BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Agency Theory Teori keagenan menjelaskan tentang hubungan kontraktual antara pihak yang mendelegasikan keputusan tertentu (principal) dengan pihak yang menerima pendelegasian tersebut (agent). Principal diartikan sebagai pemilik atau pemegang saham perusahaan. Namun pengertian tersebut meluas menjadi seluruh interest group perusahaan
yang bersangkutan.
Sebagai agen,
manajemen
mengoperasikan
perusahaan sesuai dengan keinginan interest group tersebut (stakeholders). Menurut Anthony dan Govindarajan (2005), teori agensi adalah hubungan atau kontrak antara principal dan agent. Teori agensi memiliki asumsi bahwa tiaptiap individu semata- mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara principal dan agent. Konflik tersebut timbul sebagai akibat keinginan agent (manajemen) untuk melakukan tindakan yang sesuai dengan kepentingannya dengan mengorbankan kepentingan principal untuk memperoleh keuntungan dan nilai jangka panjang perusahaan. Hal ini sangat mungkin terjadi karena pada kenyataannya manajemen lebih banyak mengetahui prospek usaha yang sebenarnya dibanding dengan pihak stakeholders (principal), dengan kata lain telah terjadi penguasaan informasi yang berbeda (asymmetric information). Informasi yang dimiliki stakeholders terbatas pada informasi publik
atau informasi yang disampaikan ke mereka, sedangkan manajemen perusahaan memiliki informasi yang lengkap mengenai perusahaan. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR), keberadaan informasi asimetri jika dibiarkan terjadi, pada akhirnya dapat menyebabkan para stakeholders tidak dapat mengobservasi upaya perusahaan dalam melaksanakan CSR, karena tidak diobservasi maka perusahaan akan mengambil tindakan yang menguntungkan dirinya tapi merugikan stakeholders lainnya. Terjadinya konflik kepentingan antara principal dan agent akan menimbulkan biaya keagenan (agency cost). Menurut Jensen dan Meckling (1976) biaya keagenan yang dikeluarkan ditujukan untuk tiga jenis pengeluaran, yaitu biaya monitoring (monitoring cost), biaya bonding (bonding cost), dan biaya kerugian residual (residual loss). Corporate Governance dapat membantu menekan atau mengurangi biaya agensi yang mungkin terjadi. Biaya agensi yang muncul karena konflik kepentingan antara agent dan principal dapat dikurangi dengan mekanisme pengawasan agar pihak manajemen bertindak sejalan dengan kepentingan pemilik perusahaan. Mekanisme pengawasan yang dimaksud adalah mekanisme Good Corporate Governance (GCG). GCG dianggap mampu mengurangi masalah keagenan karena dengan adanya pengawasan maka perilaku oportunis manajer dan kecenderungan untuk menyembunyikan informasi demi keuntungan pribadi dapat diantisipasi dan dapat mengarah pada peningkatan pengungkapan perusahaan. Hal ini dimaksudkan agar pihak manajemen bertanggung jawab dan transparan dalam mengelola
perusahaan. Konsep GCG berkaitan dengan bagaimana para pemilik (pemegang saham) yakin bahwa manajer akan memberikan keuntungan bagi mereka, yakin bahwa manajer tidak akan melakukan kecurangan-kecurangan yang akan merugikan para pemegang saham. 2.1.2 Legitimacy Theory Teori legitimasi mengatakan bahwa organisasi secara terus menerus mencoba untuk meyakinkan bahwa mereka melakukan kegiatan sesuai dengan batasan dan norma-norma masyarakat dimana mereka berada. Legitimasi dapat dianggap sebagai menyamakan persepsi atau asumsi bahwa tindakan yang dilakukan oleh suatu entitas adalah merupakan tindakan yang diinginkan, pantas ataupun sesuai dengan sistem norma, nilai, kepercayaan dan definisi yang dikembangkan secara sosial. Untuk mencapai tujuan ini organisasi berusaha untuk mengembangkan keselarasan a ntara nilai- nilai sosial yang dihubungkan atau diimplikasikan dengan kegiatannya dan norma-norma dari perilaku yang diterima dalam sistem sosial yang lebih besar dimana organisasi itu berada serta menjadi bagiannya (Dowling dan Pfeffer dalam Mathews, 1995). Dowling dan Preffer dalam Ghozali dan Chairiri (2007) menjelaskan bahwa teori legitimasi sangat bermanfaat dalam menganalisis perilaku organisasi, karena legitimasi adalah hal yang penting bagi organisasi, batasan-batasan yang ditekankan oleh norma-norma dan nilai- nilai sosial, dan reaksi terhadap batasan tersebut mendorong pentingnya analisis perilaku organisasi dengan
memperhatikan
lingkungan. Yang melandasi teori legitimasi adalah “kontrak sosial” yang terjadi
antara perusahaan dengan
masyarakat
dimana perusahaan beroperasi dan
menggunakan sumber ekonomi. Teori legitimasi merupakan asumsi secara umum yang menyatakan bahwa kegiatan perusahaan didasarkan dan disesuaikan dengan konsep, nilai kepercayaan, dan ketentuan sosial yang dimiliki oleh masyarakat. Teori ini menjelaskan bahwa perusahaan perlu menampakkan tujuannya yang sejalan dengan masyarakat. Lindblom dalam Guthrie et al. (2006) mengemukakan bahwa, jika perusahaan merasa bahwa legitimasinya dipertanyakan maka dapat mengambil beberapa strategi perlawanan, yaitu: 1.
Perusahaan dapat berupaya untuk mendidik dan menginformasikan kepada stakeholders-nya mengenai perubahan yang terjadi dalam perusahaan.
2.
Perusahaan dapat berupaya untuk merubah pandangan stakeholders tanpa mengganti perilaku perusahaan.
3.
Perusahaan dapat berupaya untuk memanipulasi persepsi stakeholders dengan cara membelokkan perhatian stakeholders dari isu yang menjadi perhatian kepada isu lain yang berkaitan dan menarik.
4.
Perusahaan dapat berupaya untuk mengganti dan mempengaruhi harapan pihak eksternal tentang kinerja (performance) perusahaan. Masih menurut Lindblom, perusahaan dapat menggunakan informasi
disclosure publik untuk mengimplementasikan strategi-strategi di atas. Banyak penelitian empiris di bidang Sosial and Environmental Reporting telah mengadaptasi
perspektif tersebut untuk menjelaskan disclosure yang dilakukan secara sukarela oleh perusahaan. Menurut pandangan teori legitimacy, perusahaan harus secara kontinyu beroperasi sejalan dengan nilai-nilai masyarakat. Hal ini seringkali dicapai melalui laporan perusahaan bentuk medium. Lindblom juga menyarankan bahwa perusahaan dapat menggunakan disclosure untuk memperlihatkan perhatian manajemen terhadap nilai- nilai masyarakat atau untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari pangaruh negatif dari aktifitas perusahaan (Guthrie et al., 2006:4). Pengungkapan
tanggung
implementasi dari strategi
jawab
legitimasi
sosial perusahaan yang
harus
dianggap
melibatkan
sebagai
komunikasi
(pengungkapan) dari organisasi untuk meyakinkan bahwa mereka melakukan kegiatan sesuai dengan batasan dan norma-norma masyarakat dimana mereka berada. Karenanya pengungkapan informasi perusahaan dapat dipandang sebagai suatu strategi yang dapat dipergunakan oleh organisasi
untuk
mempertahankan
legitimasinya. 2.1.3 Stakeholders Theory Menurut Gray et. al. (1995), teori stakeholders mengasumsikan bahwa eksistensi perusahaan ditentukan oleh para stakeholders. Perusahaan mencari pembenaran dari para stakeholders dalam menjalankan operasi perusahaannya. Semakin kuat posisi stakeholders maka semakin besar pula kecenderungan perusahaan mengadaptasi diri terhadap keinginan para stakeholders-nya.
