BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
2.1
Tinjauan Teoritis
2.1.1 Teori Stakeholder (Stakeholder Theory) Perusahaan tidak hanya bertanggung jawab terhadap para pemilik (shareholder) tetapi juga memiliki tanggung jawab terhadap kondisi lingkungan dan sosial masyarakat (social responsibility). Fenomena seperti itu terjadi karena adanya tuntutan dari masayarakat akibat negative externalities yang timbul serta ketimpangan sosial yang terjadi (Hadi, 2011:93). Untuk itu, tanggung jawab perusahaan yang semula hanya diukur pada sebatas indikator ekonomi (economic focused) dalam laporan keuangan, kini harus bergeser dengan memperhitungkan faktor-faktor sosial (social dimentions) terhadap stakeholder, baik internal maupun eksternal. Stakeholder adalah semua pihak baik internal maupun eksternal yang memiliki hubungan baik bersifat mempengaruhi maupun dipengaruhi, bersifat langsung maupun tidak langsung oleh perusahaan. Perusahaan hendaknya memperhatikan kepentingan stakeholder, karena mereka adalah pihak yang mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung atas aktivitas serta kebijakan yang diambil dan dilakukan perusahaan. Jika perusahaan tidak memperhatikan stakeholder bukan tidak mungkin akan menuai protes dan dapat mengeliminasi legitimasi stakeholder.
Berdasarkan asumsi dasar stakeholder theory, perusahaan tidak dapat melepaskan diri dengan lingkungan sosial (social setting) sekitarnya. Perusahaan perlu menjaga legitimasi stakeholder serta mendudukannya dalam kerangka kebijakan dan pengambilan keputusan, sehingga dapat mendukung dalam pencapaian tujuan perusahaan, yaitu stabilitas usaha dan jaminan going concern Adam C.H, 2002 (dalam Hadi, 2011:94). Essensi teori stakeholder jika ditarik interkoneksi dengan teori legitimasi yang mengisyaratkan bahwa perusahaan hendaknya mengurangi expectation gap dengan masyarakat (public) sekitar guna meningkatkan legitimasi (pengakuan) masyarakat ternyata saling terkait. Untuk itu, perusahaan hendaknya menjaga reputasinya yaitu dengan menggeser pola orientasi (tujuan) yang semula sematamata diukur dengan economic measurement yang cenderung shareholder orientation, kearah memperhitungkan faktor sosial (social factors) sebagai wujud kepedulian
dan
keberpihakan
terhadap
masalah
sosial
kemasyarakatan
(stakeholder orientation). 2.1.2 Teori Legitimasi (Legitimacy Theory) Legitimasi masyarakat merupakan faktor strategis bagi perusahaan dalam rangka mengembangkan perusahaan ke depan. Hal itu, dapat dijadikan sebagai wahana untuk mengonstruksi strategi perusahaan, terutama terkait dengan upaya memposisikan diri di tengah lingkungan masyarakat yang semakin maju. Legitimasi merupakan keadaan psikologis keberpihakan orang dan kelompok orang yang sangat peka terhadap gejala lingkungan sekitarnya baik fisik maupun
nonfisik. O’Donovan, 2002 (dalam Hadi, 2011:87) berpendapat bahwa legitimasi organisasi dapat dilihat sebagai sesuatu yang diberikan masyarakat kepada perusahaan dan sesuatu yang diinginkan atau dicari perusahaan dari masyarakat. Dengan demikian, legitimasi merupakan manfaat atau sumber daya potensial bagi perusahaan untuk bertahan hidup (going concern) Sejalan dengan karakternya yang berdekatan dengan ruang dan waktu, legitimasi
mengalami
pergeseran
bersamaan
dengan
perubahan
dan
