot tubuh sehingga tidak mampu memprtahankan sikap tegak dan disertai hilangnya kesadaran (Buku Ajar Kardiologi, 2000). Syncope dan jatuh pada insufisiensi arteri vertebral terjadi ketika lansia melihat ke atas dan ke salah satu sisi atau mengambil suatu benda
14
yang lebih tinggi. Kondisi ini cenderung terjadi pada lansia dengan servikal spondilosis. Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan berulang-ulang yang disebabkan lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel syaraf otak yang bersifat reversibel dengan berbagai sebab (Kapita Selekta Kedokteran, 2000). Epilepsi merupakan kasus yang jarang menyebabkan jatuh pada lansia, tetapi epilepsi juga merupakan salah satu faktor penyebab jatuh, maka kemungkinan jatuh akibat epilepsi harus diperhatikan. Jatuh merupakan hal yang umum pada lansia yang menderita penyakit parkinson. Penyakit parkinson adalah penyakit neurologis kronis yang mengenai ganglia basalis akibat penurunan atau tidak adanya pengiriman dopamin dari substansia nigra ke globus pallidus. Gejala khas penyakit Parkinson antara lain tremor sewaktu istirahat (resting tremor), rigiditas, bradikinesia atau kelambanan pergerakan, instabilitas postural. Gejala lain yang mungkin ditemukan adalah suara atau cara berbicara menjadi monoton, volumenya
rendah dan terputus-putus;
sekresi air liur yang berlebihan (sialorrhea), disfungsi otonom seperti berkeringat berlebihan, inkontinensia, hipotensi ortostatik, hal ini mungkin disebabkan oleh menghilangnya secara progresif neuron di ganglia simpatik; tulisan tangan menjadi kecil dan rapat, tanda Meyerson
15
positif yaitu kedua mata berkedip-kedip bila dilakukan pengetukan di atas pangkal hidung. Normotensif hidrocephalus menyebabkan ataxia yang dini dan tampak dalam trias khusus yaitu gangguan berjalan, demensia dan inkotinensia. Gangguan berjalan dalam bentuk berjalan magnetik dengan langkah pendek-pendek, kurangnya kontrol keseimbangan dan kesulitan untuk berputar. Kondisi di atas dapat menyebabkan jatuh pada lansia. 2)Demensia Demensia adalah suatu sindrom klinik yang meliputi hilangnya fungsi intelektual dan ingatan atau memori sedemikian berat sehingga menyebabkan disfungsi hidup sehari-hari (Darmojo, 2004). Prevalensi demensia meningkat pada populasi lansia dengan umur 65 tahun ke atas dan meningkat tajam setelah umur 75 tahun. Lansia dengan demensia menunjukkan persepsi yang salah terhadap bahaya lingkungan, terganggunya keseimbangan tubuh dan apraxia sehingga insiden jatuh meningkat. Depresi atau keadaan pseudodemensia juga umum terdapat pada lansia dengan prevalensi 10 % pada lansia di kota besar. Peningkatan insiden jatuh pada lansia dengan depresi disebabkan kurangnya kewaspadaan terhadap faktor lingkungan, keinginan untuk melukai diri dan gangguan kesehatan secara umum. Hasil penelitian Friskawati (2005), didapatkan bahwa dari 85 lansia di desa Pelem Kabupaten Boyolali 92,5% mengalami demensia
16
mempunyai peluang terjadi gangguan pola tidur. Hasil uji kai kuadrat dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara demensia dengan pola tidur pada lansia, dengan nilai p = 0.016. Dengan adanya gangguan pola tidur pada lansia maka akan berdampak pada kesehatan lansia yang secara tidak langsung akan mempegaruhi keseimbangan tubuh pada lansia. 3)Gangguan Sistem Sensorik Gangguan sistem sensorik bisa mengenai sensori, rasa nyeri, dan sensasi. Gangguan sernsori dapat berupa katarak, glaukoma, degenerasi makular, gangguan visus pasca stroke dan retinopati diabetika meningkat sesuai dengan umur. Entropion, ektropion atau epifora yang menyebabkan gangguan penglihatan juga meningkatkan insiden jatuh. Walaupun gangguan penglihatan meningkatkan insiden jatuh tetapi kebutaan tidak meningkatkan insiden tersebut. Gangguan sensasi keseimbangan berupa vertigo, sering ditemukan pada lansia tetapi tidak sering menyebabkan jatuh pada lansia. Vertigo sering terjadi bersamaan dengan nistagmus. Berdasarkan etiologinya vertigo dibagi menjadi vertigo tipe perifer dan vertigo tipe sentral. Vertigo tipe perifer terjadi akibat gangguan pada sistem vestibuler atau auditorius seperti pada penyakit positional vertigo, labyrintitis dan Meniere’s disease. Vertigo tipe sentral dihubungkan dengan gangguan pada otak, untuk mengetahui vertigo tipe sentral diperlukan CT-Scan