Wibisono (2007) mengartikan stakeholders sebagai pemangku kepentingan yaitu pihak atau kelompok yang berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung, terhadap eksistensi atau aktivitas perusahaan, dan karenanya kelo mpok tersebut mempengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh perusahaan. Teori stakeholders berpandangan bahwa keberadaan perusahaan tidak hanya untuk memaksimumkan kekayaan pemilik (shareholders), namun juga untuk melayani kepentingan stakeholders perusahaan, seperti para pembeli (konsumen), komunitas investor, karyawan, kontraktor, pemasok, pemerintah, masyarakat lokal, dan beberapa institusi atau lembaga riset. Manajer dalam mengambil keputusan akan melihat dampaknya ke stakeholders dan berusaha memaksimumkan manfaat dan meminimumkan kerugian dari masing- masing stakeholders sehingga tercapai keseimbangan antara kepentingan berbagai pihak. Teori stakeholders harus dipandang dari kedua bidangnya, bidang etika berargumen bahwa seluruh stakeholders memiliki hak untuk diperlakukan secara adil oleh organisasi, dan manajer harus mengelola organisasi untuk keuntungan seluruh stakeholders. Bidang manajerial berpendapat bahwa kekuatan stakeholders untuk mempengaruhi manajemen korporasi harus dipandang sebagai fungsi dari tingkat pengendalian stakeholders atas sumberdaya yang dibutuhkan organisasi. Semakin penting sumberdaya stakeholders untuk kelangsungan, keberhasilan dan kemampuan organisasi, semakin harapan bahwa permintaan stakeholders akan terpenuhi. Ullmann dalam Van Der Laan (2004), juga menyimpulkan bahwa pengungkapan sosial merupakan strategi yang digunakan untuk mengelola hubungan
dengan stakeholders dengan mempengaruhi level permintaan yang berasal dari stakeholders yang berbeda. Semakin penting stakeholders itu bagi kesuksesan organisasi, semakin besar kemungkinan organisasi akan memenuhi permintaannya. Implikasi dari teori stakeholder adalah bahwa perusahaan secara sukarela akan melaksanakan CSR, karena pelaksanaan CSR adalah merupakan bagian dari peran perusahaan ke stakeholders. 2.2 Good Corporate Governance (GCG) 2.2.1 Pengertian Good Corporate Governance (GCG) Good Corporate Governance atau yang biasa disingkat GCG berasal dari istilah “Corporate Governance” yang berarti tata kelola perusahaan, merupakan suatu bentuk analogi antara pemerintahan suatu negara dengan pemerintahan dalam suatu perusahaan. Sebagaimana dalam pemerintahan suatu negara, dalam perusahaan juga terdapat berbagai kelompok dengan berbagai kepentingan untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu muncul sebuah konsep Corporate Governance dalam mengatasi konflik kepentingan tersebut agar perusahaan dapat dikelola dengan baik. Definisi diatas menjelaskan bahwa Corporate Governance adalah sistem yang bisa digunakan untuk mengatur dan mengendalikan perusahaan. Good Governance timbul dari kebutuhan usaha akan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance), yang menegakkan prinsip-prinsip transparan, dapat dipercaya, bertanggung jawab dan berkeadilan. Untuk memperoleh gambaran tentang pengertian Corporate Governance dibawah ini dikutip dari berbagai sumber :
a) Pengertian menurut OECD (Organization for Economic Co-operation and Development), Corporate Governance didefinisikan sebagai berikut: “Corporate governance is the system by which business corporations are directed and controlled. The corporate governance structure specifies the distribution of the right and responsibilities among different participants in the corporation, such as the board, managers, shareholders, and other stakeholders” Dari pengertian tersebut, maka dapat diketahui bahwa tujuan corporate governance adalah untuk mengendalikan dan mengarahkan peusahaan agar dapat mendistribusikan hak dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perusahaan dengan baik atau dengan kata lain GCG bertujuan untuk menciptakan nilai tambah bagi seluruh pemegang kepentingan (stakeholders). GCG juga mensyaratkan adanya struktur, perangkat untuk mencapa i tujuan dan pengawasan atas kinerja. b) Pengertian menurut FCGI (Forum for Corporate Governance in Indonesia) dalam publikasi yang pertamanya mempergunakan definisi Cadbury Committee tidak berbeda jauh dengan definisi menurut OECD, yaitu: "Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak -hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan."
Pengertian dan konsep corporate governance ini dilandasi dengan Teori Keagenan (agency theory) dimana pengelolaan perusahaan harus diawasi dan dikendalikan untuk memastikan bahwa pengelolaan dilakuka n dengan penuh kepatuhan terhadap berbagai peraturan dan ketentuan yang berlaku. Dengan adanya mekanisme corporate governance ini, maka tindakan kecurangan yang dilakukan agen dapat diminimalisasi, sehingga tidak menimbulkan kerugian pada kedua belah pihak. c) Pengertian menurut Bank Dunia (World Bank) Good Corporate Governance (GCG) sebagai kumpulan hukum, peraturan, dan kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi, yang dapat mendorong kinerja sumbersumber perusahaan untuk berfungsi secara efisien guna menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan. d) Pengertian
menurut
IICG
(The Indonesian
Institute od
Corporate
Governance) Good Corporate Governance (GCG) adalah struktur, sistem dan proses dalam mengelolaan perusahaan kearah peningkatan kemakmuran dan pertanggung jawaban perusahaan dengan tujuan akhir mewujudkan nilai jangka panjang pemegang saham dengan tetap menjaga kepentingan berbagai pihak yang terkait ( stakeholders). Struktur merupakan satu kesatuan tatanan wewenangan dan tanggung jawab dalam hal pengambilan keputusan. Sistem adalah merupakan suatu landasan operasional yang menjadi dasar mekanisme check and balance kewenangan atas penggelolaan
perusahaan yang dapat mengantisipasi peluang yang menyimpang. Proses merupakan cara untuk memastikan pelaksanaan prinsip – prinsip Good Corporate Governance dalam menentukan tujuan dan saran, pencapaian, pengukuran kinerja, dan evaluasi kinerja. e) Pengertian menurut Asian Development Bank (ADB) Good Corporate Governance (GCG) adalah adanya unsur–unsur shareholder, right, equal treatment of shareholder, dan adanya disclosure (keterbukaan), dan transparency (transparansi). f) Pengertian menurut Bank Indonesia Good Corporate Governance (GCG) adalah sebagai suatu sistem, proses, dan struktur organisasi yang digunakan untuk mengarahkan dan mengelola kegiatan bank sentral kearah peningkatan kinerja dan akuntabilitas. Tujuan akhirnya menaikan nilai (value) bank sentral dalam jangka panjangdan mampu meyak inkan / memenuhi kepentingan stakeholders. Sebagai sebuah konsep, GCG tak memiliki definisi tunggal karenanya corporate governance dapat didefenisikan dalam perspektif yang luas atau dalam perspektif yang sempit. Sedangkan untuk keseragaman berdasarkan definisi – definisi diatas dapat simpulkan bahwa corporate governance pada intinya adalah mengenai suatu sistem, proses, dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders) terutama dalam arti sempit hubungan antara pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi demi tercapainya tujuan organisasi. Corporate Governance dimaksudkan untuk mengatur
hubungan - hubungan ini dan mencegah terjadinya kesalahan - kesalahan signifikan dalam strategi korporasi dan untuk memastikan bahwa kesalahan – kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki dengan segera. 2.2.2 Perkembangan Good Corporate Governance (GCG) Sejarah corporate governance Indonesia berhubungan erat dengan krisis finansial Asia Selatan 1997. Krisis mulai dari Thailand, terus menyerbu Philipina, Indonesia, Malaysia dan Korea Selatan (Kingsley dalam Kamal, 2011). Bencana ini sungguh sesuatu yang tidak terduga. Tragedi itu datang melanda hanya beberapa bulan setelah the World Bank mengeluarkan laporannya tentang macan ekonomi Asia, yang menginspirasi negara berkembang lainnya. Tabalujan dalam Kamal mengatakan bahwa krisis Asia 1997 merupakan tonggak sejarah perkenalan konsep the Anglo-American corporate governance di Indonesia. Krisis Asia Selatan berdampak besar terhadap sejumlah negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Pada saat itu mata uang Indonesia mengalami depresiasi hampir 80% dan beberapa bisnis terutama sektor perbankan kritis. Untuk menghadapi kondisi buruk itu, pemerintah Indonesia membutuhkan suntikan dana segar. Pucuk dicinta ulam tiba. The International Monetary Funds (IMF) datang membawa bantuan. Lembaga ini menawarkan bantuan bersyarat. Mereka berkenan memberikan pinjaman asalkan pemerintah Indonesia bersedia memenuhi beberapa persyaratan. Satu diantaranya, komitmen untuk memperbaiki sistem corporate governance (Kurniawan dan Indrianto 2000). Di mata IMF saat itu sistem corporate governance Indonesia menjadi salah satu titik lemah bangunan perekonomian
Indonesia. Akhirnya, sebagaimana yang terbaca di dalam 5 Letters of Intent pemerintah Indonesia kepada IMF, Indonesia setuju dengan seluruh persyaratan yang diajukan IMF. Dana segarpun mengucur deras. Dari perspektif sejarah, kelahiran corporate governance di Indonesia tidaklah berdasarkan inisiatif lokal. Konsep itu lahir di Indonesia karena dipelopori oleh lembaga donor, seperti Bank Dunia, ADB, IMF dan lain – lain, Indonesia mengadopsi corporate governance ala IMF sebab tidak ada opsi lain untuk dapat keluar dari krisis keuangan kala itu. Konsep ini menyatu dalam program bantuan/pinjaman, termasuk bantuan teknis kepada pemerintah dan civil society yang kemudian disambut oleh perusahaan – perusahaan untuk revitalisasi diri, dan juga disambut oleh lembaga pemerintah untuk menghadang delegitimasi yang kemudian mendominasi arah reformasi birokrasi pemerintahan. Di Indonesia, konsep corporate governance diperkenalkan secara resmi pada tahun 1999 ketika Pemerintah membentuk Komite Nasional tentang Corporate Governance. Sebagaimana halnya di negara-negara lain di dunia, komite ini melahirkan kode corporate governance, yang kemudian direvisi pada tahun 2006. Kode ini ditasbihkan sebagai referensi seluruh perusahaan Indonesia. Tahun 1999, Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin) Nomor : KEP/31/M.EKUIN/08/1999 mengeluarkan Pedoman Good Corporate Governance yang pertama. Pedoman tersebut telah beberapa kali disempurnakan, terakhir pada tahun 2001. Berdasarkan
pemikiran bahwa suatu sektor ekonomi tertentu cenderung memiliki karakteristik yang sama, maka pada awal tahun 2004 dikeluarkan Pedoman GCG Perbankan Indonesia dan pada awal tahun 2006 dikeluarkan Pedoman GCG Perasuransian Indonesia. Selain itu, terdapat pula Surat Keputusan Menteri BUMN No. Kep117/MMBU/2002 tanggal 1 Agustus 2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara. Surat keputusan tersebut menekankan kewajiban bagi BUMN untuk menerapkan GCG secara konsisten dan atau menjadikan prinsip-prinsip GCG sebagai landasan operasionalnya, yang bertujuan untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya. Selain peraturan-peraturan di atas, organisasi-organisasi independen juga mendukung implementasi GCG di Indonesia, seperti Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI), Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG), Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD). Diharapkan dengan adanya peraturan-peraturan dan lembaga- lembaga independen tersebut, dapat mendorong penerapan GCG yang lebih baik di Indonesia. 2.2.3 Manfaat Good Corporate Governance (GCG) GCG diperlukan untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan dan konsisten dengan peraturan perundang-undangan. Penerapan GCG perlu didukung oleh tiga pilar yang saling berhubungan, yaitu negara dan perangkatnya
sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha. Penerapan sistem GCG diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) melalui beberapa tujuan berikut : 1.
Meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan kesinambungan suatu organisasi yang memberikan kontribusi kepada terciptanya kesejahteraan pemegang saham, pegawai dan stakeholders lainnya dan merupakan solusi yang elegan dalam menghadapi tantangan organisasi kedepan,
2.
Meningkatkan legitimasi organisasi yang dikelola dengan terbuka, adil, dan dapat dipertanggungjawabkan,
3.
Mengakui dan melindungi hak dan kewajiban para shareholders dan stakeholders.
Di samping hal- hal tersebut di atas, manfaat penerapan GCG bagi perusahaan adalah sebagai berikut : 1.
Mengurangi agency cost, yaitu suatu biaya yang harus ditanggung pemegang saham sebagai akibat pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen. Biaya-biaya ini dapat berupa kerugian yang diderita perusahaan sebagai akibat penyalahgunaan wewenang atau biaya pengawasan yang timbul untuk mencegah terjadinya hal tersebut.
2.
Mengurangi biaya modal (cost of capital), yaitu sebagai dampak dari pengelolaan perusahaan yang baik menyebabkan tingkat bunga atas dana atau
sumber daya yang dipinjam oleh perusahaan semakin kecil seiring dengan turunnya tingkat resiko perusahaan. 3.
Meningkatkan nilai saham perusahaan sekaligus dapat meningkatkan citra perusahaan tersebut kepada publik luas dalam jangka panjang.
4.
Menciptakan dukungan para stakeholder (para pihak yang berkepentingan) dalam lingkungan perusahaan tersebut terhadap keberadaan dan berbagai strategi dan kebijakan yang ditempuh perusahaan, karena umumnya mereka mendapat jaminan bahwa mereka juga mendapat manfaat maksimal dari segala tindakan dan operasi perusahaan dalam menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan.
2.2.4 Prinsip - Prinsip Dasar Good Corporate Governance (GCG) Prinsip – prinsip diharapkan menjadi titik rujuk bagi para regulator (pemerintah) dalam membangun framework bagi penerapan corporate governance. Bagi para pelaku usaha dan pasar modal prinsip – prinsip ini dapat menjadi guidance atau pedoman dalam mengelaborasi best practice bagi peningkatan nilai (valuation) dan keberlangsungan (sustainability) perusahaan. Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) terdapat lima prinsip utama yang penting dalam Corporate Governance yaitu transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), kemandirian (independency), dan kewajaran dan kesetaraan (fairness). 1). Transparansi (Tranparency)
Tranparansi yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang materil dan relevan mengenai perusahaan. Pengungkapan yang akurat dan tepat pada waktunya serta transparansi atas hal penting bagi kinerja perusahaan, kepemilikan, serta pemegang kepentingan (stakeholders). Ada banyak manfaat yang bisa dipetik dari penerapan prinsip ini. Salah satunya, stakeholders dapat
mengetahui risiko
yang
mungkin
terjadi dalam
melakukan transaksi dengan perusahaan. Kemudian, karena adanya informasi kinerja perusahaan yang diungkap secara akurat, tepat waktu, jelas, konsisten, dan dapat diperbandingkan, maka dimungkinkan terjadinya efisiensi pasar. Selanjutnya, jika prinsip transparansi dilaksanakan dengan baik dan tepat, akan dimungkinkan terhindarnya benturan kepentingan (conflict of interest) berbagai pihak dalam manajemen. 2). Akuntabilitas (Accountability) Akuntabilitas adalah kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organisasi sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. Berdasarkan prinsip ini, pertama-tama masing- masing komponen perusahaan, seperti komisaris, direksi, internal auditor dituntut untuk mengerti hak, kewajiban, wewenang dan tanggung jawabnya. Hal tersebut penting sehingga masing- masing komponen mampu melaksanakan tugas secara profesional. Prinsip tanggungjawab
ini dimaksudkan sebagai prinsip yang mengatur peran dan manajemen
agar
dalam
mengelola
perusahaan
dapat
mempertanggungjawabkan pekerjaannya serta mendukung usaha untuk menjamin penyeimbangan kepentingan manajemen dan pemegang saham sebagaimana yang diawasi oleh Dewan Komisaris. 3). Pertanggungjawaban (Responsibility) Pertanggungjawaban perusahaan adalah kesesuaian (patuh) di dala m pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku. Peraturan yang berlaku di sini termasuk yang berkaitan dengan masalah pajak, hubungan industrial, perlindungan lingkungan hidup, kesehatan/keselamatan kerja, standar penggajian, dan persaingan yang sehat. Penerapan prinsip ini diharapkan membuat perusahaan menyadari bahwa dalam kegiatan operasionalnya seringkali ia menghasilkan eksternalitas (dampak luar kegiatan perusahaan) negatif yang harus ditanggung oleh masyarakat. Sudah sepatutnya dalam suatu perusahaan, peran komisaris independen mutlak diperlukan. Sehingga adanya jaminan tersedianya mekanisme, peran dan tanggung jawab jajaran manajemen yang profesional atas semua keputusan dan kebijakan yang dia mbil sehubungan dengan aktivitas operasional perseroan. Dari kelima prinsip GCG, prinsip responsibility merupakan prinsip yang mempunyai kekerabatan paling dekat dengan CSR. Dan dalam prinsip ini, penekanan yang signifikan diberikan kepada stakeholders perusahaan. Melalui penerapan prinsip ini diharapkan perusahaan dapat menyadari bahwa dalam kegiatan operasionalnya seringkali perusahaan menghasilkan dampak eksternal yang harus ditanggung oleh
stakeholders. Karena itu, wajar bila perusahaan juga memperhatik an kepentingan dan nilai tambah bagi stakeholders-nya (Wibisono, 2007). 4). Kemandirian (Independency) Kemandirian adalah suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan mekanisme korporasi, peraturan perundangan yang berlaku maupun prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Kemandirian sangat sekali penting sekali dalam proses pengambilan keputusan. Prinsip ini mengharuskan perusahaan menggunakan tenaga ahli dalam setiap divisi atau bagian dalam perusahaannya sehingga pengelolaan perusahaan dapat dipercaya. Prinsip ini juga mengharuskan perusahaan memiliki kebijakan intern dalam perusahaan yang sesuai dengan peraturan dan hukum yang berlaku. 5). Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness) Secara sederhana fairness dapat didefinisikan sebagai perlakuan yang adil dan setara didalam memenuhui hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Fairness diharapkan membuat seluruh aset perusahaan dikelola secara baik dan prudent (hati- hati), sehingga muncul perlindungan kepentingan pemegang saham dan stakeholders lainnya secara fair. Fairness juga diharapkan memberi perlindungan kepada perusahaan terhadap praktek korporasi yang merugikan. Dengan kata lain, fairness menjadi jiwa untuk memonitor dan menjamin perlakuan yang adil di antara beragam kepentingan dalam perusahaan.
Setiap perusahaan harus memastikan bahwa prinsip - prinsip GCG diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di semua jajaran perusahaan. Jika kelima prinsip prinsip GCG diatas dilaksanakan secara sungguh - sungguh, dapat dipastikan perusahaan akan memiliki landasan yang kokoh dalam menjalankan bisnisnya. Sehingga terwujud kesinambungan usaha (sustainability) perusahaan dengan tetap memperhatikan hak - hak pemangku kepentingan (stakeholders). 2.2.5 Peranan Dewan Direksi, Dewan Komisaris, Komite Audit dan Struktur Kepemilikan dalam Pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG) Struktur dewan dalam perusahaan di Indonesia menganut sistem dua tingkat (Two Tiers System), yang merupakan sistem hukum kontinental Eropa, dimana perusahaan mempunyai dua badan terpisah yaitu dewan pengawas (dewan komisaris) dan dewan manajemen (dewan direksi). Dewan direksi mengelola dan mewakili perusahaan di bawah pengarahan dan pengawasan dewan komisaris. Negara-negara dengan Two Tiers System adalah Denmark, Jerman, Belanda, dan Jepang. Karena sistem hukum Indonesia berasal dari sistem hukum Belanda, maka hukum perusahaan Indonesia menganut Two Tiers System untuk struktur dewan dalam perusahaan. Di Indonesia Two Tiers System diterapkan dengan sedikit perubahan (lihat Gambar 1), yaitu kedudukan dewan komisaris yang tidak langsung membawahi dewan direksi, namun memiliki fungsi yang sama, yaitu untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasehat kepada dewan direksi. Dewan komisaris di Indonesia tidak berhak mengangkat dan memberhentikan dewan direksi, karena posisi yang sejajar di antara keduanya. Ini berbeda dengan Two Tiers System yang
dianut sistem hukum kontinental Eropa, dimana kedudukan dewan komisaris yang langsung membawahi dewan direksi.