perkembangan lingkungan dan masyarakat dimana perusahaan berada Dowling, 1975 (dalam Hadi, 2011:87). Perubahan nilai dan norma sosial dalam masyarakat sebagai konsekuensi perkembangan peradaban manusia, juga menjadi motivator perubahan legitimasi perusahaan disamping juga dapat menjadi tekanan bagi legitimasi perusahaan Lindblom, 1994 (dalam Hadi, 2011:88). Gray et. al, 1996 (dalam Hadi, 2011:88) menyatakan bahwa legitimasi merupakan sistem pengelolaan perusahaan yang berorientasi pada keberpihakan terhadap masyarakat (society), pemerintah individu dan kelompok masyarakat. Untuk itu, sebagai suatu sistem yang mengedepankan keberpihakan kepada society, operasi perusahaan harus kongruen dengan harapan masyarakat. Legitimasi mengalami pergeseran sejalan dengan pergeseran masyarakat dan lingkungan, perusahaan harus dapat menyesuaikan perubahan tersebut baik produk, metode dan tujuan. Deegan, Robin dan Tobin, 2002 (dalam Hadi, 2011:89) menyatakan legitimasi dapat diperoleh manakala terdapat kesesuaian antara keberadaan perusahaan yang tidak mengganggu atau sesuai (congruent)
dengan eksistensi sistem nilai yang ada dalam masyarakat dan lingkungan. Ketika terjadi pergeseran yang menuju ketidaksesuaian, maka pada saat itu legitimasi perusahaan dapat terancam. Pengurangan senjangan legitimasi dapat dilakukan melalui strategi legitimasi, dengan cara meningkatkan tanggung jawab sosial (social responsibility) dan memperluas pengungkapan, termasuk pengungkapan sosial (social disclousure) sebagai wujud akuntabilitas dan keterbukaan operasi perusahaan atas berbagai dampak yang ditimbulkan O’Donovan, 2002 (dalam Hadi, 2011:90). Tingginya senjangan legitimasi sebagai akibat ketidaksesuaian antara aktivitas operasi perusahaan
terhadap
ekspektasi
masyarakat
memunculkan
tekanan
dari
stakeholder. Peran penting legitimasi stakeholders, dalam teori marketing baru didudukan pada posisi distress strategy. Hal itu karena, sejalan dengan perkembangan pola pikir dan kesadaran masyarakat, memiliki kepentingan untuk melindungi kehidupan dan kepentingan terhadap alam. Pattric Medley, 1996 (dalam Hadi, 2011:90) memberikan ilustrasi essensi teori
legitimasi
lewat
penggambaran
keterhubungan
para
pihak
yang
berkepentingan (stakeholder baik internal maupun eksternal) yang memiliki hubungan baik langsung maupun tidak langsung dan saling mempengaruhi terhadap perusahaan. Keterhubungan tersebut dapat memunculkan potensi mendukung (legitimate) maupun penekanan (illegitimate) terhadap perusahaan. Penekanan terhadap perusahaan manakala terjadi incongruence (senjangan legitimasi) antara harapan dengan kenyataan. Pihak yang berpeluang memberikan tekanan terhadap perusahaan, seperti legislator, green group, community akibat
adanya negative externalities termasuk incongruence dalam norma masyarakat. Mereka merupakan agen sosial yang memiliki keterkaitan langsung maupun tidak langsung terhadap perusahaan (stakeholder). Tak terkecuali bankers, market force, employee dan shareholder juga memiliki kepentingan serta berupaya terlindungi kepentingannya dari klaim semua pihak. Untuk itu, ketika operasi perusahaan tidak sesuai dengan lingkungan maka dapat memicu reaksi dari lingkungan serta akan melakukan tekanan. Pattern, 1992 (dalam Hadi, 2011:92) meyatakan bahwa upaya yang perlu dilakukan oleh perusahaan dalam rangka mengelola legitimasi agar efektif, yaitu dengan cara: 1. Melakukan identifikasi dan komunikasi atau dialog dengan publik. 2. Melakukan
komunikasi
dialog
tentang
masalah
nilai
sosial
kemasyarakatan dan lingkungan, serta membangun persepsinya tentang perusahaan. 3. Melakukan strategi legitimasi dan pengungkapan, terutama terkait dengan masalah tanggung jawab sosial (social responsibility). 2.1.3 Teori Agensi Teori agensi menjelaskan tentang hubungan antara dua pihak dimana salah satu pihak menjadi agen dan pihak yang lain bertindak sebagai prinsipal Hendriksen dan Van Breda, 2000 (dalam Ratnasari, 2011:37). Pemegang saham sebagai prinsipal diasumsikan hanya tertarik kepada hasil keuangan yang bertambah atau investasi di dalam perusahaan. Sedangkan para agen diasumsikan