17
kepala untuk diagnosa pasti. 4)Gangguan Sistem Kardiovaskuler Insiden gagal jantung kongestif dan infark miokard meningkat sesuai dengan umur. Hipertensi dan kardia aritmia juga sering ditemukan pada lansia. Gangguan sistem kardiovaskuler akan menyebabkan syncope. Syncope –lah yang sering menyebabkan jatuh pada lansia. Menurut penelitian (Gordon et.al 1998 dalam Nugroho, 2000), 12 dari 37 lansia yang menderita kardia aritmia mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk jatuh. Postural hypotension yang harus dicurigai ketika lansia pusing bila melakukan perubahan posisi secara mendadak seperti mendadak bangun dari tempat tidur atau kursi. Postprandial syncope yang berhubungan dengan transient hypotension, sering dijumpai lansia setelah makan atau buang air besar. Dalam hal ini meningkatkan risiko jatuh lansia di kamar mandi. 5)Gangguan Metabolisme Gangguan metabolisme sering mengakibatkan kejadian jatuh. Gangguan ini terutama pada gangguan regulasi cairan berupa dehidrasi. Dehidrasi bisa disebabkan oleh diare, demam, asupan cairan yang kurang atau penggunaan diuretik yang berlebihan. Manifestasi klinis yang tampak adalah syncope atau postural hypotension walaupun kadang drop attacks dan vertigo dapat terjadi.
18
6Gangguan Gaya Berjalan (gait disorder) Salah satu bentuk aplikasi fungsional dari gerak tubuh adalah pola jalan. Keseimbangan, kekuatan dan fleksibilitas diperlukan untuk mempertahankan postur tubuh yang baik. Ketiga elemen itu merupakan dasar untuk mewujudkan pola jalan yang baik setiap individu. Gangguan gaya berjalan dapat disebabkan oleh gangguan muskuloskeletal dan ini berhubungan dengan proses menua yang fisiologis. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mencapai pergerakan normal yaitu: a.Penyokong anti gravitasi pada posisi tegak, kontrol keseimbangan dan pergerakan melangkah ke depan. b.Posis tegak karena pusat gravitasi berada di vertebra sakral 2 anterosuperior c.Posisi tegak membutuhkan sedikit energi untuk menjaga keseimbangan saat berdiri. Stabilitas mekanik dipertahankan sepanjang jalur gravitasi yang melewati dasar penyangga di antara kedua kaki. Selain pergerakan normal, juga harus diperhatikan terkait dengan mekanisme pergerakan maju (Darmojo, 2004) yaitu : a.Berhubungan dengan fiksasi dan elevasi dari pelvis oleh otot abduktor paha. b.Badan dimiringkan ke depan. c.Kaki yang berayun dan fleksi serta panggul sedikit berputar keluar, lutut
19
fleksi dan kaki dorso fleksi. d.Tumit menyentuh lantai. e.Rotasi eksternal dan dorsofleksi tungkai yang bergeser ke pusat gravitasi di depan. f.Rotasi lengan dan bahu berguna untuk keseimbangan gerakan pelvis dan ekstremitas bawah. Dampak dari pergerakan maju akan menghasilkan pola jalan. Pada lansia ada beberapa perubahan yang mungkin terjadi, diantaranya sebagai berikut: a. Kecepatan berjalan tetap stabil sampai umur 70 tahun, kemudian dalam tiap dekade menurun kecepatannya menurun 15% untuk kecepatan berjalan biasa dan 20% untuk kecepatan berjalan maksimal. Uniknya, dari penelitian tidak didapati adanya perubahan cadence (ritme berjalan) walaupun menurun kecepatan iramanya. b. Peningkatan waktu fase berdiri dengan dua kaki (double stance phase) sehingga menurunkan momentum pada fase mengayun kaki dan berakibat langkah menjadi lebih pendek. c.