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Dewan Komisaris
Supervisi / Pengawasan
Dewan Direksi
Gambar 1 Struktur De wan Komisaris dan Dewan Direksi dalam Two Tiers System yang diadopsi oleh Indonesia Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas disebutkan bahwa direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Sedangkan dewan komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan
pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada direksi. Dewan direksi juga harus memberikan informasi kepada dewan komisaris dan menjawab hal- hal yang diajukan oleh dewan komisaris, sehingga dewan komisaris bertanggungjawab
untuk
mengawasi tugas-tugas
manajemen serta tidak boleh melibatkan diri dalam tugas-tugas manajemen dan tidak boleh mewakili perusahaan dalam transaksi-transaksi dengan pihak ketiga. Anggota dewan komisaris diangkat dan diganti dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Direksi sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggungjawab secara kolegial dalam mengelola perusahaan. Masing- masing anggota dewan direksi dapat melaksanakan tugas dan mengambil keputusan sesuai dengan pembagian tugas dan wewenangnya. Namun, pelaksanaan tugas oleh ma sing- masing anggota dewan direksi tetap merupakan tanggung jawab bersama. Kedudukan masing- masing anggota dewan direksi termasuk direktur utama adalah setara. Fungsi pengelolaan perusahaan oleh direksi mencakup 5 (lima) tugas utama yaitu kepengurusan, manajemen risiko, pengendalian internal, komunikasi, dan tanggung jawab sosial. Pertanggungjawaban Direksi meliputi (KNKG, 2006) : 1.
Direksi harus menyusun pertanggungjawaban pengelolaan perusahaan dalam bentuk laporan tahunan yang memuat antara lain laporan keuangan, laporan kegiatan perusahaan, dan laporan pelaksanaan GCG.
2.
Laporan tahunan harus memperoleh persetujuan RUPS, dan khusus untuk laporan keuangan harus memperoleh pengesahan RUPS.
3.
Laporan tahunan harus telah tersedia sebelum RUPS diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk memungkinkan pemegang saham melakukan penilaian.
4.
Dengan diberikannya persetujuan atas laporan tahunan dan pengesahan atas laporan keuangan, berarti RUPS telah memberikan pembebasan dan pelunasan tanggung jawab kepada masing- masing anggota Direksi sejauh halhal tersebut tercermin dari laporan tahunan, dengan tidak mengurangi tanggung jawab masing- masing anggota Direksi dalam hal terjadi tindak pidana atau kesalahan dan atau kelalaian yang menimbulkan kerugian bagi pihak ketiga yang tidak dapat dipenuhi dengan aset perusahaan.
5.
Pertanggungjawaban
direksi
kepada
RUPS
merupakan
perwujudan
akuntabilitas pengelolaan perusahaan dalam rangka pelaksanaan asas GCG. Dewan Komisaris memegang peranan yang sangat penting dalam perusahaan, terutama dalam pelaksanaan Good Corporate Governance. Menurut Egon Zehnder dalam FCGI (2000), dewan komisaris - merupakan inti dari Corporate Governance yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen
dalam
mengelola
perusahaan,
serta
mewajibkan
terlaksananya
akuntabilitas. Pada intinya, dewan komisaris merupakan suatu mekanisme mengawasi dan mekanisme untuk memberikan petunjuk dan arahan pada pengelola perusahaan. Mengingat manajemen yang bertanggungjawab untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing perusahaan sedangkan dewan komisaris bertanggungjawab untuk
mengawasi manajemen, maka dewan komisaris merupakan pusat ketahanan dan kesuksesan perusahaan. Dalam Pedoman Umum Good Corporate Governance di Indonesia yang dibuat oleh KNKG (2006), disebutkan bahwa dewan komisaris sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggung jawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada direksi serta memastikan bahwa perusahaan melaksanakan GCG. Namun demikian, dewan komisaris tidak boleh turut serta dalam mengambil keputusan operasional. Kedudukan masing- masing anggota dewan komisaris termasuk komisaris utama adalah setara. Lebih lanjut tugas-tugas utama dewan komisaris meliputi (OECD Principles of Corporate Governance dalam FCGI, 2000) : 1.
Menilai dan mengarahkan strategi perusahaan, garis- garis besar rencana kerja, kebijakan pengendalian risiko, anggaran tahunan dan rencana usaha; menetapkan sasaran kerja; mengawasi pelaksanaan dan kinerja perusahaan; serta memonitor penggunaan modal perusahaan, investasi dan penjualan aset;
2.
Menilai sistem penetapan penggajian pejabat pada posisi kunci dan penggajian anggota dewan direksi, serta menjamin suatu proses pencalonan anggota dewan direksi yang transparan dan adil;
3.
Memonitor dan mengatasi masalah benturan kepentingan pada tingkat manajemen, anggota dewan direksi dan anggota dewan komisaris, termasuk penyalahgunaan aset perusahaan dan manipulasi transaksi perusahaan;
4.
Memonitor pelaksanaan governance, dan mengadakan perubahan di mana perlu;
5.
Memantau proses keterbukaan dan efektifitas komunikasi dalam perusahaan. Dalam melaksanakan tugasnya, dewan komisaris dapat membentuk komite
untuk membantu bekerja secara tepat guna dalam suatu lingkungan usaha yang kompleks. Dewan komisaris harus mendelegasikan beberapa tugas mereka kepada komite-komite. Adanya komite-komite ini merupakan suatu sistem yang bermanfaat untuk dapat melaksanakan pekerjaan dewan komisaris secara lebih rinci dengan memusatkan perhatian dewan komisaris kepada bidang khusus perusahaan atau cara pengelolaan yang baik (governance) oleh manajemen. Komite-komite yang pada umumnya dibentuk adalah Komite Kompensasi/Remunerasi untuk badan eksekutif dalam perusahaan, Komite Nominasi, dan Komite Audit. Berdasarkan praktek yang umum berlaku di dunia internasional disarankan bahwa anggota komite-komite tersebut diisi oleh anggota komisaris independen (FCGI, 2002). Komite Audit merupakan salah satu komite yang bertugas membantu Dewan Komisaris
dalam
melakukan
mekanisme
pengawasan
terhadap
manajemen. Keanggotaan komite audit sesuai dengan yang telah diatur oleh Bapepam dan Bursa Efek Indonesia, disebutkan bahwa Komite Audit yang dimiliki oleh perusahaan minimal terdiri dari tiga orang, dimana sekurang-kurangnya 1 (satu) orang berasal dari Komisaris Independen dan 2 (dua) orang anggota lainnya berasal dari luar emiten atau perusahaan publik. Jumlah anggota Komite Audit harus disesuaikan dengan kompleksitas perusahaan dengan tetap memperhatikan efektifitas
dalam pengambilan keputusan. Menurut KNKG (2006), salah satu tugas komite audit adalah untuk memastikan bahwa struktur pengendalian internal perusahaan dilakukan dengan baik. Pada umumnya, komite audit mempunyai tanggung jawab pada tiga bidang, yaitu laporan keuangan (financial reporting), tata kelola perusahaan (corporate governance) dan pengawasan perusahaan (corporate control). Tanggung jawab komite audit dalam bidang corporate governance adalah sebagai berikut (www.cicfcgi.org) : 1.
Menilai kebijakan perusahaan yang berhubungan dengan kepatuhan terhadap undang-undang dan peraturan, etika, benturan kepentingan dan penyelidikan terhadap perbuatan yang merugikan perusahaan dan kecurangan;
2.
Memonitor proses pengadilan yang sedang terjadi ataupun yang ditunda serta yang menyangkut masalah corporate governance dalam hal di mana perusahaan menjadi salah satu pihak yang terkait di dalamnya;
3.
Memeriksa kasus-kasus penting
yang berhubungan dengan benturan
kepentingan, perbuatan yang merugikan perusahaan, dan kecurangan; 4.
Keharusan auditor internal untuk melaporkan hasil pemeriksaan corporate governance dan temuan-temuan penting lainnya. Permasalahan yang timbul dalam GCG merupakan akibat adanya masalah
keagenan yang muncul dalam suatu organisasi sebagai akibat pihak-pihak yang terlibat dalam perusahaan mempunyai kepentingan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut antara lain karena karakteristik kepemilikan dalam perusahaan (Hastuti,
2005). Struktur kepemilikan perusahaan memiliki pengaruh terhadap perusahaan. Struktur kepemilikan mencerminkan proporsi kepemilikan perusahaan. Dengan kata lain struktur kepemilikan mencerminkan proporsi hak principal (pemilik). Karakteristik kepemilikan dalam perusahaan ada beberapa tipe, antara lain kepemilikan
menyebar (manager-controlled atau dispersed ownership) dan
kepemilikan terkonsentrasi (owner-controlled atau closely held). Secara spesifik kategori struktur kepemilikan meliputi kepemilikan oleh institusi domestik, institusi asing, pemerintah, karyawan, dan individual domestik (Xu dalam Hastuti, 2005).