menerima kepuasan berupa kompensasi keuangan dan syarat-syarat yang menyertai dalam hubungan tersebut. Dalam hubungan agensi tersebut, terdapat 3 faktor yang dapat mempengaruhi pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan yaitu biaya pengawasan (monitoring costs), biaya kontrak (contracting costs), dan visibilitas politis. Berdasarkan teori agensi, perusahaan yang menghadapi biaya kontrak dan biaya pengawasan yang rendah cenderung akan melaporkan laba bersih rendah dengan kata lain akan mengeluarkan biaya-biaya untuk kepentingan manajemen (salah satunya biaya yang dapat meningkatkan reputasi perusahaan di mata masyarakat). Selanjutnya, sebagai wujud pertanggungjawaban, manajer sebagai agen akan berusaha memenuhi seluruh keinginan pihak prinsipal, dalam hal ini adalah pengungkapan informasi pertanggungjawaban sosial perusahaan. 2.1.4 Corporate Social Responsibility (CSR) Menurut Untung (2008:1) corporate social responsibility adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial dan lingkungan. Manfaat CSR bagi perusahaan antara lain (Untung, 2008:6): 1. Mempertahankan dan mendongkrak reputasi serta citra merek perusahaan. 2. Mendapatkan lisensi untuk beroperasi secara sosial. 3. Mereduksi resiko bisnis perusahaan. 4. Melebarkan akses sumber daya bagi operasional perusahaan.
5. Membuka peluang pasar yang lebih luas. 6. Mereduksi biaya, misalnya terkait dampak pembuangan limbah. 7. Memperbaiki hubungan dengan stakeholders. 8. Memperbaiki hubungan dengan regulator. 9. Meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan. 10. Peluang mendapatkan penghargaan. Definisi CSR menurut Lord Holme and Richard Watts, 2006 (dalam Hadi, 2008:46) adalah sebagai berikut: Corporate Social Responsibility is the continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of the workforce and their families as well as of the local community and society at large.
Definisi tersebut mengandung makna mendalam, bahwa tanggung jawab sosial merupakan komitmen berkelanjutan para pelaku bisnis untuk memegang teguh pada etika bisnis dalam beroperasi, memberi kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan, serta berusaha mendukung peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan bagi para pekerja, termasuk meningkatkan kualitas hidup bagi masyarakat sekitar. Melihat esensi tanggung jawab sosial tersebut, sesungguhnya memiliki urgensi mendasar mewujudkan kondisi bisnis dalam eksploitasi secara seimbang, dan menjaga komitmen untuk secara prefentif dan represif dampak negatif dari eksistensi perusahaan. Kurniati (2011:1) menyatakan bahwa keberlanjutan perusahaan akan terjamin apabila perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan.
Hadi (2011:35) menggambarkan konsepsi segi empat tanggung jawab perusahaan kepada stakeholder, yang merupakan ranah implisit dan eksplisit para pemangku kepentingan. Perusahaan merupakan bagian dari masyarakat yang lebih luas (stakeholder), sehingga eksistensinya tidak dapat dipisahkan dengan kepentingan stakeholder, baik dari sisi fisik maupun psikis. Disamping itu keberadaan perusahaan juga harus memperhatikan kepentingan orang-perorangan maupun kelompok (sosial). Operasional perusahaan dipertanggungjawabkan baik menurut norma etika, legal, ekonomi, maupun bertindak untuk kepentingan masyarakat (citizenship).