Berjalan dengan ibu jari kaki deviasi ke arah lateral sekitar 5%. Merupakan adaptasi tubuh agar didapati keseimbangan lateral atau dicurigai adanya kelemahan pada otot panggul yang bertugas melakukan rotasi interna
d. Pergerakan sendi berubah seiring dengan umur, contohnya Ankle
20
plantar fleksor yang menurun walaupun kemampuan maksimal dari ankle plantar dorsofleksi tidak berubah. e. Panjang langkah berkurang pada orang tua, mungkin otot betis pada lansia yang berkurang kekuatannya dan tidak bisa menghasilkan plantar fleksi yang optimal, bisa juga disebabkan karena berkurangnya keseimbangan dan kontrol tubuh yang jelek pada fase single stance. Bisa juga karena
rasa aman yang didapat ketika berjalan dengan
langkah pendek. f. Sedikit adanya rigiditas pada anggota gerak, terutama anggota gerak atas lebih dari anggota gerak bawah. Rigiditas akan hilang apabila tubuh bergerak. g.
Gerakan otomatis menurun, amplitude dan kecepatan berkurang, seperti hilangnya ayunan tangan saat berjalan.
h. Penurunan rotasi badan, terjadi karena efek sekunder kekakuan sendi. i.
Penurunan ayunan tungkai saat fase mengayun.
j.
Penurunan sudut antara tumit dan lantai, itu mungkin disebabkan lemahnya fleksibilitas plantar fleksor. Selain pergerakan normal, bisa juga ditemukan gangguan gaya
berjalan yang terjadi akibat proses menua dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu kekakuan jaringan penghubung, berkurangnya massa otot, perlambatan konduksi saraf, penurunan visus atau lapang pandang, kerusakan propioseptif. Disamping itu
biasanya juga dijumpai pada
21
lansia, yaitu kelemahan otot quadriceps femoris, stenosis spinal, stroke, neuropati perifer, osteoartritis, osteoporosis, penyakit Parkinson dan keadaan patologi dari sendi panggul. Semua perubahan tersebut mengakibatkan kelambanan gerak, langkah yang pendek dan penurunan irama. Kaki tidak dapat menapak dengan kuat dan lebih cenderung gampang goyah (postural sway). Perlambatan
reaksi
mengakibatkan
lansia
susah
atau
terlambat
mengantisipasi bila terjadi gangguan seperti terpeleset, tersandung, kejadian tiba-tiba sehingga memudahkan jatuh. Ada beberapa gangguan gaya berjalan yang sering ditemukan pada lansia, (Darmojo, 2004) antara lain : a.Gangguan gaya berjalan hemiplegik (Hemiplegic Gait) Pada hemiplegik terdapat kelemahan dan spastisitas ekstremitas unilateral dengan fleksi pada ekstremitas atas dan ekstremitas bawah dalam keadaan ekstensi. Ekstremitas bawah dalam keadaan ekstensi sehingga
mengakibatkan
kaki
“memanjang”.