2.3 Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Sosial Responsibility (CSR) 2.3.1 Pengertian Tanggung Jawab Sosial Pe rusahaan (CSR) Terdapat berbagai definisi atas CSR. Beberapa definisi CSR di bawah ini menunjukkan keragaman pengertian CSR menurut berbagai organisasi yang dikutip dari berbagai sumber : a.
b.
c. d.
World Business Council for Sustainable Development: Komitmen berkesinambungan dari kalangan bisnis untuk berperilaku etis dan memberi kontribusi bagi pembangunan ekonomi, seraya meningkatkan kualitas kehidupan karyawan dan keluarganya, serta komunitas lokal dan masyarakat luas pada umumnya. Inte rnational Finance Corporation: Komitmen dunia bisnis untuk memberi kontribusi terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan melalui kerjasama dengan karyawan, keluarga mereka, komunitas lokal dan masyarakat luas untuk meningkatkan kehidupan mereka melalui cara-cara yang baik bagi bisnis maupun pembangunan. World Bank: komitmen bisnis untuk berkontribusi terhadap perkembangan ekonomi berkelanjutan, memperhatikan karyawan dan masyarakat lokal, dan masyarakat luas untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Canadian Governme nt: Kegiatan usaha yang mengintegrasikan ekonomi, lingkungan dan sosial ke dalam nilai, budaya, pengambilan keputusan,
e.
f.
strategi, dan operasi perusahaan yang dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab untuk menciptakan masyarakat yang sehat dan berkembang. European Commission: Sebuah konsep dengan mana perusahaan mengintegrasikan perhatian terhadap sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksinya dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan. Draft ISO 26000 “Guidance on Social Responsibility”: Tanggung jawab sebuah organisasi terhadap dampak-dampak dari keputusan-keputusan dan kegiatan-kegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat; mempertimbangkan harapan pemangku kepentingan, sejalan dengan hukum yang ditetapkan dan normanorma perilaku internasional; serta terintegrasi dengan organisasi secara menyeluruh (draft 3, 2007). Di Indonesia, CSR Indonesia mendefinisikan konsep CSR sebagai upaya
manajemen yang dijalankan entitas bisnis untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan berdasar keseimbangan ekonomi, sosial, dan lingkungan, dengan meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak positif tiap pilar. CSR merupakan konsep yang cukup kompleks sehingga sulit untuk didefinisikan dengan pasti. Dalam suatu pandangan umum CSR dapat disebut sebagai interaksi antara bisnis dan lingkungan sosialnya. Sedangakan bertanggung jawab secara sosial menurut konsep CSR berarti bahwa perusahaan beroperasi dan bertindak sesuai dengan yang dapat diterima oleh masyarakat dan dengan cara-cara yang bertanggung jawab. Menurut Wibisono (2007:8), kendatipun tidak memiliki definisi tunggal konsep CSR menawarkan sebuah kesamaan, yaitu keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis dan perhatian terhadap aspek sosial serta lingkungan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perusahaan dalam kegiatannya juga harus
memperhatikan tiga hal yaitu profit, masyarakat dan lingkungan. Ketiganya harus berjalan secara sinergis dan berkesinambungan agar tercipta iklim perusahaan yang baik sehingga eksistensi perusahaan juga terjamin dengan citra atau reputasi positif yang didapatnya dari konsumen dan masyarakat. 2.3.2 Perkembangan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) Menilik sejarahnya, konsep CSR lahir akibat desakan masyarakat yang merasa prihatin dengan perilaku perusahaan yang dalam tujuan maksimalisasi laba terkadang mempraktekkan cara-cara yang tidak fair dan tidak etis. Perusahaan menganggap bahwa sumbangan kepada masyarakat cukup diberikan dalam bentuk penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui produknya, dan pembayaran pajak kepada negara. Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat tak sekedar
menuntut perusahaan
untuk
menyediakan barang dan jasa
yang
diperlukannya, melainkan juga menuntut untuk bertanggung jawab secara sosial. Literatur- literatur awal yang membahas CSR pada tahun 1950-an menyebut CSR sebagai Social Responsibility (SR bukan CSR). Tidak disebutkannya kata corporate dalam istilah tersebut kemungkinan besar disebabkan pengaruh dan dominasi korporasi modern belum terjadi atau belum disadari. Buku karangan Howard R. Bowen yang berjudul Social Responsibility of The Businessman dapat dianggap sebagai tonggak bagi CSR modern. Dalam buku itu Bowen memberikan definisi awal dari CSR sebagai (Hidayat, 2009) : “… obligation of businessman to pursue those policies, to make those decision or to follow those line of action wich are desirable in term of the objectives and values of our society.”
Sejak penerbitan buku tersebut definisi CSR yang diberikan Bowen memberikan pengaruh besar kepada literatur- literatur CSR yang terbit setelahnya. Sumbangsih besar pada peletakan fondasi CSR tersebut membuat Bowen pantas disebut sebagai Bapak CSR. Dalam konteks global, istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970-an dan semakin populer terutama setelah kehadiran buku Cannibals With Forks: The Triple Bottom
Line
in
21st
Century
Business
(1998),
karya
John
Elkington.
Mengembangkan tiga komponen penting sustainable development, yakni economic growth, environmental protection, dan social equity, yang digagas The World Commission on Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report (1987), Elkington mengemas CSR ke dalam tiga fokus: 3P, singkatan dari profit, planet dan people. Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit). Melainkan pula memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people). CSR sebagai sebuah gagasan, beranggapan bahwa perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja. Tapi tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines. Dalam hal ini, bottom lines lainnya selain keuangan (financial) adalah sosial dan lingkungan. Karena kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan perusahaan
hanya akan terjamin apabila, perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup. Sudah menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar, di berbagai tempat dan waktu muncul ke permukaan terhadap perusahaan yang dianggap tidak memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi dan lingkungan hidupnya. Era 1980-an ditandai dengan usaha- usaha yang lebih terarah untuk lebih mengartikulasikan secara tepat apa sebenarnya corporate responsibility. Walaupun telah menyinggung masalah CSR pada 1954, empu teori manajemen Peter F. Drucker baru mulai membahas secara serius bidang CSR pada tahun 1984, Drucker berpendapat (Hidayat, 2009) : ”But the proper „social responsibility‟ of business is to tame the dragon, that is to turn a social problem into economic opportunity and economic benefit, into productive capacity, into human competence, into well-paid jobs, and into wealth.” Dalam hal ini Drucker telah melangkah lebih lanjut dengan memberikan ide baru agar korporasi dapat mengelola aktivitas CSR yang dilakukannya dengan sedemikian rupa sehingga tetap akan menjadi peluang bisnis yang menguntungkan. Hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro Brazilia 1992, menyepakati perubahan paradigma pembangunan, dari pertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Dalam perspektif perusahaan, keberlanjutan (sustainability) yang dimaksud merupakan suatu program sebagai dampak dari usaha-usaha yang telah dirintis, berdasarkan konsep kemitraan dan rekanan dari mas ing- masing stakeholder. Ada lima elemen sehingga konsep keberlanjutan menjadi penting, di antaranya
adalah; (1) ketersediaan dana, (2) misi lingkungan, (3) tanggung jawab sosial, (4) terimplementasi dalam kebijakan (masyarakat, korporat, dan pemerintah), (5) mempunyai nilai keuntungan/manfaat. Pertemuan World Summit di Johannesburg pada 2002 memunculkan konsep social responsibility, yang mengiringi dua konsep sebelumnya yaitu economic dan environment sustainability. Ketiga konsep ini menjadi dasar bagi perusahaan dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Pertemuan UN Global Compact di Jenewa, Swiss pada 7 Juli 2007 juga semakin memperkuat keberadaan konsep tanggung jawab sosial perusahaan. Pertemuan itu bertujuan meminta perusahaan untuk menunjukkan tanggung jawab dan perilaku bisnis yang sehat, yang dikenal dengan Corporate Social Responsibility (CSR). Di Indonesia, istilah CSR semakin populer digunakan sejak tahun 1990-an. Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan CSA (Corporate Social Activity) atau aktivitas sosial perusahaan. Walaupun tidak dinamakan sebagai CSR, secara faktual aksinya mendekati konsep CSR yang merepresentasikan bentuk peran serta dan kepedulian perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan. 2.3.3 Manfaat Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) Banyak sekali manfaat yang akan diterima dari pelaksanaan CSR ini baik bagi perusahaan, masyarakat, lingkungan ataupun negara. Menurut Effendi (2007), ada empat manfaat yang diperoleh bagi perusahaan dengan mengimplementasikan CSR, yaitu:
1.
Keberadaan perusahaan dapat tumbuh dan berkelanjutan dan perusahaan mendapatkan citra (image) yang positif dari masyarakat luas.
2.
Perusahaan lebih mudah memperoleh akses terhadap kapital (modal).
3.