Legal Responsibility
Ethic Responsibility
Firm
Economic Responsibility
Citizenship Responsibility
Gambar 1 Rentang Tanggung Jawab Perusahaan
Sumber: Nor Hadi (2011:35)
Pelaksanaan Corporate Social Performance maupun CSR sendiri, dilandasi oleh pilihan yang berada di dalam domain etika bisnis (business ethics) dari para pelaku bisnis. Pelaksanaan juga dilandasi oleh konsep stakeholder management yang mengakui adanya pemegang kepentingan lain diluar pemegang saham dimana perusahaan memiliki tanggung jawab sosial kepada para stakeholder ini. Pelaksanaan CSR juga dilandasi oleh adopsi konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dengan menerapkan alat ukur yang dikenal dengan Triple Bottom Line (TBL), yaitu economic growth, social welfare, dan environmental protection. Ketiga dimensi ini harus dikelola sedemikian rupa dalam suatu manajemen berkelanjutan. Kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin
nilai
Keberlanjutan
perusahaan perusahaan
tumbuh hanya
secara akan
berkelanjutan
terjamin
apabila
(suntainable). perusahaan
memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup. Sudah menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar muncul ke permukaan terhadap perusahaan yang dianggap tidak memperhatikan lingkungan hidup. Contohnya kasus Indorayon di Sumatera Utara (Kartini, 2009:18). 2.1.5 Ukuran Dewan Komisaris Salah satu prinsip Corporate Governance menurut Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) adalah menyangkut peranan dewan komisaris. Bentuk dewan komisaris tergantung pada sistem hukum yang dianut. Terdapat dua sistem hukum yang berbeda (Ratnasari, 2011:53), yaitu:
1. Sistem satu tingkat atau one tier system Sistem satu tingkat berasal dari sistem hukum Anglo Saxon. Pada sistem satu tingkat, perusahaan mempunyai satu dewan direksi yang merupakan kombinasi antara manajer atau pengurus senior (direktur eksekutif) dan direktur independen yang bekerja dengan prinsip paruh waktu (non direktur eksekutif). Negara-negara yang menerapkan sistem ini adalah Amerika Serikat dan Inggris. 2. Sistem dua tingkat atau two tier system (FCGI, 2002). Sistem dua tingkat berasal dari sistem hukum kontinental Eropa. Pada sistem dua tingkat, perusahaan mempunyai
dua badan terpisah, yaitu dewan
pengawas (dewan komisaris) dan dewan manajemen (dewan direksi). Dewan direksi bertugas mengelola dan mewakili perusahaan sesuai dengan pengarahan dan pengawasan dewan komisaris. Dewan direksi diangkat dan setiap waktu dapat diganti oleh badan pengawas (dewan komisaris). Tugas utama dewan komisaris adalah bertanggung jawab mengawasi tugas-tugas manajemen. Indonesia termasuk negara yang mengadopsi sistem dua tingkat ini. Dewan komisaris adalah wakil shareholder dalam perusahaan yang berbadan hukum perseroan terbatas yang berfungsi mengawasi pengelolaan perusahaan yang dilaksanakan oleh manajemen (direksi), dan bertanggung jawab untuk menentukan apakah manajemen memenuhi tanggung jawab mereka dalam mengembangkan
dan
menyelenggarakan
pengendalian
intern
perusahaan
Mulyadi, 2002 (dalam Fahrizqi, 2010:32). Sebagai wakil dari prinsipal di
perusahaan dewan komisaris dapat mempengaruhi luasnya pengungkapan tanggung jawab sosial adalah karena dewan komisaris merupakan pelaksana tertinggi dalam perusahaan. Dewan komisaris bertanggung jawab atas pengawasan perseroan dan melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai perseroan maupun usaha perseroan, dan memberi nasihat kepada Direksi dan melakukan pengawasan dan pemberian nasihat dilakukan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan (pasal 114 ayat (1). Pasal 108 UUPT). Berkenaan dengan tanggung jawab dewan komisaris, dapat dikatakan bahwa hubungan kepercayaan dan fiduciary duties anggota direksi secara mutatis mutandis berlaku bagi anggota Dewan Komisaris (Sutedi, 2011:143). Berdasarkan Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT), tugas dewan komisaris yang pertama adalah mengawasi kebijaksanaan direksi dalam menjalankan perusahaan, kedua memberikan nasihat kepada direksi (Sutedi, 2011:145). Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa peranan dewan komisaris di dalam perusahaan sangat penting. Penting dan strategisnya peranan dewan komisaris menjadikannya bertanggung jawab secara penuh dengan direksi apabila sesuatu terjadi dalam perusahaan. Undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), mengatur mengenai tugas dan fungsi komisaris dalam beberapa pasal berikut (Effendi, 2009:12):
Pasal 1 butir 2 menyatakan kelembagaan dewan komisaris sebagai salah satu organ perseroan selain Rapat Umum Pemegang Saham dan direksi. Butir 6 dari pasal tersebut menjelaskan bahwa dewan komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada direksi.