Pasien
harus
mengayunkan sambil memutar kakinya untuk melangkah ke depan. Jenis gangguan berjalan ini ditemukan pada lesi tipe Upper Motor Neuron (UMN). b.Gangguan gaya berjalan diplegik (Diplegic Gait) Terdapat spastisitas ekstremitas bawah lebih berat dibanding ekstremitas atas. Pangkal paha dan lutut dalam keadaan fleksi dan
22
adduksi dengan pergelangan kaki dalam keadaan ekstensi dan rotasi interna. Jika lansia berjalan kedua ekstremitas bawah dalam keadaan melingkar. Jenis gangguan berjalan ini biasanya dijumpai pada lesi periventrikular bilateral. Ekstremitas bawah lebih lumpuh dibanding dengan ekstremitas atas karena akson traktus kortikospinalis yang mempersarafi ekstremitas bawah letaknya lebih dekat dengan ventrikel otak. c.Gangguan gaya berjalan neuropathy (Neuropathic Gait) Gangguan gaya berjalan jenis ini biasanya ditemukan pada penyakit saraf perifer dimana ekstremitas bawah bagian distal lebih sering diserang. Karena terjadi kelemahan dalam dorsofleksi kaki, maka pasien harus mengangkat kakinya lebih tinggi untuk menghindari pergeseran ujung jari kaki dengan lantai. d.Gangguan gaya berjalan miopathy (Myopathic Gait) Dengan adanya kelainan otot, otot-otot proksimal pelvic girdle (tulang pelvis yang menyokong pergerakan ekstremitas bawah) menjadi lemah. Oleh karena itu, terjadi ketidakseimbangan pelvis bila melangkah ke depan, sehingga pelvis miring ke kaki sebelahnya, akibatnya terjadi goyangan dalam berjalan. e.Gangguan gaya berjalan Parkinsonian (Parkinsonian Gait) Terjadi rigiditas dan bradikinesia dalam berjalan akibat gangguan di ganglia basalis. Tubuh membungkuk ke depan, langkah memendek,
23
lamban dan terseret disertai dengan ekspresi wajah seperti topeng. f.Gangguan gaya berjalan khoreoform (Choreiform Gait) Merupakan gangguan gaya berjalan dengan hiperkinesia akibat gangguan ganglia basalis tipe tertentu. Terdapat pergerakan yang ireguler seperti ular dan involunter baik pada ekstremitas bawah maupun atas. g.Gangguan gaya berjalan ataxia (Ataxic Gait) Langkah berjalan menjadi lebar, tidak stabil dan mendadak, akibatnya badan memutar ke samping dan jika berat pasien akan jatuh. Jenis gangguan berjalan ini dijumpai pada gangguan cerebellum. Menurut penelitian Sitompul (2000), dari 33 lansia di Panti Wredha Wening Werdaya Ungaran diperoleh hasil bahwa ada hubungan antara kecepatan berjalan dengan keseimbangan berdiri walaupun dalam derajat amat rendah (r = 0.0839), artinya dengan kecepatan berjalan yang teratur maka keseimbangan berdiri akan stabil, begitu juga sebaliknya jika kecepatan berjalan tidak teratur maka
keseimbangan
berdiri
akan
terganggu
sehingga
dapat
menyebabkan lansia jatuh. bFaktor Ekstrinsik 1Faktor Lingkungan Lingkungan merupakan suatu keadaan atau kondisi baik bersifat mendukung atau berbahaya yang dapat mempengaruhi jatuh pada lansia.