Perusahaan dapat mempertahankan sumber daya manusia (human resources) yang berkualitas.
4.
Perusahaan dapat meningkatkan pengambilan keputusan pada hal- hal yang kritis (critical decision making) dan mempermudah pengelolaan manajemen risiko (risk management). Menurut Nugroho (2007), jika CSR dipahami dengan baik maka banyak
sekali manfaat yang akan diterima dari pelaksanaan CSR ini baik bagi perusahaan, masyarakat (termasuk buruh atau pekerjanya), lingkungan ataupun negara, antara lain: 1.
Bagi perusahaan, usahanya akan lebih berkesinambungan (sustainable) karena pekerjanya sejahtera dan kerasan bekerja disana sehingga produktif; bahan bakunya terjamin karena lingkungan terjaga; nama baik karena dukungan sosial dari masyarakat sekitar. Maka pada akhirnya, laba yang didapat perusahaan juga akan terjaga (sustainable profitability).
2.
Bagi masyarakat, praktik CSR yang baik akan meningkatkan nilai-tambah adanya perusahaan di suatu daerah karena akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan kualitas sosial di daerah tersebut. Pekerja lokal yang diserap akan mendapatkan perlindungan akan hak- haknya sebagai pekerja. Jika ada
masyarakat adat atau masyarakat lokal, praktek CSR akan menghargai keberadaan tradisi dan budaya lokal tersebut. 3.
Bagi lingkungan, praktik CSR akan mencegah eksploitasi berlebihan atas sumber daya alam, menjaga kualitas lingkungan dengan menekan tingkat polusi dan justru perusahaan terlibat memperbaharui lingkungannya.
4.
Bagi negara, praktik CSR yang baik akan mencegah apa yang disebut dengan “corporate misconduct ” atau malpraktik bisnis yang banyak terjad i seperti penyuapan pada aparat negara atau aparat hukum yang memicu tingginya korupsi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pelaporan CSR yang transparan
dan akuntabel akan mendorong pelaksanaan kegiatan CSR, yang pada akhirnya akan meningkatkan tidak saja nilai perusahaan, tetapi juga kesejahteraan masyarakat.
2.3.4 Implementasi Pelaporan dan Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) Seperti halnya definisi CSR yang tak tunggal serta kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan itu sendiri, yang bagi sejumlah kalangan masih dianggap sebagai sesuatu yang bersifat sukarela, laporan tersebut juga sangat beragam formatnya, gayanya, luasnya dan metodologi evaluasi yang digunakan walaupun dalam suatu industri yang sejenis. Bagaimanapun, laporan CSR atau laporan keberlanjutan merupakan upaya untuk meningkatkan akuntabilitas perusahaan di mata para stakeholders-nya.
Gray, Owen dan Adams dalam Meutia (2008), mendefinisikan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility Disclosure CSRD) sebagai proses mengkomunikasikan pengaruh sosial dan lingkungan dari suatu organisasi, tindakan ekonomi untuk kelompok yang mempunyai kepentingan dalam suatu masyarakat dan untuk masyarakat secara luas. Pengungkapan tanggung jawab
sosial
perusahaan
merupakan
suatu
cara
bagi
perusahaan
untuk
mengkomunikasikan kepada para stakeholders-nya bahwa perusahaan memberikan perhatian pada pengaruh sosial dan lingkungan yang ditimbulkan oleh perusahaan. Pengungkapan ini juga bertujuan untuk memperlihatkan kepada masyarakat aktivitas sosial yang dilakukan oleh perusahaan dan pengaruhnya terhadap masyarakat. Pengaruh disini antara lain adalah seberapa jauh lingkungan, pegawai, konsumen, masyarakat lokal dan yang lainnya dipengaruhi oleh kegiatan dan operas i bisnis perusahaan. Umumnya mencakup seluruh aspek triple bottom line yang meliputi aspek ekonomi, aspek lingkungan dan aspek sosial. Berikut adalah beberapa standar pelaporan CSR yang telah dikembangkan [Robins (2005) dalam Utama (2007:18)]: 1. The United Nations Global Compact. 2. Social Accountability 8000. 3. The Global Reporting Iniative (GRI). Robins menyatakan bahwa Global Compact diluncurkan oleh PBB pada tahun 1999, mempromosikan sepuluh prinsip bisnis, dengan penekanan pada praktek ketenagakerjaan. Cakupannya luas dan tidak dimaksudkan untuk mengukur kinerja.
Sebaliknya, Social Accountability 8000 yang dikembangkan oleh Council on Economic Priorities Accreditation Agency adalah standar bagi perusahaan yang bermaksud mengaudit dan mensertifikasi praktek ketenagakerjaan dan pemasok, dan mencoba mengukur kinerja di bidang-bidang tersebut. Berikutnya, The Global Reporting Iniative (GRI) yang memfokuskan pada standar pengungkapan berbagai kinerja ekonomis, sosial, dan lingkungan perusahaan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas, ketelitian, dan pemanfaatan sustainability reporting. Standar pengungkapan dibagi menjadi tiga bagian: Strategi dan profil, pendekatan manajemen, dan indikator kinerja. Pengungkapan kinerja akuntansi sosial perusahaan, baik se cara internal maupun eksternal, dapat ditempuh melalui beberapa pendekatan (Ishak, 2006), yaitu: (1) Audit sosial, yaitu mengukur dan melaporkan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan dari program-program yang berorientasi sosial dan operasi perusahaan yang reguler. Mulanya, manajer perusahaan diminta membuat daftar aktivitas dengan konsekuensi sosial. Setelah daftar tersebut dihasilkan, auditor sosial kemudian menilai dan mengukur dampak-dampak dari kegiatan sosial perusahaan. Audit sosial dilaksanakan secara rutin oleh kelompok konsultan internal maupun eksternal, sebagai bagian dari pemeriksaan internal biasa, sehingga manajer mengetahui konsekuensi sosial dari tindakan mereka. (2) Laporan-Laporan Sosial. Laporan eksternal terpisah yang menggambarkan hubungan perusahaan dengan komunitasnya, salah satu contohnya seperti yang dikembangkan oleh David Linowes yang membagi laporan tersebut dalam tiga kategori: hubungan dengan manusia, hubungan dengan lingkungan, dan hubungan dengan produk. (3) Pengungkapan dalam laporan tahunan. Beberapa perusahaan menerbitkan laporan tahunan kepada pemegang saham disertai beberapa informasi sosial yang dilakukan. Namun, melalui informasi yang dicantumkan dalam laporan tahunan tersebut, belum dapat dinilai kinerja sosial perusahaan secara komprehensif, karena kebanyakan informasi yang diungkapkan dalam laporan tahunan bersifat sukarela dan selektif. Dalam artian, bisa jadi perusahaan hanya menyoroti kontribusi positifnya dan mengabaikan dampak negatif yang ditimbulkan dari aktivitas usahanya.
Jenis pengungkapan dalam laporan tahunan merupakan bentuk pelaporan tanggung jawab sosial perusahaan yang cenderung paling banyak dipraktekkan di Indonesia, walaupun beberapa perusahaan sudah melaporkan pengungkapan tersebut pada laporan khusus tentang CSR mereka, seperti PT Unilever Indonesia Tbk yang memiliki Laporan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dan PT Astra Internasional Tbk yang memiliki Astra‟s Corporate Social Responsibility. Kewajiban pengungkapan CSR di Indonesia telah diatur dalam beberapa regulasi, antara lain adalah pernyataan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) yang menyarankan perusahaan untuk mengungkapkan tanggung jawab mengenai sosial dan lingkungan sebagaimana dituangkan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.1 (Revisi 1998) Paragraf kesembilan : “Perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (added value statement), khusunya bagi industri dimana faktor- faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting.” Secara
yuridis
formal,
pemerintah
telah
mendukung
praktik
dan
pengungkapan tanggung jawab sosial melalui Undang-undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Bab IV Pasal 66 ayat 2(c) dan Bab V Pasal 74. Pada Pasal 66 ayat 2 bagian c disebutkan bahwa selain menyampaikan laporan keuangan, perusahaan juga diwajibkan melaporkan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Sedangkan Pasal 74 menjelaskan kewajiban untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan bagi perusahaan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan sumber daya alam. Selain itu kewajiban pelaksanaan CSR juga
diatur dalam Undang-Undang Penanaman Modal No.25 Tahun 2007 pasal 15 bagian b, pasal 17, dan pasal 34 yang mengatur setiap penanaman modal diwajibkan untuk ikut serta dalam tanggung jawab sosial perusahaan. Selain itu, pengungkapan tanggung jawab sosial juga terdapat dalam Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) No. kep- 38/PM/1996 peraturan No.VIII.G.2 tentang Laporan Tahunan yang berisi mengenai kebebasan bagi perusahaan untuk memberikan penjelasan umum mengenai perusahaan, selama hal tersebut tidak menyesatkan dan bertentangan dengan informas i yang disajikan dalam bagian lainnya. Penjelasan umum tersebut berisi uraian mengenai keterlibatan perusahaan dalam kegiatan pelayanan masyarakat, program kemasyarakatan, amal, atau bakti sosial lainnya, serta uraian mengenai program perusahaan dalam rangka pengembangan SDM. Bagi perusahaan terbuka, Bapepam LK mengeluarkan keputusan No. 134/BL/2006 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Tahunan bagi Emiten dan Perusahaan Publik. Dibanding aturan sebelumnya (No.38/PM/1996) jumlah informasi yang wajib diungkapkan, khususnya yang terkait dengan praktek Corporate Governance, jauh lebih banyak. Aturan tersebut mewajibkan perusahaan untuk menguraikan aktivitas dan biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan. Sama halnya dengan Undang - Undang Perseroan, isi dan format uraian sepenuhnya diserahkan ke perusahaan, yang berarti dapat menyulitkan publik dalam mengevaluasi dan membandingkan pelaksanaan CSR antar perusahaan.