Pasal 108 ayat (1) mencantumkan bahwa dewan komisaris melakukan pengawasan atas kebijaksanaan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai perseroan maupun usaha perseroan dan memberi nasihat kepada direksi. Ayat (2) mencantumkan bahwa pengawasan dan pemberian nasihat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.
2.1.6 Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan merupakan ukuran mengenai besar kecilnya suatu perusahaan. Ukuran perusahaan dapat ditentukan dari jumlah karyawan, total aktiva, total penjualan, atau peringkat indeks Hekston dan Milne, 1996 (dalam Ratnasari, 2011:80). Ukuran suatu perusahaan dapat mempengaruhi luas pengungkapan informasi dalam laporan keuangan mereka. Secara umum perusahaan besar akan mengungkapkan informasi lebih banyak daripada perusahaan kecil. Teori agensi menyatakan bahwa perusahaan besar memiliki biaya keagenan yang lebih besar daripada perusahaan kecil Marwata, 2001 (dalam Fahrizqi, 2010:28).
Semakin besar ukuran suatu perusahaan diharapkan pengungkapan tentang laporan pertanggungjawaban sosial semakin besar. Perusahaan besar juga akan mengungkapkan informasi lebih banyak daripada perusahaan kecil, karena perusahaan besar akan menghadapi resiko politis yang lebih besar dibanding perusahaan kecil. Secara teoritis perusahaan besar tidak akan lepas dari tekanan politis, yaitu tekanan untuk melakukan pertanggungjawaban sosial. Pengungkapan sosial yang lebih besar merupakan pengurangan biaya politis bagi perusahaan Hasibuan, 2001 (dalam Fahrizqi, 2010:28). Berdasarkan penelitian Santoso (2011:236) menunjukkan bahwa berdasarkan hasil pengujian parsial pengaruh ukuran perusahaan (size) terhadap pengungkapan CSR, dapat diketahui bahwa variabel ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR. Hal ini mengandung arti bahwa semakin besar suatu perusahaan, maka akan semakin cenderung melakukan pengungkapan CSR yang lebih luas. Hasil penelitian ini juga didukung oleh Fahrizqi (2010:69) yang menujukkan bahwa variabel ukuran perusahaan berpengaruh positif signifikan terhadap pengungkapan CSR artinya bahwa perusahaan besar yang dinilai dengan tingkat aktiva yang besar akan mengungkapkan lebih banyak tanggup jawab sosial yang dilakukan oleh perusahaan (CSR). 2.1.7 Kepemilikan Saham Asing Struktur kepemilikan asing dalam perusahaan juga akan mempengaruhi pengungkapan tanggung jawab social perusahaan atau CSR. Hal ini dikarenakan pihak asing dianggap lebih concern terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Perusahaan multinasional yang berada di Indonesia, terutama
yang berasal dari Eropa dan Amerika lebih memperhatikan isu-isu sosial seperti: pelanggaran hak asasi manusia, pendidikan, tenaga kerja dan isu lingkungan seperti, efek rumah kaca, pembalakan liar, serta pencemaran air (Waryanto, 2010:7). Perusahaan dengan kepemilikan saham asing biasanya lebih sering menghadapi masalah asimetri informasi dikarenakan alasan hambatan geografis dan bahasa (space and language). Oleh karena itu, perusahaan dengan kepemilikan saham asing yang besar akan terdorong untuk melaporkan atau mengungkapan informasinya secara sukarela dan lebih luas Huafang dan Jianguo, 2007 (dalam Waryanto, 2010:72) Menurut Puspitasari, 2009 (dalam Waryanto, 2010:72) perusahaan yang memiliki kepemilikan saham asing cenderung memberikan pengungkapan yang lebih luas dibandingkan yang tidak, dikarenakan beberapa alasan antara lain: Pertama, perusahaan asing