24
Faktor lingkungan yang belum dikenal mempunyai risiko terhadap roboh sebesar 22 % (Probosuseno, 2006). Lingkungan yang sering dihubungkan dengan jatuh pada lansia antara lain alat-alat atau perlengkapan rumah tangga yang sudah tua atau tergeletak di bawah, tempat tidur tidak stabil atau kamar mandi yang rendah dan licin, tempat berpegangan yang tidak kuat atau tidak mudah dipegang,; lantai tidak datar, licin atau menurun; karpet yang tidak dilem dengan baik, keset yang tebal/menekuk pinggirnya, dan benda-benda alas lantai yang licin atau mudah tergeser; lantai licin atau basah, penerangan yang tidak baik (kurang atau menyilaukan); alat bantu jalan yang tidak tepat ukuran, berat, maupun cara penggunaannya. Kejadian jatuh pada lansia sekitar 10 % terjadi ditangga dengan kejadian jatuh saat turun tangga lebih banyak dibanding saat naik, yang lainnya terjadi karena tersandung atau menabrak benda perlengkapan rumah tangga, lantai yang licin atau tidak rata dan penerangan ruang yang kurang. 2Faktor Aktifitas Sebagian besar jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktifitas biasa seperti berjalan, naik atau turun tangga dan mengganti posisi. Hanya sedikit sekali jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktifitas berbahaya seperti mendaki gunung atau olahraga berat. Jatuh juga sering terjadi pada lansia dengan banyak kegiatan dan olahraga, mungkin disebabkan oleh
25
kelelahan atau terpapar bahaya yang lebih banyak. Jatuh juga sering terjadi pada lansia yang immobile (jarang bergerak) ketika tiba-tiba ingin pindah tempat atau mengambil sesuatu tanpa pertolongan. 3Obat-obatan Obat merupakan zat kimia yang dikonsumsi oleh tubuh. Kelompok dewasa berusia diatas 65 tahun merupakan pengguna obat-obatan yang terbanyak, terhitung hampir 40 % dari semua obat yang diresepkan (Perry&Potter, 2001 dikutip dari Hosstel, 1992). Obat-obatan juga meningkatkan insiden jatuh terutama obat-obatan yang menyebabkan somnolen (obat hipnotik), postural hypotension (diuretik, nitrat, obat antihipertensi dan antidepresan trisiklik) dan kebingungan (simetidine dan digitalis). Adapun efek samping obat anti hipertensi antara lain adalah vertigo dan sakit kepala (Katzung, 1994). Kadar obat dalam serum tidak stabil karena perubahan farmakokinetik
akibat
proses
menua
dan
penyakit
juga
sering
menyebabkan intoksikasi obat pada lansia. Disamping itu, obat yang diresepkan dapat menyebabkan konfusi, pusing, mengantuk yang dapat mempengaruhi keseimbangan dan mobilitas (Perry dan Potter, 2001).
26
C.Kerangka Teori Geriatrik Giant Lansia Gangguan Otak Besar Gangguan Syaraf Mandiri Bingung ( konfius ) Perubahan fisik, mental dan sosial
Inkontinensia Jatuh
Kelainan Tulang dan Patah
Dekubitus
Sistem syaraf pusat, Demensia
Obat-obatan yang diminum
Gangguan sistem sensorik dan system kardiovaskuler
Aktifitas
Gangguan metabolisme dan gaya berjalan
Linkungan yang tidak mendukung atau berbahaya
Gambar 3.1 Skema Kerangka Teori Sumber: (Darmojo, 2004 dikutip dari Kane, 1994)
27
D.Kerangka Konsep Variabel bebas
Variabel terikat Gangguan gaya berjalan Demensia Lingkungan
Jatuh pada lansia
Obat-obatan
Gambar 3.2 Skema Kerangka Konsep
E.Variabel Penelitian 1.Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat dari variabel bebas (Alimul, 2003). Variabel terikat yang akan diteliti adalah kejadian jatuh pada lansia. 2.Variabel bebas adalah variabel yang menjadi sebab timbulnya atau berubahnya variabel terikat (Sugiyono, 2003). Variabel bebas yang akan diteliti yaitu gangguan gaya berjalan, demensia, lingkungan, dan obat-obatan.
28
F.Hipotesa Adapun hipotesis penelitian yang diambil dalam penelitian ini adalah : 1.Ada hubungan ganguan gaya berjalan dengan kejadian jatuh pada lansia. 2.Ada hubungan demensia dengan kejadian jatuh pada lansia. 3.Ada hubungan lingkungan dengan kejadian jatuh pada lansia. 4.Ada hubungan obat - obatan dengan kejadian jatuh pada lansia.