Standar pengungkapan CSR yang berkembang di Indonesia adalah merujuk standar yang dikembangkan oleh GRI (Global Reporting Initiatives). Ikatan Akuntan Indonesia, Kompartemen Akuntan Manajemen (IAI-KAM) atau sekarang dikenal Ikatan Akuntan Manajemen Indonesia (IAMI) merujuk standar yang dikembangkan oleh GRI dalam pemberian penghargaan Indonesia Sustainability Report Award (ISRA) kepada perusahaan-perusahaan yang ikut serta dalam membuat laporan keberlanjutan atau sustainability report. Standar GRI dipilih karena memfokuskan pada standar pengungkapan berbagai kinerja ekonomi, sosial dan lingkungan perusahaan. 2.4 Penelitian Terdahulu Penelitian empiris mengenai penerapan GCG dan pengungkapan CSR telah banyak dilakukan di Indonesia maupun di luar negara Indonesia, baik penelitian mengenai penerapan GCG dan pengungkapan CSR secara individual, maupun penelitian mengenai hubungan antara penerapan GCG dan pengungkapan CSR sebagai pengembangan dari penelitian -penelitian terdahulu. Terdapat beragam hasil penelitian mengenai hubungan antara penerapan GCG dan pengungkapan CSR, beberapa penlitian tersebut antara lain Sembiring (2005) berusaha meneliti beberapa faktor yang mempengaruhi pengungkapan CSR pada perusahaan di Indonesia. Variabel independen yang digunakan yaitu ukuran perusahaan, profil perusa haan, ukuran dewan komisaris, profitabilitas, dan leverage perusahaan. Hasil dari penelitian ini adalah berhasil membuktikan bahwa ukuran perusahaan, profil perusahaan, dan
ukuran Dewan Komisaris berpengaruh terhadap pengungkapan CSR pada perusahaan di Indonesia. Anggraini (2006) dengan judul “Pengungkapan Informasi Sosial dan FaktorFaktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Informasi Sosial dalam Laporan Keuangan Tahunan”, yang juga menguji pengaruh dari beberapa variabel yang mewakili karakteristik perusahaan, seperti prosentase kepemilikan manajerial, tingkat leverage, profitabilitas, size perusahaan, dan tipe industri terhadap pengungkapan informasi sosial. Perbedaan antara skripsi ini dengan penelitian milik Anggraini (2006) adalah terletak pada pemilihan dua variabel lain yang mewakili karakteristik perusahaan yang digunakan dalam skripsi ini namun tidak digunakan pada skripsi milik Reni tersebut, yaitu ukuran dewan komisaris dan proporsi kepemilikan publik. Selain itu, perbedaan juga terletak pada indikator yang digunakan sebagai skala pengukuran variabel, untuk variabel tingkat leverage, profitabilitas, dan size perusahaan. Said, et al., (2009) juga meneliti mengenai pengaruh karakteristik Corporate Governance terhadap pengungkapan CSR dengan variabel independen yang digunakan yaitu ukuran dewan komisaris, independensi dewan komisaris, dualitas CEO, komite audit, sepuluh pemegang saham terbesar, kepemilikan manajerial, kepemilikan asing, dan kepemilikan pemerintah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya variabel kepemilikan pemerintah dan komite audit yang berhubungan positif dan signifikan dengan luas pengungkapan.
Penelitian Sudana dan Arlindania (2011) mencoba menguji pengaruh karakteristik
Corporate
Governance
terhadap
pengungkapan
CSR
dengan
menggunakan variabel independen berupa keberadaan dewan direksi wanita, keberadaan dewan direksi warga negara asing dan komposisi komisaris independen dengan variabel kontrol Return on Equity, ukuran perusahaan dan Debt Equity Ratio. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan dewan direksi warga negara asing, komposisi komisaris independen, Return on Equity dan ukuran perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial.
2.5 Kerangka Pe mikiran Variabel Independen Keberadaan Dewan Direksi Warga Negara Asing Ukuran Dewan Komisaris Ukuran Komite Audit Proporsi Komite Audit Independen Variabel Dependen Kepemilikan Terkonsentrasi
Kepemilikan Pemerintah
Pengungkapan CSR (CSR Indeks - CSRI)
Size atau Ukuran Perusahaan
Variabel Independen Variabel Kontrol
Profitabilitas
Gambar 2 Model Penelitian
2.6 Pengembangan Hipotesis Hipotesis merupakan proposisi yang dirumuskan dengan maksud untuk diuji secara empiris. Penelitian ini merupakan penelitian eksplanatif sehingga dalam penelitian ini terdapat hipotesis yang dibuat untuk diuji kebenarannya.
2.6.1 Pengaruh Keberadaan Dewan Direksi Warga Negara Asing dengan Pengungkapan CSR Keberadaan warga negara asing dalam komposisi dewan direksi menurut Branco dan Rodrigues dalam Sudana (2011), dapat mengangkat isu kausalitas pengungkapan. Hal ini karena warga negara asing yang pada umumnya berasal dari negara yang telah maju dan biasanya memiliki kesadaran dan kepedulian yang tinggi terhadap kondisi lingkungan yang bersih, pendidikan, kesehatan dan sebagainya.
Dengan demikian diharapkan dengan adanya Dewan Direksi yang merupakan ekspatriat (warga negara asing) maka perusahaan akan lebih peduli terhadap praktik dan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan sehingga pengungkapan informasi tanggung jawab sosial perusahaan akan semakin berkualitas dan luas. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis yang diajukan oleh peneliti sebagai berikut: H1 = Keberadaan Dewan Direksi Warga Negara Asing be rpengaruh positif terhadap luas pengungkapan CSR.
2.6.2 Pengaruh Ukuran Dewan Komisaris dengan Pengungkapan CSR Dewan Komisaris merupakan suatu mekanisme untuk mengawasi dan untuk memberikan petunjuk dan arahan pada pengelola perusahaan atau pihak manajemen. Berdasarkan
teori agensi,
dewan komisaris
dianggap
sebagai
mekanisme
pengendalian intern tertinggi, yang bertanggung jawab untuk memonitor tindakan manajemen sehingga dapat mengurangi agency cost dan meningkatkan citra dan reputasi perusahaan ke publik (Akhtaruddin, et. al., 2009). Berkaitan dengan pengungkapan informasi oleh perusahaan, semakin besar ukuran dewan komisaris maka intensitas kegiatan monitoring semakin meningkat dan proses monitoring akan menjadi lebih baik dengan didukung pengalaman dan keahlian yang dimiliki oleh masing - masing dewan komisaris. Dengan demikian diharapkan mampu meningkatkan pengungkapan informasi terkait perusahaan yang
dimiliki oleh manajemen, termasuk informasi terkait tanggung jawab sosial perusahaan. Hasil penelitian Sembiring (2005) menemukan adanya hubungan positif yang signifikan antara ukuran Dewan Komisaris denganpengungkapan CSR di Indonesia. Hal ini berarti bahwa semakin banyak jumlah anggota Dewan Komisaris dalam suatu perusahaan, maka monitoring akan berjalan dengan baik dan pengungkapan informasi tanggung jawab sosial perusahaan akan semakin luas. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis yang diajukan oleh peneliti sebagai berikut: H2 = Ukuran Dewan Komisaris berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan CSR.
2.6.3 Pengaruh Ukuran Komite Audit dengan Pengungkapan CSR Komite Audit merupakan komite yang bertugas membantu dewan komisaris dalam melakukan mekanisme pengawasan terhadap manajemen. Menurut Forker dalam Said et. al. (2009), komite audit dianggap sebagai salah satu alat yang efektif untuk melakukan mekanisme pengawasan, sehingga dapat mengurangi biaya agensi dan meningkatkan kualitas pengungkapan informasi perusahaan, termasuk informasi terkait tanggung jawab sosial perusahaan. Dengan demikian, semakin besar ukuran komite audit, maka mekanisme pengawasan yang dilakukan akan semakin baik dan pengungkapan informasi tanggung jawab sosial perusahaan akan semakin luas. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis yang diajukan oleh peneliti sebagai berikut:
H3 = Ukuran Komite Audit berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan CSR
2.6.4 Pengaruh Proporsi Komite Audit Independen dengan Pengungkapan CSR Keberadaan komite audit dapat dirasakan sebagai indikasi monitoring berkualitas tinggi dan berpengaruh signifikan dalam menyediakan informasi yang lebih baik kepada para pemakai laporan keuangan Mujiyono (2010). Keberadaan anggota independen dalam jajaran komite audit diharapkan dapat menjaga independensi komite audit dari pihak manajemen, sehingga dapat secara objektif membantu dewan komisaris melaksanakan tugas pengawasan te rhadap manajemen. Dengan tercapainya pengawasan yang efektif, maka dapat dipastikan pengendalian internal dilakukan dengan baik. Sehingga akan mengurangi konflik dan biaya agensi yang pada akhirnya dapat mendorong manajemen untuk mengungkapkan seluruh informasi perusahaan. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis yang diajukan oleh peneliti sebagai berikut: H4 = Proporsi Komite Audit Independen berpengaruh positif te rhadap luas pengungkapan CSR
2.6.5 Pengaruh Kepe milikan Te rkonsentrasi dengan Pengungka pan CSR Kepemilikan saham dikatakan terkonsentrasi jika sebagian besar saham dimiliki oleh sebagian kecil individu atau kelompok, sehingga pemegang saham tersebut memiliki jumlah saham yang relatif dominan dibandingkan dengan lainnya.