terutama dari Eropa dan Amerika lebih lama mengenal konsep praktik dan pengungkapan CSR. Kedua adalah perusahaan asing mendapatkan pelatihan yang lebih baik dalam bidang akuntansi dari perusahaan induk di luar negeri. Ketiga, perusahaan tersebut mungkin mempunyai sistem informasi yang lebih efisien untuk memenuhi kebutuhan internal dan kebutuhan perusahaan induk. Keempat, kemungkinan permintaan yang lebih besar pada perusahaan berbasis asing dari pelanggan, pemasok dan masyarakat umum. Penelitian Machmud dan Djakman, 2008 (dalam Waryanto, 2010) dalam melihat luas adopsi Global Reporting Initiative (GRI) dalam laporan tanggung jawab sosial pada perusahaan publik di Jepang, membuktikan bahwa kepemilikan
saham asing pada perusahaan publik di Jepang menjadi faktor pendorong terhadap adopsi GRI dalam pengungkapan CSR. 2.1.8 Ukuran Komite Audit Bapepam menerbitkan surat edaran (SE-03/PM/2000) yang menghimbau agar emiten dan perusahaan publik mempunyai komite audit. Komite audit bertugas membantu komisaris dalam rangka peningkatan kualitas laporan keuangan dan peningkatan efektifitas audit dan eksternal audit. Anggota komite audit sekurangkurangnya tiga orang yang diangkat dan diberhentikan komisaris, sedang anggota komite audit dari komisaris bertindak sebagai ketua (Sutedi, 2011:153). Kedudukan komisaris independen dan komite audit yang dimiliki emiten atau perusahaan publik, adalah berkaitan dengan tanggung jawab pengawasan dari dewan komisaris. Sebagai komite yang membantu fungsi pengawasan komisaris, komite audit memiliki fungsi dalam hal-hal yang terkait dengan proses dan peran audit bagi perusahaan, terutama dalam pelaporan hasil audit keuangan perusahaan yang dipaparkan untuk publik. Komite audit harus bersikap adil dalam pengambilan keputusan, hal ini ditujukan kepada semua pihak, terutama dalam penelahaan terhadap kesalahan asumsi maupun pelanggaran terhadap resolusi direksi (Sutedi, 2011:154). Ikatan Komite Audit Indonesia (IKAI) mendefinisikan komite audit sebagai suatu komite yang bekerja secara profesional dan independen yang dibentuk oleh dewan komisaris dan dengan demikian tugasnya adalah membantu dan memperkuat dewan komisaris (atau dewan pengawas) dalam menjalankan fungsi pengawasan (oversight) atas proses pelaporan keuangan, manajemen risiko,
pelaksanaan audit dan implementasi dari corporate governance di perusahaanperusahaan (Indonesian Institute of Audit Committee, 2012). 2.1.9 Penelitian Terdahulu Tabel 1 Penelitian Terdahulu Keterangan
Judul
Penelitian Terdahulu Fahrizqi Kiswara (2010) (2009) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) dalam Laporan Tahunan Perusahaan
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Sukarela Oleh Perusahaan Multinasional di Indonesia
Penelitian Sekarang Septian Adi Nugraha (2013) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Corporate Social Responsibility dalam Laporan Tahunan Perusahaan
Perusahaan Seluruh manufaktur yang perusahaan terdaftar di BEI multinasional yang terdaftar di BEJ
Perusahaan manufaktur sektor industri barang konsumsi yang terdaftar di BEI
Periode Penelitian
Tahun 2005-2008
Tahun 2005
Tahun 2009-2011
Metode Pengambilan Sampel
Purposive Sampling
Purposive Sampling
Purposive Sampling
Objek
Variabel Bebas
Variabel Terikat
Ukuran perusahaan, profitabilitas, leverage dan ukuran dewan komisaris
Size perusahaan, proporsi kepemilikan saham oleh publik, basis perusahaan, tipe industri, ukuran dewan komisaris