Kepemilikan saham dikatakan menyebar, jika kepemilikan saham menyebar secara relatif merata ke publik, tidak ada yang memiliki saham dalam jumlah sangat besar dibandingkan dengan lainnya (Dallas dalam Shinta dan Ahmar, 2011). Konsentrasi kepemilikan dapat menjadi mekanisme internal pendisiplinan manajemen,
sebagai salah satu
meningkatkan efektivitas
mekanisme
yang dapat digunakan untuk
monitoring, karena dengan kepemilikan yang besar
menjadikan pemegang saham memiliki akses informasi yang cukup signifikan untuk mengimbangi keuntungan informasional yang dimiliki manajemen. Jika ini dapat diwujudkan maka tindakan moral hazard manajemen seperti tindakan oportunis manajemen untuk menyembunyikan informasi dapat dikurangi. Dengan demikian dapat mendorong pengungkapan CSR untuk dilakukan dengan lebih luas. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis yang diajukan oleh peneliti sebagai berikut: H5 = Kepemilikan Terkonsentrasi berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan CSR
2.6.6 Pengaruh Kepe milikan Pemerintah dengan Pengungkapan CSR Kepemilikan pemerintah adalah jumlah saham perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah. Melalui kepemilikan saham ini pemerintah berhak menetapkan direktur perusahaan. Selain itu pemerintah dapat mengendalikan kebijakan yang diambil oleh manajemen agar sesuai dengan kepentingan/aspirasi pemerintah. Di Indonesia perusahaan ini disebut dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Mayoritas
sahamnya dimiliki oleh pemerintah sehingga stakeholder utama perusahaan ini adalah pemerintah. Dalam menjalankan operasional perusahaannya, BUMN berpedoman kepada perudang-undangan dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pemerintah yang menanamkan uang negara dalam perusahaan lazimnya sesuai dengan tujuan/kebijakan bidang politik, sosial, ekonomi, maupun lainnya (La Porta e t al, 1999). Kepemilikan pemerintah pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) sangat terbatas, tetapi relatif merupakan perusahaan yang besar (kapitalisasi pasar besar) dan pada bidang industri yang dianggap strategis, misalnya pada bidang telekomunikasi, perbankan, dan konstruksi (bekas Badan Usaha Milik Negara). Menurut hasil penelitian Sefrilia dan Saftiana (2012), faktor kepemilikan saham pemerintah berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Artinya bahwa semakin besar tingkat persentase kepemilikan saham pemerintah, maka semakin luas pula pengungkapan aktivitas/tanggung jawab sosial perusahaan pada laporan tahunan perusahaan. Hasil ini memberikan arti bahwa pemerintah mengawasi dan memperhatikan kinerja perusahaan. Kinerja ini tercermin dalam
laporan
tahunan
perusahaan,
termasuk
didalamnya
pelaporan
aktivitas/tanggung jawab sosial perusahaan. Pemerintah menekan perusahaan untuk mengungkapkan CSR dalam laporan tahunan perusahaan sebagai bentuk pelaksanaan Good Corporate Governance. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis yang diajukan oleh peneliti sebagai berikut:
H6 = Kepe milikan Peme rintah berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan CSR
2.6.7 Pengaruh Size (Ukuran Perusahaan) dengan Pengungkapan CSR Ukuran perusahaan menunjukkan besar kecilnya harta yang dimiliki oleh perusahaan. Ukuran perusahaan dapat mempengaruhi kegiatan operasionalnya. Secara umum, perusahaan besar akan mengungkapkan informasi lebih banyak daripada perusahaan kecil. Terdapat beberapa penjelasan mengenai hal tersebut. Teori agensi menyatakan bahwa perusahaan besar memiliki biaya keagenan yang lebih besar daripada perusahaan kecil. Perusahaan besar mungkin akan mengungkapkan informasi yang lebih banyak sebagai upaya untuk mengurangi biaya keagenan tersebut. Penjelasan lain yang mungkin adalah perusahaan besar menghadapi biaya politis yang lebih besar daripada perusahaan yang lebih kecil. Perusahaan besar merupakan entitas yang paling banyak disorot oleh pasar maupun publik secara umum. Mengungkapkan lebih banyak informasi merupakan bagian dari upaya perusahaan untuk mewujudkan akuntabilitas publik. Penjelasan lain yang juga sering diajukan adalah karena perusahaan besar memiliki sumber daya yang besar. Dengan sumber daya ya ng besar tersebut perusahaan perlu menyediakan informasi untuk keperluan internal dimana informasi tersebut sekaligus menjadi bahan untuk keperluan pengungkapan informasi kepada
pihak eksternal, sehingga tidak perlu ada tambahan biaya yang besar untuk dapa t melakukan pengungkapan dengan lebih lengkap. Sebaliknya, perusahaan dengan sumber daya yang relatif kecil mungkin tidak memiliki informasi siap saji sebagaimana perusahaan besar. Perusahaan kecil umumnya berada pada situasi persaingan yang ketat dengan perusahaan lain. Mengungkapkan terlalu banyak tentang jati dirinya kepada pihak eksternal dapat membahayakan posisinya dalam persaingan,
sehingga
perusahaan kecil cenderung
untuk
tidak
melakukan
pengungkapan selengkap perusahaan besar. Penelitian mengenai hubungan antara ukuran perusahaan dan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan telah dilakukan dalam sejumlah penelitian empiris seperti yang dilakukan oleh Belkaoui and Karpik, 1989; Cowen et al., 1987; Kelly, 1981; Pang, 1982; Patten, 1991, 1992; Trotman and Bradley, 1981 (Hackston dan Milne, 1996). Teori keagenan dan teori legitimasi memiliki dari beberapa pendapat untuk hubungan antara ukuran perusahaan dan pengungkapan tanggung jawab sosial yang dilakukan perusahaan. Sebagai tambahan, perusahaan ya ng lebih besar melakukan lebih banyak aktivitas, membuat suatu dampak yang lebih besar pada lingkungan sosialnya, memiliki lebih banyak shareholders yang mungkin peduli dengan aktivitas-aktivitas sosial yang dilakukan perusahaan, dan laporan tahunan menyediakan suatu efisiensi sebagai alat komunikasi untuk informasi tersebut. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis yang diajukan oleh peneliti sebagai berikut:
H7 = Size (Ukuran Perusahaan) berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan CSR
2.6.8 Pengaruh Profitabilitas dengan Pengungkapan CSR Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba. Rasio profitabilitas akan memberikan gambaran tentang efektivitas manajemen perusahaan dalam memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya untuk menghas ilkan laba dari kegiatan utama perusahaan. Donovan dan Gibson dalam Sembiring (2005), menyatakan bahwa berdasarkan teori legitimasi, salah satu argumen dalam hubungan antara profitabilitas dan tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial adalah bahwa ketika perusahaan memiliki tingkat laba yang tinggi, perusahaan (manajemen) menganggap tidak perlu melaporkan hal- hal yang dapat mengganggu informasi tentang sukses perusahaan. Sebaliknya, pada saat tingkat profitabilitas rendah, manajemen berharap para pengguna laporan akan membaca informasi positif mengenai kinerja perusahaan, misalnya dalam lingkup sosial, dan dengan demikian investor akan tetap berinvestasi di perusahaan tersebut. Hubungan antara pengungkapan tanggung jawab sosial dengan profitabilitas perusahaan mencerminkan bahwa perhatian terhadap lingkungan sosial dipandang sama seperti perhatian manajemen untuk menciptakan laba bagi perusahaan (Bowman and Haire dalam Hackston dan Milne, 1996). Pengungkapan tanggung jawab sosial dipercaya mampu menunjukkan suatu pendekatan adaptasi manajemen
untuk
menghadapi suatu kedinamisan lingkungan serta menunjukkan suatu
kemampuan untuk menghadapi tekanan sosial. Sebagaimana keahlian manajemen untuk tetap bertahan di mana perusahaan menghadapi persaingan. Heinze dalam Hackston dan Milne (1996), menyatakan bahwa profitabilitas adalah faktor yang membuat manajemen bebas dan fleksibel untuk melakukan dan mengungkapkan aktivitas sosialnya kepada shareholders. Net profit margin merupakan salah satu rasio profitabilitas, dimana rasio ini menunjukkan kemampuan setiap rupiah pendapatan perusahaan menghasilkan laba bersih. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis yang diajukan oleh peneliti sebagai berikut: H8 = Profitabilitas berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan CSR