Ukuran Perusahaan, Ukuran Dewan Komisaris, Kepemilikan Saham Asing, Ukuran Komite Audit
Pengungkapan CSR
Pengungkapan CSR
Pengungkapan CSR
2.2 Rerangka Pemikiran Berdasarkan telaah pustaka dan beberapa penelitian terdahulu yang menguji tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pengungkapan CSR, maka dalam penelitian ini akan menguji faktor ukuran perusahaan, ukuran dewan komisaris, kepemilikan saham asing dan ukuran komite audit. Hipotesis yang merupakan alur pikiran dari peneliti, kemudian digambarkan dalam kerangka teoritis yang disusun sebagai berikut:
1
PERUSAHAAN GO PUBLIK
2
3
Manajemen Operasional
Manajemen Nonoperasional 4
Teori Agensi
Teori Stakeholder
Teori Legitimasi
5
6
Faktor-Faktor Pengungkapan CSR Perusahaan Manufaktur Sektor Industri Barang Konsumsi
7
Tata Kelola Perusahaan
Kinerja Keuangan 9 10 8
11
Ukuran Dewan Komisaris
Ukuran Perusahaan
Ukuran Komite Audit
Variabel Independen Variabel Dependen 12
Pengungkapan CSR Gambar 2 Skema Kerangka Pemikiran
Kepemilikan Saham Asing
Keterangan : 1. Perusahaan go public adalah perusahaan yang menjual sahamnya kepada para investor
dan
membiarkan
saham
tersebut
diperjual
belikan
atau
diperdagangkan di pasar saham. 2. Manajemen perusahaan go public terdiri dari manajemen operasional dan nonoperasional. Manajemen operasional perusahaan yang bertanggung jawab terhadap proses produksi barang dan jasa atau kegiatan operasional, serta memastikan operasi bisnis berlangsung secara efektif dan efesien sesuai dengan tujuan perusahaan. 3. Manajemen nonoperasional perusahaan bertanggung jawab terhadap kegiatan diluar operasional perusahaan yang berdampak langsung terhadap kinerja perusahaan secara keseluruhan seperti hubungan terhadap para stakeholder. 4. Adanya manajemen nonoperasional perusahaan disebabkan oleh adanya teori agensi, teori stakeholder dan teori legitimasi. Ketiga teori tersebut yang melandasi pentingnya pelaporan CSR bagi perusahaan publik. 5. Penelitian
ini
membahas
tentang
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pengungkapan CSR perusahaan manufaktur sektor industri barang konsumsi. 6. Faktor pertama yang mempengaruhi pengungkapan CSR adalah kinerja keuangan perusahaan. 7. Kinerja keuangan perusahaan diukur berdasarkan total aset yang dimiliki perusahaan. Secara umum perusahaan yang memiliki sumber daya yang besar akan mengungkapkan informasi yang lebih banyak daripada perusahaan yang memiliki sumber daya yang sedikit. Hal ini disebabkan adanya benturan
kepentingan yang besar antara pemilik dan manajemen perusahaan dalam pengelolaan sumber daya yang dimiliki. 8. Faktor kedua yang mempengaruhi pengungkapan CSR adalah tata kelola perusahaan. 9. Dewan
komisaris
memiliki
kekuasaan
terhadap
menajemen
untuk
memberikan pengaruh agar manajemen mengungkapkan CSR. 10. Keberadaan komite audit diharapkan dapat membantu kinerja dewan komisaris dalam pengungkapan laporan pertanggungjawaban sosial oleh perusahaan untuk mengatasi adanya konflik kepentingan yang timbul antara pihak manajemen dan pemilik perusahaan. 11. Kepemilikan saham oleh pihak asing juga merupakan salah-satu faktor yang mendorong pengungkapan CSR oleh perusahaan. Hal ini disebabkan investor asing
khususnya
dari
negara-negara
Eropa
dan
Amerika
sangat
memperhatikan kondisi lingkungan dan sosial perusahaan. 12. Keempat variabel independen yang diukur berdasarkan ukuran perusahaan, ukuran dewan komisaris, kepemilikan saham asing dan ukuran komite audit merupakan
faktor-faktor
yang
memiliki
pengaruh
besar
terhadap
pengungkapan CSR perusahaan. 2.3 Perumusan Hipotesis Perumusan hipotesis dalam penelitian ini adalah: Pengaruh ukuran perusahaan terhadap pengungkapan CSR tercermin dalam teori agensi yang menjelaskan bahwa perusahaan besar mempunyai biaya agensi yang besar, oleh karena itu perusahaan besar akan lebih banyak mengungkapkan
informasi daripada perusahaan kecil. Penjelasan lain yang juga sering diajukan adalah perusahaan besar memiliki sumber daya yang besar sehingga tidak perlu ada tambahan biaya yang besar untuk dapat melakukan pengungkapan dengan lebih lengkap (Fahrizqi, 2010:5). Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis pertama yang akan diuji dalam penelitian ini adalah: H1 : Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR Dewan komisaris bertugas mengawasi kebijakan direksi dalam menjalankan perusahaan serta memberikan nasihat kepada direksi. Dewan komisaris bertugas mengawasi dan memastikan kinerja manajemen sesuai dengan tujuan perusahaan. Dewan komisaris memiliki wewenang terhadap kinerja manajemen. Manajemen bertanggung jawab untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing perusahaan, sedangkan dewan komisaris bertanggung jawab untuk mengawasi manajemen, (FCGI, 2002). Berdasarkan penelitian Utami (2008) dan Terzaghi (2012) menunjukan bahwa ukuran dewan komisaris berpengaruh terhadap pengungkapan CSR. Dengan kekuasaan yang dimiliki, dewan komisaris dapat memberikan pengaruh terhadap manajemen agar mengungkapan CSR. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis kedua yang akan diuji dalam penelitian ini adalah: H2 : Ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR
Kepemilikan saham oleh pihak asing juga merupakan salah-satu faktor yang mendorong pengungkapan CSR oleh perusahaan. Hal ini disebabkan investor asing khususnya dari negara-negara Eropa dan Amerika sangat memperhatikan kondisi lingkungan dan sosial perusahaan, mereka beranggapan bahwa perusahaan juga memiliki tanggung jawab terhadap kondisi lingkungan dan sosial sekitar. Adanya kepemilikan saham oleh pihak asing akan mendorong pengungkapan laporan tanggung jawab sosial oleh perusahaan. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis ketiga yang akan diuji dalam penelitian ini adalah: H3 : Kepemilikan saham asing berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR Komite audit bertugas membantu komisaris dalam rangka meningkatkan kualitas laporan keuangan dan peningkatan efektifitas audit dan eksternal audit (Sutedi, 2011: 153). Komite audit dituntut untuk bertindak secara independen karena komite audit merupakan pihak yang menjembatani antara auditor eksternal dengan perusahaan dan menjembatani fungsi pengawasan dewan komisaris dengan auditor internal perusahaan. Komite audit harus bersikap adil dalam pengambilan keputusan, hal ini ditujukan kepada semua pihak, terutama dalam penelaahan terhadap kesalahan asumsi maupun pelanggaran terhadap resolusi direksi (Sutedi, 2011:154). Berdasarkan penelitian Purwanti (2012) komite audit berpengaruh terhadap pengungkapan CSR perusahaan. Oleh karena itu, diharapkan keberadaan komite audit dapat mendorong manajer untuk melakukan pengungkapan CSR yang lebih luas.
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis keempat yang akan diuji dalam penelitian ini adalah: H4 : Ukuran Komite Audit berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR